Anda di halaman 1dari 14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Kematian ibu

Kematian ibu adalah kematian yang terjadi pada ibu selama masa kehamilan atau
dalam 42 hari setelah berakhirnya kehamilan, tanpa melihat usia dan lokasi kehamilan, oleh
setiap penyebab yang berhubungan dengan atau diperberat oleh kehamilan atau
penanganannya tetapi bukan oleh kecelakaan atau incidental (faktor kebetulan). (Depkes RI,
2009).

Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan tolak ukur keberhasilan kesehatan ibu, yang
manjadi indikator terpenting untuk menilai kualitas pelayanan obstetri dan ginekologi di
suatu wilayah. Menurut SDKI tahun 2007, AKI di Indonesia tahun 2007 sebesar 248/100.000
kelahiran hidup. Jika dibandingkan dengan AKI menurut SDKI tahun 2003 sebesar
307/100.000 kelahiran hidup, AKI tersebut sudah jauh menurun, namun masih jauh dari
target MDGs 2015 yaitu sebesar 102/100.000 kelahiran hidup. Sehingga masih memerlukan
kerja keras dari semua komponen untuk mencapai target tersebut. Bidan sebagai tenaga
kesehatan dalam tatanan pelayanan kebidanan komunitas di lini terdepan, mempunyai
peranan penting dalam penurunan AKI yang dinilai masih tinggi.

Angka kematian ibu dikatakan masih tinggi karena :


Jumlah kematian ibu yang meninggal mulai saat hamil hingga 6 minggu setelah persalinan
per 100.000 persalinan tinggi
Angka kematian ibu tinggi adalah angka kematian yang melebihi dari angka target nasional
Tingginya angka kematian, berarti rendahnya standar kesehatan dan kualitas pelayanan
kesehatan yang diberikan, dan mencerminkan besarnya masalah kesehatan.

Indikator yang umum digunakan dalam kematian ibu adalah AKI atau Maternal
Mortality Ratio (MMR). Defenisi AKI adalah jumlah ibu yang meninggal selama kehamilan,
bersalin dan nifas yang dikarenakan oleh faktor kehamilannya per 100.000 kelahiran hidup
(Kemenkes, 2010). Angka ini mencerminkan risiko obstetri yang dihadapi seorang ibu
sewaktu dia hamil. Jika ibu hamil beberapa kali maka risikonya meningkat, dan digambarkan
sebagai risiko kematian ibu sepanjang hidupnya, yaitu probabilitas menjadi hamil dan
probabilitas kematian karena kehamilan sepanjang masa reproduksi.
Selain hal tersebut di atas, AKI juga mencerminkan keberhasilan pembangunan
kesehatan suatu negara, merefleksikan status kesehatan ibu selama hamil dan nifas, kualitas
pelayanan kesehatan serta kondisi lingkungan sosial dan ekonomi (Kemenkes, 2010).

II.2 Kematian Maternal dan Perinatal

Sejak permulaan kehamilan pertama manusia, mereka yang menjuruskan diri pada
ketrampilan untuk menolong persalinan telah mulai dirintis. Di Indonesia dikenal dengan
istilah paraji atau dukun beranak. Salah satu bentuk kepedulian dunia melalui WHO dan
UNICEF 1978 melaksanakan pertemuan yang berkaitan dengan tingginya angka kematian
ibu di seluruh dunia mencanangkan “primaryhealthcare dan helathforallbytheyears 2000”.
Diperkirakan terjadi kematian sekitar 560.000-585.000 orang setiap tahunnya dengan tekanan
terbesar di Negara berkembang. Di samping itu dapat pula diaudit bahwa sebagian besar
kematian maternal masih dapat dihindari bila pertolongan pertama dapat dilakukan dengan
memuaskan, dan juga dikemukakan bahwa kematian maternal merupakan masalah yang
kompleks karena berkaitan dengan penyebab antara dan penyebab tidak langsung.
Obstetri social menetapkan arahnya pada upaya promotif dan preventif dalam bidang
obstetric sehingga lebih mengkhususkan pada upaya meniadakan sebanyak mungkin
penyebab kematian antara dan penyebab kematian langsung.
Penyebab kematian natara yaitu :
1. Kesanggupan dalam memberikan pelayanan gawat darurat
2. Keadaan gizi ibu hamil laktasi yang berkaitan dengan status social ekonomi.
3. Kebodohan dan kemiskinan sehingga masih tetap berorientasi pada pelayanan
tradisional.
4. Penerimaan gerakan keluarga berencana, masih kurang yang nyata dapat menurunkan
AKI AKP.
5. Masalah perilaku seksual terjadi kehamilan yang tidak dikehendaki sehingga mencari
jalan pintas terminasi unadekat.

