STATUS PASIEN
I. Identitas Pasien
b. Pekerjaan : Pelajar
Jamkesmas
d. Kondisi Rumah :
WC dan kamar mandi. Air bekas mandi dan limbah keluarga dialirkan ke
septic tank
1
III. Aspek Psikologis di Keluarga :
Ayah pasien seorang wartawan, sedangkan ibu seorang ibu rumah tangga,
V. Keluhan Utama :
Timbul bentol bentol di dada dan perut sejak 2 hari yang lalu.
Ibu pasien mengeluh timbul bentol bentol pada dada dan perut
anaknya sejak 2 hari yang lalu.
Awalnya bentol sebesar biji jagung yang timbul pada perut pasien,
beberapa jam kemudian bentol meluas keseluruh perut dan dada pasien.
Bentol disertai rasa gatal yang hilang timbul, kemerahan pada daerah
yang bentol, bentol juga semakin meluas jika di garuk.
Pengobatan yang telah diberikan yaitu bedak salisil, namun bentol dan
gatal belum hilang.
Pasien menyangkal riwayat memakan seafood sebelumnya, riwayat
minum obat (-), riwayat terkena serbuk tanaman maupun bahan kimia
disangkal. Riwayat demam (-)
2
VII. Pemeriksaan Fisik :
Keadaan Umum
3. Suhu : 37,4°C
4. Nadi : 78 x/menit
5. BB : 42 kg
6. TB : 152 cm
7. IMT : 18,1
8. Pernafasan
- Frekuensi : 19 x/menit
- Irama : reguler
- Tipe : abdominothorakal
9. Kulit
- Turgor : baik
Pemeriksaan Organ
Simetri : simetris
Kelopak : normal
3
Sklera : ikterik (-)
Kornea : normal
perdarahan (-)
JVP : normal
tertinggal.
4
Pulmo
Jantung
8. Abdomen
Perkusi Timpani
9. Ekstremitas Atas
5
10. Ekstremitas bawah
X. Diagnosis :
Urtikaria
- Dermatitis atopik
- Darah rutin
- Pemeriksaan kadar Ig E serum
- Uji tusuk kulit (Skin Prick Test)
XIII. Manajemen
a. Preventif :
6
b. Promotif :
c. Kuratif :
Non Medikamentosa
Medikamentosa
Salycyl talk
d. Rehabilitatif
7
Dinas Kesehatan Kota Jambi
Puskesmas Simpang Kawat
Dokter Nurfazillah
SIP 234/SIP/2017
Sue
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
2.2 Epidemiologi
9
2.3 Etiologi
Pada penyelidikan ternyata hampir 80% tidak diketahui penyebabnya. Diduga
penyebab urtikaria bermacam-macam, antara lain: 2
1. Obat
Bermacam-macam obat dapat menimbulkan urtikaria, baik secara
imunologik maupun non-imunologik. Obat sistemik (penisilin,
sepalosporin, dan diuretik) menimbulkan urtikaria secara imunologik tipe
I atau II. Sedangkan obat yang secara non-imunologik langsung
merangsang sel mast untuk melepaskan histamin, misalnya opium dan zat
kontras.2
2. Makanan
Peranan makanan ternyata lebih penting pada urtikaria akut, umumnya
akibat reaksi imunologik. Makanan yang sering menimbulkan urtikaria
adalah telur, ikan, kacang, udang, coklat, tomat, arbei, babi, keju, bawang,
dan semangka.2
4. Bahan fotosenzitiser
Bahan semacam ini, misalnya griseofulvin, fenotiazin, sulfonamid, bahan
kosmetik, dan sabun germisid sering menimbulkan urtikaria.2
5. Inhalan
Inhalan berupa serbuk sari bunga (polen), spora jamur, debu, asap, bulu
binatang, dan aerosol, umumnya lebih mudah menimbulkan urtikaria
alergik (tipe I).2
10
6. Kontaktan
Kontaktan yang sering menimbulkan urtikaria ialah kutu binatang, serbuk
tekstil, air liur binatang, tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, bahan kimia,
misalnya insect repellent (penangkis serangga), dan bahan kosmetik.2
7. Trauma Fisik
Trauma fisik dapat diakibatkan oleh faktor dingin, faktor panas, faktor
tekanan, dan emosi menyebabkan urtikaria fisik, baik secara imunologik
maupun non imunologik. Dapat timbul urtika setelah goresan dengan
benda tumpul beberapa menit sampai beberapa jam kemudian. Fenomena
ini disebut dermografisme atau fenomena Darier.2
9. Psikis
Tekanan jiwa dapat memacu sel mast atau langsung menyebabkan
peningkatan permeabilitas dan vasodilatasi kapiler .2
10. Genetik
Faktor genetik juga berperan penting pada urtikaria, walaupun jarang
menunjukkan penurunan autosomal dominant.
