Anda di halaman 1dari 20

ARTIKEL MATA KULIAH ETOS KERJA

“KEPEMIMPINAN”

Oleh :

1. Ade Sefirman Yunus


(DIII TNU IX-B/G.III.09.16.025)
2. Adinda Rahma Tadjuddina
(DIII TNU IX-B/G.III.09.16.026)
3. Indria Hanandini
(DIII TNU IX-B/G.III.09.16.036)
4. M. Fauzhan Amansyah
(DIII TNU IX-B/G.III.09.16.041)

PROGRAM STUDI DIPLOMA III TEKNIK NAVIGASI UDARA


POLITEKNIK PENERBANGAN SURABAYA
2019
A. Pengertian Kepemimpinan
Dalam kehidupan sehari – hari, baik di lingkungan keluarga, organisasi,
perusahaan sampai dengan pemerintahan sering kita dengar sebutan pemimpin,
kepemimpinan serta kekuasaan. Ketiga kata tersebut memang memiliki hubungan
yang berkaitan satu dengan lainnya.
Beberapa ahli berpandapat tentang Pemimpin, beberapa diantaranya :
a. Menurut Drs. H. Malayu S.P. Hasibuan, Pemimpin adalah seseorang
dengan wewenang kepemimpinannya mengarahkan bawahannya untuk
mengerjakan sebagian dari pekerjaannya dalam mencapai tujuan.
b. Menurut Robert Tanembaum, Pemimpin adalah mereka yang menggunakan
wewenang formal untuk mengorganisasikan, mengarahkan, mengontrol
para bawahan yang bertanggung jawab, supaya semua bagian pekerjaan
dikoordinasi demi mencapai tujuan perusahaan.
c. Menurut Prof. Maccoby, Pemimpin pertama-tama harus seorang yang
mampu menumbuhkan dan mengembangkan segala yang terbaik dalam diri
para bawahannya. Pemimpin yang baik untuk masa kini adalah orang yang
religius, dalam artian menerima kepercayaan etnis dan moral dari berbagai
agama secara kumulatif, kendatipun ia sendiri mungkin menolak ketentuan
gaib dan ide ketuhanan yang berlainan.
d. Menurut Lao Tzu, Pemimpin yang baik adalah seorang yang membantu
mengembangkan orang lain, sehingga akhirnya mereka tidak lagi
memerlukan pemimpinnya itu.
e. Menurut Davis and Filley, Pemimpin adalah seseorang yang menduduki
suatu posisi manajemen atau seseorang yang melakukan suatu pekerjaan
memimpin.
f. Sedangakn menurut Pancasila, Pemimpin harus bersikap sebagai pengasuh
yang mendorong, menuntun, dan membimbing asuhannya. Dengan kata
lain, beberapa asas utama dari kepemimpinan Pancasila adalah :
1) Ing Ngarsa Sung Tuladha
Pemimpin harus mampu dengan sifat dan perbuatannya menjadikan
dirinya pola anutan dan ikutan bagi orang – orang yang dipimpinnya.
2) Ing Madya Mangun Karsa
Pemimpin harus mampu membangkitkan semangat berswakarsa dan
berkreasi pada orang – orang yang dibimbingnya.
3) Tut Wuri Handayani
Pemimpin harus mampu mendorong orang – orang yang diasuhnya
berani berjalan di depan dan sanggup bertanggung jawab.
Seorang pemimpin boleh berprestasi tinggi untuk dirinya sendiri, tetapi itu
tidak memadai apabila ia tidak berhasil menumbuhkan dan mengembangkan segala
yang terbaik dalam diri para bawahannya. Dari begitu banyak definisi mengenai
pemimpin, dapat penulis simpulkan bahwa pemimpin adalah orang yang mendapat
amanah serta memiliki sifat, sikap, dan gaya yang baik untuk mengurus atau
mengatur orang lain.
Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang mempengaruhi dan
memotivasi orang lain untuk melakukan sesuatu sesuai tujuan bersama.
Kepemimpinan meliputi proses mempengaruhi dalam menentukan tujuan
organisasi, memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan, mempengaruhi
untuk memperbaiki kelompok dan budayanya. Sedangkan kekuasaan adalah
kemampuan untuk mempengaruhi orang lain untuk mau melakukan apa yang
diinginkan pihak lainnya
Kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain untuk mau
melakukan apa yang diinginkan pihak lainnya. Ketiga kata yaitu pemimpin,
kepemimpinan serta kekuasaan yang dijelaskan sebelumnya tersebut memiliki
keterikatan yang tak dapat dipisahkan. Karena untuk menjadi pemimpin bukan
hanya berdasarkan suka satu sama lainnya, tetapi banyak faktor. Pemimpin yang
berhasil hendaknya memiliki beberapa kriteria yang tergantung pada sudut pandang
atau pendekatan yang digunakan, apakah itu kepribadiannya, keterampilan, bakat,
sifat – sifatnya, atau kewenangannya yang dimiliki yang mana nantinya sangat
berpengaruh terhadap teori maupun gaya kepemimpinan yang akan diterapkan.
B. Teori Kepemimpinan
Seorang pemimpin harus mengerti tentang teori kepemimpinan agar
nantinya mempunyai referensi dalam menjalankan sebuah organisasi. Beberapa
teori tentang kepemimpinan antara lain :

a. Teori Kepemimpinan Sifat ( Trait Theory )