Penyebab kematian tidak langsung yaitu :


1. Rendahnya status perempuan Indonesiasecara umum.
2. Pekerjaan yang berat sekalipun sedang hamil tua karena harus ikut serta menunjang
kebutuhan social ekonomi keluarga.
3. Budaya komunal sehingga saat yang kritis masih memerlukan persetujuan kepala
keluarga, kepala desa, mereka yang disegani, sehingga terlambat untuk mengambil
keputusan.
Perhatian dan kemauan politik penguasa dalam menentukan skala prioritas pelayanan
kesehatan. Penyebab kematian perinatal sebagian besar berkaitan dengan penyebab kematian
maternal diantaranya trias kematian perinatal yaitu trauma persalinan, infeksi dan perdarahan,
asfiksia saat persalinan, persalinan prematuritas. Tingginya angka kematian perinatal
dianggap tolok ukur kemampuan melakukan pelayanan kesehatan yang bermutu dan
menyeluruh.
Upaya untuk dapat menurunkan AKI dan AKP adalah :
1. Mendekatkan pelayanan di tengah masyarakat dengan menempatkan bidan di desa.
2. Meningkatkan penerimaan KB sehingga ibu hamil makin berkurang serta diikuti
komplikasi yang makin menurun
3. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat umumnya.
4. Menyebarkan keberadaan ahli obgin yang berorientasi pada aspek sosialnya.
5. Meningkatkan upaya rujukan, sehingga diterima di pusat pelayanan kesehatan dalam
keadaan maih optimal.
II.3 Epidemiologi Kematian Ibu

Setiap tiga menit, dimanapun di Indonesia, satu anak balita meninggal dunia. Selain
itu setiap jam, satu perempuan meninggal dunia ketika melahirkan atau karena sebab-sebab
yang berhubungan dengan kehamilan (UNICEF, 2012). Tahun 2010, sekitar 800 wanita
meninggal setiap harinya dengan penyebab yang berkaitan dengan kehamilan dan persalinan,
hampir semua kematian (99%) terjadi di negara berkembang, dimana mortalitas yang lebih
tinggi di area pedesaan, komunitas miskin dan berpendidikan rendah. Setengah dari kematian
ibu terjadi di sub-Sahara Afrika dan sepertiga lainnya di Asia Selatan. Negara maju
melaporkan 16 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup dan negara berkembang
melaporkan 240 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup (WHO, 2012).
Data tren AKI dari tahun 1990-2012 menunjukkan Indonesia masuk dalam daftar AKI
tertinggi diantara beberapa negara-negara ASEAN seperti Malaysia, Thailand, Philipina,
Vietnam, dan Myanmar. Lebih dari 9.500 ibu di Indonesia meninggal setiap tahun, sebagai
perbandingan, kematian ibu di Filipina sekitar 1.900, di Thailand sekitar 420, dan di Malaysia
hanya sekitar 240 setiap tahunnya (Kemenkes, 2012).
Data WHO (2014) mengenai AKI negara-negara ASEAN tahun 2010, menunjukkan
AKI Indonesia (228 per 100.000 kelahiran hidup) jauh di atas AKI negara-negara ASEAN,
dimana Malaysia 29 per 100.000 kelahiran hidup, Philipina 99 per 100.000 kelahiran hidup,
Thailand 48 per 100.000 hidup, Brunei 24 per 100.000 kelahiran hidup, dan Singapura 3 per
100.000 kelahiran hidup.

