Anda di halaman 1dari 46

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gangguan perdarahan uterus abnormal merupakan suatu penyakit, dimana

salah satnya adalah Disfungsional Uterine Bleeding. Disfungsi uterine bleeding

merupakan salah satu perdarahan dari uterus yang tidak ada hubungannya dengan

sebab organik, dimana terjadi perdarahan abnormal di dalam atau di luar siklus haid

oleh karena gangguan mekanisme kerja poros hipotalamus-hipofisis-ovarium-

endometrium. Perdarahan fungsional dapat terjadi pada setiap umur antara menarch

dan menopause. Tetapi kelainan ini lebih sering dijumpai sewaktu masa permulaan

dan masa akhir fungsi ovarium (Jefferey, 2015).

Dua pertiga dari wanita-wanita yang dirawat di rumah sakit untuk perdarahan

disfungsional berumur diatas 40 tahun, dan 3% dibawah 20 tahun. Sebetulnya

dalam praktek banyak dijumpai pula perdarahan disfungsional dalam masa

pubertas, akan tetapi karena keadaan ini biasanya dapat sembuh sendiri, jarang

diperlukan perawatan di rumah sakit. Klasifikasi jenis endometrium yaitu jenis

sekresi atau nonsekresi sangat penting dalam hal menentukan apakah perdarahan

yang terjadi jenis ovulatoar atau anovular (Jefferey, 2015).

Diagnosis dari PUD (Perdarahan Uterus Disfungsi) baru dapat ditegakkan bila

penyebab organik dan fungsional lain (seperti kehamilan, infeksi maupun tumor)

dari perdarahan abnormal tersebut sudah disingkirkan. Karena itu diagnosis PUD

seringkali membutuhkan waktu yang lama. Terapinya tergantung dari usia

penderita, waktu,dan intensitas perdarahan. Hingga tahun 1980-an, histerektomi

sering digunakan untuk mengatasi perdarahan uterus yang berat, tetapi saat inicara

1
tersebut bukan merupakan pilihan yang utama, terutama pada wanita yang masih

ingin memiliki anak. Dilatasi dan kuretase juga dapat dilakukan sebagai upaya

pengobatan, namun di Indonesia cara ini tabu dilakukan pada wanita yang belum

menikah, karena himen sangat tinggi nilainya, oleh karena itu usaha pengobatan

secara hormonal menjadi salah satu pilihan walaupun pemberiannya harus diawasi

secara ketat karena memiliki banyak efek samping (Jefferey, 2015).

Perdarahan uterus abnormal merupakan perdarahan yang ditandai dengan

adanya perubahan pada siklus menstruasi normal baik dari interval atau panjang

siklus, durasi maupun jumlah perdarahan. Hal ini sering dijumpai pada wanita pada

usia reproduksi (Singh S, et. al. 2013). Berdasarkan data yang didapatkan di

beberapa negara industri, sebanyak 25% penduduk perempuan pernah mengalami

menoragia, 21% mengeluh siklus menstruasi yang memendek, 17% mengalami

perdarahan intermenstrual, dan 6% mengalami perdarahan pascacoitus

(Prawirohardjo S, 2011).

Penyebab dari perdarahan uterus abnormal beraneka ragam. Untuk

mendiagnosis perdarahan uterus abnormal diperlukan anamnesis yang mencakup

pengenalan akan manifestasi klinis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang

yang sesuai. Tatalaksananya pun juga beragam sesuai dengan penyebab dan

patofisiologi yang mendasarinya. Oleh karena itu, penulis merasa perlu untuk

membahas mengenai perdarahan uterus abnormal.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Perdarahan uterus abnormal merupakan perdarahan yang ditandai dengan

adanya perubahan pada siklus menstruasi normal baik dari interval atau panjang

siklus, durasi maupun jumlah perdarahan. Siklus menstruasi yang normal biasanya

memiliki interval atau panjang selama 28±7 hari, durasi selama 4±3 hari, dan

jumlah perdarahan sebanyak 30 – 80 ml (Singh S. et. al, 2013).

Perdarahan uterus abnormal (PUA) meliputi semua kelainan haid baik dalam

hal jumlah maupun lamanya. Manifestasi klinis dapat berupa perdarahan banyak,

sedikit, siklus haid yang memanjang atau tidak beraturan (Badziad, A. dkk, 2011).

Terdapat beberapa terminologi yang menunjukkan adanya perubahan tersebut

seperti menoragia yaitu durasi menstruasi yang lebih lama dari tujuh hari atau

jumlah perdarahan lebih dari 80 ml, metroragia yaitu perdarahan intermenstrual,

menometroragia yaitu gabungan antara menoragia dan metroragia, hipomenore

yaitu perdarahan dengan durasi yang lebih pendek atau jumlah perdarahan yang

lebih sedikit dari menstruasi normal, oligomenore yaitu siklus menstruasi dengan

interval lebih lama dari 35 hari (Hoffman BL, et. al. 2012).

Terminologi menoragia saat ini diganti dengan perdarahan haid banyak atau

heavy menstrual bleeding (HMB) sedangkan perdarahan uterus abnormal yang

disebabkan faktor koagulopati, gangguan hemostatis lokal endometrium dan

gangguan ovulasi merupakan kelainan yang sebelumnya termasuk dalam

perdarahan uterus disfungsional (PUD). (Badziad, A. dkk, 2011).

3
Perdarahan uterus abnormal dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu

perdarahan anovulasi dan ovulasi. Perdarahan anovulasi mempunyai karakteristik

perdarahan yang iregular dengan jumlah perdarahan yang bervariasi dari sedikit

hingga banyak. Yang termasuk dalam perdarahan anovulasi diantaranya amenorea

(tidak terjadinya menstruasi selama lebih dari tiga bulan), oligomenore, metroragia,

dan perdarahan uterus disfungsi (perdarahan uterus abnormal yang terjadi tanpa

adanya keadaan patologi pada panggul). Perdarahan ovulasi mempunyai

karakteristik perdarahan yang regular tetapi dengan durasi yang lebih lama dan

jumlah perdarahan yang lebih banyak. Yang termasuk perdarahan ovulasi yaitu

menoragi (Sweet MG, et. al. 2012).

2.2 Epidemiologi

Perdarahan uterus abnormal merupakan keluhan yang sering dijumpai pada

wanita pada usia reproduksi.1 Menurut penelitian Lee et al., keluhan ini banyak

terjadi pada masa awal terjadinya menstruasi. Sebanyak 75% wanita pada tahap

remaja akhir memiliki gangguan yang terkait dengan menstruasi. Penelitian yang

dilakukan Bieniasz J et al. pada remaja wanita menunjukan prevalensi amenorea

primer sebanyak 5,3%, amenorea sekunder 18,4%, oligomenorea 50%,

polimenorea 10,5%, dan gangguan campuran sebanyak 15,8% (Sianipar O, et al.

2009).

Berdasarkan data yang didapatkan di beberapa negara industri, sebanyak

seperempat penduduk perempuan pernah mengalami menoragia, 21% mengeluh

siklus menstruasi yang memendek, 17% mengalami perdarahan intermenstrual, dan

6% mengalami perdarahan pascakoitus (Prawirohardjo S, 2011).

4
2.3 Etiologi

Penyebab terjadinya perdarahan uterus abnormal akut maupun kronis

merupakan multifaktorial. Menstrual Disorders Working Group of the International

Federation of Gynecology and Obstetrics menyatakan sistem klasifikasi dan

terminologi standarisasi untuk etiologi pada gejala perdarahan uterus abnormal.

Etiologi diklasifikasikan berdasarkan penyebab yang berkaitan dengan

abnormalitas struktur uterus dan tidak berkaitan dengan abnormalitas struktur yang

dinyatakan dalam akronim PALM-COEIN : Polyp, Adenomyosis, Leiomyoma,

Malignancy, dan hyperplasia, Coagulatopathy, Ovulatory dysfunction,

Endometrial, Iatrogenic, dan tidak terklasifikasikan (Munro MG, et al. 2011).

Penyebab perdarahan iregular berkaitan dengan usia dan usia reproduktif (The

royal A, 2007).

Kelompok Usia

15-20 20-30 30-45 45-55 55+

STI : Servisitis (terutama Hormon replacing therapy

chlamydia) Kanker endometrium

Ektropion servikal

Polip endometrium

Endometrium hiperplasia

Uterine fibroid

Alat kontrasepsi dalam rahim

Hamil dan komplikasinya: keguguran/ hamil ektopik

Kontrasepsi steroid (terutama progesteron)

Endometriosis

Trauma / operasi

5
Sebab-sebab organik yaitu perdarahan dari uterus, tuba, dan ovarium

disebabkan oleh kelainan pada : (Jefferey, 2015).

1. Serviks uteri, seperti polipus servitis uteri, erosio prosionis uteri, ulkus

pada porsio uteri, karsinoma servisis uteri.

2. Korpus uteri, seperti polip endometrium, abortus iminens, abortus

inkompletus, mola hidatidosa, koriokarsinoma, subinvolusio uteri,

karsinoma korposis uteri, sarkoma uteri, mioma uteri.

3. Tuba Falopii, seperti kehamilan ektopik terganggu, radang tuba, tumor

tuba.

4. Ovarium seperti radang ovarium, tumor ovarium.

2.4 Fisiologi Menstruasi

Endometrium merupakan lapisan epitel yang melapisi rongga rahim.

permukaannya terdiri dari selapis sel kolumnar yang bersilia dengan kelenjar

sekresi mukosa rahi yang berbentuk invaginasi kedalam stroma selular. kelenjar

dan stroma mengalami perubahan yang siklik, bergantian antara pengelupasan dan

pertumbuhan baru setiap sekitar 28 hari (Prawirohardjo, 2014).

