Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH


Film bertema pahlawan super atau superhero selalu menjadi ladang
uang bagi Hollywood. Berawal dari kepopuleran komik keluaran Marvel
Comics dan DC Comics, rumah produksi Hollywood berlomba-lomba untuk
mengadaptasi komik mereka menjadi film layar lebar. Sejak kepopuleran Iron
Man (2008) adaptasi dari komik Marvel dengan Robert Downey Jr sebagai
pemeran utama, hingga kini film adaptasi komik semakin berkembang
dengan jumlah penonton yang makin meningkat. Di pertengahan tahun 2016
saja, film-film adaptasi komik Marvel dan DC sudah bersaing di jajaran
tertinggi Box Office dimana sekuel Captain America: Civil War menempati
urutan 2 Box Office sedangkan sekuel Man of Steel yang bertajuk Batman
versus Superman: Dawn of Justice mengejar di posisi 7 Box Office1. Namun,
dari semua film-film adaptasi komik, terdapat kaum minoritas yang tidak
diberi porsi besar dalam film. Kaum minoritas yang dibahas dalam penelitian
ini merujuk pada ras kulit hitam Amerika. Dalam tulisan ini, peneliti ingin
melihat bagaimana film superhero merepresentasikan ras kulit hitam Amerika
dalam film superhero adaptasi komik terbaru Marvel di tahun 2016, yaitu
sekuel ketiga Captain America bertajuk Captain America: Civil War (2016).
Film tersebut menurut penulis dapat mewakili kontribusi ras kulit hitam
dalam film Hollywood khususnya film bergenre superhero adaptasi komik.
Isu rasial memang sering diangkat dalam penelitian di bidang media
dan budaya. Hal ini menarik karena keberagaman ras membuat mereka
mendapat perlakuan yang berbeda-beda. Perlakuan yang mengarah ke
tindakan pelecehan dan pemberian label mengarah ke tindak rasisme.
Pelabelan individu dan kelompok sebagai 'berbeda' adalah bagian dari proses
menciptakan hierarki sosial, yang merupakan fondasi dari sebuah penindasan.
Kelompok yang dianggap „berbeda‟ contohnya adalah kelompok Aborigin

1
www.boxofficemojo.com/yearly/chart diakses pada Sabtu, 27 Agustus 2016.

1
yang bermukim di Kanada. Ada sejumlah stereotip negatif yang terkait
dengan orang Aborigin, termasuk asumsi tentang kecanduan mereka terhadap
alkohol dan narkoba, sebagai pengangguran, dan kecendeungan dalam
melakukan kekerasan. Media memainkan peran penting dalam membentuk
persepsi publik masyarakat Aborigin di Kanada. Laporan berita sering
berfokus pada tantangan sosial dan ekonomi yang dihadapi masyarakat
Aborigin sembari mengabaikan cerita tentang diskriminasi dan/atau
eksploitasi oleh kelompok atau otoritas yang berkuasa2.
Di Amerika sendiri, kelompok yang dianggap „berbeda‟ adalah orang-
orang kulit hitam. Orang-orang kulit hitam ini dulu datang ke Amerika dari
Afrika untuk menjadi budak yang membantu orang kulit putih Amerika
bercocok tanam. Terdapat berbagai label yang diberikan orang kulit putih
Amerika kepada mereka, antara lain negro, black Africa, dan Afrika-Amerika
(African American). Dalam media Amerika, kemunculan kelompok kulit
hitam dalam film memunculkan banyak studi yang melihat fenomena peran
dan karakter mereka dalam film. Salah satu contohnya dalam studi yang
dilakukan oleh Media, Diversity, & Social Change Initiative USC
menemukan bahwa di antara 600 film populer, hanya 25,9% dari karakter
berdialog berasal dari kelompok minoritas3. Minoritas bahkan lebih kurang
terwakili dalam peran utama. Hanya 15,5% dari 1.070 film dirilis 2004-2013
unggulan aktor minoritas di peran utama4.
Pada tahun 1971, Stuart Hall sebenarnya telah menyadari bahwa
tekstur dan konteks mengenai orang kulit hitam di media semakin memburuk.
Ketika orang kulit hitam muncul di dalam suatu program siaran atau film,

2
Samantha Loppie, Charlotte Reading, dan Sarah de Leeuw, “Aboriginal Experiences with Racism
and It’s Impacts”, artikel National Collaborating Centre for Aboriginal Health (Kanada: NCCAH,
2014), hal. 1-2.
3
Stacy L. Smith, Marc Choueiti, and Katherine Pieper, Race/Ethnicity in 600 Popular Films:
Examining On Screen Portrayals and Behind the Camera Diversity (Los Angeles: USC Annenberg
Media, Diversity, & Social Change Initiative, 2013),
http://annenberg.usc.edu/pages/~/media/MDSCI/Racial%20Inequality%20in%20Film%20200720
13%20Final.ashx, diakses pada Jumat, 11 November 2016
4
Kaden Lee, Race in Hollywood: Quantifying the Effect on Race on Movie Performance (Brown
University, Pulau Rhode, Amerika Serikat, 2014), hal. 1.

2
mereka selalu dikaitkan dengan “isu imigran”, mereka harus terlibat dalam
konflik agar dapat muncul dalam media. Dikarenakan media secara
keseluruhan menganggap orang kulit hitam sebagai orang kelas menengah ke
bawah, maka dari itu media cenderung menganggap konflik dan penindasan
adalah kondisi nyata keberadaan orang kulit hitam5.
Sebenarnya pada dekade pertama abad ke-21, Hollywood tampak jauh
berbeda daripada 100 tahun yang lalu. Mereka tidak lagi mengeksklusifkan
orang-orang kulit putih, orang-orang dari kelompok minoritas juga
mendapatkan bagiannya dalam jaringan bisnis Hollywood (kecuali pada
posisi eksekutif). Salah satu tolak ukur kemajuan Hollywood dalam
merangkul kelompok minoritas dalam industri dilihat dari kesuksesan
berbagai aktor dan aktris kulit hitam, seperti Denzel Washington, Halle Berry,
yang berhasil memenangkan penghargaan tertinggi perfilman Amerika yaitu
Academy Award atau yang biasa disebut Oscar. Nampaknya, menurut Lang,
setelah Obama terpilih kembali menjadi Presiden Amerika mendorong
industri film untuk lebih mempromosikan keberagaman dan menyediakan
peluang besar bagi kaum minoritas, baik di depan maupun di belakang layar6.
Nyatanya sebelum abad ke-21, citra negatif pada kaum kulit hitam
Amerika mengalami perubahan yang sangat lamban. Ketika warga Amerika
turun ke jalan untuk menyerukan gerakan hak-hak masyarakat sipil Amerika
pada tahun 1950an dan 1960an, baru pada akhir 1980an penggambaran media
terhadap kaum kulit hitam berubah drastis. Semakin bertambahnya peran-
peran serius yang sangat beragam untuk aktor-aktor kulit hitam, seperti
Denzel Washington, Morgan Freeman, Danny Glover, dan James Earl Jones,
sutradara kulit hitam pun juga mulai unjuk gigi dalam memproduksi film
yang merepresentasikan pandangan mereka akan kehidupan kaum kulit hitam.
Di tahun 2000an, lebih banyak lagi film-film yang mengutamakan kulit hitam

5
Stuart Hall, “Revealed: How UK media fuelled race prejudice”, Chronicle World, 2012,
http://www.chronicleworld.org/archive/issue_08/html_08/8_6_1rev.htm, diakses pada 13
November 2016.
6
Peter Lang, Here’s Looking at You: Hollywood, Film, and Politics (New York: Peter Lang
Publishing, 2010), hal. 12.

