Anda di halaman 1dari 79

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut sistem otonomi

daerah dalam pelaksanaan pemerintahannya. Dengan adanya otonomi daerah,

daerah mempunyai hak serta kewajiban untuk mengatur daerahnya sendiri tetapi

masih tetap dikontrol oleh pemerintah pusat serta sesuai dengan undang-undang.

Munculnya otonomi daerah menyebabkan terjadinya pergeseran paradigma dari

sistem pemerintah bercorak sentralisasi mengarah kepada sistem pemerintahan

yang desentralisasi, yaitu dengan memberikan keleluasaan terhadap daerah dalam

mewujudkan daerah otonom yang bertanggung jawab, untuk mengatur dan

mengurus kepentingan masyarakat sesuai dengan kondisi dan kontribusi yang

dimiliki oleh suatu wilayah. Pemberian otonomi daerah pada dasarnya bertujuan

untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintah

daerah, terutama dalam pelaksanaan pembangunan dan pelayanan masyarakat

serta peningkatan pembinaan kesatuan politik dan kesatuan bangsa. Salah satunya

yaitu tugas pemerintah dalam mengurus serta pengelola keuangan pemerintah

daerah agar tercapai kinerja keuangan pemerintah daerah yang efektif dan efesien.

Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan

uang, demikian pula segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat

dijadikan kekayaan daerah sepanjang belum dimiliki atau dikuasai oleh negara

atau daerah yang lebih tinggi serta pihak-pihak lain sesuai ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Menurut Undang Undang Nomor 23 tahun

1
2

2014 Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah yang dapat

dinilai dengan uang dan segala sesuatu berupa uang dan barang yang dapat

dijadikan milik daerah yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban

tersebut.

Dalam peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011 tentang

Perubahan Kedua Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang

Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah menyatakan bahwa Keuangan daerah

adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan

pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang , termasuk didalamnya

segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah

tersebut.

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah

Daerah dan Undang- Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan

Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah sebagai pengganti Undang-

Undang Nomor 25 Tahun 1999 Pemerintah Daerah diberi kewenangan untuk

mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan

tugas pembantuan. Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi

kewenangan daerah seperti yang disebut di atas didanai dari dan atas beban

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), yang merupakan dasar

pengelolaan keuangan daerah dalam masa satu tahunanggaran. Selanjutnya

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dalam Pasal 19

ayat (1) dan (2) menyebutkan bahwa, dalam rangka penyusunan RAPBD Satuan

Kerja perangkat Daerah (SKPD) selaku pengguna anggaran menyusun rencana


3

kerja dan anggaran dengan pendekatan berdasarkan prestasi kerja yang akan

dicapai.

Dasar filosofi digagasnya pelaksanaan pemerintah daerah berotonomi

sesungguhnya memberikan kebebasan keleluasaan daerah untuk mengatur dan

mengurus sumber-sumber penerimaan daerah yang berasal dari Pendapatan Asli

Daerah, Dana Perimbangan, Pinjaman Daerah dan Sumber-sumber Penerimaan

lainnya. Untuk itu kebijaksanaan keuangan daerah diarahkan pada upaya

penyesuaian secara terarah dan sistematis untuk menggali sumber-sumber

pendapatan daerah bagi pembiayaan pembangunan melalui intensifikasi dan

ekstensifikasi sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah. Kebijakan ini juga

diarahkan pada penerapan prinsip-prinsip, norma, asas dan standar akuntansi

dalam penyusunan APBD agar mampu menjadi dasar bagi kegiatan pengelolaan,

pengendalian, pemeriksaan dan pengawasan keuangan daerah.

Tujuan keuangan daerah pada masa otonomi adalah menjamin tersedianya

keuangan daerah guna pembiayaan pembangunan daerah, pengembangan

pengelolaan keuangan daerah yang memenuhi prinsip, norma, asas dan standar

akuntansi serta meningkatkan Pendapatan Asli Daerah secara kreatif melalui

penggalian potensi, intensifikasi dan ekstensifikasi. Sedangkan sasaran yang ingin

dicapai keuangan daerah adalah kemandirian keuangan daerah melalui upaya yang

terencana, sistematis dan berkelanjutan, efektif dan efisien.

Menurut Kamus Akuntansi Manajemen Kontemporer (1994) Kinerja

(Performance) diartikan sebagai aktivitas terukur dari suatu entitas selama periode

tertentu sebagai bagian dari ukuran keberhasilan pekerjaan. Selanjutnya


4

measurement atau pengukuran kinerja diartikan sebagai suatu indikator keuangan

dan non keuangan dari suatu pekerjaan yang dilaksanakan atau hasil yang dicapai

dari suatu aktivitas, suatu proses atau suatu unit organisasi. Pengukuran kinerja

merupakan wujud akuntabilitas, dimana penilaian yang lebih tinggi menjadi

tuntunan yang harus dipenuhi, data pengukuran kinerja dapat menjadi peningkatan

program selanjutnya.

Menurut Sedarmayanti (2003:64) Kinerja (performance) diartikan sebagai

hasil seorang pekerja, sebuah proses manajemen atau suatu organisasi secara

keseluruhan, dimana hasil kerja tersebut harus dapat diukur dengan dibandingkan

dengan standar yang telah ditentukan. Faktor kemampuan sumber daya aparatur

pemerintah terdiri dari kemampuan potensi (IQ) dan kemampuan ability

(knowledge + skill), sedangkan faktor motivasi terbentuk dari sikap (attitude)

sumber daya aparatur pemerintah dalam menghadapi situasi kerja. Motivasi

merupakan kondisi yang menggerakkan sumber daya aparatur pemerintah dengan

terarah untuk mencapai tujuan pemerintah, yaitu good governance.

Menurut Mardiasmo (2002:121) Sistem pengukuran kinerja sektor publik

adalah suatu sistem yang bertujuan untuk membantu manajer publik menilai

pencapaian suatu strategi melalui alat ukur finansial dan nonfinansial. Dalam

penelitian ini, yang dimaksudkan sebagai Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah

adalah tingkat pencapaian dari suatu hasil Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah,

yang meliputi anggaran dan realisasi PAD dengan menggunakan indikator

keuangan yang ditetapkan melalui suatu kebijakan atau ketentuan perundang-


5

undangan selama satu periode anggaran. Bentuk dari pengukuran kinerja tersebut

berupa rasio keuangan.

Menurut J. Fred Weston dalam Kasmir (2015:106) Salah satu alat untuk

menganalisis kinerja pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerahnya

adalah dengan melakukan analisis rasio keuangan terhadap APBD yang telah

ditetapkan dan dilaksanakannya. Analisis rasio keuangan indikator-indikatornya

antara lain :

1)Kemandirian keuangan daerah (otonomi fiskal) menunjukkan kemampuan

pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan,

pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak

dan retribusi sebagai pendapatan yang diperlukan daerah. Kemandirian

keuangan daerah ini ditunjukkan oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah

dibandingkan dengan pendapatan daerah yang berasal dari sumber yang lain,

misalnya bantuan pemerintah pusat ataupun dari pinjaman,

2)Efektifitas pendapatan asli daerah. Rasio efektifitas menggambarkan kemapuan

pemerintah daerah dalam merealisasikan pendapatan asli daerah yang

drencanakan dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi

riil daerah. Dan

3)Efisiensi. Rasio efisiensi adalah rasio yang menggabarkan perbandingan antara

besarnya biaya yang dikeuarkan untuk memperoleh pendapatan dengan

realisasi pendapatan yang diterima.


6

Pertumbuhan ekonomi adalah proses perubahan kondisi perekonomian suatu

negara secara berkesinambungan menuju keadaan yang lebih baik selama periode

tertentu. Pertumbuhan ekonomi dapat diartikan juga sebagai proses kenaikan

kapasitas produksi suatu perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan

pendapatan nasional. Adanya pertumbuhan ekonomi merupakan indikasi

keberhasilan pembangunan ekonomi.

Menurut Zaris (1987:158), Pertumbuhan ekonomi merupakan perkembangan

kesejahteraan masyarakat yang diukur dengan besarnya pertumbuhan produk

domestik regional bruto perkapita (PDRB perkapita). Menurut Afrizal (2013:109),

Semakin tinggi nilai PDRB suatu daerah maka ini menunjukkan tingginya tingkat

pertumbuhan ekonomi serta menggambarkan bahwa daerah tersebut mengalami

kemajuan dalam perekonomian. Pada hakekatnya pertumbuhan ekonomi suatu daerah

dapat terjadi ketika penentu-penentu endogen (faktor dari dalam daerah) maupun

eksogen (faktor dari luar daerah) bersangkutan serta berkombinasi. Pendekatan yang

biasa digunakan dalam menjelaskan pertumbuhan regional ialah dengan

menggunakan model-model ekonomi makro.

Menurut Keynes dalam Rahmansyah (2004:15), Ada hubungan antara

keuangan daerah dengan pertumbuhan ekonomi. Hubungannya keduanya dilihat

dari campur tangan pemerintah dalam perekonomian. Identitas keseimbangan

pendapatan nasional adalah konsumsi (C) ditambah Investasi (I), Pembelian atau

Pengeluaran Pemerintah (G), dan Ekspor (X) dikurangi Impor (M) yang

dirumuskan dengan persamaan Y = C + I + G + X-M.

Pendapat diatas juga didukung Menurut Sidik dalam Pertiwi (2016:101), Ada

hubungan antara keuangan daerah dengan pertumbuhan ekonomi. Yaitu apabila


7

keuangan daerah mengalami peningkatan yang cukup besar dan dialokasikan dengan

baik dan benar, maka ini akan berdampak pada dana yang dimiliki oleh daerah juga

akan semakin besar. Hal ini mengindikasikan bahwa akan meningkatkan kemandirian

suatu daerah sehingga ini akan membuat daerah semakin berinisiatif dalam menggali

potensi daerahnya untuk dapat meningkatkan pertumbuhan ekonominya. Dengan

besarnya keuangan daerah, daerah otonomi lebih leluasa dalam menyusun

perencanaan dan penganggaran terhadap persoalan pembangunan termasuk yang

terkait dengan percepatan pertumbuhan ekonomi, misalnya pembangunan

infrastruktur untuk menarik masuknya investasi. Sementara itu pertumbuhan ekonomi

yang cepat merupakan cerminan berkembangnya kegiatan ekonomi dari berbagai

sektor dan memberi peluang terciptanya sumber-sumber pendapatan daerah yang

lainnya.

Penelitian Havid Sularso (2011) meneliti tentang “ Pengaruh Kinerja Keuangan

Terhadap Alokasi Belanja Modal Dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota Di

Jawa Tengah.” Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji pengaruh kinerja

keuangan terhadap alokasi belanja modal dan pertumbuhan ekonomi. Metode analisis

data menggunakan Structural equation modeling (SEM) dengan bantuan program

Analysis of Moment Structures (AMOS). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa

alokasi belanja modal berpengaruh oleh kinerja keuangan daerah, alokasi belanja

modal berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi secara

tidak langsung dipengaruhi oleh kinerja keuangan daerah.

Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Kaliti (2011) melakukan

penelitian mengenai pengaruh kinerja keuangan berupa rasio kemandirian, rasio

efektivitas, dan rasio efisiensi terhadap pertumbuhan ekonomi menunjukkan rasio


8

kemandirian dan efektivitas tidak berpengaruh positif terhadap pertumbuhan

ekonomi, sedangkan rasio efisiensi tidak berpengaruh negatif terhadap

pertumbuhan ekonomi.

Kota Sungai Penuh merupakan salah satu daerah otonom yang ada di Provinsi

Jambi berusaha mengoptimalkan kinerja keuangan pemerintahannya demi

terwujudnya Good Governance. Kota Sungai Penuh terus berupaya meningkatkan

kinerja keuangan pemerintahannya sebagai salah satu tugas dan tanggung jawab

pemerintahnya yang dapat dipergunakan untuk mendukung penyelenggaraan

pemerintahannya sendiri. Berikut ini adalah data PDRB atas Harga konstan.

Tabel 1.1
PDRB Atas Dasar Harga Konstan
Kota Sungai Penuh Tahun 2010-2016

No Tahun PDRB (Rp) Pertumbuhan (%)

1 2010 2.592.952,19 -
2 2011 2.770.910,54 6,86
3 2012 2.967.371,60 7,09
4 2013 3.218.243,48 8,45
5 2014 3.460.943,21 7,54
6 2015 3.705.362,24 7,06
7 2016 3.946.467,11 6,51
Jumlah 22.662.250,37 43,51
Rata-rata 3.237.464,34 6,22
Sumber : BPS Kota Sungai Penuh Tahun 2016

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa rata-rata pertumbuhan PDRB

Kota Sungai Penuh selama periode 2010-2016 sebesar 6,22%. Dimana pada tahun
9

2010 PDRB sebesar Rp.2,592,952.19. Pada tahun 2011 PDRB meningkat

sebesar 6,86%. Pada tahun 2012 meningkat sebesar 7,09%. pada tahun 2013

PDRB meningkat sebesar 8,45%. Pada tahun 2014 PDRB meningkat sebesar

7,54%. Pada tahun 2015 PDRB meningkat sebesar 7,06% dan pada tahun 2016

PDRB juga mengalami kenaikan sebesar 6,51%.