2.4 Klasifikasi
Klasifikasi urtikaria paling sering didasarkan pada karakteristik klinis
daripada etiologi karena sering kali sulit untuk menentukan etiologi atau
patogenesis urtikaria dan banyak kasus karena idiopatik.3 Terdapat
bermacam-macam klasifikasi urtikaria, berdasarkan lamanya serangan
11
berlangsung dibedakan urtikaria akut dan kronik. Klasifikasi urtikaria yang
lain tampak pada tabel 1.3,9
Ordinary urticarias
Acute urticaria
Chronic urticaria
Contact urticaria
Physical urticarias
Dermatographism
Delayed dermatographism
Pressure urticaria
Cholinergic urticaria
Vibratory angioedema
Exercise-induced urticaria
Adrenergic urticaria
Delayed-pressure urticaria
Solar urticaria
12
Aquagenic urticaria
Cold urticaria
Special syndromes
Schnitzler syndrome
Muckle-Wells syndrome
Urticarial vasculitis
1. Urtikaria Akut
Urtikaria akut terjadi bila serangan berlangsung kurang dari 6 minggu atau
berlangsung selama 4 minggu tetapi timbul setiap hari.2 Lesi individu
biasanya hilang dalam <24 jam, terjadi lebih sering pada anak-anak, dan
sering dikaitkan dengan atopi. Sekitar 20%-30% pasien dengan urtikaria
akut berkembang menjadi kronis atau rekuren.3
2. Urtikaria Kronik
Urtikaria kronik terjadi bila serangan berlangsung lebih dari 6 minggu2,
pengembangan urtika kulit terjadi secara teratur (biasanya harian) selama
lebih dari 6 minggu dengan setiap lesi berlangsung 4-36 jam. Gejalanya
mungkin parah dan dapat mengganggu kesehatan terkait dengan kualitas
hidup.3
3. Urtikaria Kontak
Urtikaria kontak didefinisikan sebagai pengembangan urticarial wheals di
tempat di mana agen eksternal membuat kontak dengan kulit atau mukosa.
13
Urtikaria kontak dapat dibagi lagi menjadi bentuk alergi (melibatkan IgE)
atau non-alergi (IgE-independen).3
4. Urtikaria Fisik
a. Dermographism
Dermographism merupakan bentuk paling sering dari urtikaria fisik dan
merupakan suatu edema setempat berbatas tegas yang biasanya berbentuk
linier yang tepinya eritem yang muncul beberapa detik setelah kulit
digores.9,10 Dermographism tampak sebagai garis biduran (linear wheal).
