Anda di halaman 1dari 13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Mutakhir

2.2 Operasi Sistem Tenaga Listrik

Sistem tenaga listrik merupakan sekumpulan pusat listrik dan gardu induk
atau pusat beban yang satu sama lain dihubungkan oleh jaringan transmisi sehingga
merupakan sebuah kesatuan interkoneksi (Marsudi, 2006). Operasi sistem tenaga
listrik menyangkut berbagai aspek yang luas, khususnya biaya dan penyediaan
tenaga listrik bagi masyarakat. Dalam pengoperasian sistem tenaga listrik perlu
diperhatikan hal-hal berikut ini :
a. Perencanaan Operasi
Yaitu pemikiran bagaimana sistem tenaga lisrik akan dioperasikan
untuk jangka waktu tertentu. Pemikiran ini harus mencakup perkiraan
beban, optimalisasi, keandalan serta mutu tenaga listrik.
b. Pelaksanaan dan Pengendalian Operasi
Yaitu pelaksanaan dari rencana operasi serta pengendaliannya apabila
terjadi hal-hal yang menyimpang dari rencana operasi.
c. Analisa Operasi
Yaitu analisa atas hasil-hasil operasi untuk memberikan umpan balik
bagi Pelaksanaan dan Pengendalian Operasi. Analisa operasi juga
diperlukan untuk memberikan saran-saran bagi pengembangan sistem
serta penyempurnaan pemeliharaan instalasi.
Pengoperasian sistem tenaga listrik sering menemui berbagai persoalan
yang disebabkan oleh pemakaian tenaga listrik yang selalu berubah dari waktu ke
waktu, biaya bahan bakar yang cenderung berubah, serta kondisi peralatan maupun
lingkungan. Berbagai persoalan pokok yang dihadapi dalam pengoperasian sistem
tenaga listrik adalah ;

a. Pengaturan frekuensi
b. Pemeliharaan peralatan
c. Biaya operasi
d. Perkembangan system
e. Gangguan dalam system
f. Tegangan dalam system
Pengoperasian sistem tenaga listrik perlu dikelola atas dasar pemikiran
manajemen operasi yang baik dalam menghadapi persoalan-persoalan yang ada.
Penyediaan tenaga listrik yang ekonomis harus tetap memperhatikan :
a. Perkiraan beban (load forecast)
b. Syarat-syarat pemeliharaan peralatan
c. Keandalan yang diinginkan
d. Alokasi beban dan produksi pembangkit yang ekonomis
Dengan memperhatikan hal-hal yang menyangkut tentang pengoperasian
sistem tenaga listrik, maka diharapkan akan menghasilkan sistem yang ekonomis
namun tetap memperhatikan pemeliharaan dan keandalan sistem.
2.3 Pembangkit Listrik Tenaga Uap

Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) merupakan salah satu pembangkit


termal yang banyak digunakan karena efisiensi yang tinggi sehingga bisa
menghasilkan listrik yang ekonomis. PLTU merupakan suatu mesin konversi energi
yang mengubah energi kimia dari bahan bakar menjadi energi listrik. Proses
konversi energi dari PLTU bisa dibagi menjadi tiga tahapan penting yaitu:
a. Energi kimia dari bahan bakar akan diubah menjadi energi panas
berbentuk uap yang bertekanan dan bertemperatur tinggi.
b. Energi panas tadi (uap) kemudian diubah menjadi energi mekanik yaitu
dalam bentuk putaran
c. Terakhir, energi mekanik tadi akan diubah menjadi energi listrik.

