Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

INTERAKSI OBAT PADA FASE METABOLISME

OLEH : KELOMPOK 3
ANGGOTA : ASRI NOVIATIN (F1F1 13 004)
DESI SARTINA (F1F1 13 008)
FIRASMI SANGADJI (F1F1 13 013)
GUSLINI (F1F1 13 017)
IQRA KURNIA NURRAHMAH (F1F1 13 023)
MELISA ARDIANTI (F1F1 13 031)
MUHAMMAD ERWIN (F1F1 13 032)
MUTMAINNAH (F1F1 13 035)
RAHMAT RAMADHAN (F1F1 13 043)
RESKI DWI FITRIANI (F1F1 13 046)

JURUSAN FARMASI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2016
KATA PENGANTAR

Segala puji kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Farmasetika
Terapan yang berjudul ” Interaksi Obat Pada fase Metabolisme”. Dan kepada
Rasullah Nabi Muhammad SAW yang telah membawa dunia dari alam jahilyahh
menuju kealam terang seperti yang dirasakan sampai saat ini.
Dengan segala kerendahan hati kami mengucapkan terimah kasih yang
setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah berjasa memberikan motivasi
dalam rangka menyelesaikan makalah ini. Khususnya kepada kepada dosen
pembimbing yang telah memberikan bimbingan kepada kami, teman-teman yang
telah bekerja sama untuk memberikan motivasi dan masukan sehingga makalah ini
dapat terselesaikan dengan waktu yang telah ditentukan.
Akhir kata, kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, untuk itu segala kritik dan saran sangat kami butuhkan demi
kesempurnaan pembuatan makalah selanjutnya.

Kendari, April 2016

Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ......................................................................................... i
DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii
BAB 1. PENDAHULUAN ...................................................................................
A. LATAR BELAKANG ..............................................................................
B. TUJUAN ...................................................................................................
C. RUMUSAN MASALAH ..........................................................................
D. MANFAAT ...............................................................................................
BAB II. PEMBAHASAN .....................................................................................
A. PENGERTIAN INTERAKSI OBAT ........................................................
B. MEKANISME INTERAKSI OBAT.........................................................
C. METABOLISME ......................................................................................
BAB III. PENUTUP .............................................................................................
A. KESIMPULAN .........................................................................................
B. SARAN .....................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Interaksi obat didefinisikan oleh Committee for Proprietary Medicine
Product (CPMP) sebagai suatu keadaan bilamana suatu obat dipengaruhi
oleh penambahan obat lain dan menimbulkan pengaruh klinis. Biasanya,
pengaruh ini terlihat sebagai suatu efek samping, tetapi terkadang pula
terjadi perubahan yang menguntungkan.Obat yang memengaruhi disebut
sebagai precipitant drug, sedangkan obat yang dipengaruhi disebut sebagai
object drug.
Interaksi obat terjadi jika suatu obat mengubah efek obat
lainnya.Kerja obat yang diubah dapat menjadi lebih atau kurang aktif.
Sebuah interaksi obat terjadi ketika farmakokinetika atau farmakodinamika
obat dalam tubuh diubah oleh kehadiran satu atau lebih zat yang
berinteraksi.Obat yang diberikan dapat bersaing satu dengan yang lainnya,
atau apa yang terjadi ketika obat hadir bersama satu dengan yang lainnya
sehingga interaksi obat menjadi penting untuk dipertimbangkan .Interaksi
obat dapat terjadi pada manusia maupun pada hewan yang mengonsumsi
obat. Karena interaksi obat pada terapi obat dapat menyebabkan
kasus yang parah dan kerusakan-kerusakan pada pasien,maka interaksi
obat harus jauh lebih diperhatikan agar dapat meminimalisir keparahannya.
Beberapa studi menyebutkan proporsi interaksi obat dengan obat lain
(antar obat) berkisar antara 2,2% sampai 30% terjadi pada pasien rawat-inap
dan 9,2% sampai 70,3% terjadi pada pasien-pasien rawat jalan, walaupun
kadang-kadang evaluasi interaksi obat tersebut memasukkan pula interaksi
secara teoretik selain interaksi obat sesungguhnya yang ditemukan dan
terdokumentasi.Di Amerika Serikat, insidensi interaksi obat yang
mengakibatkan reaksi efek samping sebanyak 7,3% terjadi di rumah sakit
lebih dari 88% terjadi pada pasien geriatrik di rumah sakit. Orang
mengalami resiko efek samping karena interaksi obat, dan seberapa jauh
risiko efeks amping dapat dikurangi diperlukan jika akan mengganti obat
yang berinteraksi dengan obat alternatif. Dengan mengetahui bagaimana
mekanisme interaksi antar obat, dapat diperkirakan kemungkinan efek
samping yang akan terjadi dan melakukan antisipasi. Makalah ini
bermaksud menguraikan mekanisme interaksi obat pada proses
metabolisme.