Analisis ilmiah tentang kepemimpinan berangkat dari pemusatan perhatian
pemimpin itu sendiri. Teori sifat berkembang pertama kali di Yunani Kuno
dan Romawi yang beranggapan bahwa pemimpin itu dilahirkan, bukan
diciptakan yang kemudian teori ini dikenal dengan ”The Greatma Theory”.
Dalam perkembanganya, teori ini mendapat pengaruh dari aliran perilaku
pemikir psikologi yang berpandangan bahwa sifat – sifat kepemimpinan
tidak seluruhnya dilahirkan akan tetapi juga dapat dicapai melalui
pendidikan dan pengalaman. Sifat – sifat itu antara lain : sifat fisik, mental,
dan kepribadian. Keith Devis merumuskan 4 sifat umum yang berpengaruh
terhadap keberhasilan kepemimpinan organisasi, antara lain :
 Kecerdasan
Berdasarkan hasil penelitian, pemimpin yang mempunyai kecerdasan
yang tinggi di atas kecerdasan rata – rata dari pengikutnya akan
mempunyai kesempatan berhasil yang lebih tinggi pula. Karena
pemimpin pada umumnya memiliki tingkat kecerdasan yang lebih
tinggi dibandingkan dengan pengikutnya.
 Kedewasaan dan Keluasan Hubungan Sosial
Umumnya di dalam melakukan interaksi sosial dengan lingkungan
internal maupun eksternal, seorang pemimpin yang berhasil
mempunyai emosi yang matang dan stabil. Hal ini membuat pemimpin
tidak mudah panik dan goyah dalam mempertahankan pendirian yang
diyakini kebenarannya.
 Motivasi Diri dan Dorongan Berprestasi
Seorang pemimpin yang berhasil umumnya memiliki motivasi diri yang
tinggi serta dorongan untuk berprestasi. Dorongan yang kuat ini
kemudian tercermin pada kinerja yang optimal, efektif dan efisien.
 Sikap Hubungan Kemanusiaan
Adanya pengakuan terhadap harga diri dan kehormatan sehingga para
pengikutnya mampu berpihak kepadanya
b. Teori Kepemimpinan Perilaku dan Situasi
Berdasarkan penelitian, perilaku seorang pemimpin yang mendasarkan
teori ini memiliki kecendrungan kearah dua hal, yaitu :
1. Konsiderasi yaitu kecendrungan seorang pemimpin yang
menggambarkan hubungan akrab dengan bawahan. Contoh gejala yang
ada dalam hal ini seperti : membela bawahan, memberi masukan kepada
bawahan dan bersedia berkonsultasi dengan bawahan.
2. Struktur Inisiasi yaitu Kecendrungan seorang pemimpin yang
memberikan batasan kepada bawahan. Contoh yang dapat dilihat ,
bawahan mendapat instruksi dalam pelaksanaan tugas, kapan,
bagaimana pekerjaan dilakukan, dan hasil yang akan dicapai.
Jadi, berdasarkan teori ini, seorang pemimpin yang baik adalah
bagaimana seorang pemimpin yang memiliki perhatian yang tinggi kepada
bawahan dan terhadap hasil yang tinggi pula.
c. Teori Kewibawaan Pemimpin
Kewibawaan merupakan faktor penting dalam kehidupan
kepemimpinan, sebab dengan faktor itu seorang pemimpin akan dapat
mempengaruhi perilaku orang lain baik secara perorangan maupun
kelompok sehingga orang tersebut bersedia untuk melakukan apa yang
dikehendaki oleh pemimpin.
d. Teori Kepemimpinan Situasi
Seorang pemimpin harus merupakan seorang pendiagnosa yang baik
dan harus bersifat fleksibel, sesuai dengan perkembangan dan tingkat
kedewasaan bawahan.
e. Teori Kelompok
Agar tujuan kelompok (organisasi) dapat tercapai, harus ada
pertukaran yang positif antara pemimpin dengan pengikutnya.

Dari adanya berbagai teori kepemimpinan di atas, dapat diketahui


bahwa teori kepemimpinan tertentu akan sangat mempengaruhi gaya
kepemimpinan (Leadership Style), yakni pemimpin yang menjalankan
fungsi kepemimpinannya dengan segenap filsafat, keterampilan dan
sikapnya.

C. Gaya Kepemimpinan
Gaya kepemimpinan adalah cara seorang pemimpan bersikap,
berkomunikasi, dan berinteraksi dengan orang lain dalam mempengaruhi
orang untuk melakukan sesuatu.Gaya tersebut bisa berbeda – beda atas
dasar motivasi , kuasa ataupun orientasi terhadap tugas atau orang tertentu.
Diantara beberapa gaya kepemimpinan, terdapat pemimpin yang positif dan
negatif, dimana perbedaan itu didasarkan pada cara dan upaya mereka
memotivasi karyawan.
a. Otokratis
Kepemimpinan seperti ini menggunakan metode pendekatan
kekuasaan dalam mencapai keputusan dan pengembangan
strukturnya. Kekuasaan sangat dominan digunakan. Memusatkan
kekuasaan dan pengambilan keputusan bagi dirinya sendiri, dan
menata situasi kerja yang rumit bagi pegawai sehingga mau
melakukan apa saja yang diperintahkan. Kepemimpinan ini pada
umumnya negatif, yang berdasarkan atas ancaman dan hukuman.
Meskipun demikian, ada juga beberapa manfaatnya antaranya
memungkinkan pengambilan keputusan dengan cepat serta
memungkinkan pendayagunaan pegawai yang kurang kompeten.
b. Partisipasif
Lebih banyak mendesentrelisasikan wewenang yang dimilikinya
sehingga keputusan yang diambil tidak bersifat sepihak.
c. Demokrasi
Ditandai adanya suatu struktur yang pengembangannya
menggunakan pendekatan pengambilan keputusan yang kooperatif.
Di bawah kepemimpinan pemimpin yang demokrasis cenderung
bermoral tinggi dapat bekerjasama, mengutamakan mutu kerja dan
dapat mengarahkan diri sendiri.
d. Kendali Bebas
Pemimpin memberikan kekuasaan penuh terhadap bawahan,
struktur organisasi bersifat longgar dan pemimpin bersifat pasif.
Yaitu Pemimpin menghindari kuasa dan tanggung – jawab,
kemudian menggantungkannya kepada kelompok baik dalam
menetapkan tujuan dan menanggulangi masalahnya sendiri.
D. Tugas Kepemimpinan
Tugas kepemimipinan, pada dasarnya meliputi dua bidang utama, yaitu
pencapaian tujuan birokrasi dan kekompakan orang yang dipimipinnya. Tugas
yang berhubungan dengan kekompakan disebut relationship function. Keating,
mengatakan bahwa tugas kepemimpinan yang berhubungan dengan kelompok
yaitu :

