Anda di halaman 1dari 34

BAB I

STATUS PASIEN

I. Identitas Pasien

a. Nama/Jenis Kelamin/Umur : An. M / Laki-laki / 13 tahun

b. Pekerjaan : Pelajar

c. Alamat : RT. 28 Payo Lebar

II. Latar Belakang Sosio-ekonomi-demografi-lingkungan-keluarga

a. Status Perkawinan : Belum menikah

b. Jumlah anak/saudara : 2 bersaudara, pasien anak ke dua

c. Status ekonomi keluarga : Pasien berobat dengan kartu

Jamkesmas

d. Kondisi Rumah :

Pasien tinggal di rumah berukuran 8x10 m memiliki 1 kamar tidur yang

dilengkapi dengan jendela dan ventilasi, 1 ruang keluarga, 1 dapur, dan 1

WC dan kamar mandi. Air bekas mandi dan limbah keluarga dialirkan ke

septic tank

e. Kondisi Lingkungan Keluarga :

Jarak antar rumah 1 dan rumah lainnya 3 m. Sampah keluarga langsung

dibakar di belakang rumah.

1
III. Aspek Psikologis di Keluarga :

Ayah pasien seorang wartawan, sedangkan ibu seorang ibu rumah tangga,

pasien merupakan anak ke 2 dari 2 bersaudara.

IV. Riwayat Penyakit Dahulu/keluarga :

- Keluhan yang sama sebelumnya/dalam keluarga disangkal

- Riwayat penyakit kulit sebelumnya (-)

V. Keluhan Utama :

Timbul bentol bentol di dada dan perut sejak 2 hari yang lalu.

VI. Riwayat Penyakit Sekarang : (auto dan alloanamnesa)

Ibu pasien mengeluh timbul bentol bentol pada dada dan perut
anaknya sejak 2 hari yang lalu.
Awalnya bentol sebesar biji jagung yang timbul pada perut pasien,
beberapa jam kemudian bentol meluas keseluruh perut dan dada pasien.
Bentol disertai rasa gatal yang hilang timbul, kemerahan pada daerah
yang bentol, bentol juga semakin meluas jika di garuk.
Pengobatan yang telah diberikan yaitu bedak salisil, namun bentol dan
gatal belum hilang.
Pasien menyangkal riwayat memakan seafood sebelumnya, riwayat
minum obat (-), riwayat terkena serbuk tanaman maupun bahan kimia
disangkal. Riwayat demam (-)

2
VII. Pemeriksaan Fisik :
Keadaan Umum

1. Keadaan sakit : tampak sakit ringan

2. Kesadaran : compos mentis

3. Suhu : 37,4°C

4. Nadi : 78 x/menit

5. BB : 42 kg

6. TB : 152 cm

7. IMT : 18,1

8. Pernafasan

- Frekuensi : 19 x/menit

- Irama : reguler

- Tipe : abdominothorakal

9. Kulit

- Turgor : baik

- Lembab / kering : lembab

- Lapisan lemak : cukup

Pemeriksaan Organ

1. Kepala Bentuk : normocephal

Simetri : simetris

2. Mata Exopthalmus/enophtal: (-)

Kelopak : normal

Conjungtiva : anemis (-)

3
Sklera : ikterik (-)

Kornea : normal

Pupil : bulat, isokor, reflex cahaya


+
/+

Lensa : normal, keruh (-)

Gerakan bola mata : baik

3. Hidung : tak ada kelainan

4. Telinga : tak ada kelainan

5. Mulut Bibir : lembab

Bau pernafasan : normal

Gigi geligi : lengkap

Palatum : deviasi (-)

Gusi : warna merah muda,

perdarahan (-)

Selaput Lendir : normal

Lidah : putih kotor (-), ulkus (-)

6. Leher KGB : tak ada pembengkakan

Kel.tiroid : tak ada pembesaran

JVP : normal

7. Thorax Bentuk : simetris

Pergerakan dinding dada : tidak ada yang

tertinggal.

4
Pulmo

Pemeriksaan Kanan Kiri


Inspeksi Statis & dinamis: Statis & dinamis :
simetris simetris
Palpasi Stem fremitus normal Stem fremitus normal
Perkusi Sonor Sonor
Batas paru-hepar :ICS
VI kanan
Auskultasi Vesikuler (+) Normal, Vesikuler (+) normal.
Wheezing (-), rhonki Wheezing (-), rhonki
(-) (-)

Jantung

Inspeksi Ictus cordis tidak terlihat

Palpasi Ictus cordis teraba di ICS IV linea


midclavicula kiri, tidak kuat angkat

Perkusi Batas-batas jantung :


Atas : ICS II kiri
Kanan : linea sternalis kanan
Kiri : ICS IV linea midclavicula kiri
Auskultasi BJ I/II regular, murmur (-), gallop (-)

8. Abdomen

Inspeksi Datar, skar (-), venektasi (-), spidernevi (-),

Palpasi Nyeri tekan regio epigastrium (-), defans


musculer (-), , hepatomegali (-), splenomegali
(-), nyeri ketok costovertebra (-/-)

Perkusi Timpani

Auskultasi Bising usus (+) normal

9. Ekstremitas Atas

Edema (-), akral hangat, kekuatan otot 5 – 5

5
10. Ekstremitas bawah

Edema (-), akral hangat., kekuatan otot 5 – 5

IX. Status Dermatologi :

Lokasi : Dada , perut,punggung

Effloresensi : Urtika eritematosa, berbatas tegas, bentuk dari bulat


hingga plakat, ukuran bervariasi dengan diameter 0,5cm
hinga 3cm, distribusi diskret, terdapat beberapa ekskoriasi

X. Diagnosis :

Urtikaria

XI. Diagnosis Banding

- Dermatitis Kontak Alergika

- Dermatitis atopik

XII. Pemeriksaan Anjuran

- Darah rutin
- Pemeriksaan kadar Ig E serum
- Uji tusuk kulit (Skin Prick Test)

XIII. Manajemen

a. Preventif :

- Menggunakan sabun yang tidak mengandung antiseptik dan tidak


iritatif.
- Tidak menggunakan pewangi pakaian saat mencuci pakaian.