Endometrium terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan fungsional letaknya

superfisial yang akan mengelupas setiap bulan dan lapisan basal yang tidak ikut

mengelupas. Epitel lapisan fungsional menunjukkan perubahan proliferasi yang

aktif setelah periode haid sampai terjadi ovulasi, kemudian kelenjar endometrium

sekresi. kerusakan yang permanen lapisan basal akan menyebabkan amenorea

(Prawirohardjo, 2014).

6
Perempuan merupakan salah satu yang mempunyai siklus reproduksi bulanan

setiap 28 hari. Proses siklus menstruasi sangat kompleks karena pengaruh

hormonal dan keadaan mikronitra folikel bersumber autokrine serta parakrine.

Sistem koordinasinya harus diketahui, untuk menganalisa berbagai kelainan siklus

menstruasi. Proses menstuasi terdiri dari : (Manuaba, 2010).

1. Fase folikuler

2. Fase ovulasi

3. Fase luteal

Ketiga fase ini dikendalikan oleh sistem hormonal hipotalamus hipofisis serta

ovarium dan organ akhir yang dipengaruhi olehkombinasi hormon estrogen dan

progesteron (Manuaba, 2010).

Pematangan folikel dan ovulasi dikontrol oleh hipotalamus hipofisis oavarium.

hipotalamus mengontrol siklus tetapi ia sendiri dapat dipengaruhi oleh senter yang

lebih tinggi di otak misalnya kecemasan dan stres. hipotalamus memacu kelenjar

hipofisi dengan menyekresikan GnRH suatu dekade peptide yang disekresi secara

pulsatil oleh hipotalamus.Pulsasi sekitar 90 menit menyekresi GnRH melalui

pembuluh darah kecil di sistem portal kelenjar hipofisi ke hipofisis anterior,

ginadotropin hipofisi memacu sintesis dan pelepasan FSH dan LH. FSH adalah

hormon glikoprotein yang memacu pematangan folikel selama fase folikular dari

siklus. FSH juga membantu LH memacu sekresi hormon sterodi terutama estrogen

oleh sel granulosa dari folikel matang. LH juga termasuk glikoprotein. LH ikut

dalam steroidogenesis dalam folikel dan berperan penting dalam ovulasi yang

tergantung pada mid cycle surge dari LH. Produksi progesteron oleh korpus luteum

juga dipengaruhi oleh LH. FSH dan LH dan dua hormon glikoprotein lainnya yaitu

thyroid stimulating hormon (TSH) dan human chorionic gonadotropin (hCG)

7
dibentuk oleh dua subunit protein rantai alfa dan beta. Siklus haid terdiri dari dua

siklus, yaitu siklus ovarium dan siklus endometrium. (Prawirohardjo, 2014).

1. Siklus ovarium terdiri dari beberapa fase : (Prawirohardjo, 2014).

a. Fase Folikular/ Preovulasi

Panjang fase folikuler mempunyai variasi yang cukup lebar. Pada

umumnya berkisar antara 10-14 hari. Selama fase ini didapatkan proses

steroidogenesis, folikulogenesis dan oogenesis/meiosis yang saling

terkait. Selama fase folikular, kadar estrogen meningkat pada

pertumbuhan yang paralel dari folikel yang dominan dan peningkatan

jumlah dari sel granulosa. Sel granulosa tempat ekslusif dari reseptor

FSH. Peningkatan sirkulasi FSH selama fase luteal dari siklus

sebelumnya merangsang peingkatan dari reseptor FSH dan

kemampuan untuk mengaromatisasi sel theka untuk derivat

androstenedion menjadi estradiol. FSH menginduksi enzim aromatase

dan pelebaran antrum dari folikel yang bertumbuh. Folikel dengan

kelompok sangat berespon terhadap FSH seperti untuk memproduksi

dan mengawali tanda dari reseptor LH. Setelah terlihat reseptor LH, sel

granulosa preovulasi mulai untuk mensekresi sejumlah progesteron.

Sekresi preovulasi progesteron, walaupun jumlahnya terbatas,

dipercaya untuk mengirimkan feedback positif pada estrogen utama

hipofisis yang menyebabkan atau membantu menambah pelepasan LH.

Selama fase folikuler lambat, LH menstimulasi produksi sel theka dari

androgen. Terutama androstenedion, yang kemudian dilanjutkan ke

folikel dimana mereka dimetabolisme menjadi estradiol. Selama fase

folikel awal, sel granulosa juga menghasilkan inhibin B, yang

8
menghambat pelepasan FSH. Karena folikel dominan mulai

berkembang, hasil dari estradiol dan inhibin meningkat, menghasilkan

penurunan FSH. Penurunan ini bertanggung jawab untuk kegagalan

dari folikel lain untuk mencapai preovulasi tingkat folikel the Graaf

selama satu siklus. Jadi, 95 persen dari estradiol plasma diproduksi

pada waktu itu disekresi oleh folikel dominan, yang dipersiapkan untuk

ovulasi.

b. Fase Ovulasi

Ovulasi merupakan peningkatan kadar estrogen yang menghambat

pengeluaran FSH, kemudian hipofise mengeluarkan LH (lutenizing

hormon). Peningkatan kadar LH merangsang pelepasan oosit sekunder

dari folikel. Folikel primer primitif berisi oosit yang tidak matur (sel

primordial). Sebelum ovulasi, satu sampai 30 folikel mulai matur

didalam ovarium dibawah pengaruh FSH dan estrogen. Lonjakan LH

sebelum terjadi ovulasi mempengaruhi folikel yang terpilih. Di dalam

folikel yang terpilih, oosit matur dan terjadi ovulasi, folikel yang

kosong memulai berformasi menjadi korpus luteum. Korpus luteum

mencapai puncak aktivitas fungsional 8 hari setelah ovulasi, dan

mensekresi baik hormon estrogen maupun progesteron.

c. Fase Luteal/Post-ovulasi

Setelah terjadi ovulasi, korpus luteum berkembang dari tetai dominan

atau folikel de Graff pada proses ini disebut sebagai lutenisasi. Ruptur

dari folikel mengawali berbagai perubahan morfologi dan kimiawi

mengakibatkan transformasi menjadi korpus luteum. Membran basalis

pemisah dari sel granulosa luteal dan theka luteal rusak, dan hari kedua

9
postovulasi, pembuluh darah dan kapiler menembus ke lapisan sel

granulosa. Neovaskularisasi yang cepat pada granulosa avaskuler

dikarenakan variasi dari faktor angiogenik meliputi faktor

pertumbuhan endotel vaskuler dan produksi lain pada respon terhadap

LH oleh sel theka lutein dan granulosa lutein. Selama luteinisasi, sel

itu mengalami hipertrofi dan meningkat kapasitas mereka untuk

mensintesis hormon. Pada wanita, masa hidup dari korpus luteum

tegantung pada LH atau Human Chorionic Gonadotropin (hCG). Pada

siklus normal wanita, korpus luteum dipertahankan oleh frekuensi

rendah, amplitudo tinggi dari sekresi LH oleh gonadotropin pada

hipofisis anterior.

2. Perubahan endometrium pada terjadinya menstruasi (Manuaba, 2010).

Perubahan Keterangan perubahan akibat seks hormonal


endometrium
Fase proliferasi 1. sekitar 2/3 endometrium lepas saat menstruasi
endometrium 2. reepitelialisasi hari ke 5 samapi hari ke 8-9 post
menstruasi
3. diikiuti pembentukan vaskularisasinya :
a. Art spiralis, tegak lurus dari art arkuatus
b. tebal endometrium 2 mm, berkembang
sampai 2-3 hari ovulasi menjadi 5 mm
c. pembuluh darah prominen, untuk
pertumbuhan dan memberikan aliran darah
saat kehamilan
d. Phase proliferasi dipengaruhi stradiol 17
betha folikel dominan secara tunggal
Phase proliferasi 1. Endometrium mengalami hiperplasia dan
stadia lanjut hipertrofi
2. Tebalnya menjadi sekitar 5 mm

10
a. kelenjar berkelok-kelok, stroma longgar
akibat edema mengandung banyak protein/
nutrisi
b. menjelang ovulasi sel kelenjar semakin
tinggi dan berbentuk pseudo epithel bertatah
3. Phase sekresi tetap sehingga perubahan
menstruasi bersumber phase proliferasi
4. Arteria spiralisnya menjadi:
a. lebih panjang dari bagian kompakta,
sehingga mempunyai bentuk spiral
(berkelok-kelok)
b. membentuk kapiler sampai permukaan
endometrium yang akan didestruksi
sitotrophoblas untuk mendapatkan nutrisi
endometrium
5. Keberadaan art spiralis sangat unik:
a. mengalami vasokonstriksi sebagai tanda
mulai inisiasi menstruasi
b. membatasi hilangnya darah menstruasi
c. dalam situasi hamil mempertahankan aliran
darah menuju retroplasenter sirkulasi.
Post ovulasi, fase 1. folikel menjadi korpus rubrum dan korpus
luteal luteum mengeluarkan hormon kombinasi:
a. estrogen dan progesteron
b. mengubah phase prolifersi menjadi phase
sekresi endometrium
2. umur korpus luteum terbatas dan sejak hari 7-8
mulai penurunan sekresi estradiol-estrogen dan
progesteron menyebabkan persiapan menstruasi:
a. transportasi growth betha berperanan:
- memadatkan bagia kompakta
endometrium
- progesteron berfungsi pada endometrium

11
yang menyebabkan terjadinya menstruasi
b. endometrium mengalami vakuolisasi
penampungan perdarahan menstruasi
sebelum sampai manifestasi kliniknya.
3. perubahan arteia endometrium
a. art lurus memberikan aliran bagian basal
endometrium tidsk ikut dslsm proses
menstruasi
b. arteria spiralis yang berasal dari art arkuatus
ikut serta dalam proses menstruasi
c. setelah cukup memberikan vaskularisasi
tekanan intravaskular meningkat
menyebabkan hambatan aliran darah menuju
endometrium
4. endometrium dapat mengeluarkan bioaktif
a. endothelin 1 bioaktif vasokontriksi vaskuler
b. interleukin 8 menarik neutrophil
c. monocyte chemotactic protein 1 dirangsang
transforming growt factor 1 terjadi infiltasi
leukosit menuju endometrium, infiltrasi
implamasi
d. interleukin 15 merangsang pembentukan
natural killer cell
5. darah art spiralis diatur endometrium dengan
pengeluaran vasoaktif material
a. menyebabkan kerusakan endothel pembuluh
darah, mengeluarkan prostaglandine
didahului pelepasan asam arakhidonik
b. PGF2 sebagai vasokonstriktor aktif
menyebabkan ishemia endometrium
kompakta diikuti ekstravasasi perdarahan
c. PGE 2 dan PGI2 (prostasiklin) merupakan
vasodilatator sehingga endometrium

12
mengalami silih berganti vasokonstriksi dan
dilatasi menyebabkan proses deskuamasi
Mulainya 1. perdarahan mulai dari arterioli dan vena,
perdarahan pecahnya pembuluh darah arterioli menimbulkan
menstruasi perdarahan hematoma
2. hematoma mendorong bagian kompakta
endometrium dan sampai pecah
3. pecahnya endometrium dari pengaruh hormonal
4. perdarahan menstruasi berhenti bila terjadi:
a. vasokonstriksi pembuluh darah
b. pembentukan trombus ujung pembuluh darah
c. epithelisasi sejak hari ke-5 menstruasi dan
berakhir hari ke 9-10
5. darah menstruasi mengalami hemolisis sehingga
encer tanpa gumpalan darah.

