Pengukuran jarak obyek oleh radar menggunakan waktu tempuh pulang pergi suatu pulsa
(waktu yang diperlukan saat sinyal dipancarkan sampai membentur obyek dan waktu yang
diperlukan saat sinyal dikirim oleh obyek sampai kembali ke penerima).
Radar PSR bekerja dengan menggunakan antena parabolic yang berputar 360
derajat menyapu ruang udara di sekitarnya dengan memancarkan gelombang
electromagnetic mengenai suatu object, gelombang tersebut akan di pantulkan
kembali dan diterima oleh antena radar PSR. Hanya target bergerak saja yang bisa
dihitung dan diproses dan dapat di hitung azimuth dan jarak pesawat terhadap
ground station radar PSR.
Sifat-sifat primary radar :
1. Range, rentang antara radar dan target. Diketahui dengan selang waktu pancaran dan sinyal yang
kembali ke penerima.
2. Moving Target Indication (MTI), menentukan apakah target itu bergerak atau diam. Diketahui
dengan mengamati frekuensi sinyal pantulan, adanya pergeseran frekuensi berarti suatu obyek itu
bergerak dengan kecepatan sesuai besarnya pergeseran frekuensi.
3. Angular Location, posisi target pada bidang horizontal (azimuth). Diketahui dengan menggunakan
arah antena yang mempunyai beam width sempit untuk menerima kedatangan sudut sinyal pantul.
4. Trajectory (track) garis lintasan. Diketahui dengan mengamati posisi target secara terus menerus
untuk setiap scan antena. Dengan mengetahui lintasan ini seorang operator bisa memprediksi posisi
target pada selang waktu berikutnya.
Menentukan posisi pesawat dengan proses primary radar maupun secondary diperlukan
suatu patokan sebagai pembanding pada mana sinyal radar yang diterima harus dihitung.
Umumnya radar memiliki alat khusus untuk keperluan tersebut yang disebut Encoder atau Selsyn
yang mempunyai prinsip kerja sebagai berikut :
1. Sebuah piringan yang berlubang transparan kecil-kecil sejumlah 4096 untuk menghasilkan sinyal
increment dan satu lubang lagi untuk menghasilkan sinyal north (utara). Piringan tersebut
terhubung dengan sebuah poros yang dilengkapi dengan roda-roda gigi untuk menghubungkan
dengan roda gigi di pedestal antena yang jelas akan berhubungan dengan perputaran antena.
Penepatan peralatan encoder di antena saat instalasi melalui suatu proses kalibrasi agar tepat sinyal
utara keluar pada saat antena mengarah ke utara. Pada arah ini sinyal utara dan increment keluar
bersamaan.
Penentuan posisi dari sasaran yang terdeteksi adalah sama dengan menentukan sudut sasaran
tersebut terhadap titik utara (selanjutnya disebut azimuth).
Titik utara sebagai patokan adalah sinyal utara (north signal) yang dibangkitkan oleh sebuah alat
yang disebut Encoder dan diatur untuk dapat mengeluarkan satu sinyal pada saat perputaran antena
menghadap utara (earth magnetic north). Oleh karena antena berputar searah jarum jam dan 360°, maka
posisi sasaran yang telah memantulkan sinyal (echo), di dalam peralatan penerima dan prosesnya akan
ditentukan berapa besar azimuth sasaran tersebut terhadap titik utara dengan melakukan perhitungan pulsa
increment.
3 x 105
c= = 162162,16 NM/sec
1,85
1
162162,16
Dengan mengetahui waktu energi radar mengarah ke sasaran dan pantulannya (pulang-pergi)
dibagi dengan waktu 1 NM radar, maka jarak sasaran dari stasiun radar dapat diketahui. Ketepatan
pengukuran waktu sangat menentukan ketepatan pengukuran jarak.
Sistem radar tracking dimaksudkan untuk memperoleh pengukuran azimuth (koordinat) dan jarak
dari suatu sasaran dengan akurat, termasuk dalam seluruh informasi dari sasaran tersebut. Dengan data
yang akurat lintasan sasaran akan dapat diketahui dan posisi sasaran akan dapat diprediksi.