3
untuk peran-peran krusial. Puncaknya adalah ketika Morgan Freeman dipilih
menjadi “Tuhan” dalam film Bruce Almighty pada 2003 (dan sekuelnya tahun
2007 berjudul Evan Almighty). Hal ini menunjukkan bahwa ketika dahulu
kaum kulit hitam tidak pernah dipandang bersahaja oleh kaum kulit putih
Amerika, sosok Morgan Freeman yang berkharisma di dalam film tersebut
disambut baik oleh khalayak kulit putih Amerika7.
Pada era 2000an, film Hollywood diramaikan dengan film bergenre
Superhero yang merupakan adaptasi dari komik Superhero. 2 rumah produksi
komik Amerika yang menjadi bahan adaptasi adalah Marvel Comics dan DC
Comics. Marvel Comics dan DC Comics sudah bersaing dalam menciptakan
karakter-karakter pahlawan super sejak tahun 1960an hingga 1970an. Para
pahlawan super ini kemudian diadaptasi menjadi film dengan sangat cermat
dan narasinya disesuaikan sedemikian rupa agar film adaptasi tersebut sesuai
dengan komiknya sehingga dapat dinikmati oleh generasi pecinta komik
superhero dan generasi baru pecinta layar lebar. Tentu saja demi memuaskan
generasi pecinta komik, penyesuaian yang dilakukan juga sedetail mungkin
dari pengembangan alur cerita dan dialog, penokohan karakter dalam cerita,
hingga penambahan tokoh yang tidak terdapat dalam komik demi
memberikan unsur kejutan. Mengubah kotak panel komik menjadi skenario
film memang bukanlah hal mudah, bahkan legalitas hukum dapat ditempuh
agar aspek-aspek adaptasi tersebut dapat disetujui dan diketahui oleh berbagai
pihak yang bersangkutan8.
Meskipun harus melewati serangkaian proses yang rumit dalam
mengadaptasi komik menjadi gambar bergerak, ketika sebuah adapatasi film
berhasil spot on, pendapatan jutaan dolar dari tiket penonton dapat menembus
nominal yang menggiurkan. Seperti dalam tabel di bawah ini yang
menunjukkan rangking film superhero adaptasi dari Marvel Comics dan DC

7
Stephen Holden, Film Review: “God’s Power as an Ego Trip for an Id.” The New York Times, 23
Mei 2003,
http://movies.nytimes.com/mem/movies/review.html?res=9D02EFD81F3EF930A15756C0A9659
C8B63, diakses pada 11 Desember 2016.
8
Paul Heru Wibowo, Masa Depan Kemanusiaan: Superhero dalam Pop Culture (Jakarta: LP3ES,
2012), hal. 18-19.

4
Comics dalam 100 besar peringkat Box Office film bergenre superhero yang
tayang pada sepanjang tahun 2015-2016:
Tabel 1.1
Peringkat film bergenre superhero di Box Office9

Bruto
Peringkat
Rumah Penayangan
Box Office Tanggal Total Bruto di
Judul Film Produksi- Perdana di
Film Dirilis AS (dalam US$)
Adaptasi AS (dalam
Superhero
US$)
3 1/5/15 The Avengers: Disney-Marvel $191,271,109 $459,005,868
Age of Ultron Comics
6 6/5/16 Captain Disney-Marvel $179,139,142 $408,084,349
America: Civil Comics
War
9 12/2/16 Deadpool Disney-Marvel $132,434,639 $363,070,709
Comics
12 25/3/16 Batman v Warner Bros- $166,007,347 $330,360,194
Superman: DC Comics
Dawn of
Justice
13 5/8/16 Suicide Squad Warner Bros- $133,682,248 $318,584,857
DC Comics
23 4/11/16 Doctor Strange Disney-Marvel $85,058,311 $231,505,583
Comics
34 17/7/15 Ant-Man Disney-Marvel $57,225,526 $180,202,163
Comics
39 27/5/16 X-Men: Fox-Marvel $65,769,562 $155,442,489
Apocalypse Comics
40 7/8/15 Fantastic Four Fox-Marvel $56,061,504 $154,696,080
Comics
Sumber tabel dari situs Box Office
Berdasarkan tabel di atas, dominasi film adaptasi dari Marvel Comics
memang tak terkalahkan. Di peringkat 3 saja sudah ada sekuel film The
Avengers (2012) (yang menduduki peringkat 1 film bergenre superhero di
Box Office) yaitu The Avengers: Age of Ultron (2015), sedangkan sekuel film
Man of Steel (2013) yakni Batman versus Superman: Dawn of Justice (2016)
bahkan tidak bisa menembus 10 besar peringkat film genre superhero di Box
Office. Menariknya lagi, mayoritas total pendapatan bruto film-film bergenre

9
“Superhero 1978-Present.” http://www.boxofficemojo.com/genres/chart/?id=superhero.htm,
diakses pada 27 Januari 2017.

5
superhero di tabel 1 semua berada pada nominal ratusan juta dolar dan
bahkan menyentuh milyaran dolar. Bahkan pendapatan film tersebut hanya
dihitung dari tiket dari bioskop-bioskop yang ada di dalam negara Amerika
Serikat saja dan belum termasuk tiket dari bioskop-bioskop di seluruh negara
yang menayangkan film-film tersebut. Oleh karena itu menjadi masuk akal
bila rumah-rumah produksi di Hollywood seakan-akan ketagihan dalam
memproduksi film bergenre superhero setiap tahunnya karena sudah barang
tentu film tersebut dapat dinikmati oleh khalayak pecinta film layar lebar.
Mendefinisikan superhero akan secara otomatis akan menjabarkan
tentang genre superhero itu sendiri. Menurut Peter Coogan dalam bukunya
SUPERHERO: The Secret Origin of a Genre menyebutkan bahwa genre film
dilihat berdasarkan bagaimana setting, alur cerita, dan sponsor, seperti film
dengan tema western dan opera sabun, sedangkan ada genre film yang
memberikan fokus utama pada sosok pahlawan tertentu, seperti detektif atau
kepala polisi. Jalan cerita dari film superhero yang paling tradisional selalu
mengisahkan seorang remaja laki-laki yang secara tidak sengaja mendapatkan
kekuatan dan bagaimana petualangan dia ketika belajar menggunakan
kekuatan tersebut untuk melindungi kelompok sosialnya. Selain itu, remaja
laki-laki ini juga ditekan rasa egois dalam dirinya dan menjadi pribadi yang
tanpa pamrih10.
Dari basis jalan cerita tersebut, kemudian terjadi pengulangan pada
setiap karakter-karakter superhero yang dibuat selanjutnya. Penikmat komik
dan film superhero yang tenggelam dalam cerita petualangan para jagoan
mereka tidak sadar bahwa di dalam jalan cerita dan penokohan setiap karakter
memiliki implikasi-implikasi politik dan dampak-dampak sosial dimana jalan
cerita dan tokoh superhero sendiri merupakan proyeksi dari ideologi-ideologi
Amerika. Proyeksi ideologi itu dapat berupa penulisan kembali sejarah
Amerika di dalam jalan cerita atau yang paling ekstrem adalah kebanggaan
rasialis mereka. Oleh karena itu mengapa di dalam komik superhero, hampir

10
Peter Coogan, SUPERHERO: The Secret Origin of a Genre (Texas: MonkeyBrain Books
Publication, 2006), hal. 24.

6
tidak ada superhero utama yang berasal dari kaum rasial non-kulit putih
Amerika11.
Sosok superhero kulit hitam fenomenal adalah Halle Berry yang
berperan menjadi Cat Woman dalam film Catwoman (2004) yang merupakan
adaptasi dari DC Comics, setelah sebelumnya ia memerankan mutan bernama
Storm di film X-Men (2000).

Gambar 1.1 Halle Berry memerankan 2 karakter superhero dari 2 film adaptasi komik
berbeda12

Di atas tahun 2004 kemudian bermunculan karakter-karakter superhero yang


berasal dari kaum kulit hitam. Sosok kulit hitam yang terkenal dalam film
adaptasi komik Marvel adalah Nicholas J. Fury yang diperankan oleh Samuel
L. Jackson. Fury-lah yang membentuk dan menjadi komandan kumpulan
superhero-superhero Marvel yang kemudian diberi nama The Avengers.
Namun Fury bukanlah seorang superhero karena ia tidak tersentuh oleh
fenomena supranatural yang dapat memberinya kekuatan.
Marvel membuat gebrakan dengan menampilkan Chadwick Boseman
sebagai pahlawan Afrika pertama mereka yang ditampilkan dalam film sekuel
Captain America berjudul Captain America: Civil War (2016). Sebenarnya
sebelum Chadwick Boseman, sudah ada karakter kulit hitam dalam film

11
Kolton Harris, Flying in Place: Black Superheroes and Their Origin Stories (Connecticut: Digital
Commons at Connecticut College, 2014), hal. 7-8.
12
Sumber gambar: http://www.whatsontheredcarpet.com/2016/05/actors-who-have-played-
more-than-one-superhero/, diakses pada Sabtu, 12 November 2016.

