Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH PATOLOGI

BATU KANDUNG EMPEDU

Disusun Oleh :
Sesar Andriyono (P17221171005)
Angelicca Sunja (P17221171015)
Mar’atus Silmiah (P17221173018)
Sisca Nofiyanti S R (P17221173019)

POLTEKKES KEMENKES MALANG


PRODI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN LAWANG
2018-2019
DAFTAR ISI

Daftar Isi ............................................................................................................................. i


BAB 1 PENDAHULUAN ...................................................................................................
1.1 Latar Belakang ......................................................................................................1
1.2 Tujuan Penulisan ...................................................................................................3
BAB 2 KAJIAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Kolelitiasis .......................................................................................... 3
2.2 Etiologi .................................................................................................................4
2.3 Patogenesis ...........................................................................................................5
2.4 Patofisiologi ..........................................................................................................8
2.5 Gejala Klinis .........................................................................................................12
2.6 Komplikasi ...........................................................................................................13
BAB 3 PENUTUP
3.1 Kesimpulan ...........................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................................15
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kolesistitis adalah inflamasi yang terjadi pada kandung empedu dan terbagi
menjadi akut dan kronis. Kolesistitis akut biasanya terjadi akibat adanya
sumbatan duktus sistikus oleh batu. Namun terdapat beberapa faktor risiko lain
yang dapat meningkatkan insidensi terjadinya kolesistitis. Di Amerika 10-20%
penduduknya menderita kolelitiasis (batu empedu) dan sepertiganya juga
menderita kolesistitis akut. Penyakit ini lebih sering terjadi pada wanita, usia
tua dan lebih sering terjadi pada orang kulit putih. Pada wanita, terutama pada
wanita-wanita hamil dan yang mengkonsumsi obat-obatan hormonal, insidensi
kolesistitis akut lebih sering terjadi. Beberapa teori mengatakan hal ini
berkaitan dengan kadar progesteron yang tinggi yang menyebabkan stasis aliran
kandung empedu (Lambou, 2008). Di Indonesia, walaupun belum ada data
epidemiologis penduduk, insidensi kolesistitis dan kolelithiasis relatif lebih
rendah dibandingkan dengan negara-negara barat (Nurhadi, 2012).

Kolelitiasis masih merupakan masalah gastrointestinal yang sering dijumpai.


Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prevalensi terjadinya kolelitiasis.
Batu empedu merupakan endapan dari salah satu atau beberapa komponen
empedu, dimana batu empedu tersebut dapat digolongkan menjadi batu
kolesterol, pigmen coklat, dan pigmen hitam. Terdapat 3 spektrum tahapan
kolelitiasis, yakni asimtomatik, simtomatik, dan kolesistitis dengan komplikasi.
Gejala klinis spesifik untuk mendiagnosis kolesistitis adalah kolik bilier.
Metode pencitraan yang dapat digunakan untuk mendiagnosis kolelitiasis
adalah USG, ERCP, CT-scan, MRI, maupun MRCP. Telah menjadi
kesepakatan bahwa kolelitiasis asimtomatik tidak memerlukan terapi, meskipun
untuk tujuan profilaksis. Pilihan utama terapi kolelitiasis simtomatik adalah
kolesistektomi, tetapi penentuan waktu operasi masih menjadi perdebatan
(Keshav et al, 2015).
Sampai saat ini kolelitiasis masih merupakan salah satu penyakit
gastrointestinal yang sering ditemui. Di beberapa negara barat dilaporkan
bahwa keluhan yang berkaitan dengan penyakit batu empedu dan
komplikasinya merupakan penyebab terbanyak perawatan untuk kelompok
kelainan gastrointestinal. Meskipun sebagian besar memiliki batu tanpa gejala,
manakala simptom muncul tidak jarang berlanjut dengan masalah dan penyulit
yang penatalaksanaannya membutuhkan biaya tinggi.(Keshav et al, 2015).

Kolesistektomi merupakan terapi definitif pada pasien dengan kolesistitis akut.