Ada dua jenis radar tracking yang masing-masing digunakan untuk tujuan yang berbeda, yaitu :
1. Countinuous Tracking. Jenis tracking ini umumnya digunakan oleh radar militer untuk
mendapatkan posisi sasaran yang benar-benar akurat. Sasaran akan diikuti terus oleh berkas antena
yang mempunyai 2° kebebasan horizontal dan vertikal yang digerakkan oleh servo motor.
2. Track White Scan. Jenis ini biasanya digunakan untuk radar penerbangan sipil, dimana jumlah
target yang mesti dilacak cukup banyak sehingga tidak mungkin satu antena hanya mengikuti satu
sasaran saja. Lintasan sasaran diketahui dengan memutar antena secara terus menerus dengan
jumlah putaran yang tetap sehingga biarpun sasaran tidak diikuti secara penuh informasi sudut dan
ketinggian serta jarak akan diperbaharui terus.
1. Sequential Lobing. Pada metode ini penampang berkas antena dibagi menjadi kuadran (4 daerah).
Satu berkas antena akan dipancarkan secara bergantian pada daerah-daerah tersebut untuk mencari
posisi sasaran yang sebenarnya. Perbedaan posisi sasaran dan sudut referensi disebut informasi
sudut.
Digunakan antena parabola dengan empat horn yang berfungsi sebagai pemancar ataupun
penerima sinyal. Perbedaan amplitude tegangan yang diterima oleh keempat horn itulah yang
menggerakkan rotating joint.
Sequential lobing ini adalah metode pertama yang diterapkan dalam teknik radar yang kini sudah
mulai ditinggalkan dan diganti dengan metode lain. Pattern-nya seperti gambar I-4 di bawah ini.
2. Conical Scan. Prinsipnya hampir sama dengan sequential lobing. Pada metode ini antena akan
diputar terus-menerus sedangkan pada metode sebelumnya tidak.
Sudut antara sumbu rotasi dan sumbu berkas antena disebut squint angle. Misalkan sebuah
sasaran pada posisi A. Sinyal pantul akan termodulasi dengan frekuensi yang sesuai dengan
frekuensi rotasi berkas. Amplitudenya akan tergantung pada pola berkas, squint angle, dan sudut
antara line of sight target dan sumbu rotasi. Sedangkan phasenya akan tergantung pada sudut
target dan sumbu rotasi.
Gambar I-5. Pattern Conical Scan
Sinyal pantul termodulasi ini yang diproses untuk menggerakkan servo motor. Pada saat sasaran
pada titik B, line of sight sasaran dan sumbu rotasi berhimpit dan conical scan modulation
berharga nol. Antena untuk conical scan yang paling sederhana adalah parabola dengan horn
pencatu yang berputar pada sumbu reflektor.
3. Monopulse Tracking Radar. Conical scan dan sequential lobing memerlukan sejumlah kecil pulsa
pantul untuk diproses mendapatkan sinyal informasi besaran sudut.
Deretan pulsa pantul yang diterima oleh perangkat penerima termodulasi amplitude oleh proses
perputaran berkas antena, tetapi tidak tertutup kemungkinan ada faktor lain yang mempengaruhi
modulasi ini, misalnya perubahan arah pesawat terbang yang menyebabkan fluktuasi pada radar
cross section.
Gambar I-6. Pattern Monopulse
Seperti diketahui radar cross section mempengaruhi level sinyal pantul yang diterima oleh
perangkat penerima. Karena permasalahan di atas dipikirkan metode lain. Fluktuasi amplitude pulsa
pantul tidak akan berpengaruh pada akurasi tracking jika pengukuran sudut hanya didasarkan pada satu
pulsa saja.
Salah satu teknik yang populer adalah amplitude comparation monopulse atau sering
disederhanakan menjadi monopulse. Pada radar yang memakai metode monopulse sinyal RF dari dua
offset antena dikombinasikan untuk mendapatkan sinyal SUM dan sinyal DIFFERENCE secara simultan.