Transient wheal atau biduran yang sementara muncul secara cepat dan
biasanya memudar dalam 30 menit, akan tetapi, kulit biasanya mengalami
pruritus sehingga bekas garukan dapat muncul.9
b. Delayed dermographism
Delayed dermographism terjadi 3-6 jam setelah stimulasi, baik dengan
atau tanpa immediate reaction, dan berlangsung sampai 24-48 jam. Erupsi
terdiri dari nodul eritema linier. Kondisi ini mungkin berhubungan dengan
delayed pressure urticaria.9
c. Delayed pressure urticaria
Delayed pressure urticaria tampak sebagai lesi erythematous, edema
lokal, sering disertai nyeri, yang timbul dalam 0,5-6 jam setelah terjadi
tekanan terhadap kulit. Episode spontan terjadi setelah duduk pada kursi
yang keras, di bawah sabuk pengaman, pada kaki setelah berlari, dan pada
tangan setelah mengerjakan pekerjaan dengan tangan.9
14
Gambar 2. Delayed Pressure Urticaria pada Kaki.11
d. Vibratory angioedema
Vibratory angioedema dapat terjadi sebagai kelainan idiopatik didapat,
dapat berhubungan dengan cholinergic urticaria, atau setelah beberapa
tahun karena paparan vibrasi okupasional seperti pada pekerja-pekerja di
pengasahan logam karena getaran-getaran gerinda. Urtikaria ini dapat
sebagai kelainan autosomal dominan yang diturunkan dalam keluarga.
Bentuk keturunan sering disertai dengan flushing pada wajah. 9,10
e. Cold urticaria
Pada cold urticaria terdapat bentuk didapat (acquired) dan diturunkan
(herediter). Serangan terjadi dalam hitungan menit setelah paparan yang
meliputi perubahan dalam temperatur lingkungan dan kontak langsung
dengan objek dingin. Jarak antara paparan dingin dan onset munculnya
gejala adalah kurang lebih 2,5 jam, dan rata-rata durasi episode adalah 12
jam.9
15
kira 2-4 mm yang dikelilingi oleh flare eritema sedikit atau luas
merupakan gambaran khas dari urtikaria jenis ini.9,10
h. Solar urticaria
Solar urticaria timbul sebagai biduran eritema dengan pruritus, dan
kadang-kadang angioedema dapat terjadi dalam beberapa menit setelah
paparan dengan sinar matahari atau sumber cahaya buatan. Histamin dan
faktor kemotaktik untuk eosinofil dan neutrofil dapat ditemukan dalam
darah setelah paparan dengan sinar ultraviolet A (UVA), UVB, dan sinar
atau cahaya yang terlihat.9
16
Gambar 6. Solar Urticaria. 13
i. Exercise-induced anaphylaxis
Exercise-induced anaphylaxis adalah gejala klinis yang kompleks terdiri
dari pruritus, urtikaria, angioedema (kutaneus, laringeal, dan intestinal),
dan sinkop yang berbeda dari cholinergic urticaria. Exercise-induced
anaphylaxis memerlukan olahraga/exercise sebagai stimulusnya. 9
j. Adrenergic urticaria
Adrenergic urticaria timbul sebagai biduran yang dikelilingi oleh white
halo yang terjadi selama stress emosional. Adrenergic urticaria terjadi
karena peran norepinefrin. Biasanya muncul 10-15 menit setelah
rangsangan faktor pencetus seperti emosional (rasa sedih), kopi, dan
coklat.9,10
k. Aquagenic urticaria and aquagenic pruritus
Kontak kulit dengan air pada temperatur berapapun dapat menghasilkan
urtikaria dan atau pruritus. Air menyebabkan urtikaria karena bertindak
sebagai pembawa antigen-antigen epidermal yang larut air. Erupsi terdiri
dari biduran-biduran kecil yang mirip dengan cholinergic urticaria.9,10
17
2.5 Patogenesis
Urtikaria terjadi karena vasodilatasi disertai permeabilitas kapiler yang
meningkat, sehingga terjadi transudasi cairan yang mengakibatkan
pengumpulan cairan setempat. Sehingga secara klinis tampak edema
setempat disertai kemerahan. Vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas
kapiler dapat terjadi akibat pelepasan mediator-mediator misalnya histamine,
kinin, serotonin, slow reacting substance of anaphylaxis (SRSA), dan
prostaglandin oleh sel mast dan atau basofil.2
18
anafilatoksin (C3a, C5a) yang mampu merangsang sel mast dan basofil,
misalnya tampak akibat venom atau toksin bakteri.
a. Gejala
Klinis tampak eritema dan edema setempat berbatas tegas dan kadang-
kadang bagian tengah tampak lebih pucat.