Kolesistektomi awal (early cholecystectomy) dilakukan dalam waktu 2 sampai 3
hari, yang mana hal ini lebih disukai daripada kolesistektomi interval (interval
cholecystectomy) atau kolesistektomi tertunda (delayed cholecystectomy) yang
dilakukan dalam waktu 6 sampai 10 minggu setelah terapi medis awal. Sekitar
20% dari pasien yang gagal dengan terapi medis awal dan memerlukan operasi
selama pemberian terapi medis awal atau sebelum akhir dari periode cooling-off
yang direncanakan (Saquib, 2013).

Sejak 20 tahun terakhir, sejumlah ahli bedah menyukai kebijakan operasi awal.
Beberapa penelitian acak yang dilakukan pada awal tahun 1980 telah
menunjukkan bahwa melakukan kolesistektomi awal (early cholecystectomy)
pada kolesistitis akut adalah lebih baik dari pada kolesistektomi tertunda
(delayed cholecystectomy) dari segi lamanya rawat inap di rumah sakit yang
lebih singkat, kelayakan operasi dan kedua operasi tersebut memiliki tingkat
resiko mortalitas dan morbiditas yang sama (Saquib, 2013).

Tindakan early cholecystectomy dan interval cholesistectomy memiliki


keuntungan dan kerugian , dimana keuntungan early cholecystectomy ialah
lebih pendek perawatan dirumah sakit dibandingkan interval cholecystectomy
dan kerugiannya ialah waktu operasi yang lebih lama dan tingkat kesulitan pre
operatif yang lebih tinggi serta komplikasi post operatif yang lebih banyak
dibandingkan interval cholecystectom (Saquib, 2013).
1.2 Tujuan Penulisan
- Untuk mengetahui pengertian dari batu kandung empedu (kolelitiasis)
- Untuk mengetahui etiologi atau penyebab terjadinya kolelitiasis
- Untuk dapat memahami pathogenesis dari batu kandung empedu
- Untuk dapat memahami patofisiologi dari batu kandung empedu
- Untuk mengetahui gejala klinis mengenai penyakit batu kansung empedu
- Untuk mengetahui komplikasi penyakit yang disebabkan oleh kolelitiasis

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Kolelitiasis


Kolelitiasis atau dikenal sebagai penyakit batu empedu merupakan penyakit
yang didalamnya terdapat batu empedu yang dapat ditemukan di dalam
kandung empedu atau di dalam saluran empedu atau pada kedua-duanya.
Mowat (1987) dalam Gustawan (2007) mengatakan kolelitiasis adalah material
atau kristal tidak berbentuk yang terbentukdalam kandung empedu.

www.jevuska.com/wpcontent/uploads/2014/03/batuempedu
http://alfianfreezone.blogspot.co.id

2.2 Etiologi
Penyebab dan faktor resiko terjadinya batu empedu masih belum diketahui
secara pasti. Kumar et al (2000) dalam Gustawan (2007) mendapatkan
penyebab batu kandung empedu adalah :
1. Idiopatik,
2. Penyakit hemolitik, dan
3. Penyakit spesifik non-hemolitik.

Menurut Schweizer et al (2000) dalam Gustawan (2007) ialah :


1. Anak yang mendapat nutrisi parenteral total yang lama,
2. Setelah menjalani operasi by pass kardiopulmonal,
3. Reseksi usus,
4. Kegemukan (hepar memproduksi kolesterol yang berlebih, kemudian
dialirkan ke kandung empedu sehingga konsentrasinya dalam kandung
empedu menjadi sangat jenuh)
5. Anak perempuan yang mengkonsumsi kontrasepsi hormonal
mempunyai resiko untuk menderita kolelitiasis.

Penyebab terjadinya batu kandung empedu ialah :


1. Orang dengan usia lebih dari 40 tahun, bertambahnya sekresi kolesterol
oleh hati dan menurunnya sintesis asam empedu (Smeltzer dan Bare,
2002).
2. Proses aging, yaitu suatu proses menghilangnya secara perlahan
kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti diri dan
mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat
bertahan terhadap jejas dan memperbaiki kerusakan yang diderita
(Darmojo dan Martono, 1994).