2.5 Patofisiologi

Endometrium terdiri dari dua lapisan yang berbeda yaitu lapisan fungsionalis

dan lapisan basalis Lapisan basalis terletak di bawah lapisan fungsionalis,

berkontak langsung dengan miometrium, dan kurang responsif terhadap hormon.

Lapisan basalis berfungsi sebagai reservoir untuk regenerasi pada saat menstruasi

sedangkan lapisan fungsionalis mengalami perubahan sepanjang siklus menstruasi

dan akhirnya terlepas saat menstruasi. Secara histologis, lapisan fungsionalis

memiliki epitel permukaan yang mendasari pleksus kapiler subepitel

(Prawiroharjo, S. 2011).

Uterus divaskularisasi oleh dua arteri uterina. Di lateral bawah uterus, arteri

uterina pecah menjadi dua cabang yaitu arteri vaginalis yang mengarah ke bawah

dan cabang asenden yang mengarah ke atas. Cabang asenden dari kedua sisi uterus

membentuk dua arteri arkuata yang berjalan sejajar dengan kavum uteri. Kedua

13
arteri arkuata tersebut membentuk anastomose satu sama lain, membentuk cincin

yang melingkari kavum uteri. Arteri radialis merupakan cabang kecil arteri arkuata

yang berjalan meninggalkan arteri arkuata secara tegak lurus menuju kavum uteri.

Arteri radialis memiliki fungsi untuk memperdarahi miometrium lalu pada saat

memasuki lapisan endometrium, arteri radialis memberi cabang arteri yang lebih

kecil ke arah lateral yaitu arteri basalis. Arteri basalis memiliki fungsi untuk

memperdarahi lapisan basalis endometrium dan tidak sensitif terhadap stimulus

hormon. Arteri radialis kemudian memasuki lapisan fungsionalis endometrium dan

menjadi arteri spiralis. Arteri spiralis sangat peka terhadap stimulus hormon dan

bertugas untuk memperdarahi lapisan fungsionalis endometrium (Prawiroharjo, S.

2011).

Sebelum terjadinya menstruasi, pada arteri ini terjadi peningkatan statis aliran

darah, kemudian terjadi vasodilatasi dan perdarahan dari arteri spiralis dan dinding

kapiler. Maka dari itu darah menstruasi akan hilang melalui pembuluh darah

tersebut. Hal ini diikuti dengan terjadinya vasokonstriksi yang menyebabkan

iskemi dan nekrosis endometrium. Jaringan nekrotik tersebut lalu luruh saat

menstruasi (Hoffman, BL. et. al, 2012).

Perdarahan uterus disfungsional anovulasi merupakan pendarahan tidak teratur

yang berkepanjangan dan berlebihan disebabkan oleh terganggunya fungsi aksis

hipotalamushipofisis-ovarium. Hal ini sering terjadi pada wanita dalam usia

ekstrim, yaitu pada masa perimenarchal dan perimenopausal. Pada masa tersebut

terjadi perubahan siklus antara ovulasi dan anovulasi sehingga mengakibatkan

keketidakteraturan pola menstruasi serta kehilangan darah dalam jumlah yang

banyak. Mekanisme anovulasi tidak diketahui secara pasti, tetapi diketahui bahwa

estrogen dapat menyebabkan proliferasi endometrium berlebihan dan hiperplasia

14
dengan peningkatan dan melebar pembuluh darah dan supresi arteri spiralis.

Pembuluh darah superfisial pada permukaan endometrium yang hiperplasia

menjadi besar, berdinding tipis, dan melengkung. Perubahan tersebut yang menjadi

sumber terjadinya peningkatan kehilangan darah. Paparan estrogen secara terus

menerus memiliki efek langsung terhadap pasokan darah uterus dengan

mengurangi tonus pembuluh darah. Efek tidak langsung dari estrogen melalui

penghambatan terlepasnya vasopresin yang menyebabkan vasodilatasi dan

peningkatan aliran darah. Estrogen juga merangsang ekspresi VEGF (Vascular

Endothelial Growth Factor) stroma yang dapat menyebabkan terganggunya

angiogenesis (Hoffman, BL. et. al, 2012).

Perdarahan uterus disfungsional ovulasi ditandai dengan episode reguler

kehilangan menstruasi berat, dengan 90% dari kerugian pada 3 hari pertama seperti

pada menstruasi normal. Tidak ada gangguan aksis hipotalamus-hipofisis-ovarium

dan gonadotropin dan profil steroid tidak berbeda dengan yang terlihat pada siklus

menstruasi normal. Penurunan kadar estrogen dan progesteron pada akhir fase

luteal memicu banyak proses yang mengarah terjadinya disintegrasi diikuti

epitelisasi kembali lapisan fungsional endometrium selama menstruasi. Defek

utama terdapat dalam mengontrol proses volume darah yang hilang selama

menstruasi, terutama proses vasokonstriksi dan hemostasis. Perubahan fase

folikular aliran darah endometrium pada wanita dengan perdarahan uterus

disfungsional ovulasi mempengaruhi gangguan fungsi yang terjadi dalam jaringan.

Jumlah estrogen di kelenjar dan stroma serta reseptor progesteron di endometrium

dapat meningkat saat fase sekresi akhir pada wanita yang menderita perdarahan

uterus disfungsional. Salah satu faktor yang berperan dalam membatasi kehilangan

banyak darah selama menstruasi yaitu prostaglandin. Pelepasaan prostaglandin

15
(PG) di endometrium dipengaruhi oleh kadar steroid yang bersirkulasi. PGF2α

merupakan salah satu substansi poten untuk mencegah agregrasi platelet dan

formasi plak hemostatik. Peningkatan reseptor PGE2 dan PGI2 menjadi faktor

predisposisi terjadinya vasodilatasi pada wanita dengan menoragia. Peningkatan

sintesis PGI2 menjadi prekursor dalam perdarahan uterus disfungsional ovulasi.

Pengobatan antiprostaglandin efektif dalam pengobatan perdarahan uterus

disfungsional dengan mengurangi sintesis PG di endometrium dan disertai

penghambatan menempelnya PGE pada reseptornya (Chittacharoen, A. dkk, 2010).

2.6 Klasifikasi

Atas dasar patofisiologi hormonal terjadinya PUD, SPEROFF

mengelompokkannya dalam 3 bentuk PUD, yaitu : (Nedra D, 2011).

a. Estrogen breakthrough bleeding” (Perdarahan bercak estrogen)

Pada keadaan ini, kenaikan kadar estrogen berlangsung secara lamban,

sehingga mekanisme umpan balik negatif tidak terjadi. Akibatnya kadar FSH

dan LH akan tetap meningkat, walaupun tidak dicapai lonjakan LH. Dengan

demikian rangsangan oleh estrogen akan berkepanjangan (fase proliferasi),

sehingga endometrium akan menjadi hiperplastik. Mekanisme lain yang

menyebabkan terjadinya perdarahan, adalah karena tebal endometrium yang

berlebihan, maka pada suatu saat akan timbul gangguan vaskularisasi di lapisan

permukaan, sehingga terjadi nekrosis dan perdarahan.

b. Estrogen withdrawal bleeding” (Perdarahan lucut estrogen)

Kenaikan estrogen pada keadaan ini tidak mampu memacu terjadinya lonjakan

LH, sehingga ovulasi tidak terjadi. Akan tetapi mekanisme umpan balik negatif

tetap terjadi sehingga penurunan kadar FSH akan mengakibatakan turunnya

16
kadar estrogen secara mendadak, yang mengakibatkan terkelupasnya lapisan

endometrium, walaupun kemudian tidak diikuti proses iskemi pembuluh darah

seperti haid normal, sehingga pengelupasan akan berlangsung secara tidak

sempurna dan berkepanjangan.

c. Progesteron breakthrough bleeding (Perdarahan bercak progesterone)

Perdarahan terjadi akibat tidak seimbangnya perbandingan antara kadar

estrogen dan progesteron.

Penggolongan standar dari perdarahan abnormal dibedakan menjadi 7 pola:

(Badziad, A. dkk, 2011).

1. Menoragia (hipermenorea)

Yaitu perdarahan menstruasi yang banyak dan memanjang. Adanya bekuan-

bekuan darah tidak selalu abnormal, tetapi dapat menandakan adanya

perdarahan yang banyak. Perdarahan yang ‘gushing’ dan ‘open-faucet’ selalu

menandakan sesuatu yang tidak lazim. Mioma submukosa, komplikasi

kehamilan, adenomiosis, IUD, hiperplasia endometrium, tumor ganas, dan

perdarahan disfungsional adalah penyebab tersering dari menoragia.

