Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN EKONOMI TEKNIK

PERANCANGAN PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA UAP


SUMATERA UTARA 2 x 150 MW

Disusun Oleh:
Rafi Satria Ramadhan 171724026
Ragil Aditya 171724027
Refo Akbar Imani 171724028
Ricky Rofi 171724029
Salsabila Azhaari 171724031
Sandy Taufik 171724032

Program Studi : D-IV Teknologi pembangkit tenaga listrik


Kelas : 2–C
Nama Instruktur / Dosen : Ir. Teguh Sasono, MT

TEKNIK KONVERSI ENERGI


POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Listrik merupakan salah satu faktor penting dalam penentuan kebutuhanmanusia. Kehidu
pan masyarakat dewasa ini sangat bergantung kepada sumber dayaenergi, salah satunya adalah e
nergi tenaga listrik. Keberadaan energi listrik sudahmerupakan sebuah keharusan sebagai pengge
rak roda kehidupan, termasuk roda perekonomian, pada sebuah bangsa untuk tetap bergerak dan
mengarah maju kedepan. Adapun ketergantungan akan ketersediaan energi yang satu ini semakin
harikian meningkat,mengingat keberlangsungan berbagai macam bentuk aktivitas sehari
hari di masyarakat maupun sektor industri.Bisa saja tanpa adanya energilistrik akan menghambat
hingga menghentikan aktivitas masyarakat yang berujung pada terhambatnya bahkan terhentiny
a roda kehidupan masyarakat. Ketersediaan tenaga listrik yang handal, aman, ramah lingkungan
danefisien dengan harga terjangkau merupakan faktor yang cukup penting dalammenunjang kehi
dupan masyarakat seharihari. Nyatanya, yang kita lihat beberapawaktu lalu ketersediaan tenaga li
strik, khususnya di pulau Jawa, beberapa kalimengalami masalah dikarenakan keterbatasan
supply
dibanding kebutuhan yangsemakin hari semakin meningkat.Seperti yang kita ketahui bahwa Indo
nesia merupakan negeri yang kayaakan sumber daya green energy
(meliputi matahari, angin, panas bumi dangelombang laut). Adapun wilayah Indonesia yang luas
serta penyebaran kebutuhan energi listrik yang terdesentralisasi di pulau-
pulau dan daerah terpencil membuatsumber daya ini menjadi salah satu pilihan inovasi yang men
arik untukdiimplementasikan sesuai dengan potensinya.
Tingginya kebutuhan energi listrik yang dibutuhkan masyarakat sejatinya tidak sejalan dengan
persebaran listrik yang tidak merata di Indonesia. Pada dasarnya persebaran penggunaan listrik
hanya menjangkau daerah perkotaan, sedangkan daerah pelosok tidak mendapatkan pasokan
listrik yang cukup. Basuki (2007) menyebutkan “Rasio elektrifikasi, Indonesia saat ini baru
mencapai angka 58%. Dengan jumlah penduduk 220 juta jiwa, berarti masih ada sekitar 105
juta penduduk yang tidak mendapat pelayanan energi listrik. Khusus di wilayah Jawa Barat
saja, masih ada sekitar 4 juta keluarga yang belum menikmati terangnya listrik di rumah
mereka. Faktor sulitnya akses serta rendahnya fleksibilitas pemasangan jaringan ke pelosok