7
Marvel seperti karakter Heimdall di film Thor (2011) yang diperankan oleh
Idris Elba, karakter War Machine dalam film Iron Man 2 dan 3 (2010 dan
2013) yang diperankan oleh Don Cheadle, dan karakter Falcon di film
Captain America: The Winter Soldier (2014) yang diperankan oleh Anthony
Mackie. Namun karakter mereka lebih merupakan sidekick atau pendamping
superhero. Oleh karena itu, kemunculan Chadwick Boseman menjadi krusial
karena rencananya Black Panther dijanjikan akan memiliki film
independennya yang juga merupakan adaptasi dari komik Marvel.

Gambar 1.2 Chadwick Boseman pemeran Black Panther13

Kehadiran Black Panther ini disambut positif oleh para penggemar


Marvel. Bahkan banyak yang menyatakan ketidaksabaran mereka untuk
melihat film independen Black Panther tersebut. Mulai tampilnya aktor
Afrika-Amerika tersebut bukan semata-mata disebabkan oleh berbagai
inovasi yang menggunakan pendekatan kultural yang berbeda, melainkan
sosok superhero dari kaum minoritas tersebut mampu menggerakkan
penonton untuk mendefinisikan kembali istilah superhero secara kontekstual.
Karakter kaum minoritas juga mendekatkan khalayak pada realitas kehidupan
masyarakat yang belum tersorot karena sengaja dihilangkan atau
disembunyikan dari memori masyarakat14.
Mulai terangkatnya ras kulit hitam dalam film menggugah keinginan
peneliti untuk melihat kembali peran mereka dalam film Hollywood

13
Sumber gambar: “Captain America: Civil War Trailer Rundown”
http://www.slickstermagazine.com/captain-america-civil-war-trailer/, diakses pada Jumat, 11
November 2016.
14
Paul Heru Wibowo, op cit, hal. 117-118.

8
khususnya film bergenre superhero yang masuk jajaran peringkat Box Office.
Film sekuel Captain America: Civil War (2016) memberikan angin segar bagi
dunia superhero dengan menampilkan kaum kulit hitam sebagai sorotan.
Karakter yang menjadi objek pengamatan dalam film Captain America: Civil
War (2016) adalah karakter Falcon, dengan nama peran Sam Wilson, yang
diperankan oleh Anthony Mackie, karakter War Machine, dengan nama peran
James Rhodes, yang diperankan oleh Don Cheadle, dan karakter Black
Panther, dengan nama peran T‟Challa Udaku, yang diperankan oleh
Chadwick Boseman. Dalam film tersebut, penulis akan menganalisis aktor-
aktor kulit hitam yang memiliki peran dengan latar belakang menarik yang
menjelaskan bagaimana mereka didapuk untuk memerankan karakter-
karakter tersebut. Analisis semiotik milik Barthes akan digunakan penulis
untuk melihat tanda-tanda baik visual dalam setiap potongan adegan dalam
film yang menampilkan karakter kulit hitam yang kemudian dianalisis dengan
menggunakan 2 tahapan penandaan Roland Barthes.

B. RUMUSAN MASALAH
Semakin disorotinya kaum kulit hitam yang memerankan peran-peran
krusial di film superhero Hollywood ini memunculkan pertanyaan yang akan
digali jawabannya dalam penelitian ini, yakni:
Bagaimana karakter ras kulit hitam direpresentasikan di dalam film
Hollywood bergenre superhero adaptasi komik Marvel berjudul
Captain America: Civil War (2016)?

C. TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan pertanyaan penelitian di atas, tujuan penelitian yang
ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Membongkar dan menganalisis latar belakang karakter yang dimainkan
oleh kaum kulit hitam Amerika dalam penokohannya di film-film
adaptasi komik Marvel Captain America: Civil War (2016).

9
2. Menganalisis representasi penokohan kaum kulit hitam Amerika di film-
film adaptasi komik Marvel Captain America: Civil War (2016).

D. MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan 2 aspek manfaat, yakni
manfaat akademik dan manfaat praktis. Berikut paparannya:
a) Manfaat Akademik
Penelitian ini bertujuan untuk memperbaharui, melengkapi, dan
memperdalam penelitian-penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan
orang-orang kulit hitam Amerika, terutama dalam film superhero yang
rilis sebelum tahun 2014 dan telah dijadikan objek penelitian. Selain itu
peneliti juga ingin menambah referensi metode semiotik, dalam hal ini
semiotika milik Barthes, yang digunakan dalam menganalisis
representasi kaum minoritas khususnya kaum kulit hitam Amerika dalam
film bergenre superhero adaptasi komik Marvel.
b) Manfaat Praktis
Penelitian ini dibuat dengan harapan bahwa hasil dari penelitian ini dapat
dijadikan rujukan bagi penelitian sejenis di masa mendatang, terutama
yang berhubungan dengan kajian media dan budaya, terutama film
bergenre superhero yang rilis di atas tahun 2014.

E. TINJAUAN PUSTAKA
Isu rasial memang sudah banyak dibahas oleh beberapa pelajar-pelajar
di dunia dalam bentuk esai maupun tesis, apalagi film sebagai medium
representasi kelompok rasial, terutama kulit hitam. Kulit hitam dalam awal-
awal perfilman Hollywood selalu digambarkan secara negatif. Parahnya,
mereka ditampilkan sebagai kelompok yang tidak bertanggungjawab,
gegabah/berpikiran pendek, selalu dipenuhi hawa nafsu, dan kasar15.
Superhero pun tak luput dari objek penelitian, namun mayoritas penelitian

15
Cf. Edmund Connelly, “Understanding Hollywood Bagian III: Racial Role Reversal,” dalam
The Occidental Quarterly, vol. 9, no. 2 (Summer 2009): 65-78, hal. 65.

10
terbaru lebih fokus pada representasi kelompok minoritas dalam narasi komik
superhero. Kurangnya penelitian kaum kulit hitam dalam film bergenre
superhero adaptasi komik membuat kurangnya peneliti mendapat acuan
penelitian terdahulu yang sejenis dan berikut adalah dua penelitian tentang
kaum minoritas yang direpresentasikan dalam karakter komik-komik
superhero:
1. Tesis “UNMASKING IDENTITIES: SUPERHERO REPRESENTATIONS
OF ASIAN AMERICANS IN GRAPHIC NARRATIVES” oleh Jonathan
Areola Valdez Tahun 2013
Dalam tesis ini, Valdez mengkaji sarana kontemporer produksi
budaya dalam tubuh kaum Asia-Amerika sebagai superhero sehubungan
dengan isu-isu ras, kelas sosial, dan jenis kelamin. 3 superhero
kontemporer buatan Marvel yang dikaji oleh Valdez adalah Hazmat si
superhero bertenaga nuklir, Amadeus Cho berkekuatan hypermind, dan
Jimmy Woo yang merupakan mantan pemimpin organisasi kriminal.
Ketiga karakter superhero ini dianggap Valdez merupakan fokusnya
untuk mencari representasi superhero Amerika yang berlatarbelakang
etnis Asia dan untuk fokus pada karakter etnik yang memainkan peran
utama dalam komik Marvel kontemporer16.
Hazmat dikarakterkan sebagai superhero Asia wanita dalam
komik Marvel dan di dalam komik tersebut ia dapat memimpin sebuah
tim Avengers baru. Namun tetap saja kostum Hazmat tetap
mempertunjukkan sisi hiperseksualitasnya sebagai seorang superhero
perempuan tanpa meninggalkan identitasnya sebagai etnis Asia.
Kekompleksan karakter Hazmat menunjukkan bahwa orang dari ras
Oriental Asia pun bisa mendapatkan peran sebagai superhero kaum putih
Amerika17. Amadeus Cha, di lain pihak, yang dibuat oleh seorang penulis
Asia ternyata dapat memberikan dampat pada biografi dan kemajuran
superhero Asia Amerika. Representasi Cho yang tampak normal namun
16
Jonathan Areola Valdez, Unmasking Identities: Superhero Representations of Asian Americans
in Graphic Narratives (San Diego: San Diego State University, 2013), hal. vi.
17
Ibid, hal 34.