2. Hipomenorea (kriptomenorea)

Yaitu perdarahan menstruasi yang sedikit, dan terkadang hanya berupa bercak

darah. Obstruksi seperti pada stenosis himen atau serviks mungkin sebagai

penyebab. Sinekia uterus (Asherman’s Syndrome) dapat menjadi penyebab

dan diagnosis ditegakkan dengan histerogram dan histeroskopi. Pasien yang

menjalani kontrasepsi oral terkadang mengeluh seperti ini, dan dapat

dipastikan ini tidak apa-apa.

17
3. Metroragia (perdarahan intermenstrual)

Yaitu perdarahan yang terjadi pada waktu-waktu diantara periode menstruasi.

Perdarahan ovulatoar terjadi di tengah-tengah siklus ditandai dengan bercak

darah, dan dapat dilacak dengan memantau suhu tubuh basal. Polip

endometrium, karsinoma endometrium, dan karsinoma serviks adalah

penyebab yang patologis. Pada beberapa tahun administrasi estrogen eksogen

menjadi penyebab umum pada perdarahan tipe ini.

4. Polimenorea

Yaitu periode menstruasi yang terjadi terlalu sering. Hal ini biasanya

berhubungan dengan anovulasi dan pemendekan fase luteal pada siklus

menstruasi.

5. Menometroragia

Yaitu perdarahan yang terjadi pada interval yang iregular. Jumlah dan durasi

perdarahan juga bervariasi. Kondisi apapun yang menyebabkan perdarahan

intermenstrual dapat menyebabkan menometroragia. Onset yang tiba-tiba dari

episode perdarahan dapat mengindikasikan adanya keganasan atau komplikasi

dari kehamilan.

6. Oligomenorea

Adalah periode menstruasi yang terjadi lebih dari 35 hari. Amenorea

didiagnosis bila tidak ada menstruasi selama lebih dari 6 bulan. Volume

perdarahan biasanya berkurang dan biasanya berhubungan dengan anovulasi,

baik itu dari faktor endokrin (kehamilan, pituitari-hipotalamus) ataupun faktor

sistemik (penurunan berat badan yang terlalu banyak). Tumor yang

mengekskresikan estrogen menyebabkan oligomenorea terlebih dahulu,

sebelum menjadi pola yang lain.

18
7. Perdarahan kontak (perdarahan post-koitus)

Perdarahan post-koitus harus dianggap sebagai tanda dari kanker leher rahim

sebelum dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Penyebab lain dari perdarahan

kontak yang lebih sering yaitu servikal eversi, polip serviks, infeksi serviks

atau vagina (Tichomonas) atau atropik vaginitis. Hapusan sitologi negatif

tidak menyingkirkan diagnosis kanker serviks invasif, kolposkopi dan biopsi

sangat dianjurkan untuk dilakukan.

Klasifikasi perdarahan uterus abnormal berdasarkan jenis perdarahan: (Badziad, A.

dkk, 2011).

1. Perdarahan uterus abnormal akut

Perdarahan yang banyak sehingga perlu dilakukan penanganan segera untuk

mencegah kehilangan darah. Pendarahan uterus abnormal akut dapat terjadi

pada kondisi perdarahan uterus abnormal kronik atau tanpa riwayat sebelumnya

2. Perdarahan uterus abnormal kronik

Perdarahan yang telah terjadi lebih dari tiga bulan. Kondisi ini biasanya tidak

memerlukan penanganan yang segera seperti perdarahan uterus abnormal akut

3. Perdarahan tengah (intermenstrual bleeding)

Perdarahan yang terjadi diantara dua siklus menstruasi yang teratur.

Pendarahan dapat terjadi kapan saja atau dapat juga terjadi di waktu yang sama

setiap siklus.

Investigasi dan manajemen PUA pada wanita umur reproduktif tidak hamil

sering membingungkan dan berdasarkan pada nomenklatur yang tidak konsisten

sehingga perlu diciptakan metode terstandarisasi untuk kategorisasi berbagai

etiologi potensial (FIGO, 2011).

19
Federation of International Gynecology and Obstetrics (FIGO) telah

mengklasifikasikan etiologi PUA menjadi 9 kategori utama yang disingkat menjadi

PALM-COEIN: polyp, adenomyosis, leimyoma, malignancy and hyperplasia,

coagulopathy, ovulatory dysfunction, endometrial, iatrogenic, dan not yet classified

(FIGO, 2011).

Sistem klasifikasi dasar terdiri dari 4 kategori etiologi yang dapat terdefinisi

secara visual anatomik (PALM) dan 4 etiologi yang tidak berhubungan dengan

kelainan struktural (COEIN) (FIGO, 2011).

Gambar. Sistem klasifikasi dasar (FIGO Working Group on Menstrual Disorder, 2011)

Berdasarkan International Federation of Gynecology and Obstetrics (FIGO),

terdapat 9 kategori utama disusu sesuai dengan akronim “PALM COEIN” yakni ;

polip, adenomiosis, leiomioma, malignancy dan hiperplasia, coagulopathy,

20
ovulatory dysfunction, endometrial, iatrogenik, dan not yet classified (FIGO

Working Group on Menstrual Disorder, 2011).

Kelompok PALM merupakan kelainan struktur yang dapat dinilai dengan

berbagai teknik pencitraan dan atau pemeriksaan histopatologi. Kelompok

“COEIN” merupakan kelinan non strruktural yang tidak dapat dinilai dengan

teknik pencitraan atau histopatologi. Sistem klasifikasi tersebut disusun

berdasarkan pertimbangan bahwa seorang pasien dapat memiliki satu atau lebih

faktor penyebab PUA (FIGO Working Group on Menstrual Disorder, 2011).

A. Polip (PUA-P)

 Definisi : Pertumbuhan lesi lunak pada lapisan endometrium uterus,

baik bertangkai maupun tidak, berupa pertumbuhan berlebih dari

stroma dan kelenjar endometrium dan dilapisi oleh epitel endometrium\

 Gejala :

o Polip biasanya bersifat asimptomatik, tetapi dapat pula

menyebabkan PUA.

o Lesi umumnya jinak, namun sebagian kevcil atipik atau ganas.

 Diagnostik :

- Diagnosis polip ditegakkan berdasarkan pemeriksaan USG dan

atau histeroskopi, dengan atau tanpa hasil histopatologi.

- Histopatologi pertumbuhan eksesif lokal dari kelenjar dan stroma

endometrium yang memiliki vaskularisasi dan dilapisi oleh epitel

endometrium

B. Adenomiosis (PUA-A)

 Definisi : Dijumpai jaringan stroma dan kelenjar endometrium ektopik

pada lapisan miometrium

21
 Gejala :

- Nyeri haid, nyeri saat snggama, nyeri menjelang atau sesudah haid,

nyeri saat buang air besar, atau nyeri pelvik kronik

- Gejala nyeri tersebut diatas dapat disertai dengan perdarahan

uterus abnormal.

 Diagnostik :

- Kriteria adenomiosis ditentukan berdasarkan kedalaman jaringan

endometrium pada hasil histopatologi

- Adenomiosis dimasukkan ke dalam sistem klasifikasi berdasarkan

pemeriksaan MRI dan USG

- Mengingat terbatasnya fasilitas MRI, pemeriksaan USG cukup

untuk mendiagnosis adenomiosis

- Hasil USG menunjukkan jaringan endometrium heterotopik pada

miometrium dan sebagian berhubungan dengan adanya hipertrofi

miometrium.

- Hasil histopatologi menunjukkan dijumpainya kelenjar dan stroma

endometrium ektopik pada jaringan miometrium.

C. Leiomioma (PUA-L)

 Definisi : Pertumbuhan jinak otot polos uterus pada lapisan

miometrium

 Gejala :

- Perdarahan uterus abnormal

- Penekanan terhadap organ sekitar uterus, atau benjolan dinding

abdomen

22
 Diagnostik :

- Mioma uteri umumnya tidak memberikan gejala dan biasanya

bukan penyebab tunggal PUA

- Pertimbangan dalam membuat sistem klasifikasi mioma uteri yakni

hubungan mioma uteri denga endometrium dan serosa lokasi,

ukuran, serta jumlkah mioma uteri.

Berikut adalah klasifikasi mioma uteri :

1. Primer : ada atau tidaknya satu atau lebih mioma uteri

2. Sekunder : membedakan mioma uteri yang melibatkan

endometrium (mioma uteri submukosum) dengan jenis mioma uteri

lainnya.

3. Tersier : Klasifikasi untuk mioma uteri submukosum, intramural

dan subserosum.

D. Malignancy and hyperplasia (PUA-M)

 Definisi : Pertumbuhan hiperplastik atau pertumbuhan ganas dari

lapisan endometrium

 Gejala : Perdarahan uterus abnormal

 Diagnostik :

- Meskipun jarang ditemukan, namun hiperplasia atipik dan

keganasan merupakan penyebab penting PUA

- Klasifikasi keganasan dan hiperplasia menggunakan sistem

klasifikasi FIGO dan WHO

- Diagnostik pasti ditegakkan berdarkan pemeriksaan histopatologi.

23
E. Coagulopathy (PUA-C)

 Definisi : Gangguan hemostatis sistemik yang berdampak terhadap

perdarahan uterus

 Gejala : Perdarahan uterus abnormal

 Diagnostik :

- Terminologi koagulopati digunakan untuk kelainan hemostatis

sistemik yang terkait dengan PUA

- 13% perempuan dengan perdarahan haid banyak memiliki kelainan

hemostatis sistemik, dan yang paling sering ditemukan adalah

penyakit von Willebrand

F. Ovulatory dysfunction (PUA-O)

 Definisi : Kegagalan ovulasi yang menyebabkan terjadinya perdarahan

uterus

 Gejala : Perdarahan uterus abnormal

 Diagnostik :

- Gangguan ovulasi merupakan salah satu penyebab PUA dengan

manifestasi perdarahan yang sulit diramalkan dan jumlah darah

yang bervariasi

- Dahulu termasuk dalam kriteria Perdarahan uterus disfungsional

(PUD)

- Gejala bervariasi mulai dari amenorea, perdarahan ringan dan

jarang, hingga perdarahan haid banyak

- Gangguan ovulasi dapat disebabkan oleh sindrom ovarioum

polikistik, hiperprolaktenemia, hipotiroid, obesitas, penurunan

berat badan, anoreksia atau olahraga berat yang berlebihan.