B. TUJUAN
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui Interaksi
obat pada fase metabolisme.

C. RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah dari makalah ini adalah bagaimana interaksi obat pada
fase metabolisme?

D. MANFAAT
Manfaat dari penulisan makalah ini adalah dapat mengetahui interaksi obat
pada fase metabolisme.
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN INTERAKSI OBAT


Interaksi obat adalah perubahan efek suatu obat akibat pemakaian obat
lain (interaksi obat-obat) atau oleh makanan, obat tradisional dan senyawa
kimia lain. Interaksi obat yang signifikan dapat terjadi jika dua atau lebih
obat digunakan bersama-sama. Interaksi obat secara klinis penting bila
berakibat peningkatan toksisitas dan/atau pengurangan efektivitas obat.
Jadi perlu diperhatikan terutama bila menyangkut obat dengan batas
keamanan yang sempit (indeks terapi yang rendah), misalnya
glikosida jantung, antikoagulan dan obat-obat sitostatik. Selain itu juga
perlu diperhatikan obat-obat yang biasa digunakan bersama-sama.
Kejadian interaksi obat dalam klinis sukar diperkirakan karena :
 Dokumentasinya masih sangat kurang.
 Seringkali lolos dari pengamatan, karena kurangnya pengetahuan akan
mekanisme dan kemungkinan terjadi interaksi obat. Hal ini
mengakibatkan interaksi obat berupa peningkatan toksisitas dianggap
sebagai reaksi idiosinkrasi terhadap salah satu obat, sedangkan interaksi
berupa penurunakn efektivitas dianggap diakibatkan bertambah
parahnya penyakit pasien.
 Kejadian atau keparahan interaksi obat dipengaruhi oleh variasi individual,
di mana populasi tertentu lebih peka misalnya pasien geriatric atau
berpenyakit parah, dan bisa juga karena perbedaan kapasitas metabolisme
antar individu. Selain itu faktor penyakit tertentu terutama gagal ginjal atau
penyakit hati yang parah dan faktor-faktor lain (dosis besar, obat ditelan
bersama-sama, pemberian kronik).
B. MEKANISME INTERAKSI OBAT
Interaksi diklasifikasikan berdasarkan keterlibatan dalam proses
farmakokinetik maupun farmakodinamik. Interaksi farmakokinetik ditandai
dengan perubahan kadar plasma obat, area di bawah kurva (AUC), onset
aksi, waktu paro dsb. Interaksi farmakokinetik diakibatkan oleh perubahan
laju atau tingkat absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi.
Interaksi farmakodinamik biasanya dihubungkan dengan kemampuan suatu
obat untuk mengubah efek obat lain tanpa mengubah sifat-sifat
farmakokinetiknya. Interaksi farmakodinamik meliputi aditif (efek obat A
=1, efek obat B = 1, efek kombinasi keduanya = 2), potensiasi (efek A = 0,
efek B = 1, efek kombinasi A+B = 2), sinergisme (efek A = 1, efek B = 1,
efek kombinasi A+B = 3) dan antagonisme (efek A = 1, efek B = 1, efek
kombinasi A+B = 0). Mekanisme yang terlibat dalam interaksi
farmakodinamik adalah perubahan efek pada jaringan atau reseptor.