Selain data PDRB diatas, untuk menguatkan fenomena penelitian ini maka

penulis juga menambah data keuangan Pemerintah Kota Sungai Penuh pada tahun

2010-2016. Berikut ini merupakan data Realisasi Anggaran Pendapatan dan

Belanja Pemerintah Kota Sungai Penuh tahun 2010-2016 :

Tabel 1.2
Realisasi Pendapatan dan Belanja Daerah
Pemerintah Kota Sungai Penuh Tahun 2010-2016
Realisasi Pertumbuhan Realisasi Belanja Pertumbuhan
Tahun
Pendapatan (Rp) (%) (Rp) (%)
2010 366.230.042.063,95 - 297.156.747.883,23 -
2011 452.243.705.727,90 23,49 397.258.492.085,55 33,69
2012 472.331.609.627,58 4,44 464.215.014.378,01 16,85
2013 557.416.319.774,78 18,01 548.407.907.604,00 18,14
2014 598.264.229.650,30 7,33 546.099.421.759,83 -0,42
2015 626.260.069.030,84 4,68 630.159.025.238,00 15,39
2016 707.134.635.517,20 12,91 689.572.920.958,76 9,43
Jumlah 3.779.880.611.393 70,86 3.572.869.529.908 93,08
Rata-rata 539.982.944.485 10,12 510.409.932.844 13,29

Sumber : Kantor BKD Kota Sungai Penuh Tahun 2016

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa rata-rata pertumbuhan Realisasi

pendapatan Kota Sungai Penuh selama periode 2010-2016 sebesar 10,12% dan

Realisasi belanja sebesar 13,29%. Dimana pada tahun 2010 Realisasi pendapatan
10

Kota Sungai Penuh sebesar Rp. 366,230,042,063.95 dan Realisasi belanja sebesar

Rp. 297,156,747,883.23. Pada tahun 2011 Realisasi pendapatan Kota Sungai Penuh

meningkat sebesar 23,49% dan Realisasi belanja sebesar 33,69%. Pada tahun

2012 Realisasi pendapatan Kota Sungai Penuh meningkat 4,44% dan Realisasi

belanja meningkat sebesar 16,85%. pada tahun 2013 Realisasi pendapatan Kota

Sungai Penuh meningkat sebesar 18,01% dan Realisasi belanja meningkat sebesar

18,14%. Pada tahun 2014 Realisasi pendapatan Kota Sungai Penuh meningkat

sebesar 7,33% dan Realisasi belanja mengalami penurunan sebesar -0,42%. Pada

tahun 2015 Realisasi pendapatan Kota Sungai Penuh mengalami kenaikan sebesar

4,68% dan Realisasi belanja juga meningkat sebesar 15,39%. dan pada tahun 2016

Realisai pendapatan Kota Sungai Penuh juga mengalami kenaikan sebesar 12,91%

dan Realisasi belanja juga meningkat sebesar 9,43%.

Dari tabel 1.1 dan 1.2 diatas dapat kita bandingkan pertumbuhan PDRB Kota

Sungai Penuh selama periode 2010-2016 dengan pertumbuhan Realisasi

pendapatan dan belanja Kota Sungai Penuh selama periode 2010-2016. Dilihat

dari rata-rata pertumbuhan PDRB Kota Sungai Penuh sebesar 6,22% sedangkan

pertumbuhan Realisasi pendapatan sebesar 10,12% dan Realisasi belanja Kota

Sungai Penuh sebesar 13,29%. Dilihat dari tahun ke tahun yaitu pada tahun 2011

pertumbuhan PDRB Kota Sungai Penuh sebesar 6,86% sedangkan pertumbuhan

Realisasi pendapatan Kota Sungai Penuh sebesar 23,49% dan Realisasi belanja

Kota Sungai Penuh sebesar 33,69%. Pada tahun 2012 pertumbuhan PDRB Kota

Sungai Penuh sebesar 7,09% sedangkan pertumbuhan Realisasi pendapatan Kota

Sungai Penuh sebesar 4,44% dan Realisasi belanja Kota Sungai Penuh sebesar
11

16,85%. Pada tahun 2013 pertumbuhan PDRB Kota Sungai Penuh sebesar 8,45%

sedangkan pertumbuhan Realisasi pendapatan Kota Sungai Penuh sebesar 18,01%

dan belanja Kota Sungai Penuh sebesar 18,14%. Pada tahun 2014 pertumbuhan

PDRB Kota Sungai Penuh sebesar 7,54% sedangkan pertumbuhan Realisasi

pendapatan Kota Sungai Penuh sebesar 7,33% dan Realisasi belanja Kota Sungai

Penuh sebesar -0,42%. Pada tahun 2015 pertumbuhan PDRB Kota Sungai Penuh

sebesar 7,06% sedangkan pertumbuhan Realisasi pendapatan Kota Sungai Penuh

sebesar 4,68% dan Realisasi belanja Kota Sungai Penuh 15,39%. Dan pada tahun

2016 pertumbuhan PDRB Kota Sungai Penuh sebesar 6,51% sedangkan

pertumbuhan Realisasi pendapatan Kota Sungai Penuh sebesar 12,91% dan

Realisasi belanja Kota Sungai Penuh sebesar 9,43%.

Melihat dari perbandingan persentase rata-rata pertumbuhan PDRB Kota

Sungai Penuh sebesar 6,22% dengan persentase rata-rata pertumbuhan Realisasi

pendapatan sebesar 10,12% dan persentase rata-rata pertumbuhan belanja Kota

Sungai Penuh sebesar 13,29% dapat kita ketahui bahwa persentase pertumbuhan

ketiga data diatas sangat jauh perbandingannya. Dimana persentase pertumbuhan

Realisasi pendapatan dan belanja Kota Sungai Penuh jauh lebih besar

dibandingkan dengan persentase pertumbuhan PDRB Kota Sungai Penuh.

Berdasarkan uraian diatas maka penulis Tertarik melakukan penelitian lebih

lanjut yang akan dituangkan dalam skripsi dengan judul “Analisis Kinerja

Keuangan Pemerintah Kota Sungai Penuh Serta Dampaknya Terhadap

Pertumbuhan Ekonomi Pada Tahun 2010-2016”.


12

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang penelitian diatas, maka dirumuskan

permasalan sebagai berikut :

1. Apakah terdapat pengaruh antara kinerja keuangan pemerintah Kota Sungai

Penuh yang diukur dengan rasio kemandirian terhadap Pertumbuhan Ekonomi

tahun 2010-2016 ?

2. Apakah terdapat pengaruh antara kinerja keuangan pemerintah Kota Sungai

Penuh yang diukur dengan rasio aktivitas terhadap Pertumbuhan Ekonomi

tahun 2010-2016?

3. Apakah terdapat pengaruh antara kinerja keuangan pemerintah Kota Sungai

Penuh yang diukur dengan rasio efektivitas terhadap Pertumbuhan Ekonomi

tahun 2010-2016 ?

4. Apakah terdapat pengaruh antara kinerja keuangan pemerintah Kota Sungai

Penuh yang diukur dengan rasio efesiensi terhadap pertumbuhan ekonomi

tahun 2010-2016 ?

5. Apakah terdapat pengaruh antara kinerja keuangan Pemerintah Kota Sungai

Penuh yang diukur dengan rasio kemndirian, rasio aktivitas, rasio efektivitas

dan rasio efesiensi terhadap Pertumbuhan Ekonomi secara simultan tahun

2010-2016 ?

1.3 Batasan Masalah


13

Pembatasan masalah digunakan untuk menghindari adanya penyimpangan

maupun pelebaran pokok masalah agar penelitian tersebut lebih terarah dan

memudahkan dalam pembahasan sehingga tujuan penelitian akan tercapai.

Menurut Halim (2012:4) Ada beberapa cara untuk mengukur Kinerja Keuangan

Daerah salah satunya yaitu dengan menggunakan Rasio Kinerja Keuangan Daerah.

Beberapa rasio yang bisa digunakan adalah : Rasio Efektivitas PAD, Rasio Efisiensi

Keuangan Daerah, Rasio Keserasian, Rasio Pertumbuhan, Rasio Aktivitas dan Rasio

Kemandirian Keuangan Daerah.

Beberapa batasan masalah dalam penelitian ini adalah hanya berkaitan

dengan kinerja keuangan yang terdiri dari rasio kemandirian, rasio aktivitas, rasio

efektivitas, dan rasio efesiensi. Keempat rasio ini dipilih karena lebih mudah

dipahami dari pada rasio lainnya.

1.4 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas maka tujuan dari peneitian ini adalah

sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui pengaruh antara kinerja keuangan pemerintah Kota Sungai

Penuh yang diukur dengan rasio kemandirian terhadap Pertumbuhan Ekonomi

tahun 2010-2016

2. Untuk mengetahui pengaruh antara kinerja keuangan pemerintah Kota Sungai

Penuh yang diukur dengan rasio aktivitas terhadap Pertumbuhan Ekonomi

tahun 2010-2016
14

3. Untuk mengetahui pengaruh antara kinerja keuangan pemerintah Kota Sungai

Penuh yang diukur dengan rasio efektivitas terhadap Pertumbuhan Ekonomi

tahun 2010-2016

4. Untuk mengetahui pengaruh antara kinerja keuangan pemerintah Kota Sungai

Penuh yang diukur dengan rasio efesiensi terhadap Pertumbuhan Ekonomi

tahun 2010-2016

5. Untuk mengetahui pengaruh antara kinerja keuangan Pemerintah Kota Sungai

Penuh yang diukur dengan rasio kemandirian, rasio aktivitas, rasio efektivitas

dan rasio efesiensi terhadap Pertumbuhan Ekonomi tahun 2010-2016.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat Akademik

1. Dengan penelitian ini,dapat bermanfaat bagi penulis untuk menambah

pengetahuan sekaligus untuk mengembangkan di dalam menerapkan

ilmu pengetahuan diperoleh selama menjalani perkuliahan pada Sekolah

Tinggi Ilmu Ekonomi Sakti Alam Kerinci (STIE-SAK) .

2. Diharapkan sebagai referensi dalam mengembangkan ilmu ekonomi bagi

para peneliti pada masa yang akan datang.

1.5.2 Manfaat Praktis

Penelitian ini dapat menjadi masukan bagi pemerintah terutama aparat Dinas

Pendapatan Daerah Kota Sungai Penuh untuk meningkatkan kinerja keuangan

serta dapat mengurangi dampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.


15

BAB II
KAJIAN TEORITIS, KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS

2.1. Kajian Teoritis

2.1.1. Pembangunan Ekonomi

Menurut Schumpeter (2005:5), pembangunan ekonomi bukan merupakan

proses yang harmonis atau gardual, tetapi merupakan perubahan yang spontan dan

tidak terputus-putus. Pembangunan Ekonomi disebabkan oleh perubahan terutama

dalam lapangan industri dan perdagangan. Pembangunan Ekonomi berkaitan

dengan pendapatan perkapita dan pendapatan nasional. Pendapatan perkapita yaitu

pendaptan rata-rata penduduk suatu daerah sedangkan pendapatan nasional

merupakan nilai produksi barang-barang dan jasa-jasa yang diciptakan dalam

suatu perekonomian didalam masa satu tahun.

Menurut Sukirno (2005:13), Pembangunan ekonomi diartikan sebagai

suatu proses multidimensional yang melibatkan perubahan-perubahan besar dalam

struktur sosial,sikap-sikap mental yang sudah terbiasa, dan lembaga-lembaga

nasional termasuk pilar percepatan/akselerasi pertumbuhan ekonomi,

pengangguran dan pemberantasan kemiskinan yang absolut.

Menurut Smith dalam Suryana (2000:55) pembangunan ekonomi merupakan

proses perpaduan antara pertumbuhan penduduk dan kemajuan teknologi. Meier

dalam Adisasmita (2005:205) mendefenisikan pembangunan ekonomi sebagai

proses kenaikan pendapatan riil perkapita dalam suatu jangka waktu yang

panjang. Defenisi tersebut mengandung pengertian bahwa pembangunan ekonomi

merupakan suatu perubahan yang terjadi secara terus menerus melalui serangkaian
16

kombinasi proses demi mencapai suatu yang lebih baik yaitu adanya peningkatan

pendapatan perkapita yang terus menerus berlangsung dalam jangka panjang.

Menurut Irawan (2002:5) Pembangunan ekonomi adalah usaha-usaha untuk

meningkatkan taraf hidup suatu bangsa yang sering kali diukur dengan tinggi

rendahnya pendapatan riil perkapita. Menurut Schumpeter dalam Suryana

(2000:5) pembangunan ekonomi bukan merupakan proses yang harmonis atau 12

gradual, tapi merupakan perubahan yang spontan dan tidak terputus-putus.

Pembangunan ekonomi disebabkan oleh perubahan terutama dalam lapangan

industri dan perdagangan.

Jadi berdasarkan pengertian para ahli diatas dapat kita simpulkan bahwa

pembangunan ekonomi adalah sebuah proses yang bertujuan untuk meningkatkan

pendapatan perkapita penduduk atau masyarakat di sebuah negara dalam jangka

panjang yang disertai dengan perubahan fundamental dalam struktur ekonomi dan

pemerataan pendapatan bagi penduduk suatu negara. Pembangunan ekonomi

tersebut akan memberikan perubahan pada masyarakat, baik itu dari sisi

teknologi, mindset masyarakat, maupun kelembagaan.

2.1.2 Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi adalah proses perubahan kondisi perekonomian suatu

negara secara berkesinambungan menuju keadaan yang lebih baik selama periode

tertentu. Pertumbuhan ekonomi dapat diartikan juga sebagai proses kenaikan

kapasitas produksi suatu perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan

pendapatan nasional. Adanya pertumbuhan ekonomi merupakan indikasi

keberhasilan pembangunan ekonomi. Menurut Simon Kuznet dalam Jhingan


17

(2000:57), pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan jangka panjang dalam

kemampuan suatu negara (daerah) untuk menyediakan semakin banyak barang-

barang ekonomi kepada penduduknya, kemampuan ini tumbuh sesuai dengan

kemajuan teknologi, dan penyesuaian kelembagaan dan ideologis yang

diperlukannya.

Menurut Raharjo Adisasmita (2013:4) Pertumbuhan ekonomi merupakan

upaya peningkatan kapasitas produksi untuk mencapai penambahan output, yang

diukur menggunakan Produk Domestik Bruto (PDB) maupun Produk Domestik

Regional Bruto (PDRB) dalam suatu wilayah. Menurut Boediono (1999:1)

Pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output perkapita dalam jangka

panjang. Tekanannya pada tiga aspek, yaitu: proses, output perkapita dan jangka

panjang. Pertumbuhan ekonomi adalah suatu proses, bukan suatu gambaran

ekonomi pada suatu saat. Disini kita melihat aspek dinamis dari suatu

perekonomian, yaitu bagaimana suatu perekonomian berkembang atau berubah

dari waktu ke waktu. Tekanannya ada pada perubahan atau perkembangan itu

sendiri.

Menurut Kuznets (2000:44), pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan

kapasitas jangka panjang dari negara yang bersangkutan untuk menyediakan

berbagai barang ekonomi kepada penduduknya. Kenaikan kapasitas tersebut

dimungkinkan oleh adanya kamajuan atau penyesuaian- penyesuaian teknologi,

intitusional dan ideologi terhadap berbagai keadaan yang ada.

Jadi berdasarkan pengertian para ahli diatas dapat kita simpulkan bahwa

Pertumbuhan Ekonomi adalah perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang


18

menyebabkan barang dan jasa diproduksikan dalam masyarakat meningkat.

Masalah pertumbuhan ekonomi dapat dipandang sebagai masalah makro ekonomi

dalam jangka panjang. Perkembangan kemampuan memproduksi barang dan jasa

sebagai akibat pertambahan faktor-faktor produksi pada umumnya tidak selalu

diikuti oleh pertambahan produksi barang dan jasa yang sama besarnya.