Menurut (Heubi,2001) dalam (Gustawan (2007), berdasarkan jenis batu yang


terbentuk, faktor yang mempengaruhi terbentuknya batu berbeda-beda :
1. Terbentuknya batu pigmen adalah penyakit hemolitik yang kronik,
pemberian nutrisi parenteral total, kolestasis kronik dan sirosis dan
pemberian obat (cefriaxone).
2. Terbentuknya batu pigmen coklat adalah adanya infestasi parasit seperti
Ascharis lumbricoides.
3. Untuk batu kolesterol, faktor resiko terjadinya batu kolesterol adalah
kegemukan, reseksi ileum, penyakit Chorn’s ileal dan fibrosis kistik.

2.3 Patogenesis
Patogenesis terbentuknya batu kolesterol menurut (Gustawan, 2007) :
1. Diawali adanya pengendapan kolesterol yang membentuk kristal
kolesterol.
2. Batu kolesterol terbentuk ketika konsentrasi kolesterol dalam saluran
empedu melebihi kemampuan empedu untuk mengikatnya dalam suatu
pelarut, kemudian terbentuk kristal yang selanjutnya membentuk batu.
3. Pembentukan batu kolesterol melibatkan tiga proses yang panjang yaitu
pembentukan empedu yang sangat jenuh (supersaturasi), pembentukan
kristal kolesterol dan agregasi serta proses pertumbuhan batu. Proses
supersaturasi terjadi akibat peningkatan sekresi kolesterol, penurunan
sekresi garam empedu atau keduanya.

Patogenesis terbentuknya batu pigmen menurut (Lesmana, 2006) :


1. Melibatkan infeksi saluran empedu, stasis empedu, malnutrisi, dan
faktor diet.
2. Kelebihan aktivitas enzim β –glucuronidase.
3. Hidrolisis bilirubin oleh enzim tersebut akan membentuk bilirubin tak
terkonjugasi yang akan mengendap sebagai calcium bilirubinate.
4. Enzim β -glucuronidase bakteri berasal kuman E.coli dan kuman lainnya
di saluran empedu. Enzim ini dapat dihambat glucarolactone yang
kadarnya meningkat pada pasien dengan diet rendah protein dan rendah
lemak.
Patogenesis batu pigmen hitam banyak dijumpai pada pasien-pasien sirosis,
penyakit hemolitik seperti thalasemia dan anemia sel sikle. Batu pigmen hitam
menurut (Gustawan, 2007) terjadi akibat :
1. Melimpahnya bilirubin tak terkonjugasi dalam cairan empedu.
Peningkatan ini disebabkan karena peningkatan sekresi bilirubin akibat
hemolisis, proses konjugasi bilirubin yang tidak sempurna (penyakit
sirosis hati) dan proses dekonjugasi.
2. Bilirubin tak terkonjugasi ini kemudian membentuk kompleks dengan
ion kalsium bebas membentuk kalsium bilirubinat yang mempunyai
sifat sangat tidak larut.
3. Proses adifikasi yang tidak sempurna menyebabkan peningkatan pH,
dan keadaan ini merangsang pembentukan garam kalsium. Kalsium
bilirubinat yang terbentuk terikat dengan musin tertahan di kandung
empedu. Hal ini sebagai awal proses terbentuknya batu.
Patogenesis batu pigmen coklat menurut (Gustawan, 2007) :
1. Umumnya terbentuk dalam duktus biliaris yang terinfeksi. Batu pigmen
coklat mengandung lebih banyak kolesterol dibanding batu pigmen
hitam, karena terbentuknya batu mengandung empedu dan kolesterol
yang sangat jenuh.
2. Garam asam lemak merupakan komponen penting dalam batu pigmen
coklat. Palmitat dan stearat yang merupakan komponen utama garam
tersebut tidak dijumpai bebas dalam empedu normal, dan biasanya
diproduksi oleh bakteri. Kondisi stasis dan infeksi memudahkan
pembentukan batu pigmen coklat.
3. Dalam keadaan infeksi kronis dan stasis empedu dalam saluran empedu,
bakteri memproduksi enzim β -glucuronidase yang kemudian memecah
bilirubin glukoronida menjadi bilirubin tak terkonjugasi. Bakteri juga
memproduksi phospholipase A-1 dan enzim hidrolase garam empedu.
4. Phospholipase A-1 mengubah lesitin menjadi asam lemak jenuh dan
enzim hidrolase garam empedu mengubah garam empedu menjadi asam
empedu bebas.
5. Produk-produk tersebut kemudian mengadakan ikatan dengan kalsium
membentuk suatu garam kalsium. Garam kalsium bilirubinat, garam
kalsium dari asam lemak (palmitat dan stearat) dan kolesterol
membentuk suatu batu lunak. Bakteri berperan dalam proses adhesi dari
pigmen bilirubin.