Pada gambar I-6 terlihat bahwa radar monopulse menggunakan dua beam antena yang tumpang
tindih satu sama lain yang berasal dari pencatuan dua horn. Sum pattern digunakan untuk pentransmisian
sedangkan untuk penerimaan keduanya yaitu sum dan difference pattern. Sinyal yang diterima oleh
difference pattern akan menghasilkan besaran sinyal informasi sudut, sedangkan sinyal yang diterima
oleh sum pattern digunakan untuk mengetahui jarak sasaran dan dijadikan patokan untuk menentukan
tanda +/- dari error sudut. Kedua sinyal tersebut akan diproses secara terpisah dan kemudian digabungkan
untuk mengetahui karakteristik informasi.
Monopulse tracking memiliki ketepatan pengukuran sudut yang tinggi. Dengan pancaran pencil
beam dapat memiliki ketepatan sampai 0,003° untuk pendeteksian peluru kendali dengan sistem
continuous tracking monopulse.
2. Piringan disinari dengan lampu yang tidak ikut berputar, sehingga sinar yang keluar dari lubang-
lubang ini diterima oleh photocell transistor. Dari photocell ini akan diperoleh keluaran sinyal north
dan increment yang dipakai patokan untuk menentukan posisi pesawat terhadap titik utara dan
perhitungan azimuth-nya. Keluaran sinyal utara dan increment ini biasanya memiliki amplitude
tegangan sebesar 5 volt. Karena sinyal ini sangat berperan dalam menentukan perhitungan azimuth
pesawat, maka keluaran sinyal ini tidak boleh terjadi kecacatan.
P1 P2 P3 P1 P2 P3
2μs
1 3 Militer
2 5 Militer
D 25 N/U
Pulsa P2 digunakan untuk menghilangkan efek Side Lobe dari antena, seprti diterangkan
pada gambar II-3 di bawah ini :
Gambar I-3. Pancaran pulsa P2 digunakan untuk menghilangkan
Disamping F1 dan F2 terdapat pulsa identifikasi tambahan yang disebut pulsa “Special
Position Identification” atau SPI yang biasanya dipakai dipakai pesawat dalam kondisi emergensi.
Gambar I-4. Code code dari Transponder
Dalam kasus di atas, kesalahan tersebut harus dihilangkan yaitu dengan cara SLS. SLS dapat
dilakukan sebagai berikut :
Blok diagram sederhana dari SSR seperti pada gambar I-5 di bawah ini :
Normalnya pulsa 𝑃1 , 𝑃2 dan 𝑃3 memiliki level daya yang hampir sama, tetapi karena
perbedaan penguatan antena dengan pola directional sebesar 20 sampai 22 dB dan untuk pola
radiasi omnidirectional sebesar 4 sampai 5 dB mengakibatkan daya radiasi yang paling efektif
adalah lebih besar untuk 𝑃1 dan 𝑃3 . Pesawat menerima pulsa 𝑃1 dan 𝑃3 dalam level daya yang
sama dan pulsa 𝑃2 berlevel lebih rendah dari 𝑃1 dan 𝑃3 berarti pesawat tersebut berada pada
berkas utama (main lobe) radiasi antena radar. Sehingga pesawat tersebut berhak untuk
memproses pertanyaan sekaligus manjawab pertanyaan dengan jawaban yang sesuai. Sebaliknya
apabila ada pesawat yang menerima pulsa 𝑃1 , 𝑃2 dan 𝑃3 dalam level yang sama berarti bahwa
pesawat tersebut tidak terletak pada berkas utama (main lobe) radiasi sehingga tidak berhak
untuk menjawab pertanyaan dari interogator radar.
Reply code
SSR Downlink Format atau biasa dikenal dengan istilah reply code merupakan respon
jawaban terhadap interrogation mode yang dikirimkan oleh interrogator SSR. Reply code terdiri
dari dua pulsa frame atau bracket dengan jarak spasi 20,3 µs sebagai kode dasar yang umum.