6
b. Promotif :

- Menjelaskan kepada ibu pasien mengenai perjalanan penyakit


urtikaria yang tidak mengancam nyawa, namun belum ditemukan
terapi yang adekuat, dan fakta jika penyebab urtikaria terkadang
tidak dapat ditemukan.
- Menghindari faktor-faktor yang memperberat seperti terlalu
panas, stres, alkohol, dan agen fisik.

c. Kuratif :

Non Medikamentosa

 Jangan menggaruk bila bentolan gatal

 Menggunakan pakaian yang longgar

Medikamentosa

 Chlorfeniramin meleat 4 mg 3 x 1 tab

 Dexametasone 0,5 mg 3 x 1 tab

 Salycyl talk

d. Rehabilitatif

- Meningkatkan daya tahan tubuh.

- Mengatur pola makan yang gizi seimbang

- Menjaga higienitas pasien.

7
Dinas Kesehatan Kota Jambi
Puskesmas Simpang Kawat
Dokter Nurfazillah
SIP 234/SIP/2017

Jambi, 26 Agustus 2017

R/ Chlorfeniramin meleat 4 mg tab no. X


s 3 d d 1/3 tab
R/ Dexametasone 0,5 mg tab no. X
s 3 d d 1/3 tab
R/ R/ Salycil Talk No. II

Sue

Pro : An. M Umur : 13 tahun


Alamat : RT. 28 Payo Lebar

8
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Urtikaria adalah reaksi vaskular di kulit akibat bermacam-macam sebab,


biasanya ditandai dengan edema setempat yang cepat timbul dan menghilang
perlahan-lahan, berwarna pucat dan kemerahan, meninggi di permukaan
kulit, sekitarnya dapat dikelilingi halo.2

2.2 Epidemiologi

Data epidemiologi urtikaria secara internasional menunjukkan bahwa


urtikaria (kronis, akut, atau keduanya) terjadi pada 15-25% populasi pada
suatu waktu dalam hidup mereka. Chronic idiopatic urticaria (CIU) terjadi
hingga 0,5-1,5% populasi semasa hidupnya. Insiden urtikaria akut lebih tinggi
pada orang dengan atopi. Insiden urticaria kronis tidak meningkat pada orang
dengan atopi. Data epidemiologi urtikaria berdasarkan usia menunjukkan
bahwa urtikaria akut paling sering terjadi pada anak dan dewasa muda,
sedangkan CIU lebih sering terjadi pada dewasa dan wanita setengah baya.4

Sebuah penelitian epidemiologi urtikaria di Spanyol menunjukkan


bahwa terdapat perbedaan prevalensi urtikaria kronik yang signifikan pada
perempuan (0.48%) daripada laki-laki (0.12%). Penelitian tersebut
menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan prevalensi urtikaria kronik
berdasarkan status ekonomi, lokasi geografis, atau luas wilayah suatu kota.
Sedangkan insidensi urtikaria akut pada suatu kota dengan penduduk lebih
dari 500.000 orang mempunyai frekuensi urtikaria akut yang secara
signifikan lebih tinggi daripada wilayah dengan jumlah penduduk kurang dari
500.000.8

9
2.3 Etiologi
Pada penyelidikan ternyata hampir 80% tidak diketahui penyebabnya. Diduga
penyebab urtikaria bermacam-macam, antara lain: 2

1. Obat
Bermacam-macam obat dapat menimbulkan urtikaria, baik secara
imunologik maupun non-imunologik. Obat sistemik (penisilin,
sepalosporin, dan diuretik) menimbulkan urtikaria secara imunologik tipe
I atau II. Sedangkan obat yang secara non-imunologik langsung
merangsang sel mast untuk melepaskan histamin, misalnya opium dan zat
kontras.2

2. Makanan
Peranan makanan ternyata lebih penting pada urtikaria akut, umumnya
akibat reaksi imunologik. Makanan yang sering menimbulkan urtikaria
adalah telur, ikan, kacang, udang, coklat, tomat, arbei, babi, keju, bawang,
dan semangka.2

3. Gigitan atau sengatan serangga


Gigitan atau sengatan serangga dapat menimbulkan urtika setempat, hal
ini lebih banyak diperantarai oleh IgE ( tipe I ) dan tipe seluler ( tipe IV ).2

4. Bahan fotosenzitiser
Bahan semacam ini, misalnya griseofulvin, fenotiazin, sulfonamid, bahan
kosmetik, dan sabun germisid sering menimbulkan urtikaria.2

5. Inhalan
Inhalan berupa serbuk sari bunga (polen), spora jamur, debu, asap, bulu
binatang, dan aerosol, umumnya lebih mudah menimbulkan urtikaria
alergik (tipe I).2

10
6. Kontaktan
Kontaktan yang sering menimbulkan urtikaria ialah kutu binatang, serbuk
tekstil, air liur binatang, tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, bahan kimia,
misalnya insect repellent (penangkis serangga), dan bahan kosmetik.2

7. Trauma Fisik
Trauma fisik dapat diakibatkan oleh faktor dingin, faktor panas, faktor
tekanan, dan emosi menyebabkan urtikaria fisik, baik secara imunologik
maupun non imunologik. Dapat timbul urtika setelah goresan dengan
benda tumpul beberapa menit sampai beberapa jam kemudian. Fenomena
ini disebut dermografisme atau fenomena Darier.2

8. Infeksi dan infestasi


Bermacam-macam infeksi dapat menimbulkan urtikaria, misalnya infeksi
bakteri, virus, jamur, maupun infestasi parasit.2

9. Psikis
Tekanan jiwa dapat memacu sel mast atau langsung menyebabkan
peningkatan permeabilitas dan vasodilatasi kapiler .2

10. Genetik
Faktor genetik juga berperan penting pada urtikaria, walaupun jarang
menunjukkan penurunan autosomal dominant.