C. METABOLISME
Metabolisme obat adalah proses modifikasi biokimia senyawa
obat oleh organisme hidup, pada umumnya dilakukan melalui proses
enzimatik. Proses metabolisme obat merupakan salah satu hal penting
dalam penentuan durasi dan intensitas khasiat farmakologis obat. Karena
senyawa lipofil sebagian besar direabsorpsi kembali kedalam tubuli ginjal
setelah filtrsi glomerulus,maka senyawa ini dapat dieksresi dengan lambat
melalui ginjal. Karena itu bila senyawa itu tidak dirubah secara
kimia,mungkin berbahay karena bahan bahan demikian menetap
dalam tubuh dan terakumulasi terutama dalam jaringan lemak. Karena
itu tidak mengherankan bahwa organism memiliki system enzim yang
dapat mengubah xenobiotika lipofil menjadi bahan yang lebih hidrofil dan
lebih mudah diekskresi. Laju ekskresi bahan yang larut dalam lemak
bergantung,sebagian besar kepada berapa cepat senyawa ini dimetabolisme
menjadi senyawa senyawa yang lebih larut dalam air dalam
organism.Proses perubahan senyawa asing tersebut dinamakan
biotransformasi.
Untuk menghasilkan efek sistemik dalam tubuh, obat harus mencapai
reseptor, berarti obat harus dapat melewati membran plasma. Untuk itu obat
harus larut lemak. Metabolisme dapat mengubah senyawa aktif yang larut
lemak menjadi senyawa larut air yang tidak aktif, yang nantinya akan
diekskresi terutama melalui ginjal. Obat dapat melewati dua fase
metabolisme, yaitu metabolisme fase I dan II. Pada metabolisme fase I,
terjadi oksidasi, demetilasi, hidrolisa, dsb. oleh enzim mikrosomal hati yang
berada di endothelium, menghasilkan metabolit obat yang lebih larut dalam
air. Pada metabolisme fase II, obat bereaksi dengan molekul yang larut air
(misalnya asam glukuronat, sulfat, dsb) menjadi metabolit yang tidak atau
kurang aktif, yang larut dalam air. Suatu senyawa dapat melewati satu atau
kedua fasemetabolisme di atas hingga tercapai bentuk yang larut dalam air.
Sebagian besar interaksi obat yang signifikan secara klinis terjadi akibat
metabolisme fase I dari pada fase II.S
1. Mekanisme Metabolisme Obat
Metabolisme obat sebagian besar terjadi di retikulum endoplasma sel-sel
hati. Selain itu, metabolisme obat juga terjadi di sel-sel epitel pada saluran
pencernaan, paru-paru, ginjal, dan kulit. Terdapat 2 fase metabolisme obat,
yakni fase I dan II. Pada reaksi-reaksi ini, senyawa yang kurang polar akan
dimodifikasi menjadi senyawa metabolit yang lebih polar. Proses ini dapat
menyebabkan aktivasi atau inaktivasi senyawa obat.
Reaksi fase I, disebut juga reaksi nonsintetik, terjadi melalui reaksi-
reaksi oksidasi, reduksi, hidrolisis, siklikasi, dan desiklikasi. Reaksi
oksidasi terjadi bila ada penambahan atom oksigen atau penghilangan
hidrogen secara enzimatik. Biasanya reaksi oksidasi ini melibatkan
sitokrom P450 monooksigenase (CYP), NADPH, dan oksigen. Obat-
obat yang dimetabolisme menggunakan metode ini antara lain golongan
fenotiazin, parasetamol, dan steroid.
Reaksi oksidasi akan mengubah ikatan C-H menjadi C-OH, hal ini
mengakibatkan beberapa senyawa yang tidak aktif (pro drug) secara
farmakologi menjadi senyawa yang aktif. Juga, senyawa yang lebih
toksik/beracun dapat terbentuk melalui reaksi oksidasi ini.

Reaksi fase II, disebut pula reaksi konjugasi, biasanya merupakan


reaksi detoksikasi dan melibatkan gugus fungsional polar metabolit fase I,
yakni gugus karboksil (-COOH), hidroksil (- OH), dan amino (NH2), yang
terjadi melalui reaksi metilasi, asetilasi, sulfasi, dan glukoronidasi. Reaksi
fase II akan meningkatkan berat molekul senyawa obat, dan menghasilkan
produk yang tidak aktif. Hal ini merupakan kebalikan dari reaksi
metabolisme obat pada fase I.
Metabolisme obat dipengaruhi oleh fa ktor-faktor antara lain
faktor fisiologis (usia, genetika, nutrisi, jenis kelamin), serta
penghambatan dan juga induksi enzim yang terlibat dalam proses
metabolisme obat. Selain itu, faktor patologis (penyakit pada hati atau
ginjal) juga berperan dalam menentukan laju metabolisme obat.
 Induksi dan Inhibisi Enzim
Induksi enzim : menaikkan kecepatan biosintesis enzim menyebabkan
meningkatnya laju metabolisme yang umumnya deaktivasi obat, sehingga
mengurangi kadarnya dalam plasma dan memperpendek waktu paro obat.
Karena itu intensitas dan durasi efek farmakologinya berkurang.
Contoh :