Pulsa frame atau bracket ini dinamakan F1 dan F2. Dimana kedua pulsa ini mengapit 12 buah
pulsa informasi yang ditandai dengan huruf A, B, C, D dengan diberi akhiran angka 1, 2 dan 4
pada masing-masing huruf tersebut (sesuai dengan nilai binary code decimal).
Selain itu terdapat pulsa X yang terletak ditengah-tengah reply code yang tidak
digunakan. Dan pulsa terakhir yang dinamakan pulsa SPI (Special Purpose Identification) yang
digunakan oleh ATC (Air Traffic control) untuk mengidentifikasi identitas pesawat tertentu.
Sebelum menganalisa pulsa-pulsa reply code terlebih dahulu kita harus mengetahui mode
yang ditanyakan. Hal ini bisa diketahui dari spasi antara pulsa 𝑃1 dan 𝑃3 yang ditransmisikan ke
udara. Jika pulsa tersebut memiliki jarak 8 μs, maka mode tersebut merupakan mode interogasi
tipe A. (mode interogasi tipe A dapat dilihat pada gambar 3.1)
Untuk mengidantifikasi pesawat yang berbeda-beda, maka code yang diterima oleh SSR
didarat juga mempunyai jumlah pulsa (pulsa data) yang berbeda pula jumlahnya. Apabila
diantara F1 dan F2 itu tidak ada pulsanya sama sekali maka itu berarti pesawat mempunyai kode
0000. Tetapi bila kedua belas pulsa itu ada maka itu berarti pesawat mempunyai kode 7777.
Kode yang merupakan bilangan octal ini bukanlah kode sebenarnya dari pesawat, tetapi kode ini
hanya merupakan kode yang nantinya dipakai oleh receiver interogator untuk
menerjemahkannya menjadi data yang sebenarnya.
Cara mengkodekan ialah dengan mengkonversikan pulsa-pulsa tersebut dari biner
menjadi desimal. Dimana jika terdapat sebuah pulsa maka akan bernilai satu dan apabila tidak
memiliki pulsa maka akan bernilai 0. Dengan mengelompokkan urutannya sesuai dengan A, B, C
dan D dengan kode angka 1, 2, 4. Dimana yang menjadi acuan sebagai MSB adalah dengan kode
4.
Setelah mengetahui cara pengkodean pulsa-pulsa reply code untuk jenis mode interogasi
tipe A, kita dapat mengetahui identitas dari pesawat. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
beberapa contoh dibawah ini :
F1 C1 A1 C2 A2 C4 A4 B1 D1 B2 D2 B4 D4 F2
X
Pemecahannya :
Group pulse : A B C D
Biner pulse :1 100 100 100 100
:2 010 010 010 010
:4 001 001 001 001
111 111 111 111
Level pulse :1+2+4 1+2+4 1+2+4 1+2+4
Kode : 7 7 7 7
Maka identitas target (pesawat) tersebut memiliki kode : 7 7 7 7
b. Bila suatu transponder mengirim pulsa-pulsa dengan code
F1 C1 A1 C4 A4 B1 D1 D4 F2
Maka kode ini berarti :
F1 C1 A1 C2 A2 C4 A4 B1 D1 B2 D2 B4 D4 F2
X
Pemecahannya :
Group pulse : A B C D
Biner pulse :101 100 101 101
Level pulse :1+0+4 1+0+0 1+0+4 1+0+4
Kode : 5 1 5 5
Maka identitas target (pesawat) tersebut memiliki kode : 5 1 5 5
F1 C1 A1 C2 A2 C4 A4 B1 D1 B2 D2 B4 D4 F2
X
Pemecahannya :
Group pulse : A B C D
Biner pulse :110 100 011 111
Level pulse :1+2+0 1+0+0 0+2+4 1+2+4
Kode : 3 1 6 7
Maka identitas target (pesawat) tersebut memiliki kode : 3 1 6 7
Dari hasil pengkodean terhadap identitas pesawat terbang diatas, radar SSR NPG 1323
dapat melakukan pelacakan terhadap 7777 jenis pesawat terbang sekaligus tetapi pada
kenyataannya hal tersebut sangatlah kecil kemungkinannya. Karena tidak mungkin adanya 7777
pesawat terbang dalam suatu cakupan area.