11
sebenarnya memiliki kemampuan luar biasa seakan memnyatakan bahwa
masyarakat Asia Amerika perlu dilihat secara lebih imajinatif. Amadeus
Cho memberikan ruang untuk membayangkan kaum etnis Asia Amerika
kontemporer yang memiliki kekuatan dan kepemimpinan18. Sedangkan
Jimmy Woo menunjukkan bahwa superhero Asia Amerika dapat
memimpin tim superhero dan menyelamatkan dunia seperti halnya
Captain America maupun Iron Man. Kekurangan dalam representasi
Woo adalah gagasan yang mendasari bahwa Woo sebenarnya bisa saja
menjadi pemimpin di bawah naungan Mongolia Khan, seorang kepala
suku yang sedang menjabat, atau melalui pada versi alternatif alter-ego
dirinya19.
Kesimpulan yang ditarik oleh Valdez adalah ketiga superhero
Asia Amerika tersebut tetap saja terkunci pada pandangan steoreotip
pada ras Oriental Asia. Namun meskipun terkungkung stereotip, fakta
bahwa ketiga karakter ini telah secara mencolok ditampilkan dalam cerita
komik Marvel sejak tiga tahun terakhir saja menunjukkan perubahan
pada komik dari Marvel Universe tentang hal apa saja dan siapa sajakah
Amerika, Asia, dan hal apa yang disebut heroik20.
2. Tesis “FLYING IN PLACE: BLACK SUPERHERO AND THEIR ORIGIN
STORIES” oleh Kolton Hessie Harris Tahun 2014
Dalam penelitian ini, Harris melihat adanya ketimpangan dalam
narasi komik Marvel yang menggambarkan superhero kulit putih dengan
superhero kulit hitam. Ia melihat bahwa superhero kulit putih
dinarasikan berdasarkan keterhubungan dan kedekatan dengan
pengalaman manusia, sedangkan superhero kulit hitam merupakan narasi
atas pengalaman kaum kulit Amerika yang dikemas ulang (repackage)
dan ditata ulang (reimagine)21. Kegelisahan Harris adalah bagaimana

18
Ibid, hal. 44.
19
Ibid, hal. 50.
20
Ibid, hal. 52.
21
Kolton Harris, Flying in Place: Black Superheroes and Their Origin Stories (Connecticut: Digital
Commons at Connecticut College, 2014), hal. 3.

12
fungsi superhero kulit hitam dalam sebuah dunia cerita dan bagaimana
kiasan-kiasan tertentu dihubungkan dengan maskulinitas kulit hitam
(misalnya hipermaskulinitas, amarah, ketidakmampuan, dll) membatasi
perluasan dalam sebuah narasi.
Sejak membanjirnya komik-komik yang bergenre superhero,
menurut Harris, di dalam superhero itu sendiri sudah tertanam berbagai
macam implikasi politis dan dampak sosial sehingga memunculkan dunia
baru tatanan cerita Amerika. Narasi superhero kemudian selalu berisi
“Amerikanisasi” dalam berbagai cara dan bentuk yang beragam 22. Di
dalam komik, banyak hal yang ditawarkan selain kata-kata untuk dibaca,
namun efek visual dalam komiklah yang berperan penting membentuk
persepsi pembaca. Oleh karena itu komik merupakan sebuah bentuk
kesenian yang kontennya secara aktif menormalisasi standar rasis melalui
setiap pengulangan-pengulangan23.
Superhero kulit putih seperti Superman dan Captain America
ternyata dalam komiknya tidak hanya berpihak kepada sosok
nasionalisme Amerika, tetapi komik-komik mewujudkan
kewarganegaraan Amerika dengan cara menghadirkan model yang
merepresentasikan sifat individualitas Amerika. Di lain pihak, narasi
untuk pahlawan kulit hitam seperti Falcon, Luke Cage, dan Hardware
ditulis berdasarkan pengalaman kaum kulit hitam tertentu yang tidak
dapat dibaca sebagai model untuk khalayak yang lebih luas. Oleh karena
itu mereka menekankan kesamaan pahlawan perkotaan yang berkulit
hitam dengan cara yang menyajikan narasi yang berulang-ulang24.

F. KERANGKA TEORI
Dalam kerangka teori ini, peneliti akan memaparkan kajian-kajian
yang memiliki tema besar yang hampir sama dengan yang akan dilakukan
oleh peneliti. Kajian-kajian ini mencakup buku-buku, jurnal-jurnal, dan
22
Ibid, hal. 7.
23
Ibid, hal. 8.
24
Ibid, hal. 81.

13
artikel-artikel yang mendiskusikan tentang superhero baik dalam film
maupun dalam buku komik serta hubungannya dengan kajian media dan
budaya, khususnya representasi ras kulit hitam dalam film. Kerangka teori ini
akan dibagi menjadi 3 bagian, yakni yang pertama peneliti akan membahas
terlebih dahulu kajian-kajian terdahulu tentang ras dan rasisme dalam media,
terutama film Hollywood. Selanjutnya, peneliti akan memperdalam kajian
tentang identitas kaum kulit hitam dalam film-film Hollywood, bagaimana
mereka direpresentasikan sejak awal perfilman Hollywood. Dan akhirnya,
peneliti akan membahas superhero sebagai salah satu genre yang berkaca
pada pengalaman Amerika sebagai negara adidaya dimana semua cerita dan
tokoh dari komik maupun film merupakan representasi dari sejarah Amerika
mulai dari Perang Dunia II hingga pasca peristiwa 9/11.
1. Asal Usul Ras Kulit Hitam
Orang-orang kulit hitam dari Afrika didatangkan ke Amerika
pada masa kolonial pada awal abad ke-16 dan kedatangan mereka
dimaksudkan untuk membantu produksi berbagai jenis tanaman
perkebunan serta menjadi buruh kasar tanpa upah. Seiring perbudakan di
Amerika tumbuh, istilah "budak" (slave) menjadi identik dengan wajah
hitam atau Afrika25. Hingga tahun 2010, sebanyak 38,9 juta orang kulit
hitam di Amerika Serikat berasal dari budak-budak hasil perdagangan
tahun 1916 sampai tahun 185926.
Pada tahun 1990an hingga tahun 2000an terjadi gelombang baru
imigrasi dari Afrika yang berdatangan ke Amerika Serikat sehingga
membuat populasi orang kulit hitam naik sebanyak 3 kali lipat pada
tahun 2005. Memiliki perbedaan sosio-ekonomi, pola menetap/tinggal,
latar belakang bahasa, distribusi peran gender, tipe keluarga, serta jenis
entri vis membuat aliran imigran dari Afrika ini membuat populasi kulit

25
Katreena Elizabeth Ann Alder, Rewarding Expected Shifts: A Semiotic Analysis of the Oscar-
Winning Performances of Mo’nique and Lupita Nyong’o in “Precious: Based on the Novel PUSH by
Saphire” and “12 Years a Slave (Sacramento: California State University, 2015), hal. 26-27.
26
Mary C. Waters, Philip Kasinitz, dan Asad L. Asad, “Immigrants and African Americans”, jurnal
Annual Reviews of Sociology, 40: 369-390 (California: The Annual Reviews, 2014), hal 371.

