Anda di halaman 1dari 10

Evidence Long Acting Bronkodilator

dalam Penatalaksanaan PPOK

Disusun Oleh :

Melani Naurita 114118013

PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI


FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SURABAYA
2019
Long Acting Bronkodilator pada PPOK

1. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)


1.1 Definisi
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit yang umum, dapat
dicegah, dan dapat ditangani, yang memiliki karakteristik gejala pernapasan yang
menetap dan adanya keterbatasan aliran udara, dikarenakan abnormalitas saluran napas
dan/atau alveolus yang biasanya disebabkan oleh pajanan gas atau partikel berbahaya.1
Pada PPOK, bronkitis kronik dan emfisema sering ditemukan bersama, meskipun
keduanya memiliki proses yang berbeda. Akan tetapi menurut PDPI 2010, bronkitis
kronik dan emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK, karena bronkitis kronik
merupakan diagnosis klinis, sedangkan emfisema merupakan diagnosis patologi.
Bronkitis kronik merupakan suatu gangguan klinis yang ditandai oleh pembentukan
mukus yang meningkat dan bermanifestasi sebagai batuk kronik. Emfisema merupakan
suatu perubahan anatomis parenkim paru yang ditandai oleh pembesaran alveoulus dan
duktus alveolaris serta destruksi dinding alveolar.2

1.2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perjalanan dan Perburukan PPOK


1. Faktor Genetika
Defisiensi α1-antitrypsin / AAT
o Defisiensi AAT berkaitan dengan emphysema.
o Patofisiologi berkaitan dengan ketidakseimbangan protease-antiprotease.
o Kejadian <1% dari kasus PPOK.
o AAT merupakan protein plasma yang disintesis di hepatosit, yang berfungsi
untuk melindungi sel (paru) dari perusakan oleh pelepasan elastase dari
neutrofil. Elastase menyerang elastin, yang merupakan komponen mayor pada
dinding alveoli.
o AAT dapat menghambat sebesar 90% enzim perusak. Normalnya jumlah AAT
sekitar 20-50 micromolars (100 to 350 mg/dL) dan efeknya menurun secara
signifikan apabila jumlahnya dalam plasma <11 micromolars (80 mg/dL).
2. Usia dan Jenis Kelamin
Usia sering dicantumkan sebagai faktor risiko , namun belum jelas apakah healthy
aging yang mempengaruhi PPOK atau usia merefleksikan jumlah kumulatif paparan

1
selama hidup (GOLD). Data sebagian besar studi awalnya menunjukkan bahwa
risiko pasien yang mengalami PPOK dan kematian akibat PPOK lebih besar dialami
oleh pria daripada wanita, namun data dari negara berkembang menunjukkan
prevalensi dari PPOK pada pria dan wanita adalah sama, yang kemungkinan
merefleksikan perubahan pola merokok tembakau (GOLD).
3. Pertumbuhan dan perkembangan paru
Pertumbuhan paru berkaitan dengan proses pembentukan organ paru sejak saat di
dalam kandungan, kelahiran dan paparan saat masa anak-anak dan dewasa, dan
faktor-faktor tersebut akan mempengaruhi risiko terhadap perkembangan PPOK
(GOLD).
4. Pajanan terhadap partikel, gas berbahaya
Merokok tembakau merupakan faktor risiko terbesar dari PPOK, yang memiliki
prevalensi yang besar dari gejala respiratori dan abnormalitas fungsi paru, dengan
penurunan FEV1 dan mortalitas dibandingkan non-perokok (GOLD). Perokok pasif
atau dikenal dengan environmental tobacco smoke (ETS) dapat berkontribusi
terhadap gejala respiratori dan PPOK dengan peningkatan total paparan partikel dan
gas (GOLD). Wanita hamil yang merokok dapat berisiko bagi janinnya, karena
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan paru dan awal pembentukan sistem
imun dari janin (GOLD). Risiko paparan partikel lain seperti occupational
exposures (debu organik dan inorganik dan agen2 kimia) merupakan faktor risiko
PPOK yang kurang diperhatikan. Suatu analisa besar pada populasi di US terhadap
10ribu orang dewasa berusia 30-75 tahun menemukan fraksi PPOK yang disebabkan
pekerjaan sebesar 19.2% dari semua, dan 31.1% pada non-perokok (GOLD). Polusi
udara indoor dari biomass cooking dengan ventilasi yang kurang dapat menjadi
faktor risiko yang penting dari PPOK. Hampir 3 juta jiwa menggunakan biomass
dan coal sebagai sumber energi, sehingga populasi yang berisiko di dunia sangat
besar (GOLD). Peran polusi udara outdoor terhadap PPOK belum jelas, tetapi
jumlahnya kecil ketika dibandingkan dengan merokok tembakau. Hal ini juga cukup
sulit dinilai efek dari suatu polutan dalam paparan jangka panjang terhadap polusi di
atmosfer (GOLD).
5. Faktor social ekonomi
Kemiskinan secara jelas merupakan suatu faktor resiko dari PPOK tetapi komponen
yang berkonstribusi dari hal tersebut belum jelas. Ada bukti kuat bahwa resiko
perkembangan PPOK berbanding terbalik dengan status sosial ekonomi