Bentuknya dapat papular, lentikular, numular, dan plakat.
Jika ada reaksi anafilaksis, perlu diperhatikan adanya gejala hipotensi,
respiratory distress, stridor, dan gastrointestinal distress.
19
Jika ada lesi yang gatal, dapat dipalpasi, namun tidak memutih jika
ditekan, maka merupakan lesi dari urticarial vasculitis yang dapat
meninggalkan perubahan pigmentasi.
Pemeriksaan untuk dermographism dengan cara kulit digores dengan
objek tumpul dan diamati pembentukan wheal dengan eritema dalam 5-
15 menit.
Edema jaringan kulit yang lebih dalam atau submukosa pada
angioedema.
2.7 Diagnosis
Anamnesis
20
Pemeriksaan Fisik
2. Pitiriasis rosea
Pitiriasis rosea adalah erupsi papuloskuamosa akut yang agak sering
dijumpai. Morfologi khas berupa makula eritematosa lonjong dengan
diameter terpanjang sesuai dengan lipatan kulit serta ditutupi oleh skuama
halus. Lokalisasinya dapat tersebar di seluruh tubuh, terutama pada tempat
yang tertutup pakaian. Efloresensi berupa makula eritroskuamosa anular
dan solitar, bentuk lonjong dengan tepi hampir tidak nyata meninggi dan
21
bagian sentral bersisik, agak berkeringat. Sumbu panjang lesi sesuai
dengan garis lipat kulit dan kadang-kadang menyerupai gambaran pohon
cemara. Lesi inisial (herald patch = medallion) biasanya solitary, bentuk
oval, anular, berdiameter 2-6 cm. Jarang terdapat lebih dari 1 herald
patch.7
3. Urtikaria pigmentosa
Urtikaria pigmentosa adalah suatu erupsi pada kulit berupa
hiperpigmentasi yang berlangsung sementara, kadang-kadang disertai
pembengkakan dan rasa gatal. Penyebabnya adalah infiltrasi mastosit pada
kulit. Lokalisasi terutama pada badan, tapi dapat juga mengenai
ekstrimitas, kepala, dan leher. Efloresensi berupa makula coklat-
kemerahan atau papula-papula kehitaman tersebar pada seluruh tubuh,
dapat juga berupa nodula-nodula atau bahkan vesikel.7
4. Dermatitis atopik
Dermatitis atopik adalah dermatitis yang timbul pada individu dengan
riwayat atopi pada dirinya sendiri ataupun keluarganya, yaitu riwayat asma
bronchial, rhinitis alergika, dan reaksi alergi terhadap serbuk-serbuk
tanaman. Penyebab yang pasti belum diketahui, tetapi faktor turunan
merupakan dasar pertama untuk timbulnya penyakit. Gejala utama
dermatitis atopik adalah pruritus, dapat hilang timbul sepanjang hari, tetapi
umumnya lebih hebat pada malam hari. Akibatnya penderita akan
menggaruk sehingga timbul papul, likenifikasi, eritema, erosi, ekskoriasi,
eksudasi, dan krusta. Diagnosis dermatitis atopi harus mempunyai tiga
kriteria mayor dan tiga kriteria minor dari Hanifin dan Rajka.2
22
dimulai dengan bercak eritematosa yang berbatas jelas kemudian diikuti
edema, papulovesikel, vesikel, atau bula. Vesikel atau bula dapat pecah
menimbulkan erosindan eksudasi (basah). Pada yang kronis terlihat kulit
kering, berskuama, papul, likenifikasi, dan mungkin juga fisur, batasnya