24
G. Endometrial (PUA-E)

 Definisi : Gangguan hemostatis lokal endometrium yang memiliki

kaitan erat dengan terjadinya perdarahan uterus.

 Gejala : Perdarahan uterus abnormal

 Diagnostik :

- Perdarahan uterus abnormal yang terjadi pada perempuan dengan

siklus haid teratur

- Penyebab perdarahan pada kelompok ini adalah gangguan

hemostatis lokal endometrium

- Adanya penurunan produksi faktor yang terkait vasokonstriksi

seperti endothelin-1 dan prostaglandin F2α serta peningkatan

aktifitas fibrinolitik

- Gejala lain kelompok ini adalah perdarahan tengah atau

perdarahan yang berlanjut akibat gangguan hemostasis lokal

endometrium

- Diagnosis PUA-E ditegakkan setelah menyingkirkan gangguan

lain pada siklus haid yang berovulasi

H. Iatrogenik (PUA-I)

 Perdarahan uterus abnormal yang berhubungan dengan intervensi

medis seperti penggunaan estrogen, progestin, AKDR.

 Perdarahan haid diluar jadwal yang terjadi akibat penggunaan estrogen

atau progestin dimasukkan dalam istilah perdarahan sela atau

breakthrough bleeding.

 Perdarahan sela terjadi karena rendahnya konsentrasi estrogen dalam

sirkulasi yang disebabkan oleh sebagai berikut :

25
- Pasien lupa atau terlambat minum pil kontrasepsi

- Pemakaian obat tertentu seperti rifampisin

- Perdarahan haid banyak yang terjadi pada perempuan pengguna

anti koagulan ( warfarin, heparin, dan low molecular weight

heparin) dimasukkan ke dalam klasifikasi PUA-C

I. Not yet classified (PUA-N)

 Kategori not yet classified dibuat untuk penyebab lain yang jarang atau

sulit dimasukkan dalam klasifikasi

 Kelainan yang termasuk dalam kelompok ini adalah endometritis

kronik atau malformasi arteri-vena

 Kelainan tersebut masih belum jelas kaitannya dengan kejadian PUA

2.7 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis yang terjadi pada perdarahan uterus abnormal adalah sebagai

berikut: (Hoffman BL, et. al. 2012).

1. Menoragia dan metroragia

Adanya perubahan pola dalam siklus menstruasi berupa interval yang normal

teratur tetapi jumlah darah dan durasinya lebih dari normal merupakan

menoragia. Interval yang tidak teratur dengan jumlah perdarahan dan durasi

yang lebih dari normal merupakan metroragia. Banyak gangguan yang bersifat

patologis yang menyebabkan menoragia, metroragia ataupun keduanya

(menometroragia).

2. Perdarahan pascakoitus

Perdarahan pascakoitus merupakan perdarahan yang paling umum dijumpai

pada wanita berusia 20 - 40 tahun serta pada mereka yang multipara. Lesi yang

26
dijumpai pada perdarahan pascakoitus biasanya jinak. Berdasarkan observasi

yang dilakukan pada 248 wanita dengan perdarahan pascakoitus didapatkan

bahwa seperempat dari kasus tersebut disebabkan oleh eversi serviks. Penyebab

lain yang dapat mendasari diantaranya polip endoserviks, servisitis, dan polip

endometrium.

Pada servisitis, penyebab yang paling sering adalah infeksi Chlamydia

trachomatis. Menurut penelitian Bax et al., risiko relatif infeksi klamidia pada

wanita dengan pendarahan pascakoitus adalah 2,6 kali lebih tinggi daripada

kelompok kontrol tanpa perdarahan. Pada beberapa wanita, perdarahan

pascakoitus dapat berasal dari neoplasia serviks atau saluran kelamin. Pada

neoplasia intraepitel serviks dan kanker yang invasif, epitel menjadi tipis dan

rapuh sehingga mudah lepas dari serviks. Pada wanita dengan perdarahan

pascakoitus, neoplasia intraepitel seviks ditemukan sebanyak 7 – 10%, kanker

yang invasif sebanyak 5%, dan kanker endometrium sebanyak kurang dari 1%.

Dalam studi lain, Jha dan Sabharwal melaporkan bahwa sejumlah perempuan

dengan perdarahan pascakoitus memiliki lesi patologis yang diidentifikasi

dengan kolposkopi. Sebagian besar wanita dengan perdarahan yang tidak dapat

dijelaskan pascakoitus harus menjalani pemeriksaan kolposkopi jika sumber

perdarahan belum dapat diidentifikasi.

3. Nyeri pelvis

Adanya kram yang menyertai perdarahan diakibatkan dari peran prostaglandin.

Dismenore yang terjadi bersamaan dengan perdarahan uterus abnormal dapat

disebabkan oleh polip, leiomioma, adenomiosis, infeksi, dan komplikasi

kehamilan. Nyeri yang dirasakan saat berhubungan seksual dan nyeri nonsiklik

jarang dirasakan pada wanita dengan perdarahan uterus abnormal. Jika nyeri ini

27
dirasakan, maka penyebabnya adalah kelainan dari struktural atau infeksi.

Lippman et al., melaporkan peningkatan tingkat dispareunia dan nyeri panggul

nonsiklik pada wanita dengan leiomioma uterus. Sammour et al., menyatakan

adanya korelasi nyeri panggul yang meningkat seiring dengan adanya invasi

miometrium dengan adenomiosis.

Perdarahan dapat terjadi setiap waktu dalam siklus haid, perdarahan dapat

bersifat sedikit-sedikit, terus-menerus atau banyak dan berulang-ulang.

Keadaan ini paling sering dijumpai pada masa menars atau pada masa

perimenopause (Hoffman BL, et. al. 2012).

1. Perdarahan Ovulatoar

Perdarahan ini merupakan kurang lebih 10% dari perdarahan disfungsional

dengan siklus pendek (polimenorea) atau panjang (oligomenora). Untuk

menegakkan diagnosis perdarahan ovulatoar, perlu dilakukan kerokan pada

masa mendekati haid. Jika karena perdarahan yang lama dan tidak teratur

siklus haid tidak dikenal lagi, maka kadang-kadang bentuk kurve suhu

badan basal dapat menolong. Jika sudah dipastikan :

a. Korpus luteum persisten, dalam hal ini dijumpai perdarahan kadang-

kadang bersamaan dengan ovarium membesar. Sindrom ini harus

dibedakan dari kehamilan ektopik karena riwayat penyakit dan hasil

pemeriksaan panggul sering menunjukkan banyak persamaan antara

keduanya. Korpus luteum persistens dapat pula menyebabkan pelepasan

endometrium tidak teratur (irregular shedding). Diagnosa irregular

shedding dibuat dengan kerokan yang tepat pada waktunya, yakni

menurut Mc Lennon pada hari ke-4 mulainya perdarahan. Pada waktu

ini jumpai endometrium dalam tipe sekresi disamping tipe nonsekresi.

28
b. Insufiensi korpus luteum dapat menyebabkan premenstrual spotting,

menorgia, atau polimenore. Dasarnya ialah kurangnya produksi

progesteron disebabkan oleh gangguan LH releasing factor. Diagnosis

dibuat, apabila hasil biopsi endometrial dalam fase luteal tidak cocok

dengan gambaran endometrium yang seharusnya didapat pada hari

siklus yang bersangkutan.

c. Apopleksia uteri pada wanita dengan hipertensi dapat terjadi pecahnya

pembuluh darah dalam uterus.

d. Kelainan darah seperti anemia, pupura trombositopenik, dan gangguan

dalam mekanisme pembekuan darah.

2. Perdarahan anovulatoar

Stimulasi dengan esterogen menyebabkan tumbuhnya endometrium.

Dengan menurunnya kadar esterogen dibawah tingkat tertentu, timbul

perdarahan yang kadang-kadang bersifat siklis, kadang-kadang tidak teratur

sama sekali.Fluktuasi esterogen ada sangkut paunya dengan jumalh folikel

yang pada suatu waktu fungsional aktif. Folikel-folikel ini mengeluarkan

esterogen sebelum mengalami atresia, dan kemungkinan diganti oleh

folikel-folikel baru. Endometium dibawah pengaruh esterogen tumbuh

terus, dan dari endometrium mula-mula proliferatif fapat terjadi

endometrium bersifat hiperplasia kistik. Jika gambaran itu dijumpai pada

sediaan yang diperoleh dengan kerokan, dapat diambil kesimpulan bahwa

perdarahan bersifat anovulator. Walaupun perdarahan disfingsional dapat

terjadi pada setiap waktu dalam kehidupan menstrual seorang wanita,

anamun hal ini paling sering terdapat pada masa pubertas dan pada masa

pramenopause. Pada masa pubertas sudah menarche, perdarahan tidak

29
normal disebabkan oleh gangguan atau terlambatnya proses menstruasi

pada hipotalamus, dengan akibat bahwa pembuatan Releasing Factor dan

hormon ganodotropin tidak sempurna. Pada wanita dalam masa

pramenopause proses terhentinya fungsi ovarium tidak selalu berjalan

lancar. Bila pada masa pubertas kemungkinan keganasan kecil sekali dan

ada harapan bahwa lambat laun keadaan menjadi normal dan siklus haid

menjadi ovulator, pada seorang wanita dewasa dan terutama dalam masa

pramenopause dengan perdarahan tidak teratur mutlak diperlukan kerokan

untuk menentukan ada tidaknya tumor ganas.