perawatinsanulfitri.blogspot.co.id/2014/12
2.4 Patofisiologi
Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut menurut
(Albert J, 2016) adalah :
1. Stasis cairan empedu
2. Infeksi kuman dan
3. Iskemia dinding kandung empedu
Kolesistitis kalkulus akut disebabkan oleh tersumbatnya duktus sistikus hingga
menyebabkan distensi kandung empedu. Biasanya sumbatan ini adalah
disebabkan adanya batu empedu yang mempunyai 2 tipe yaitu batu kolesterol
dan batu pigmen.
1. Pada batu kolesterol, empedu yang disupersaturasi dengan kolesterol
dilarutkan dalam daerah hidrofobik micelle, kemudian terjadinya
kristalisasi dan akhirnya prepitasi lamellar kolesterol dan senyawa lain
membentuk matriks batu.
2. Pada batu pigmen, ada dua bentuk yakni batu pigmen murni dan batu
kalsium bilirubinat. Batu pigmen murni lebih kecil, sangat keras dan
penampilannya hijau sampai hitam. Proses terjadinya batu ini
berhubungan dengan sekresi pigmen dalam jumlah yang meningkat atau
pembentukan pigmen abnormal yang mengendap di dalam empedu.
Sirosis dan statis biliaris merupakan predisposisi pembentukan batu
pigmen.

Batu empedu yang mengobstruksi duktus sistikus menyebabkan cairan empedu


menjadi stasis dan kental, kolesterol dan lesitin menjadi pekat dan seterusnya
akan merusak mukosa kandung empedu diikuti reaksi inflamasi atau
peradangan dan supurasi. Seiring membesarnya ukuran kantong empedu, aliran
darah dan drainase limfatik menjadi terganggu hingga menyebabkan terjadinya
di dinding kandung empedu iskemia, nekrosis mukosa dan jika lebih berat
terjadinya rupture (Albert J,2016).
Sementara itu, mekanisme yang akurat dari kolesistitis akalkulus tidaklah jelas,
namun beberapa teori coba menjelaskan. Radang mungkin terjadi akibat
kondisi dipertahankannya konsentrat empedu, zat yang sangat berbahaya, di
kandung empedu, pada keadaan tertentu. Misalnya pada kondisi puasa
berkepanjangan, kantong empedu tidak pernah menerima stimulus dari
kolesistokinin (CCK) untuk mengosongkan isinya, dengan demikian, empedu
terkonsentrasi dan tetap stagnan di lumen.(Keshav et al, 2015; Albert et al,
2016)

Batu empedu terjadi karena adanya zat tertentu dalam empedu yang hadir
dalam konsentrasi yang mendekati batas kelarutan mereka. Bila empedu
terkonsentrasi di dalam kandung empedu, larutan akan berubah menjadi jenuh
dengan bahan-bahan tersebut, kemudian endapan dari larutan akan membentuk
Kristal mikroskopis. Kristal terperangkap dalam mukosa bilier, akan
menghasilkan suatu endapan. Oklusi dari saluran oleh endapan dan batu
menghasilkan komplikasi penyakit batu empedu (Debas,2004).