2
6. Asma dan hiperaktifitas saluran nafas
Suatu hasil penelitian dari Tucson epidemiological study of air way obstructive
disease  menyatakan bahwa dewasa dengan asma ditemukan memiliki resiko 2x
lebih besar terhadap PPOK dibandingkan tanpa asma. Hiperaktivitas bronkial dapat
muncul tanpa diagnosa klinis dari asma dan menunjukkan sebagai prediksi
independen terhadap PPOK, yang dapat sebagai indikator dari resiko penurunan
fungsi paru pada pasien PPOK ringan
7. Bronkitis kronis
Pada dewasa muda yang merokok dengan brokitis kronis berkaitan dengan
peningkatan perkembangan PPOK.
8. Infeksi berulang di saluran pernafasan
Riwayat infeksi pernapasan yang parah pada masa anak-anak berkaitan dengan
penurunan fungsi paru dan peningkatan gejala respiratori pada usia dewasa. Adanya
infeksi berperan dalam eksaserbasi PPOK tetapi efek dari perkembangan penyakit
tersebut belum sepenuhnya jelas. Infeksi HIV mempercepat terjadinya emfisema
terkait merokok (smoking-related emphysema). TB merupakan faktor resiko dari
PPOK. (GOLD)

1.2 Patologi, Patogenesis dan Patofisiologi


Patologi
Perubahan patologi meliputi inflamasi kronis dengan peningkatan jumlah dari tipe sel
inflamasi spesifik pada bagian-bagian paru yang berbeda, dan perubahan struktur yang
disebabkan oleh kerusakan/luka yang berulang dan mengalami perbaikan.
Patogenesis
Inflamasi yang terjadi pada saluran napas pasien PPOK sebagai respons peradangan
terhadap iritan kronis, seperti asap rokok. Inflamasi paru tetap bertahan setelah berhenti
merokok. Mekanisme patogenesis meliputi:
- Oxidative stress
- Ketidakseimbangan Protease – antiprotease
- Inflammatory cells: di beberapa pasien terdapat peningkatan eosinophil, Th2 atau
ILC2, terutama jika terjadi bersamaan dengan asma
- Mediator inflamasi
- Fibrosis peribronkial dan interstisial

3
Makrofag dan Neutrofil
Sel inflamasi utama yang berperan pada PPOK adalah makrofag dan neutrofil. Sel
epitel saluran napas dan sel makrofag menghasilkan chemokine ligand (CXCL)-9,
CXCL-10, dan CXCL-11 yang berikatan dengan chemokine receptor (CXCR)-3
untuk menarik sel Th-1 dan Tc. Makrofag menghasilkan CCL-2 yang berikatan
dengan CCR-2 untuk menarik monosit, CXCL-1 dan CXCL-8 yang berikatan dengan
CCR-2 untuk menarik neutrofil dan monosit. Monosit yang masuk paru
berdiferensiasi menjadi sel makrofag. Sel-sel inflamasi tersebut bersama sel epitel
saluran napas dan sel makrofag menghasilkan protease seperti MMP-9 yang dapat
menyebabkan degradasi elastin dan terjadi emfisema. Neutrofil juga menyebabkan
hipersekresi mukus.

Sel epitel
Paparan asap rokok dan zat iritan lainnya mengaktivasi sel epitel dan makrofag
menghasilkan beberapa faktor kemotaktik yang menarik sel inflamasi ke paru.