11. Penyakit sistemik


Beberapa penyakit kolagen dan keganasan dapat menimbulkan urtikaria,
reaksi lebih sering disebabkan reaksi kompleks antigen-antibodi.2

2.4 Klasifikasi
Klasifikasi urtikaria paling sering didasarkan pada karakteristik klinis
daripada etiologi karena sering kali sulit untuk menentukan etiologi atau
patogenesis urtikaria dan banyak kasus karena idiopatik.3 Terdapat
bermacam-macam klasifikasi urtikaria, berdasarkan lamanya serangan

11
berlangsung dibedakan urtikaria akut dan kronik. Klasifikasi urtikaria yang
lain tampak pada tabel 1.3,9

Tabel 1. Klasifikasi Urtikaria

Ordinary urticarias

Acute urticaria

Chronic urticaria

Contact urticaria

Physical urticarias

Dermatographism

Delayed dermatographism

Pressure urticaria

Cholinergic urticaria

Vibratory angioedema

Exercise-induced urticaria

Adrenergic urticaria

Delayed-pressure urticaria

Solar urticaria

12
Aquagenic urticaria

Cold urticaria

Special syndromes

Schnitzler syndrome

Muckle-Wells syndrome

Pruritic urticarial papules and plaques of pregnancy

Urticarial vasculitis

1. Urtikaria Akut
Urtikaria akut terjadi bila serangan berlangsung kurang dari 6 minggu atau
berlangsung selama 4 minggu tetapi timbul setiap hari.2 Lesi individu
biasanya hilang dalam <24 jam, terjadi lebih sering pada anak-anak, dan
sering dikaitkan dengan atopi. Sekitar 20%-30% pasien dengan urtikaria
akut berkembang menjadi kronis atau rekuren.3

2. Urtikaria Kronik
Urtikaria kronik terjadi bila serangan berlangsung lebih dari 6 minggu2,
pengembangan urtika kulit terjadi secara teratur (biasanya harian) selama
lebih dari 6 minggu dengan setiap lesi berlangsung 4-36 jam. Gejalanya
mungkin parah dan dapat mengganggu kesehatan terkait dengan kualitas
hidup.3

3. Urtikaria Kontak
Urtikaria kontak didefinisikan sebagai pengembangan urticarial wheals di
tempat di mana agen eksternal membuat kontak dengan kulit atau mukosa.

13
Urtikaria kontak dapat dibagi lagi menjadi bentuk alergi (melibatkan IgE)
atau non-alergi (IgE-independen).3

4. Urtikaria Fisik
a. Dermographism
Dermographism merupakan bentuk paling sering dari urtikaria fisik dan
merupakan suatu edema setempat berbatas tegas yang biasanya berbentuk
linier yang tepinya eritem yang muncul beberapa detik setelah kulit
digores.9,10 Dermographism tampak sebagai garis biduran (linear wheal).
Transient wheal atau biduran yang sementara muncul secara cepat dan
biasanya memudar dalam 30 menit, akan tetapi, kulit biasanya mengalami
pruritus sehingga bekas garukan dapat muncul.9

Gambar 1. Dermographisme. Tampak urtikaria dengan linear wheal.9

b. Delayed dermographism
Delayed dermographism terjadi 3-6 jam setelah stimulasi, baik dengan
atau tanpa immediate reaction, dan berlangsung sampai 24-48 jam. Erupsi
terdiri dari nodul eritema linier. Kondisi ini mungkin berhubungan dengan
delayed pressure urticaria.9
c. Delayed pressure urticaria
Delayed pressure urticaria tampak sebagai lesi erythematous, edema
lokal, sering disertai nyeri, yang timbul dalam 0,5-6 jam setelah terjadi
tekanan terhadap kulit. Episode spontan terjadi setelah duduk pada kursi
yang keras, di bawah sabuk pengaman, pada kaki setelah berlari, dan pada
tangan setelah mengerjakan pekerjaan dengan tangan.9

14
Gambar 2. Delayed Pressure Urticaria pada Kaki.11

d. Vibratory angioedema
Vibratory angioedema dapat terjadi sebagai kelainan idiopatik didapat,
dapat berhubungan dengan cholinergic urticaria, atau setelah beberapa
tahun karena paparan vibrasi okupasional seperti pada pekerja-pekerja di
pengasahan logam karena getaran-getaran gerinda. Urtikaria ini dapat
sebagai kelainan autosomal dominan yang diturunkan dalam keluarga.
Bentuk keturunan sering disertai dengan flushing pada wajah. 9,10
e. Cold urticaria
Pada cold urticaria terdapat bentuk didapat (acquired) dan diturunkan
(herediter). Serangan terjadi dalam hitungan menit setelah paparan yang
meliputi perubahan dalam temperatur lingkungan dan kontak langsung
dengan objek dingin. Jarak antara paparan dingin dan onset munculnya
gejala adalah kurang lebih 2,5 jam, dan rata-rata durasi episode adalah 12
jam.9

Gambar 3. Cold Urticaria. 9


f. Cholinergic urticaria
Cholinergic urticaria terjadi setelah peningkatan suhu inti tubuh.
Cholinergic urticaria terjadi karena aksi asetilkolin terhadap sel mast.
Erupsi tampak dengan biduran bentuk papular, bulat, ukuran kecil kira-

15
kira 2-4 mm yang dikelilingi oleh flare eritema sedikit atau luas
merupakan gambaran khas dari urtikaria jenis ini.9,10

Gambar 4. Cold Urticaria. 9

g. Local heat urticaria


Local heat urticaria adalah bentuk yang jarang dimana biduran terjadi
dalam beberapa menit setelah paparan dengan panas secara lokal, biasanya
muncul 5 menit setelah kulit terpapar panas diatas 43°C. Area yang
terekspos menjadi seperti terbakar, tersengat, dan menjadi merah, bengkak
dan indurasi. 9,10

Gambar 5. Local Heat Urticaria. 12

h. Solar urticaria
Solar urticaria timbul sebagai biduran eritema dengan pruritus, dan
kadang-kadang angioedema dapat terjadi dalam beberapa menit setelah
paparan dengan sinar matahari atau sumber cahaya buatan. Histamin dan
faktor kemotaktik untuk eosinofil dan neutrofil dapat ditemukan dalam
darah setelah paparan dengan sinar ultraviolet A (UVA), UVB, dan sinar
atau cahaya yang terlihat.9

16
Gambar 6. Solar Urticaria. 13

i. Exercise-induced anaphylaxis
Exercise-induced anaphylaxis adalah gejala klinis yang kompleks terdiri
dari pruritus, urtikaria, angioedema (kutaneus, laringeal, dan intestinal),
dan sinkop yang berbeda dari cholinergic urticaria. Exercise-induced
anaphylaxis memerlukan olahraga/exercise sebagai stimulusnya. 9