Perdarahan fungsional dapat terjumpai pada penderita-penderita

dengan penyakit metabolik, penyakit endokrin, penyakit darah, penyakit

umum yang menahun, tumor-tumor ovarium, dan sebagainya. Akan tetapi,

disamping itu, terpat banyak wanita dengan perdarahan disfungsional tanpa

adanya penyakitpenyakit tersebut diatas. Dalam hal ini stress yang dialami

dalam kehidupan sehari-hari, naik didalam maupun diluar pekerjaan,

kejadian-kejadian yang mengganggu keseimbangan emosional seperti

kecelakaan, kematian dalam keluarga, pe,nerian obat penenang terlalu

lama, dan lain-lain, dapat meyebabkan perdarahan anovulator. Biasanya

kelainan dalam perdarahan ini hanya sementara waktu saja.

2.8 Diagnosis

1. Anamnesa (Badziad, A. dkk, 2011).

a. Anamnesis dilakukan untuk menilai kemungkinan adanya faktor risiko

kelainan tiroid, penambahan dan penurunan BB yang drastis, serta riwayat

30
kelainan hemostasis pada pasien dan keluarganya. Perlu ditanyakan siklus

haid sebelumnya serta waktu mulai terjadinya perdarahan uterus abnormal.

b. Prevalensi penyakit von Willebrand pada perempuan perdarahan haid rata-

rata meningkat 10% dibandingkan populasi normal. Karena itu perlu

dilakukan pertanyaan untuk mengidentifikasi penyakit von Willebrand.

c. Pada perempuan pengguna pil kontrasepsi perlu ditanyakan tingkat

kepatuhannya dan obat-obat lain yang diperkirakan mengganggu koagulasi.

d. Anamnesis terstruktur dapat digunakan sebagai penapis gangguan

hemostasis dengan sensitivitas 90%. Perlu dilakukan pemeriksaan lebih

lanjut pada perempuan dengan hasil penapisan positif.

Pertanyaan untuk menyingkirkan kelainan hemostasis pada pasien dengan

perdarahan haid banyak

1. Perdarahan haid banyak sejak menarce

2. Terdapat minimal 1 (satu) keadaandibawah ini:

a. perdarahan pasca persalinan

b. perdarahan yang berhubungan dengan operasi

c. perdarahan yang berhubungan dengan perawatan gigi

3. Terdapat minimal 2 (dua) keadaan dibawah ini:

a. memar 1-2 kali/ bulan

b. epistaksis 1-2 kali/ bulan

c. perdarahan gusi yang sering

d. riwayat keluarga dengan keluhan perdarahan

2. Pemeriksaaan fisik

Pada pemeriksaan umum perlu diperhatikan tanda-tanda yang menunjuk

ke arah kemungkinan penyakit metabolik, endokrin dan penyakit menahun.

31
Kecurigaan terhadap salah satu penyakit tersebut hendaknya menjadi suatu

dorongan untuk melakukan pemeriksaan dengan teliti ke arah penyakit yang

bersangkutan. Selain itu perlu juga ditanyakan kehidupan keluarga serta latar

belakang emosionalnya. Perlu juga ditanyakan tentang aktivitas seksual,

penggunaan kontrasepsi, medikasi saat ini dan tindakan bedah yang pernah

dialami (Badziad, A. dkk, 2011).

Pemeriksaan Ginekologik dilakukan untuk menyingkirkan kelainan

organik yang dapat menyebabkan perdarahan abnormal, seperti polip serviks,

ulkus, perlukaan, erosi, radang, tumor, abortus dan keganasan. Untuk

menegakkan diagnosa pada gadis tidak perlu dilakukan kuretase. Pada wanita

yang sudah menikah, sebaiknya dilakukan kuret untuk menegakkan diagnosa.

Pada pemeriksaan histopatologis, biasanya didapatkan endometrium yang

hiperplasia (Badziad, A. dkk, 2011).

a. Pemeriksaan Ginekologi

o Pemeriksaan ginekologi yang teliti perlu dilakukan termasuk

pemeriksaan pap smear.

o Harus disingkirkan pula kemungkinan adanya mioma uteri, polip,

hiperplasia endometrium atau keganasan.

b. Penilaian Ovulasi

o Siklus haid yang berovulasi berkisar 22-35 hari.

o Jenis perdarahan PUA-O bersifat ireguler dan sering diselingi

amenorea.

o Konfirmasi ovulasi dapat dilakukan dengan pemeriksaan

progesteron serum fase luteal atau USG transvaginal bila

diperlukan.

32
c. Penilaian Endometrium

o Pengambilan sampel endometrium tidak harus dilakukan pada

semua pasien PUA. Pengambilan sampel endometrium hanya

dilakukan pada:

- Perempuan umur > 45 tahun

- Terdapat faktor risiko genetik

o USG transvaginal menggambarkan penebalan endometrium

kompleks yang merupakan faktor risiko hiperplasia atipik atau

kanker endometrium

o Terdapat faktor risiko diabetes mellitus, hipertensi, obesitas,

nulipara

o Perempuan dengan riwayat keluarga nonpolyposis colorectal cancer

memiliki risiko kanker endometrium sebesar 60% dengan rerata

umur saat diagnosis antara 48-50 tahun

o Pengambilan sampel endometrium perlu dilakukan pada perdarahan

uterus abnormal yang menetap (tidak respons terhadap pengobatan).

d. Penilaian Kavum Uteri

o Bertujuan untuk menilai kemungkinan adanya polip endometrium

atau mioma uteri submukosum.

o USG transvaginal merupakan alat penapis yang tepat dan harus

dilakukan pada pemeriksaan awal PUA.

o Bila dicurigai terdapat polip endometrium atau mioma uteri

submukosum disarankan untuk melakukan Saline Infusion

Sonography (SIS) atau histeroskopi. Keuntungan dalam

33
penggunaan histeroskopi adalah diagnosis dan terapi dapat

dilakukan bersamaan.

e. Penilaian Miometrium

o Bertujuan untuk menilai kemungkinan adanya mioma uteri atau

adenomiosis.

o Miometrium dinilai menggunakan USG (transvaginal, transrektal

dan abdominal), SIS, histeroskopi atau MRI.

o Pemeriksaan adenomiosis menggunakan MRI lebih unggul

dibandingkan USG transvaginal.

3. Pemeriksaan penunjang

Beberpa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan

diagnosa PUD, diantaranya :

a. Hysterosalpingography, berguna untuk menguraikan polip endometrial dan

fibroid dan membantu mendeteksi kanker endometrium. Pada prosedur ini,

sinar X diberikan setelah media kontras diinjeksikan ke dalam serviks. MRI

pada regio pelvis dapat juga digunakan untuk menentukan lokasi fibroid dan

tumor.

b. Prosedur infasif. Biopsi endometrium adalah prosedur pengujian yang

paling penting. Jaringan yang diambil kemudian diperiksa untuk mengetahui

apakah terdapat kelainan. Endometrium, dibawah pengaruh estrogen akan

tumbuh terus, dan dari endometrium yang mula-mula proliferatif dapat

terjadi endometrium yang sifatnya hiperplastik kistik. Jika gambaran ini

dijumpai pada sediaan yang diperoleh dengan kerokan, dapat diambil

kesimpulan bahwa perdarahan bersifat anovulatorik.

34
c. Dilatase dan kuretase (dilatation and curettage, D&C), jarang dilakukan

saat ini untuk mendiagnosa PUD, karena dilakukan di bawah anestesi umum

atau lokal. Wanita di atas 30 tahun lebih mungkin memerlukan D&C

sebagai bagian prosedur diagnostik, dibandingkan wanita usia remaja.

Alur diagnosis dan tatalaksana perdarahan uterus abnormal (Badziad,

A. dkk, 2011).

35
2.9 Penatalaksanaan

Pengobatan PUD tergantung pada penyebab perdarahan dan usia pasien.

Ketika penyebab yang mendasari telah diketahui, barulah gangguan tersebut

diobati, sebaliknya sasaran dari pengelolaan adalah untuk mengurangi gejala pada

suatu derajat dimana perdarahan uterus tidak lagi mengganggu aktifitas pasien dan

menyebabkan anemia (Soebijanto S, 2007).

Prinsip pengobatan pada PUD adalah : (Soebijanto S, 2007).

a. Membuat diagnosa dengan menyingkirkan kemungkinan kelainan organik

b. Menghentikan perdarahan

Menghentikan perdarahan, dapat dilakukan sebagai berikut :

1. Kuret (tidak perlu MRS, kecuali bila akan dilakukan transfusi). Prosedur

dilakukan pada wanita yang telah menikah

2. Obat-obatan

 Estrogen. Biasanya dipilih estrogen alamiah, seperti estrogen

konjugasi (conjugated estrogen), misalnya Estradiol Valerat

(Premarin). Estrogen jenis ini lebih menguntungkan karena tidak

membebani hepar dan tidak meningkatkan kadar renin maupun

gangguan pembekuan darah. Jenis estrogen yang lain adalah Etinil

Estradiol. Estrogen jenis ini dimetabolisme di hepar, sehingga lebih

mengganggu fungsi hepar. Bila perdarahan banyak (profuse)

penderita dirawat inap, diberikan premarin dengan dosis 25 mg i.v.

diulang tiap 3-4 jam, maksimal 4 kali pemberian. Bila perdarahan

tidak banyak dapat diberikan Benzoas Estradiol 20 mg i.m, dan

estrogen konjugasi 2,5 mg per oral selama 7-10 hari

36
 Pil Kombinasi. Tujuannya untuk mengkondisikan endometrium

menjadi reaksi pseudodesidual. Dosis yang diberikan bila perdarahan

banyak adalah 4x1 selama 7-10 hari, kemudian dilanjutkan 1x1

selama 3-6 siklus.