1. Memulai (initiating), yaitu usaha agar kelompok memulai kegiatan


atau gerakan tertentu.
2. Mengatur (regulaing), yaitu tindakan untuk mengatur arah angkah
kegiatan kelompok.
3. Memberitahu (informating), yaitu kegiatan memberi informasi, data,
fakta, pendapat yang diperlukan.
4. Mendukung (supporting), yaitu usaha untuk menerima gagasan,
pendapat, usul, dari bawah dan menyempurnakan dengan menambah
atau mengurangi untuk diginakan dalam rangka penyelesaian tugas
bersama.
5. Menilai (evaluating) yaitu tindakan untuk menguji gagasan yang
muncul atau cara kerja yang diambil dengan menunjukkan
konsekuaensi-konsekuansinya dan untung ruginya.
6. Menyimpulkan (summrizing) yaitu kegiatan untuk mengumpulkan
dan merumuskan gagasan, pendapat dan usul muncul, menyingkat
lalu menyimpulkannya sebagai landasan untuk memikirkan lebih
lanjut,. Lebih lanjut keating mengatakan bahwa tugas kepemimpinan
yang berhubungan dengan kekompakan dala kelompok antara lain
yaitu:
7. Mendorong (encourraging) yaitu bersikap hangat, bersahabat
menerima orang-orang.
8. Mengungkapkan perasaan (expressing feeling) yaitu tindakan
menyatakan perasaan terhadap kerja dan kekompakan kelompok,
seperti rasa puas, rasa senang, rasa bangga, dan ikut se-perasaan
dengan orang-orang yang dipimpinnya pada waktu mengalami
kesulitan, kegagalan, dan lain-lain.
9. Mendamaikan (harmonozing) yaitu tindakan mempertemukan dan
mendamaikan pendapat pendapat yang berbeda dan menurunkan
orang-orang yang bersitegang satu sama lain.
10. Mengalah (compromizing) yaitu kemampuan untuk mengubah
perassan orang-orang yang dipimipinnya.
11. Memperlancar (gatekeeping) yaitu kesediaan membantu
mempermudah keikutsertaan para anggota dalam kelompok,
sehingga semua secaa ikhlas menyumbangkandan mengungkapkan
gagasan-gagasa.
12. Memasang aturan main (setting standarts) yaitu tindakan
menyampaikan aturan dan tata tertib yang membantu kehidupan
kelompok.
E. Fungsi Kepemimpinan
Fungsi kepemimpinan menurut Siagian yaitu:
1. Pemimpin sebagai penentu arah, yaitu setiap birokrasi, baik
dibidang kenegaraan, keniagaan, politiik, sosial dan birokrasi
kemasyrakatan ainnya, diciptakan atau dibentuk sebagai wahana
untuk mencapai tujuan tertentu, baik sifatnya jangka panjang, jangka
pendek yang tidak mungkin tercapai apabila tidak diusahakan
dicapai oleh anggotanya yang bertindak sendiri-sendiri, tanpa
ditentukan arah oleh pimpinan
2. Pimpinan sebagai wakil dan juru bicara birokrasi, yaitu dalam
rangka pencapaian tujuan, tidak ada birokrasi yang bergerak dalam
suasana terisolasi. Artinya, tidak ada birokrasi yang akan mampu
mencapai tujuannya tanpa memlihara hubungan yang baik dengan
berbagai pihak diluar birokrasi itu sendir, yaitu pihak stakeholder.
3. Pemimpin sebagai komunikator, yaitu pemeliharan baik keluar
maupun ke dalam dilaksanakn dalam proses komunikasi, baik lisan
maupun tulisan.
4. Pemimpin sebagai mediator,sebagai penengah dalam suatu konflik
yang mungkin terjadi didalam birokrasi itu sendiri.
5. Pemimpin sebagai integrator, yaotu merupakan kenyataan
kehidupan birokrasi bahwa timbulnya kecenderungan beorfikir dan
bertindak bekotak-kotak dikalangan para anggota birokrasi dapat
diakibatkan oleh sikap positif, ataupun sikap negatif.
F. Gaya Kepemimpinan
Secara umum gaya kepemimpinan hanya dikenal dalam dua gaya yaitu
gaya otoriter dan gaya demokrasi. Gaya kepemimpinan otoriter biasanya
dipandang sebagai gaya yang didasarkan atas kekuasaan posisi dan
penggunaan otoritas dalam melaksanakan tugas-tugasnya sebagai
pemimpin. Sedangkan gaya kepemimpinan demokrasi dikaitkan dengan
kekuatan personal dan keikutsertaan para pengikut dalam proses pemecahan
masalah dan pengambilan keputusan.
1. Gaya kepeminpinan menurut Thoha, adalah merupakan norma prilaku
yang digunakan seseorang pada saat orang tersebut mencoba
mempengaruhi prilaku orang lain. Ermaya, menyatakan bahwa gaya
kepemimpinan merupakan bagaiman cara mengendalikan bawahan
untuk melaksanakan sesuatu.
2. Gaya pemimpian menurut Hersey & Blanchard, adalah pola-pola prilaku
konsisten yang mereka terapkan dalam rangka bekerja dengan dan
melalui orang lain seperti yang dipersepsikan orang-orang itu.pola-pola
itu timbul pada diri orang-orang pada waktu mereka memulai
memberikan tanggapan dengan cara yang sama yang sama dalam kondisi
serupa , pola itu membentuk suatu kebiasan tindakan yang setidaknya
dapat diperkirakan bagi mereka yang lagi bekerja dengan pemimpin itu.
Dari pendapat para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa gaya kepemimpiann
adalah “suatu cara yang dipergunakan oleh seorang pemimpin dama
mempengaruhi, mengarahkan, mendorong, dan mengendalikan bawahannya
dalam rangka pencapaian tujuan organisasi secara efisien dan efektiv.