Secara global, lima penyebab utama kematian ibu adalah perdarahan,HDK, infeksi,
partus lama/macet dan abortus. Kematian ibu di Indonesia telah didominasi oleh tiga
penyebab utama kematian yaitu perdarahan, HDK, dan infeksi. Proporsi ketiga penyebab
kematian ini telah berubah dimana perdarahan dan infeksi semakin menurun, sedangkan
HDK proporsinya semakin meningkat, hampir 30% kematian ibu di Indonesia pada tahun
2011 disebabkan oleh HDK, sementara di dunia didominasi oleh perdarahan (Kemenkes,
2012).
Masalah KIA di negara berkembang, seperti Indonesia antara lain adalah sebagian
besar kematian terjadi di rumah, sebagian besar (60%) kematian ibu terjadi setelah
persalinan, 50% kematian ibu terjadi pada masa nifas, sebagian besar kematian terjadi tanpa
pertolongan dari tenaga profesional, keterlambatan akses pada pelayanan berkualitas,
sebagian besar keluarga tidak mengetahui tanda bahaya bagi ibu dan bayi, terbatasnya
transportasi dan sumberdaya sebagai faktor yang berhubungan dengan keterlambatan akses
pelayanan kesehatan, sebagian besar komplikasi kehamilan mempengaruhi risiko pada ibu
dan bayi, status sosial dan budaya berhubungan dengan kematian ibu dan anak (Kusmiran,
2011).
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, yang berhubungan dengan
pelayanan kesehatan ibu antara lain, terdapat 1.534 kematian ibu dengan jumlah kelahiran
hidup adalah 49.605. Masih dijumpai (23,9%) perempuan yang menikah pada umur risiko
tinggi (<15 tahun, 15-19 tahun). Hampir seluruh ibu hamil (95,4%) sudah melakukan
pemeriksaan kehamilan (K1), tetapi pemeriksaan antenatal care (ANC) atau K4 sebesar
70,4%. Tenaga kesehatan yang paling banyak

II.4 Determinan Kematian Ibu


Menurut Depkes dalam Fibriana (2007), faktor-faktor yang mempengaruhi kematian
ibu adalah faktor medik, faktor non medik, dan faktor pelayanan kesehatan. Faktor medik,
meliputi faktor empat terlalu (terlalu muda, terlalu tua, terlalu banyak, dan terlalu dekat),
komplikasi kehamilan, persalinan, dan nifas yang merupakan penyebab langsung kematian
maternal (meliputi perdarahan, infeksi, keracunan kehamilan, komplikasi akibat partus lama,
trauma persalinan), keadaan dan gangguan yang memperburuk derajat kesehatan ibu selama
hamil (kekurangan gizi, anemia, bekerja fisik berat selama kehamilan). Faktor non medik
yang berkaitan dengan ibu dan menghambat upaya penurunan kesakitan dan kematian
maternal, meliputi terbatasnya pengetahuan ibu tentang bahaya kehamilan resiko tinggi,
ketidakberdayaan sebagian besar ibu hamil di pedesaan dalam pengambilan keputusan untuk
dirujuk, ketidakmampuan sebagian ibu hamil untuk membayar biaya transport dan perawatan
di RS. Faktor pelayanan kesehatan yang belum mendukung upaya penurunan kesakitan dan
kematian maternal antara lain berkaitan dengan cakupan pelayanan KIA, yang meliputi
belum mantapnya jangkauan pelayanan KIA dan penanganan kelompok berisiko, rendahnya
cakupan ANC dan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan, pertolongan persalinan
yang dilakukan di rumah oleh dukun bayi yang tidak mengetahui tanda-tanda kehamilan. Hal
itu semua berkaitan dengan terlambat mengambil keputusan merujuk, mencapai RS rujukan,
mendapatkan pertolongan di RS rujukan, dan penolong persalinan bukan tenaga kesehatan.
penanganan kelompok berisiko seringkali mengalami kematian yang berhubungan dengan
pelayanan kesehatan, disebabkan oleh 3 (tiga) faktor keterlambatan, yang dikenal dengan
faktor ”3T” yaitu:
1. Terlambat mengambil keputusan untuk merujuk