Gambar 7. Exercise-induced anaphylaxis.14

j. Adrenergic urticaria
Adrenergic urticaria timbul sebagai biduran yang dikelilingi oleh white
halo yang terjadi selama stress emosional. Adrenergic urticaria terjadi
karena peran norepinefrin. Biasanya muncul 10-15 menit setelah
rangsangan faktor pencetus seperti emosional (rasa sedih), kopi, dan
coklat.9,10
k. Aquagenic urticaria and aquagenic pruritus
Kontak kulit dengan air pada temperatur berapapun dapat menghasilkan
urtikaria dan atau pruritus. Air menyebabkan urtikaria karena bertindak
sebagai pembawa antigen-antigen epidermal yang larut air. Erupsi terdiri
dari biduran-biduran kecil yang mirip dengan cholinergic urticaria.9,10

17
2.5 Patogenesis
Urtikaria terjadi karena vasodilatasi disertai permeabilitas kapiler yang
meningkat, sehingga terjadi transudasi cairan yang mengakibatkan
pengumpulan cairan setempat. Sehingga secara klinis tampak edema
setempat disertai kemerahan. Vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas
kapiler dapat terjadi akibat pelepasan mediator-mediator misalnya histamine,
kinin, serotonin, slow reacting substance of anaphylaxis (SRSA), dan
prostaglandin oleh sel mast dan atau basofil.2

Baik faktor imunologik, maupun nonimunologik mampu merangsang


sel mast atau basofil untuk melepaskan mediator tersebut (gambar 10). Pada
yang nonimunologik mungkin sekali siklik AMP (adenosin mono phosphate)
memegang peranan penting pada pelepasan mediator. Beberapa bahan kimia
seperti golongan amin dan derivat amidin, obat-obatan seperti morfin, kodein,
polimiksin, dan beberapa antibiotik berperan pada keadaan ini. Bahan
kolinergik misalnya asetilkolin, dilepaskan oleh saraf kolinergik kulit yang
mekanismenya belum diketahui langsung.

Faktor fisik misalnya panas, dingin, trauma tumpul, sinar X, dan


pemijatan dapat langsung merangsang sel mast. Beberapa keadaan misalnya
demam, panas, emosi, dan alcohol dapat merangsang langsung pada
pembuluh darah kapiler sehingga terjadi vasodilatasi dan peningkatan
permeabilitas.2

Faktor imunologik lebih berperan pada urtikaria yang akut daripada


yang kronik; biasanya IgE terikat pada permukaan sel mast dan atau sel
basofil karena adanya reseptor Fc bila ada antigen yang sesuai berikatan
dengan IgE maka terjadi degranulasi sel, sehingga mampu melepaskan
mediator. Keadaan ini jelas tampak pada reaksi tipe I (anafilaksis), misalnya
alergi obat dan makanan. Komplemen juga ikut berperan, aktivasi
komplemen secara klasik maupun secara alternatif menyebabkan pelepasan

18
anafilatoksin (C3a, C5a) yang mampu merangsang sel mast dan basofil,
misalnya tampak akibat venom atau toksin bakteri.

Ikatan dengan komplemen juga terjadi pada urtikaria akibat reaksi


sitotoksik dan kompleks imun pada keadaan ini juga dilepaskan zat
anafilatoksin. Urtikaria akibat kontak dapat juga terjadi misalnya setelah
pemakaian bahan penangkis serangga, bahan kosmetik, dan sefalosporin.
Kekurangan C1 esterase inhibitor secara genetik menyebabkan edema
angioneurotik yang herediter.

2.6 Manifestasi Klinis

a. Gejala

Gejala urtikaria adalah sebagai berikut: 2,4

 Gatal, rasa terbakar, atau tertusuk.


 Biduran berwarna merah muda sampai merah.
 Lesi dapat menghilang dalam 24 jam atau lebih, tapi lesi baru dapat
mucul seterusnya.
 Serangan berat sering disertai gangguan sistemik seperti nyeri perut
diare, muntah dan nyeri kepala.
b. Tanda
Tanda urtikatria adalah sebagai berikut: 2,4

 Klinis tampak eritema dan edema setempat berbatas tegas dan kadang-
kadang bagian tengah tampak lebih pucat.
 Bentuknya dapat papular, lentikular, numular, dan plakat.
 Jika ada reaksi anafilaksis, perlu diperhatikan adanya gejala hipotensi,
respiratory distress, stridor, dan gastrointestinal distress.

19
 Jika ada lesi yang gatal, dapat dipalpasi, namun tidak memutih jika
ditekan, maka merupakan lesi dari urticarial vasculitis yang dapat
meninggalkan perubahan pigmentasi.
 Pemeriksaan untuk dermographism dengan cara kulit digores dengan
objek tumpul dan diamati pembentukan wheal dengan eritema dalam 5-
15 menit.
 Edema jaringan kulit yang lebih dalam atau submukosa pada
angioedema.

2.7 Diagnosis
Anamnesis

Informasi mengenai riwayat urtikaria sebelumnya, durasi rash/ruam, dan


gatal dapat bermanfaat untuk mengkategorikan urtikaria sebagai akut,
rekuren, atau kronik. 9

Beberapa pertanyaan untuk menentukan penyebab alergi atau non-


alergi adalah sebagai berikut: 4

 Apakah biduran berhubungan dengan makanan? Apakah ada makanan


baru yang ditambahkan dalam menu makanan?
 Apakah pasien sedang menjalani pengobatan rutin atau menggunakan obat
baru? Jika iya, apakah jenis obat tersebut?
 Apakah pasien mempunyai penyakit kronik atau riwayat penyakit kronik?
 Apakah biduran disebabkan oleh stimulus fisik seperti panas, dingin,
tekanan, vibrasi?
 Apakah biduran berhubungan dengan senyawa yang dihirup atau kontak
dengan kulit yang mungkin timbul pada tempat kerja?
 Apakah biduran berhubungan dengan gigitan atau sengatan serangga?

20
Pemeriksaan Fisik

 Pemeriksaan kulit pada urtikaria, meliputi: 2, 9,18


 Lokalisasi: badan, ekstremitas, kepala, dan leher.
 Efloresensi: eritema dan edema setempat berbatas tegas dengan elevasi
kulit, kadang-kadang bagian tengah tampak pucat.
 Ukuran: beberapa milimeter hingga sentimeter.
 Bentuk: papular, lentikular, numular, dan plakat.
 Dermographism.

