Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

Dalam keadaan normal, sistem imun dapat membedakan self antigen (antigen tubuh sendiri)
dari antigen asing, karena tubuh mempunyai toleransi terhadap self antigen (self-tolerance), tetapi
pengalaman klinis menunjukkan bahwa adakalanya timbul reaksi autoimunitas. Idealnya, sistem
imun dapat memelihara keseimbangan antara respon yang efektif terhadap antigen lingkungan dan
sistem pengendalian terhadap sejumlah molekul yang mempunyai kemampuan merusak diri
sendiri.1,2
Autoimunitas adalah respon imun terhadap antigen jaringan sendiri yang disebabkan oleh
kegagalan mekanisme normal yang berperan untuk mempertahankan self-tolerance sel B, sel T atau
keduanya. Potensi untuk autoimunitas ditemukan pada semua individu oleh karena limfosit dapat
mengekspresikan reseptor spesifik untuk banyak self-antigen.3
Autoimunitas terjadi karena self-antigen yang dapat menimbulkan aktivasi, proliferasi serta
diferensiasi sel T autoreaktif menjadi sel efektor yang menimbulkan kerusakan jaringan dan
berbagai organ. Respons terhadap self-antigen melibatkan komponen-komponen yang juga terlibat
dalam respons imun, seperti antibodi, komplemen, komleks imun, dan cell mediated immunity.
Baik antibodi maupun sel T atau keduanya dapat berperan dalam patogenesis penyakit autoimun.3,4,5
Dalam populasi, sekitar 3,5 % orang menderita penyakit autoimun. 94 % dari jumlah
tersebut berupa penyakit Grave (hipertiroidism), diabetes melitus tipe 1, anemia pernisiosa, artritis
reumatoid, tiroiditis, vitiligo, sklerosis multipel dan LES (Lupus eritematosus sistemik). Penyakit
diemukan lebih banyak pada wanita (2,7 kali dibanding pria).3
Dalam autoimunitas, antigen disebut autoantigen, sedang antibodi disebut autoantibodi. Sel
autoreaktif adalah limfosit yang mempunyai reseptor untuk autoantigen. Bila sel tersebut
memberikan respon autoimun, disebut SLR (sel limfosit reaktif). Pada orang normal, meskipun
SLR terpajan dengan autoantigen, tidak selalu terjadi respons autoimun oleh karena ada sistem yang
mengontrol reaksi autoimun.3

1
BAB II
RUANG LINGKUP DAN ETIOLOGI

A. RUANG LINGKUP
Dalam kaitannya dengan fenomena autoimun harus dibedakan antara pengertian respon
autoimun dan penyakit autoimun. Respons autoimun selalu dikaitkan dengan didapatkannya
autoantibodi atau reaktivitas limfosit terhadap antigennya sendiri. Respons autoimun tidak
selalu harus mempunyai kaitan dengan penyakit autoimun yang dideritanya, bahkan respon
autoimun tidak selalu menampakkan gejala penyakit autoimun.6
Idealnya adalah apabila kita dapat menerapkan istilah ‘penyakit autoimun’ pada kasus-
kasus di mana dapat diperlihatkan bahwa proses autoimun berperan pada patogenesis
penyakit dan bukan keadaan di mana autoantibodi yang tidak berbahaya terbentuk setelah
kerusakan jaringan, misalnya antibodi terhadap jantung yang muncul setelah infark miokard.
Namun, peran autoimunitas pada banyak kelainan masih belum jelas, sehingga untuk
memudahkan kita anggap bahwa semua penyakit yang berkaitan erat dengan pembentukan
autoantibody adalah ‘penyakit autoimun’, kecuali kalau dapat diperlihatkan bahwa fenomena
imunologis yang ada adalah murni merupakan fenomena sekunder.2
Penyakit autoimun dapat diklasifikasikan menjadi dua golongan, menurut mekanisme
terjadinya, yaitu melalui antibodi/humoral, kompleks imun, selular, selular dan humoral atau
menurut organ yang menjadi sasaran yaitu organ spesifik dan non organ spesifik atau sistemik.3
1. Klasifikasi Penyakit Autoimun Menurut Organ yang Terlibat
Contoh alat tubuh yang menjadi sasaran penyakit autoimun adalah darah, saluran cerna,
jantung, paru, ginjal, susunan saraf, endokrin, kulit, otot, alat reproduksi, telinga-tenggorok dan
mata.3
Berdasarkan organ yang menjadi sasaran , penyakit-penyakit autoimun dapat dianggap
membentuk spektrum. Suatu upaya untuk mengelompokkan penyakit-penyakit utama yang
dianggap berkaitan dengan autoimunitas dalam suatu spektrum penyakit autoimun yang organ
spesifik dan non organ spesifik (sistemik) diperlihatkan pada tabel 1.2,3

2
Tabel 1. Spektrum Penyakit Autoimun2,3
SPESIFIK ORGAN Tiroiditis Hashimoto
Miksedema primer
Tirotoksikosis
Anemia penisiosa
Gastritis atopik autoimun
Penyakit Addison
Menopause prematur (beberapa kasus)
Infertilitas pada pria (beberapa kasus)
Miastenia gravis
Diabetes juvenil
Sindroma Goodpasture
Pemfigus vulgaris
Pemfigoid
Oftalmia simpatetik
Uveitis fakogenik
Sklerosis multipel (?)
Anemia hemolitik autoimun
Purpura trombositopenik idiopatik
Leukopenia idiopatik
Sirosis bilier primer
Hepatitis kronik aktif dengan HBsAg negatif
Sirosis kreptogenik
Kolitis ulserativa
Sindroma Sjögren
Artritis reumatoid
Skleroderma
NON SPESIFIK Granulomatosis Wegener
Poly/dermatomiositis
ORGAN LE diskoid
Lupus eritematosus sistemik (SLE)

Pada salah satu ujung spektrum kita lihat penyakit autoimun spesifik organ dengan
autoantibodi spesifik organ. Penyakit Hashimoto pada kelenjar tiroid merupakan satu contoh
yang menunjukkan lesi spesifik pada tiroid yang diinfiltrasi dengan sel-sel mononuklear
(limfosit, histiosit, sel plasma), destruksi sel-sel folikuler dan pembentukan pusat germinal,
disertai produksi antibodi dengan spesifisitas absolut terhadap unsur-unsur tertentu kelenjar
tiroid.2
Kalau kita bergerak menuju bagian tengah spektrum, terdapat kelainan yang cenderung
menunjukkan lesi terbatas pada satu organ tetapi antibodi yang terbentuk tidak spesifik organ
bersangkutan. Contoh yang khas adalah sirosis bilier primer di mana saluran empedu kecil
merupakan sasaran utama infiltrasi sel-sel radang tetapi antibodi dalam serum yang ada –
terutama mitokondrial – tidak spesifik untuk hati.2
Pada ujung lain dari spektrum terdapat penyakit autoimun tidak spesifik organ
(sistemik) yang secara luas digolongkan penyakit reumatologik; salah satu contoh adalah lupus
eritematosus sistemik (SLE) yang baik lesi maupun autoantibodinya tidak terbatas pada organ
tertentu. Perubahan patologiknya tersebar terutama kelainan pada jaringan ikat dengan nekrosis
fibrinoid. Kelainan tampak pada kulit (ruam kupu-kupu ‘lupus’ pada wajah yang merupakan ciri
khas), glomerulus ginjal, sendi, membran serosa dan pembuluh darah. Di samping itu, unsur-