terpencil adalah salah satu penyebabnya”. Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro atau dapat
disebut PLTMH didefenisikan oleh Damastuti (1997) sebagai energi terbarukan yang
memanfaatkan sumberdaya air sebagai penghasil energi dimana energi yang dihasilkan
tergolong pada energi skala kecil (kurang dari 200 kW). Dalam Potensi pembangunan PLTMH
juga masih sangat besar. Pemanfaatan PLTMH adalah sekitar 60 MW dimana potensi yang
mampu dihasilkan oleh kelistrikan tenaga air sekitar 7.500 MW dan 10 persen digunakan
sebagai PLTMH (Basuki, 2007).
Analisis PLTMH sangat berhubungan erat dengan debit aliran serta ketinggian jatuh air
pada suatu bendungan, saluran irigasi, sungai, dan air terjun. Potensi sumberdaya air di
Indonesia yang cukup melimpah sangat menguntungkan guna rencana pemasangan PLTMH.
Indonesia merupakan daerah yang tergolong pada iklim tropis basah dengan musim yang hanya
terdiri atas 2 (dua) macam yakni musim kemarau dan musim penghujan. Iklim tropis basah
memiliki karakteristik kelembaban udara yang relatif tinggi serta curah hujan yang tinggi setiap
tahunnya.
Curah hujan yang tinggi berkaitan erat dengan siklus air pada suatu daerah dimana kemudian
tidak termanfaatkannya air hujan dengan baik akan mempengaruhi nilai simpanan air tanah
dan debit aliran sungai pada suatu daerah. Semakin tinggi curah hujan maka akan semakin
banyak simpanan air tanah yang didapatkan dan semakin besar debit aliran sungai yang
dihasilkan dari akumulasi oleh aliran permukaan.
Analisis PLTMH dilakukan guna membangun lampu penerangan jalan umum (PJU) daerah
sekitar hal ini dikarenakan jalan umum adalah salah satu media berkendara yang digunakan
untuk berpindah dari lokasi satu dengan lokasi lainnya. Keberadaan jalan umum dapat
menghubungkan suatu kota dengan kota lainnya yang akhirnya akan berdampak pada kegiatan
perekonomian dan pengembangan wilayah tersebut. Infrastruktur dalam pendukung jalan
adalah lampu penerangan jalan umum (PJU). Lampu penerangan jalan merupakan wewenang
dan tanggung jawab dari pemerintah daerah (PEMDA) setempat.
Lampu penerangan jalan umumnya menggunakan lampu konvensional (lilin), bohlam dan
neon padahal penggunaan lampu hemat energi seperti lampu LED (light emitting diode) dapat
menghemat sekitar 70% penggunaan listrik. Pajak penerangan jalan (PPJ) sendiri merupakan
pajak yang dibayarkan oleh pelanggan (masyarakat) dalam penggunaan lampu penerangan
jalan kepada pihak PLN yang kemudian disalurkan kembali ke PEMDA setempat.
1.2 Tujuan
1. Untuk memenuhi kebutuhan akan energi listrik yang semakin meningkat pada wilayah
Jawa Barat khususnya.
2. Memenuhi pertumbuhan beban tenaga listrik per tahun.
3. Untuk mengetahui keuntungan yang didapat dari penyediaan tenaga listrik baik dari
tiap-tiap komponen maupun keseluruhan.
4. Untuk menentukan perencanaan proyek pembangkit yang akan dilaksanakan layak
atau tidak.
BAB II
SISTEM KELISTRIKAN