Pada kondisi normal kolesterol tidak mengendap di empedu karena


mengandung garam empedu terkonjugasi dan lesitin dalam jumlah cukup agar
kolesterol berada di dalam larutan misel. Jika rasio konsentrasi kolesterol
berbanding garam empedu dan lesitin meningkat, maka larutan misel menjadi
sangat jenuh. Kondisi yang sangat jenuh ini mungkin karena hati memproduksi
kolesterol dalam bentuk konsentrasi tinggi. Zat ini kemudian mengendap pada
lingkungan cairan dalam bentuk kristal kolesterol (Debas,2004).

Bilirubin, pigmen kuning yang berasal dari pemecahan heme, secara aktif
disekresi ke dalam empedu oleh hati. Sebagian besar bilirubin di dalam empedu
berada dalam bentuk konjugat glukoronida yang larut dalam air dan stabil,
tetapi sebagian kecil terdiri dari bilirubin tak terkonjugasi. Bilirubin tak
terkonjugasi, seperti lemak, fosfat, karbonat, dan anion lainnya cenderung
untuk membentuk presipitat tak larut dengan kalsium. Kalsium memasuki
empedu secara pasif bersama dengan elektrolit lain. Dalam situasi pergantian
heme tinggi, seperti hemolisis kronis atau sirosis, bilirubin tak terkonjugasi
mungkin berada dalam empedu pada konsentrasi yang lebih tinggi dari
biasanya. Kalsium bilirubinat mungkin kemudian mengkristal dari larutan dan
akhirnya membentuk batu pigmen hitam (Debas,2004).

Empedu yang biasanya steril, tetapi dalam beberapa kondisi yang tidak biasa
(misalnya ada striktur bilier), mungkin terkolonisasi dengan bakteri. Bakteri
menghidrolisis bilirubin terkonjugasi dari hasil peningkatan bilirubin tak
terkonjugasi dapat menyebabkan presipitasi terbentuknya kristal kalsium
bilirubinat, bakteri hidrolisis lesitin menyebabkan pelepasan asam lemak yang
komplek dengan kalsium dan endapan dari larutan lain. Konkresi yang
dihasilkan memiliki konsistensi disebut batu pigmen coklat (Debas,2004).

Batu empedu kolesterol dapat terkoloni dengan bakteri dan dapat menimbulkan
peradangan mukosa kandung empedu. Enzim dari bakteri dan leukosit
menghidrolisis bilirubin konjugasi dan asam lemak. Akibatnya, dari waktu ke
waktu, batu kolesterol bisa mengumpulkan proporsi kalsium bilirubinat dan
garam kalsium, lalu menghasilkan campuran batu empedu (Debas,2004).
(kolilitiasis.blogspot.com)

2.5 Gejala Klinis


Menurut (Arief, 2012; Oswari, 2014) gejala klinis yang dapat dijumpai pada
pasien kolestasis adalah :
1. Ikterus atau kulit
2. Mukosa berwarna ikterus yang berlangsung lebih dari dua minggu,
3. Urin berwarna lebih gelap,
4. Tinja warnanya lebih pucat atau fluktuatif sampai berwarna dempul
(akholik).

Pemeriksaan fisik pasien kolestasis dapat dijumpai :


1. Hepatomegali,
2. Splenomegali,
3. Gagal tumbuh,
4. Wajah dismorfik.

Tanda lain yang dapat dijumpai pada pasien dengan kolestasis menurut
(Bisanto, 2011; Ermaya, 2014) adalah :
1. Hipoglikemia yang biasanya ditemukan pada penyakit metabolik,
2. Hipopituitarisme atau kelainan hati yang berat,
3. Perdarahan oleh karena defisiensi vitamin k,
4. Hiperkolesterolemia,
5. Xanthelasma, sedangkan kasus asites masih jarang ditemukan.