2.3.1 Deskripsi PLTU di PT Indonesia Power UP Suralaya

UP Suralaya merupakan salah satu unit pembangkit yang dimiliki oleh PT


Indonesia Power. Diantara pusat pembangkit yang lain, UP Suralaya memiliki
kapasitas daya terbesar dan juga merupakan pembangkit paling besar di Indonesia.
PLTU Suralaya dibangun melalui tiga tahapan yaitu :
Tahap I Membangun dua unit PLTU, yaitu unit 1 dan 2 yang masing-masing
berkapasitas 400 MW. Dimana pembangunannya dimulai pada bulan Mei 1980
sampai dengan bulan Juni 1985 dan telah beroperasi sejak tahun 1984, tepatnya
pada tanggal 4 April 1984 untuk unit 1 dan 26 Maret 1985 untuk unit 2.
Tahap II Membangun dua unit PLTU yaitu unit 3 dan 4 yang masing-masing
berkapasitas 400 MW. Dimana pembangunannya dimulai paada bulan Juni 1985
dan berakhir sampai dengan bulan Desember 1989. dan telah beroperasi sejak 6
Februari 1989 untuk unit 3 dan 6 November 1989 untuk unit 4.
Tahap III Membangun tiga unit PLTU, yaitu unit 5,6, dan 7 yang masing-
masing berkapasitas 600 MW. Pembangunannya dimulai sejak bulan Januari 1993
dan telah beroperasi pada bulan Oktober 1996 untuk 5. untuk unit 6 pada bulan
April 1997 dan Oktober 1997 untuk unit 7.
Lokasi dari PLTU Suralaya terletak di desa Suralaya, Kecamatan Pulo
Merak, Serang, Banten. 120 km ke arah barat dari Jakarta menuju pelabuhan
Ferry Merak, dan 7 km ke arah utara dari Pelabuhan Merak tersebut.

Gambar 2.1 Lokasi PLTU Suralaya


(Sumber: PT. Indonesia Power UP Suralaya, 2018)

Pada PLTU suralaya, menggunakan bahan bakar utama batubara.


Sedangkan sebagai bahan bakar cadangan menggunakan bahan bakar residu, Main
Fuel Oil (MFO) dan juga menggunakan solar. Kemudian High Speed Diesel (HSD)
digunakan sebagai ignitor atau pemantik pada saat penyalaan awal dengan bantuan
udara panas bertekanan. Batubara diperoleh dari tambang Bukit Asam, Sumatera
Selatan dari jenis subbituminous dengan nilai kalor 5000-5500 kCal/kg.

2.3.2 Prinsip Kerja PLTU

Secara umum, prinsip kerja Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU)


ditunjukkan seperti gambar 2.2.

Gambar 2.2 Prinsip Kerja PLTU

Fungsi dari masing-masing komponen yang terdapat pada skema kerja


PLTU yaitu:

a. Boiler berfungsi untuk menghasilkan uap


b. Turbin uap berfungsi untuk menghasilkan tenaga mekanik
c. Kondensor berfungsi untuk mendinginkan Uap sisa yang berasal dari
turbin uap.

Suatu pembangkit daya uap menggunakan air sebagai fluida kerja. Secara
sederhana, prinsip kerja PLTU yaitu air dipompa kedalam boiler/ketel uap, pada
boiler air diubah menjadi uap. Kemudian uap yang memiliki tekanan dan
temperatur tertentu akan masuk ke dalam turbin uap, lalu energi uap tersebut
digunakan untuk memutar turbin uap sehingga menghasilkan energy mekanik.
Turbin uap yang dikopel dengan generator, akan memutar generator secara
langsung. Kemudian, uap yang sudah digunakan untuk memutar turbin akan masuk
ke kondensor dan akan diubah kembali menjadi air. Air hasil kondensasi di
kondensor disebut air kondensat. Kemudian air kondensat dialirkan kembali ke
boiler dengan menggunakan pompa, dan begitu seterusnya dilakukan secara
berulang ulang. Pada kondensor, jika volume air berkurang, maka akan
ditambahkan kembali (makeup water) sehingga volume air tetap.

2.4 Economic Dispatch

Efisiensi, operasi ekonomis, dan perencanaan sistem pembangkit tenaga


listrik selalu memegang peranan penting dalam industri tenaga listrik. Semakin
efisien dan ekonomis suatu sistem pembangkit tenaga listrik berarti semakin kecil
biaya yang harus dikeluarkan untuk mengoperasikan sistem tersebut. Efisiensi
bahan bakar, selain secara ekonomis menguntungkan, dapat menghemat
penggunaan bahan bakar yang sebagian besar adalah sumber daya alam yang tak
dapat diperbaharui.

Pada saat ini umumnya sistem tenaga listrik mempunyai lebih dari 1 pusat
pembangkit, sehingga timbul masalah untuk membagi beban di antara unit-unit
pembangkit sesuai permintaan beban pada sistem tersebut. Selain itu pembagian
beban di antara unit-unit pembangkit harus mempertimbangkan biaya operasi
pembangkit agar seekonomis mungkin. Permasalahan tersebut dapat diatasi dengan
economic dispatch. Tujuan utama economic dispatch adalah menjadwalkan
keluaran unit pembangkit agar dapat memenuhi permintaan beban pada suatu
sistem dengan biaya operasi seminimal mungkin.