14
hitam di Amerika menjadi lebih beragam27. Capps dan kawan-kawan
melaporkan bahwa dari semua imigran kulit hitam di tahun 2009
sebanyak 1.081.000 orang kulit hitam adalah orang Afrika, sebanyak
1.071.000 orang kulit hitam berasal dari Karibia, dan sebanyak 485.000
orang kulit hitam berasal dari Kanada, Eropa, serta Amerika Selatan. Jadi
totalnya terdapat 3,3 juta orang asing kelahiran kulit hitam di Amerika
Serikat yang merepresentasikan 8% dari semua kulit hitam Amerika dan
anak-anak kulit hitam generasi kedua mereka sebanyak 813.000 anak
yang merepresentasikan 12% dari semua anak kulit hitam28.
Orang kulit putih Amerika memberikan sebutan yang beragam
kepada orang-orang kulit hitam Afrika. Beberapa sebutan yang dulu
dilekatkan pada orang kulit hitam saat ini sudah dianggap sebagai
sebutan yang mengandung unsur rasisme. Padahal sebutan-sebutan ini
dulu digunakan oleh orang kulit putih Amerika untuk membedakan asal
muasal orang kulit hitam. Sebutan-sebutan itu adalah negro, black, orang
Afrika (African), black African, dan Afrika-America (African-American).
Berikut adalah perbedaan dari masing-masing sebutan tersebut29:
a) Negro
Istilah “Negro” berarti warna hitam dalam bahasa Spanyol.
Istilah “Negro” banyak digunakan oleh orang kulit putih Eropa
sebagai bentuk singkat dari klasifikasi rasial Negroid untuk
menggambarkan orang-orang dari warisan sub-Sahara Afrika.
Sampai pertengahan abad ke-20 istilah Negro banyak digunakan
untuk orang Afrika-Amerika, namun pada akhir abad ke-20 mulai
tidak disukai dalam masyarakat luas. Dewasa ini julukan “Negro”
secara universal dianggap tidak pantas dan menghina meskipun

27
Ibid.
28
R. Capps, K. McCabe, dan M. Fix, Diverse Streams: Black African Migration to the United States
(Washington,DC: Migr. Policy Inst, 2012).
29
Charles Amgyeman, Raj Bhopal, Marc Bruijnzeels, “Negro, Black, Black African, African
Carribean, African American or What? Labelling African Origin Populations in the Health Arena in
the 21st Century”, Jurnal of Epidemiology & Community Health, Vol. 59 Issue 12 (Rotterdam:
Journal of Epidemiology and Community Health, 2005).

15
kadang-kadang digunakan dalam beberapa laporan penelitian.
Dalam penggunaannya saat ini, istilah ini umumnya dianggap
dapat diterima hanya bila digunakan oleh orang-orang asal Afrika
saja dalam konteks historis atau atas nama organisasi. Klasifikasi
rasial Negroid juga tidak lagi diterima secara luas.
b) Black
Istilah Black umumnya mengacu pada seseorang yang
berasal dari keturunan Afrika. Dalam beberapa keadaan, biasanya
dalam politik atau perebutan kekuasaan, istilah Black menandakan
semua populasi minoritas non-putih. Istilah Black memiliki
kontribusi panjang dalam kehidupan sosial, politik, dan kehidupan
sehari-hari dan penggunaannya untuk menunjukkan keturunan
Afrika. Istilah ini mencakup beragam latar belakang etnis dan
budaya dan berpotensi menyinggung dan tidak dapat diandalkan.
Istilah ini menyembunyikan heterogenitas budaya yang luar biasa
di antara populasi Afrika yang beragam, dan memperkuat stereotip
rasial. Label Black mungkin cukup untuk percakapan sehari-hari
atau pertukaran politik tapi terlalu sederhana untuk penelitian-
penelitian yang sifatnya ilmiah.
c) Orang Afrika (African)
Bangsa Romawi kuno menggunakan nama Africa terra-
"tanah Afri" (atau "Afer" tunggal) untuk bagian utara benua, sesuai
dengan bahasa Tunisia modern. Dewasa ini nama Afrika digunakan
untuk merujuk ke seluruh benua. Istilah “Afrika” dalam konteks
penulisan ilmiah tentang ras dan etnis biasanya mengacu pada
seseorang dengan asal usul leluhur Afrika yang mengidentifikasi
dirinya atau diidentifikasi oleh orang lain sebagai orang Afrika,
namun biasanya mengecualikan penghuni Afrika dari keturunan
lain, misalnya, orang Eropa dan Asia Selatan dan kadang-kadang
tidak termasuk orang Afrika Utara, misalnya orang Aljazair. Istilah
Afrika tanpa kualifikasi mengkategorikan populasi dengan dasar

16
yang tidak jelas dari benua dan asal leluhur yang terlalu luas.
Istilah tersebut saat ini merupakan awalan pilihan untuk kategori
yang lebih spesifik, seperti African American dan African
Caribbean, yang didasarkan pada masalah etnis atau budaya
teritorial. Istilah Afrika tanpa kualifikasi semacam itu terlalu luas
untuk memiliki nilai dalam penelitian-penelitian etnis.
d) Black African
Istilah Black African, seperti yang biasa digunakan di
Inggris, mengacu pada orang-orang dan keturunan mereka dengan
keturunan leluhur Afrika yang bermigrasi melalui sub-Sahara
Afrika. Istilah ini memiliki arti geografis dan yang lebih umum.
Beberapa telah menantang kesesuaian istilah Black African.
Sebagai contoh, banyak orang Somalia di Inggris merasa bahwa
budaya mereka memiliki lebih banyak kesamaan dengan budaya
bahasa Arab dan lebih cenderung untuk bergaul dengan kelompok
semacam itu daripada kelompok keturunan Afrika lainnya.
e) Afrika-Amerika (African-American)
Istilah African American mengacu pada seseorang asal
leluhur Afrika yang mengidentifikasi diri atau diidentifikasi oleh
orang lain sebagai orang Afrika Amerika. Sementara istilah African
American telah digunakan setidaknya sejak tahun 1920an, istilah
ini telah menjadi istilah pilihan di Amerika Serikat sejak tahun
1970an. Karena kebanyakan orang African American di Amerika
Serikat berasal dari sub-Sahara Afrika, istilah ini tidak diterapkan
pada orang Afrika dari negara-negara Afrika Utara seperti Maroko.
Sebagian besar orang Afrika Amerika adalah keturunan orang-
orang yang dibawa ke Amerika sebagai budak antara abad ke-17
dan ke-19 (keturunan jauh). Orang-orang seperti itu berbeda dari
orang lain yang berasal dari Afrika atau Karibia pada abad ke-20
dan ke-21 (keturunan baru-baru ini) dalam hal budaya, bahasa,
sejarah migrasi, dan kesehatan. Perbedaan ini sering diabaikan.

17
2. Ras dan Rasisme dalam Film
Ketika muncul berbagai penolakan bahwa gender tidak bisa hanya
dibedakan dari segi biologis saja, unsur rasial juga ternyata mengalami
penolakan yang sama. Ras sudah tidak bisa dilihat dari kategori-kategori
biologis, seperti perbedaan warna kulit dan warna rambut. Kategori-
kategori rasial yang kita gunakan sebagai pembeda antar manusia
tersebut telah dibuat dan diubah agar sesuai dengan dinamika sosial,
politik, dan ekonomi yang dibutuhkan dalam masyarakat kita30.
Tak jauh berbeda, Coakley berpendapat bahwa ras merujuk pada
sekelompok orang yang dipandang berbeda secara sosial karena mereka
membagi sifat-sifat yang disalurkan secara genetik yang kemudian
dianggap penting oleh orang dengan kekuatan politis atau orang
berpengaruh dalam masyarakat31. Orang-orang dengan kekuatan politis
tersebut lantas menggolong-golongkan kelompok dengan sifat genetis
yang berbeda dari mereka yang kemudian menjadi bentuk diskriminasi
ras atau rasisme.
Kemunculan rasisme tersebut tidak muncul secara tiba-tiba. Ada
campur tangan dari kekuatan politis yang ingin membentuk sebuah
dominasi sosial dengan membenarkan diskriminasi, tekanan pada ras
minoritas, hingga membumihanguskan kelompok ras tersebut32. Griffin
juga menyebutkan dalam salah satu bukunya tentang cara untuk
melanggengkan prasangka negatif dan yang telah dibentuk oleh kekuatan
politis tersebut adalah dengan menggunakan media33.

30
Dwight E. Brooks dan Lisa P. Hébert, “Gender, race, and media representation” dalam B. J. Dow
& J. T. Wood, The SAGE handbook of gender and communication, hal. 297-318 (Thousand Oaks,
California: SAGE Publications, 2006), hal. 297.
31
J. Coakley, Sports in Society: Issues and Controversies 8th Edition (Boston: McGraw Hill, 2004),
hal. 243.
32
Karl G. Heider, Seeing Anthropology: Cultural Anthropology Through Film (Boston: Pearson
Education, 2004), hal. 52.
33
Ellis Cashmore, America’s Paradox (Popular Culture, London: Sage Publishing, 2009), hal. 159.
(Dikutip dari: Griffin, A.G., Seizing the Moving Image, (M. Wallace adn G. Dent (eds) Black Popular
Culture, Seattle, Wa: Bay Press), hal. 231).