2.8 Diagnosis Banding


1. Angioedema
Angioedema adalah pembengkakan yang disebabkan oleh meningkatnya
permeabilitas vaskular pada jaringan subkutan kulit, lapisan mukosa, dan
lapisan submukosa yang terjadi pada saluran napas dan saluran cerna.
Angioedema dapat disebabkan oleh mekanisme patologi yang sama
dengan urtikaria, namun pada angioedema mengenai lapisan dermis yang
lebih dalam dan jaringan subkutaneus. Karakteristik dari angioedema
meliputi vasodilatasi dan eksudasi plasma ke jaringan yang lebih dalam
daripada yang tampak pada urtikaria, pembengkakan yang nonpitting dan
nonpruritic dan biasanya terjadi pada permukaan mukosa dari saluran
nafas dan saluran cerna (pembengkakan usus menyebabkan nyeri
abdomen berat), serta suara serak yang merupakan tanda paling awal dari
edema laring.9

2. Pitiriasis rosea
Pitiriasis rosea adalah erupsi papuloskuamosa akut yang agak sering
dijumpai. Morfologi khas berupa makula eritematosa lonjong dengan
diameter terpanjang sesuai dengan lipatan kulit serta ditutupi oleh skuama
halus. Lokalisasinya dapat tersebar di seluruh tubuh, terutama pada tempat
yang tertutup pakaian. Efloresensi berupa makula eritroskuamosa anular
dan solitar, bentuk lonjong dengan tepi hampir tidak nyata meninggi dan

21
bagian sentral bersisik, agak berkeringat. Sumbu panjang lesi sesuai
dengan garis lipat kulit dan kadang-kadang menyerupai gambaran pohon
cemara. Lesi inisial (herald patch = medallion) biasanya solitary, bentuk
oval, anular, berdiameter 2-6 cm. Jarang terdapat lebih dari 1 herald
patch.7

3. Urtikaria pigmentosa
Urtikaria pigmentosa adalah suatu erupsi pada kulit berupa
hiperpigmentasi yang berlangsung sementara, kadang-kadang disertai
pembengkakan dan rasa gatal. Penyebabnya adalah infiltrasi mastosit pada
kulit. Lokalisasi terutama pada badan, tapi dapat juga mengenai
ekstrimitas, kepala, dan leher. Efloresensi berupa makula coklat-
kemerahan atau papula-papula kehitaman tersebar pada seluruh tubuh,
dapat juga berupa nodula-nodula atau bahkan vesikel.7

4. Dermatitis atopik
Dermatitis atopik adalah dermatitis yang timbul pada individu dengan
riwayat atopi pada dirinya sendiri ataupun keluarganya, yaitu riwayat asma
bronchial, rhinitis alergika, dan reaksi alergi terhadap serbuk-serbuk
tanaman. Penyebab yang pasti belum diketahui, tetapi faktor turunan
merupakan dasar pertama untuk timbulnya penyakit. Gejala utama
dermatitis atopik adalah pruritus, dapat hilang timbul sepanjang hari, tetapi
umumnya lebih hebat pada malam hari. Akibatnya penderita akan
menggaruk sehingga timbul papul, likenifikasi, eritema, erosi, ekskoriasi,
eksudasi, dan krusta. Diagnosis dermatitis atopi harus mempunyai tiga
kriteria mayor dan tiga kriteria minor dari Hanifin dan Rajka.2

5. Dermatitis kontak alergi


Dermatitis kontak alergi adalah dermatitis yang disebabkan oleh
bahan/substansi yang menempel pada kulit pada seseorang yang telah
mengalami sensitisasi terhadap suatu alergen. Penderita umumnya
mengeluh gatal. Semua bagian tubuh dapat terkena. Pada yang akut

22
dimulai dengan bercak eritematosa yang berbatas jelas kemudian diikuti
edema, papulovesikel, vesikel, atau bula. Vesikel atau bula dapat pecah
menimbulkan erosindan eksudasi (basah). Pada yang kronis terlihat kulit
kering, berskuama, papul, likenifikasi, dan mungkin juga fisur, batasnya
tidak jelas.2,17

2.9 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah, urin, dan feses rutin untuk menilai ada tidaknya infeksi
yang tersembunyi atau kelainan pada alat dalam.2 Pemeriksaan darah rutin
bisa bermanfaat untuk mengetahui kemungkinan adanya penyakit
penyerta. Pemeriksaan-pemeriksaan seperti komplemen, autoantibodi,
elektrofloresis serum, faal ginjal, faal hati, faal hati, dan urinalisis akan
membantu konfirmasi urtikaria vaskulitis. Pemeriksaan C1 inhibitor dan
C4 komplemen sangat penting pada kasus angioedema berulang tanpa
urtikaria.19 Cryoglubulin dan cold hemolysin perlu diperiksa pada urtikaria
dingin.2

2. Pemeriksaan gigi, telinga-hidung-tenggorok, serta usapan vagina.


Pemeriksaan ini untuk menyingkirkan dugaan adanya infeksi fokal.2

3. Tes Alergi
Adanya kecurigaan terhadap alergi dapat dilakukan konfirmasi dengan
melakukan tes kulit invivo (skin prick test) dan pemeriksaan IgE spesifik
(radio-allergosorbent test-RASTs). Tes injeksi intradermal menggunakan
serum pasien sendiri (autologous serum skin test-ASST) dapat dipakai
sebagai tes penyaring yang cukup sederhana untuk mengetahui adanya
faktor vasoaktif seperti histamine-releasing autoantibodies. 20

23
4. Tes Provokasi
Tes provokasi akan sangat membantu diagnosa urtikaria fisik, bila tes-tes
alergi memberi hasil yang meragukan atau negatif. Namun demikian, tes
provokasi ini dipertimbangkan secara hati-hati untuk menjamin
keamanannya.18

a. Tes eleminasi makanan


Tes ini dilakukan dengan cara menghentikan semua makanan yang
dicurigai untuk beberapa waktu, lalu mencobanya kembali satu demi
satu.2

b. Tes foto tempel


Tes foto tempel dapat dilakukan pada urtikaria fisik akibat sinar.18

c. Suntikan mecholyl intradermal


Suntikan mecholyl intradermal dapat digunakan pada diagnosa
urtikaria kolinergik.2

d. Tes fisik
Tes fisik ini bisa dengan es (ice cube test) atau air hangat apabila
dicurigai adanya alergi pada suhu tertentu. 2