G. Tipe-tipe Kepemimpinan
Dalam setiap realitasnya bahwa pemimpin dalam melaksanakan
proses kepemimpinannya terjadi adanya suatu permbedaan antara
pemimpin yang satu dengan yang lainnya, hal sebagaimana menurut G. R.
Terry yang dikutif Maman Ukas, bahwa tipe kepemimpinan yaitu :
1. Tipe kepemimpinan pribadi (personal leadership).
Dalam system kepemimpinan ini, segala sesuatu tindakan itu dilakukan
dengan mengadakan kontak pribadi. Petunjuk itu dilakukan secara lisan atau
langsung dilakukan secara pribadi oleh pemimpin yang bersangkutan.
2. Tipe kepemimpinan non pribadi (non personal leadership).
Segala sesuatu kebijaksanaan yang dilaksanakan melalui bawahan-bawahan
atau media non pribadi baik rencana atau perintah juga pengawasan.
3. Tipe kepemimpinan otoriter (autoritotian leadership).
Pemimpin otoriter biasanya bekerja keras, sungguh-sungguh, teliti dan
tertib. Ia bekerja menurut peraturan-peraturan yang berlaku secara ketat dan
instruksi-instruksinyaharus ditaati dan tanpa ada pelanggaran ataupun
kesalahan.
4. Tipe kepemimpinan demokratis (democratis leadership).
Pemimpin yang demokratis menganggap dirinya sebagai bagian dari
kelompoknya dan bersama-sama dengan kelompoknya berusaha
bertanggung jawab tentang terlaksananya tujuan bersama. Agar setiap
anggota turut bertanggung jawab, maka seluruh anggota ikut serta dalam
kegiatan, perencanaan, penyelenggaraan, pengawasan, dan penilaian. Setiap
anggota dianggap sebagai potensi yang berharga dalam pencapaian tujuan.
5. Tipe kepemimpinan paternalistis (paternalistis leadership).
Kepemimpinan ini dicirikan oleh suatu pengaruh yang bersifat kebapakan
dalam hubungan pemimpin dan kelompok. Tujuannya adalah untuk
melindungi dan memberikan arah seperti halnya seorang bapak kepada
anaknya.
6. Tipe kepemimpinan menurut bakat (indogenious leadership).
Biasanya timbul dari kelompok orang-orang yang informal di mana
mungkin mereka berlatih dengan adanya system kompetisi, sehingga bisa
menimbulkan klik-klik dari kelompok yang bersangkutan dan biasanya
akan muncul pemimpin yang mempunyai kelemahan di antara yang ada
dalam kelempok tersebut menurut bidang keahliannya di mana ia ikut
berkecimpung.
H. Studi Kasus
1. Mengenang Seorang Pemimpin Besar: Nelson Mandela [1918-2013]
Tepatnya pada hari Kamis tanggal 5 Desember 2013, dunia kehilangan seorang
pemimpin besar, seorang pemimpin transformasional, Nelson Mandela, mantan
presiden pertama Republik Afrika Selatan yang dipilih secara demokratis.
Nelson Rolihlahla Mandela dilahirkan pada tanggal 18 Juli 1918. Pejuang
melawan ketidak-adilan. Untuk kurun waktu 200 tahun lamanya Afrika Selatan
diperintah oleh sebuah pemerintahan minoritas kulit putih. Kemampuan
Mandela untuk mengkonfrotir isu-isu menjadikannya presiden kulit hitam
Afrika Selatan yang pertama dalam sebuah pemilihan yang diselenggarakan
secara demokratis untuk pertama kalinya. Mandela juga diakui sebagai seorang
pembawa damai bagi sebuah bangsa yang telah dicabik-cabik oleh pertentangan
dan kekerasan rasial yang berlangsung berabad-abad lamanya. Masa muda.
Mandela tidak selalu merasa nyaman sebagai pusat perhatian umum. Pada
waktu berumur 20’an awal, Mandela merasa takut berbicara di depan publik.
Namun dia menyadari, bahwa apabila dia harus mempengaruhi orang – dan
inilah hakikat dari kepemimpinan – maka dia harus mampu mengatasi masalah
rasa takut ini. Mandela menghadapi rasa takutnya itu dan memaksa dirinya
untuk berbicara dan berpidato di depan kelompok-kelompok besar yang
berkumpul guna memperjuangkan kemerdekaan-sipil. Mandela memusatkan
perhatiannya pada masalah rasialisme dan melupakan rasa khawatirnya. Tidak
lama setelah itu Mandela sudah biasa terlihat berdiri di hadapan ribuan orang
banyak dan dia berbicara dengan berapi-api dan penuh kepercayaan-diri.
Mandela mengejar tujuan-tujuan sesuai dengan cita-cita yang ingin dicapainya,
tanpa mengenal lelah. Sebagai seorang muda, Mandela menyadari bahwa
pendidikan adakah kunci keberhasilan. “Walaupun tidak cemerlang pada waktu
menjadi murid sekolah dasar, secara bertahap dia berhasil memperbaiki diri,
bukan karena kecerdikan melainkan kekerasan kepala”, demikian tulis Mandela
sendiri. Mandela adalah orang pertama dari keluarganya yang berhasil belajar
di perguruan tinggi. Mandela studi hukum di universitas yang terkenal di Afrika
Selatan, yaitu Universitas Witwaterstrand. Dalam otobiografinya, Long Walk
to Freedom, Mandela mengungkapkan bahwa dia adalah keturunan “darah biru”
di wilayah Transkei di Afrika Selatan. Ia memutuskan untuk melepaskan
