Anda di halaman 1dari 4

POLA DISTRIBUSI GAJAH SUMATERA

Disusun Oleh :
Amelia Naurah Syahda (18/423605/GE/08654)
Milta Charennina (18/426834/GE/08770)
Rachma Permata Suci (18/426842/GE/08778)
Tri Utami Setyawati (18/429699/GE/08884)

I. PENDAHULUAN
Gajah sumatera merupakan salah satu subspesies gajah asia yang endemik di Pulau
Sumatera. Spesies ini termasuk dalam daftar merah IUCN (International Union for
Conservation of Nature) dengan status terancam punah (Critically Endangered). Gajah
sumatera merupakan mamalia darat dengan pola hidup berkelompok yang dipimpin
oleh betina dewasa (matrilineal) (Vidya & Sukumar 2005).
Gajah Sumatera ( Elephas maximus sumatranus) merupakan salah satu anggota dari
ordo proboscidea yang terancam kelestariannya. Gajah dapat dikelompokan ke dalam
dua kelompok yaitu gajah Asia dan gajah Afrika. Gajah Sumatera merupakan satwa
langka yang dilindungi undang-undang sejak zaman Belanda dengan Peraturan
Perlindungan Binatang Liar Tahun 1931 No 134 dan 266 (Jajak, 2004 : 16 ). Oleh karena
itu menangkap gajah secara ilegal di habitat aslinya, memelihara tanpa izin dan
memperjual-belikannya merupakan tindakan melawan hukum. Namun gajah yang
mengganggu lahan pertanian dan pemukiman penduduk dapat ditangkap oleh aparat
yang berwenang. Gajah hasil tangkapan kemudian dibawa ke Pusat Latihan Gajah (PLG)
yang merupakan tempat menjinakkan gajah hasil tangkapan (Alikodra, 1990 : 23).

II. DESKRIPSI
Gajah Sumatera termasuk binatang berdarah panas sehingga jika kondisi cuaca
panas mereka akan bergerak mencari naungan (thermal cover) untuk menstabilkan
suhu tubuhnya agar sesuai dengan lingkungannya. Tempat yang sering dipakai sebagai
naungan dan istirahat pada siang hari adalah vegetasi hutan yang lebat . Gajah Sumatera
termasuk satwa herbivora sehingga membutuhkan ketersediaan makanan hijauan yang
cukup di habitatnya. Gajah juga membutuhkan habitat yang bervegetasi pohon untuk
makanan pelengkap dalam memenuhi kebutuhan mineral kalsium guna memperkuat
tulang, gigi, dan gading. Karena pencernaannya yang kurang sempurna, ia
membutuhkan makanan yang sangat banyak, yaitu 200-300 kg biomassa per hari untuk
setiap ekor gajah dewasa atau 5-10% dari berat badannya. Gajah Sumatera mempunyai
ukuran tinggi badan sekitar 1,7-2,6 meter. Jika dibandingkan dengan Gajah Afrika,
ukuran Gajah Sumatera lebih kecil.
Gajah termasuk satwa yang sangat bergantung pada air, sehingga pada sore hari
biasanya mencari sumber air untuk minum, mandi dan berkubang. Seekor gajah
Sumatera membutuhkan air minum sebanyak 20-50 liter/hari. Ketika sumber-sumber
air mengalami kekeringan, gajah dapat melakukan penggalian air sedalam 50-100 cm di