Gejala klinik pada pasien kolelitiasis sangat bervariasi, ada yang mengalami
gejala asimptomatik dan gejala simptomatik. Pasien kolelitiasis dapat
mengalami dua jenis gejala :
1. Gejala yang disebabkan oleh penyakit kandung empedu itu sendiri dan
2. Gejala yang terjadi akibat obstruksi pada jalan perlintasan empedu oleh
batu empedu.
Gejalanya bisa bersifat akut atau kronis. Gangguan epigastrium, seperti rasa
penuh, distensi abdomen dan nyeri yang samar pada kuadran kanan atas
abdomen dapat terjadi. Gangguan ini dapat terjadi bila individu mengkonsumsi
makanan yang berlemak atau yang digoreng (Smeltzer dan Bare, 2002)

Gejala yang mungkin timbul pada pasien kolelitiasis menurut (Smeltzer dan
Bare, 2002) adalah :
1. Nyeri dan kolik bilier, (adanya obstruksi pada duktus sistikus yang
tersumbat oleh batu empedu sehingga terjadi distensi dan menimbulkan
infeksi disertai nyeri hebat pada abdomen kuadran kanan atas, pasien
akan mengalami mual dan muntah dalam beberapa jam sesudah
mengkonsumsi makanan dalam porsi besar)
2. Ikterus, (terjadi pada obstruksi duktus koledokus, salah satu gejala khas
dari obstruksi pengaliran getah empedu ke dalam duodenum yaitu
penyerapan empedu oleh darah yang membuat kulit dan membran
mukosa berwarna kuning sehingga terasa gatal-gatal di kulit)
3. Perubahan warna urin dan feses (terlihat dari warna urin yang berwarna
sangat gelap dan feses yang tampak kelabu dan pekat)
4. Defisiensi vitamin, (terjadinya defisiensi vitamin atau terganggunya
proses penyerapan vitamin a, d, e dan k karena obstruksi aliran empedu,
contohnya defisiensi vitamin k dapat menghambat proses pembekuan
darah yang normal).

2.6 Komplikasi
Komplikasi yang umum dijumpai adalah :
1. Kolesistisis, merupakan peradangan pada kandung empedu, dimana
terdapat obstruksi atau sumbatan pada leher kandung empedu atau
saluran kandung empedu, yang menyebakan infeksi dan peradangan
pada kandung empedu. Komplikasi penyakit batu empedu ini yang
paling umum dan sering meyebabkan kedaruratan abdomen, khususnya
diantara wanita usia pertengahan dan manula.
2. Kolangitis, merupakan peradangan pada saluran empedu yang terjadi
karena adanya infeksi yang menyebar akibat obstruksi pada saluran
empedu.
3. Hidrops, merupakan obstruksi kronik dari kandung empedu yang biasa
terjadi di duktus sistikus sehingga kandung empedu tidak dapat diisi lagi
oleh empedu.
4. Emfiema, merupakan kandung empedu yang berisi nanah. Komplikasi
pada pasien yang mengalami emfiema membutuhkan penanganan
segera karena dapat mengancam jiwa (Sjamsuhidajat,2005) dan
(Schwartz,2000).
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kolelitiasis atau dikenal sebagai penyakit batu empedu merupakan penyakit
yang didalamnya terdapat batu empedu yang dapat ditemukan di dalam
kandung empedu atau di dalam saluran empedu atau pada kedua-duanya.
Mowat (1987) dalam Gustawan (2007) mengatakan kolelitiasis adalah material
atau kristal tidak berbentuk yang terbentukdalam kandung empedu.
Batu empedu tersebut dapat digolongkan menjadi batu kolesterol, pigmen
coklat, dan pigmen hitam. Terdapat 3 spektrum tahapan kolelitiasis, yakni
asimtomatik, simtomatik, dan kolesistitis dengan komplikasi. Gejala klinis
spesifik untuk mendiagnosis kolesistitis adalah kolik bilier. Metode pencitraan
yang dapat digunakan untuk mendiagnosis kolelitiasis adalah USG, ERCP, CT-
scan, MRI, maupun MRCP.
DAFTAR PUSTAKA

Albert J. Bredenoord, Andre S, Jan T. Functional Anatomy and Pysiology .A guide to


Gastrointestinal Motility Disorder, Springer; 2016:1-13

Beckingham, I.J. (2001). ABC Of Diseases Of Liver, Pancreas, And Biliary System
Gallstone Disease. Dalam: British Medical Journal V. 322, 13 Januari 2001.
http://www.pubmedcentral.articlerender.artid diakses pada tanggal 09 April 2018

Cahyono, B. S. 2014. Tatalaksana Klinis di Bidang Gastro dan Hepatologi. Jakarta :


Sugeng Seto.