haknya guna menggantikan ayahnya sebagai kepala suku Tembu agar dapat
belajar hukum seperti dicatat di atas. Setelah lulus sekolah hukum Mandela
melihat di Afrika Selatan belum ada kantor pengacara orang hitam – dengan
demikian dia membuka kantor pengacara orang hitam yang pertama di
Johannesburg. Mandela menulis, “Untuk sampai ke kantor kami, kami harus
berjalan melalui kerumunan orang banyak di lorong-lorong, di tangga-tangga
dan dalam ruang tunggu kantor kami”. Melawan rasialisme secara teroganisir.
Untuk melawan rasialisme yang dilegalisir oleh pihak yang berkuasa, pada
tahun 1952 Mandela mempersatukan orang-orang berwarna kulit hitam (negro),
orang-orang keturunan India dan orang-orang yang berdarah campuran dalam
“Campaign for the Defiance of Unjust Laws” (Kampanye untuk menentang
hukum-hukum yang tidak adil). Untuk menjamin bahwa kampanye ini sampai
menarik perhatian dunia, dengan cermat sekali Mandela merencanakan sebuah
program dengan dua tahapan. “Pada tahapan pertama, sejumlah kecil
sukarelawan yang telah terlatih baik akan melanggar hukum-hukum tertentu
yang telah dipilih secara khusus di sejumlah kecil area di kota-kota”, kata
Mandela. “Mereka akan masuk ke dalam area-area terlarang tanpa izin,
menggunakan berbagai fasilitas, seperti WC, bagian-bagian dalam gerbong
kereta, ruang-ruang tunggu dan pintu-pintu masuk kantor pos, yang khusus
diperuntukkan bagi orang-orang berkulit putih. Dengan sengaja mereka akan
berdiam dalam kota (yang khusus diperuntukkan untuk orang-orang kulit putih)
setelah jam malam”. Mandela memang mengetahui bahwa orang-orang Afrika
Selatan yang berkulit putih dapat mencoba untuk mengabaikan orang-orang
yang melakukan protes ini. Untuk menjamin orang-orang kulit putih itu tidak
mengabaikan mereka, maka Mandela mengajarkan para pendukungnya bahwa
perlu untuk mempraktekkan “perlawanan massa, disertai dengan pemogokan-
pemogokan”. Proses ini diulang-ulangi dari daerah yang satu ke daerah yang
lain untuk selama lima bulan lamanya. Kampanye selama lima bulan ini
berhasil membangkitkan kesadaran dunia tentang kekejian Apartheid dan
menambah jumlah keanggotaan dalam “African National Congress (ANC) –
sebuah kelompok kemerdekaan sipil yang didirikan pada tahun 1912 – dari
20.000 anggota menjadi 100.000 anggota. Gandrung akan persatuan dan
kesatuan. Mandela melihat bahwa pertumbuhan ANC ini sebagai suatu
kesempatan untuk mendatangkan persatuan yang lebih mendalam lagi. Pada
tahun 1955, Mandela mengorganisir Kongres Rakyat (Congress of the People)
untuk mempersatukan kekuatan-kekuatan anti-apartheid di Afrika Selatan dan
“menciptakan prinsip-prinsip demokratis yang “mengabsahkan perusahaan
privat dan akan memperkenankan kapitalisme untuk bertumbuh dengan subur
di antara orang-orang di Afrika Selatan”, demikian kata Mandela. Percaya
kepada Demokrasi. Mandela selalu percaya pada demokrasi. Dia belajar
mengenai demokrasi ini dari ketua suku (tribal chief) yang membesarkannya
dalam sebuah kota di pedalaman Mqhekezweni setelah kematian ayahnya. Sang
kepala suku menyelenggarakan rapat-rapat di mana “setiap orang didengar,
ketua dan yang dipimpinnya, prajurit dan tabib, pemilik toko dan petani”, ingat
Mandela. Orang-orang dapat berbicara tanpa interupsi. Percaya kepada gerakan
non-kekerasan. Mandela tidak menyukai kekerasan, dan dia mendesak para
pendukungnya untuk mengikuti prinsip-prinsip yang dicanangkan oleh tokoh
kemerdekaan India, Mohandas Gandhi, yaitu protes dengan cara damai.
Walaupun begitu Mandela tidak menafikkan pembelaan diri. Ketika polisi
Afrika Selatan melakukan kekerasan terhadap gerakan tanpa kekerasan
kelompoknya, ANC tidak mempunyai pilihan lain kecuali mengubah arah”,
katanya. Ada sejumlah orang kulit putih mati terbunuh pada huru-hara di awal-
awal. Pada tahun 1960, polisi membunuh atau melukai lebih dari 250 orang
berkulit hitam di Sharpville. Akibatnya sekitar 95% tenaga kerja kulit hitam
mogok bekerja selama dua minggu, dan keadaan darurat pun dideklarasikan.
Kemudian Mandela mengorganisasikan tindakan-tindakan sabotase untuk
semkin menekan pemerintah Afrika Selatan untuk berubah. Target dari sabotase
adalah instalasi-instalasi pemerintah namun dengan tetap menjaga tidak ada
jiwa melayang dalam kampanye pemboman itu. Sementara itu Mandela masuk
dalam DPO Polisi Rahasia. Untuk selama 18 bulan Mandela hidup di bawah
tanah dan menyamar agar tidak ditangkap. Namun pada akhirnya pada tahun
1962 dia berhasil ditangkap dan diseret ke pengadilan yang “tidak adil” dan
kemudian dijebloskan ke dalam penjara. Kemudian dia ditaruh di penjara Robin