Pertambahan potensi memproduksi seringkali lebih besar dari pertambahan

produksi yang sebenarnya.

2.1.3 Teori Pertumbuhan Ekonomi

Menurut Sukirno (2006:243), Teori-teori pertumbuhan ekonomi yang

berkembang antara lain :

1. Teori Pertumbuhan Klasik

Teori ini dipelopori oleh Adam Smith, David Ricardo, Malthus, dan

John Stuart Mill. Menurut teori ini pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh

empat faktor, yaitu jumlah penduduk, jumlah barang modal, luas tanah dan

kekayaan alam serta teknologi yang digunakan. Mereka lebih menaruh

perhatiannya pada pengaruh pertambahan penduduk terhadap pertumbuhan

ekonomi. Mereka asumsikan luas tanah dan kekayaan alam serta teknologi

tidak mengalami perubahan. Teori yang menjelaskan keterkaitan antara

pendapatan perkapita dengan jumlah penduduk disebut dengan teori

penduduk optimal.

Menurut teori ini, pada mulanya pertambahan penduduk akan

menyebabkan kenaikan pendapatan perkapita. Namun jika jumlah


19

penduduk terus bertambah maka hukum hasil lebih yang semakin

berkurang akan mempengaruhi fungsi produksi yaitu produksi marginal

akan mengalami penurunan, dan akan membawa pada keadaan pendapatan

perkapita sama dengan produksi marginal. Pada keadaan ini pendapatan

perkapita mencapai nilai yang maksimal. Jumlah penduduk pada waktu itu

dinamakan penduduk optimal. Apabila jumlah penduduk terus meningkat

melebihi titik optimal maka pertumbuhan penduduk akan menyebabkan

penurunan nilai pertumbuhan ekonomi.

2. Teori Pertumbuhan Harrod-Domar

Teori ini dikembangkan hampir pada waktu yang bersamaan oleh Roy

F. Harrod (1984) di Inggris dan Evsey D. Domar (1957) di Amerika

Serikat. Mereka menggunakan proses perhitungan yang berbeda tetapi

memberikan hasil yang sama, sehingga keduanya dianggap

mengemukakan ide yang sama dan disebut teori Harrod-Domar. Teori ini

melengkapi teori Keynes, dimana Keynes melihatnya dalam jangka

pendek (kondisi statis), sedangkan Harrod-Domar melihatnya dalam

jangka panjang (kondisi dinamis). Teori Harrod-Domar didasarkan pada

asumsi :

a) Perkonomian bersifat tertutup.

b) Hasrat menabung (MPS = s) adalah konstan.

c) Proses produksi memiliki koefisien yang tetap (constant return to

scale).
20

d) Tingkat pertumbuhan angkatan kerja adalah konstan dan sama dengan

tingkat pertumbuhan penduduk.

Model ini menerangkan dengan asumsi supaya perekonomian dapat

mencapai pertumbuhan yang kuat (steady growth) dalam jangka panjang.

Asumsi yang dimaksud di sini adalah kondisi dimana barang modal telah

mencapai kapasitas penuh, tabungan memiliki proposional yang ideal

dengan tingkat pendapatan nasional, rasio antara modal dengan produksi

(Capital Output Ratio/COR) tetap perekonomian terdiri dari dua sektor

(Y = C + I).

Atas dasar asumsi-asumsi khusus tersebut, Harrod-Domar membuat

analisis dan menyimpulkan bahwa pertumbuhan jangka panjang yang

mantap (seluruh kenaikan produksi dapat diserap oleh pasar) hanya bisa

tercapai apabila terpenuhi syarat-syarat keseimbangan sebagai berikut :

g=K=n

Dimana :

g = Growth (tingkat pertumbuhan output)

K = Capital (tingkat pertumbuhan modal)

n = Tingkat pertumbuhan angkatan kerja

Harrod-Domar mendasarkan teorinya berdasarkan mekanisme

pasar tanpa campur tangan pemerintah. Akan tetapi kesimpulannya

menunjukkan bahwa pemerintah perlu merencanakan besarnya investasi

agar terdapat keseimbangan dalam sisi penawaran dan permintaan barang.


21

3. Teori Pertumbuhan Neo-klasik

Teori pertumbuhan neo-klasik dikembangkan oleh Robert M.

Solow (1970) dan T.W. Swan (1956). Model Solow-Swan menggunakan

unsur pertumbuhan penduduk, akumulasi kapital, kemajuan teknologi, dan

besarnya output yang saling berinteraksi.

Perbedaan utama dengan model Harrod-Domar adalah

dimasukkannya unsur kemajuan teknologi dalam modelnya. Selain itu,

Solow-Swan menggunakan model fungsi produksi yang memungkinkan

adanya substitusi antara kapital (K) dan tenaga kerja (L). Dengan

demikian, syarat-syarat adanya pertumbuhan ekonomi yang baik dalam

model Solow-Swan kurang restriktif disebabkan kemungkinan substitusi

antara tenaga kerja dan modal. Hal ini berarti ada fleksibilitas dalam rasio

modal-output dan rasio modal-tenaga kerja.

Teori Solow-Swan melihat bahwa dalam banyak hal mekanisme pasar

dapat menciptakan keseimbangan, sehingga pemerintah tidak perlu terlalu

banyak mencampuri atau mempengaruhi pasar. Campur tangan pemerintah

hanya sebatas kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Tingkat

pertumbuhan berasal dari tiga sumber yaitu, akumulasi modal,

bertambahnya penawaran tenaga kerja, dan peningkatan teknologi.

Teknologi ini terlihat dari peningkatan skill atau kemajuan teknik,

sehingga produktivitas capital meningkat. Dalam model tersebut, masalah

teknologi dianggap sebagai fungsi dari waktu.


22

Teori neo-klasik sebagai penerus dari teori klasik menganjurkan

agar kondisi selalu diarahkan untuk menuju pasar sempurna. Dalam

keadaan pasar sempurna, perekonomian bisa tumbuh maksimal. Sama

seperti dalam ekonomi model klasik, kebijakan yang perlu ditempuh

adalah meniadakan hambatan dalam perdagangan, termasuk perpindahan

orang, barang, dan modal. Harus dijamin kelancaran arus barang, modal,

dan tenaga kerja, dan perlunya penyebarluasan informasi pasar. Harus

diusahakan terciptanya prasarana perhubungan yang baik dan

terjaminnya keamanan, ketertiban, dan stabilitas politik. Analisis lanjutan

dari paham neoklasik menunjukkan bahwa untuk terciptanya suatu

pertumbuhan yang mantap (steady growth ), diperlukan suatu tingkat

saving yang tinggi dan seluruh keuntungan pengusaha diinvestasikan

kembali.

4. Teori Schumpeter

Teori ini menekankan pada inovasi yang dilakukan oleh para

pengusaha dan mengatakan bahwa kemajuan teknologi sangat ditentukan

oleh jiwa usaha (enterpreneurship) dalam masyarakat yang mampu

melihat peluang dan berani mengambil risiko membuka usaha baru,

maupun memperluas usaha yang telah ada. Dengan pembukaan usaha

baru dan perluasan usaha, tersedia lapangan kerja tambahan untuk

menyerap angkatan kerja yang bertambah setiap tahunnya.

Didorong oleh adanya keinginan untuk memperoleh keuntungan dari

inovasi tersebut, maka para pengusaha akan meminjam modal dan


23

mengadakan investasi. Investasi ini akan mempertinggi kegiatan

ekonomi suatu negara. Kenaikan tersebut selanjutnya juga akan

mendorong pengusaha-pengusaha lain untuk menghasilkan lebih banyak

lagi sehingga produksi agregat akan bertambah.

Selanjutnya Schumpeter menyatakan bahwa jika tingkat kemajuan

suatu perekonomian semakin tinggi maka keinginan untuk melakukan

inovasi semakin berkurang, hal ini disebabkan oleh karena masyarakat

telah merasa mencukupi kebutuhannya. Dengan demikian, pertumbuhan

ekonomi akan semakin lambat jalannya dan pada akhirnya tercapai

tingkat keadaan tidak berkembang (stationary state). Namun keadaan

tidak berkembang yang dimaksud di sini berbeda dengan pandangan

klasik. Dalam pandangan Schumpeter keadaan tidak berkembang itu

dicapai pada tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi. Sedangkan dalam

pandangan klasik, keadaan tidak berkembang terjadi pada waktu

perekonomian berada pada kondisi tingkat pendapatan masyarakat sangat

rendah.

5. Teori Tahap-Tahap Pertumbuhan Ekonomi

Teori ini dimunculkan oleh Prof. W.W. Rostow yang memberikan

lima tahap dalam pertumbuhan ekonomi. Analisis ini didasarkan pada

keyakinan bahwa pertumbuhan ekonomi akan tercapai sebagai akibat

dari timbulnya perubahan yang fundamental dalam corak kegiatan

ekonomi, juga dalam kehidupan politik dan hubungan sosial dalam suatu

masyarakat dan negara.


24

Adapun kelima tahapan tersebut adalah:

1) Tahap Masyarakat Tradisional (The Traditional Society)

Rostow mengartikan bahwa masyarakat tradisional sebagai suatu

masyarakat yang:

a)Cara-cara memproduksi yang relatif primitif dan sikap

masyarakat serta cara hidupnya yang sangat dipengaruhi oleh

nilai-nilai yang dicetuskan oleh cara pemikiran yang bukan

rasional, tetapi oleh kebiasaan yang telah berlaku secara turun-

temurun. Tingkat produksi yang dapat dicapai masih sangat

terbatas, karena ilmu pengetahuan dan teknologi modern belum

ada atau belum digunakan secara sistematis dan teratur.

b) Tingkat produksi perkapita dan tingkat produktivitas per pekerja

masih sangat terbatas. Oleh sebab itu sebagian besar dari sumber-

sumber daya masyarakat digunakan untuk kegiatan dalam sektor

pertanian. Dalam sektor ini struktur sosialnya sangat bersifat

hierarkis, sehingga mobilitas secara vertikal dalam masyarakat

sedikit sekali.

c) Kegiatan politik dan pemerintahan terdapat di daerah-daerah

dipegang oleh tuan-tuan tanah yang berkuasa, dan kebijakan-

kebijakan dari pemerintah pusat selalu dipengaruhi oleh

pandangan tuan-tuan tanah di berbagai daerah tersebut.


25

2) Tahap Prasyarat Lepas Landas

Tahap ini adalah tahap sebagai suatu masa transisi pada saat

masyarakat mempersiapkan dirinya ataupun dipersiapkan dari luar

untuk mencapai pertumbuhan yang mempunyai kekuatan untuk terus

berkembang (self-sustain growth). Pada tahap ini dan sesudahnya

pertumbuhan ekonomi akan berlaku secara otomatis. Tahap prasyarat

lepas landas ini dibedakan menjadi dua, yaitu:

a) Tahap prasyarat untuk lepas landas yang dicapai oleh negara-negara

Eropa, Asia, Timur Tengah, dan Afrika yang dilakukan dengan

merubah struktur masyarakat tradisional yang sudah ada.

b) Yang dinamakan Rostow bom free, yaitu prasyarat lepas landas

yang dicapai Amerika Serikat, Kanada, Australia dan Selandia

Baru, dengan tanpa harus merombak sistem masyarakat yang

tradisional, karena masyarakat negara-negara itu terdiri dari

emigran yang telah mempunyai sifat-sifat yang diperlukan oleh

masyarakat untuk mencapai tahap prasyarat lepas landas.

3) Tahap Lepas Landas (Take Off)

Adalah suatu tahap interval dimana tahap masyarakat tradisional dan

tahap prasyarat untuk lepas landas telah dilewati. Pada periode ini,

beberapa penghalang pertumbuhan dihilangkan dan kekuatan-

kekuatan yang menimbulkan kemajuan ekonomi diperluas dan

dikembangkan, serta mendominasi masyarakat sehingga menyebabkan

efektivitas investasi dan meningkatnya tabungan masyarakat.


26

Ciri-ciri tahap lepas landas yaitu:

a) Adanya kenaikan dalam penanaman modal investasi (yang

produktif, dari 5% atau kurang, menjadi 10% dari Produk Nasional

Neto). NNP=GNP-D (penyusutan).

b) Adanya perkembangan beberapa sektor industri dengan laju

perkembangan yang tinggi.

c) Adanya atau terciptanya suatu kerangka dasar politik, sosial dan

institusional yang akan menciptakan: 1) Kenyataan yang membuat

perluasan di sektor modern. 2) Potensi ekonomi ekstern sehingga

menyebabkan petumbuhan terus-menerus berlangsung.

4) Tahap Gerakaan ke Arah Kedewasaan (The Drive of Maturity)

Gerakan ke arah kedewasaan diartikan sebagai suatu periode ketika

masyarakat secara efektif menerapkan teknologi modern dalam

mengolah sebagian besar faktor-faktor produksi dan kekayaan alamnya.

Ciri-ciri gerakan ke arah kedewasaan adalah:

a) Kematangan teknologi, dimana struktur keahlian tenaga kerja

mengalami perubahan.

b) Sifat kepemimpinan dalam perusahaan mengalami perubahan.

c) Masyarakat secara keseluruhan merasa bosan dengan keajaiban yang

diciptakan oleh industrialisasi, karena berlakunya hukum kegunaan

batas semakin berkurang.


27

5) Tahap Masa Konsumsi Tinggi.

Pada masa ini perhatian masyarakat mengarah kepada masalah-

masalah yang berkaitan dengan konsumsi dan kesejahteraan

masyarakat dan bukan lagi kepada masalah produksi. Leading sectors,

bergerak ke arah barang-barang konsumsi yang tahan lama serta jasa-

jasa. Pada periode ini terdapat tiga macam tujuan masyarakat untuk

mendapatkan sumber-sumber daya yang tersedia dan dukungan

politis, yaitu:

a) Memperbesar kekuasaan dan pengaruh negara tersebut ke luar

negeri dan kecenderungan ini dapat berakhir pada penaklukan atas

negara-negara lain.

b) Menciptakan suatu welfare state, yaitu kemakmuran yang lebih

merata kepada pendukungnya dengan cara mengusahakan

terciptanya pembagian pendapatan yang lebih merata melalui sistem

perpajakan yang progresif, dalam sistem perpajakan seperti ini

makin besar pendapatan maka makin besar pajaknya.

c) Mempertinggi tingkat konsumsi masyarakat di atas konsumsi dasar

yang sederhana atas makanan, pakaian, rumah keluarga secara

terpisah dan juga barang-barang konsumsi tahan lama serta barang-

barang mewah.
28

2.1.4 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

Pengertian Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) menurut Badan Pusat

Statistik (2002) adalah jumlah nilai tambah yang dihasilkan untuk seluruh wilayah

usaha dalam suatu wilayah atau merupakan jumlah seluruh nilai barang dan jasa

akhir yang dihasilkan seluruh unit ekonomi di suatu wilayah. Untuk menghitung

PDRB yang dihasilkan suatu wilayah ada empat pendekatan yang digunakan,

yaitu :

a. Pendekatan produksi, yaitu pendekatan untuk mendapatkan nilai tambah di

suatu wilayah dengan melihat seluruh produksi netto barang dan jasa yang

dihasilkan oleh seluruh sektor perekonomian selama satu tahun.

b.Pendekatan pendapatan, adalah pendekatan yang dilakukan dengan

menjumlahkan seluruh balas jasa yang diterima oleh faktor produksi, meliputi:

1. Upah/gaji (balas jasa faktor produksi tenaga kerja).

2. Sewa tanah (balas jasa faktor produksi tanah).

3. Bunga modal (balas jasa faktor produksi modal).

4. Keuntungan (balas jasa faktor produksi wiraswasta/skill).

c. Pendekatan pengeluaran, yaitu model pendekatan dengan cara menjumlahkan

nilai permintaan akhir dari seluruh barang dan jasa, yaitu:

1. Barang dan jasa yang dikonsumsi oleh rumah tangga, lembaga swasta yang

tidak mencari untung (nirlaba) dan pemerintah.

2. Barang dan jasa yang digunakan untuk membentuk modal tetap bruto.

3. Barang dan jasa yang digunakan sebagai stok dan ekspor netto.
29

d. Metode alokasi, model pendekatan ini digunakan karena kadang-kadang

dengan data yang tersedia tidak memungkinkan untuk mengadakan perhitungan

Pendapatan Regional dengan menggunakan metode langsung dengan tiga cara di

atas, sehingga dipakai metode alokasi atau metode tidak langsung. Sedangkan

untuk cara penyajian PDRB dilakukan sebagai berikut:

1. PDRB Atas Dasar Harga Berlaku, yaitu semua agregat pendapatan dinilai atas

dasar harga yang berlaku pada masing-masing tahunnya, baik pada saat menilai

produksi dan biaya antara maupun pada penilaian komponen nilai PDRB.

2. PDRB Atas Dasar Harga Konstan, yaitu semua agregat pendapatan dinilai atas

dasar harga tetap, maka perkembangan agregat pendapatan dari tahun ke tahun

semata-mata karena perkembangan produksi riil bukan karena kenaikan harga

atau inflasi. Dalam penelitian ini PDRB yang digunakan untuk penelitian

pertumbuhan ekonomi di provinsi Kalimantan Barat adalah PDRB Atas Dasar

Harga Konstan.

Menurut Badan Pusat Statistik 2016, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan untuk seluruh wilayah usaha dan jasa

dalam suatu wilayah, menerapkan jumlah seluruh nilai barang dan jasa akhir yang

dihasilkan seluruh unit ekonomi. PDRB sendiri dapat diartikan sebagai jumlah nilai

tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha atau merupakan jumlah seluruh nilai

barang dan jasa oleh seluruh unit ekonomi di suatu wilayah

Menurut SNA (System of National Accounts) yang diterbitkan oleh United

Nation, secara makro perekonomian suatu wilayah, menurut lapangan usaha

terdiri dari tiga sektor utama yaitu sektor primer, sekunder dan tertier. sektor
30

pimer yang biasanya berupa sektor pertanian dan sejenisnya serta sektor

pertambangan, Sektor skunder biasanya berupa industri pengolahan, dan Sektor

tersier berupa perdagangan dan jasa. Sektor perbankan masuk ke dalam sektor ini.

Lebih rinci lagi ketiga sektor yang masuk dalam komponen PDRB tersebut dibagi

menjadi 17 sektor yakni:

1. Pertanian, kehutanan, dan perikanan

2. Pertambangan dan pengolahan

3. Industri pengolahan

4. Pengadaan listrik dan gas

5. Pengadaan air

6. Konstruksi

7. Perdagangan besar dan eceran, reparasi dan perawatan mobil dan sepeda motor

8. Transportasi dan pergudangan

9. Penyediaan akomodasi dan makan minum

10. Informasi dan komunikasi

11. Jasa keuangan

12. Real estate

13. Jasa perusahaan

14. Administrasi pemerintahan, pertahanan, dan jaminan sosial wajib

15. Jasa pendidikan

16. Jasa kesehatan dan kegiatan sosial

17. Jasa lainnya


31

Dari 17 sektor tersebut di atas, terlihat bahwa sektor jasa dan perdagangan

(tersier) banyak ragamnya. Mulai dari Perdagangan besar dan eceran, reparasi dan

perawatan mobil dan sepeda motor sampa jasa lainnya. Hal ini menunjukkan

bahwa sektor tersier di era sekarang semakin berkembang sehingga dibutuhkan

untuk dibagi-bagi menjadi sektor tersendiri untuk bisa menghasilkan data PDB

yang lebih spesifik sehingga membantu dalam pengambilan kebijakan ekonomi.

Demikian penjelasan PDRB dan 17 sektor yang menjadi komponennya. Semakin

tinggi produk domestik regional bruto maka semakin tinggi kemajuan

perekonomian suatu daerah.

2.1.5 Keuangan Daerah

Menurut Mardiasmo (2002:9), Keuangan Daerah atau anggaran daerah

merupakan rencana kerja pemerintah daerah dalam bentuk uang (rupiah) dalam

satu periode tertentu. Selanjutnya Anggaran daerah atau Anggaran Pendapatan

dan Belanja Daerah adalah instrumen kebijakan yang utama bagi pemerintah

daerah. Menurut Undang Undang Nomor 23 tahun 2014 Keuangan Daerah adalah

semua hak dan kewajiban daerah yang dapat dinilai dengan uang dan segala

sesuatu berupa uang dan barang yang dapat dijadikan milik daerah yang

berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah

Daerah dan Undang- Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan

Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah sebagai pengganti Undang-

Undang Nomor 25 Tahun 1999 Pemerintah Daerah diberi kewenangan untuk

mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan
32

tugas pembantuan. Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi

kewenangan daerah seperti yang disebut di atas didanai dari dan atas beban

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), yang merupakan dasar

pengelolaan keuangan daerah dalam masa satu tahunanggaran. Selanjutnya

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dalam Pasal 19

ayat (1) dan (2) menyebutkan bahwa, dalam rangka penyusunan RAPBD Satuan

Kerja perangkat Daerah (SKPD) selaku pengguna anggaran menyusun rencana

kerja dan anggaran dengan pendekatan berdasarkan prestasi kerja yang akan

dicapai.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa keuangan daerah merupakan semua hak

dan kewajiban pemerintah daerah dalam bentuk uang (rupiah) yang dimanfaatkan

untuk membiayai kegiatan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Keuangan

Daerah haruslah diolah oleh Pemerintah Daerah dalam rangka otonomi daerah

untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas pengelolaan sumber daya keuangan

daerah serta untuk meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat.

Pengelolaan keuangan daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi

perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban dan

pengawasan keuangan daerah. Dari pengertian tersebut diatas dapat dilihat bahwa

keuangan daerah terdapat dua unsur penting yaitu :

1. Semua hak dimaksudkan sebagai hak untuk memungut pajak daerah,

retribusi daerah dan/atau penerimaan dan sumber-sumber lain sesuai

ketentuan yang berlaku merupakan penerimaan daerah sehingga

menambah kekayaan daerah;


33

2. Kewajiban daerah dapat berupa kewajiban untuk membayar atau

sehubungan adanya tagihan kepada daerah dalam rangka pembiayaan

rumah tangga daerah serta pelaksanaan tugas umum dan tugas

pembangunan oleh daerah yang bersangkutan.

2.1.5.1 Prinsip- Prinsip Pengelolaan Keuangan Daerah

Menurut Mardiasmo (2002:105) Pengelolaan Keuangan Daerah mengandung

arti bahwa setiap daerah otonom dapat mengurus dan mengatur keuangannya

sendiri dengan menggunakan prinsiprinsip pengelolaan keuangan daerah antara

lain.

a) Transparansi

Masyarakat memiliki hak dan akses yang sama untuk menegtahui proses

anggaran, karena menyangkut aspirasi dan kepentingan masyarakat terutama

dalam pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat.

b) Akuntabilitas

Prinsip pertanggungjawaban publik yang berarti proses pengganggaran mulai

dari perencanaan, penyusunan, dan pelaksanaan harus dilaporkan dan

dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.

C). Value of Money

Prinsip ini sesungguhnya merupakan penerapan tiga aspek yaitu ekonomi,

efisiensi, dan efektifitas. Ekonomi, berkaitan dengan pemilikan dan

penggunaan sumber daya dalam jumlah dan kualitas tertentu ada harga yang

lebih murah. Efisiensi, penggunaan dana masyarakat harus dapat menghasilkan


34

output maksimal atau berdataguna. Sedangkan efektif merupakan penggunaan

anggaran harus mencapai target-target atau tujuan kepentingan publik.

2.1.5.2 Pendapatan Daerah

Pendapatan daerah merupakan penerimaan yang sangat penting bagi

pemerintah daerah dalam menunjang pembangunan daerah guna membiayai

proyek-proyek dan kegiatan-kegiatan daerah. Berdasarkan Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia Nomor 105 tahun 2000 tentang “ Pengelolaan dan

Pertanggungjawaban Keuangan Daerah” yang dikutip dari buku “Himpunan

Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Otonomi Daerah” yang dimaksud dengan

Pendapatan Daerah adalah: “Semua penerimaan kas daerah dalam periode tahun

anggaran tertentu yang menjadi hak daerah.”

Sedangkan menurut Halim (2002:64), dalam bukunya “Akuntansi Sektor

Publik Akuntansi Keuangan Daerah” menyatakan bahwa Pendapatan Daerah

adalah: “Semua penerimaan daerah dalam bentuk peningkatan aktiva atau

penurunan utang dalam berbagai sumber dalam periode tahun anggaran

bersangkutan”

Dan definisi pendapatan daerah menurut IASC Frame Work dalam bukunya

uang berjudul “Akuntansi Keuangan Daerah” karangan Abdul Halim (2002:66),

adalah sebagai berikut: “Penambahan dalam manfaat ekonomi selama periode

akuntansi dalam bentuk arus masuk atau peningkatan asset/aktiva, atau

pengurangan utang / kewajiban yang mengakibatkan penambahan ekuitas dana


35

selain penambahan ekuitas dana yang berasal dari kontribusi beserta ekuitas

dana.”

Berdasarkan ketiga pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa

pendapatan daerah merupakan penerimaan yang diperoleh pemerintah daerah

yang dapat ditinjau dari tingkat kenaikan aktiva ataupun penurunan utang yang

dapat digunakan oleh pemerintah dalam membangun dan mengembangkan suatu

daerah dalam periodetahun anggaran yang bersangkutan. Pendapatan Daerah

sebagai penerimaan kas daerah merupakan sarana pemerintah daerah untuk

melaksanakan tujuan, mengoptimalkan kemakmuran rakyat yaitu menumbuh

kembangkan masyarakat disegala bidang kehidupan. Menurut Undang-Undang

No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan

Pemerintah Daerah, sumber pendapatan daerah terdiri dari:

1. Pendapatan Asli Daerah (PAD).


2. Dana Perimbangan
3. Lain-lain Pendapatan daerah yang sah

1. Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Pendapatan asli daerah merupakan semua penerimaan daerah yang berasal

dari sumber ekonomi asli daerah. Menurut Undang-Undang No. 33 Tahun 2004

Kelompok pendapatan asli daerah dipisahkan menjadi 4 yaitu:

A. Pajak daerah

Menurut Suandy (2008:13), Pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang

terhutang melalui norma-norma umum dan yang dapat dipaksakan tanpa


36

ada kalanya kontraprestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal yang

individual maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran pemerintah.

Menurut Mardiasmo (2011:34), Pajak Daerah adalah kontribusi wajib kepada

daerah-daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat

memaksa berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapatkan imbalan

secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat. Menurut Kadjatmiko (2002:77), Jenis-jenis pajak

daerah untuk kabupaten/kota antara lain ialah:

1. Pajak hotel,

2. Pajak restoran,

3. Pajak hiburan,

4. Pajak reklame,

5. Pajak penerangan jalan,

6. Pajak mineral bukan logam dan batuan,

7. Pajak parkir,

8. Pajak air tanah,

9. Pajak sarang burung walet,

10. Pajak bumi dan bangunan pedesaan dan perkantoran,

11. Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan.

B. Retribusi daerah

Yang dimaksud dengan retribusi menurut Saragih (2003:65) adalah

“pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin

tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh Pemda untuk

kepentingan orang pribadi atau badan.”


37

Menurut Halim (2004:67), “Retribusi daerah merupakan pendapatan

daerah yang berasal dari retribusi daerah.”

C. Bagian laba usaha daerah

Menurut Halim (2004) “Hasil perusahaan milik Daerah dan hasil

Pengelolaan kekayaan milik Daerah yang dipisahkan merupakan

penerimaan Daerah yang berasal dari hasil perusahaan milik Daerah dan

pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan.”

Undang-undang no 33 tahun 2004 mengklasifikasikan jenis hasil

pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dirinci menurut menurut

objek pendapatan yang mencakup bagian laba atas penyertaan modal pada

perusahaan milik daerah/BUMD, bagian laba atas penyertaan modal pada

perusahaan milik negara/BUMN dan bagian laba atas penyertaan modal

pada perusahaan milik swasta atau kelompok masyarakat.

Jenis pendapatan ini meliputi objek pendapatan berikut:

1) bagian laba Perusahaan mliki Daerah,

2) bagian laba lembaga keuangan Bank

3) bagian laba lembaga keuangan non Bank,

4) bagaian laba atas penyertaan modal/investasi.

D. Lain-lain pendapatan asli daerah

UU No 33 tahun 2004 menjelaskan tentang Pendapatan asli Daerah yang

sah, disediakan untuk menganggarkan penerimaan daerah yang tidak

termasuk dalam jenis pajak daerah, dan hasil pengelolaan kekayaan daerah
38

yang dipisahkan. Menurut Halim (2004), “Pendapatan ini merupakan

penerimaan daerah yang berasal dari lain-lain milik pemerintah daerah.”

Jenis pendapatan ini meliputi objek pendapatan berikut:

1) hasil penjualan aset Daerah yang tidak dipisahkan,

2) penerimaan jasa giro,

3) penerimaan bunga deposito,

4) denda keterlambatan pelaksanaan pekerjaan,

5) penerimaan ganti rugi atas kerugian/kehilangan kekayaan Daerah.”

2. Dana Perimbangan

Pengertian Dana Perimbangan menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun

2004 Pasal 1 Ayat 18 tentang Perimbangan antar Keuangan Pemerintah Pusat dan

Pemerintah Daerah, Dana Perimbangan diartikan sebagai dana yang bersumber

dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN), yang dialokasikan

kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan

desentralisasi.

Sedangkan menurut Dedi Supriadi Bratakusuma dan Dadang Solihin

(2001:174), menjelaskan bahwa Dana Perimbangan merupakan sumber

pendapatan daerah yang berasal dari anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

(APBN) untuk mendukung pelaksanaan kewenangan Pemerintah Daerah dalam

mencapai tujuan pemberian otonomi daerah yaitu terutama peningkatan pelayanan

dan kesejahteraan masyarakat yang semakin membaik.


39

3. Lain-lain Pendapatan daerah yang Sah

Menurut Lukman H (2006:165), dalam “Sistem dan Prosedur Pemungutan

Pajak Daerah dan Retribusi Daerah” pada Badan Pendidikan dan Pelatihan Daerah

“Lain-lain penerimaan yang sah merupakan jenis penerimaan daerah yang terdiri

dari: lain-lain penerimaan yang sah, penerimaan dari propinsi, penerimaan dari

kabupaten/ kota dan kekurangan tunjangan fungsional guru”. Menurut Lukman H

(2006:165), dalam “Sistem dan Prosedur Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi

Daerah” pada Badan Pendidikan dan Pelatihan Daerah Fungsi anggaran

pendapatan daerah dapat mengarah pada fungsi keuangan Negara yaitu sebagai

berukut:

1. Fungsi Alokasi
Proses dimana sumber daya (resources) nasional dipergunakan untuk barang

privat dan barang publik dimana keduanya sangat dibutuhkan oleh masyarakat.

2. Fungsi Retribusi
Peranan keuangan negara dalam hal ini anggaran dalam rangka pembagian

kembali pendapatan, baik berdasarkan pemilikansumber daya atau faktor-

faktor produksi.

3. Fungsi Stabilitas
Anggaran negara merupakan alat kebijaksanan makro pemerintah. Bila

pemerintah mrnaikan pajak, maka konsumsi rumah tangga berkurang

komponen pengeluaran agregat. Sebaliknya apabila pemerintah menurunkan

pajak maka konsumsi rumah tangga akan lebih tinggi dan pengeluaran agrerat
40

menjadi lebih besar yang pada giliranya akan meningkatkan out put

(pendapatan nasional).

2.1.5.4 Belanja daerah

Belanja daerah meliputi semua pengeluaran uang dari Rekening Kas Umum

Daerah yang mengurangi ekuitas dana, yang merupakan kewajiban daerah dalam

satu tahun anggaran yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh

daerah. Pasal 26 dan 27 Peraturan Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan

Keuangan Daerah tidak merinci tentang klasifikasi belanja menurut urusan wajib,

urusan pilihan, dan klasifikasi menurut organisasi, fugsi, program kegiatan, serta

jenis belanja. Sedangkan menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21

Tahun 2011 tentang, “Belanja Daerah didefenisikan sebagai kewajiban

pemerintah daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih”. Istilah

belanja terdapat dalam laporan realisasi anggaran, karena dalam penyusunan

laporan realisasi anggaran masih menggunakan basis kas. Belanja diklasifikasikan

menurut klasifikasi ekonomi (jenis belanja), oganisasi dan fungsi. Klasifikasi

ekonomi adalah pengelompokkan belanja yang didasarkan pada jenis belanja

untuk melaksanakan suatu aktifitas. Klasifikasi belanja menurut Peraturan

Pemerintah Nomor 71 tahun 2010 tentang standar akuntansi pemerintah untuk

tujuan pelaporan keuangan menjadi:

1.1.Belanja Operasi. Belanja Operasi adalah pengeluaran anggaran untuk kegiatan

sehari-hari pemerintah pusat / daerah yang member manfaat jangka pendek.

Belanja Operasi meliputi:

1) Belanja Pegawai,
41

2) Belanja Barang,

3) Subsidi,

4) Hibah,

5) Bantuan Sosial.

1.2.Belanja Modal. Belanja Modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan

aset tetap berwujud yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi.

Nilai aset tetap dalam belanja modal yaitu sebesar harga beli/bangunan aset

ditambah seluruh belanja yang terkait dengan pengadaan/pembangunan aset

sampai aset tersebut siap digunakan. Belanja Modal meliputi:

1) Belanja Modal Tanah,

2) Belanja Modal Peralatan dan Mesin,

3) Belanja Modal Gedung dan Bangunan,

4) Belanja Modal Jalan, Irigasi, dan Jaringan,

5) Belanja Modal Aset Tetap Lainnya,

6) Belanja Aset Lainnya.

1.3.Belanja Lain-Lain/Belanja Tidak Terduga. Belanja lain-lain atau belanja tak

terduga adalah pengeluaran anggaran untuk kegiatan yang sifatnya tidak biasa

dan tidak diharapkan berulang seperti penanggulangan bencana alam,

bencana sosial, dan pengeluaran tidak terduga lainnya yang sangat

diperlukan dalam rangka penyelenggaraan kewenangan pemerintah

pusat/daerah.

1.4.Belanja Transfer. Belanja Transfer. Belanja Transfer adalah pengeluaran

anggaran dari entitas pelaporan yang lebih tinggi ke entitas pelaporan yang
42

lebih rendah seperti pengeluaran dana perimbangan oleh pemerintah provinsi

ke kabupaten /kota serta dana bagi hasil dari kabupaten/kota ke desa.

Belanja Daerah, meliputi semua pengeluaran dari rekening kas umum daerah

yang mengurangi ekuitas dana, merupakan kewajiban daerah dalam satu

tahun anggaran dan tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh

daerah. Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011

tentang belanja dikelompokkan menjadi:

1. Belanja Langsung. Belanja Langsung adalah belanja yang dianggarkan

terkait secara langsung dengan program dan kegiatan. Belanja Langsung

terdiri dari belanja:

1) Belanja Pegawai,

2) Belanja Barang dan Jasa,

3) Belanja Modal

2. Belanja Tidak Langsung. Belanja Tidak Langsung merupakan belanja yang

dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program

dan kegiatan. Kelompok belanja tidak langsung dibagi menurut jenis

belanja yang terdiri dari:

1) Belanja Pegawai,

2) Belanja bunga,

3) Belanja subsidi,

4) Belanja hibah,

5) Belanja bantuan sosial,


43

6) Belanja bagi hasil kepada provinsi/kabupaten/kota dan pemerintahan

desa.

Belanja Daerah dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun

2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah menyebutkan bahwa

belanja daerah dipergunakan dalam rangka mendanai pelaksanaan urusan

pemerintah yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupeten/kota yang terdiri

dari urusan wajib, urusan pilihan dan urusan yang penanganannya dalam bagian

atau bidang tertentu yang dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah dan

pemerintah daerah atau antar pemerintah daerah yang ditetapkan berdasarkan

peraturan perundang-undangan. Pendapatan Daerah yang diperoleh baik dari

Pendapatan Asli Daerah maupun dari dana perimbangan tentunya digunakan oleh

pemerintah daerah untuk membiayai Belanja Daerah.

2.1.6 Kinerja (Performance)

Kinerja berasal dari kata job performance atau actual performance yang

berarti prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai oleh seseorang.

Pengertian kinerja (prestasi kerja) adalah hasil secara kualitas dan kuantitas yang

dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan fungsinya sesuai dengan

tanggung jawab yang diberikan kepadanya.

Mangku (2002:22) menyatakan kinerja adalah hasil kerja baik secara kualitas

maupun kuantitas yang dicapai oleh seseorang dalam melaksanakan tugas sesuai

tanggung jawab yang diberikan. Rivai dan Bari (2005:50) Mengemukakan Kinerja

adalah hasil atau tingkat keberhasilan seseorang secara keseluruhan selama


44

periode tertentu dalam melaksanakan tugas dibandingkan dengan berbagai

kemungkinan, seperti standar hasil kerja, target atau sasaran atau kriteria yang

telah ditentukan terlebih dahulu telah disepakati bersama.

2.1.6.1 Kinerja Keuangan Daerah

Menurut Bastian (2006:112), “Kinerja anggaran adalah gambaran pencapaian

pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijakan dalam mewujudkansasaran, tujuan,

misi dan visi organisasi”. Indikator kinerja adalah ukuran kuantitatif dan kualitatif

yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang telah

ditetapkan, dengan memperhitungkan indikator masukan (input), keluaran (output),

hasil, manfaat, dan dampak.

Menurut Kamus Akuntansi Manajemen Kontemporer (1994) Kinerja

(Performance) diartikan sebagai aktivitas terukur dari suatu entitas selama periode

tertentu sebagai bagian dari ukuran keberhasilan pekerjaan. Selanjutnya

measurement atau pengukuran kinerja diartikan sebagai suatu indikator keuangan

dan non keuangan dari suatu pekerjaan yang dilaksanakan atau hasil yang dicapai

dari suatu aktivitas, suatu proses atau suatu unit organisasi. Pengukuran kinerja

merupakan wujud akuntabilitas, dimana penilaian yang lebih tinggi menjadi

tuntunan yang harus dipenuhi, data pengukuran kinerja dapat menjadi peningkatan

program selanjutnya.

Menurut Sedarmayanti (2003:64) Kinerja (performance) diartikan sebagai

hasil seorang pekerja, sebuah proses manajemen atau suatu organisasi secara

keseluruhan, dimana hasil kerja tersebut harus dapat diukur dengan dibandingkan

dengan standar yang telah ditentukan. Faktor kemampuan sumber daya aparatur
45

pemerintah terdiri dari kemampuan potensi (IQ) dan kemampuan ability

(knowledge + skill), sedangkan faktor motivasi terbentuk dari sikap (attitude)

sumber daya aparatur pemerintah dalam menghadapi situasi kerja. Motivasi

merupakan kondisi yang menggerakkan sumber daya aparatur pemerintah dengan

terarah untuk mencapai tujuan pemerintah, yaitu good governance.

Menurut Mardiasmo (2002:121) Sistem pengukuran kinerja sektor publik

adalah suatu sistem yang bertujuan untuk membantu manajer publik menilai

pencapaian suatu strategi melalui alat ukur finansial dan nonfinansial. Dalam

penelitian ini, yang dimaksudkan sebagai Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah

adalah tingkat pencapaian dari suatu hasil Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah,

yang meliputi anggaran dan realisasi PAD dengan menggunakan indikator

keuangan yang ditetapkan melalui suatu kebijakan atau ketentuan perundang-

undangan selama satu periode anggaran. Bentuk dari pengukuran kinerja tersebut

berupa rasio keuangan.

Kinerja (performance) menurut kamus akuntansi manajemen dikatakan

sebagai aktivitas terukur dari suatu entitas selama periode tertentu sebagai bagian

dari ukuran keberhasilan pekerjaan. Pengukuran kinerja diartikan sebagai suatu

sistem keuangan atau non keuangan dari suatu pekerjaan yang dilaksanakan atau

hasil yang dicapai dari suatu aktivitas, suatu proses atau suatu uit organisasi.

Kinerja keuangan pemerintah daerah adalah tingkat pencapaian dari suatu hasil

kerja di bidang keuangan daerah yang meliputi peneriman dan belanja daerah

dengan menggunakan sistem keuangan yang ditentukan melalui suatu kebijakan

atau ketentuan perundang-undangan selama satu periode anggaran. Bentuk dari


46

pengukuran kinerja tersebut berupa rasio keuangan yang terbentuk dari sistem

laporan pertanggungjawaban daerah berupa perhitungan APBD.

Menurut Halim (2002 :126) hasil análisis rasio keuangan ini bertujuan untuk:

1) Menilai kemandirian keuangan daerah dalam membiayai penyelenggaraan

otonomi daerah.

2) Mengukur efektivitas dan efisiensi dalam merealisasikan pendapatan daerah.

3) Mengukur sejauh mana aktivitas pemerintah daerah dalam membelanjakan

pendapatan daerahnya.

4) Mengukur kontribusi masing-masing sumber pendapatan dalam pembentukan

pendapatan daerah.

5) Melihat pertumbuhan/perkembangan perolehan pendapatan dan pengeluaran

yang dilakukan selama periode tertentu.

2.1.7 Rasio Keuangan

1.Pengertian Rasio Keuangan

Pengelolaan keuangan daerah perlu diperhatikan penggunaanya. Menurut

Mohamad Mahsun (2011:135), Analisis Laporan Keuangan merupakan alat yang

digunakan dalam memahami masalah dan peluang yang terdapat dalam laporan

keuangan. Menurut Abdul Halim (2012:4), Penggunaan analisis rasio pada sektor

publik khususnya terhadap APBD belum banyak dilakukan, sehingga secara teori

belum ada kesepakatan secara bulat mengenai nama dan kiadah pengukurannya.

Meskipun demikian, dalam rangka pengelolaan keuangan daerah yang transparan,

jujur, demokratis, efektif, efisien, dan akuntabel, analisis rasio terhadap APBD perlu
47

dilaksanakan meskipun kaidah pengakuntansian dalam APBD berbeda dengan

laporan keuangan yang dimiliki perusahaan swasta.

Menurut Halim (2012:4), Analisis rasio keuangan APBD dilakukan dengan

membandingkan hasil yang dicapai dari satu periode dibandingkan dengan periode

sebelumnya sehingga dapat diketahui bagaimana kecenderungan yang terjadi. Selain

itu dapat pula dilakukan dengan cara membandingkan dengan rasio keuangan yang

dimiliki suatu pemerintah daerah tertentu dengan rasio keuangan daerah lain yang

terdekat ataupun yang potensi daerahnya relatif sama untuk dilihat bagaimana posisi

rasio keuangan pemerintah daerah tersebut terhadap pemerintah daerah lainnya.

2. Jenis-jenis Rasio Keuangan Daerah

Menurut Halim (2012:4), Ada beberapa cara untuk mengukur Kinerja Keuangan

Daerah salah satunya yaitu dengan menggunakan Rasio Kinerja Keuangan Daerah.