 Progesteron. Pemberian progesteron dimaksudkan untuk memberikan

keseimbangan pengaruh pemberian estrogen. Progesteron yang dipilih

adalah jenis progesteron yang molekulnya mempunyai progesteron

alamiah. Diantaranya progesterone asetat (MPA) dan diprogesteron.

Jenis progesteron yang androgenik (derivat testosterone) tidak banyak

dipakai, karena berefek timbulnya akne, bulu serta menurunkan HDL

kolesterol. Dosis yang diberikan 10-20 mg MPA perhari selama 7-10

hari atau nomisteron 3x1 tablet selama 7-10 hari. Bila ada

kontraindikasi pemberian estrogen, dapat diberikan injeksi 100 mg

i.m. progesteron, dengan tujuan untuk katahanan endometrium dan

merangsang kontraksi ritmik pada vasomotor, untuk keperluan ini

dapat dipakai DMPA.

 Senyawa Anti-Prostaglandin. Pemakaian senyawa ini terutama

diberikan pada penderita dengan kontraindikasi pemberian estrogen

dan progesteron, seperti pada kegagalan fungsi hepar dan adanya

suatu proses keganasan. Obat-obat yang dipakai misalnya asam

mefenamat 3x500 mg peroral per hari, selama 5-7 hari

c. Mengatur haid supaya normal kembali

Mengatur haid segera setelah perdarahan berhenti, dilanjutkan terapi untuk

mengatur siklus haid. Untuk ini dapat diberikan pil oral selama 3-6 bulan, atau

progesteron 2x1 tablet selama 10 hari, dimulai pada hari ke-14 sampai hari ke-

37
15 haid. Ketika perdarahan tidak dapat dikontrol oleh pengobatan hormonal,

suatu pembedahan mungkin diperlukan. Dilatasi dan kuretase kadangkala

mengurangi gejala PUD. Jika hal itu gagal, dilakukan pelepasan endometrium

dari lapisan uterus, tetapi tetap mempertahankan uterus. Prosedur ini kadang-

kadang digunakan sebagai pengganti histerektomi. Tetapi histerektomi masih

merupakan pengobatan yang umum untuk PUD yang telah berlangsung lama

pada wanita yang telah punya anak. Pemberian preparat besi juga penting untuk

menurunkan risiko anemia.

d. Bila didapatkan anemia (Hb < 8 gr%), dilakukan transfusi

A. TERAPI NON-HORMONAL (Soebijanto S, 2007).

1. Asam Traneksamat

Obat ini bersifat inhibitor kompetitif pada aktivasi plasminogen. Plasminogen

akan diubah menjadi plasmin yang berfungsi untuk memecah fibrin menjadi

fibrin degradation products (FDPs). Oleh karena itu obat ini berfungsi sebagai

agen anti fibrinolitik. Obat ini akan menghambat faktor-faktor yang memicu

terjadinya pembekuan darah, namun tidak akan menimbulkan kejadian

trombosis. Efek samping : gangguan pencernaan, diare dan sakit kepala.

2. Anti inflamasi non steroid (AINS)

Kadar prostaglandin pada endometrium penderita gangguan haid akan

meningkat. AINS ditujukan untuk menekan pembentukan siklooksigenase, dan

akan menurunkan kadar prostaglandin pada endometrium. AINS dapat

mengurangi jumlah darah haid hingga 20-50 persen. Pemberian AINS dapat

dimulai sejak haid hari pertama dan dapat diberikan untuk 5 hari atau hingga

38
haid berhenti. Efek samping : gangguan pencernaan, diare, perburukan asma

pada penderita yang sensitif, ulkus peptikum hingga kemungkinan terjadinya

perdarahan dan peritonitis.

B. HORMONAL (Soebijanto S, 2007).

1. Estrogen

Sediaan ini digunakan pada kejadian perdarahan akut yang banyak. Sediaan

yang digunakan adalah EEK, dengan dosis 2.5mg per oral 4x1 dalam waktu 48

jam. Pemberian EEK dosis tinggi tersebut dapat disertai dengan pemberian obat

anti-emetik sepertipromethazine 25 mg per oral atau intra muskular setiap 4-6

jam sesuai dengan kebutuhan. Mekanisme kerja obat ini belum jelas,

kemungkinan aktivitasnya tidak terkait langsung dengan endometrium. Obat ini

bekerja untuk memicu vasospasme Pembuluh kapiler dengan cara

mempengaruhi kadar fibrinogen, faktor IV, faktor X, proses agregasi trombosit

dan permeabilitas pembuluh kapiler. Pembentukan reseptor Progesteron akan

meningkat sehingga diharapkan pengobatan selanjutnya dengan menggunakan

progestin aka n lebih baik. Efek samping berupa gejala akibat efek estrogen

yang berlebihan seperti perdarahan uterus, mastodinia dan retensi cairan.

2. PKK (pil kontrasepsi kombinasi)

Perdarahan haid berkurang pada penggunaan pil kontrasepsi kombinasi akibat

endometrium yang atrofi. Dosis yang dianjurkan pada saat perdarahan akut

adalah 4 x 1 tablet selama 4 hari, dilanjutkan dengan 3 x 1 tablet selama 3 hari,

dilanjutkan dengan 2 x 1 tablet selama 2 hari, dan selanjutnya 1 x 1 tablet

selama 3 minggu. Selanjutnya bebas pil selama 7 hari, kemudian dilanjutkan

dengan pemberian pil kontrasepsi kombinasi paling tidak selama 3 bulan.

Apabila pengobatannya ditujukan untuk menghentikan haid, maka obat tersebut

39
dapat diberikan secara kontinyu, namun dianjurkan setiap 3-4 bulan dapat

dibuat perdarahan lucut. Efek samping dapat berupa perubahan, mood, sakit

kepala, mual, retensi cairan, payudara tegang, deep vein thrombosis, stroke dan

serangan jantung.

3. Progestin

Obat ini akan bekerja menghambat penambahan reseptor estrogen serta akan

mengaktifkan enzim 17-hidroksi steroid dehidrogenase pada sel-sel

endometrium, sehingga estradiol akan dikonversi menjadi estron yang efek

biologisnya lebih rendah dibandingkan dengan estradiol. Meski demikian

penggunaan progestin yang lama dapat memicu efekanti mitotik, yang

mengakibatkan terjadinya atrofi endometrium. Progestin dapat diberikan secara

siklik maupun kontinyu. Pemberian siklik diberikan selama 14 hari kemudian

stop selama14 hari, begitu berulang-ulang tanpa memperhatikan pola

perdarahannya. Apabila perdarahan terjadi pada saat sedang mengkonsumsi

progestin, maka dosis progestin dapat dinaikkan. Selanjutnya hitung hari

pertama perdarahan tadi sebagai hari pertama, dan selanjutnya progestin

diminum sampai hari ke 14. Pemberian progestin secara siklik dapat

menggantikan pemberian pil kontrasepsi kombinasi apabila terdapat kontra-

indikasi (misalkan hipersensitivitas, kelainan pembekuan darah, riwayat stroke,

riwayat penyakit jantung koroner atau infark miokard, kecurigaan keganasan

payudara ataupun genital, riwayat penyakit kuning akibat kolestasis, kanker

hati). Sediaan progestinyang dapat diberikan antara lain MPA 1 x 10 mg,

noretisteron asetat dengan dosis 2-3 x 5mg, didrogesteron 2 x 5 mg atau

nomegestrol asetat 1 x 5mg selama 10 hari per siklus. Apabila pasien

mengalami perdarahan pada saat kunjungan, dosis progestin dapat dinaikkan

40
setiap 2 hari hingga perdarahan berhenti. Pemberian dilanjutkan untuk 14 hari

dan kemudian berhenti selama 14 hari, demikian selanjutnya berganti-ganti.

Pemberian progestin secara kontinyu dapat dilakukan apabila tujuannya untuk

membuat amenorea. Terdapat beberapa pilihan, yaitu :

o Pemberian progestin oral : MPA 10-20 mg per hari

o Pemberian DMPA setiap 12 minggu

o Penggunaan LNG IUS

Efek samping : peningkatan berat badan, perdarahan bercak, rasa begah,

payudara tegang,sakit kepala, jerawatdan timbul perasaan depresi.

4. Androgen

Danazol adalah suatu sintetik isoxazol yang berasal dari turunan 17a-etinil

testosteron. Obat tersebut memiliki efek androgenik yang berfungsi untuk

menekan produksi estradiol dari ovarium, serta memiliki efek langsung terhada

reseptor estrogen di endometrium dan di luar endometrium. Pemberian dosis

tinggi 200mg atau lebih per hari dapat dipergunakan untuk mengobati PUD.

Efek samping : peningkatan berat badan, kulit berminyak, jerawat, perubahan

suara.

5. Gonadotropine Releasing Hormone (GnRH) agonist

Obat ini bekerja dengan cara mengurangi konsentrasi reseptor GnRH pada

hipofisis melalui mekanisme down regulation terhadap reseptor dan efek pasca

reseptor, yang akan mengakibatkan hambatan pada penglepasan hormon

gonadotropin. Pemberian obat ini biasanya ditujukan untuk membuat penderita

menjadi amenorea. Dapat diberikan leuprolide acetate 3.75 mg intra muskular

setiap 4 minggu, namun pemberiannya dianjurkan tidak lebih dari 6 bulan.

Apabila pemberiannya melebihi 6 bulan, maka dapat diberikantambahan terapi

41
estrogen dan progestin dosis rendah (add back therapy). Efek samping :

keluhan-keluhan mirip wanita menopause (misalkan hot flushes, keringat yang

bertambah, kekeringan vagina), osteoporosis (terutama tulang-tulang trabekular

apabila penggunaan GnRH agonist lebih dari 6 bulan).