Pada gambar 2.1 diperlihatkan suatu gambaran sistem tenaga listrik


sederhanayang terdiri atas n unit pembangkit. Daya keluaran n unit pembangkit
tersebut adalah P1, P2, P3,....., Pn yang menyuplai beban PD yang terhubung
melalui single bus-bar. Bila F1, F2, F3,........Fn adalah biaya pembangkitan masing-
masing unit, maka economic dispatch harus dapat menentukan besarnya P1, P2,
P3,......., Pn agar beban sistem PD terpenuhi dan total biaya pembangkitan
(Ft=F1+F2+F3+.....Fn) seminimal mungkin (Jhon Willey & Son, 1996).

2.5 Kurva Karakteristik Input Output

Pada analisa permasalahan operasi ekonomis unit pembangkit thermal,


maka perlu diperhatikan mengenai karakteristik input-output pada masing-masing
unit yang menggambarkan hubungan antara input bahan bakar terhadap daya listrik
yang dibangkitkan. Input unit yang ditunjukkan pada sumbu ordinat adalah
kebutuhan energi panas (MMBtu/jam) atau biaya pembangkitan (Rp/jam).
Sedangkan pada bagian output menunjukkan daya listrik yang dihasilkan (MW).
Karakteristik input-output digambarkan pada kurva polinomial kuadrat
dua dengan persamaan:
𝐻(𝑃𝑖 ) = 𝛾𝑃𝑖 2 + 𝛽𝑃𝑖 + 𝛼 (MMBtu/jam) …….……….(1.1)
Persamaan polinomial juga dapat menggambarkan hubungan biaya
pembangkitan dengan daya listrik output dengan mengalikan persamaan
karakteristik bahan bakar dengan harga bahan bakarnya dengan persamaan:
𝐹(𝑃𝑖 ) = 𝐻(𝑃𝑖 ) × 𝐹𝑢𝑒𝑙 𝑐𝑜𝑠𝑡 ……………….……...(1.2)
𝐹(𝑃𝑖 ) = 𝛾𝑃𝑖 2 + 𝛽𝑃𝑖 + 𝛼 (Rp/jam) …………….……..(1.3)
Kurva persamaan input-output unit pembangkit termal ditunjukkan oleh
gambar 2.3.

Gambar 2.3 Kurva Karakteristik Input-Output Pembangkit Termal

2.5 Metode Lagrange Multiplier pada Optimasi Sistem tenaga Listrik


Metode lagrange merupakan metode yang sering digunakan untuk optimasi system
tenaga listrik. Gambar 2.3 menunjukkan konfigurasi system yang terdiri dari N-unit
pembangkitan thermal yang terhubung dengan single bus-bar yang mensuplai
energy listrik sebesar Pload. Input dari masing-masing unit ditunjukkan oleh nilai
F yang merepresentasikan biaya pembangkitan. output dari masing-masing unit, Pi,
adalah energy listrik yang dibangkitkan.

Gambar 2.3 N-unit termal yang mensuplai beban sebesar Pload

oleh karena itu, permasalahan yang akan dihadapi yaitu untuk


meminimalkan biaya pembangkitan dari fungsi kendala bahwa jumlah daya yang
dihasilkan harus sama dengan kebutuhan beban yang ada saat itu. pada studi kasus
ini, segala jenis rugi-rugi diabaikan.
∅ = 0 = 𝑃𝑙𝑜𝑎𝑑 −
∑𝑁
𝑖=1 𝑃𝑖 ……...……..…………...........(1.4)

Untuk menentukan kondisi yang diinginkan dari fungsi tujuan, tambahkan


fungsi kendala ke fungsi fungsi tujuan setelah mengalikan dengan pangali yang
belum ditentukan. Ini dikenal dengan fungsi lagrange dan ditunjukkan pada
persamaan 1.5.
ℒ = 𝐹𝑇 + (𝜆)∅
………………..………………….………(1.5)
kondisi yang diinginkan dari fungsi tujuan, dihasilkan dari turunan fungsi
lagrange pada masing-masing variable dan hasil dari turunan tersebut sama dengan
nol. kondisi lagran untuk optimasi ditunjukkan pada persamaan 1.6.
𝜕ℒ 𝑑𝐹𝑖(𝑃𝑖)
= − 𝜆 = 0 ………………………..(1.6)
𝜕𝑃𝑖 𝑑𝑃𝑖

kurang inequality constraint

2.6 Particle Swarm Optimization

Selain metode Lagrange, metode lain yang digunakan untuk melakukan


optimasi pembangkit yaitu metode Particle Swarm Optimization (PSO). berikut
merupakan penjelasan yang lebih detail untuk metode PSO yang akan digunakan.