Sebelum menganalisa pulsa-pulsa reply code terlebih dahulu kita harus mengetahui mode
yang ditanyakan. Hal ini bisa diketahui dari spasi antara pulsa 𝑃1 dan 𝑃3 yang ditransmisikan ke
udara. Jika pulsa tersebut memiliki jarak 21 μs, maka mode tersebut merupakan mode interogasi
tipe C. (mode interogasi tipe C dapat dilihat pada gambar 3.2).
Pulsa reply code dengan mode interogasi tipe C yang dikirim oleh transponder pesawat
hampir sama dengan reply code dengan mode interogasi tipe A, hanya untuk reply code dengan
mode C ini tidak memiliki pulsa D1. Jadi kita hanya mempunyai 11 pulsa yang mana hanya bisa
menghasilkan 2048 kombinasi yang dapat mengukur ketinggian dari -1000 feet sampai 34750
feet. Dimana untuk pulsa A, B, D merupakan kelipatan 500 feet sedangkan untuk pulsa C
merupakan kelipatan 100 feet. Dimana pada pulsa tidak akan memiliki pulsa 000, 101 dan 111.
Untuk mengkonversi pulsa-pulsa jawaban untuk mode C tidak sama dengan mengkonversi
pulsa-pulsa jawaban dengan mode A. Untuk itu, kita harus menyusun pulsa-pulsa tersebut
menjadi seperti berikut ini :
D2 D4 A1 A2 A4 B1 B2 B4 C1 C2 C4
Untuk mengkonversi pulsa-pulsa tersebut dari biner sehingga mendapatkan data berupa
ketinggian kita harus menggunakan metode konversi gray code. Sehingga untuk mengubah
pulsa-pulsa tersebut tidak semudah mengkonversi bilangan biner ke desimal. Cara
pengkonversiannya seperti dijelaskan dibawah ini :
F1 C1 A1 C2 A2 C4 A4 B1 D1 B2 D2 B4 D4 F2
X
Pemecahannya :
D2 D4 A1 A2 A4 B1 B2 B4 C1 C2 C4
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0
Kombinasi pulsa-pulsa biner diatas adalah dalam bentuk gray code, oleh karena itu pulsa-
pulsa yang diterima harus dirubah dahulu kedalam bentuk biner.
D2 D4 A1 A2 A4 B1 B2 B4 C1 C2 C4
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 (Gray code)
1 0 1 0 1 0 1 0 1 1 0 (Biner)
Setelah pulsa-pulsa tersebut dikonversikan maka ubah pulsa-pulsa D2, D4, A1, A2, A4,
B1, B2, B4 yang berbentuk biner ke dalam decimal.
D2 D4 A1 A2 A4 B1 B2 B4 C1 C2 C4
1 0 1 0 1 0 1 0 1 1 0
𝟏 𝟎 𝟏 𝟎 𝟏 𝟎 𝟏 𝟎(𝟐) = 𝟏𝟕𝟎(𝟏𝟎)
Setelah didapat nilai desimalnya kemudian dikalikan dengan 5 flat level (500 feet) karena
untuk nilai pulsa-pulsa D2, D4, A1, A4, B1, B2, B4 merupakan kelipatan 500 feet.
Kemudian nilai tersebut dikurang dengan 10 flat level (1000 feet) karena perhitungan
ketinggian dimulai dari – 1000 feet.