tidak jelas.2,17
3. Tes Alergi
Adanya kecurigaan terhadap alergi dapat dilakukan konfirmasi dengan
melakukan tes kulit invivo (skin prick test) dan pemeriksaan IgE spesifik
(radio-allergosorbent test-RASTs). Tes injeksi intradermal menggunakan
serum pasien sendiri (autologous serum skin test-ASST) dapat dipakai
sebagai tes penyaring yang cukup sederhana untuk mengetahui adanya
faktor vasoaktif seperti histamine-releasing autoantibodies. 20
23
4. Tes Provokasi
Tes provokasi akan sangat membantu diagnosa urtikaria fisik, bila tes-tes
alergi memberi hasil yang meragukan atau negatif. Namun demikian, tes
provokasi ini dipertimbangkan secara hati-hati untuk menjamin
keamanannya.18
d. Tes fisik
Tes fisik ini bisa dengan es (ice cube test) atau air hangat apabila
dicurigai adanya alergi pada suhu tertentu. 2
5. Pemeriksaan histopatologik
Pemeriksaan ini tidak selalu diperlukan, tetapi dapat membantu diagnosis.2
Pada urtikaria perubahan histopatologis tidak terlalu dramatis. Tidak
terdapat perubahan epidermis. Pada dermis mungkin menunjukkan
peningkatan jarak antara serabut-serabut kolagen karena dipisahkan oleh
edema dermis. Selain itu terdapat dilatasi pembuluh darah kapiler di
papilla dermis dan pembuluh limfe pada kulit yang berkaitan. Selain itu
terdapat suatu infiltrat limfositik perivaskuler dan mungkin sejumlah
eosinofil. Sel mast meningkat jumlahnya pada kulit yang bersangkutan.10
24
campuran limfosit, polymorphonuclear leukocyte (PMN), dan sel-sel
inflamasi lainnya. Infiltrasi seluler campuran tersebut mirip dengan
histopatologi dari respon alergi fase akhir. Beberapa pasien dengan
urtikaris yang sangat parah atau urtikaria atipikal memiliki vaskulitis pada
biopsi kulit. Spektrum histopatologi berhubungan derajat keparahan
penyakit, mulai dari limfositik (ringan) sampai ke vaskulitik (parah).4
2.10 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan urtikaria dapat diuraikan menjadi first-line therapy, second-
line therapy, dan third-line therapy.3
1. First-line therapy
First-line therapy terdiri dari: 3,4
25
terhadap histamin pada reseptor H1 namun efektifitas tersebut acapkali
berkaitan dengan efek samping farmakologik yaitu sedasi. Dalam
perkembangannya terdapat antihistamin yang baru yang berkhasiat
yang berkhasiat terhadap reseptor H1 tetapi nonsedasi golongan ini
disebut sebagai antihistamin nonklasik.2
2. Second-line therapy
Jika gejala urtikaria tidak dapat dikontrol oleh antihistamin saja, second-
line therapy harus dipertimbangkan, termasuk tindakan farmakologi dan
non-farmakologi.
a. Photochemotherapy
26
Hasil fototerapi dengan sinar UV atau photochemotherapy, psoralen
plus UVA (PUVA) telah disimpulkan, meskipun beberapa penelitian
menunjukkan peningkatan efektivitas PUVA hanya dalam mengelola
urtikaria fisik tapi tidak untuk urtikaria kronis.