3
unsur darah juga sering terkena. Sejumlah besar autoantibodi dapat dijumpai, beberapa di
antaranya dapat bereaksi dengan DNA dan unsur nukleus sel lain di seluruh tubuh.2
Ada kecenderungan bahwa pada seseorang dapat dijumpai lebih dari satu jenis kelainan
autoimun dan apabila ini terjadi maka seringkali kelainan-kelainan itu berada dalam satu
kelompok pada spektrum. Jadi penderita dengan tiroiditis autoimun (penyakit Hashimoto atau
miksedema primer) lebih sering menderita anemia pernisiosa dibanding yang diharapkan pada
populasi umum dengan umur dan jenis kelamin yang sama (10 % vs 0,2 %). Sebaliknya baik
tiroiditis maupun tirotoksikosis sering dijumpai pada penderita anemia pernisiosa dengan
frekuensi yang sangat tinggi. Hubungan lain sering dijumpai antara penyakit Addison dengan
penyakit tiroid autoimun dan pada remaja yang menderita anemia pernisiosa dan
poliendokrinopati termasuk penyakit Addison, hipoparatiroidisme, diabetes dan tiroiditis.2
Tumpang tindih (overlapping) bahkan lebih besar dalam hasil pemeriksaan serologik. 30
% penderita penyakit tiroid autoimun juga mempunyai antibodi terhadap sel-sel parietal dalam
serumnya. Di lain pihak, antibodi terhadap tiroid dapat dijumpai pada hampir 50 % penderita
anemia pernisiosa. Perlu ditekankan bahwa ini bukan antibodi yang bereaksi silang. Antibodi
spesifik tiroid tidak akan bereaksi dengan lambung dan sebaliknya. Bila serum bereaksi dengan
kedua organ, berarti bahwa ada dua populasi antibodi, satu dengan spesifisitas terhadap tiroid
yang lain terhadap lambung. Kedua antibodi tersebut jarang ditemukan bersamaan dengan
antibodi yang non organ spesifik atau sistemik seperti antibodi terhadap komponen nukleus dan
nukleoprotein (gambar 1). 2,3
Gambar 1. Autoantibodi yang tumpang tindih3

Pada ujung spektrum tidak spesifik organ, penyakit autoimun sistemik seperti SLE
secara klinis dihubungkan dengan atritis reumatoid dan beberapa yang lain yang jarang dijumpai
tersendiri : anemia hemolitik, leukopenia idiopatik dan purpura trombositopenik,
dermatomiositis dan sindrom Sjögren. Antibodi antinuklear (anti-DNA) dan antiglobulin (faktor
rheumatoid) merupakan gambaran yang umum. Di samping itu sering pula ditemukan gejala
klinis yang sama pada kedua penyakit tersebut.2,3
Sindrom Sjögren menempati posisi yang menarik; di samping gambaran klinis dan
serologis yan dihubungkan dengan penyakit sistemik seperti disebut di atas, penyakit ini
menunjukkan kelainan spesifik organ yang khas. Sering dijumpai antibodi yang bereaksi dengan
saluran kelenjar liur sekaligus dijumpai pula autoantibodi terhadap tiroid dengan angka

4
kekerapan tinggi; secara histologik kelenjar air mata dan kelenjar liur yang terkena
menunjukkan perubahan sama seperti yang tampak pada penyakit Hashimoto, yaitu penggantian
unsur-unsur kelenjar dengan jaringan granuloma limfosit dan sel plasma. Hubungan antara
penyakit-penyakit yang berada pada kedua ujung spektrum pernah dilaporkan, tetapi, seperti
dapat diramalkan dari data serologik (tabel 2) hal ini tidak lazim.2
Tabel 2. Hubungan timbal balik data serologik antara penyakit spesifik organ dan non-
spesifik organ pada manusia2

Perbedaan dan kesamaan antara penyakit autoimun organ spesifik dan non-organ
spesifik (sistemik) terlihat pada tabel 3. 3
Tabel 3. Perbandingan Penyakit Autoimun Organ Spesifik dan Non-Organ Spesifik 3

5
Tabel 4. Klasifikasi Penyakit Autoimun3

KLASIFIKASI PENYAKIT AUTOIMUN

6
1. Penyakit autoimun menurut sistem - Miokarditis dan kardiomiopati
organ - Varian Miokarditis :
a. Penyakit autoimun hematologi  Miokarditis sel datia
- Anemia hemolitik autoimun  Miokarditis eosinofilik
(AHA)  Sarkoidosis jantung
 AHA antibodi panas  Miokarditis peripartum dan
 AHA antibodi dingin kardiomiopati
 Hemoglobinuria dingin - Sindrom pasca perikardiotomi
paroksismal (HDP) dan sindrom pasca infark
- Neutropenia ( yang miokard (penyakit Dressler)
ditimbulkan oleh autoantibodi) d. Penyakit autoimun ginjal
- Penyakit gangguan - Nefropati imunoglobulin A
pembentukan darah - Nefropati membran
autoimun - Sindrom nefropati idiopatik
 Sindrom kegagalan - Glomerulonefritis
hematopoietik (anemia mesangiokapiler
aplastik) - Glomerulonefritis yang
 Anemia aplastik didapat berhubungan dengan infeksi
(AAD) - Nefritis tubulointerstisial
 Sindrom mielodisplastik - Sindrom Goodpasture
(SMD) e. Penyakit autoimun susunan saraf
 Hemoglobinuria nokturnal - Neuropati autoimun (sindrom
paroksismal (HNP) Guillan – Barre atau
 Aplasia sel darah didapat polineuritis idiopatik akut)
murni (ASDDM) - Vaskulitis saraf perifer
 Trombositopenia idiopatik - Neuropati perifer lainnya
(ITP) (neuropati idiopatik dengan
 Sindrom kegagalan gamopati monoklonal dan
sumsum kongenital neuropati demielinisasi motor
(anemia Fanconi) multifokal)
 Penyakit lain-lain : - Sindrom paraneoplastik
 Penyakit autoimun yang mengenai otak
gangguan proliferasi dan saraf perifer
LGL (large granular - Sklerosis multipel
lymphocyte) - Mielitis transversa
 Neutropenia - Neuritis optik
siklik (NS) - Neuromielitis optika (sindrom
 Trombositopen Devic)
ia amegakariositik - Ensefalomielitis diseminasi
(TA) akut (EMDA)
b. Penyakit autoimun saluran cerna f. Penyakit autoimun endokrin
- Anemia pernisiosa - Penyakit autoimun kelenjar
- Aklorhidria (gastritis antral hipofisis (hipofisitis limfositik)
difus) - Tirotoksikosis (penyakit Grave,
- Hepatitis autoimun (HAI) hipertiroidsm)
 HAI tipe I - Goiter
 HAI tipe II - Tiroiditis kronis (tiroiditis
 HAI tipe III Hashimoto)
- Sirosis bilier primer (SBP) - Tiroiditis postpartum (tiroiditis
- Penyakit inflamasi usus yang silent, transient, atau
(inflammatory bowel limfositik)
desease/IBD) - Penyakit adrenal autoimun
 Crohn dan kolitis ulseratif (penyakit Addison)
(KU) - Hipoparatiroidisme autoimun
c. Penyakit autoimun jantung - Diabetes melitus