18
Salah satu media yang berpengaruh dalam persebaran rasisme
dalam masyarakat adalah film. Keampuhan sebuah film dalam
menggapai beragam kelompok sosial membuat ilmuan dalam kajian
media yakin bahwa film mempunyai kekuatan dalam mempengaruhi
khalayaknya. Bagi sebuah kekuatan politis dominan dalam masyarakat
film dapat dimanfaatkan untuk mengkonstruksi realitas secara subyektif
untuk kepentingan dan tujuan dari dominasi kekuatan mereka34.
Di Amerika, konsep “whiteness” merupakan kunci rasisme abad
ke-20 ini. Para cendekiawan dalam hal kajian media dan budaya seperti
Richard Dyer (2007), John Fiske (1988), dan John Gabriel (1998)
menganggap “whiteness” merupakan inti dari rasisme politis. Persepsi
rasis itulah yang kemudian diadaptasi oleh perfilman Hollywood dalam
bentuk representasi. Sebagai salah satu pembentuk budaya dan
pendukung supremasi kekuatan dominan, film Hollywood
bertanggungjawab dalam persebaran ideologi-ideologi kelompok
dominan Amerika.
Grover dalam bukunya menyatakan bahwa warga Amerika
memandang “whiteness” berarti menjadi dominan, kemudian mereka
secara sadar maupun tidak sadar telah menganggap diri mereka paling
dominan dan menganggap ras lain selain dirinya berada di kelompok
sosial yang lebih rendah darinya35. Dalam film Hollywood sendiri,
Entman dan Rojecki membeberkan bahwa ras kulit putih Amerika
mendominasi peran-peran dalam film mainstream dimana 496 aktor dari
630 aktor merupakan ras kulit putih, hanya 106 aktor yang berkulit
hitam, dan 28 lainnya dari ras lain seperti Asia, Latina, dan lain-lain.
Oleh karena itu, Etman dan Rojecki menyimpulkan bahwa secara politis,

34
Vissia Ita Yulianto, Pesona Barat: Analisa Kritis-Historis Tentang Kesadaran Warna Kulit di
Indonesia (Yogyakarta: Jala Sutra, 2007), hal. 112.
35
Bonnie Kae Grover, “Growing Up White in America?”, Critical White Studies (eds) (diedit oleh
Richard Delgado dan Jean Stefancic, Philadelpia: Temple University Pres, 1997), hal, 34.

19
sentimen rasial merupakan perpaduan dari sebuah gagasan dan emosi
yang negatif dari ras kulit putih terhadap ras kulit hitam36.
Sebenarnya rasisme yang ditunjukkan dalam film Hollywood
bukan hanya dari kulit putih kepada kulit hitam saja, ras lain juga
mengalami representasi yang hampir rasa dengan ras kulit hitam. Etman
dan Rojecki juga menyatakan bahwa dengan mengidentifikasi suatu
kelompok etnis atau ras dengan status sosial tertentu dapat memicu
timbulnya sentimen dan prasangka buruk terhadap mereka. Dalam kasus
ini ras kulit putih memandang diri mereka memiliki status sosial yang
lebih tinggi dibandingkan ras yang lain37. Namun antar ras kulit putih
pun juga punya hierarki sosial mereka sendiri berdasarkan ciri-ciri fisik.
Misalkan dalam sebuah film, karakter wanita kulit putih yang memiliki
rambut pirang (kuning keemasan) selalu digambarkan sebagai wanita
yang bodoh dan hanya memperhatikan penampilan mereka saja. Selain
itu, karakter-karakter yang dipandang berstatus rendah adalah seorang
keturunan Oriental Asia yang ulet bekerja namun tidak lancar berbahasa
Inggris dan ras kulit hitam keturunan Afrika-Amerika yang digambarkan
kasar dan superior juga dianggap memiliki status rendah disebabkan
faktor historis dimana dahulu mereka merupakan budak yang dibawa dari
Afrika untuk dipekerjakan di bidang industri oleh ras kulit putih38.
3. Identitas Kulit Hitam dalam Film Hollywood
Dunia perfilman Hollywood tidak akan pernah lepas dari kritikan
pedas para peneliti di bidang kajian media dan budaya. Kebanyakan hasil
penelitian dalam bidang tersebut yang paling kritis adalah bahwa
masyarakat industri Barat dibagi ke dalam tingkatan-tingkatan hierarki
berupa ras, gender, dan kelas yang dibentuk dari pengalaman sosial. Kulit
hitam Amerika menjadi salah satu ras atau kelompok sosial Amerika

36
Robert M. Entman dan Andrew Rojecki, The Black Image in the White Mind: Media and Race in
America (Chicago: The University of Chicago Press, 2000), hal 192.
37
Ibid, hal. 221
38
F. R. Leavis, “Mass Civilization and Minority Culture”, Popular Culture (London: Sage
Publications, 2009), hal. 33-38 (35).

20
yang sering dibahas dalam penelitian-penelitian tentang representasi
identitas mereka di film-film Hollywood.
Kaum kulit hitam Amerika dalam awal-awal perfilman Amerika
selalu disoroti dengan sangat negatif. Pun bila ditampilkan sisi baiknya,
dalam film tersebut mereka berperan sebagai budak yang setia. Namun
perbudakan mereka bukan satu-satunya stereotip dalam perfilman
Amerika, kulit hitam juga tak jarang dilekatkan pada tokoh-tokoh yang
haus akan seks dan pembunuhan keji yang hampir kesemuanya lahir dari
keluarga yang tidak berpendidikan39.
Guerero mencatat film Hollywood yang berlatar belakang Afrika
baru muncul pertama kali pada tahun 1915 yang berjudul “Birth of Nation”.
Film ini memerlukan biaya yang cukup tinggi untuk produksinya. Hal ini
perlu dilakukan oleh Hollywood agar film ini dapat menarik penonton kelas
menengah. Selain itu, terdapat nilai-nilai rasial yang sangat ketat
tergambarkan, yakni pada saat itu adalah white supremacist atau supremasi
kulit putih. Guerrero menunjukkan bahwa rasisme memberikan keuntungan
ekonomi bagi industri Hollywood40.
Meskipun telah ada film berlatarbelakang Afrika, film-film
mainstream Hollywood yang diramaikan oleh aktor dan aktris kaum kulit
putih masih digemari. Banyaknya penolakan yang diterima oleh kaum
minoritas yang mencoba peruntungan dalam film-film tersebut menjadi
sebagian kecil dari rasa kecewa mereka akan diskriminasi. Sebagian
besar rasa kecewa diungkapkan kaum minoritas justru ketika mereka
mendapat peran dalam film Hollywood, namun peran-peran yang tersedia
bagi mereka merupakan peran-peran yang merendahkan harkat dan
martabat mereka sebagai manusia. Hal tersebut terjadi pada masa 1930an
dan 1940an ketika peran yang diberika untuk orang-orang Afrika-

39
Paul Martin Lester dan Susan Dente Ross, Language Arts & Disciplines (London: Greenwood
Publishing Group, 2003), hal. 88.
40
Guerrero, Framming Blackness : The African American Image in Film (Philadelpia: Temple
University Press, 1993), hal. 17-18.