2. Terlambat mencapai RS rujukan

3. Terlambat mendapatkan pertolongan di RS rujukan.


Upaya peningkatan aksesibilitas pelayanan kesehatan juga dilakukan dengan
mendekatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat melalui paket penempatan tenaga
bidan dan polindes di berbagai pelosok pedesaan serta tenaga dokter di daerah terpencil atau
sangat terpencil. Sedangkan dari aspek kualitas pelayanan, dilakukan melalui upaya
peningkatan kemampuan/kompetensi tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan dasar dan
rujukan (PONED/PONEK), serta berbagai program intervensi lain (Kemenkes RI, 2008).

Penyebab Kematian Ibu di Indonesia


Berdasarkan Fig. 5 tampak penyebab kematian secara global (Say L et al, 2014) sekitar
28% disebabkan oleh pendarahan hebat, 27 % oleh penyakit yang sudah ada sebelum
kehamilan, 11% oleh infeksi, 14% oleh hipertensi dalam kehamilan, 9% oleh persalinan
macet, serta aborsi yang tidak aman (8 %).
Penyebab kematian ibu di Indonesia 80% disebabkan oleh penyebab langsung obstetrik
seperti perdarahan, sepsis, abortus tidak aman, preeklampsia-eklampsia, dan persalinan
macet. Sisanya 20 % terjadi oleh karena penyakit yang diperberat oleh kehamilan. Situasi
kematian ibu di Indonesia tahun 2010-2013(Fig.6), penyebab perdarahan juga masih
tinggi walaupun cenderung menurun ( 35,1% menjadi 30,3% ) , sementara penyebab
kematian ibu baik di dunia maupun di Indonesia masih berputar pada 3 masalah utama (
perdarahan, preeklampsia-eklampsia dan infeksi ) , sehingga pencegahan dan
penanggulangan masalah ini seharusnya difokuskan melalui intervensi pada ketiga masalah
tersebut, melalui peran petugas kesehatan.

Peran Petugas Kesehatan


Secara profesional dokter dan bidan dalam praktek klinik mempunyai peran menurunkan
angka kematian ibu. Dokter dan bidan adalah garda terdepan dalam mendeteksi kemungkinan
risiko, mendorong program KB, melakukan asuhan antenatal terfokus, pencegahan abortus
tidak aman, pertolongan persalinan oleh tenaga terampil, rujukan dini tepat waktu kasus
gawat darurat obstetri dan pertolongan segera – adekuat kasus gawat darurat obstetri di
rumah sakit rujukan. Penolong yang terampil pada saat sebelum, selama dan sesudah
persalinan telah terbukti mempunyai peran dalam menurunkan kematian ibu.

Berdasarkan trias penyebab kematian ibu (preeklampsia, perdarahan dan infeksi) maka
intervensi kunci yang dapat dilakukan oleh peran petugas kesehatan adalah

Preeklampsia-eklampsia:
—Pencegahan preeklampsia melalui penguatan asuhan antenatal yang terfokus, antara lain
dengan mendeteksi kemungkinan risiko, edukasi pengenalan dini tanda bahaya kehamilan.
—Penatalaksanaan preeklampsia dan eklampsia dengan penatalaksanaan awal dan
manajemen kegawatdaruratan(dengan penggunaan magnesium sulfat).
Perdarahan pasca persalinan:
—Identifikasi risiko perdarahan pasca persalinan: anak besar, kehamilan multipel,
polihidramnion, riwayat seksio sesar, partus lama, partus presipitatus, anemia.
—Pencegahan komplikasi dengan manajemen aktif kala III(uterotonika, masase fundus dan
peregangan tali pusat terkendali).
—Manajemen kegawatdaruratan perdarahan persalinan (kompresi bimanual, uterotonika,
tamponade balon kateter hingga penatalaksanaan bedah).
Infeksi intrapartum:
—Pencegahan partus lama melalui penggunaan partograf.
—Penggunaan antiobiotik secara rasional.
—Manajemen ketuban pecah dini.
—Manajemen pasca persalinan.