7
 Diabetes melitus tipe  EB simpleks
I / IDDM (insulin  EB junctional
dependent DM) / juvenile  EB distrofis
DM - Penyakit-penyakit autoimun
 Sindrom insulin kulit lain :
autoimun  Alopesia areata
 Resistensi insulin tipe  Vitiligo
B  Penyakit autoimun non
 Penyakit poliglandular organ spesifik (LES)
autoimun (koeksistensi  Sklerosis sistemik
endokrinopati)  Dermatomiositis
g. Penyakit autoimun otot  Sklerosis lichen
- Miastenia gravis  Graft versus host disease
- Polimiositis – dermatomiositis m. Penyakit autoimun mata
h. Penyakit autoimun reproduksi - Episkleritis
- Endometriosis autoimun - Skleritis
- Orkitis autoimun - Sindrom Sjogren (SS) –
- Kegagalan prematur ovarium keratokonjungtivitas sicca
autoimun (KKS)
- Infertilitas - Uveitis
i. Penyakit autoimun telinga dan - Mooren’s ulcer
laring (kepala dan leher) - Penyakit pemfigoid sikatrikal
- Granulomatosa Wegener (GW) (cicatrical ocular pemfigoid)
- Sarkoidosis - Skleritis nekrotik
- Tuli autoimun - Sindrom Vogt – Koyanagi –
- Sialadenitis autoimun rekuren Harada (VKH)
(pseudosialektasis autoimun, - Sindrom Cogan
sindrom Mikulicz, sindrom - Penyakit Behcet
Sicca atau penyakit Sjogren - Sklerosis multipel (SM)
primer, dan sindrom Sjogren - Vaskulitis retina
sekunder) - Sarkoidosis
j. Penyakit autoimun kelenjar - Oftalmia simpatetik
eksokrin – Sicca complex - Koroidopati serpiginus
k. Penyakit autoimun paru - Neuritis optik
l. Penyakit autoimun kulit - Neuromielitis optika (sindrom
- Penyakit autoimun yang Devic)
menimbulkan lepuh : - Penyakit-penyakit mata lain
 Pemfigus yang diduga berdasarkan
 Pemfigus autoimun (miastenia gravis,
foliaseus keratokonjungtivitis limbus
 Pemfigus superior Theodore, uveitis yang
vulgaris melibatkan lensa, neuroretinitis
 Pemfigus dan sindrom Schlossman)
eritematosus (sindrom 2. Penyakit autoimun non organ spesifik
Senear – Usher) (sistemik)
 Pemfigus bulosa a. Lupus eritematosus sistemik (LES)
 Dermatitis b. Skleroderma (sklerosis sistemik
herpetiformis progresif, sindrom CREST)
 Pemfigoid c. Sindrom Sjogren (SS)
gestasionis d. Artritis reumatoid
 Epidermolisis
bulosa (EB)

8
2. Klasifikasi Penyakit Autoimun menurut Mekanismenya3
1). Penyakit autoimun yang terjadi melalui antibodi
Berbagai antibodi dapat menimbulkan kerusakan langsung. Penyakit-
penyakit yang ditimbulkannya serta autoantigennya terlihat pada tabel 5.
Tabel 5. Efek patogenik antibodi humoral langsung

2). Penyakit autoimun yang terjadi melalui antibodi dan sel T


Pada banyak penyakit autoimun, kerusakan dapat ditimbulkan oleh
antibodi (humoral) serta sel T (tabel 6).

9
Tabel 6. Contoh-contoh penyakit autoimun yang terjadi melalui antibodi

3). Penyakit autoimun yang terjadi melalui kompleks antigen-antibodi


Kompleks imun yang terbentuk dalam sirkulasi menimbulkan penyakit
sistemik seperti LES. Sebaliknya, autoantibodi atau respons sel T terhadap self
antigen menimbulkan penyakit dengan distribusi jaringan yang terbatas,
organ spesifik seperti miastenia gravis, diabetes melitus tipe I dan sklerosis
multipel.
4). Penyakit autoimun yang terjadi melalui komplemen
Oleh sebab yang belum jelas, defisiensi komplemen dapat menimbulkan
penyakit autoimun seperti LES. Di samping itu beberapa alotipe dari
komplemen memudahkan timbulnya autoimunitas. Diduga bahwa kompleks
imun yang mungkin timbul dalam tubuh tidak dapat disingkirkan oleh sistem
imun yang komplemen dependen.

B. ETIOLOGI
1. Teori Fenomena Autoimun
Ada tiga hipotesis yang mencoba menjelaskan tentang fenomena
autoimunitas6 :
- Teori klon terlarang (forbidden clones theory)
- Teori antigen terasing (sequestered/hidden antigen theory)
- Teori defisiensi imun (immunologic deficiency theory)

10
a. Teori klon terlarang (forbidden clones theory)
Burnett mengajukan teori forbidden clones, yang menyatakan bahwa
tubuh menjadi toleran terhadap jaringannya sendiri oleh karena sel-sel yang
autoreaktif selama perkembangan embriologiknya akan musnah.1
Mutan yang memiliki antigen permukaan akan segera dibinasakan,
sedangkan mutan yang memiliki antigen tersembunyi dapat hidup terus sehingga
berfungsi dalam respon imun dan menimbulkan kerusakan.6
Gambar 2. Bagan teori klon terlarang

b. Teori antigen terasing (sequestered/hidden antigen theory)


Pada masa embrio merupakan tahap pengenalan antigen. Sequestered
atau hidden antigen adalah antigen yang karena sawar anatomik tidak pernah
terpajan dengan sistem imun misalnya antigen sperma, lensa mata, dan saraf
pusat. Bila sawar tersebut rusak pada tahap dewasa, antigen yang tadinya
terasing sekarang terpapar sehingga limfosit mengenal sebagai asing sehingga
dapat timbul penyakit autoimun.1,3,6

11
Gambar 3. Bagan teori antigen terasing

c. Teori defisiensi imun


Hilangnya self tolerance mungkin disebabkan oleh karena adanya
gangguan sistem limfoid. Teori ini didasarkan atas kemunduran fungsi sistem
imun. Adanya kenyataan pada pengamatan bahwa penyakit autoimun sering
ditemukan bersamaan pada individu dengan defesiensi imun, misalnya pada
lanjut usia.1,6

12
Gambar 4. Bagan teori defisiensi imun

Teori – teori lainnya1 :


- Determinan antigen baru : Pembentukan autoantibodi dapat dicetuskan oleh
karena timbul determinan antigen baru pada protein normal. Contoh
autoantibodi yang timbul akibat hal tersebut ialah factor rematoid (FR). FR
dibentuk terhadap determinan antigen yang terdapat pada imunoglobulin.
- Reaksi silang dengan mikroorganisme : Kerusakan jantung pada demam
reumatik anak diduga terjadi akibat produksi antigen terhadap streptokok A
yang bereaksi silang dengan miokard penderita.
- Virus sebagai pencetus autoimunitas : Virus yang terutama mengginfeksi
system limfoid dapat tmempengaruhi mekanisme kontrol imunologik sehingga
terjadi autoimunitas.