21
Amerika adalah sebagai pelayan, sopir, pesuruh, dan pekerja kasar
dimana kesemuanya merupakan peran pembantu41.
Guerero menambahkan pada tahun 1969 sampai 1974 film
Hollywood berlatarbelakang Afrika masuk dalam era “Blaxploitation”.
Blaxploitation merupakan genre film yang memiliki target penonton
Afrika-Amerika. Aktor yang digunakan ialah orang kulit hitam dan topik
cerita yang ditonjolkan ialah tentang perbedaan ras. Era ini disebut
“Blaxploitation” sebab banyak kaum kulit hitam mengkritik film-film
yang sebelumnya diproduksi. Di mana orang kulit hitam dipergunakan
sebagai moneymaker untuk Hollywood. Walau awalnya film tersebut
sangat populer, tapi genre film tersebut segera didisintegrasi sebab sarat
akan stereotip42. Hollywood memproduksi film bergenre “Blaxploitation”
sebagai bagian dari strategi pasar untuk memulihkan industri dari krisis
ekonomi. Film-film tersebut ditargetkan untuk penonton dalam kota, di
mana orang kulit hitam mendominasi penjualan tiket. Semua karakter
berubah menjadi oposisi yang diproduksi sesuai dengan kebutuhan
ekonomi Hollywood dan strategi representasi pada momen politik dan
budaya tertentu43.
Memasuki tahun 2000an munculah sutradara muda Amerika dan
Eropa yang membuat kelanjutan film yang ber-setting negara Afrika.
Film yang termasuk dalam tahun ini antara lain “Tears of the Sun”
(2003), “Hotel Rwanda” (2004), “Tsotsi” (2005), “Constant Gardener”
(2005), “Blood Diamond” (2006), dan “Last King of Scotland” (2006).
Dari beberapa film diatas terlihat bagaimana film berlatar belakang
Afrika pada tahun 2000-an. Kontruksi sosial “whiteness” masih sangat
mendominasi, alur cerita yang dipakai pada umumnya masih mengenai
Afrika, orang kulit putih dari barat akan menyelamatkan orang Afrika
dari negaranya sendiri. Film Hollywood cenderung menyebarkan

41
Peter Lang, Here’s Looking at You: Hollywood, Film, and Politics (New York: Peter Lang
Publishing, 2010), hal. 3.
42
Ibid, hal. 217.
43
Ibid, hal. 31-35

22
stereotip orang Afrika sebagai salah satu dari dua ekstrem: yang pertama
mereka digambarkan sebagai penjahat, pembunuh, dan kriminal.
Sedangkan yang kedua, orang kulit hitam digambarkan sebagai korban
tak berdaya yang membutuhkan penyelamat dari barat44.
4. Superhero dan Pengalaman Amerika
Istilah superhero muncul bersamaan dengan lahirnya teks-teks
budaya populer seperti komik, film, video games, musik, makanan
ringan, atau alat-alat sekolah dalm kehidupan masyarakat modern. Istilah
tersebut sudah tercampur baur dengan realita sekitar sehingga tidak dapat
dirunut kembali asal usul pengistilahannya yang kemudian membuat
superhero menjadi istilah yang ready-made dalam budaya populer45.
Dalam industri budaya populer, istilah superhero telah dipatenkan oleh 2
raksasa pencetus komik pahlawan yakni DC Comics dan Marvel Comics
pada 1 Januari 2005. Kedua penerbit raksasa itu menggunakan penulisan
yang berbeda dalam pengejaan superhero dan telah mendaftarkannya
sebagai intellectual property sekaligus merek dagang (trademark dengan
simbol ™)46.
Namun jauh sebelum superhero ditampilkan di layar lebar,
kejayaan superhero justru terjadi ketika versi komiknya terbit. Masa
Keemasan komik superhero atau yang disebut sebagai The Golden Age
komik adalah ketika komik pertama terbit yang memperkenalkan
Superman pada tahun Juni 1938. Terbitnya komik Superman ini
mengawali era pahlawan super yang diikuti dengan terbitnya komit
Batman, Wonder Woman, dan Sub Mariner. Karakter superhero dalam
komik-komik tersebut memiliki kesamaan stereotip, yakni sosok laki-laki
dengan tubuh kekar memakai kostum super ketat dengan warna
mencolok mempertontonkan kekuatan mereka yang luar biasa dan

44
S. Dewar, Journal: Hollywood’s Great White West Saves the Rest, 2007,
http://www2.webster.edu/medialiteracy/journal/2007/Hollywood.pdf. Diakses pada 13
November 2016.
45
Paul Heru Wibowo, op cit, hal. 47.
46
Ibid, hal. 65.

23
mengalahkan penjahat-penjahat satu demi satu. Para pahlawan ini juga
memiliki kemampuan yang sangat diidam-idamkan oleh anak-anak pada
jaman tersebut, yaitu kecepatan, kekuatan, dan pengetahuan47.
Memasuki masa Perang Dunia II, dunia perkomikan mulai
menemukan ide baru dalam membuat karakter penjahat dan
mengembangkan superhero dengan sifat patriotik. Pada masa tersebut
lahirlah Kapten Amerika (Captain America), yang melambangkan nilai-
nilai Amerika selama masa Perang Dunia II (komik pertama Kapten
Amerika terbit pada tahun 1941). Superhero pada masa Perang Dunia II
menjadi “pekerja” besar dalam propaganda Amerika dengan slogan yang
menyerukan orang-orang besar mengalahkan Nazi. Sampul komik
pertama Kapten Amerika menggambarkan keberanian sang kapten
menyeruak masuk ke dalam ruangan yang penuh dengan Nazi, dan
meninju wajah Adolf Hitler. Perang juga membawa rasa realisme ke
komik di mana peristiwa sejarah sedang diadaptasi agar sesuai dengan
narasi dari alur cerita komik48.
Jason Dittmer berpendapat bahwa adalah kodrat “polos/lugu” dari
komik yang dianggap signifikan dalam pertentangan identitas Amerika
sendiri karena pertentangan tersebut biasa terjadi dalam pandangan
kritik-kritik budaya49. Matthew Costello juga sependapat, bahwa komik
sebagai “komoditas yang dipakai” dengan keuntungan penjualan yang
tidak seberapa, yang kemudian mengarah pada industri komik yang
sangat responsif terhadap tren-tren budaya, pada akhirnya menyediakan
“jendala yang unik” ke dalam budaya populer Amerika50.

47
Mila Bongco, Reading Comics: Language, Culture, and the Concept of the Superhero in Comic
Books (London: & New York: Garland Publishing Inc, 2000), hal. 86 – 95.
48
Herron, Ed (w) dan Jack Kirby (w, p), Liederman, Al (i). Captain America Comics #1 (March
1941).Captain America Comics. Digital. https://marvel.com/digitalcomics/view.htm?iid=1652.
49
Jasson Dittmer, “Captain America’s Empire: Reflections of Identity, Popular Culture, and Post-
9/11 Geopolitics” dalam Annals of the Association of American Geographers, Vol. 95, No. 3,
(2005), 625-643, hal 628
50
Matthew Costello, Secret Identity Crisis: Comic Books & The Unmasking of Cold War America
(New York & London: Continuum, 2009) hal. 4.

24
Namun meskipun superhero dikatakan dapat merangkul dan
mewakili identitas nasional Amerika51, orang-orang harus sadar bahwa
nilai-nilai dan kebajikan-kebajikan yang dilekatkan pada superhero
biasanya merupakan budaya yang sifatnya dominan dan hegemoni, dan
sebaliknya para penjahat biasanya mempunyai kualitas dimana
pandangan dari hegemoni budaya pada sesuatu yang tidak diinginkan
atau sesuatu “di luar” dirinya52. Hal ini diamini juga oleh Chris Murray
yang melihat bahwa narasi tentang superhero menunjukkan Amerika
dikonstruksi oleh struktur dan institusi berkekuatan hegemoni, dan
kelompok-kelompok terpinggirkan seperti homoseksual, kulit hitam, dan
bahkan perempuan pun menjadi vital pada analisis superhero sebagai
representasi pahlawan itu sendiri53. Jadi, sesungguhnya komik-komik
superhero hanyalah salah satu pandangan bagaimana “Amerika” itu dan
belum bisa mewakili keseluruhan dari kelompok-kelompok minoritas di
Amerika.

G. KERANGKA KONSEP & OPERASIONAL


Dalam melakukan penelitian ini, berikut adalah serangkaian kerangka
konsep yang akan diterapkan oleh peneliti:

51
Richard Reynolds, Super Heroes: A Modern Mythology (Jackson: University of Mississippi Press,
1992), hal. 18.
52
Umberto Eco, “The Myth of Superman”, dalam Arguing Comics: Literary Masters on a Popular
Medium Ed. Jeer Heer and Kent Worcester (Jackson: University Press of Mississippi, 1962/2004),
146-164, hal. 146.
53
Chris Murray, “Popaganda: Superhero Comics and Propaganda” dalam Comics and Culture:
Analytical and Theoretical Approaches to Comics Ed. Anne Magnussen dan Hans-Christian
Christansen (Copenhagen: Museum Tusculanum Press, 2000), 141-155, hal. 143.