Island untuk mengawali hidup dalam penjara yang lebih dari seperempat abad
lamanya. Tidak kenal kompromi. Pada waktu pemerintah Afrika Selatan
menjebloskan Mandela bersama dengan para aktivis ANC dan kelompok-
kelompok kemerdekaan sipil lainnya ke dalam penjara, dia menolak untuk
menyerah. Mandela bertekun selama 27 tahun hidup dalam penjara. Dari dalam
penjara Mandela secara tetap mencoba untuk mengingatkan dunia akan
ketidakadilan yang sedang terjadi di Afrika Selatan. Dan ia berhasil meyakinkan
dunia. Pada tahun 1985 kepadanya ditawarkan pembebasan bersyarat, namun
dia menolak tawaran itu. Mandela memang bukan seorang pribadi yang suka
berkompromi. Mengakui pentingnya humas dan mempraktekkannya. Mandela
memahami nilai dari fungsi hubungan masyarakat (humas; public relations). Ia
menggelar acara “mogok makan” dan menerbitkan pesan-pesan para penasihat
hukumnya dan orang-orang lain yang diperkenankan mengunjunginya di
penjara. Dia juga menerbitkan pernyataan-pernyataan yang menceritakan
kepada dunia tentang pemenjaraan orang-orang yang menentang pemerintah,
penyiksaan/penganiayaan atas diri mereka dan rasialisme yang dilegalisir.
Selagi negara Afrika lainnya dan negara-negara demokratis di dunia Barat
menjauhi atau menjaga jarak dengan Republik Afrika Selatan, pemerintah
Afrika Selatan berkali-kali menawarkan pembebasan Mandela – dengan syarat
dia meninggalkan posisinya. Namun Mandela berpegang teguh pada
keyakinannya. “Saya menanggapi bahwa negaralah yang bertanggung jawab
atas kekerasan yang terjadi – artinya selalu pihak penindas, bukan pihak yang
ditindas, yang mendiktekan bentuk perjuangan”, kata Mandela. “Bukan
tergantung kepada kitalah untuk menolak kekerasan, melainkan pemerintah”.
Dengan cepat Mandela menjadi suatu lambang terkenal berkaitan dengan
penindasan di Afrika Selatan. Pada bagian akhir tahun 1980an, determinasinya
yang dahsyat telah menolong mempengaruhi negara-negara lain – termasuk
Amerika Serikat untuk menjatuhkan sanksi terhadap Afrika Selatan sampai
pemerintahnya setuju untuk mengakui semua kelompok etnis sebagai warga-
warga negara dengan hak-hak yang penuh. Akhirnya, Presiden Afrika Selatan,
P.W. Botha setuju untuk bertemu dengan Mandela. Negosiasi dengan
pemerintahan kulit putih. Mandela kemudian disibukkan dengan berbagai
negosiasi. Dia memakai waktu berjam-jam lamanya untuk bernegosiasi dengan
Botha, dan kemudian dengan penggantinya, F.W. de Klerk, memaparkan
tuntutan-tuntutan ANC untuk terciptanya sebuah Afrika Selatan yang baru. Dia
mendesak pemerintah untuk membatalkan pelarangan ANC dan kelompok-
kelompok kemerdekaan-sipil yang lain; juga menghentikan keadaan darurat
yang memberikan kepada polisi kuasa untuk melakukan sweeping. Mandela
juga mendesak pembebasan para tahanan politi dan menuntut bahwa mereka
yang berada dalam pembuangan diperkenankan untuk kembali ke Afrika
Selatan. Dibebaskan dari penjara. Pada tanggal 2 Februari 1990, enam bulan
setelah menjadi Presiden Republik Afrika Selatan, de Klerk menyetujui
sebagian besar dari tuntutan-tuntutan Mandela. Sembilan hari kemudian,
Mandela dibebaskan, setelah selama 27 tahun meringkuk dalam penjara.
Mandela keluar dari penjura pada tanggal 11 Februari 1990 dan dia disambut
meriah oleh rakyat. Setelah hening untuk beberrapa menit lamanya, dia berkata:
“Para sahabat, teman seperjuangan dan sesama warga Afrika Selatan. Saya
menyapa anda semua dalam nama perdamaian, demokrasi dan kebebasan untuk
semua! Saya berdiri di sini dihadapan anda sekalian bukan sebagai seorang
nabi, melainkan sebagai seorang abdi (pelayan) yang rendah hati dari anda,
rakyat. Pengorbanan-pengorbanan anda sekalian yang tidak mengenal lelah dan
penuh kepahlawanan telah membuat mungkin bagi saya untuk berada di sini
hari ini. Oleh karena itu saya menempatkan sisa-sisa tahun kehidupan saya ke
dalam tangan-tangan anda.” Dalam otobiografinya Mandela menulis, “Pertama-
tama saya ingin mengatakan kepada rakyat bahwa saya bukanlah seorang
mesias, melainkan seorang manusia biasa yang menjadi seorang pemimpin
karena keadaan yang bersifat luarbiasa (extraordinary). Saya ingin langsung
berterima kasih kepada rakyat di seluruh dunia yang telah melakukan kampanye
untuk pembebasan saya .... Sungguh vital bagi saya untuk menunjukkan kepada
rakyatku dan pemerintah bahwa saya tidak patah (tidak berhasil dipatahkan) dan
tidak tunduk (tidak berhasil ditundukkan), dan bahwa perjuangan belum selesai
bagi saya, tetapi mulai baru dalam bentuk yang berbeda. Saya menegaskan
bahwa saya adalah seorang anggota ANC yang loyal dan berdisiplin. Saya