13
- Autoantibodi dibentuk sekunder akibat kerusakan jaringan : Autoantibodi
terhadap jantung ditemukan pada jantung infark. Pada umumnya kadar
autoantibodi disini terlalu rendah untuk dapat menimbulkan penyakit autoimun.
Autoantibodi dapat dibentuk pula terhadap antigen mitokondria pada kerusakan
hati atau jantung. Pada tuberculosis dan tripanosomiasis yang menimbulkan
kerusakan luas pada berbagai jaringan, dapat pula ditemukan autoantibody
terhadap antigen jaringan dalam kadar gula yang rendah.
2. Faktor yang Berperan pada Autoimunitas
Sudah tidak diragukan lagi bahwa penyebab penyakit autoimun adalah
multifaktor. Mungkin sebagian besar, kalau tidak semua, faktor-faktor tersebut
berperan serta dalam berbagai kombinasi pada penyakit yang berbeda. Walaupun
faktor kelainan tersebur jarang dijumpai, asal-usulnya tetap belum jelas. Selain
kepekaan genetik yang kompleks, kita berhadapan dengan proses penuaan pada
timus, atau sel induk limfoid dan kontrol internal autoreaktivitas. Hormon seks
mungkin juga berperan. Belum lagi sejumlah faktor lingkungan, khususnya
mikroba yang dapat menyebabkan berbagai dampak pada organ sasaran, sistem
limfoid dan jaring-jaring sitokin.
a. Faktor keturunan/genetik
Penyakit autoimun mempunyai persamaan predisposisi genetik.
Meskipun sudah diketahui adanya kecenderungan terjadinya penyakit pada
keluarga, tetapi bagaimana hal tersebut diturunkan, pada umumnya adalah
kompleks dan diduga terjadi atas pengaruh beberapa gen. Bukti yang ada hanya
menunjukkan hubungan antara penyakit dan HLA. Halotipe HLA merupakan
risiko relatif untuk penyakit autoimun tertentu (tabel 7).3

14
Tabel 7. Hubungan antara HLA dan penyakit autoimun3

Fenomena autoimun cenderung dijumpai pada satu keluarga tertentu.


Misalnya, anggota keluarga generasi pertama (saudara kandung, orang tua dan
anak-anak) dari penderita penyakit Hashimoto mengandung autoantibodi
(gambar 5) dan tiroiditis yang nyata maupun yang subklinis dengan angka
kekerapan tinggi. Persentase anggota keluarga yang mengandung autoantibodi
lebih tinggi dalam keluarga dengan lebih dari seorang anggota keluarga
menderita penyakit itu. Penelitian paralel mengungkapkan hubungan serupa
dalam keluarga penderita anemia penisiosa yang menunjukkan bahwa antibodi
terhadap sel-sel parietal sering dijumpai pada anggota keluarga yang cenderung
menderita aklorhidria dan gastritis. Antibodi terhadap mitokondria sering
dijumpai dalam satu keluarga yang anggota keluarganya menderita sirosis bilier

15
primer, walaupun kekerapannya lebih sedikit. Kembali pada SLE, pernah
dilaporkan adanya gangguan sintesis imunoglobulin dan kepekaan untuk
menderita penyakit jaringan ikat, tetapi mengenai hal ini masih ada
pertentangan yang belum dapat dipecahkan.2
Gambar 5. Autoantibodi terhadap tiroid dan lambung pada anggota keluarga
generasi pertama penderita penyakit Hashimoto dan anemia pernisiosa2

Hubungan dalam keluarga ini dapat disebabkan oleh faktor lingkungan


misalnya kuman penyebab infeksi, tetapi ada bukti bahwa peran satu atau lebih
komponen genetik perlu dipertimbangkan secara serius. Pertama-tama, bila
tiroiditis terjadi pada kembar, kemungkinan bahwa keduanya menderita
penyakit yang sama lebih besar pada kembar identik dibanding kembar tidak
identik. Kedua, autoantibodi terhadap tiroid lebih sering dijumpai pada
penderita dengan disgenesis ovarium yang menunjukkan aberasi kromosom X
misalnya XO khususnya kelainan isokromosom X. Selain itu, ada hubungan
yang kuat antara beberapa penyakit autoimun dengan spesifisitas HLA,
misalnya DR3 pada penyakit Addison dan DR4 pada artritis reumatoid (tabel
7). Analisis polimorfisme pada VNTR (variable number of tandem repeat)
mengungkapkan hubungan kepekaan terhadap diabetes non-insulin dependen
pada individu dengan HLA-DR4.2

b. Faktor hormon dan seks

16
Hormon dari kelenjar tiroid, hipotalamus dan adrenal memang diketahui
mempengaruhi homeostasis sistem imun dan rangsangan terhadap antigen.
Hormon seks berbeda yang terdapat pada pria dan wanita mungkin juga
berperan pada kekerapan untuk menderita penyakit autoimun. SLE dan artritis
reumatoid lebih kerap berlaku pada wanita, dan myasthenia gravis lebih kerap
berlaku pada pria.7
Gambar 6. Angka kekerapan penyakit autoimun yang meningkat pada wanita2

Ada kecenderungan umum bahwa penyakit autoimun lebih sering


dijumpai pada wanita dibanding pria (gambar 6). Alasan pasti untuk hal ini
belum diketahui. Ada kemungkinan bahwa kadar estrogen yang tinggi dijumpai
pada penderita dan mencit dengan SLE. Kehamilan sering dikaitkan dengan
makin beratnya penyakit, terutama pada artritis reumatoid, dan kadang-kadang
terjadi kekambuhan setelah melahirkan, pada saat mana terjadi perubahan kadar
hormon yang drastis dan hilangnya plasenta. Juga harus dicatat sering terjadi
hipotiroidi postpartum pada wanita yang sebelumnya telah menderita penyakit
autoimun.2
c. Faktor mikroba (infeksi dan kemiripan molekular)
Banyak infeksi yang menunjukkan hubungan dengan penyakit autoimun
tertentu. Beberapa bakteri memiliki epitop yang sama dengan antigen sel
sendiri. Respons imun yang timbul terhadap bakteri tersebut dapat bermula
pada rangsangan terhadap sel T yang selanjutnya merangsang pula sel B untuk
membentuk autoantibodi (gambar 7).3
Gambar 7. Pembentukan autoantibodi2

17
Infeksi virus dan bakteri dapat berkontribusi dalam terjadinya eksaserbasi
autoimunitas. Pada kebanyakan hal, mikroorganisme tidak dapat ditemukan
atau diisolasi. Kerusakan tidak disebabkan oleh penyebab mikroba, tetapi
merupakan akibat respons imun terhadap jaringan pejamu yang rusak. Infeksi
virus sebelum berlaku penyakit telah dikaitkan dengan SLE, sklerosis multipel
dan diabetes.2,3,7
Gambar 8. Streptokok grup A dan demam reumatik