1
dasar-dasar sungai yang kering dengan menggunakan kaki depan dan belalainya. Gajah
juga membutuhkan garam-garam mineral, antara lain : calcium, magnesium, dan kalium.
Garam-garam ini diperoleh dengan cara memakan gumpalan tanah yang mengandung
garam, menggemburkan tanah tebing yang keras dengan kaki depan dan gadingnya, dan
makan pada saat hari hujan atau setelah hujan. Gajah merupakan mamalia darat paling
besar yang hidup pada zaman ini, sehingga membutuhkan wilayah jelajah yang sangat
luas.Ukuran wilayah jelajah gajah Asia bervariasi antara 32,4 - 166,9 km2. Wilayah
jelajah unit-unit kelompok gajah di hutan-hutan primer mempunyai ukuran dua kali
lebih besar dibanding dengan wilayah jelajah di hutan-hutan sekunder.
Di habitat alamnya, gajah hidup berkelompok (gregarius). Perilaku berkelompok ini
merupakan perilaku sosial yang sangat penting peranannya dalam melindungi anggota
kelompoknya. Besarnya anggota setiap kelompok sangat bervariasi tergantung pada
musim dan kondisi sumber daya habitatnya terutama makanan dan luas wilayah jelajah
yang tersedia. Jumlah anggota satu kelompok gajah Sumatera berkisar 20-35 ekor, atau
berkisar 3-23 ekor.
Setiap kelompok gajah Sumatera dipimpin oleh induk betina yang paling besar,
sementara yang jantan dewasa hanya tinggal pada periode tertentu untuk kawin dengan
beberapa betina pada kelompok tersebut. Gajah yang sudah tua akan hidup menyendiri
karena tidak mampu lagi mengikuti kelompoknya. Gajah jantan muda dan sudah
beranjak dewasa dipaksa meninggalkan kelompoknya atau pergi dengan suka rela
untuk bergabung dengan kelompok jantan lain. Sementara itu, gajah betina muda tetap
menjadi anggota kelompok dan bertindak sebagai bibi pengasuh pada kelompok "taman
kanak-kanak" atau kindergartens.
Gajah tidak mempunyai musim kawin yang tetap dan bisa melakukan kawin
sepanjang tahun, namun biasanya frekwensinya mencapai puncak bersamaan dengan
masa puncak musim hujan di daerah tersebut. Gajah jantan sering berperilaku
mengamuk atau kegilaan yang sering disebut musht dengan tanda adanya sekresi
kelenjar temporal yang meleleh di pipi, antara mata dan telinga, dengan warna hitam
dan berbau merangsang. Perilaku ini terjadi 3-5 bulan sekali selama 1-4 minggu.
Perilaku ini sering dihubungkan dengan musim birahi, walaupun belum ada bukti
penunjang yang kuat. Gajah merupakan mamalia terrestrial yang aktif baik di siang
maupun malam hari. Namun, sebagian besar dari mereka aktif dari 2 jam sebelum
petang sampai 2 jam setelah fajar untuk mencari makan. Hal ini sependapat bahwa,
gajah sering mencari makan sambil berjalan di malam hari selama 16-18 jam setiap
hari.
III. POLA DISTRIBUSI
Saat ini kondisi populasinya semakin menurun seiring dengan tingginya laju
kehilangan hutan Sumatera. Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) saat ini
berada dalam status Kritis (Critically Endangered) dalam daftar merah spesies terancam
punah yang keluarkan oleh Lembaga Konservasi Dunia –IUCN). Di Indonesia, Gajah
Sumatera juga masuk dalam satwa dilindungi menurut Undang-Undang No 5 Tahun
1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan diatur dalam

2
peraturan pemerintah, yaitu PP 7/1999 tentang Pengawetaan Jenis Tumbuhan dan
Satwa.
Dalam memilih habitatnya, Gajah Sumatera memperhitungkan berbagai kondisi
faktor habitat misalnya ketersediaan tempat mencari makan, penutupan tajuk sebagai
tempat berlindung dan tersediannya sumber air. Selain itu satwa liar ini juga
memperhitungkan waktu melakukan berbagai aktivitas harian (Abdullah dkk, 2005 :
37-41). Perilaku harian dan pemilihan unit habitat diduga sangat dipengaruhi oleh
kondisi habitat dan posisi unit habitat essensial dalam suatu ekosistem.
Habitat gajah meliputi seluruh hutan di pulau Sumatera dari Lampung sampai
Provinsi Aceh, mulai dari Hutan Basah Berlembah dan Hutan Payau di dekat pantai
sampai Hutan Pegunungan pada ketinggian 2000 m. Kelangsungan hidup Gajah
Sumatera makin terancam karena tingginya tekanan dan gangguan serta kurangnya
pengetahuan tentang bagaimana cara hidup gajah di habitat aslinya yang dibutuhkan
sebagai acuan pengelolaan populasi alami. Pada dasarnya gajah sangat selektif dalam
memilih habitatnya, karena gajah merupakan salah satu hewan yang memiliki
kepekaan. Pengetahuan ekologis tentang bagaimana strategi gajah menggunakan
habitat dan sumber daya masih sangat terbatas. Dalam mencukupi kebutuhan makan
dan menghindari terik matahari gajah selalu mempertimbangkan lokasi mencari makan
yang optimal yaitu menghabiskan waktu di hutan primer (terlindung) pada siang hari
dan keluar ke hutan bukaan (hutan skunder) pada saat panas matahari telah berkurang
untuk mencukupi kebutuhan makan hariannya (Soeriatmadja, 1982 : 4). Saat ini habitat
gajah yang diduga masih layak adalah Kawasan Ekosistem Seulawah. Melihat
karakteristik ekosistem Seulawah yang masih alami, maka perlu ditinjau faktor habitat
apa saja yang berpengaruh dalam pemilihan habitat oleh Gajah Sumatera (Elephas
maximus sumatranus). Namun akibat perambahan hutan kondisi lokasi habitat yang
sering digunakan gajah di Ekosistem Seulawah berubah serta termasuk daerah
perambahan hutan yang sangat tinggi. Ekosistem Seulawah memang dijadikan salah
satu tempat Kawasan Konservasi di Aceh. Oleh karena itu maka penulis berkeinginan
untuk menulis skripsi dengan judul: Karakteristik Habitat Gajah Sumatera (Elephas
maximus sumatranus) di Kawasan Ekosistem Seulawah Kabupaten Aceh Besar.