mendorong rakyat untuk kembali ke barikade mereka, untuk mengintensifkan
perjuangan, dan kita akan menjalani mil terakhir bersama.” Mimpi Mandela
adalah Afrika Selatan yang non-rasial, bersatu dan demokratis berdasarkan
peraturan voting “one person, one-vote rule”, mengungkapkan tidak adanya
kebencian pada orang-orang kulit putih, melainkan menyalahkan sistem yang
membuat orang-orang berwarna kulit hitam berhadapan-hadapan dengan orang-
orang kulit putih sebagai lawan. Dia terus meyakinkan orang-orang kulit putih
bahwa mereka juga warga Afrika Selatan, dan itu pun tanah mereka juga. Dia
mengingatkan bahwa kita harus melupakan masa lampau dan
mengkonsentrasikan diri pada pembangtunan masa depan yang lebih baik bagi
semua orang. Menurut kata-katanya sendiri, misinya adalah mengkhotbahkan
rekonsiliasi, membalut luka-luka negara, dan menimbulkan rasa percaya (trust)
dan kepercayaan (confidence). Mandela berkata bahwa pada setiap kesempatan
dia mengatakan semua rakyat Afrika Selatan harus bersatu sekarang, dan sambil
bergandengan tangan mengatakan bahwa kita adalah satu negara, satu bangsa,
satu rakyat, yang berbaris bersama menuju masa depan. Pemilihan Umum.
Sekeluarnya dari penjara, perjuangan Mandela belumlah selesai. Ada visi
besarnya yang belum terwujud dan situasi dalam masyarakat juga jauh dari
tenteram. Selama empat tahun ke depan, Mandela menolong memimpin
negosiasi-negosiasi untuk mendirikan sebuah demokrasi di Afrika Selatan.
Sebelum itu, pada tahun 1992 sebanyak 4 juta orang pekerja melakukan
pemogokan untuk memprotes aturan-aturan yang dibuat orang kulit putih.
Karena tekanan ini, Mandela memaksa de Klerk untuk menandatangani sebuah
dokumen yang memuat garis-garis besar pemilihan multi-partai. Dan, pada
akhirnya negara ini menyelenggarakan pemilihan umum yang sungguh bersifat
multi-rasial di bulan April 1994. Polling pendapat menunjukkan bahwa ANC
merupakan mayoritas yang besar. Walaupun begitu Mandela dan para petinggi
partai lainnya tetap bekerja seakan mereka sedang menghadapi pertempuran
yang keras dan sulit. Sungguh merupakan suatu tugas yang sangat berat, seperti
dikatakan oleh Mandela sendiri, “Kita memprakirakan bahwa orang-orang yang
akan datang ke TPS berjumlah lebih dari 20 juta orang, dan kebanyakan dari
mereka akan memilih untuk pertama kalinya. Banyak pemilih adalah orang-
orang buta huruf dan mudah terintimidasi” Untuk mencapai rakyat yang tidak
dapat membaca, Mandela dan kawan-kawannya melatih lebih dari 100.000
orang untuk membantu dalam registrasi para pemilih. Para caleg ANC pergi ke
segala peloksok negeri sambil menyelenggarakan pertemuan-pertemuan yang
dinamakan “forum rakyat” (people’s forum) – di desa-desa dan kota-kota kecil
guna mendengarkan “pengharapan-pengharapan dan rasa taksut, ide-ide dan
keluhan-keluhan, dari rakyat kita”. Tanggapan-tanggapan rakyat ini menolong
partai dan platform-nya. ANC menang dengan 62,6% dari suara nasional dan
252 dari 400 kursi di National Assembly (parlemen). Mandela diangkat menjadi
presiden pada tanggal 10 Mei 1994. Untuk menghargai berbagai upaya mereka
guna mengakhiri apartheid, Mandela bersama de Klerk, menerima Hadiah
Nobel untuk Perdamaian di tahun 1993. Turun takhta. Pada tahun 1999,
Mandela “turun takhta” sebagai presiden untuk membuka jalan bagi Thabo
Mbeki, yang dinominasikan sebagai presiden ANC pada tahun 1997. Setelah
pengunduran diri Mandela dari pemerintah, dia melanjutkan berbagai
perjalanan internasionalnya, bertemu dengan para pemimpin dunia lainnya,
menghadiri konferensi-konferensi dan mengumpulkan berbagai anugerah
penghargaan dari berbagai penjuru dunia (lebih dari 250 penghargaan).
Mandela tetap memiliki keprihatinan atas dampak penyakit HIV-AIDS atas
Afrika Selatan, seperti ditekankannya pada pidato perpisahannya kepada
parlemen pada tahun 2004. Mandela juga menciptakan “Mandela Children’s
Fund” untuk memperhatikan anak-anak yang miskin guna memperbaiki
kualiatas kehidupan mereka. Kematiannya. Pada tanggal 5 Desember 2013,
Mandela meninggal dunia dalam damai. Seperti dibuktikan pada saat-saat
kematian dan pemakamannya, dia dihormati oleh banyak negara dan bangsa di
dunia. Nelson Mandela adalah seorang negarawan yang besar, seorang
pemimpin yang berani, seorang pembawa damai, seorang politisi yang
cemerlang, bapak dari bangsanya, dan seorang pribadi yang memahami arti
sebenarnya dari pengampunan dan rekonsiliasi, seorang Kristiani yang baik.
Dan, namanya tidak akan dilupakan untuk banyak tahun ke depan. Mandela
adalah seorang contoh transformational leader yang sangat dibutuhkan oleh
Indonesia sekarang ini.