5. Pemeriksaan histopatologik
Pemeriksaan ini tidak selalu diperlukan, tetapi dapat membantu diagnosis.2
Pada urtikaria perubahan histopatologis tidak terlalu dramatis. Tidak
terdapat perubahan epidermis. Pada dermis mungkin menunjukkan
peningkatan jarak antara serabut-serabut kolagen karena dipisahkan oleh
edema dermis. Selain itu terdapat dilatasi pembuluh darah kapiler di
papilla dermis dan pembuluh limfe pada kulit yang berkaitan. Selain itu
terdapat suatu infiltrat limfositik perivaskuler dan mungkin sejumlah
eosinofil. Sel mast meningkat jumlahnya pada kulit yang bersangkutan.10

Infiltrasi limfosit sering ditemukan di lesi urtikaria tipe akut dan


kronik. Beberapa lesi urtikaria mempunyai campuran infiltrat seluler, yaitu

24
campuran limfosit, polymorphonuclear leukocyte (PMN), dan sel-sel
inflamasi lainnya. Infiltrasi seluler campuran tersebut mirip dengan
histopatologi dari respon alergi fase akhir. Beberapa pasien dengan
urtikaris yang sangat parah atau urtikaria atipikal memiliki vaskulitis pada
biopsi kulit. Spektrum histopatologi berhubungan derajat keparahan
penyakit, mulai dari limfositik (ringan) sampai ke vaskulitik (parah).4

2.10 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan urtikaria dapat diuraikan menjadi first-line therapy, second-
line therapy, dan third-line therapy.3

1. First-line therapy
First-line therapy terdiri dari: 3,4

a. Edukasi kepada pasien:


 Pasien harus dijelaskan mengenai perjalanan penyakit urtikaria yang
tidak mengancam nyawa, namun belum ditemukan terapi yang adekuat,
dan fakta jika penyebab urtikaria terkadang tidak dapat ditemukan.
b. Langkah non medis secara umum, meliputi:
 Menghindari faktor-faktor yang memperberat seperti terlalu panas,
stres, alcohol, dan agen fisik.
 Menghindari penggunaan acetylsalicylic acid, NSAID, dan ACE
inhibitor.
 Menghindari agen lain yang diperkirakan dapat menyebabkan urtikaria.
 Menggunakan cooling antipruritic lotion, seperti krim menthol 1% atau
2%.
c. Antagonis reseptor histamin
Antagonis reseptor histamin H1 dapat diberikan jika gejalanya menetap.
Pengobatan dengan antihistamin pada urtikaria sangat bermanfaat. Cara
kerja antihistamin telah diketahui dengan jelas yaitu menghambat
histamin pada reseptor-reseptornya. Secara klinis dasar pengobatan
pada urtikaria dan angioedema dipercayakan pada efek antagonis

25
terhadap histamin pada reseptor H1 namun efektifitas tersebut acapkali
berkaitan dengan efek samping farmakologik yaitu sedasi. Dalam
perkembangannya terdapat antihistamin yang baru yang berkhasiat
yang berkhasiat terhadap reseptor H1 tetapi nonsedasi golongan ini
disebut sebagai antihistamin nonklasik.2

Antihistamin golongan AH1 yang nonklasik contohnya adalah


terfenadin, aztemizol, cetirizine, loratadin, dan mequitazin. Golongan
ini diabsorbsi lebih cepat dan mencapai kadar puncak dalam waktu 1-4
jam. Masa awitan lebih lambat dan mencapai efek maksimal dalam
waktu 4 jam (misalnya terfenadin) sedangkan aztemizol dalam waktu 96
jam setelah pemberian oral. Efektifitasnya berlangsung lebih lama
dibandingkan dengan AH1 yang klasik bahkan aztemizol masih efektif
21 hari setelah pemberian dosis tunggal secara oral. Golongan ini juga
dikenal sehari-hari sebagai antihistamin yang long acting. Keunggulan
lain AH1 non klasik adalah tidak mempunyai efek sedasi karena tidak
dapat menembus sawar darah otak.2

Antagonis reseptor H2 dapat berperan jika dikombinasikan


dengan pada beberapa kasus urtikaria karena 15% reseptor histamin
pada kulit adalah tipe H2. Antagonis reseptor H2 sebaiknya tidak
digunakan sendiri karena efeknya yang minimal pada pruritus. Contoh
obat antagonis reseptor H2 adalah cimetidine, ranitidine, nizatidine, dan
famotidine.3

2. Second-line therapy
Jika gejala urtikaria tidak dapat dikontrol oleh antihistamin saja, second-
line therapy harus dipertimbangkan, termasuk tindakan farmakologi dan
non-farmakologi.

a. Photochemotherapy

26
Hasil fototerapi dengan sinar UV atau photochemotherapy, psoralen
plus UVA (PUVA) telah disimpulkan, meskipun beberapa penelitian
menunjukkan peningkatan efektivitas PUVA hanya dalam mengelola
urtikaria fisik tapi tidak untuk urtikaria kronis.

2. Antidepresan
Antidepresan trisiklik doxepin telah terbukti dapat sebagai antagonis
reseptor H1 dan H2 dan menjadi lebih efektif dan lebih sedikit
mempunyai efek sedasi daripada diphenhydramine dalam pengobatan
urtikaria kronik. Doxepin dapat sangat berguna pada pasien dengan
urtikaria kronik yang bersamaan dengan depresi. Dosis doxepin untuk
pengobatan depresi dapat bervariasi antara 25-150 mg/hari, tetapi hanya
10-30 mg/hari yang dianjurkan untuk urtikaria kronis. Mirtazapine
adalah antidepresan yang menunjukkan efek signifikan pada reseptor
H1 dan memiliki aktivitas antipruritus. Telah dilaporkan untuk
membantu dalam beberapa kasus urtikaria fisik dan delayed-pressure
urticaria pada dosis 30 mg/hari.3