2.6.1 Pengenalan PSO

Particle swarm optimization, disingkat sebagai PSO, didasarkan pada


perilaku sebuah kawanan serangga, seperti semut, rayap, lebah atau burung.
Algoritma PSO meniru perilaku sosial organisme ini. Perilaku sosial terdiri dari
tindakan individu dan pengaruh dari individu-individu lain dalam suatu kelompok.
Kata partikel menunjukkan, misalnya, seekor burung dalam kawanan burung.
Setiap individu atau partikel berperilaku secara terdistribusi dengan cara
menggunakan kecerdasannya (intelligence) sendiri dan juga dipengaruhi perilaku
kelompok kolektifnya. Dengan demikian, jika satu partikel atau seekor burung
menemukan jalan yang tepat atau pendek menuju ke sumber makanan, sisa
kelompok yang lain juga akan dapat segera mengikuti jalan tersebut meskipun
lokasi mereka jauh di kelompok tersebut.
Metode optimasi yang didasarkan pada swarm intelligence ini disebut
algoritma behaviorally inspired sebagai alternatif dari algoritma genetika, yang
sering disebut evolution-based procedures. Algoritma PSO ini awalnya diusulkan
oleh J. Kennedy and R. C. Eberhart. Dalam konteks optimasi multivariabel,
kawanan diasumsikan mempunyai ukuran tertentu atau tetap dengan setiap partikel
posisi awalnya terletak di suatu lokasi yang acak dalam ruang multidimensi. Setiap
partikel diasumsikan memiliki dua karakteristik: posisi dan kecepatan. Setiap
partikel bergerak dalam ruang/space tertentu dan mengingat posisi terbaik yang
pernah dilalui atau ditemukan terhadap sumber makanan atau nilai fungsi objektif.
Setiap partikel menyampaikan informasi atau posisi bagusnya kepada partikel yang
lain dan menyesuaikan posisi dan kecepatan masing-masing berdasarkan informasi
yang diterima mengenai posisi yang bagus tersebut. Sebagai contoh, misalnya
perilaku burung-burung dalam dalam kawanan burung. Meskipun setiap burung
mempunyai keterbatasan dalam hal kecerdasan, biasanya ia akan mengikuti
kebiasaan (rule) seperti berikut :
1. Seekor burung tidak berada terlalu dekat dengan burung yang lain
2. Burung tersebut akan mengarahkan terbangnya ke arah rata-rata
keseluruhan burung
3. Akan memposisikan diri dengan rata-rata posisi burung yang lain dengan
menjaga sehingga jarak antar burung dalam kawanan itu tidak terlalu jauh.
Dengan demikian perilaku kawanan burung akan didasarkan pada
kombinasi dari 3 faktor simpel berikut:
1. Kohesi - terbang bersama
2. Separasi - jangan terlalu dekat
3. Penyesuaian(alignment) - mengikuti arah bersama
Jadi PSO dikembangkan dengan berdasarkan pada model berikut:
1. Ketika seekor burung mendekati target atau makanan (atau bisa mnimum
atau maximum suatu fungsi tujuan) secara cepat mengirim informasi kepada
burung-burung yang lain dalam kawanan tertentu
2. Burung yang lain akan mengikuti arah menuju ke makanan tetapi tidak
secara langsung
3. Ada komponen yang tergantung pada pikiran setiap burung, yaitu
memorinya tentang apa yang sudah dilewati pada waktu sebelumnya.
Model ini akan disimulasikan dalam ruang dengan dimensi tertentu dengan
sejumlah iterasi sehingga di setiap iterasi, posisi partikel akan semakin mengarah
ke target yang dituju (minimasi atau maksimasi fungsi). Ini dilakukan hingga
maksimum iterasi dicapai atau bisa juga digunakan kriteria penghentian yang lain.
2.6.2 Menentukan Parameter Algoritma PSO

Menurut Hsieh et al. (2007) menentukan kombinasi parameter terbaik


Algoritma PSO dengan kondisi yang berbeda yaitu:

1. Jumlah partikel (number of particle)


Rangenya adalah 20 - 40, tetapi 10 partikel akan mendapatkan hasil yang
lebih baik.
2. Kecepatan maksimum (maximum velocity)
Kecepatan maksimum (v) diatur untuk perpindahan partikel. Jika kecepatan
Vid diantara -10, 10. Kemudian kecepatan maksimum adalah pada 20.
3. Learning factors
Learning factor (c1 dan c2) pada umumnya mempunyai nilai 2. Berbeda
masalah juga akan berbeda nilainya dan rangenya adalah 0 - 4.
4. Kondisi berhenti (stop condition)
Termasuk jumlah iterasi maksimum dari Algoritma PSO dan syarat error
mencapai minimal. Kondisi berhenti tergantung masalah yang
dioptimalkan.
5. Inertia weight
Shi & Eberhart (1998) menemukan Algoritma PSO dengan Inertia weight
(w) dengan range antara 0.8 – 1.2.

2.6.3 Proses Algoritma PSO

Menurut Chen & Shih (2013) untuk memulai algoritma PSO, kecepatan awal
(velocity) dan posisi awal (position) ditentukan secara random. Kemudian proses
pengembangannya sebagai berikut:
1. Asumsikan bahwa ukuran kelompok atau kawanan (jumlah partikel) adalah
N. Kecepatan dan posisi awal pada tiap partikel dalam N dimensi ditentukan
secara random (acak).
2. Hitung kecepatan dari semua partikel. Semua partikel bergerak menuju titik
optimal dengan suatu kecepatan. Awalnya semua kecepatan dari partikel
diasumsikan sama dengan nol, set iterasi i = 1.
3. Nilai fitness setiap partikel ditaksir menurut fungsi sasaran (objective
function) yang ditetapkan. Jika nilai fitness setiap partikel pada lokasi saat
ini lebih baik dari Pbest, maka Pbest diatur untuk posisi saat ini.
4. Nilai fitness partikel dibandingkan dengan Gbest. Jika Gbest yang terbaik
maka Gbest yang diupdate.
5. Persamaan (2.1) dan (2.2) ditunjukkan di bawah ini untuk memperbaharui
(update) kecepatan (velocity) dan posisi (position) setiap partikel.

Dimana:

𝑉𝑖𝑑 = komponen kecepatan individu ke i pada d dimensi


𝑋𝑖𝑑 = posisi individu i pada d dimensi
𝜔 = parameter inertia weight
𝐶1 𝐶2 = konstanta akselerasi (learning rate), nilainya antara 0 sampai 1
rand1, rand2 = parameter random antara 0 sampai 1
𝑃𝑖𝑑 = Pbest (local best) individu i pada d dimensi
𝐺𝑖𝑑 = Gbest (global best) pada d dimensi

6. Cek apakah solusi yang sekarang sudah konvergen. Jika posisi semua
partikel menuju ke satu nilai yang sama, maka ini disebut konvergen. Jika
belum konvergen maka langkah 2 diulang dengan memperbarui iterasi i = i
+ 1, dengan cara menghitung nilai baru dari Pbest,j dan Gbest. Proses iterasi
ini dilanjutkan sampai semua partikel menuju ke satu titik solusi yang sama.
Biasanya akan ditentukan dengan kriteria penghentian (stopping criteria),
misalnya jumlah selisih solusi sekarang dengan solusi sebelumnya sudah
sangat kecil.
7. Menurut Engelbrecht (2006) ada 2 aspek penting dalam memilih kondisi
berhenti yaitu:
a. Kondisi berhenti tidak menyebabkan PSO convergent premature
(memusat sebelum waktunya) dimana solusi tidak optimal yang didapat.
b. Kondisi berhenti harus melindungi dari kondisi oversampling pada
nilainya, jika kondisi berhenti memerlukan perhitungan yang terus
menerus maka kerumitan dari proses pencarian akan meningkat.
Beberapa kondisi berhenti yang dapat dipakai dalam Particle Swarm
Optimization menurut Engelbrecht (2006) adalah:
 Berhenti ketika jumlah iterasi telah mencapai jumlah iterasi maksimum
yang diperbolehkan, berhenti ketika solusi yang diterima ditemukan,
Berhenti ketika tidak ada perkembangan setelah beberapa iterasi.

Gambar 2.4 Flowchart Algoritma PSO

Anda mungkin juga menyukai