Debas Haile T. 2004.Biliary Tract In : Pathophysiology and Management.Springer –


Verlaag ; Chapter 7 :198 – 224
Djumhana, A. 2010. Jurnal Kedokteran Batu Empedu pada Wanita Lebih
Besar.Bandung : Fakultas kedokteran Unpad-Rumah Sakit Hasan Sadikin.

Ginting, S. 2012. A Description Characteristic Risk Factor of the Kolelitiasis disease in


the Colombia Asia Medan Hospital. Jurnal penelitian Dharma Agung (J-DA).
Medan.http://repository.maranatha.edu/12708/10/1110127_Journal.pdf diakses
pada tanggal 09 April 2018

Gustawan, I.W., K. Nomor Aryasa, dkk. (2007). Kolelitiasis pada anak dalam Maj
kedoktIndon, volum:57, Nomor: 10, Oktober 2007.
http://www.indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed/article/download/543/
661 diakses pada tanggal 09 April 2018

Keshav K, Chahal MS, Joshi H.S, Kashmir S, Agarwal R. 2015:3(1):1-4 Prevalece of


different types Gallstone in the patient with cholelithiasis at rohilkhan
medical college and hospital. International Journal of contemporary surgery
Kimura Y, Takada T, Strasberg SM, Pitt HA, Gouma DJ, Buchler MW, et. al. TG13
current terminology, etiology, and epidemiology of acute cholangitis and
cholecystitis. J Hepatobiliary Pancreat

Lambou SG,Heller SJ.Lithogenesis and Bile Metabolism in :Surgical Clinics of North


American .Elsevier Saunders 2008 Volume 88 :1175-1194

Lesmana, Laurentinus A. (2006). Penyakit Batu Empedu dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FakultasKedokteran Universitas Indonesia.

Notoatmodjo, Soekijo. (2011). Promosi kesehatan dan Ilmu Perilaku, teori dan
aplikasi. Jakarta: Rineka cipta.
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/102/jtptunimus-gdl-kholilatul-5079-3-
bab2.pdfdiakses pada 09 April 2018

Nurhadi.2012.Analisa Batu Kandung Empedu.Bandung

Robbin, dkk. (2007). Buku Ajar Patologi. Edisi 7 Volume 2. Jakarta: Penerbit buku
kedokteran EGC.

Saquib Zet. al. (2013) “Early vs Interval Cholecystectomy in Acute Cholecystitis: an


Experience at Ghurki Trust Teaching Hospital, Lahore”. Department of
Surgery, Ghurki Trust Teaching Hospital/Lahore Medical & Dental College,
Lahore

Schwartz, dkk. (2000). Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah. Jakarta: Penerbit buku
kedokteran EGC
http://www.repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/34994/3/chapter%20II.pdfd
iakses pada tanggal 09 April 2018

Sjamsuhidayat, R, de jong W. (2005). Buku Ajar I,mu Bedah, Edisi 2. Jakarta: Penerbit
buku Kedokteran EGC
http://www.repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/34994/3/chapter%20II.pdfd
iakses pada tanggal 09 April 2018
Smeltzer, S. & Bare, B. (2002). Buku ajar keperawatan medikal bedah
Brunner&Suddarth.. Edisi 8 volume 2. (Waluyo, A., Kariasa, M., Julia, Kuncara,
A., & Asih, Y., Penerjemah). Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC
http://www.repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/34994/3/chapter%20II.pdfd
iakses pada tanggal 09 April2018

Sudoyo. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edis IV. Jakarta : Penerbit
Ilmu Penyakit Dalam FKUI.Bloom (1986)

Anda mungkin juga menyukai