2.10 Diagnosis Banding (Badziad, A. dkk, 2011)

Keluhan dan Gejala Masalah

Nyeri pelvik Abortus, kehamilan ektopik

Mual, peningkatan frekuensi buang air kecil Hamil

Peningkatan berat badan, fatigue, gangguan Hipotiroid

toleransi

Penurunan berat badan, keringat berlebih, Hipertiroid

palpitasi

Riwayat konsumsi obat antikoagulan koagulopati

Gangguan pembekuan darah

Riwayat hepatitis, ikterik Penyakit hepar

Hirsutisme, akne, akantosis nigricans, obesitas Sindrom ovarium polikistik

(SOPK)

Perdarahan pasca koitus Displasia serviks, polip

endoserviks

Galaktorea, nyeri kepala, gangguan penglihatan Tumor hipofisis

42
BAB III

RINGKASAN

Perdarahan uterus abnormal merupakan perdarahan yang ditandai dengan

adanya perubahan pada siklus menstruasi normal baik dari interval atau panjang

siklus, durasi maupun jumlah perdarahan. Siklus menstruasi yang normal biasanya

memiliki interval atau panjang selama 28±7 hari, durasi selama 4±3 hari, dan jumlah

perdarahan sebanyak 30 – 80 ml (Singh S. et. al, 2013).

Perdarahan uterus abnormal (PUA) meliputi semua kelainan haid baik dalam

hal jumlah maupun lamanya. Manifestasi klinis dapat berupa perdarahan banyak,

sedikit, siklus haid yang memanjang atau tidak beraturan (Badziad, A. dkk, 2011).

Terminologi menoragia saat ini diganti dengan perdarahan haid banyak atau

heavy menstrual bleeding (HMB) sedangkan perdarahan uterus abnormal yang

disebabkan faktor koagulopati, gangguan hemostatis lokal endometrium dan

gangguan ovulasi merupakan kelainan yang sebelumnya termasuk dalam perdarahan

uterus disfungsional (PUD) (Badziad, A. dkk, 2011).

Perdarahan uterus disfungsional (PUD) adalah perdarahan uterus abnormal

dalam hal jumlah, frekuensi, dan lamanya yang terjadi baik di dalam maupun di luar

siklus haid, merupakan gejala klinis yang semata-mata karena suatu gangguan

fungsional mekanisme kerja poros hipotalamus-hipofisis-ovarium endometrium tanpa

adanya kelainan organik alat reproduksi.

Untuk mendiagnosa PUD, berbagai penyebab potensial yang bersifat organik

harus disingkirkan. Dengan melakuan pembuatan anamnesa yang cermat penting

untuk menegakkan diagnosa. Pemeriksaan umum perlu diperhatikan tanda-tanda yang

menunjuk ke arah kemungkinan penyakit metabolik, endokrin dan penyakit menahun.

43
Kecurigaan terhadap salah satu penyakit tersebut hendaknya menjadi suatu dorongan

untuk melakukan pemeriksaan dengan teliti ke arah penyakit yang bersangkutan.

Selain itu perlu juga ditanyakan kehidupan keluarga serta latar belakang

emosionalnya. Perlu juga ditanyakan tentang aktivitas seksual, penggunaan

kontrasepsi, medikasi saat ini dan tindakan bedah yang pernah dialami. Pemeriksaan

Ginekologik dilakukan untuk menyingkirkan kelainan organik yang dapat

menyebabkan perdarahan abnormal, seperti polip serviks, ulkus, perlukaan, erosi,

radang, tumor, abortus dan keganasan.

Prinsip pengobatan pada PUD adalah membuat diagnosa dengan

menyingkirkan kemungkinan kelainan organic, menghentikan perdarahan, mengatur

haid supaya normal kembali, bila didapatkan anemia (Hb < 8 gr%), dilakukan

transfuse, menghentikan perdarahan, dapat dilakukan, Kuret (tidak perlu MRS,

kecuali bila akan dilakukan transfusi). Prosedur dilakukan pada wanita yang telah

menikah. Obat-obatan, Estrogen, Pil Kombinasi, Progesteron, Senyawa Anti-

Prostaglandin, dan mengatur haid.

44
DAFTAR PUSTAKA

Badziad, A. Hestiantoro, A. Wiweko, B. Sumapradja, K. Panduan Tatalaksana

Perdarahan Uterus Abnormal. Himpunan Endokrinologi Reproduksi dan Fertilitas

Indonesia dan Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, Aceh, 2011.

Chittacharoen A, Theppisai U, Linasmita V, Manonai J. Sonohysterography in

the Diagnosis of Abnormal Uterine Bleeding. 2010.

FIGO Working Group on Menstrual Disorder. FIGO Classification System

(PALM-COEIN) for causes of abnormal uterine bleeding in nongravide women od

reproductive age. Int J Gynecol Obstet. 2011; 113:3-13.

Hoffman BL et al. Williams Gynecology. 2nd ed. United States: The McGraw-

Hill Companies; 2012.

Jefferey. Ariesta. Putra. Perdarahan Uterus Abnormal. 2015

Manuaba, IAC., I Bagus, dan IB Gde. 2010. Ilmu Kebidanan, Penyakit

Kandungan dan KB untuk Pendidikan Bidan. Edisi kedua. Jakarta: EGC.

Munro MG, Crihley HO, Broder MS, Fraser IS. FIGO Classification System

[PALM-COEIN] for Causes of Abnormal Uterine Bleeding in Nongravid Women of

Reproductive Age. FIGO Working Group on Menstrual Disorders. Int J Gynaecol

Obstet 2011; 113:3-13.

Nedra D. Dysfunctional uterine bleeding. Department of Emergency

Medicine, Northside Hospital – Cherokee. Emergency Medicine Reports. 2011

Prawirohardjo S. Ilmu Kandungan. Edisi Ketiga. Jakarta: PT. Bina Pustaka;

2011.

Prawirohardjo, Sarwono. 2014. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo.

Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo

45
Sianipar O et al. Prevalensi Gangguan Menstruasi dan Faktor-faktor yang

Berhubungan pada Siswi SMU di Kecamatan Pulo Gadung Jakarta Timur. Maj

Kedokt Indon. 2009 Jul;59 (6): 308–13.

Singh S et al. Abnormal Uterine Bleeding in Pre-Menopausal Women.

Journal of Obstetrics and Gynaecology Canada. 2013

Soebijanto S. Panduan Tatalaksana Perdarahan Uterus Disfungsional.

Himpunan Endokrinologi-Reproduksi dan Fertilitas Indonesia Perkumpulan Obstetri

dan Ginekologi Indonesia ; 2007

Sweet MG, Schmidt TA, Weiss PM, Madsen KP. Evaluation and

Management of Abnormal Uterine Bleeding in Premenopausal Women. 2012 Jan 1;85

(1):35–43

The Royal College of Obstetricians and Gynecologist. The management of

heavy menstrual bleeding. Nice Guideline; 2007.

46

Anda mungkin juga menyukai

  • Anestesi
    Anestesi
    Dokumen9 halaman
    Anestesi
    agungtp
    Belum ada peringkat
  • Cover 2
    Cover 2
    Dokumen1 halaman
    Cover 2
    Novia Handaini
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen1 halaman
    Cover
    Novia Handaini
    Belum ada peringkat
  • Farmasi Novi
    Farmasi Novi
    Dokumen2 halaman
    Farmasi Novi
    Novia Handaini
    Belum ada peringkat
  • Surat Pernyataan
    Surat Pernyataan
    Dokumen1 halaman
    Surat Pernyataan
    Novia Handaini
    Belum ada peringkat
  • Jadwal Penulisan Skripsi
    Jadwal Penulisan Skripsi
    Dokumen2 halaman
    Jadwal Penulisan Skripsi
    Novia Handaini
    Belum ada peringkat
  • LAMPIRAN
    LAMPIRAN
    Dokumen125 halaman
    LAMPIRAN
    Novia Handaini
    Belum ada peringkat
  • Laporan Kasus PV
    Laporan Kasus PV
    Dokumen19 halaman
    Laporan Kasus PV
    Novia Handaini
    Belum ada peringkat
  • Fixxxx Cetak
    Fixxxx Cetak
    Dokumen103 halaman
    Fixxxx Cetak
    Novia Handaini
    Belum ada peringkat
  • Cover Lengkap
    Cover Lengkap
    Dokumen3 halaman
    Cover Lengkap
    Novia Handaini
    Belum ada peringkat
  • Bab 2 PV
    Bab 2 PV
    Dokumen4 halaman
    Bab 2 PV
    Novia Handaini
    Belum ada peringkat
  • Absen Agustus
    Absen Agustus
    Dokumen2 halaman
    Absen Agustus
    Novia Handaini
    Belum ada peringkat
  • Bab 2 PV
    Bab 2 PV
    Dokumen9 halaman
    Bab 2 PV
    Novia Handaini
    Belum ada peringkat
  • Case Kista New Edit
    Case Kista New Edit
    Dokumen29 halaman
    Case Kista New Edit
    Novia Handaini
    Belum ada peringkat
  • Askep Pneumonia
    Askep Pneumonia
    Dokumen32 halaman
    Askep Pneumonia
    Akhmad Zaelani
    Belum ada peringkat
  • Pelecehan Seksual
    Pelecehan Seksual
    Dokumen4 halaman
    Pelecehan Seksual
    Huda Fauzi
    Belum ada peringkat
  • Combotio Fix
    Combotio Fix
    Dokumen37 halaman
    Combotio Fix
    Novia Handaini
    Belum ada peringkat
  • Pelecehan Seksual
    Pelecehan Seksual
    Dokumen4 halaman
    Pelecehan Seksual
    Novia Handaini
    Belum ada peringkat
  • Lembar Pengesahan
    Lembar Pengesahan
    Dokumen1 halaman
    Lembar Pengesahan
    Novia Handaini
    Belum ada peringkat
  • PERPAJAKAN 1 Pertemuan Ke 5
    PERPAJAKAN 1 Pertemuan Ke 5
    Dokumen9 halaman
    PERPAJAKAN 1 Pertemuan Ke 5
    Novia Handaini
    Belum ada peringkat
  • Kapita Bedah
    Kapita Bedah
    Dokumen25 halaman
    Kapita Bedah
    Novia Handaini
    Belum ada peringkat