25
Level Level
Denotatif Tanda I Tanda II Konotatif

SIGNIFIER I FORM
POTONGAN (SIGNIFIER II)
ADEGAN
DALAM FILM
SIGNIFIED I
CONCEPT
MITOS
(SIGNIFIED II)
Disusun oleh peneliti dari berbagai sumber
Bagan 1.1 Level Pemaknaan dalam Analisis Adegan Film

Analisis akan dilakukan dalam 2 tahap penandaan sesuai dengan


semiotika 2 tingkat Roland Barthes. Dalam tahapan pertama, film akan
ditonton dan didokumentasikan dengan cara men-screenshoot adegan dimana
terdapat karakter ras kulit hitam. Hasil screenshot tersebut merupakan level
denotatif atau level deskriptif. Pada level denotatif, adegan akan dianalisis
pemaknaannya secara harfiah atau apa adanya yang diberi label signifier I dan
signified I. Penulis menggunakan konsep Arthur Asa Berger dengan melihat
teknik-teknik pengambilan gambar, teknik editing dan pergerakan kamera
sebagai signifier I dan signified I. Fungsi dari teknik kamera adalah mencoba
memahami makna dari objek-objek yang direkam oleh kamera film dan
disuguhkan pada penonton. Dimana cara pengambilan gambar ini dapat
berfungsi sebagai penanda dan efek yang ditimbulkan dari pengambilan
gambar tersebut sebagai petanda. Berikut adalah tabel penanda dan petanda
berdasarkan teknik-teknik pengambilan gambar beserta pemaknaannya dari
Arthur Asa Berger:

26
Gambar 1.3 Unsur-unsur penanda dan petanda dalam film54

Di tahapan yang kedua, form akan menjadi petanda II yang kemudian


dihubungkan dengan konsep ras kulit hitam dalam film, seperti ciri fisik,

54
Sumber gambar: Arthur Asa Berger, Media Analysis Techniques: Teknik-teknik Analisis media,
Alih Bahasa Setio Budi HH (Yogyakarta: Penerbitan UAJY, 2000), hal : 33-34.

27
kerpercayaan, asal usul keluarga, dan kebudayaan. Hasil hubungan dari form
dan konsep itulah yang akan menghasilkan level pemaknaan konotatif atau
pemaknaan berupa unsur-unsur kepercayaan dan ideologi yang kemudian
melahirkan mitos pada karakter ras kulit hitam dalam film.

H. METODOLOGI
1. Metode Penelitian
Salah satu langkah awal penelitian adalah menentukan paradigma
penelitian ini. Penentuan paradigma sangat krusial. Bagi Guba,
paradigma merupakan seperangkat keyakinan dasar (atau metafisika)
yang berhubungan dengan prinsip utama atau pertama, yakni cara
memandang dunia dengan mendefinisikannya dan menempatkannya55.
Penulis memilih paradigma konstruktivisme yang menurut Guba
pandangan ini memandang ilmu sosial sebagai analisis sistematis
terhadap tindakan sosial (socially meaningful action) untuk memahami
dan menafsirkan bagaimana para pelaku sosial yang bersangkutan
menciptakan dan memelihara/mengelola dunia sosial mereka.
Peneliti kemudian menggunakan metode kualitatif deskriptif-
eksploratif dengan menggunakan metode Semiotik Roland Bathes untuk
menganalisis objek penelitian. Barthes membedakan dua level pengertian
(signification) dari semiotika yaitu denotasi dan konotasi. Denotasi
adalah level deskriptif dan harafiah makna yang disepakati seluruh
anggota budaya. Pada level konotasi, makna dihasilkan oleh hubungan
antara signifier dan budaya secara luas yang mencakup kepercayaan,
tingkah laku, kerangka kerja dan ideologi dari sebuah formasi sosial.
Semiologi, dalam istilah Barthes, pada dasarnya hendak mempelajari
kemanusiaan (humanity) memakai hal-hal (things), memaknai (to signify)
dalam hal ini tidak dapat dicampur-adukkan dengan mengkomunikasikan

55
Guba dalam Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln, Handbook of Qualitative Research,
(London: Sage Publication, 1994), hal. 107.

28
(to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek itu hendak
berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda56.

Gambar 1.4 Dua tatanan penandaan Roland Barthes57

Dari gambar di atas, analisis mitos Barthes difokuskan pada


sistem semiotika tingkat dua. Barthes mengatakan bahwa penggunaan
makna pada level konotasi dalam teks ini sebagai penciptaan mitos. Ada
banyak mitos yang diciptakan oleh media di sekitar kita, misalnya mitos
tentang kecantikan, kejantanan, pembagian peran domestik versus peran
publik dan banyak lagi. Mitos ini bermain dalam tingkat bahasa yang
oleh Barthes disebutnya „adibahasa‟ (meta-language)58.
2. Objek dan Limitasi Penelitian
Objek penelitian dalam penelitian ini adalah film Hollywood
bergenre superhero adaptasi komik Marvel, yaitu Captain America: Civil
War (2016). Dalam film ini yang akan menjadi sorotan utama penelitian
ini adalah karakter-karakter yang dimainkan oleh kaum kulit hitam.
Karakter yang menjadi objek pengamatan adalah karakter Falcon,
dengan nama peran Sam Wilson, yang diperankan oleh Anthony Mackie,
karakter War Machine, dengan nama peran James Rhodes, yang
diperankan oleh Don Cheadle, dan karakter Black Panther, dengan nama
peran T‟Challa Udaku, yang diperankan oleh Chadwick Boseman.

56
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya,2004), hal. 15.
57
Sumber gambar: Roland Barthes, Mythologies (New York: The Noonday Press, 1975), hal. 113.
58
Dominic Strinati, An Introduction to Theories of Popular Culure, (New. York: Routledge, 1995),
hal. 113.

29
3. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data
Metode dalam penelitian ini akan dikategorikan menjadi 2 aspek
yaitu aspek mikro dan makro. Hal tersebut dilakukan semata-mata karena
alasan teknis yaitu untuk membuat data-data yang terkumpul menjadi
lebih sistematis sehingga akan mempermudah proses analisa dan
pemahaman terhadap obyek penelitian. Pada level mikro,
pengelompokan data menggunakan konsep Arthur Asa Berger yang
kemudian diinterpretasi menggunakan petanda dan penanda Barthes
sebagai interpretasi tanda tahap 1. Sedangkan data makro digunakan
untuk interpretasi tingkat 2 dimana data makro digunakan sebagai
concept atau penanda II (signified II). Berikut tabel objek penelitian
makro dan mikronya:
Tabel 1.2
Tabel data mikro dan makro penelitian

ASPEK JENIS DATA

Mikro Konsep Arthur Asa Berger pada film Captain America:


Civil War (2016)
1. Deskripsi kaum kulit hitam film Captain America:
Civil War (2016), seperti ciri fisik, pekerjaan, latar
Makro belakang kehidupan, dll.
2. Percakapan antara karakter kulit hitam dengan karakter
lain dalam adegan.
Tabel disusun oleh peneliti dari berbagai sumber

Pengumpulan dan analisis data juga membutuhkan sumber pustaka di


luar objek penelitian. Peneliti akan melakukan studi literatur dalam
mendukung data dan menganalisis aspek-aspek yang tidak dapat
ditemukan dalam film.
Percakapan atau dialog antara karakter kulit hitam dengan
karakter lain dalam sebuah adegan juga akan menjadi data pendukung
pada konteks yang terjadi dalam sebuah adegan. Penulis melihat bahwa
percakapan juga memiliki faktor seperti struktur, giliran berbicara, dan
topik dimana kesemua faktor tersebut selalu melibatkan konteks. Konteks
dalam sebuah percakapan dapat dipengaruhi juga oleh faktor fisik dan

30
non-fisik. Faktor fisik antara lain seperti latar belakang dimulainya
percakapan tersebut dan partisipan percakapan, sedangkan faktor non-
fisik seperti isu-isu sosial dan politik yang berkembang di sekitar
masyarakat dan perbedaan kebudayaan antara para partisipan. Oleh sebab
itu, menurut peneliti, percakapan dapat mempertegas pemaknaan adegan
para karakter kulit hitam dalam film Captain America: Civil War ini.

31

Anda mungkin juga menyukai