IV. FAKTOR PERUBAHAN POLA DISTRIBUSI


Masuknya Gajah Sumatera dalam daftar hewan punah disebabkan oleh aktivitas
pembalakan liar, penyusutan dan fragmentasi habitat, serta pembunuhan akibat konflik
dan perburuan. Perburuan biasanya hanya diambil gadingnya saja, sedangkan sisa
tubuhnya dibiarkan membusuk di lokasi. Pengembangan industri pulp dan kertas serta
industri kelapa sawit sebagai salah satu pemicu hilangnya habitat gajah di Sumatera,
mendorong terjadinya konflik manusia-satwa yang semakin hari kian memuncak.
Pohon-pohon sawit muda adalah makanan kesukaan gajah dan kerusakan yang
ditimbulkan gajah ini dapat menyebabkan terjadinya pembunuhan (umumnya dengan
peracunan) dan penangkapan.
Ratusan gajah mati atau hilang di seluruh Provinsi Riau sejak tahun 2000 sebagai
akibat berbagai penangkapan satwa besar yang sering dianggap ‘hama’ ini. Gajah juga

3
membutuhkan suasana yang aman dan nyaman agar perilaku kawin (breeding) tidak
terganggu dan proses reproduksinya dapat berjalan dengan baik. Gajah termasuk satwa
yang sangat peka terhadap bunyi-bunyian. Oleh karena itu, penebangan hutan yang
dilakukan oleh perusahaan HPHA diperkirakan telah mengganggu keamanan dan
kenyamanan gajah karena aktivitas pengusahaan dengan intensitas yang tinggi dan
penggunaan alat-alat berat di dalamnya.

V. POTENSI PERUBAHAN DISTRIBUSI DI MASA DEPAN


Beberapa tahun terakhir ini, perlindungan gajah sumatera menjadi masalah yang
serius. Salah satu penyebabnya adalah kematian gajah yang tinggi di Sumatera sejak
tahun 2012 dan kenaikan tingkat kematian tersebut signifikan. Untuk kasus Riau,
catatan kematian gajah tahun 2009 adalah 8 individu kematian gajah dan tahun 2012
meningkat mencapai 15 individu (hampir 100%) dan di tahun 2013 adalah 16 individu.
Tahun 2014, catatan terbaru pada tanggal 16 Februari 2014, 7 individu gajah mati di
wilayah Selatan Tesso Nilo, Riau. Meskipun hanya tinggal tulang belulang yang
ditemukan, tetapi masih adanya kematian gajah di Riau atau Sumatera secara
keseluruhan adalah potret buram bagi masa depan kelangsungan populasi Gajah
Sumatera.
Persoalan – persoalan laju perubahan bentang lahan yng tidak terselesaikan,
perambahan di dalam kawasan konservasi legal dan belum ada penanganan kematian
gajah terutama penegakan hukum, meskipun berbagai upaya dilakukan menjadi
penyebab bahwa populasi gajah sumatera di Riau dan Sumatera secara keseluruhan
dalam kondisi masa depan yang suram.

VI. DAFTAR PUSTAKA


Vidya TNC, Sukumar R. 2005. Social Organization of The Asian Elephant (Elephas
maximus) in Southern India Inferred from Microsatelite DNA. J. Ethology 23: 205-210.

Jajak M.D. 2004. Binatang-Binatang Yang Dilindungi. Jakarta: Progres.

Alikodra, H.S. 1990. Pengelolaan Satwaliar. Bogor: Departemen Pendidikan dan


Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Pusat Anatar Universitas Ilmu
Hayat Institute Pertanian Bogor.

Abdullah, D.N. Choesin dan A.Sjarmidi. 2005. Estimasi Daya Dukung Pakan
Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus Temmick) di Kawasan Hutan
Tessonilo. Bandung: Prov Riau. Jurnal Ekologi dan Biodiversitas ITB Vol.4 No.
2.(HAL.37-41)

Soeriatmadja, R.E. 1982. Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus). Jakarta:


Kantor Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup

Anda mungkin juga menyukai