Beberapa rasio yang bisa digunakan adalah : Rasio Efektivitas PAD, Rasio Efisiensi

Keuangan Daerah, Rasio Keserasian, Rasio Pertumbuhan, Rasio Aktivitas dan Rasio

Kemandirian Keuangan Daerah.

a) Rasio Kemandirian Keuangan Daerah

Menurut Halim (2012:4) menyatakan bahwa Rasio Kemandirian menggambarkan

ketergantungan daerah terhadap sumber dana eksternal. Semakin tinggi Rasio

Kemandirian, mengandung arti bahwa tingkat ketergantungan daerah terhadap

bantuan pihak eksternal (terutama pemerintah pusat dan provinsi) semakin rendah.

Demikian pula sebaliknya, semakin rendah Rasio Kemandirian, semakin rendah

tingkat partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah yang

merupakan komponen utama Pendapatan Asli Daerah (PAD). Semakin tinggi

masyarakat membayar pajak dan retribusi daerah akan menggambarkan tingkat


48

kesejahteraan masyarakat yang semakin meningkat. Rumus yang digunakan untuk

menghitung rasio kemandirian adalah :

Pendapatan Asli Daerah


Rasio Kemandirian = x 100%..........................(1)
Total Pendapatan

b) Rasio Aktivitas

menurut Bastian (2005;5), Rasio aktivitas menggambarkan bagaimana Pemda

memprioritaskan alokasi dananya pada belanja rutin dan belanja pembangunan

secara optimal. Semakin tinggi persentase dana yang dialokasikan untuk belanja

rutin berarti persentase belanja pembangunan untuk sarana dan prasarana ekonomi

masyarakakt cenderung semakin kecil. Pemerintah berpihak pada pertumbuhan

ekonomi bila rasio belanja pemerintah lebih banyak dialokasikan untuk belanja

pembangunan dari pada belanja rutin karena belanja pembangunan merupakan

investasi suatu daerah. Rumus untuk menghitung rasio aktivitas adalah :

Total Belanja Pembangunan


Rasio Aktivitas = x 100%..................................(2)
Total APBD

c) Rasio Efektivitas

Menurut Halim (2012:4), menyatakan bahwa Rasio Efektivitas menggambarkan

kemampuan Pemerintah Daerah dalam merealisasikan Pendapatan yang

direncanakan, kemudian dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarkan

potensi riil daerah. Semakin tinggi Rasio Efektivitas menggambarkan kemampuan

daerah yang semakin baik. Rumus yang digunakan untuk menghitung rasio

efektivitas adalah :

Realisasi Penerimaan PAD


Rasio Efektivitas = x 100%..................................(3)
Target Penerimaan PAD
49

d) Rasio Efisiensi Keuangan Daerah

Rasio Efisiensi Keuangan Daerah (REKD) menggambarkan perbandingan antara

besarnya total realisasi belanja daerah dengan total realisasi penerimaan daerah.

Kinerja Keuangan Pemerintahan Daerah dalam melakukan pemungutan pendapatan

dikategorikan efisien apabila rasio yang dicapai kurang dari 1 (satu) atau di bawah

100%. Semakin kecil Rasio Efisiensi Keuangan Daerah berarti Kinerja Keuangan

Pemerintah Daerah semakin baik. Rasio efisiensi menggambarkan tingkat

kemampuan pemerintah dalam mengefesiensikan total realisasi belanja daerah

kemudian dibandingkan total realisasi penerimaan daerah. Menurut Mardiasmo

(2013:112) yang menyatakan bahwa bila semakin kecil rasio efisien berarti kinerja

pemerintah daerah semakin baik. Rumus yang digunakan untuk menghitung rasio

efesiensi adalah :

Total Realisasi Belanja Daerah


Rasio Efesiensi = x 100%.......................(4)
Total Realisasi Penerimaan Daerah

e) Rasio Keserasian

Rasio Keserasian menggambarkan bagaimana pemerintah daerah

memprioritaskan alokasi dananya pada Belanja Rutin dan Belanja Pembangunannya

secara optimal. Menurut Halim (2012:236) semakin tinggi persentase dana yang

dialokasikan untuk Belanja Rutin berarti persentase Belanja investasi (Belanja

Pembangunan) yang digunakan untuk menyediakan sarana dan prasarana ekonomi

masyarakat cenderung semakin kecil. Ada 2 perhitungan dalam Rasio Keserasian ini,

yaitu : Rasio Belanja Operasi dan Rasio Belanja Modal.


50

1. Rasio Belanja Operasi merupakan perbandingan antara total Belanja Operasi

dengan Total Belanja Daerah. Rasio ini menginformasikan kepada pembaca

laporan mengenai porsi belanja daerah yang dialokasikan untuk Belanja

Operasi. Belanja Operasi merupakan belanja yang manfaatnya habis

dikonsumsi dalam satu tahun anggaran, sehingga sifatnya jangka pendek dan

dalam hal tertentu sifatnya rutin atau berulang. Pada umumya proporsi Belanja

Operasi mendominasi total belanja daerah, yaitu antara 60-90%. Menurut

Mahmudi (2010:164) didalam pemerintah daerah dengan tingkat pendapatan

yang tinggi cenderung memiliki porsi belanja operasi yang lebih tinggi

dibandingkan pemerintah daerah yang tingkat pendapatannya rendah. Rumus

yang digunakan untuk menghitung rasio belanja operasi adalah :

Total Belanja Operasi


Rasio Belanja Operasi = x 100%......................(5)
Total Belanja Daerah

2. Rasio Belanja Modal merupakan perbandingan antara total realisasi belanja

modal dengan total belanja daerah. Berdasarkan rasio ini, pembaca laporan

dapat mengetahui porsi belanja daerah yang dialokasikan untuk investasi

dengan bentuk belanja modal pada tahun anggaran bersangkutan. Belanja

modal memberikan manfaat jangka menegah dan panjang juga bersifat rutin.

Menurut Mahmudi (2010:164) pada umumnya proporsi belanjamodal degan

belanja daerah adalah antara 5-20%.

Rumus yang digunakan untuk menghitung rasio belanja modal adalah :

Total Belanja Modal


Rasio Keserasian = x 100%..................................(6)
Total Belanja Desa
51

f) Rasio Pertumbuhan

Rasio Pertumbuhan bermanfaat untuk mengetahui apakah pemerintah daerah

dalam tahun anggaran bersangkutan atau selama periode anggaran, Kinerja Keuangan

APBD-nya mengalami pertumbuhan secara positif ataukah negatif. Tentunya

diharapkan pertumbuhan pendapatan secara positif dan kecenderungannya (trend)

meningkat. Sebaliknya jika terjadi pertumbuhan yang negatif, maka hal itu akan

menunjukkan terjadi penurunan Kinerja Keuangan Pendapatan Daerah. Rasio

pertumbuhan berguna untuk melihat kemampuan atas pengelolaan dimasa yang lalu.

Menurut Mahmudi (2010:138) Rasio pertumbuhan bermanfaat untuk mengatahui

apakah pemerintah daerah dalam tahun anggaran bersangkutan atau selama beberapa

periode anggaran, kinerja anggarannya mengalami pertumbuhan pendapatan atau

belanja secara positif atau negatif.

Rasio Pertumbuhan berfungsi untuk mengevaluasi potensi-potensi daerah yang

perlu mendapatkan perhatian. Menurut Halim (2008:241) untuk rasio pertumbuhan

yang semakin tinggi nilai Total Pendapatan Daerah, PAD, dan Belanja Modal yang

diikuti oleh semakin rendahnya Belanja Operasi, maka pertumbuhannya adalah

positif. Artinya bahwa daerah yang bersangkutan telah mampu mempertahankan dan

meningkatkan pertumbuhannya dari periode yang satu ke periode berikutnya.

Rasio keuangan menunjukkan sistematis dalam bentuk perbandingan antara

perkiraan-perkiraan laporan keuangan. Agar hasil perhitungan rasio keuangan dapat

diinterprestasikan, perkiraan-perkiraan yang dibandingkan harus mengarah pada

hubungan ekonomis. Rumus yang digunakan untuk menghitung rasio pertumbuhan

adalah :

Pendapatan t1−t0
Rasio Pertumbuhan = x 100%..........................................(7)
Pendapatan t0
52

2.1.8 Pengaruh Rasio Kemandirian Terhadap Pertumbuhan Ekonomi

Menurut Halim (2001:123) rasio kemandirian keuangan daerah atau yang

sering disebut sebagai otonomi fiskal menunjukkan kemampuan daerah dalam

membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kepada

masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan

yang diperlukan daerah. Rasio ini juga menggambarkan ketergantungan

pemerintah daerah terhadap sumber dana eksternal. Semakin tinggi rasio ini, maka

tingkat ketergantungan daerah terhadap pihak eksternal semakin rendah, begitu

pula sebaliknya.

Rasio kemandirian juga menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat dalam

pembangunan daerah. Semakin tinggi rasio kemandirian, semakin tinggi

partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah yang

merupakan komponen utama pendapatan asli daerah. Semakin tinggi masyarakat

membayar pajak dan retribusi daerah menggambarkan bahwa tingkat

kesejahteraan masyarakat semakin tinggi. Jadi, semakin tinggi rasio Kemandirian,

maka semakin tinggi pula kemampuan keuangan daerah dalam mendukung

otonomi daerah.

Jika Rasio Kemandirian Keuangan Daerah (RKKD) menurun maka, hal ini

menunjukkan kemandirian keuangan daerah cenderung menurun walaupun PAD

meningkat sebab, peningkatannya lebih lambat dibandingkan dengan peningkatan

bantuan dan sumbangan. Semakin sedikit sumbangan dari pusat, semakin tinggi

derajat kemandirian suatu daerah yang menunjukkan bahwa Kemampuan daerah


53

tersebut semakin mampu membiayai pengeluarannya sendiri tanpa bantuan dari

pemerintah pusat.

Apabila dipadukan rasio kemandirian keuangan daerah (mengukur seberapa

jauh penerimaan yang berasal dari daerah dalam memenuhi kebutuhan daerah)

dengan derajat desentralisasi fiskal (digunakan untuk melihat kontribusi

pendapatan asli daerah terhadap pendapatan daerah secara keseluruhan) maka

akan terlihat kinerja keuangan daerah secara utuh. Secara umum, semakin tinggi

kontribusi pendapatan asli daerah dan semakin tinggi kemampuan daerah untuk

membiayai kebutuhannya sendiri maka akan menunjukkan kinerja keuangan yang

positif. Dalam hal ini, kinerja keuangan positif dapat diartikan sebagai

kemandiran keuangan daerah dalam membiayai kebutuhan daerah dan

mendukung pelaksanaan otonomi daerah pada daerah tersebut.

Menurut Tiebout dalam Syaparuddin (2015:313), Ada hubungan antara rasio

kemandirian dengan pertumbuhan ekonomi. Rasio kemandirian berpengaruh

positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Dimana jika rasio kemandirian

meningkat, maka akan meningkatkan output perekonomian. Dan Tiebout

mengemukaka bahwa sistem desentralisasi fiskal dimana pemerintah daerah

memainkan peran yang lebih penting daripada pemerintah pusat dalam

penyediaan pelayanan publik akan mendorong pertumbuhan ekonomi.

2.1.10 Pengaruh Rasio Aktivitas Terhadap Pertumbuhan Ekonomi

Menurut Karina (2018;15), Ada hubungan antara rasio aktivitas dengan

pertumbuhan ekonomi. Bahwa rasio aktivitas berpengaruh terhadap pertumbuhan

ekonomi. Artinya peningkatan atau penurunan pertumbuhan ekonomi dipengaruhi


54

oleh rasio aktivitas. Menurut Purwaningsih (2013;8), Rasio aktivitas menunjukkan

bahwa prioritas pengalokasian dananya lebih ditekankan pada belanja

pembangunan atau belanja modal daripada belanja rutin atau belanja operasional.

pemerintah daerah mampu mempertahankan pertumbuhannya dari periode ke

periode berikutnya sehingga berdampak pada pertumbuhan ekonomi.

2.1.10 Pengaruh Rasio Efektifitas Terhadap Pertumbuhan Ekonomi

Efektivitas PAD adalah kemampuan pemerintah daerah dalam merealisasikan

PAD yang direncanakan dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarkan

potensi rill daerah. Rasio efektivitas bertujuan untuk mengukur sejauh mana

kemampuan pemerintah dalam memobilisasi penerimaan pendapatan sesuai

dengan yang di targetkan. Rasio efektivitas pendapatan dihitung dengan cara

membandingkan realisasi pendapatan dengan target

Menurut Halim (2008:234), Ada hubungan antara rasio efektivitas dengan

pertumbuhan ekonomi. Rasio efektivitas berpengaruh terhadap pertumbuhan

ekonomi. Semakin besar realisasi penerimaan PAD dibanding target penerimaan

PAD, maka dapat dikatakan semakin efektif, begitu pula sebaliknya. Semakin

tinggi rasio efektifitas, menggambarkan kemampuan daerah yang semakin baik

Pengertian efektifitas berhubungan dengan derajat keberhasilan suatu operasi pada

sektor publik sehingga suatu kegiatan dikatakan efektif jika kegiatan tersebut

mempunyai pengaruh besar terhadap kemampuan menyediakan pelayanan

masyarakat yang merupakan sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya.


55

2.1.11 Pengaruh Rasio Efesiensi Terhadap Pertumbuhan Ekonomi

Menurut Abdul Halim (2008:234) Rasio efisiensi merupakan gambaran yang

menunjukkan perbandingan antara output dengan input Yang dimaksud adalah

perbandingan antara realisasi pengeluaran dengan realisasi penerimaan suatu

daerah. Rasio ini digunakan untuk mengetahui tingkat penghematan atau tingkat

efisiensi anggran suatu daerah. Semakin rendah tingkat rasio efisiensi suatu

daerah maka dapat dikatakan daerah tersebut semakin kecil terjadi adanya

pemborosan.

Menurut Utama (2008:2), Ada hubungan antara rasio efesiensi dengan

pertumbuhan ekonomi. Rasio efesiensi berpengaruh terhadap pertumbuhan

ekonomi. Semakin kecil rasio ini, maka semakin efesien, begitu pula sebaliknya.

Pada sektor pelayanan masyarakat adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan

baik dan pengorbanan seminimal mungkin. Suatu kegiatan dikatakan telah

dikerjakan efesien jika pelaksanaan pekerjaan tersebut telah mencapai hasil

(output) dengan biaya (input) yang terendah atau dengan biaya minimal diperoleh

hasil yang diinginkan.