Fokus 1. Kesiapan Menghadapi Preeklampsia-eklampsia


Preeklampsia adalah komplikasi kehamilan yang dapat terjadi mulai umur kehamilan
> 20 minggu, dengan hipertensi dan proteinuria. Bila terjadi kejang disebut eklampsia.
Pencegahan preeklampsia melalui penguatan asuhan antenatal yang terfokus. Deteksi
kemungkinan risiko preeklampsia dapat dilakukan pada fasilitas kesehatan layanan primer,
bila ditemukan hal-hal berikut: adanya riwayat preeklampsia-eklampsia pada kehamilan
sebelumnya atau pada saudara kandung, kehamilan primigravida, kehamilan ke- 3 atau lebih,
obesitas.
Bila pada pemeriksaan ANC ditemukan penyakit hipertensi, DM, autoimun, penyakit
ginjal kronik, maka harus dirujuk ke Spesialis Obgin di fasilitas yang lebih lengkap. Bila
pada pemeriksaan didapatkan faktor risiko sebagaimana di atas (* ), maka dilakukan
pemantauan tekanan darah dan protein dalam urin setiap 2 minggu. Bila kemudian ditemukan
hipertensi atau tanda bahaya untuk preeklampsia, maka segera dirujuk ke fasilitas lebih
lengkap (spesialis obgin).6
Tanda bahaya preeklampsia antara lain: sakit kepala hebat, nyeri ulu hati, pandangan
kabur, hematemesis, hematuria, proteinuria, kejang, mual - muntah, sesak, nyeri perut
kuadran atas, oligouria, skotoma.6
Bila terjadi preeklampsia berat, maka dilakukan pemberian magnesium sulfat dan monitoring
ketat ibu dan janinnya. Pertimbangkan untuk melakukan terminasi kehamilan.
Manajemen kegawatdaruratan pada eklampsia7 adalah ABCCCD:
Airway: Bebaskan jalan napas, miringkan 15-30°
Breathing: Pasang oksigen 6-8 liter. Hal ini sangat penting untuk mencegah terjadinya koma
irreversible. Dahulukan pasang oksigen lalu meminta pertolongan petugas lain. Bahkan, lebih
penting mendahulukan pemberian oksigen dibanding magnesium sulfat, oleh karena otak
sedang dalam keadaan hipoksia dan sangat mungkin iskemia, yang akan bertambah berat bila
tidak ada suplai oksigen. Dengan pemberian oksigen, biasanya terjadi resolusi dari keadaan
kejang, sehingga selanjutnya dapat mengoptimalkan kerja magnesium sulfat.
Circulation: Ukur tekanan darah, pasang infus larutan kristaloid.
Control convulsion & hypertension: Pemberian magnesium sulfat 40%, sebanyak 4 gram
secara bolus intravena perlahan-lahan, dilanjutkan tetesan (drips) 6 gram iv 28 tetes per
menit. Bila terjadi kejang berulang, diberikan bolus 2 gram intravena perlahan.
Pemberian antihipertensi Nifedipin 10 mg per 8 jam atau Nicardipin drips intravena bila
terjadi hipertensi urgensi atau emergensi.
Continuous Monitoring: Evaluasi tanda vital, balans cairan, pasang kateter, evaluasi lab
penunjang
Deliver the baby: Terminasi kehamilan baik secara pervaginam ataupun seksio sesar.