Contoh penyakit yang ditimbulkan oleh kemiripan dengan antigen sendiri


adalah demam reumatik (karditis reumatik) pasca infeksi streptokokus grup A,
disebabkan antibodi terhadap streptokok yang diikat jantung dan menimbulkan
miokarditis. Homologi juga ditemukan antara antigen protein jantung dan
antigen klamidia dan tripanosoma cruzi. Keduanya berhubungan dengan
miokarditis (tabel 8 dan gambar 9).3
Gambar 9. Kemiripan pada autoimunitas3

18
Contoh lainnya, penyakit sifilis yang disebabkan oleh Treponema
pallidum, antibodi yang dihasilkan terhadap organisma ini mungkin bertindak
terhadap antigen eritrosit dan menghasilkan anemia.7
Pada penderita Hepatitis C dapat ditemukan berbagai autoantibodi.3
Infeksi saluran cerna oleh salmonela, sigela atau kampilobakter dan
saluran kencing oleh klamidia trakomatis atau ureaplasma urealitikum dapat
memacu sindrom Reiter. Inflamasi insersi tendon dan ligamen pada tulang
merupakan ciri sindrom Reiter dan artritis reaktif.3
Berbagai infeksi yang berhubungan dengan eritema nodosum terlihat
pada tabel 10.3
Tabel 10. Infeksi yang berhubungan dengan eritema nodosum3

19
d. Faktor non mikroba (lingkungan, makanan dan obat)
Sinar matahari merupakan perangsang timbulnya kelainan kulit pada
SLE. Pemaparan pada larutan organik dapat mengawali penyakit autoimun
membran basal yang menyebabkan sindroma Good-pasture – perhatikan
frekuensi tinggi penyakit ini pada individu dengan HLA-DR2 yang bekerja
pada perusahaan ”dry-cleaning” atau terpapar pada minyak syphon yang berasal
dari tanki minyak syphon orang lain. Keadaan yang lebih mengherankan adalah
terjadinya penyakit yang sama pada tikus Brown Norway yang disuntik dengan
air raksa, tetapi hal itu memang terjadi.2
Diet mungkin merupakan salah satu faktor. Minyak ikan yang
mengandung asam lemak tak jenuh omega-3 yang berantai panjang dianggap
menguntungkan bagi penderita artritis reumatoid.2
Beberapa jenis penyakit yang disebabkan oleh obat misalnya SLE,
trombositopenia, miastenia gravis, anemia hemolitik autoimun dan lain-lain.
Berbagai obat dapat memacu LES (tabel 11), misalnya hidralazin, metildopa,
prokainamid, sulfalazin, penisilamin, klorpromazin, sitokin, antibodi
monoklonal, kinidin dan kinin, antikonvulsan (fenitoin, mefenitoin,
etoksuksidin, trimetadion, karbamazepin, valproat dan primidon). Antibodi
antifofolipid diinduksi obat-obatan yang sama yang menginduksi LES, terutama
klorpromazin, fenotiazin dan quinidin. Obat (penisilamin) dapat menginduksi
pemfigus dengan efek direk terhadap epidermis atau indirek melalui modifikasi
sistem imun. Sejumlah obat seperti α-metil-dopa, iproniazid, minosiklin, asam
tienilik, klometasin, halotan dan herbal dai-saiko dapat menginduksi hepatitis
melalui produksi autoantibodi organ non spesifik. IFN-α dan IFN-β, GM-CSF
dan IL-2 dilaporkan berhubungan dengan timbulnya atau eksaserbasi psoriasis.

20
Mekanismenya dihubungkan dengan kemiripan profil Th1 pada psoriasis
idiopatik. Diduga bahwa β-bloker dapat menginduksi psoriasis melalui ikatan
dengan reseptor β di kulit, sehingga menjadi lebih imunogenik. Antibodi
terhadap reseptor yang diproduksi lagi akan merusak fungsi dan terjadinya
psoriasis. Anemia hemolisis dapat terjadi pada individu rentan yang memakai
antibiotik penisilin.2.3,7
Tabel 11. Obat-obat yang berhubungan dengan LES3

e. Sequestered antigen
Sequestered antigen adalah antigen sendiri yang karena letak anatominya,
tidak terpajan dengan sistem imun. Pada keadaan normal, sequestered antigen
tidak ditemukan untuk dikenal sistem imun. Antigen-antigen yang terdapat
dalam beberapa tempat tertentu seperti otak, ovari, plasenta, testis, uterus dan
kebuk mata anterior dianggap sebagai antigen istimewa (immunologically
privilege sites) dan tidak mempengaruhi reaksi imun dalam keadaan normal
karena tidak interaksi antara antigen ini dengan sel T. Perubahan anatomik
dalam jaringan seperti inflamasi (sekunder oleh infeksi, kerusakan iskemia atau
trauma), dapat memajankan sequestered antigen dengan sistem imun yang tiak
terjadi pada keadaan normal. Contohnya protein intraokular dan sperma.
Uveitis autoimun pasca trauma, sympathetic ophthalmia, dan orchitis pasca

21
vasektomi diduga disebabkan respons autoimun terhadap sequestered antigen.
Inflamasi jaringan dapat pula menimbulkan perubahan struktur pada self
antigen dan pembentukan determinan baru yang dapat memacu reaksi autoimun
(gambar 10).3,7
Gambar 10. Penglepasan sequestered antigen

f. Kegagalan autoregulasi
Regulasi imun berfungsi untuk mempertahankan homeostasis. Gangguan
dapat terjadi pada presentasi antigen, infeksi yang meningkatkan respons MHC,
kadar sitokin yang rendah (misalnya TGF-β) dan gangguan respons terhadap
IL-2. Pengawasan beberapa sel autoreaktif diduga bergantung pada sel Ts atau
Tr. Bila terjadi kegagalan sel Ts atau Tr, maka sel Th dapat dirangsang sehingga
menimbulkan autoimunitas.3
g. Aktivasi sel B poliklonal
Autoimunitas dapat terjadi oleh karena aktivasi sel B poliklonal oleh
virus (EBV), LPS dan parasit malaria yang dapat merangsang sel B secara
langsung yang menimbulkan autoimunitas. Antibodi yang dibentuk terdiri atas
berbagai autoantibodi (gambar 11).3
Gambar 11. Aktivasi anergi anti-self sel B

22
BAB III
PATOGENESIS, DIAGNOSIS, DAN PENGOBATAN

A. Dampak Patogen Autoantobodi Humoral


1. Darah
Antibodi terhadap eritrosit memegang peranan dalam destruksi eritrosit pada
anemia hemolitik autoimun 1.
2. Reseptor Permukaan
a. Tiroid
Ada alasan untuk percaya bahwa pembesaran kelenjar tiroid pada
tirotoksikosis disebabkan oleh aktivitas antibody yang bereaksi dengan
reseptor pertumbuhan dan secara langsung merangsang pembelahan sel.
b. Otot
Kelemahan otot sementara yang tampak pada bayi yang dilahirkan oleh ibu
dengan miastenia gravis mengingatkan kita pada trombositopenia dan
hipertiroidi neonatal akibat masuknya IgG ibu melewati plasenta dan pada
kasus ini IgG tersebut memiliki kemampuan menghambat transmisi
neuromuscular. Dukungan kuat terhadap anggapan ini diperlihatkan oleh
adanya antibody terhadap reseptor asetilkolin otot (ACh-R)secara konsisten
pada penderita miastenia dan tidak adanya reseptor ini pada saraf otot
c. Lambung
Kerusakan histopatologik yang mendasari anemia pernisiosa adalah gastritis
atopik dengan infiltrasi sel-sel radang mononuclear disertai degenerasi kelenjar
sekresi dan kegagalan memproduksi asam lambung. Terjadinya aklorhidria
hampir selalu meningkat sejalan dengan peningkatan aktivitas antibody yang
menghambat pompa proton lambung, suatu ATP-ase yang bergantung pada H+,
K+ yang terdapat pada membrane kanalikuli sekretorik dan mungkin juga
reseptor gastrin
d. Reseptor seluler lain
Beberapa penderita dengan alergi atopik mengandung antibody penghambat
terhadap reseptor β-adrenergik dan hal ini dapat merupakan salah satu tipe di
antara berbagai factor yang dapat mengganggu sensitivitas dasar sel mastosit
dan menyebabkan seseorang mempunyai resiko tinggi menderita penyakit
tersebut. Antibodi yang menutup reseptor insulin merupakan jenis antibody
yang dapat dijumpai pada penderita akantosis nigrikans (tipe B) disertai
resistensi terhadap insulin
3. Jaringan Lain

23
a. Saluran Cerna
Gastritis atropik jangka panjang yang mempunyai sel parietal tapi tidak
mempunyai antibody terhadap factor intrinsic tidak menunjukkan
keseimbangan B12. Anemia pernisiosa timbul bila antibody terhadap factor
intrinsic memperberat gastritis atopik.
b. Kulit
Suatu antibody dapat menyebabkan penyakit pemfigus vulgaris bila ia dapat
mengenali dan bereaksi dengan antigen 130 kDa pada sel epitel skuamosa yang
merupakan salah satu jenis molekul adhesi dalam kelompok cadherin. Sama
halnya, antibody teerhadap desmoglein juga merupakan kandidat untuk
penyebab timbulnya gelembubg epidermis pada pemfigus foliaseus
c. Sperma
Pada beberapa pria infertile, antibody pengaglutinasi menyebabkan agregasi
sperma dan menyababkan gangguan penetrasi sperma ke dalam lender serviks
d. Membran Sel Glomerulus (g.b.m)
Biopsi-biopsi ginjal pada penderita glomerulonefritis tertentu, khususnya yang
berhubungan dengan hemoragi paru (sindroma Goodpasteur), menunjukkan
endapan linier IgG dan C3 sepanjang membrane basal pembuluh darah kapiler
glomerulus. Setelah nefrektomi, antibody terhadap g.b.m dapat dideteksi dalam
serum. Lerner dkk melarutkan antibody g.b.m dari ginjal yang sakit dan
menyuntikkannya pada monyet. Antibodi dengan cepat mengendap pada g.b.m
hewan resipien dan menimbulkan nefritis yang fatal. Sulit mengelak dari
kesimpulan bahwa kerusakan pada manusia merupakan akibat langsung
penyerangan g.b.m oleh antibody pengikat komplemen ini. Kelaianan paru
pada sindroma Goodpasteur disebabkan reaksi silang dengan beberapa diantara
antibody g.b.m.
e. Jantung
Lupus eritematous neonatal adalah penyebab utama terjadinya “complete heart
block’ congenital yang menetap. Hampir semua kasus dihubungkan dengan
anti-La/SS-B atau anti-Ro/SS-A maternal dengan titer tinggi. Jantung ibu tidak
terkena. Alasannya adalah karena anti-Ro dapat berikatan dengan jaringan
jantung neonatus tetapi tidak dengan jaringan jantung dewasa, kemudian
mengganggu arus listrik transmembran dengan menghambat repolarisasi. IgG
anti-Ro masuk ke dalam sirkulasi janin melalui plasenta, dan walaupun jantung
maternal dan janin keduanya terpapar pada antibodi itu, hanya jantung janin
yang terkena.

24
B. Dampak Patogen Kompleks Dengan Autoantigen
1. Lupus Eritematosus Sistenik (SLE)
Bila autoantibody dibentuk terhadap komponen terlarut kemudian terus-menerus
terpapar padanya, akan terbentuk kompleks yang dapat mengakibatkan kerusakan
yang menyerupai kerusakan pada serum sickness, terutama bila defek pada
komponan komplemen klasik menghambat pembersihan secara efektif. Jadi
walaupun defisiensi komplemen homozigot jarang menyebabkan SLE yang
meeupakan model pertama penyakit kompleks imun, ia mewakili genotip kepekaan
penyakit yang paling kuat yang ditemukan sejauh ini; lebih dari 80% kasus dengan
defisiensi C1q dan C4 homozigot menunjukkan SLE. Ada banyak variasi
autoantigen pada lupus,banyak diantaranya terdapat dalam nucleus, dan yang
paling patonemonik adalah DNA untaian ganda. Kompleks DNA dan antigen
nucleus lain, bersama-sama dengan imunoglobin dan komplemen dapat dideteksi
dengan pewarnaan imunofloresensi biopsy ginjal penderita disfungsi ginjal. Selama
fase aktif penyakit, kadar komplemen serum menurun karena komponen itu terikat
dalam agregat imun dalam ginjal dan sirkulasi.
Pengndapan kompleks dapat tersebar luas dan walaupun 40% penderita dapat
menderita kelaianan ginjal, kerusakan organ yang umumnya terjadi adalah 98%
pada kulit, 98% pada sendi/otot, 64% pada paru, 60% pada darah, 60% pada otak
dan 20% pada jantung
2. Atritis Reumatoid
Kelaianan sendi pada arthritis rheumatoid pada dasarnyya disebabkan oleh
pertumbuhan ganas sel-sel sinovial sebagai suatu selaput yang melapisi dan
merusak tulang rawan dan tulang. Membran sinovial yang mengelilingi dan
membentuk rongga sendi menjadi sangat seluler sebagai akibat hipereaktivitas
imunologik seperti yang ditunjukkan oleh adanya sejumlah besar sel-T, terutama
CD4, dalam berbagai stadium maturasi, biasannya disertai sel-sel dendrite dan
makrofag; gumpalan sel-sel plasma sering terlihat dan bahkan kadang-kadang
folikel sekunder dengan pusat-pusat germinal seolah-olah membrane sinovial
menjadi kelenjar limfe yang aktif. Memang telah diduga bahwa sintesis
immunoglobulin oleh membrane sinovial setingkat dengan yang dilakukan oleh
kelenjar limfe yang distimulasi.
Sintesis autoantibody terhadap bagian Fc IgG yang dikenal sebagai antiglobulin
atau factor rheumatoid, merupakan cirri khas penyakit ini, dijumpai pada hampir
semua penderita dengan arthritis rheumatoid

25
Salah satu hal yang menarik pada arthritis rheumatoid adalah penemuan bahwa IgG
peenderita mengalami glikosilasi yang abnormal. Gangguan glikosilasi ini dapat
menyebabkan perubahan pada struktur Fc dengan 3 kemungkinan:
1. Fc mempunyai sifat autoantigenitas yang meningkat
2. Kompleks IgG yang saling berikatan dapat lebih kuat terikat satu dengan yang
lain bla galaktosa terminal pada karbohidrat Fab IgG sesuai dengan bagian
lektin pada CH2 yang kosong akibat tidak adanya galaktosa pada karbohidrat
Fc
3. Interaksi dengan reseptor Fcγ pada sel-sel efektor tertentu atau dengan system
komplemen dapat dimodifikasi
Peningkatan kasdar agalakto-IgG tidak tampak pada arthritis reaktif yang
dirangsang oleh yersina atau chlamidia, juga tidak pada radang kronik yang lain,
tetapi kadar abnormal tinggi dapat dijumpai pada infeksi tuberculosis aktif,
sehingga mendukung duugaan bahwa orgabisme yang tumbuhnya lambat
(mikobakteria) dapat merupakan pencetus penyakit. Pasangan penderitta arthritis
rheumatoid juga cenderung mempunyai kadar agalakto-IgG yang tinggi; apakah ini
bukti adanya agen infeksi?
Telah diketahui bahwa wanita hamiil yang menderita arthritis rheumatoid
menunjukkan remisi penyakit bila kehamilannya mendekati cukup bulan tetapi
kambuh post partum; bila arthritis rheumatoid menunjukkan remisi, kadar agalakto-
IgG menurun dan bila penyakinya kambuh setelah melahirkan kadar agalaktosa Ig-
G menjadi normal kembali, sehingga menunjukkan keterlibayannya pada proses
penyakit. Penelitian jangka panjang pada populasi Indian Pima yang hidup
berkelompok dan menunjukkan angka kekerapan arthritis rheumatoid yang tinggi,
mengungkapan bahwa perubahan pada galaktosa IgG merupakan penanda dini
bahwa seseorang akan menderita penyakit ini dikemudian hari kompleks sehingga
ini dapat mempunyai nilai prognostic.
Kompleks dapat distabilkan oleh molekul pengikat-Fcγ multivalent, factor
rheumatoid IgM dan C1q, dan bil terdapat pada rongga sendi ia dapat menctuskan
reaksi Arthus yang berakibatkan influks sel-sel polimorf, sel-sel ini kemudian
bereaksi dengan kompleks dan menghasilkan reaktiv oxygen intermediate; (ROI)
dan enzim lisosom. Termasuk diantaranya, proteinase dan kolaginase yang dapat
merombak proteoglikan dan fibril kolagen. Kerusakan lenih lanjut terjadi apabila
kompleks itu melekat pada tulang rawan karena kompleks daapat diikat pada
permukaann sel polimorf tetapi tidak terjadi internalisasi (fagosit yag frustasi);
akibatnya adalah dilepaskannya hidrolase lisosom keluar sel dan masuk ke dalam

26
celah antara sel dengan tulang rawan sehingga ia terlindung dari inhibitor enzim
seperti α2-makroglobulin. Agregat-agregat ini juga dapat merangsang sel-sel seperti
makrofag pada batas sinovial, baik secara langsung melalui reseptor permukaan
atau secara tidak langsung melalui fagositosis dan resisten terhadap perombakan
intraseluler. Sel sinovial yang teraktivasi tumbuh sebagai selaput ganas yang
menutupi tulang rawan dan pada batas jaringan granulasi yang makin lama makin
tebal ini dapat dilihat pengrusakan, yang hampir pasti disebabkan pelepasan enzim,
ROI, dan khususnya IL-1, IL-6, dan TNFα. Makrofag yang teraktivasi juga
mensekresi activator plasminogen dan plasmin yang terbentuk kemudian
mengadakan kolagenase laten yang diproduksi oleh sel sinovial. Sensitasi pada
kolagen yang dirombak partial, menyebabkan kerusakan lebih parah. Produk yang
disekresi oleh makrofag yang distimulasi dapat mengaktifkan sel kondrosit yang
merombak tulang rawan lenih lanjut, dan muncuulnya osteoklas yang menyebabkan
resorpsi tulang, dan hal ini mrupakan komplikasi lebih lanjut pada penyakit yang
parah. Nodul subkutan berbentuk granuloma yang mungkin terjadi akibat produksi
local antiglobulin tak terlarut yang saling berikatan.

C. Hipersensitivitas Dengan Perantaraan Sel-T Sebagai Faktor Patogen Pada


Penyakit Autoimun
1. Artritis Reumatoid
Sinovium yang terkena radang kronik penuh dengan sel-T yang teraktivasi dan
perannya yang penting pada proses penyakit. Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa
sekresi TNFα dan GM-CSF oleh sel-T akan menyebabkan pembentukan selaput
ganas dengan konsekuensi erosi tulang rawan dan tulang.

2. Penyakit Endokrin Spesifik Organ


a. Tiroiditis Autoimun
Infiltrat radang pada tiroiditis autoimun biasanya hanya terdiri atas sel-sel
mononuclear dan walaupun bukan merupakan petunjuk pastii, hal ini dianggap
menunjukkan hipersensitivitas sel-T Bukti kuat partisipasi langsung limfosit-T
masih harus dicari walaupun adanya molekul kelas II pada tirosit penderita dan
sel-T spesifik antigen dalam kelenjar tiroid sesuai dengan adanya keterlibatan sel
ini
b. Diabetes Melitus Insulin-Dependen (IDDM)

27
Seperti halnya pada tiroiditis autoimun, pada IDDM terdapat infiltrasi radang
kronik dan destruksu jaringan spesifik, yaitu destruksi sel-sel β pulau Langerhans
pancreas yang memproduksi insulin. Kelambatan timbulnya awal penyakit yang
disebabkan oleeh pengobatan awal siklosporin A dengan kadar yang hanya
memberi dampak sedikit pad produksi antibody, menunjukan bahwa sel-T efektor
adalah penyebab destruksi karena obat itu ditujukan pada sintesis sitokin oleh sel-T
secara sspesifik. In vitro, respons sel T terhadap antigen-antigen sel pulau,
termasuk glutamic acid decarboxylase, secara langsung menggambarkan resiko
perkembangan ke arah IDDM klinik.
Dalam percobaan pada mencit diabetic non obese (NOD) yang menderita penyakit
diabetes spontan yang sangat mirip dengan IDDM pada manusia dalam perangai
histologik dan berbagai respon autoimunnya. Transfer sel T yang berasal dari
mencit diabetic dapat mencetuskan diabetic dini pada NOD muda; sel-sel CD4+
menyebabkan infiltrasi sekitar sel pulau dan CD8+ menimbulkan insulitis
destruktif dalam sel pulau.
c. Sklerosis Multipel (SM)
Dugaan bahwa MS mungkin merupakan penyakit autoimun telah lama diramalkan
berdasarkankemiripan morfologik dengan ensefalomielitis alergik eksperimental
(EAE), yaitu suatu penyakit dengan demielinasi yang berakibat paralysis motorik.
Diduga bahwa sel-T mencetuskan radang local pada sel-sel endotel jaringan sawar
darah-otak yang menyebabkan antibody dari darah bisa masuk ke dalam jaringan
otak.

D. Nilai Diagnostik Tes Autoantibodi


Autoantibodi dalam serum sering memberikan penanda diagnostic yang bermakna. Tes
rutin yang paling berguna adalah skrining serum dengan imunofluoresen pada jaringan
potong beku yang diperoleh dari blok berisi campuran jaringan tiroid dan lambung
manusia serta ginjal an hati tikus yang tidak difiksasi. Tes ini dilengkapi dengan tes
aglutinasi untuk mendeteksi factor rheumatoid dan tiroglobulin, tiroid peroksidase dan
anti-eritrosit serta tes ELISA untuk mengukur kadar antibody terhadap factor
intrinssik, DNA dan IgG

28
E. Pengobatan Penyakit Autoimun
1. Pegontrolan Metabolik
Pada banyak penyakit spesifik organ, upaya memperbaiki metabolisme, biasanya
mencukupi, misalnya pemberian tiroksin pada miksedema primer, insulin pada
diabetes juvenile, vitamin B12 pada anemia pernisiosa, obat abtitiroid pada
penyakit Graves, dan lain-lain. Obat antikolinergik biasanya digunakan untuk
pengobatan jangka panjang miastenia gravis; timektomi bermanfaat untuk
sebagian besar kasus dan dapat dimengerti bahwa kelenjar pada keadaan
imunogenik tertentu mengandung resseptor terhadap Ach
2. Obat Anti Inflamasi
Penderita dengan gejala miastenia berat memberikan respon baik terhadap steroid
dosis tinggi, demikian pula prnyakit autoimun berat yang lain, misalnya SLE dan
nefritis kompleks imun di mana obat-obat itu mengurangi lesi inflamasi.
Pada Artritis rheumatoid, selain steroid, obat anti inflamasi seperti salisilat dan
obat sintetik penghambat prostaglandin yang gtak terhitung banyaknya digunakan
secara luas. Sulfasalazin, penisilamin, garam emas dan anti malaria seperti
klorokuin, semuanya mendapat tempat penting dalam tempat pengobatan, tetapi
cara kerjanya tidak diketahui.
3. Obat Imunosupresif
Pada dasarnya karena siklosporin menghambat sekresi limfokin oleh sel-T, ia
disebut obat anti inflamasi dank arena limfokin seperti IL-2 pada keadaan tertentu
juga dapat meningkatkan proliferasi, siklosporin juga dapat dianggap sebagai obat
anti mitotic. Obat ini telah terbukti bermanfat pada uveitis,, diabetes dini tipe I,
sindroma nefrotik dan psoriasis, dan terbukti menunjukkan manfaat moderat pada
purpura trombositopenia idiopatik, SLE, poliomiositis, penyakit Crohn, sirosis
bilier primer dan miastenia gravis. Pada uji klinik obat dengan cara ‘double blind’
acak, siklosporin menunjukkan penekanan gejala penyakit secara bermakna selama
12 bulan walaupun tidak lengkap pada kelompok penderita arthritis rheumatoid
yang sebelumnya refrakter.
4. Strategi Pengontrolan Imunologik
a. Manipulasi Seluler
Penguatan antigen jelas merupakan peristiwa berkelanjutan pada penyakit
autoimun, sehingga anti CD4 seharusnyya dapat dipakai sebagai obat yang
ideal bagi penyakit ini kalau sel T masaih mampu menerima sinyal tolerogenik

29
alami untuk menghentikan reaksi; hal ini mungkn tidak terjadi pada tiap kasus
tetapi pengobatan ini merupakan cara yang baik untuk menguji apakah
mekanisme pengeenalan CD4 masih normal.
b. Pengontrolan Idiotip dengan antibody
Aktivitas imunosupresif yang kuat dari antibody-antiidiotip menimbulkan
banyak harapan akan kemungkinan mengendalikan produksi antibody dengan
memprovokasi interaksi yang tepat dalam system imun. Makin lama makin
disadari bahwa secara umum, penekanan autoimun yang lebih mendasar dapat
berhasil dengan mengunakan unsur-unsur internal jarring-jaring idiotip dan
bukan dengan reagen antiidiotip pyang dihasilkan oleh spesies lain.Yang aneh
adalah bahawa penyuntikkan Ig yang dikumpulkan dari banyak donor normal
ke dalam vena menunjukan hasil baik pada sejumlah prnyakit darah autoimun,
abortus berulang diserta antikardiolipin, dermatomiositis juvenile dan penderita
dengan autoantibodii terhadap prokoagulan factor VIII. Yang terkhir telah
diteliti secara rinci dan dampak hambatan fraksi (Fab’) Ig normal membuktikan
bahwa hal itu nerupakanreaksi antiidiotip; seolah-olah Ig normal itu menyusun
kembali jarring-jaring yang dikontrol dengan benar.
c. Vaksinasi dengan idiotip sel-T
Vaksinasi dengan sel-T meningkatkan kinbetik respon terhadap antigen,
meniadakan penekanan spesifik antigen, mengaktifkan sel-T antiidiotipik dan
menghambat arthritis. Munculnya antiidiotip dan supresor spesifik antigen
yang amat cepat segera setelah imunisasi dengan protein 65 kDa yang
dipanaskan merupakan bukti kuat bahwa sebelumnya telah ada jarring-jaring
yang berhubungan dengan epitop pada antigen seperti yang dianggap dalam
konsep ‘immunological homunculus’. Bila gangguan fungsi jarring-jaring itu
menyebabkan penyakit autoimun, vaksinasi dengan epitop reseptor sel-T
merupakan upaya yang logis untuk mendapatkan kembali control normal.
d. Manipulasi dengan menggunakan antigen
Tujuannya adalah menampilkan antigen yang bersalah dalam konsentrasi yang
cukup dan dalam bentuk demikian rupa hingga ia menghentikan respon
autoimun yang sedang berlangsung. Salah satu strategi adalah mendesain
peptide analog yang akan berikatan erat dengan molekul MHC yang tepat dan
menghentikan respon terhadap autoantigen.
e. Plasmaferesis

30
Penggantian plasma untuk menurunkan derajat endapan kompleks imun pada
SLE hanya menghasilkan manfaat sementara tetapi bermanfaat pada kasus
arthritis yang membahayakan. Hasil yang baik dijumpai pada sindroma
Goodpasteur bila tindakan ini diterapkan bersama-sama dengan obat anti-
mitotik, rrasionalnya adalah meningkatkan kecenderungan membelah diri pada
sel-sel yang reaktif terhadap antigen, karena dampak umpan balik IgG akan
berkurang bila protein plasma dikeluarkan.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Harnawatiaj. Teori Autoimunitas. Maret 2008, dari :


http://harnawatiaj.wordpress.com/2008/03/09/teori-autoimunitas.html
2. Penyakit Autoimun. Dalam : Imunologi Klinik
3. Baratawidjaja, K. Autoimunitas. Dalam : Imunologi Dasar ed. ke-7. Jakarta :
Balai Perbit FKUI; 2006 : 202 – 304.
4. Kresno, S. Penyakit Autoimun. Dalam : Imunologi : Diagnosis dan Prosedur
Laboratorium. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2001 : 286 – 307.
5. Baratawidjaja, K., Rengganis, I. Imunologi Dasar. Dalam : Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI; 2006
6. Subowo. Otoimunitas dan Penyakit Otoimun. Dalam : Imunologi Klinik.
Bandung : Penerbit Angkasa Bandung; 1993 : 37 – 70.
7. Danial. Penyakit – Penyakit Autoimun. 2008, dari :
http://pkukmweb.ukm.my/~danial/Penyakit%20autoimun.html

32

Anda mungkin juga menyukai