4
Aktivasi sel epitel saluran napas kecil mensekresi mediator inflamasi termasuk TNF-
α, IL-1β, IL-6, granulocyte-macrophage colony– stimulating factor (GM-CSF), dan
TGF-β. Transforming growth factor-β menarik fibroblas dan menyebabkan
proliferasi fibroblas ke saluran napas sehingga terjadi fibrosis di saluran napas kecil.
Sel epitel saluran napas penting pada mekanisme pertahanan saluran napas karena
sel goblet yang terletak diantara sel epitel saluran napas mampu menghasilkan
mukus, mensekresi antioksidan, antiprotease, dan defensin. Penurunan fungsi
pertahanan saluran napas penderita PPOK akibat kerusakan struktur sel epitel saluran
napas dan sel goblet menyebabkan lemahnya respons epitel saluran napas sehingga
meningkatkan risiko infeksi.
Patofisiologi

Inflammatory cells Structural changes

Saluran Nafas • ↑macrophages, • ↑goblet cells,


Proksimal
(trakea, • ↑CD8 + (cytotoxic) T • Pembesaran kelenjar
bronkus lymphocytes submucosal
diameter > 2 • Few neutrophils or • metaplasia sel epitel
mm) eosinophils Squamous

Saluran nafas • ↑macrophages, • Penebalan dinding


Peripheral saluran nafas
(bronkilus • ↑T lymphocytes
(CD8+>CD4+) • Peribronchial fibrosis
diameter <2mm)
• ↑B lymphocytes • Luminal inflammatory
exudate
• Lymphoid follicles
• Airway narrowing
• ↑Fibroblasts
• Few neutrophils or
eosinophils

Lung • ↑macrophages, • Kerusakan dinding


parenchyma Alveolar
• ↑CD8 + T lymphocytes
• Opoptosis of epithelial &
endothelial cells

Pulmonary • ↑macrophages, • Penebalan intima


vasculature
• ↑CD8 + T lymphocytes • Endohelial cell
dysfungction
• Penebalan otot
polos→pulmonary
hypertension

5
2. ASSESMEN / PENILAIAN PPOK

Tujuan penilaian PPOK untuk menggambarkan keparahan penyakit, yang mempengaruhi


status kesehatan pasien dan risiko di masa yang akan datang (seperti: eksaserbasi, MRS,
atau kematian) (GOLD).
Penilaian PPOK perlu memperhatikan beberapa aspek dari penyakit secara terpisah,
yaitu:
– Tingkat gejala pasien saat ini (Current level of patient’s symptoms)
– Keparahan abnormalitas spirometri (Severity of the spirometric abnormality)
– Risiko eksaserbasi (Exaserbation risk)
– Adanya penyakit komorbiditas (Presence of comorbidities)
Penilaian Faktor Risiko :
GRUP RESIKO GEJALA TIPE EKSASERBASI TINGKAT NILAI
GOLD PER TAHUN mMRC CAT
A Rendah Sedikit 1 atau 2 0-1 0-1 < 10
B Rendah Lebih 1 atau 2 0-1 ≥2 ≥ 10
C Tinggi Rendah 3 atau 4 ≥ 2 atau ≥1 MRS 0-1 < 10
D Tinggi Lebih 3 atau 4 ≥ 2 atau ≥1 MRS ≥2 ≥ 10

6
3. TERAPI FARMAKOLOGI PPOK STABIL

Tujuan utama penatalaksanaan PPOK stabil adalah semaksimal mungkin mengurangi


gejala ( memperbaiki toleransi latihan, memperbaiki kualitas hidup) dan mengurangi
risiko (mencegah progresifitas penyakit, mencegah dan mengobati eksaserbasi,
mengurangi kematian).
Manajemen Farmakologi pada PPOK Stabil
Pada GOLD 2019, Semua pasien grup A sebaiknya ditawarkan untuk terapi
bronkodilator sebagai terapi jangka panjang berdasarkan efeknya terhadap sesak napas
baik short acting maupun long acting bronkodilator. Terapi sebaiknya diteruskan jika
secara klinis memberikan manfaat. Pada PPOK Grup B, terapi inisial sebaiknya terdiri
dari long acting bronkodilator. Pemilihan bronkodilator berdasarkan perbaikan gejala
pada persepsi pasien. Pada grup C , LAMA lebih dipilih sebagai terapi awal
dibandingkan LABA karena LAMA lebih superior dibanding LABA dalam mencegah
eksaserbasi. Pada POET-COPD studi yang membandingkan antara tiotropium dan
LABA, tiotroprium secara signifikan menunda 17% waktu terjadinya eksaserbasi
pertama kali dibandingksn salmeterol.3 Pada studi INVIGORATE juga disebutkan
bahwa waktu tunda tiotropium untuk eksaserbasi sedang atau berat pertama, signifikan
lebih baik dibandingkan dengan indakaterol.(HR 1,2 p =0.0012).4 Studi INSPIRE
menyatakan bahwa angka tahunan eksaserbasi antara tiotropium 18 µg dibandingkan
dengan salmeterol /fluticason 50/500µg BID adalah sebanding namun komplikasi
pneumonia pada salmeterol/fluticason lebih besar ( HR 1,94, p< 0.0008).5 Pada studi