Setelah itu nilai tersebut dikalikan dengan 100 feet (1 flat level)
Setelah proses pengkonversian pulsa-pulsa D2, D4, A1, A2, A4, B1, B2, B4 diperoleh
besar ketinggian, sekarang yang harus dilakukan adalah dengan mengkonversi pulsa-pulsa C1,
C2, dan C4 yang merupakan kelipatan 100 feet. Untuk mengkonversi ketiga pulsa tersebut kita
harus melihat nilai-nilai pulsa yang dihasilkan oleh pulsa ‘C’ tidak akan memiliki nilai 000, 101,
dan 111. Nilai-nilai dari pulsa ‘C’ jika dilihat maka 5 nilai ‘C’ yang kedua merupakan
pencerminan dan hal itu terjadi seterusnya.
C1 C2 C4
1 0 0 -200 feet
1 1 0 -100 feet Merupakan nilai diantara
0 1 0 0 kelipatan 500 feet
0 1 1 +100 feet
0 0 1 +200 feet
0 0 1 -200 feet
0 1 1 -100 feet Merupakan nilai diantara
0 1 0 0 kelipatan 1000 feet
1 1 0 +100 feet
1 0 0 +200 feet
1 0 0 -200 feet
1 1 0 -100 feet Merupakan nilai diantara
0 1 0 0 kerlipatan 500 feet
0 1 1 +100 feet
0 0 1 +200 feet
Karena hasil yang didapat sebelumnya yaitu 84000 feet yang merupakan kelipatan dari
1000 feet maka untuk nilai ‘C’ = 1 1 0, maka hasil tersebut dijumlahkan dengan 100 feet.
Dari penjelasan diatas kita dapat mengukur ketinggian pesawat. Jika akan disesuaikan
kemungkinan 2048 kombinasi yang dapat dihasilkan dari reply code dengan mode interogasi tipe
C, maka penulis hanya akan mengambil beberapa contoh kemungkinan dari ketinggian pesawat
diantaranya :
Pemecahannya :
D2 D4 A1 A2 A4 B1 B2 B4 C1 C2 C4
0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 (Gray code)
0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 (Biner)
0 0 0 0 0 0 0 0 (2) = 0(10)
0 x 5 flat level = 0 flat level
0 – 10 = -10 flat level
-10 x 100 = 1000 feet
Untuk pulsa C : 0 1 0 = 0 feet
-1000 feet
F1 C1 A1 C2 A2 C4 A4 B1 D1 B2 D2 B4 D4 F2
X
Pemecahannya :
D2 D4 A1 A2 A4 B1 B2 B4 C1 C2 C4
0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 1 (Gray code)
0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1 (Biner)
0 0 0 0 0 1 0 0 (2) = 4(10)
4 x 5 flat level = 20 flat level
20 – 10 = 10 flat level
10 x 100 = 1000 feet
Untuk pulsa C : 0 0 1 = -200 feet
F1 C1 A1 C2 A2 C4 A4 B1 D1 B2 D2 B4 D4 F2
X
Pemecahannya :
D2 D4 A1 A2 A4 B1 B2 B4 C1 C2 C4
0 0 0 0 0 1 0 1 1 0 0 (Gray code)
0 0 0 0 0 1 1 0 1 0 0 (Biner)
0 0 0 0 0 1 1 0 (2) = 6(10)
6 x 5 flat level = 30 flat level
30 – 10 = 20 flat level
20 x 100 = 2000 feet
Untuk pulsa C : 1 0 0 = +200 feet
Dari beberapa analisa diatas dan berdasarkan jumlah pulsa yang digunakan oleh radar
SSR NPG 1323 untuk reply code dari mode interogasi tipe C dengan kemungkinan 2048
kombinasi maka pengukuran ketinggian dapat dilakukan dari minus 1000 feet sampai 34750 feet.
Tetapi pada kenyataannya radar ini mendeteksi pesawat terbang dengan ketinggian maksimum
31000 feet, karena ketinggian tersebut merupakan ketinggian maksimum yang digunakan oleh
penerbangan sipil.