2.2 Penelitian Terdahulu

Havid Sularso (2011) meneliti tentang “ Pengaruh Kinerja Keuangan Terhadap

Alokasi Belanja Modal Dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota Di Jawa

Tengah.” Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji pengaruh kinerja keuangan

terhadap alokasi belanja modal dan pertumbuhan ekonomi. Metode analisis data

menggunakan Structural equation modeling (SEM) dengan bantuan program Analysis

of Moment Structures (AMOS). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa alokasi


56

belanja modal berpengaruh oleh kinerja keuangan daerah, alokasi belanja modal

berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi secara tidak

langsung dipengaruhi oleh kinerja keuangan daerah.

Beberapa peneliti yang melakukan penelitian mengenai pengaruh kinerja

keuangan berupa rasio kemandirian, rasio efektivitas, dan rasio efisiensi terhadap

pertumbuhan ekonomi, memberikan hasil yang bervariasi. Hasil dari penelitian

Hamzah (2008) adalah rasio kemandirian dan rasio efisiensi berpengaruh positif

secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, sedangkan rasio efektifitas

tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.

Kemudian Penelitian Kaliti (2011) melakukan penelitian mengenai pengaruh

kinerja keuangan berupa rasio kemandirian, rasio efektivitas, dan rasio efisiensi

terhadap pertumbuhan ekonomi menunjukkan rasio kemandirian dan efektivitas

tidak berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi, sedangkan rasio

efisiensi tidak berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.

Dan Penelitian Annisa (2011) melakukan penelitian mengenai pengaruh

kinerja keuangan berupa rasio kemandirian, rasio efektivitas, dan rasio efisiensi

terhadap pertumbuhan ekonomi menunjukkan bahwa rasio kemandirian,

efektivitas dan efisiensi berpengaruh positif signifikan terhadap pertumbuhan

ekonomi.

Hasil penelitian sebelumnya dari penelitian ini adalah sebagai berikut :


57

Tabel 2.3
Mapping Penelitian Terdahulu
Nama Judul Variabel
Hasil Penelitian
Peneliti Penelitian X Y

Havid Pengaruh Kinerja Alokasi Kinerja Hasil penelitian ini

Sularso Keuangan belanja keuangan menunjukkan bahwa

(2011) Terhadap modal (Y) alokasi belanja modal

Alokasi Belanja (X1), berpengaruh oleh

Modal Dan Pertumbuh kinerja keuangan

Pertumbuhan daerah, alokasi


an
Ekonomi belanja modal
Ekonomi
Kabupaten/Kota berpengaruh terhadap
(X2)
Di Jawa Tengah. pertumbuhan

ekonomi dan

pertumbuhan

ekonomi secara tidak

langsung dipengaruhi

oleh kinerja keuangan

daerah.

Hamzah pengaruh kinerja Rasio Pertumbuha rasio kemandirian

(2008) keuangan kemandiri n ekonomi dan rasio efisiensi

berupa rasio an (X1), (Y) berpengaruh positif

kemandirian, rasio secara signifikan

rasio efektivitas, efektivitas terhadap


58

dan rasio (X2) dan pertumbuhan

efisiensi rasio ekonomi, sedangkan

terhadap efesiensi rasio efektifitas tidak

pertumbuhan (X3) berpengaruh secara

ekonomi, signifikan terhadap

pertumbuhan

ekonomi.

Kaliti pengaruh kinerja Rasio Pertumbuha , rasio efektivitas,

(2011) keuangan kemandiri n ekonomi dan rasio efisiensi

berupa rasio an (X1), (Y) terhadap

kemandirian, rasio pertumbuhan

rasio efektivitas, efektivitas ekonomi

dan rasio (X2) dan menunjukkan rasio

efisiensi rasio kemandirian dan

terhadap efesiensi efektivitas tidak

pertumbuhan (X3) berpengaruh positif

ekonomi, terhadap

pertumbuhan

ekonomi, sedangkan

rasio efisiensi tidak

berpengaruh negatif

terhadap
59

pertumbuhan

ekonomi.

Annisa pengaruh kinerja Rasio Pertumbuha menunjukkan bahwa

(2011) keuangan kemandiri n ekonomi rasio kemandirian,

berupa rasio an (X1), (Y) efektivitas dan

kemandirian, rasio efisiensi

rasio efektivitas, efektivitas berpengaruh positif

dan rasio (X2) dan signifikan terhadap

efisiensi rasio pertumbuhan

terhadap efesiensi ekonomi.

pertumbuhan (X3)

ekonomi,

2.3 Kerangka Konseptual

Rahmansyah (2004:15), Identitas keseimbangan pendapatan nasional adalah

konsumsi (C) ditambah Investasi (I), Pembelian atau Pengeluaran Pemerintah (G),

dan Ekspor (X) dikurangi Impor (M) yang dirumuskan dengan persamaan Y = C

+ I + G + X-M merupakan sumber legitimasi pandangan kaum Keynesian akan

relevansi campur tangan pemerintah dalam perekonomian.

Pendapat di atas berarti bahwa memperbesar pengeluaran dengan tujuan

semata-mata untuk meningkatkan pendapatan nasional atau memperluas

kesempatan kerja adalah kurang memadai, melainkan perlu diperhitungkan siapa


60

yang akan terpekerjakan atau meningkat pendapatannya. Di samping itu

pemerintah perlu menghindari agar peningkatan perannya dalam perekonomian

tidak justru melemahkan pihak swasta.

Menurut Sidik dalam Pertiwi (2016:101), Ada hubungan antara keuangan daerah

dengan pertumbuhan ekonomi. Yaitu apabila keuangan daerah mengalami

peningkatan yang cukup besar dan dialokasikan dengan baik, maka ini akan

berdampak pada dana yang dimiliki oleh daerah juga akan semakin besar. Hal ini

mengindikasikan bahwa akan meningkatkan kemandirian suatu daerah sehingga ini

akan membuat daerah semakin berinisiatif dalam menggali potensi daerahnya untuk

dapat meningkatkan pertumbuhan ekonominya. Dengan besarnya keuangan daerah,

daerah otonomi lebih leluasa dalam menyusun perencanaan dan penganggaran

terhadap persoalan pembangunan termasuk yang terkait dengan percepatan

pertumbuhan ekonomi, misalnya pembangunan infrastruktur untuk menarik

masuknya investasi. Sementara itu pertumbuhan ekonomi yang cepat merupakan

cerminan berkembangnya kegiatan ekonomi dari berbagai sektor dan memberi

peluang terciptanya sumber-sumber pendapatan daerah yang lainnya.

Kinerja keuangan pemerintah daerah yang diukur dengan rasio keuagan yaitu,

rasio kemandirian, rasio efektifitas dan rasio efesiensi. Dengan melihat hasil

analisis tersebut dapat diketahui bagaimana kinerja keuanga pemerintah Kota

Sungai Penuh serta bagaimana dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi.

Menurut Tiebout dalam Syaparuddin (2015:313), Ada hubungan antara rasio

kemandirian dengan pertumbuhan ekonomi. Rasio kemandirian berpengaruh

positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Dimana jika rasio kemandirian


61

meningkat, maka akan meningkatkan output perekonomian. Dan Tiebout

mengemukaka bahwa sistem desentralisasi fiskal dimana pemerintah daerah

memainkan peran yang lebih penting daripada pemerintah pusat dalam

penyediaan pelayanan publik akan mendorong pertumbuhan ekonomi.

Menurut Karina (2018;15), Ada hubungan antara rasio aktivitas dengan

pertumbuhan ekonomi. Bahwa rasio aktivitas berpengaruh terhadap pertumbuhan

ekonomi. Artinya peningkatan atau penurunan pertumbuhan ekonomi dipengaruhi

oleh rasio aktivitas. Menurut Purwaningsih (2013;8), Rasio aktivitas menunjukkan

bahwa prioritas pengalokasian dananya lebih ditekankan pada belanja operasional

daripada belanja modal. pemerintah daerah mampu mempertahankan

pertumbuhannya dari periode ke periode berikutnya sehingga berdampak pada

pertumbuhan ekonomi.

Menurut Halim (2008:234), Ada hubungan antara rasio efektivitas dengan

pertumbuhan ekonomi. Rasio efektivitas berpengaruh terhadap pertumbuhan

ekonomi. Semakin besar realisasi penerimaan PAD dibanding target penerimaan

PAD, maka dapat dikatakan semakin efektif, begitu pula sebaliknya. Semakin

tinggi rasio efektifitas, menggambarkan kemampuan daerah yang semakin baik

Pengertian efektifitas berhubungan dengan derajat keberhasilan suatu operasi pada

sektor publik sehingga suatu kegiatan dikatakan efektif jika kegiatan tersebut

mempunyai pengaruh besar terhadap kemampuan menyediakan pelayanan

masyarakat yang merupakan sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya.

Menurut Utama (2008:2), Ada hubungan antara rasio efesiensi dengan

pertumbuhan ekonomi. Rasio efesiensi berpengaruh terhadap pertumbuhan


62

ekonomi. Semakin kecil rasio ini, maka semakin efesien, begitu pula sebaliknya.

Pada sektor pelayanan masyarakat adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan

baik dan pengorbanan seminimal mungkin. Suatu kegiatan dikatakan telah

dikerjakan efesien jika pelaksanaan pekerjaan tersebut telah mencapai hasil

(output) dengan biaya (input) yang terendah atau dengan biaya minimal diperoleh

hasil yang diinginkan.

Berdasarkan latar belakang penelitian tinjauan pustaka maka dapat

dikembagkan kerangka pemikiran dari penelitian ini yang dapat digambarkan

sebagai berikut :

Rasio Kemandirian
Keuangan Daerah

(X1)

Rasio Aktivitas

(X2) Pertumbuhan Ekonomi

(Y)
Rasio Efektivitas PAD

(X3)

Rasio Efesiensi Keuangan


Daerah

(X4)

Gambar 2.1

Kerangka Konseptual

Keterangan : = Pengaruh secara parsial

= Pengaruh secara simultan


63

2.4 Hipotesis Penelitian

Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Ho : r = 0, Diduga bahwa tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara

rasio kemandirian terhadap pertumbuhan ekonomi tahun

2010-2016

H1 : r ≠ 0, Diduga bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara rasio

kemandirian terhadap Pertumbuhan Ekonomi tahun 2010-

2016

2. Ho : r = 0, Diduga bahwa tidak terdapat pengaruh signifikan antara rasio

aktivitas terhadap pertumbuhan ekonomi tahun 2010-2016

H2 : r ≠ 0, Diduga bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara rasio

aktivitas terhadap Pertumbuhan Ekonomi tahun 2010-2016

3. Ho : r = 0, Diduga bahwa tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara

rasio efektivitas terhadap pertumbuhan ekonomi tahun 2010-

2016

H3 : r ≠ 0, Diduga bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara rasio

efektivitas terhadap Pertumbuhan Ekonomi tahun 2010-2016

4.Ho : r = 0, Diduga bahwa tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara

rasio efesiensi terhadap pertumbuhan ekonomi tahun 2010-

2016
64

H4 : r ≠ 0, Diduga bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara rasio

efesiensi terhadap pertumbuhan ekonomi tahun 2010-2016

5.Ho : r = 0, Diduga bahwa secara simultan tidak terdapat pengaruh yang

signifikan antara rasio kemandirian, rasio aktivitas, rasio

efektifitas dan rasio efisien terhadap pertumbuhan ekonomi

tahun 2010-2016

H5 : r ≠ 0, Diduga bahwa secara simultan terdapat pengaruh yang

signifikan antara rasio kemandirian, rasio aktivitas, rasio

efektifitas dan rasio efisien terhadap pertumbuhan

ekonomitahun 2010-2016.
65

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini akan menganalisa tentang Analisis Kinerja Keuangan

Pemerintah Kota Sungai Penuh serta Dampaknya Terhadap Pertumbuhan

Ekonomi. pada tahun 2010-2016. Variabel dalam penelitian ini merupakan

variabel terikat. Variabel terikat merupakan faktor-faktor yang diamati dan diukur

oleh peneliti dalam sebuah penelitian, untuk menentukan ada tidaknya pengaruh

dari variabel bebas. Lamanya penelitian ini dilakukan dari Tanggal 15 Maret 2019

s/d 31 Maret 2019.

3.2 Jenis Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data

sekunder merupakan data yang diperoleh dari pihak lain, baik dari literatur, studi

pustaka, atau penelitian-penelitian sejenis sebelumnya yang berkaitan dalam

penelitian ini.

3.3 Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Badan Keuangan Daerah Kota Sungai Penuh

2. BPS Kota Sungai Penuh


66

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Penelitian Perpustakaan (Library Research) yaitu Penelitian ini dilakukan untuk

mendapat data sekunder dan mempelajari beberapa literatur, jurnal -jumal dan

laporan-laporan yang relevan dengan masalah yang diteliti.

3.5 Defenisi Operasional

1. Rasio kemandirian

Rasio kemandirian keuangan daerah atau sering disebut sebagai otonomi fiskal

menunjukkan kemampuan daerah dalam membiayai sendiri kegiatan

pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah

membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang di perlukan daerah

yang dapat mengukur keberhasilan kinerja keuangan daerah.

2. Rasio Aktivitas

Rasio ini menggambarkan bagaimana Pemda memprioritaskan alokasi

dananya pada belanja rutin dan belanja pembangunan secara optimal. Semakin

tinggi persentase dana yang dialokasikan untuk belanja rutin berarti persentase

belanja pembangunan untuk sarana dan prasarana ekonomi masyarakakt

cenderung semakin kecil.

3. Rasio efektivitas
67

Efektivitas PAD adalah kemampuan pemerintah daerah dalam merealisasikan

PAD yang direncanakan dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarkan

potensi riil daerah.

4. Rasio efesiensi

Dalam hal ini rasio yang dimaksudkan adalah rasio efesiensi belanja. Rasio

efesiensi merupakan gambaran yang menunjukkan perbandingan antara output

dengan input yang dimaksud adalah perbandingan antara realisasi pengeluaran

dengan realisasi penerimaan suatu daerah.

5. Pertumbuhan ekonomi

Indikator yang digunakan untuk menghitung tingkat pertumbuhan ekonomi

disini adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) untuk daerah provinsi dan

kabupaten/kota. Khsusunya pada Kota Sungai Penuh pada tahun 2010-2016 dan

menggunakan satuan Rupiah.