2.1 Pengembangan Kapasitas Pembangkit Tenaga Listrik


Pengembangan kapasitas pembangkit tenaga listrik diarahkan untuk memenuhi
pertumbuhan beban, dan pada beberapa wilayah tertentu diutamakan untuk memenuhi
kekurangan pasokan tenaga listrik. Pengembangan kapasitas pembangkit juga
dimaksudkan untuk meningkatkan keandalan pasokan yang diinginkan, dengan
mengutamakan pemanfaatan sumber energi setempat, terutama energi terbarukan.
Pengembangan kapasitas pembangkit tenaga listrik dilaksanakan sesuai dengan kebijakan
pemerintah, misalnya dalam pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT), serta
program 35.000 MW. Pengembangan pembangkit diupayakan secara optimal dengan
prinsip biaya penyediaan listrik terendah (least cost), dengan tetap memenuhi tingkat
keandalan yang wajar dalam industri tenaga listrik. Biaya penyediaan terendah dicapai
dengan meminimalkan net present value semua biaya penyediaan listrik yang terdiri dari
biaya investasi, biaya bahan bakar, biaya operasi dan pemeliharaan, dan biaya energy not
served6 . Tingkat keandalan sistem pembangkitan diukur dengan kriteria Loss of Load
Probability (LOLP)7 dan cadangan daya (reserve margin).
Pembangkit sewa dan excess power tidak diperhitungkan dalam membuat rencana
pengembangan kapasitas jangka panjang, namun dalam jangka pendek diperhitungkan
untuk menggambarkan upaya PLN dalam mengatasi kondisi krisis kelistrikan. Sejalan
dengan kebijakan Pemerintah untuk lebih banyak mengembangkan dan memanfaatkan
energi terbarukan, pengembangan proyek energi terbarukan seperti panas bumi, angin,
surya, biomass, sampah dan tenaga air tidak mengikuti kriteria least cost, sehingga dalam
proses perencanaan mereka diperlakukan sebagai fixed plant8 . Walaupun demikian,
pengembangan pembangkit energi terbarukan tetap memperhatikan keseimbangan
supply– demand dan status kesiapan pengembangan pembangkit tersebut. Kebutuhan
cadangan daya yang wajar dilihat dari kemampuan pembangkitpembangkit memasok
tenaga listrik secara terus-menerus sesuai kriteria perencanaan.
Berikut ini kondisi PLN KALTIM sampai dengan Juni 2015;