ADS-B
AUTOMATIC DEPENDENT SURVEILLANCE RADAR
Salah satu sumber informasi posisi untuk ADS-B adalah GPS
Global Positioning System (GPS) adalah sistem satelit navigasi global berbasis
ruang angkasa (GNSS) yang menyediakan informasi lokasi dan waktu di semua
cuaca, di manapun di atau di dekat Bumi, di mana ada garis pandang yang tidak
terhalang ke empat atau lebih GPS satelit. Ini dikelola oleh pemerintah Amerika
Serikat dan dapat diakses dengan bebas oleh siapa saja yang memiliki penerima
GPS. Ada sekitar 32 satelit yang beroperasi.
Orbit diatur sedemikian rupa sehingga setidaknya enam satelit selalu saling
berhadapan dari hampir di mana-mana di permukaan bumi.
Posisi pesawat udara yang mempunyai transponder ADS-B akan memancarkan
informasi berupa posisi
( dari satellite GPS ), identtitas, ketinggian pesawat, dan kecepatan pesawat dan
lain lain.
Di ADS-B pesawat ada antena Receiver GPS Satelite yang setiap saat menerima
data data dari satellite GPS tetang dimana pesawat berada, di ketinggian berapa,
sedangkan kecepatan pesawat didapat dari data pesawat itu sendiri. Dan ketiga data
tersebut ada terekam di dalam transponder pesawat dan peasawat udara di dalam
system adsb melaporkan semua informasi tersebut ke pesawat lain dan ke station
lain, ground station seperti tower dan unit lain.
Siapa saja, termasuk pilot, bisa melihat pesawat ADS-B lainnya yang hanya
menggunakan receiverADS-B tanpa melalui interogator.
Format data dari pesan ADS-B adalah format angka DF17.
Jika subsistem transmisi adalah peralatan tipe non transponder, format
downlinknya adalah DF18
Isi datafield: DF di sini adalah bilangan desimal 17 (untuk DF17), dalam
kode biner 10001b.
Tiga bit berikut (disebut "Kemampuan", atau "CA") adalah jumlah sub-tipe
pesan ADS-B.
Pesan ADS-B berukuran 112 bit namun hanya setengah dari bit data yang tersedia
untuk konten data ADS-B (field Pesan 56 bit).
Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa informasi ADS-B yang diperlukan,
seperti posisi di Latitude, Bujur dan Ketinggian, Vektor Kecepatan, Identifikasi
Pesawat Udara, Kategori Pesawat Udara, dll tidak dapat dikirim dalam satu pesan
dan harus dikomunikasikan dengan menggunakan beberapa pesan.
Untuk tujuan ini, 56 bit Message Field dibagi menjadi subfield Kode Format dan
subbidang data.
ASTERIX | CATEGORIES
Sampai dengan 256 kategori dapat didefinisikan
Kategori Data 000 sampai 127 ditujukan untuk aplikasi sipil dan militer standar
CAT010 - Data Gerakan Permukaan Monoradar CAT011 - Data SMGCS CAT019 - Pesan Status
Sistem Multilaterasi
CAT020 - Pesan Multilaterasi
CAT021 - Pesan ADS-B
Lightning
protection
Roof of SEAA Facility
SEAA Facility
Interconnection Box
(CFE -SEAA)
ADS-B station
CAT21 CAT21
Ctrl&Mon
Ctrl&Mon
Penggunaan pesan ES
sistem MLAT dapat memproses sinyal ES dengan menggunakan dua
metode:
penggunaan
Sistem multilateration dapat digunakan untuk memantau lalu lintas di
permukaan bandara, di zona bandara rute yang den. Ini SuSE sehingga untuk
memantau lalu lintas di permukaan tergantung anak fakta apakah transponder
udara beroperasi di tanah pada tidak. Pada banyak pesawat operasi transponder
dikendalikan oleh sensor dari WOW yang juga dikenal sebagai saklar
sensor. Transponder Mode S terus mengirimkan sinyal menyesuaikan diri dan
dapat menerima permintaan selektif berada di tanah. Namun, transponder dari
ModeА / С sering dilarang untuk menanggapi permintaan sementara pesawat
ada di tanah dalam rangka untuk mengurangi gangguan untuk sistem radar di
dekatnya.