2. Antidepresan
Antidepresan trisiklik doxepin telah terbukti dapat sebagai antagonis
reseptor H1 dan H2 dan menjadi lebih efektif dan lebih sedikit
mempunyai efek sedasi daripada diphenhydramine dalam pengobatan
urtikaria kronik. Doxepin dapat sangat berguna pada pasien dengan
urtikaria kronik yang bersamaan dengan depresi. Dosis doxepin untuk
pengobatan depresi dapat bervariasi antara 25-150 mg/hari, tetapi hanya
10-30 mg/hari yang dianjurkan untuk urtikaria kronis. Mirtazapine
adalah antidepresan yang menunjukkan efek signifikan pada reseptor
H1 dan memiliki aktivitas antipruritus. Telah dilaporkan untuk
membantu dalam beberapa kasus urtikaria fisik dan delayed-pressure
urticaria pada dosis 30 mg/hari.3
3. Kortikosteroid
Dalam beberapa kasus urtikaria akut atau kronik, antihistamin mungkin
gagal, bahkan pada dosis tinggi, atau mungkin efek samping
bermasalah. Dalam situasi seperti itu, terapi urtikaria seharusnya respon
dengan menggunakan kortikosteroid. Jika tidak berespon, maka
pertimbangkan kemungkinan proses penyakit lain (misalnya,
keganasan, mastocytosis, vaskulitis). Kortikosteroid juga dapat
digunakan dalam urticarial vasculitis, yang biasanya tidak respon
dengan antihistamin. Sebuah kursus singkat dari kortikosteroid oral
(diberikan setiap hari selama 5-7 hari, dengan atau tanpa tappering) atau
dosis tunggal injeksi steroid dapat membantu ketika digunakan untuk
episode urtikaria akut yang tidak respon terhadap antihistamin.
Kortikosteroid harus dihindari pada penggunaan jangka panjang
27
pengobatan urtikaria kronis karena efek samping kortikosteroid seperti
hiperglikemia, osteoporosis, ulkus peptikum, dan hipertensi.3,4
28
3. Third-line therapy
Third-line therapy diberikan kepada pasien dengan urtikaria yang tidak
berespon terhadap first-line dan second-line therapy. Third-line therapy
menggunakan agen immunomodulatori, yang meliputi cyclosporine,
tacrolimus, methotrexate, cyclophosphamide, mycophenolate mofetil, dan
intravenous immunoglobulin (IVIG). Pasien yang memerlukan third-line
therapy seringkali mempunyai bentuk autoimun dari urtikaria kronik.
Third-line therapy lainnya meliputi plasmapheresis, colchicine, dapsone,
albuterol (salbutamol), asam tranexamat, terbutaline, sulfasalazine,
hydroxychloroquine, dan warfarin.3
a. Immunomudulatory Agents
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa cyclosporine efektif dalam
mengobati pasien dengan urtikaria kronik yang refrakter. Cyclosporine
dengan dosis 3-5 mg/kgBB/hari menunjukkan manfaat pada dua pertiga
pasien dengan urtikaria kronik yang tidak berespon terhadap
antihistamin. Tacrolimus dengan dosis 20-µg/mL setiap hari dapat
mengobati pasien dengan corticosteroid-dependent urticaria.3
b. Plasmapheresis
Plasmapheresis telah dilaporkan dapat bermanfaat dalam pengelolaan
urtikaria autoimun kronik yang parah. Plasmapheresis saja tidak cukup
untuk mencegah akumulasi kembali autoantibodi yang melepaskan
29
histamine dan harus diselidiki dalam hubungannya dengan penggunaan
immunosuppressant pharmacotherapy.3
c. Obat lainnya
Dapsone dan/atau colchicine mungkin dapat bermanfaat dalam
mengelola urtikaria ketika infiltrat neutrophil terlihat secara histologis,
tetapi mungkin paling berguna untuk urticarial vasculitis.