7
PARK didapatkan kombinasi LABA/LAMA sebanding dengan tiotropium tunggal
dalam mengurangi eksaserbasi sedang hingga berat.6
Studi TONADO meneliti kombinasi LABA/LAMA yaitu tiotropium dan olodaterol
mendapatkan kombinasi tersebut secara signifikan meningkatkan fungsi paru,
memperbaiki gejala sesak napas serta meningkatkan kualitas hidup pada pasien PPOK
dibandingkan dengan monoterapi LABA saja atau LAMA saja. Pada grup D,untuk pasien
dengan gejala lebih parah (CAT ≥ 10) terutama dengan gejala dyspnea yang berat dapat
dipilih kombinasi LAMA / LABA sebagai pengobatan awal.7 Pada studi TONADO juga
didapatkan bahwa penggunaan kombinasi LABA/LAMA secara signifikan mengurangi
rescue medication dan menunjukkan kecenderungan penurunan frekuensi eksaserbasi
dibandingkan dengan monoterapi. Kombinasi LABA/LAMA tersebut memiliki efek
samping yang dapat ditoleransi dengan baik seperti pada monoterapi. Pada studi
ENERGITO pemberian kombinasi LABA/LAMA yaitu tioptropium dan olodaterol
sekali sehari dapat memberikan peningkatan yang signifikan terhadap FEV1
dibandingkan pemberian ICS/LABA (salmeterol/fluticason dosis sedang dan tinggi) dua
kali sehari.8 Mekanisme LAMA/LABA dapat menurunkan frekuensi eksaserbasi adalah
dengan mengurangi hiperinflasi, menurunkan produksi mukus, meningkatkan
mukociliary clearance, mengurangi keberatan gejala, dan memiliki efek anti inflamasi.

4. MONITORING DAN EVALUASI

Monitoring dilakukan untuk mengetahui progresivitas penyakit dan terjadinya

komplikasi atau komorbiditas. Monitoring dilakukan dengan pemeriksaan faal paru,

gejala, frekuensi eksaserbasi, pemeriksaan imaging jika diperlukan, komorbiditas, dan

monitoring status merokok secara berkala. Terapi farmakologi juga haris dimonitoring

dalam hal dosis obat, kepatuhan , teknik inhalasi, keefektivan terapi saat ini, dan efek

samping obat.

8
Daftar Pustaka

1. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). 2019. Global Strategy
for the Diagnosis, Management and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary
Disease.
2. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2016. PPOK (penyakit Paru Obstruktif Kronik)
Diagnosis dan Penatalaksanaan. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI Press).
3. Vogelmeier C, Hederer B, Glaab T, Schmidt H, et al. 2011. Tiotroprium versus
salmeterol for prevention of exacerbations of COPD ( POET-COPD Study). N Engl J
Med ; 364 : 1093-1103
4. Decramer ML, Champman KR, Dahl R, Fathy A, et al. 2013. Once-daily indacaterol
versus tiotroprium for patients with severe chronic obstructive pulmonary disease
(INVIGORATE): A randomised, blinded, paralel-group study. The LANCET ;1(7)
:524-33
5. Wedzicha JA, Calverley PMA, Seemungal TA, Hagan G, Anzari Z, Stockley RA. 2015
The prevention of chronic obstructive pulmonary disease exacerbations by
salmeterol/fluticasone propionate or tiotropium bromide ( INSPIRE). Am J Respir Crit
Care Med ; 177(1):19-26
6. Wedzicha JA, Decramer M, Ficker J, Taylor AF, Andrea PD, Arrasate C, et al. 2016.
Dual bronchodilation with QVA149 Reduced COPD Exacerbations : the SPARK Study.
; N Eng J Med :187: A2428
7. Buhl R, Maltais F, Bateman R, et al. 2015. Tioropium and olodaterol fixeddose
combination versus monocomponents in COPD (GOLD 2-4) ( TONADO study).
8. Beeh KM, Derom E, Echave-Sustaeta JM, et al. 2016. The lung function profile of once
daily tiotropium and olodaterol via respimat is superior to that of twice daily salmeterol
and fluticasone propionate via accuhaler (ENERGITO). Int J Chron Obstruct Pulmon
Dis ;11:193-205
10.

Anda mungkin juga menyukai