3. Kortikosteroid
Dalam beberapa kasus urtikaria akut atau kronik, antihistamin mungkin
gagal, bahkan pada dosis tinggi, atau mungkin efek samping
bermasalah. Dalam situasi seperti itu, terapi urtikaria seharusnya respon
dengan menggunakan kortikosteroid. Jika tidak berespon, maka
pertimbangkan kemungkinan proses penyakit lain (misalnya,
keganasan, mastocytosis, vaskulitis). Kortikosteroid juga dapat
digunakan dalam urticarial vasculitis, yang biasanya tidak respon
dengan antihistamin. Sebuah kursus singkat dari kortikosteroid oral
(diberikan setiap hari selama 5-7 hari, dengan atau tanpa tappering) atau
dosis tunggal injeksi steroid dapat membantu ketika digunakan untuk
episode urtikaria akut yang tidak respon terhadap antihistamin.
Kortikosteroid harus dihindari pada penggunaan jangka panjang

27
pengobatan urtikaria kronis karena efek samping kortikosteroid seperti
hiperglikemia, osteoporosis, ulkus peptikum, dan hipertensi.3,4

Contoh obat kortikosteroid adalah prednison, prednisolone,


methylprednisolone, dan triamcinolone. Prednisone harus diubah
menjadi prednisolone untuk menghasilkan efek, dapat diberikan
dengan dosis dewasa 40-60 mg/hari PO dibagi dalam 1-2 dosis/hari dan
dosis anak-anak 0.5-2 mg/kgBB/hari PO dibagi menjadi 1-4 dosis/hari.
Prednisolone dapat mengurangi permeabilitas kapiler, diberikan
dengan dosis dewasa 40-60 mg/hari PO (4 kali sehari atau dibagi
menjadi 2 kali sehari) dan dosis anak-anak 0.5-2 mg/kgBB/hari PO
(dibagi dalam 4 dosis atau 2 dosis). Methylprednisolone dapat
membalikkan peningkatan permeabilitas kapiler, diberikan dengan
dosis dewasa 4-48 mg/hari PO dan dosis anak-anak 0.16-0.8
mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis dan 4 dosis.4

4. Leukotriene Receptor Antagonist


Leukotriene (C4, D4, E4) adalah mediator inflamasi yang poten dan
mempunyai respon terhadap wheal dan flare pada pasien dengan urtikaria
kronis atau pada individu yang sehat. Leukotriene receptor antagonist
seperti montelukast, zafirlukast, dan zileuton menunjukkan keunggulan
yang lebih dibandingkan dengan plasebo dalam perawatan pasien dengan
urtikaria kronik.3

5. Antagonis saluran kalsium


Nifedipin telah dilaporkan efektif dalam mengurangi pruritus dan
whealing pada pasien dengan urtikaria kronik bila digunakan sendiri atau
dikombinasikan dengan antihistamin. Mekanisme nifedipin berhubungan
dengan modifikasi influks kalsium ke dalam sel mast kutaneus.3

28
3. Third-line therapy
Third-line therapy diberikan kepada pasien dengan urtikaria yang tidak
berespon terhadap first-line dan second-line therapy. Third-line therapy
menggunakan agen immunomodulatori, yang meliputi cyclosporine,
tacrolimus, methotrexate, cyclophosphamide, mycophenolate mofetil, dan
intravenous immunoglobulin (IVIG). Pasien yang memerlukan third-line
therapy seringkali mempunyai bentuk autoimun dari urtikaria kronik.
Third-line therapy lainnya meliputi plasmapheresis, colchicine, dapsone,
albuterol (salbutamol), asam tranexamat, terbutaline, sulfasalazine,
hydroxychloroquine, dan warfarin.3

a. Immunomudulatory Agents
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa cyclosporine efektif dalam
mengobati pasien dengan urtikaria kronik yang refrakter. Cyclosporine
dengan dosis 3-5 mg/kgBB/hari menunjukkan manfaat pada dua pertiga
pasien dengan urtikaria kronik yang tidak berespon terhadap
antihistamin. Tacrolimus dengan dosis 20-µg/mL setiap hari dapat
mengobati pasien dengan corticosteroid-dependent urticaria.3

Intravenous immunoglobulin (IVIG) tampak efektif dalam


manajemen pasien dengan urtikaria autoimun kronik yang parah.
Meskipun mekanisme yang terlibat tidak jelas, namun telah diusulkan
bahwa IVIG mungkin berisi anti-idiotypic antibody yang bersaing
dengan IgG endogen untuk reseptor H1 dan memblok pelepasan
histamin atau memperbanyak klirens IgG endogen.3

b. Plasmapheresis
Plasmapheresis telah dilaporkan dapat bermanfaat dalam pengelolaan
urtikaria autoimun kronik yang parah. Plasmapheresis saja tidak cukup
untuk mencegah akumulasi kembali autoantibodi yang melepaskan

29
histamine dan harus diselidiki dalam hubungannya dengan penggunaan
immunosuppressant pharmacotherapy.3

c. Obat lainnya
Dapsone dan/atau colchicine mungkin dapat bermanfaat dalam
mengelola urtikaria ketika infiltrat neutrophil terlihat secara histologis,
tetapi mungkin paling berguna untuk urticarial vasculitis.
Hydroxychloroquine juga telah menunjukkan hasil yang menjanjikan
dalam pengobatan urtikaria kronik idiopatik; dan telah dikaitkan
dengan respon yang baik pada hypocomplementemic urticarial
vasculitis. Meskipun ß2-adrenoceptor agonist terbutaline telah
dievaluasi untuk manajemen urtikaria kronik, penggunaannya
umumnya tidak dianjurkan karena efek samping seperti takikardia dan
insomnia yang tidak dapat ditoleransi dengan baik oleh banyak pasien.3

Pada urtikaria akut, identifikasi dan menghilangkan penyebab adalah


ideal, namun sayang sekali bahwa hal ini tidak dilakukan pada beberapa
kasus. Meskipun demikian, faktor pendorong yang pasti dapat dikurangi atau
dihilangkan. Kami menganjurkan bahwa pasien dengan urtikaria akut ringan
seharusnya memulai pengobatan dengan antihistamin H1 non sedatif. Pada
pasien dengan urtikaria akut sedang-berat, antihistamin H1 non sedatif
seharusnya juga menjadi terapi pilihan utama. Jika keadaan akut tidak dapat
dikendalikan secara adekuat, pemberian kortikosteroid oral jangka pendek
seharusnya ditambahkan. Pada pasien yang menunjukkan urtikaria akut yang
berat dengan gejala distress pernapasan, asma, atau edema laring, pengobatan
yang mungkin diberikan berupa epinefrin subkutan, kortikosteroid sistemik
(oral atau intravena), dan antihistamin H1 intramuskuler.11