2.2. Pertumbuhan Beban Puncak


Pertumbuhan beban puncak di Kalimantan tumbuh relatif rendah. Perbaikan load
factor terjadi karena adanya kebijakan pembatasan penggunaan daya pada saat beban
puncak pada konsumen besar dan penerapan tarif multiguna untuk mengendalikan
pelanggan baru. Daya yang terpasang dan mampu pada suatu pembangkit ini harus mampu
untuk memenuhi ketika terjadinya beban puncak pada suatu daerah. Maka dari itu,
biasanya suatu pembangkit tersebut terpasang secara grid atau melalui jaringan yang
tersebar ke seluruh penjuru.
2.4. Lokasi
Pemilihan lokasi pembangkit dilakukan dengan mempertimbangkan ketersediaan
sumber energi primer setempat atau kemudahan pasokan energi primer, kedekatan
dengan pusat beban, prinsip regional balance¸ topologi jaringan transmisi yang
dikehendaki, kendala pada sistem transmisi10, dan kendala-kendala teknis,
lingkungan dan sosial11. Lokasi pembangkit yang tercantum dalam RUPTL
merupakan indikasi lokasi yang masih dapat berubah sesuai dengan perkembangan
dalam penyiapan proyek di lapangan. Pembangkit Pemikul Beban Puncak,
pemenuhan kebutuhan beban puncak sistem besar diupayakan tidak menggunakan
pembangkit berbahan bakar BBM, prioritas PLN hanya merencanakan pembangkit
beban puncak yang beroperasi dengan gas (LNG, mini LNG, CNG). Apabila ada
potensi hidro, PLN lebih mengutamakan pembangkit hidro, seperti pumped storage,
PLTA peaking dengan reservoir. BBM hanya direncanakan sebagai buffer untuk
mempercepat ketersediaan daya sebelum tersedianya energi primer lebih ekonomis.
Untuk sistem Jawa Barat sudah mulai mengenalkan PLTA dengan kelas kapasitas
cukup besar untuk mendapatkan efisiensi yang lebih baik daripada kapasitas yang ada
saat ini. Secara umum pemilihan lokasi pembangkit diupayakan untuk memenuhi
prinsip regional balance. Regional balance adalah situasi dimana kebutuhan listrik
suatu wilayah dipenuhi sebagian besar oleh pembangkit yang berada di wilayah
tersebut dan tidak banyak tergantung pada transfer daya dari wilayah lain melalui
saluran transmisi interkoneksi. Dengan prinsip ini, kebutuhan transmisi interkoneksi
antar wilayah akan minimal.
Namun demikian kebijakan regional balance ini tidak membatasi PLN dalam
mengembangkan pembangkit di suatu lokasi dan mengirim energinya ke pusat beban
melalui transmisi, sepanjang hal tersebut layak secara teknis dan ekonomis. Hal ini
tercermin dari adanya rencana untuk mengembangkan PLTA skala besar di Jawa
Barat dan menyalurkan sebagian besar energi listriknya ke pulau Jawa melalui
transmisi arus searah tegangan tinggi (high voltage direct current transmission atau
HVDC)14.
2.5. Pengembangan Transmisi
Pengembangan saluran transmisi dan GI secara umum diarahkan kepada
tercapainya keseimbangan antara kapasitas pembangkitan di sisi hulu dan permintaan
daya di sisi hilir secara efisien dengan memenuhi kriteria keandalan tertentu.
Disamping itu pengembangan saluran transmisi juga dimaksudkan sebagai usaha
untuk mengatasi bottleneck penyaluran, perbaikan tegangan pelayanan dan
fleksibilitas operasi. Proyek transmisi pada dasarnya dilaksanakan oleh PLN, kecuali
beberapa transmisi terkait dengan pembangkit milik IPP yang sesuai kontrak PPA
dilaksanakan oleh pengembang IPP dan proyek transmisi yang terkait dengan wilayah
usaha lain. Namun demikian, terbuka opsi proyek transmisi untuk juga dapat
dilaksanakan oleh swasta dengan skema bisnis tertentu, misalnya build lease transfer
(BLT)17 , power wheeling18 . Power wheeling bertujuan antara lain agar aset
jaringan transmisi dan distribusi sebagai salah satu aset bangsa dapat dimanfaatkan
secara optimal, peningkatan utilisasi jaringan transmisi atau distribusi sebagai salah
satu bentuk efisiensi pada lingkup nasional, mempercepat tambahan kapasitas
pembangkit nasional untuk menunjang pertumbuhan ekonomi nasional. Opsi tersebut
dibuka atas dasar pertimbangan keterbatasan kemampuan pendanaan investasi PLN
dan pertimbangan perusahaan swasta dapat lebih fleksibel dalam hal mengurus
perizinan.
Kebutuhan tanah mencakup wilayah yang luas. Mengingat banyaknya
kendala dalam proses pembebasan tanah serta fungsi transmisi sebagai infrastruktur
dari sistem tenaga listrik maka framework perencanaan kapasitas transmisi harus
melihat waktu yang lebih panjang dari jangka waktu RUPTL, yaitu sekitar 30 tahun.