Fokus 2. Kesiapan Menghadapi Perdarahan Pasca Persalinan


Perdarahan pasca persalinan, perdarahan post partum(PPH) adalah perdarahan sesudah
persalinan dengan jumlah lebih dari 500 mL pada persalinan pervaginam, atau lebih 1000 mL
pada persalinan seksio sesar.
Pencegahan terjadinya perdarahan pasca persalinan adalah dengan antenatal yang terfokus
dan deteksi dini kemungkinan tanda bahaya, kenali kemungkinan risiko seperti: anak besar,
kehamilan multipel, polihidramnion, riwayat seksio sesar, riwayat induksi persalinan, partus
lama, partus presipitatus, penggunaan alat bantupersalinan (ekstraksi vakum atau forceps),
dan ibu dengan anemia. Bila ditemukan risiko untuk perdarahan, ibu dirujuk agar bersalin di
tempat dengan fasilitas yang lengkap dan ada spesialis Obgin. Pemasangan infus cairan
kristalloid sebaiknya sudah dilakukan bila ibu sudah masuk fase persalinan.
Salah satu langkah yang efektif untuk mencegah komplikasi perdarahan pada saat melahirkan
plasenta adalah manajemen aktif kala III, dengan menyuntikkan oksitosin segera setelah bayi
lahir, meregangkan tali pusat terkendali dan masase fundus uteri setelah plasenta lahir.
Perdarahan pasca persalinan selalu datang tiba-tiba, dramatis dan tak terduga. Manajemen
kegawatdaruratan pada perdarahan pasca persalinan terbagi dalam 4 tahap, yakni penilaian
dan penatalaksanaan awal, terapi penyebab, terapi PPH yang menetap, rujukan atau
pembedahan.
Bila terjadi perdarahan pasca persalinan, maka tindakan yang paling pertama dilakukan
adalah nilai uterus ( raba fundus uteri ) . Dalam sepersekian detik, penyebab
atonia/hipotonia atau bukan, sudah dapat ditegakkan. Bila terjadi atonia/ hipotonia, segera
lakukan masase uterus dan kompresi bimanual, sambil meminta petugas lain untuk
memasang infus dan memberikan uterotonika( prostaglandin dan oksitosin).
Penyebab perdarahan pasca persalinan sering disingkat dalam 4 T(tonus, tissue, trauma dan
thrombin). Terapi untuk tonus adalah masase fundus, kompressi bimanual, uterotonika dan
tamponade kondom kateter. Terapi untuk tissue ( retensi atau sisa plasenta ) adalah
kuretase. Bila didapatkan robekan (perineum, vagina atau serviks) harus segera dijahit,
untuk menghentikan perdarahan. Terapi untuk penyebab gangguan koagulasi adalah dengan
penggantian faktor pembekuan, yang biasanya dilakukan pada fasilitas yang lebih lengkap.8
Salah satu tindakan yang cukup efektif dengan teknologi sederhana dan tepat guna dalam
membantu mengatasi perdarahan pasca persalinan adalah penggunaan tamponade kondom
kateter.8, 9 Tepat guna dan sederhana, karena hanya menggunakan bahan-bahan yang sudah
ada seperti kondom, kateter urine, benang untuk mengikat kondom dan kateter, spekulum,
tenakulum, tampon tang atau cunam/ fenster, juga tampon kasa.
Pemasangan tamponade in mempunyai prinsip kondom yang telah mengembang seperti balon
karena diisi oleh cairan akan menekan pembuluh darah di cavum uteri dari dalam ke arah
luar, mengisi ruangan cavum uteri yang mengalami perlambatan berkontraksi oleh keadaan
overdistended, sambil terus mengupayakan kontraksi uterus dengan uterotonika. Tamponade
tidak menyebabkan banyak darah tertinggal dalam cavum uteri, seperti tamponade kasa. Bila
kontraksi uterus sudah membaik, tidak akan menghalangi kontraksi karena berbentuk balon
dan elastis.

Langkah-langkah pemasangan tamponade kondom kateter:


 Kateter karet steril dimasukkan ke dalam kondom secara aseptik dan diikat dengan
benang sutra atau tali steril di daerah mulut kondom.
 Hubungkan selang infus bagian atas dengan botol/kantong cairan NaCl fisiologis
 Pasien posisi litotomi
 Vesica urinaria dipertahankan dalam kondisi kosong dengan pemasangan kateter
Foley
 Kondom kateter dimasukkan ke dalam cavum uteri. Ujung luar kateter dihubungkan
dengan selang infus bagian bawah dan segera alirkan cairan NaCL fisiologis sebanyak
sampai maksimal 500 mL
 Perdarahan diobservasi, bila berkurang banyak, maka aliran cairan segera dihentikan,
ujung luar kateter dilipat dan diikat dengan benang
 Kontraksi uterus dipertahankan dengan pemberian oksitosin drip selama kurang lebih
6 jam kemudian
 Posisi kondom kateter dipertahankan dengan memasukkan buik gaas atau tampon
kasa besar/ tampon bola atau dengan memasukkan kondom kateter lain ke dalam
vagina
 Kondom kateter dipertahankan dalam 24-48 jam dan secara perlahan dikurangi
volumenya(10-15 menit) dan akhirnya dilepas.
 Pasien diberi antibiotika Ampicillin, metronidazole dan gentamicin secara i.v. selama
7 hari
Tamponade ini merupakan tindakan sementara sebelum melakukan pembedahan,
menunggu transfusi darah atau dapat digunakan selama merujuk ibu dari fasilitas layanan
primer ke pusat rujukan. Selama pemasangan tamponade, pasien tetap diobservasi ketat
jumlah perdarahan, tanda vital, dan balans cairan. Bila perdarahan masih terus berlangsung,
maka tamponade tidak akan bekerja dengan baik.
Fokus 3. Pencegahan Infeksi Intrapartum
Persalinan yang bersih dan aman, di sampingmanajemen persalinan yang baik dengan
penggunaan partograf, penggunaan antibiotik secara rasional, manajemen ketuban pecah dini
dan pasca persalinan dapat mengurangi kemungkinan terjadinya infeksi intrapartum. Infeksi
intrapartum bila bertambah berat, dapat jatuh ke dalam sepsis yang membahayakan jiwa ibu
dan bayi yang dilahirkan.
Fokus 4. Menggiatkan Program Keluarga Berencana
Untuk menekan tingginya Angka Kematian Ibu, salah satu pilar dari Safe Motherhood adalah
Keluarga Berencana. Dengan menggunakan kontrasepsi, seorang ibu dapat merencanakan
keluarga lebih baik, karena tercegah dari jarak kehamilan yang terlalu dekat, tercegah dari
kehamilan yang berisiko, tercegah dari kehamilan yang tak diinginkan, tercegah dari aborsi,
dan dapat mengasuh anak-anak dan keluarganya dengan baik. Sehingga, upaya Keluarga
Berencana merupakan investasi paling cost-effective dalam pembangunan. Secara global,
upaya KB menjadi sangat krusial dalam pencapaian MDGs(Millenium Development Goals
) , karena terbukti dapat menurunkan angka kemiskinan dan kelaparan, peningkatan
pendidikan secara universal, kesetaraan gender, kesehatan ibu dan anak, pertumbuhan
ekonomi, dan keberlangsungan lingkungan.
Fokus 5. Pemberdayaan Semua Pihak: Inovasi Praktek-praktek Terbaik di Masyarakat
Angka kematian ibu adalah resultante dari begitu banyak faktor. Masalah pendidikan,
keterbatasan akses, status ekonomi, sosial budaya masyarakat menjadi faktor yang
berpengaruh tidak langsung sehingga masih ada jutaan perempuan Indonesia mempunyai
risiko mengalami komplikasi kehamilan dan persalinan akibat ketidaktahuan masyarakat
terhadap tanda bahaya kehamilan/persalinan.
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin sejak tahun 2011 turut berupaya memberikan
kontribusi dalam menurunkan kematian ibu melalui program pendampingan satu mahasiswa-
satu bayi, yang pada tahun 2014 diresmikan oleh Ibu Menkes RI menjadi Program 1000 hari
awal kehidupan: Gerakan Kampus Mengawal Generasi. Program ini merupakan program
pendampingan mahasiswa Fakultas Kedokteran terhadap ibu hamil, hingga persalinan dan
pemantauan bayinya (total selama 1000 hari). Ibu yang dikawal adalah ibu dari keluarga
pra-sejahtera, dengan harapan ibu dan keluarga akan mendapatkan pendampingan dalam hal
edukasi tentang kehamilan yang sehat, nutrisi, KB, imunisasi, ASI eksklusif dan Inisiasi
Menyusui Dini (IMD) dan pertumbuhan-perkembangan bayi.
Sebagai penutup, sebagai petugas kesehatan, baik dokter maupun bidan, persiapan yang baik
terhadap kemungkinan komplikasi akan memberi hasil yang baik pula. Direkomendasikan
menggunakan kotak emergensi preeklampsia dan kotak PPH untuk mempermudah
manajemen alat dan bahan yang diperlukan selama keadaan emergensi. Kotak tersebut berisi
semua kebutuhan alat dan bahan selama keadaan emergensi, disertai catatan isi kotak dan
langkah-langkah pertolongan sebaiknya ditempatkan di tempat yang mudah dan sering
dibaca. Kesigapan dan kesiapan hati yang baik(ikhlas) dalam menghadapi kasus-kasus
risiko tinggi adalah modal utama petugas kesehatan, sebab dengan bekerja ikhlas, energi yang
digunakan tidak akan melelahkan dan selalu diberkati oleh Yang Maha Kuasa.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Perdarahan postpartum merupakan penyebab utama tingginya angka kematian ibu
(AKI). Perdarahan postpartum menyebabkan kematian sebanyak 30% di negara berkembang
Perdarahan postpartum merupakan penyebab tersering dari keseluruhan kematian
akibat perdarahan obstetrik. Perdarahan postpartum adalah perdarahan yang melebihi 500 ml
setelah bayi lahir pada persalinan per vaginam dan melebihi 1000 ml pada seksio sesarea
(Chunningham, 2012), atau perdarahan yang lebih dari normal yang telah menyebabkan
perubahan tanda vital, seperti kesadaran menurun, pucat, limbung, berkeringat dingin, sesak
napas, serta tensi < 90 mmHg dan nadi > 100/menit (Karkata, 2010). Faktor-faktor yang
berhubungan dengan perdarahan postpartum yaitu umur, jumlah paritas, jarak antar kelahiran,
riwayat persalinan sebelumnya, lama partus, lama lepasnya plasenta, anemia, pengetahuan
dan faktor fasilitas pelayanan kesehatan (Pardosi, 2006). Faktor lain yang berhubungan
dengan perdarahan postpartum yaitu pada keadaan preeklamsia berat dimana bisa ditemukan
defek koagulasi dan volume darah ibu yang kecil yang akan memperberat penyebab
perdarahan postpartum.