2. Interaksi Pada Proses Metabolisme


a. Peningkatan metabolisme
Beberapa obat bisa meningkatkan aktivitas enzim hepatik yang
terlibat dalam metabolisme obat-obat lain. Misalnya fenobarbital
meningkatkan metabolisme warfarin sehingga menurunkan aktivitas
antikoagulannya. Pada kasus ini dosis warfarin harus ditingkatkan, tapi
setelah pemakaian fenobarbital dihentikan dosis warfarin harus
diturunkan untuk menghindari potensi toksisitas. Sebagai
alternative dapat digunakan sedative selain barbiturate, misalnya
golongan benzodiazepine. Fenobarbital juga meningkatkan
metabolisme obat-obat lain seperti hormone steroid.
Barbiturat lain dan obat-obat seperti karbamazepin, fenitoin
dan rifampisin juga menyebabkan induksi enzim. Piridoksin
mempercepat dekarboksilasi levodopa menjadi metabolit aktifnya,
dopamine, dalam jaringan perifer. Tidak seperti levodopa, dopamine
tidak dapat melintasi sawar darah otak untuk memberikan efek
antiparkinson. Pemberian karbidopa (suatu penghambat
dekarboksilasi) bersama dengan levodopa, dapat mencegah gangguan
aktivitas levodopa oleh piridoksin.
b. Penghambatan metabolisme
Suatu obat dapat juga menghambat metabolisme obat lain, dengan
dampak memperpanjang atau meningkatkan aksi obat yang
dipengaruhi. Sebagai contoh, alopurinol mengurangi produksi asam
urat melalui penghambatan enzim ksantin oksidase, yang
memetabolisme beberapa obat yang potensial toksis seperti
merkaptopurin dan azatioprin. Penghambatan ksantin oksidase dapat
secara bermakna meningkatkan efek obat-obat ini. Sehingga jika dipakai
bersama alopurinol, dosis merkaptopurin atau azatioprin harus dikurangi
hingga 1/3 atau ¼ dosis biasanya. Pemberian suatu obat bersamaan
dengan obat lain yang enzim pemetabolismenya sama dapat terjadi
gangguan metabolisme yang dapat menaikkan kadar salah satu obat
dalam plasma, sehingga meningkatkan efeknya atau toksisitasnya.
Contoh: pemberian S-warfarin bersamaan dengan fenilbutazon
dapat menyebabkan mengkitnya kadar Swarfarin dan terjadi
pendarahan.
Simetidin menghambat jalur metabolisme oksidatif dan dapat
meningkatkan aksi obat-obat yang dimetabolisme melalui jalur ini
(contohnya karbamazepin, fenitoin, teofilin, warfarin dan sebagian
besar benzodiazepine). Simetidin tidak mempengaruhi aksi
benzodiazein lorazepam, oksazepam dan temazepam, yang mengalami
konjugasi glukuronida. Ranitidin mempunyai efek terhadap enzim
oksidatif lebih rendah dari pada simetidin, sedangkan famotidin dan
nizatidin tidak mempengaruhi jalur metabolisme oksidatif. Eritromisin
dilaporkan menghambat metabolisme hepatik beberapa obat seperti
karbamazepin dan teofilin sehingga meningkatkan efeknya. Obat
golongan fluorokuinolon seperti siprofloksasin juga meningkatkan
aktivitas teofilin, diduga melalui mekanisme yang sama.
c. Induktor enzim
Pemberian suatu obat bersamaan dengan obat lain yang enzim
pemetabolismenya sama dapat terjadi gangguan metabolisme yang
dapat menurunkan kadar obat dalam plasma, sehingga menurunkan
efeknya atau toksisitasnya. Contoh: pemberian estradiol bersamaan
denagn rifampisin akan menyebabkan kadar estradiol menurun dan
efektifitas kontrasepsi oral estradiol menurun.