3.6 Metode Analisis Data

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Analisis Deskriptif Kuantitatif

Penelitian ini merupakan penelitian yang bertujuan menjelaskan

fenomena yang ada dengan menggunakan angka-angka untuk mencadarkan

karakteristik individu atau kelompok. Penelitian ini menilai sifat dari kondisi-

kondisi yang tampak.


68

2. Analisis Deskriptif Kualitatif

Penelitian ini merupakan penelitian yang bertujuan menjelaskan

fenomena yang ada dengan menggunakan kata-kata untuk mencadarkan

karakteristik individu atau kelompok. Penelitian ini menilai sifat dari kondisi-

kondisi yang tampak.

3.7 Alat Analisis Data

Teknis analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis rasio

yang terdiri dari rasio kemandirian, rasio efektifitas dan rasio efesiensi, analisis

regresi linier berganda, koefisien determinasi.

1. Analisis rasio keuangan indikator-indikatornya antara lain :

Salah satu alat untuk menganalisis kinerja keuangan pemerintah daerah adalah

dengan analisis rasio terhadap APBD. Ada beberapa jenis rasio yang dapat

dikembangkan berdasarkan data keuangan yang bersumber dari APBD antara

lain:

1) Kemandirian keuangan daerah Menurut Ghozali (2011:96), menunjukkan

kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan

pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah

membayar pajak dan retribusi sebagai pendapatan yang diperlukan daerah.

Kemandirian keuangan daerah ini ditunjukkan oleh besar kecilnya

pendapatan asli daerah dibandingkan dengan pendapatan daerah yang

berasal dari sumber yang lain, misalnya bantuan pemerintah pusat ataupun

dari pinjaman.
69

Rasio kemandirian juga menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat

dalam pembangunan daerah. Semakin tinggi rasio kemandirian, semakin

tinggi partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah

yang merupakan komponen utama pendapatan asli daerah. Semakin tinggi

masyarakat membayar pajak dan retribusi daerah menggambarkan bahwa

tingkat kesejahteraan masyarakat semakin tinggi. Jadi, semakin tinggi

rasio Kemandirian, maka semakin tinggi pula kemampuan keuangan

daerah dalam mendukung otonomi daerah.

Jika, RKKD (Rasio Kemandirian Keuangan Daerah) menurun maka,

hal ini menunjukkan kemandirian keuangan daerah cenderung menurun

walaupun PAD meningkat sebab, peningkatannya lebih lambat

dibandingkan dengan peningkatan bantuan dan sumbangan. Semakin

sedikit sumbangan dari pusat, semakin tinggi derajat kemandirian suatu

daerah yang menunjukkan bahwa Kemampuan daerah tersebut semakin

mampu membiayai pengeluarannya sendiri tanpa bantuan dari pemerintah

pusat.

Apabila dipadukan rasio kemandirian keuangan daerah (mengukur

seberapa jauh penerimaan yang berasal dari daerah dalam memenuhi

kebutuhan daerah) dengan derajat desentralisasi fiskal (digunakan untuk

melihat kontribusi pendapatan asli daerah terhadap pendapatan daerah

secara keseluruhan) maka akan terlihat kinerja keuangan daerah secara

utuh. Secara umum, semakin tinggi kontribusi pendapatan asli daerah dan

semakin tinggi kemampuan daerah untuk membiayai kebutuhannya sendiri


70

maka akan menunjukkan kinerja keuangan yang positif. Dalam hal ini,

kinerja keuangan positif dapat diartikan sebagai kemandiran keuangan

daerah dalam membiayai kebutuhan daerah dan mendukung pelaksanaan

otonomi daerah pada daerah tersebut. Rumus yang digunakan untuk

menghitung rasio kemandirian adalah :

Pendapatan Asli Daerah


Rasio Kemandirian = x 100%......................(8)
Total Pendapatan

2) Rasio Aktivitas. Menurut Bastian (2005;5), Rasio ini menggambarkan

bagaimana Pemda memprioritaskan alokasi dananya pada belanja rutin

dan belanja pembangunan secara optimal. Semakin tinggi persentase dana

yang dialokasikan untuk belanja rutin berarti persentase belanja

pembangunan untuk sarana dan prasarana ekonomi masyarakat cenderung

semakin kecil. Pemerintah berpihak pada pertumbuhan ekonomi bila rasio

belanja pemerintah lebih banyak dialokasikan untuk belanja pembangunan

dari pada belanja rutin karena belanja pembangunan merupakan investasi

suatu daerah Rumus untuk menghitung rasio aktivitas adalah :

Total Belanja Pembangunan


Rasio Aktivitas = x 100%......................(9)
Total APBD

3) Menurut Halim (2012:4) menyatakan bahwa Rasio Efektivitas

menggambarkan kemampuan Pemerintah Daerah dalam merealisasikan

Pendapatan yang direncanakan, kemudian dibandingkan dengan target yang

ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah. Semakin tinggi Rasio Efektivitas


71

menggambarkan kemampuan daerah yang semakin baik. Rumus yang

digunakan untuk menghitung rasio efektivitas adalah :

Realisasi Penerimaan PAD


Rasio Efektivitas = x 100%....................(10)
Target Penerimaan PAD

4) Rasio efisiensi Menurut Ghozali (2011:96), Rasio Efisiensi Keuangan

Daerah (REKD) menggambarkan perbandingan antara besarnya biaya yang

dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan dengan realisasi pendapatan yang

diterima. Kinerja Keuangan Pemerintahan Daerah dalam melakukan

pemungutan pendapatan dikategorikan efisien apabila rasio yang dicapai

kurang dari 1 (satu) atau di bawah 100%. Semakin kecil Rasio Efisiensi

Keuangan Daerah berarti Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah semakin baik.

Rasio efisiensi menggambarkan tingkat kemampuan pemerintah dalam

mengfesiensikan biaya yang dikerluarkan oleh pemerintah. Menurut

Mardiasmo (2013:112) yang menyatakan bahwa bila semakin kecil rasio

efisien berarti kinerja pemerintah daerah semakin baik. Rumus yang

digunakan untuk menghitung rasio efesiensi adalah :

Total Realisasi Belanja Daerah


Rasio Efesiensi = x 100%.........(11)
Total Realisasi Penerimaan Daerah

2. Analisis Regresi Linier Berganda

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Analisis

regresi linear berganda serta model yang dimodifikasi. Analisis regresi linear

berganda digunakan untuk menaksir bagaimana keadaan (naik turunnya) variabel


72

dependen, bila dua atau lebih variable dependen sebagai faktor predictor dinaik

turunkan nilainya.

Secara matematis bentuk persamaan dari regresi linier berganda adalah sebagai

berikut:

Rumus : Y = ß0 + ß1 X1 + ß2 X2 + ß3 X3 + ß4 X4 +

e...............................................................................................................(12)

Dimana :

Log Y = Pertumbuhan Ekonomi

B0 = Konstanta

X1 = Rasio Kemandirian

X2 = Rasio Aktivitas

X3 = Rasio Efektivitas

X4 = Rasio Efesiensi

b1,b2,b3,b4 = Koefisien Regresi

e = Error term

Rumus Log : Log Y = ß0 + ß 1 Log X1 + ß 2 Log X2 + ß3 Log X3 + ß4 Log X4 +

e................................................................................................................(13)

Dimana :

Log Y = Pertumbuhan Ekonomi

B0 = Konstanta

Log X1 = Rasio Kemandirian

Log X2 = Rasio Aktivitas

Log X3 = Rasio Efektivitas


73

Log X4 = Rasio Efesiensi

b1,b2,b3,b4 = Koefisien Regresi

e = Error term

C. Koefisien Determinasi (R²)

Menurut Ghozali (2011:97) Analisis koefisien determinasi (R2) pengujian

Koefisien determinasi (R2) pada intinya mengukur seberapa jauh kemampuan

model dalam menerangkan variasi variabel dependen. Nilai koefisien determinasi

adalah nol dan satu. Nilai R yang kecil berate kemampuan variabel variabel

independen dalam menjelaskan variasi variabel dependen amat terbatas. Nilai

yang mendekati satu berarti variabel-variabel independen memberikan hampir

semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variasi variabel dependen.

Adapun rumus yang digunakan untuk menghitung koefisien determinasi adalah :

Kd = r2 x 100%....................................................................................................(14)

Keterangan :

Kd = Koefesien Determinasi

R = Koefesien Korelasi

3.8 Uji Hipotesis

Penelitian ini juga menggunakan uji hipotesis. Data yang diperoleh dari hasil

pengumpulan data diatas dapat diproses sesuai dengan jenis data kemudian

disajikan dalam bentuk tabel dan angka metode statisti sebagai berikut :
74

1. Uji t (Parsial)

Uji t adalah bagian uji statistik yang merupakan uji koefisien korelasi

parsial yang digunakan untuk membuktikan pengaruh variabel independen

terhadap variabel dependen, dimana salah satu variabel independennya

tetap/dikendalikan. Sugiyono (2011:67) merumuskan uji t sebagai berikut:

𝑟 √𝑛−2
t= ……………………………………………….....….......................(15)
√1−𝑟 2

Keterangan:
r = Korelasi Parsial
n = Jumlah anggota sampel
Dengan tingkat signifikansi α = 5% dan kriteria pengujian sebagai berikut :

Jika thitung < ttabel Maka Ho diterima dan Ha ditolak artinya,

tidak terdapat pengaruh secara parsial

antara rasio kemandirian, Aktivitas,

Efektivitas Dan Efesiensi Terhadap

Pertumbuhan Ekonomi.

Jika thitung ≥ ttabel Maka


makaHoHo
ditolak
ditolak
dandan
Ha diterima
Ha diterima
artinya,
artinya,

terdapat
terdapatpengaruh
pengaruh
secara
secara
parsial
parsial
antara
antara

rasio
Karakteristik
kemandirian,
Pekerjaan,
Aktivitas,Penempatan
Efektivitas Dan

Dan
Kepemimpinan
Efesiensi Terhadap
Terhadap Pertumbuhan
Kinerja Pegawai

Ekonomi.
Di Kantor Camat Kota Sungai Penuh.
75

Kriteria Df

Df = n – k

Dimana :

n = Banyaknya observasi

k = banyaknya variabel(bebas+terikat)

2. Uji F (Simultan)

Untuk mengetahui signifikansi korelasi ganda dicari dulu F hitung

kemudian dibandingkan dengan FTabel. Sugiyono (2011:68) merumuskan uji

F sebagai berikut:

R2 / k
𝐹= ………………….......……………………..………..(16)
(1− R2 )/ (n−k−1)

Keterangan:

K = Banyaknya variabel bebas


N = Jumlah sampel
R2 = Koefisien Determinasi
F = Fhitung yang selanjutnya dikonsultasikan dengan Ftabel

Dengan kriteria pengujian sebagai berikut :

Jika Fhitung < Ftabel Maka Ho diterima dan Ha ditolakartinya, tidak terdapat

pengaruh secara simultan antara rasio kemandirian,

Aktivitas, Efektivitas Dan Efesiensi Terhadap

Pertumbuhan Ekonomi.

Jika Fhitung ≥ Ftabel Maka Ho ditolak dan Ha diterima artinya, terdapat

pengaruh secara simultan antara rasio kemandirian,


76

Aktivitas, Efektivitas Dan Efesiensi Terhadap

Pertumbuhan Ekonomi.

Kriteria Df1 , Df2

Df1 = k - 1

Df2 = n - 1

Keterangan :

k = Jumlah Variabel (bebas + terikat)

n = Jumlah sampel Pembentuk Regresi


77

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Halim, dkk. 2000. Sistem Pengendalian Manajemen. Yogyakarta: Unit


Penerbit dan Percetakan Akademi Manajemen Perusahaan YKPN.
Abdul, Halim. 2008. Auditing (Dasar-dasar Audit Laporan Keuangan).
Yogyakarta: Unit Penerbit dan Percetakan STIM YKPN.
Adisasmita, Raharjo. 2013. Teori-Teori Pembangunan Ekonomi. Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Ahmad, Yani. 2002. Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah,
Jakarta: Grafindo.
Afrizal. 2014. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rajagrafindo
Bastian, Indra. 2006. Akuntansi Sektor Publik: Suatu Pengantar. Jakarta:
Erlangga.
Basri, Rivai. 2005. Performance Appraisal. Cetakan Pertama, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
Boediono. 1999. Seri Sinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi No.4 : Teori
Pertumbuhan Ekonomi. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta
Ghozali, Imam. 2011. “Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS”.
Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
HAW Widjaya. 2001. Pemerintahan Desa Marga (Suatu Telaah Administrasi
Negara). Jakarta: PT RadjaGrafindo Persada.
Harahap, Sofyan Syafri. 2008. Analisis Kritis Atas Laporan Keuangan. Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Kasmir. 2015. Analisis Laporan Keuangan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Kuznets dalam Jhingan. 2000. Teori Pertumbuhan Ekonomi.
Ma’aruf, Ahmad dan Latri Wihastuti. 2008. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia:
Determinandan Prospeknya. Yogyakarta: Jurnal Ekonomi dan Studi
Pembangunan Volume 9 Nomor 1.
Mahsun, Mohamad. 2011. Pengukuran Kinerja Sektor Publik, BPFE-Yogyakarta.
Yogyakarta.
78

Mahmudi. 2010. Manajemen Kinerja Sektor Publik, UPP STIM YKPN,


Yogyakarta.
Mardismo. 2002. Akuntansi Sektor Publik. Penerbit Andi. Yogyakarta.
Mardiasmo. 2013. Perpajakan Edisi Revisi. Andi Offset, Yogyakarta.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011 tentang Perubahan
Kedua Dari Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006
tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi
Pemerintahan.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah.
Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan
Daerah. Jakarta: Legalitas.
Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan.
Sugiyono. 2006. Metode Penelitian Bisnis. Bndung: Alfabeta.
Sedarmayanti, 2003, Sumber Daya Manusia dan Produktivitas Kerja, Penerbit
Ilham Jaya, Bandung.
Sukirno, Sadono. 2003. Pengantar Teori Mikro Ekonomi. Penerbit PT. Salemba,
Jakarta.
Sularso, Havid dan Yanuar E. 2011. Pengaruh Kinerja Keuangan Terhadap
Alokasi Belanja Modal dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di
Jawa Tengah. Media Riset Akuntansi, Vol. 1, No. 2, Hal 109-123.
Supriadi, Deddy dan Dadang Solihin. 2001. Otonomi Penyelenggaraan
Pemerintah Daerah. Jakarta: Gramedia.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah..
Zaris, Roeslan. 1987. Perspektif Daerah dalam Pembangunan Nasional. Jakarta
LPFE UI
79

Anda mungkin juga menyukai