Hydroxychloroquine juga telah menunjukkan hasil yang menjanjikan
dalam pengobatan urtikaria kronik idiopatik; dan telah dikaitkan
dengan respon yang baik pada hypocomplementemic urticarial
vasculitis. Meskipun ß2-adrenoceptor agonist terbutaline telah
dievaluasi untuk manajemen urtikaria kronik, penggunaannya
umumnya tidak dianjurkan karena efek samping seperti takikardia dan
insomnia yang tidak dapat ditoleransi dengan baik oleh banyak pasien.3
2.11 Prognosis
Urtikaria akut prognosisnya lebih baik karena penyebabnya cepat dapat
diatasi, sedangkan urtikaria kronik lebih sulit diatasi karena penyebabnya
sulit dicari.2
30
BAB III
ANALISIS MASALAH
Dalam kasus ini pasien laki-laki berumur 13 tahun, mengeluh timbul bercak
kemerahan di dada dan perut. Dari anamnesis didapatkan mengeluh timbul bercak-
bercak merah di seluruh tubuh, sejak 2 hari yang lalu. Pada awalnya berupa bentol
sebesar biji jagung yang timbul pada perut pasien yag beberapa jam kemudian
menyebar ke seluruh perut dan dada. Keluhan ini dirasakan tidak membaik
walaupun penderita sudah mencoba mengoleskan bedak salisil talk pada bercak
merah tersebut. Gatal dirasakan mulai mucul pada sore hingga malam hari.
Effloresensi : urtika eritematosa, berbatas tegas, bentuk dari bulat hingga plakat,
ukuran bervariasi dengan diameter 0,5cm hinga 3cm, distribusi diskret, terdapat
beberapa ekskoriasi.
31
substansi yang menempel pada kulit pada seseorang yang telah mengalami
sensitisasi terhadap suatu alergen. Penderita umumnya mengeluh gatal. Semua
bagian tubuh dapat terkena. Pada yang akut dimulai dengan bercak eritematosa
yang berbatas jelas kemudian diikuti edema, papulovesikel, vesikel, atau bula. Pada
kasus didapatkan bercak kemerahan, tetapi memilliki batas yang tegas.
Selain terapi obat, tidakan promotif dan preventif juga penting dilakukan.
Pada kasus diberikan edukasi berupa menghindari agen-agen yang dapat menjadi
penyebab terjadinya urtikaria seperti makananan (telur, gandum, kacang, seafood),
obat-obatan, menggunakan sabun yang tidak mengandung antiseptik, tidak
menggunakan pewangi pakaian.
32
LAMPIRAN
33
DAFTAR PUSTAKA
1. Wong, H.K. (2009). Urticaria, Acute. Emedicine, Artikel. Diakses 1 Mei 2012,
dari http://emedicine.medscape.com/article/1049858-print
2. Djuanda, A. (2010). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
3. Poonawalla, T., Kelly, B. (2009). Urticaria – a review. Am J Clin Dermatol;
10(1): 9-21.
4. Sheikh, J., Najib, U. (2009). Urticaria. Emedicine, Artikel. Diakses 1 Mei 2012,
dari http://emedicine.medscape.com/article/137362-print
5. Perdanakusuma, D.S. (2008). Anatomi Fisiologi Kulit dan Penyembuhan Kulit.
Surabaya Plastic Surgery, Artikel. Diakses 2 Mei 2012, dari
http://surabayaplasticsurgery.blogspot.com/2008/05/anatomi-fisiologi-kulit-
dan-penyembuhan.html
6. Gaig, P., Olona1, M., Lejarazu, D.M., et al. (2004). Epidemiology of urticaria
in Spain. J Invest Allergol Clin Immunol; 14(3): 214-220.
7. Kolodziej, K. (2005). Asthma and Exercise-Induced Anaphalaxis: A Case
Study. Cfkeep, Gambar. Diakses tanggal 1 Mei 2012, dari
http://www.cfkeep.org/html/phpThumb.php%3Fsrc%3D/uploads/uticaria.jpg
8. Lipsker, D. (2004). Schnitzler Syndrome. Orphanet, Artikel. Diakses tabnggal
1 Mei 2012, dari http://www.orpha.net/data/patho/GB/uk-schnitzler.pdf
9. Grateau, G.(2005). Muckle-Wells syndrome. Orphanet, Artikel. Diakses
tanggal 1 Mei 2012, http://www.orpha.net/data/patho/GB/uk-MWS.pdf
10. Siregar, R.S. (2005). Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta: EGC.
11. Baskoro A, Soegiarto G, Effendi C, Konthen PG. (2006). Urtikaria dan
Angioedema dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI; p.257-61.
34