2.11 Prognosis
Urtikaria akut prognosisnya lebih baik karena penyebabnya cepat dapat
diatasi, sedangkan urtikaria kronik lebih sulit diatasi karena penyebabnya
sulit dicari.2

30
BAB III

ANALISIS MASALAH

Dalam kasus ini pasien laki-laki berumur 13 tahun, mengeluh timbul bercak
kemerahan di dada dan perut. Dari anamnesis didapatkan mengeluh timbul bercak-
bercak merah di seluruh tubuh, sejak 2 hari yang lalu. Pada awalnya berupa bentol
sebesar biji jagung yang timbul pada perut pasien yag beberapa jam kemudian
menyebar ke seluruh perut dan dada. Keluhan ini dirasakan tidak membaik
walaupun penderita sudah mencoba mengoleskan bedak salisil talk pada bercak
merah tersebut. Gatal dirasakan mulai mucul pada sore hingga malam hari.

Melalui pemeriksaan fisik didapatkan status dermalogi berupa:

Lokasi : Dada, perut dan punggung

Effloresensi : urtika eritematosa, berbatas tegas, bentuk dari bulat hingga plakat,
ukuran bervariasi dengan diameter 0,5cm hinga 3cm, distribusi diskret, terdapat
beberapa ekskoriasi.

Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang didapat mengarah ke diagnosis


urtikaria. Dimana sesuai teori, urtikaria adalah reaksi vaskular di kulit akibat
bermacam-macam sebab, biasanya ditandai dengan edema setempat yang cepat
timbul dan menghilang perlahan-lahan, berwarna pucat dan kemerahan, meninggi
di permukaan kulit, sekitarnya dapat dikelilingi halo. Urtikaria adalah penyakit
yang dengan kelainan di kulit berupa urtika.

Diagnosis yang mungkin selain urtikaria adalah Dermatitis Atopik dan


Dermatitis Kontak Alergi. Pada dermatitis atopik, gejala utama adalah pruritus,
dapat hilang timbul sepanjang hari, tetapi umumnya lebih hebat pada malam hari.
Untuk mendiagnosis dermatitis atopik menggunakan kriteria dari Hanifin dan
Rajka. Pada kasus kriteria mayor yang terpenuhi adalah pruritus, sisanya belum
memenuhi kriteria mayor dan kriteria minor. Diagnosis lain yang mungkin adalah
dermatitis kontak alergi. Dermatitis kontak alergi yang disebabkan oleh bahan atau

31
substansi yang menempel pada kulit pada seseorang yang telah mengalami
sensitisasi terhadap suatu alergen. Penderita umumnya mengeluh gatal. Semua
bagian tubuh dapat terkena. Pada yang akut dimulai dengan bercak eritematosa
yang berbatas jelas kemudian diikuti edema, papulovesikel, vesikel, atau bula. Pada
kasus didapatkan bercak kemerahan, tetapi memilliki batas yang tegas.

Urtikaria dapat disebabkan oleh berbagai penyebab diantaranya makanan,


obat, kontaktan, iritan, gigitan serangga, dan lain-lain, sehingga untuk mecari tau
penyebabnya harus dilakukan pemeriksaan penunjang.

Penatalaksanaan pasien urtikaria pada kasus menggunakan antihistamin,


kortikosteroid oral dan krim Salicyl. Hal ini sesuai teori yaitu pemberian anti
histamin bertujuan untuk mengurangi gatal karena pelepasan histamin. Pada kasus,
juga diberikan dexametasone tablet karena berdasarkan penelitian dengan
pemberian kortikosteroid oral jangka pendek pada kasus urtikaria akut dikatakan
dapat membantu penyembuhan.

Selain terapi obat, tidakan promotif dan preventif juga penting dilakukan.
Pada kasus diberikan edukasi berupa menghindari agen-agen yang dapat menjadi
penyebab terjadinya urtikaria seperti makananan (telur, gandum, kacang, seafood),
obat-obatan, menggunakan sabun yang tidak mengandung antiseptik, tidak
menggunakan pewangi pakaian.

32
LAMPIRAN

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Wong, H.K. (2009). Urticaria, Acute. Emedicine, Artikel. Diakses 1 Mei 2012,
dari http://emedicine.medscape.com/article/1049858-print
2. Djuanda, A. (2010). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
3. Poonawalla, T., Kelly, B. (2009). Urticaria – a review. Am J Clin Dermatol;
10(1): 9-21.
4. Sheikh, J., Najib, U. (2009). Urticaria. Emedicine, Artikel. Diakses 1 Mei 2012,
dari http://emedicine.medscape.com/article/137362-print
5. Perdanakusuma, D.S. (2008). Anatomi Fisiologi Kulit dan Penyembuhan Kulit.
Surabaya Plastic Surgery, Artikel. Diakses 2 Mei 2012, dari
http://surabayaplasticsurgery.blogspot.com/2008/05/anatomi-fisiologi-kulit-
dan-penyembuhan.html
6. Gaig, P., Olona1, M., Lejarazu, D.M., et al. (2004). Epidemiology of urticaria
in Spain. J Invest Allergol Clin Immunol; 14(3): 214-220.
7. Kolodziej, K. (2005). Asthma and Exercise-Induced Anaphalaxis: A Case
Study. Cfkeep, Gambar. Diakses tanggal 1 Mei 2012, dari
http://www.cfkeep.org/html/phpThumb.php%3Fsrc%3D/uploads/uticaria.jpg
8. Lipsker, D. (2004). Schnitzler Syndrome. Orphanet, Artikel. Diakses tabnggal
1 Mei 2012, dari http://www.orpha.net/data/patho/GB/uk-schnitzler.pdf
9. Grateau, G.(2005). Muckle-Wells syndrome. Orphanet, Artikel. Diakses
tanggal 1 Mei 2012, http://www.orpha.net/data/patho/GB/uk-MWS.pdf
10. Siregar, R.S. (2005). Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta: EGC.
11. Baskoro A, Soegiarto G, Effendi C, Konthen PG. (2006). Urtikaria dan
Angioedema dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI; p.257-61.

34

Anda mungkin juga menyukai