3.2 Saran
Sebagai seorang bidan kita harus mencegah kematian ibu akibat perdarahan postpartum
atau berkontribusi lebih terhadap penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) yang disebabkan
oleh perdarahan.
Sebagai pembaca diharapkan dapat mengetahui secara dini tentang perdarahan
postpartum.
Daftra Kepustakaan

Akhter S, et al. Use of a Condom to Control Massive Postpartum Hemorrhage. Medscape


General Medicine 2003;5(3).

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). Laporan Pencapaian Tujuan


Pembangunan Milenium di Indonesia 2010. In. Jakarta: Kementerian Perencanaan
Pembangunan Nasional; 2010.

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional / Badan Perencanaan Pembangunan


Nasional ( BAPPENAS ) . Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium
Indonesia 2010. Jakarta: BAPPENAS; 2010.

Sibai BM. Evaluation and Management of Postpartum Hemorrhage. In: Sibai BM, editor.
Management of Acute Obstetrics Emergencies. 1st ed. Philadelphia: Elsevier Saunders;
2011, 41-70.

Sibai BM. Management of Eclampsia. In: Sibai BM, editor. Management of Acute Obstetrics
Emergencies. 1st ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011, 115-124.

Situasi Kesehatan Ibu. In: Pusat Data dan Informasi, editor. Infodatin. Jakarta: Kementerian
Kesehatan RI; 2014, 1-6.

Wibowo N, et al. Panduan Nasional Pelayanan Kedokteran: Diagnosis dan Tatalaksana


Preeklampsia. Jakarta: Kemenkes RI; 2012.

World Health Organization. Maternal Mortality Available at: URL: www.who.int. Accessed
November 15, 2015.

World Health Organization. Maternal mortality. Available at: URL:


http://www.who.int/making_ pregnancy_safer/topics/maternal_mortality/en/index.
html. Accessed July 28, 2009.

Anda mungkin juga menyukai