Pada jaringan yang memasok kota besar direncanakan looping antar sub-sistem
dengan pola operasi terpisah untuk meningkatkan keandalan pasokan. Pada saluran
transmisi yang tidak memenuhi kriteria keandalan N–1 akan dilaksanakan
reconductoring dan uprating. Perluasan jaringan transmisi dari grid yang telah ada
untuk menjangkau sistem isolated yang masih dilayani PLTD BBM (grid extension)
dilaksanakan dengan mempertimbangkan aspek ekonomi dan teknis.
Penentuan lokasi GI dilakukan dengan mempertimbangkan keekonomian biaya
pembangunan fasilitas sistem transmisi tegangan tinggi, biaya pembebasan tanah,
biaya pembangunan fasilitas sistem distribusi tegangan menengah dan harus
disepakati bersama oleh unit pengelola sistem distribusi dan unit pengelola sistem
transmisi. Pemilihan teknologi seperti jenis menara transmisi, penggunaan tiang, jenis
saluran (saluran udara, kabel bawah tanah, kabel laut) dan perlengkapannya
(pemutus, pengukuran dan proteksi) mempertimbangkan aspek keekonomian jangka
panjang, dan pencapaian tingkat mutu pelayanan yang lebih baik, dengan memenuhi
standar nasional (SNI, SPLN) atau standar internasional yang berlaku.
2.6. Pengembangan Distribusi
Fokus pengembangan dan investasi sistem distribusi secara umum diarahkan
pada 4 hal, yaitu: perbaikan tegangan pelayanan, perbaikan SAIDI dan SAIFI,
penurunan susut teknis jaringan dan rehabilitasi jaringan yang tua. Kegiatan
berikutnya adalah investasi perluasan jaringan untuk melayani pertumbuhan dan
perbaikan sarana pelayanan.
Pemilihan teknologi seperti jenis tiang (beton, besi atau kayu), jenis saluran
(saluran udara, kabel bawah tanah), sistem jaringan (radial, loop atau spindle),
perlengkapan (menggunakan recloser atau tidak), termasuk penggunaan tegangan 66
kV sebagai saluran distribusi ke pelanggan besar masih perlu dikaji serta
implementasinya akan ditentukan oleh manajemen unit melalui analisis,
pertimbangan keekonomian jangka panjang dan pencapaian tingkat mutu pelayanan
yang lebih baik, dengan tetap memenuhi SNI atau SPLN yang berlaku. Dalam
RUPTL 2016-2025 ini, telah ada rencana penggunaan transformator 150/20 kV
dengan kapasitas 100 MVA pada daerah perkotaan yang padat, sehingga sisi instalasi
pada sistem distribusi perlu diantisipasi seperti kapasitas pemutus hubung singkat,
penambahan jalur keluar tegangan menengah dari gardu induk dan peralatan lainnya.
Dengan pemberlakuan Peraturan Menteri ESDM Nomor 17 Tahun 2013 tentang
Pembelian Tenaga Listrik oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dari
Pembangkit Listrik Tenaga Surya Fotovoltaik, Peraturan Menteri ESDM Nomor 19
Tahun 2015 tentang Pembelian Tenaga Listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Air
dengan Kapasitas sampai dengan 10 MW (Sepuluh Megawatt) oleh PT Perusahaan
Listrik Negara (Persero) dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 22 Tahun 2014 dan
Peraturan Menteri ESDM Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pembelian Tenaga Listrik
dari Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa dan Pembangkit Listrik Tenaga Biogas
oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), dimana banyak bermunculan pengajuan
pembangkit EBT dari pengembang yang terhubung pada sistem distrbusi, maka
pengembangan sistem distribusi perlu mengantisipasi dengan memperhatikan
pedoman penyambungan yang tertuang dalam Distribution Code sesuai dengan
DAFTAR PUSTAKA

Anugra , Denish Zuli. 2012.Siklus Uap PLTU . (Online)


http://www.lpkta.ft.ugm.ac.id/archives/507(Diakses pada Rabu, 17 Januari 2018 pukul 13.48)
Apriyahanda, Onny. 2013. (Online).
http://onnyapriyahanda.com(Diakses pada Rabu, 17 januari 2018 pukul 13.06)
Benefield, LD. 1982. Process Chemistry for Water and Wastewater Treatment . New Jersey : Prentice Hall, Inc.
Linsley, R. K. dan Franzini, J. B. 1979.Water Resource Engineering 3-rd Edition. New York: Mc GrawHill Book.
Reynold & Richards. 1995.Unit Operations and Processes in Environmental Engineering Second Edition. USA : ITP.
Soeharto, Iman. 1995. Manajemen Proyek dari Konseptual sampai Operasional .Jakarta : Erlangga.Sutrisno, C. dan Suciastuti, E. 1987.
Direktorat Perencanaan Korporat. 2016. Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2016-2025 (Sesuai Keputusan Menteri ESDM No.
5899 Tahun 2016 tanggal 10 Juni 2016). Jakarta : PLN.

Engineering Economy|11

Anda mungkin juga menyukai