2. Kasus Kepemimpinan Transaksional

Salah satu karakter kepemimpinan SBY yang paling dominan adalah the golden
middle way: politik jalan tengah. Desain presidensial yang digabungkan dengan
sistem multipartai memang sebuah kombinasi ganjil, sehingga menuntut SBY
melakukan konsensus dan harmoni Scott Mainwaring (1993) mendeteksi tiga
implikasi dari kombinasi sistem presidensial-multipartai. Pertama, tiadanya
kekuatan mayoritas partai yang menguasai parlemen mengakibatkan deadlock.
Realitas ini memberi peluang bagi DPR ”mengganggu” Presiden yang
mendorong munculnya konflik Presiden-DPR. Kedua, dibandingkan dengan
sistem dua partai, sistem multipartai rentan melahirkan polarisasi ideologis.
Ketiga, koalisi permanen antarpartai lebih sulit dibentuk dalam sistem
presidensialisme ketimbang parlementer.Pada titik inilah, konsensus dan
kompromi dalam sistem presidensial dengan citarasa parlemen rentan mengarah
pada model kepemimpinan transaksional. Yakni kepemimpinan yang
melibatkan hubungan pemimpin dengan elit politik lainnya maupun elit dengan
pemilih yang dibangun di atas pondasi pragmatisme dan pertukaran
kepentingan ekonomi-politik serta umpan balik negatif (Burns 1978). Lihatlah
hubungan elit politik dengan konstituen yang dirusak oleh transaksi material,
bukan pertukaran gagasan. Lihat pula hubungan antarelit politik yang
didominasi nafsu purba Laswellian: “who gets what, when, and how.” Gaya
politik transaksional bertumpu pada konsesi politik. Profesionalisme dan
meritokrasi tak lagi menjadi acuan. Ketegasan menjadi barang mahal karena
terlalu banyak pertimbangan dan kalkulasi politik yang dijadikan konsideran.
Model kepemimpinan transaksional ini tumbuh subur dalam sistem politik
kartel di mana APBN/APBD menjadi ajang bancakan dan lisensi
diperjualbelikan untuk mengikat loyalitas politik. Rakyat menjadi yatim piatu.
Yatim karena pemerintah jarang hadir dalam setiap permasalahan yang dihadapi
publik, tapi begitu sigap menarik pajak. Piatu karena partai-partai politik hanya
menyapa pemilih menjelang pemilu. Rakyat dihadiahi surplus politisi, tapi
defisit negarawan. Politisi-par-excellence yang bersikap negarawan selalu
memikirkan apa yang diwariskan bagi bangsanya ke depan. Politisi-negarawan
berani bertindak tidak populer asalkan berdampak positif bagi rakyatnya.
Dalam studi kepemimpinan, model transaksional selalu dibenturkan dengan
kepemimpinan transformasional. Politisi-negarawan pasti menerapkan model
kepemimpinan transformasional yang punya visi masa depan dan menolak
transaksi politik jangka pendek. Tichy dan Devanna (1990) menyatakan
pemimpin yang menerapkan model ini akan menularkan efek transformasi pada
level individu dan organisasi. Bass dan Avolio (1994), dalam buku “Improving
Organizational Efectiveness through Transformasional Leadership,”
kepemimpinan transformasional dicirikan oleh “The four I’s (empat huruf ‘I’)”
Pertama, pemimpin transformasional memiliki “idealized influence,” rakyat
dibuat berdecak kagum, hormat dan percaya. Tak ada elemen masyarakat,
apalagi tokoh-tokoh agama dan cendekiawan, yang menuduh pemimpinnya
sedang melakukan politik kebohongan. Otentisitas menjadi mantra dan
rakyatnya percaya bahwa para pemimpinnya sedang tidak bersandiwara.
Kedua, kepemimpinan transformasional mampu menggelorakan “inspirational
motivation,” menyuntikkan motivasi dan asa pada rakyatnya serta mampu
merealisasikan harapan menjadi kenyataan. Pemimpin tak hanya mengaum di
atas podium dan tak hanya pintar berwacana, tapi juga cakap dalam bekerja.
Pemimpin yang tak hanya pintar bersolek di depan kamera atau berdandan di
baliho-baliho atau spanduk pada masa pemilukada. Ketiga, intellectual
stimulation. Gaya kepemimpinan transformasional kaya ide-ide baru dan
terobosan. Pemimpin tak sekadar hadir pada setiap perayaan upacara, tapi hadir
dalam setiap percakapan dan persoalan yang dihadapi rakyatnya. Dia tak
terjebak pada urusan business as usual dan berpikir out of the box untuk
mengatasi kebuntuan. Pemimpin seharusnya tidak larut dalam kompromi
politik. Pemimpin adalah leader, bukan dealer. Dimensi terakhir adalah
“individualized consideration,” yang mau mendengar keluhan bawahan,
bersikap layaknya manusia dan apa adanya. Dalam arti yang luas, pemimpin
tidak membangun benteng pemisah dengan rakyatnya. Elit pemimpin kita
tersandera kepemimpinan transaksional. Mereka lebih mengedepankan
konstituen ketimbang konstitusi, memprioritaskan kepentingan jangka pendek
dan politik barter untuk mengamankan posisi masing-masing. Saatnya kita
memperbaiki jalur kaderisasi politik kita, menyiapkan supply-side politik yang
bertumpu pada azas meritokrasi dan kompetensi.

Anda mungkin juga menyukai