Interaksi pada proses metabolisme merupakan kasus yang paling


banyak terjadi, dimana sekitar 50-60% obat yang digunakan dalam
terapi dapat slaing berinteraksi pada enzim yang sama. Diantara enzim
metabolisme yang lebih banyak terlibat adalah enzim-enzim
mikrosomal pada fase-1, yaitu yang melakukan proses oksidasi, reduksi,
dan hidroksilasi obat khususnya isoform CYP3A. enzim CYP lainnya
juga terlibat dalam interaksi obat, namun presentasinya lebih kecil
dibandingkan keterlibatan CYP3A. ada dua mekanisme interaksi pada
enzim metabolisme-inhibisi dan induksi enzim, dan hal ini dapat terjadi
di saluran usus dan hati sebagai organorgan utama metabolisme obat.
Efek inhibisi atau induksi enzim terhadap obat lain akan bermakna
klinik.
 Jika inhibitor atau induser diberikan dalam waktu yang cukup
misalnya beberapa hari untuk inhibitor, dan lebih dari satu minggu
untuk inducer untuk menampakkan aksinya. Normalisasi enzim ke
keadaan semula setelah penghentian inhibitor atau inducer
memerlukan waktu yang relative lebih cepat untuk inhibitor, dan lebih
lama untuk induser enzim-tergantung beberapa lama induksi enzim
berlangsung.
 Jika inhibitor atau induser diberikan dengan dosis besar (refaltif
terhadap jumlah enzim), akan mempengaruhi aktivitas enzim
memetabolismee secara signifikan.
 Tergantung beberapa jenis enzim yang terlibat dalam metabolisme
obat . jika suatu obat (substrat) hanya dimetabolismee oleh satu jenis
enzim saja, maka inhibisi atau induksi enzim tersebut akan
memberikan efek yang signifikan terhadap obat. Misalnya
atorvastatin dimetabolismee oleh CYP3A, dan inhibisi enzim oleh
itrakonazol menyebabkan AUC atorvastatin meningkat 3-4 kali lipat.
 Penyesuaian kembali dosis obat, setelah diubah ketika proses inhibisi
dan induksi berlangsung, amat diperlukan untuk mencegah kegagalan
terapi.
 Efek inhibisi atau induksi enzim metabolisme terhadap hasil terapi
sulit diperkirakan jika terjadi pada pemetabolismee lambat, cepat, atau
ultra cepat (poor, extensive, dan ultra rapid metabolizer). Selain itu,
karena kapasitas metabolisme dipengaruhi berbagai variabel (usia,
jenis kelamin, kehamilan, genetic, jenis, dan intensitas patologi) maka
manifestasi klinik juga akan tergantung seberapa besar pengaruh
variabel-variabel tersebut terhadap enzim metabolisme.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Interaksi obat adalah perubahan efek suatu obat akibat pemakaian obat
lain (interaksi obat-obat) atau oleh makanan, obat tradisional dan senyawa
kimia lain. Metabolisme obat adalah proses modifikasi biokimia senyawa
obat oleh organisme hidup, pada umumnya dilakukan melalui proses
enzimatik. Terdapat 2 fase metabolisme obat, yakni fase I dan II. Pada
reaksi-reaksi ini, senyawa yang kurang polar akan dimodifikasi menjadi
senyawa metabolit yang lebih polar. Proses ini dapat menyebabkan aktivasi
atau inaktivasi senyawa obat. Interaksi pada proses metabolisme terdiri dari
Peningkatan metabolisme, hambatan metabolisme dan Inductor enzim.

B. SARAN
Saran yang dapat diberikan oleh penulis pada para pembaca Interaksi
obat yaitu dalam memilih obat harus diperhatikan betul interaksinya baik-
baik. Dengan memperhatikan interaksi obat yang akan terjadi jika
digunakan, ini dapat dilihat dari indikasi dan kontraindikasi karena cara ini
cukup mudah dan bisa digunakan di lapangan. Tidak bisa di pungkiri dalam
mengunakan obat pasti akan terjadi interaksi obat, tapi hal ini tidak boleh
membuat kita takut. dengan adanya interaksi obat ini maka kita dapat
merancang/memformulisasikan obat agar di dapatkan manfaat yang
maksimal(khasiat). Intinya dengan adanya interaksi obat ini kita jangan
takut malah ini bisa digunakan untuk penyembuhan.
DAFTAR PUSTAKA

Jung D. 1985. Clinical Pharmacokinetics. Moduls Yogyakarta


Melader A, Dabielson K, Schereten B, et al. Enhancement by food of Canrenone
biovailability form spironolactone. Clin Pharmacol Ther 199; 22:100-103.
Mutschler, E., 1985, Dinamika Obat Farmakologi dan Toksikologi, 88-93, Penerbit
ITB,Bandung
Sulistia, dkk, 2007, Famakologi dan Terapi, 862-872, UI Press, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai