Anda di halaman 1dari 11

Analisis Kasus Natuna

Indonesia-China (Terkait dengan


Pertahanan dan Keamanan
Negara)
Posted on MAY 8, 2016 by

Analisis Kasus
Wilayah Indonesia sendiri berbatasan dengan sejumlah negara lain. Wilayah lautnya
dikelilingi oleh 10 negara, yaitu India, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina,
Australia, Timor Leste, Palau, dan Papua Nugini. Sementara itu, wilayah daratnya
berbatasan langsung dengan tiga negara, yaitu Malaysia, Timor Leste, dan Papua
Nugini sepanjang 2914,1 km. Wilayah perbatasan laut dan darat tersebut tersebar ke
38 kabupaten/ kota di 12 provinsi.2 Panjangnya garis perbatasan dengan 10 negara
tetangga ini di satu sisi dapat menjadi potensi bagi kerja sama antarnegara, tetapi di
sisi lain dapat menjadi ancaman kedaulatan dan keamanan negara.

Salah satu bentuk potensi yang dapat berubah menjadi existential threat adalah masih
terdapatnya sejumlah segmen perbatasan yang belum selesai dibahas dan disepakati
dengan negara tetangga. Ancaman tersebut dapat berupa agresi, pelanggaran wilayah,
pemberontakan bersenjata, sabotase, spionase, aksi teror bersenjata, ancaman
keamanan laut dan udara, serta konflik komunal.
Masalah kedaulatan wilayah merupakan masalah sensitif. Tidak ada negara yang rela
kehilangan sejengkal wilayahnya. Karena itu, masalah perbatasan tidak didiamkan.
Masalah perbatasan berpotensi besar menimbulkan konflik. Hal ini sebisa mungkin
harus dihilangkan dengan menyelesaikan sengketa perbatasan. Hilangnya sengketa
perbatasan membuat kedaulatan lebih terjamin. Bagaimana menyelesaikannya?
Dibutuhkan upaya terkoordinasi dengan mekanisme lebih sederhana dan bisa diterima
semua pihak. Tanpa ini, penyelesaian masalah perbatasan sering butuh waktu lama.

Dengan dianggap pentingnya masalah perbatasan wilayah menjadikan organisasi


internasional membahasnya menjadi agenda bersama dan memberikan solusi
penyelesaian kasus perbatasan ini yakni ASEAN. Namun, dokumen-dokumen ASEAN
hanya sedikit menyinggung solusi soal sengketa wilayah. Ini menegaskan jalan menuju
komunitas ASEAN masih jauh. Di sisi lain, sebuah komunitas membutuhkan
”pengorbanan” setiap anggota dengan ”membagi” sebagian wilayah untuk dilebur ke
dalam suatu nilai-nilai bersama. Namun, ada pertanda baik. ASEAN sudah mulai
menyerap unsur-unsur kedaulatan itu menjadi suatu nilai bersama. Kemajuan lain,
prinsip non- interferensi (tidak boleh campur tangan) mulai ditembus. Akan tetapi, ada
keengganan menyentuh lebih dalam masalah sengketa perbatasan. Ini
mengindikasikan masih besarnya resistensi untuk melonggarkan urusan kedaulatan.
Dalam kasus Natuna yang diklaim secara sepihak oleh pemerintah China
mengindikasikan bahwa kekuatan dan pertahanan nasional dalam hal kedaulatan
Negara masih memiliki kekurangan dan celah yang bisa dimanfaatkan oleh Negara lain.
Disisi lain pemerintah China juga terlalu percaya diri dengan pengkklaiman yang
dilakukannya atas wilayah Natuna. Dimasukannya wilayah Natuna kedalam Zona
Ekonomi Eksklusifnya China memberikan masalah baru kepada Indonesia meskipun
kasus ini sudah lama bergulit. Kasus ini semakin membuat pemerintah Indonesia
geram yakni dengan adanya kapal China yang berlabuh dan memasuki wilayah laut
Indonesia tanpa izin. Serta beberapa kasus pencurian ikan yang dilakukan Negara ini
diatas perairan wilayah Indonesia.

Kasus yang berawal pada tahun 2009 ini menurut versi China, mereka memasukan
wilayah Natuna kedalam peta wilayah mereka didasarkan pada sembilan titik
garis/ nine dash line yang selama ini diklaim Tiongkok dan menandakan perbatasan
maritimnya. Namun dari Sembilan titik garis ini Indonesia tidak mengakuinya karena
menurut Indonesia hal itu tidak memiliki dasar hukum internasional apapun. Sembilan
titik imaginer itu sendiri merupakan salah satu penyebab munculnya konflik di wilayah
Laut China Selatan. Klaim ini memancing emosi sejumlah negara yang turut mengklaim
memiliki hak di wilayah yang jadi jalur perdagangan dunia itu. Usut punya usut, klaim
yang bikin repot enam negara ini dipicu kebijakan pemerintahan Partai Kuomintang
(kini berkuasa di Taiwan). Mazhab politik Kuomintang menafsirkan wilayah China
mencapai 90 persen Laut China Selatan.
Adalah tidak lengkap untuk memahami kebijakan maritim China saat ini bila tidak
mencoba mengetahui apa yang disebut “Nine-Dash Line”, karena hal ini sangat erat
kaitannya dengan klaim teritorial negara-negara lain yang terletak di kawasan Laut
China Selatan. Penetapan “sembilan garis terputus-putus” ini sebenarnya tidak dibuat
oleh pemerintah China yang sekarang, melainkan telah ada sejak tahun 1947, ketika
pemerintahan Koumintang berkuasa di daratan China yang mengklaim wilayah teritorial
yang mencakup hampir seluruh kawasan Laut China Selatan. Ketika itu klaim ini pada
dasarnya tidak ada pertimbangan politik dan strategik tertentu karena rezim yang
berkuasa pada saat itu sibuk membenahi keadaan paska pendudukan Jepang dan dan
juga sesudah itu terlibat dalam perang saudara dengan rezim komunis. Sepeninggal
Jepang, pemerintah Koumintang segera menerbitkan peta yang berisi 11 garis
terputus, sebagai klaim teritorial yang kenyataannya berlokasi jauh dari daratan China
mencakup seluruh perairan Laut China Selatan.

Sekalipun peta ini tidak memuat secara spesifik dan akurat mengenai batas-batasnya,
peta ini pun diadopsi oleh pemerintahan komunis yang mengambil alih kekuasaan dan
mendirikan negara People’s Republic of China (PRC) sejak tahun 1949. Sejak saat itu
peta ini dijadikan dasar klaim teritorial dan kebijakan politik pemerintahan Beijing
sampai pada era sekarang ini. Suatu perubahan dilakukan pada tahun 1953, yaitu
China menghapus dua garis sehingga tinggal sembilan, kemungkinan dijadikan sebagai
salah satu cara untuk menghindari atau meredakan ketegangan dengan Vietnam
sebagai negara tetangga dekat pada waktu itu.

Luas wilayah yang termasuk dalam batas sembilan garis terputus itu mencapai 3,5 juta
kilometer persegi, meliputi 90 persen luas keseluruhan Laut China Selatan. Peta laut
baru China pada awal diterbitkan, tidak mendapatkan penentangan ataupun protes dari
negara-negara sekawasan/ berbatasan, karena negara-negara tersebut sebahagian
besar sedang sibuk berjuang untuk kemerdekaan nasionalnya dari penjajah. Beijing
menganggap sikap diam dari negara-negara tetangga dan bahkan komunitas maritim
internasional, sebagai suatu pengakuan dan untuk mengimbanginya Beijing pun
bersikap diam agar tidak menimbulkan penentangan dari
manapun http://www.fkpmaritim.org/strategi-maritim-china-di-laut-china-selatan-
suatu-dilema/)
Dalam kasus ini, sebenarnya Indonesia berada diposisi yang kuat daripada China yang
hanya mendasarkan pada aturan nine dash line itu. Apalagi ditambah dengan polah
China yang selama ini kerap melanggar zona eksklusif perairan Indonesia, selain itu
juga dengan beberapa kali tersangkut masalah illegal fishing yang dilakukan oleh
masyarakat China terhadap perairan Indonesia dan kapal China yang masuk dalam
wilayah perairan Indonesia dan tanpa seizin dari pihak Indoensia dan tindakan ini jelas
melanggar UU ZEE No 5 Tahun 1983 kita khususnya dalam pasal 7. Dalam pasal ini
dijelaskan bahwa barangsiapa melakukan kegiatan di perairan wilayah Indonesia harus
mendapat persetujuan dari pemerintah Indonesia.

Dari insiden illegal fishing oleh kapal China berbuntut protes resmi dari pemerintah
Indonesia karena upaya penindakan yang hendak dilakukan oleh tim KKP dihalang-
halangi oleh kapal patroli milik badan keamanan laut (coastguard) Tiongkok. Kapal
penjaga pantai (coast guard) milik Angkatan Laut China nekat menerobos perbatasan.
Tak hanya itu, mereka juga menabrak dan menarik paksa kapal yang baru saja
ditangkap operasi gabungan Kementerian Kelautan dan Perikanan bersama TNI AL.
Akibat ulah dari kapal coast guard China yang menerabas wilayah perairan Natuna,
Indonesia ini belum usai. Hal ini membuat pemerintah Indonesia kini berencana
meningkatkan pengamanan wilayah perbatasan itu.

Dilihat dari segi ZEE (Zona Economy Exlucive) Pasal 3 UU ZEE No. 5 tahun 1983 ayat
(1) dijelaskan bahwa Apabila Zona Ekonomi Eksklusif Indo nesia tumpang tindih
dengan zona ekonomi eksklusif negara-negara yang antainya saling berhadapan
atau berdampingan dengan Indonesia, maka batas zona ekonomi eksklusif
antara Indonesia dan negara tersebut ditetapkan dengan persetujuan antara Republik
Indonesia dan negara yang bersangkutan. Dari segi ini maka sudah jelas tindakan yang
dilakukan oleh pemerintah Indoensia, yakni dengan tegas untuk menyelesaikan kasus
ini. Apalagi apabila dikaitkan dengan hak kedaulatan Negara. Dijelaskan pula dalam
Pasal (5) UU ini bahwa Dengan tidak mengurangi ketentuan ayat (1), eksplorasi
dan/atau eksploitasi sumber daya alam hayati harus mentaati ketentuan tentang
pengelolaan dan konservasi yang ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia.
Dengan adanya tindakan China yang melakukan illegal fishing—kasus ini masih
berhubungan dengan pengklaiman Natuna—maka sudah jelas bahwa China harus
mengikuti dan mematuhi segala aturan yang berlaku dalam pemerintahan Indonesia.

Sedangkan untuk masalah pengakuan pihak China mengenai nine dash line yang masih
dipertanyakan dan ditagih oleh pemeirntah Indonesia, sampai dengan tahun 2000,
China tidak pernah mengumumkan claim teritorialnya atas wilayah pulau-pulau dan
laut yang dibatasi oleh sembilan garis terputus tersebut, kecuali hanya membatasi
kedaulatannya atas kepulauan Spratley dan Paracel. Baru pada tahun 2009, secara
resmi China menyampaikan sebuah peta laut yang berisi garis batas berbentuk U dalam
bentuk Note Verbal kepada Komisi PBB tentang Batas-Batas Landas Kontinen.
Penetapan ini serta merta mendapat tentangan keras dari Vietnam, Philipina, Malaysia
dan Brunei Darussalam.
Dampaknya pada pertahanan kedaulatan wilayah Indonesia
Ketegangan sejumlah Negara di wilayah Kepulauan Natuna dimulai sejak China
mereklamasi dan memperluas pulau-pulau kecil Mischief Reef dan Pulau Subi sebagai
bagian dari Kepulauan Spratly di Laut China Selaatan. Kepulauan Natuna yang berada
di antara ujung barat laut indonesia di Kalimantasn dan ujung selatan Vietnam,
memiliki 270 pulau menjadi bagian Provinsi Kepelauan Riau dengan 70.000 penduduk.

Pengklaiman kepulauan Natuna terletak pada daerah perairan di sekitar kepulauan


yang berpotensi tumbang tindih pada batas garis imajiner Nine Dash Line yang
ditetapkan oleh China. Dalan kasus ini permasalahan bukan pada klaim kepulauannya
saja tapi pada perariran sekitar Kepulauan Natuna juga. Klaim ini akan berdampak
pada hak daulat pada wilayah kedaulatan Indonesia. Dengan Nine Dash Line yang tidak
jelas batasnya mengakibatkan timbulnya masalah atas hak berdaulat. Ketidakjelasalan
NDL ini berdampak pada hak daulat kawana ZEE.

Pada 12 November, China menhgejutkan Negara-negara di kawasan itu dengan


mengeluarkan pernyataan public mengenai status Kepulauan Natuna. Peenyataan
China ini mengagetkan, karena selama ini China tidak ingin menunjukkan
kelemahannya pada Negara-negara yang menantang klaim maritimnya di Laut China
Selatan. Kegagalan pemerintah China mengklarifikasi klaim Indonesia atas Kepulauan
Natuna termasuk ZEE-nya, terletak pada akar kecemasan yang dirasakan rakyat
Indonesia beberapa decade ini.

Akibat adanya kasus –lebih tepatnya sering—pengklaiman wilayah oleh Negara lain
memberikan kita pelajaran penting. Betapa penitngnya melindungi wilayah kedaulatan
engara kita. Bukan hanya yang ada dipusat Negara tetapi juga wilayah yang terluar dan
terdepan. Justru bagian-bagian wilayah inilah yang peru mendapat perhatian lebih dari
pemerintah untuk terus dijaga keutuhannya. Jangan sampai wilayah-wilayah ini diklaim
oleh Negara tetangga karena kita tidak pernah memanfaatkan dan menggunakan
wilayah tersebut sebagai penambah kesejahteraan rakyat atau bahkan Negara.

Tujuan Negara termaktub dalam alinea 4 Pembukaan UUD 1945, yakni

“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara
Republik Indonesia yangberkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhan Yang
Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan berasab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwa-kilan, serta
dengan mewujudkan suatu keadilan srosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Dalam peraturan lain juga dijelaskan bahwa dalam UU ZEE bahwa dijelaskan bahwa
lingkungan laut diperairan yang ebrada di bawah kedaulatan dan yuridiksi Republik
Indonesia harus dilindungi dan dilestarikan. Dalam ketentuan umum juga dijelaskan
bahwa perlindungan dan pelestarian lingkungan laut adalah segala upaya yang
bertujuan untuk emnjaga dan memelihara keutuhan ekosistem laut di Zona Ekonomi
EKsklusif Indonesia.

Dilihat dari bebrapa peraturan diatas yang mewajibkan Negara untuk melindungi
kedaulatan rakyat serta kedaulatan wilayah maka dapat disimpulkan bahwa betapa
pentingnya kedaulatan Negara untuk terus dijaga dan dilindungi. Pertanyaannya,
bagaimana kalau kedaulatan Negara tersebut dicoreng atau dicaplok oleh Negara lain?

Dari kasus pengklaiman Kepulauan Natuna oleh China, mengindikasikan beberapa opini
penulis. Pertama, kekuatan nasional kita masih rendah. Kedua, pemerintah Indonesia
menggampangkan masalah perbatasan. Ketiga, pemeirntah China yang memandang
rendah kekuatan nasional kita. Keempat, indonesia mempunyai kekuatan nasional yang
kuat, tetapi China mempunyai kartu As kita atau ada unsure politik didalamnya. Dan
yang terakhir pemerintah indonesia kurang tegas dalam menakut-nakuti dan memberi
peringatan kepada Negara-negara tetangga tentang batas terotorial Negara Indonesia.

Untuk opsi pertama, maka kita dapat beranggapan bahwa memang kekuatan nasional
kita belum secangggih Negara-negara maju. Opsi kedua, mungkin kita bisa menyetujui
pernyataan tersebut. Negara kita akan cenderung untuk mengurusi masalah-masalah
yang ada dipusat saja, sedangkan masalah atau wilayah yang berada di perbatasan
lebih dikesampingkan dan ditinggalkan tanpa adanya pengelolaan dari Negara. Oleh
karenanya, penduduk yang menduduki wilayah perbatasan tersebut beranggapan
bahwa mereka kurang mendapat pengakuan dan perhatian dari pemerintah, sehingga
mereka mencari perhatian dan pengakuan dari Negara lain. selain itu dengan didukung
oleh jarak yang lebih dekat dengan engara tetangga mereka lebih dekat dengan Negara
tetangga ketimbang dengan Negara nya sendiri. mereka merasa sing dengan
negaranya sendiri.

Dengan adanya pengklaiman ini sangat ebrakibat pada ketahanan dan keamanan
Negara kita. Ketahanan Negara akan terusik oleh adanya konflik ini. Selain itu Negara
kita akan dipandang lemah dan tidak mampu melindungi wilayahnya sendiri oleh
Negara-negara lain. dengan dipandang lemah tersebut, maka kemungkinan bahwa kita
selamnya akan dianggap rendah oleh Negara-negara lain. semakin berkurangnya
sedikit demi sedikit wilayah territorial kita juga menjadi salah satu dampak adanya
pengklaiamn wilayah. lebih ekstrim lagi, masyarakat Indoensia tidak akna percaya lagi
pada pemerintah karena kasus ini. Tujuan Negara yakni melindungi keutuhan NKRI
menjadi tersendat dan tidak berjalan sesuai rencana.

Sedang untuk masalah keamanan Negara, jelas hal ini akan berdampak. Dengan
adanya pengklaiman ini, dari penduduk Natuna sendiir pasti memiliki tekanan dan rasa
takut karena mereka menjadi subjek dari perebutan oleh Negara China. Selain itu,
mereka juga akan mempnyai tekanan batin dan takut, apabila sewaktu-waktu China
mengancam mereka untuk menyetujui mereka masuk ke wilayah China. Lebih luas lagi
dalam kawasan Negara, hal ini menjadi perhatian nasional. Dimana keamanan Negara,
karena kita terlalu berkutat pada masalah perbatasan ini, ditakutkan bahwa rakyat
semakin merasa tidak aman. Mereka akan mengira bahwa Negara tidak mampu
melindungi mereka dari pengaurh Negara lain khususnya dalam hal keamanan Negara.

Seperti yang diungkapkan oleh menteri luar negeri kita retno Pinasti bahwa pemerintah
Poin kedua dari protes Indonesia ke negeri Tirai Bambu itu, mengenai upaya yang
dilakukan oleh coast guard China untuk mencegah upaya penegakan hukum yang
dilakukan oleh otoritas Indonesia di wilayah ZEE dan landas kontinen. Di mana, salah
satu kapal coast guard China tiba-tiba mengejar Kapal Pengawas (KP) Hiu 11 milik
Indonesia dan kapal tangkapan KM Kway Fey 10078 China dengan kecepatan 25 knots.
Kapal cost guard itu justru menabrak kapal tangkapan hingga rusak. Akhirnya, petugas
meninggalkan kapal tangkapan tersebut demi keselamatan.
Indonesia menyampaikan tiga prots terhadap pemerintah China terkait kasus Natuna
“Pertama adalah mengenai masalah pelanggaran hak berdaulat dan yuridiksi Indonesia
di kawasan ZEE (Zona Eekonomi Ekslusif) dan landas kontinen,” jelas Retno, di Istana
Negara, Jakarta, Senin 21 Maret 2016.

Dengan melihat betapa seriusnya Negara dalam hal mempertahankan wilayah kita dan
menyelesaikan konflik ini, maka bisa disimpulkan bahwa dengan adanya pengklaiaman
wilayah Kepulauan Natuna ini berdampak sangat besar pada ketahanan dan keamanan
Negara. Selain itu yang terpenting adalah kedaulatan Negara yang dilanggar oleh
China. Dengan beraninya mereka melanggar kedaulatan Negara yang dapat
diasumsikan itu merupakan rumah atau kekuasaan Indoensia. Bisa dibayangkan
bagaimana kacaunya apabila suatu Negara wilayahnya diambil dan diklaim oleh Negara
tetangga yang itu merupakan sudah jelas miliknya Negara tersebut.

“Dan, yang ketiga adalah keberatan kita atau protes kita terhadap pelanggaran
kedaulatan laut teritorial Indonesia.

http://robicahyani.blog.uns.ac.id/2016/05/08/analisis-kasus-natuna-indonesia-china-terkait-dengan-pertahanan-dan-keamanan-
negara/

Perairan Natuna, 'Medan Tempur' Indonesia-China


Anggi Kusumadewi , CNN Indonesia | Senin, 20/06/2016 17:01 WIB

Bagikan :
Jakarta, CNN Indonesia -- Indonesia dan China kembali bersitegang. Optimisme yang dibawa
Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan sekembalinya
dari melawat ke China April lalu, bahwa Indonesia-China sepakat menurunkan tensi di perairan
Natuna, sirna seiring insiden terbaru antara kedua negara.

Hari ini, Senin (20/6), China melayangkan protes kepada pemerintah Indonesia atas aksi
penembakan terhadap kapal nelayan China di perairan Natuna. Negeri Tirai Bambu, meski
mengakui kedaulatan Indonesia atas Natuna, menyebut insiden terjadi di wilayah perairan yang
memiliki klaim tumpang-tindih.

Insiden bermula ketika Kapal Perang TNI Angkatan Laut (KRI) Imam Bonjol-383 yang sedang
berpatroli pada Jumat pekan lalu, 17 Juni, menerima laporan intai udara maritim bahwa ada 12
kapal ikan asing sedang mencuri ikan di Natuna.

KRI Imam Bonjol di bawah Komando Armada RI Kawasan Barat lantas bergerak mendekati kedua
belas kapal tersebut. Namun saat didekati, kapal-kapal itu kabur.

KRI Imam Bonjol pun memburu kapal-kapal tersebut dan melepas tembakan peringatan. Dari
sejumlah tembakan, satu mengenai kapal berbendera China dengan nomor lambung 19038.

Tembakan itu, menurut China, melukai satu nelayan mereka. Pemerintah China pun mendesak
Indonesia untuk tak mengambil tindakan yang dapat memperumit Indonesia.
Baca juga:
TNI AL Beber Kronologi Tembaki Kapal China di Natuna
Perairan Natuna di barat daya Kalimantan selama ini memang kerap menjadi ‘medan perang’
Indonesia dan China. Wilayah yang berhadapan dengan Laut China Selatan itu menyimpan catatan
deretan insiden antara kapal kedua negara.

Perang urat syaraf mengikuti tiap insiden yang terjadi. Hari ini misalnya, kala pemerintah China
melempar protes, Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Susi Pudjiastuti memuji sikap
tegas TNI AL menembak kapal China.

“Jalesveva Jayamahe,” kata Susi menyerukan slogan TNI AL melalui akun Twitter-nya. Bahasa
Sanskerta itu memiliki arti, “Di lautan kita jaya.”

“TNI AL sudah betul menjaga kedaulatan laut kita (Indonesia) beserta isinya. Penembakan itu pasti
sudah sesuai prosedur,” ujar Susi.

Mei lalu, Menteri Susi menegaskan sumber daya yang terkandung di Laut Natuna ialah milik
Indonesia. Oleh sebab itu pihak asing yang melanggar kedaulatan wilayah itu bakal ditindak tegas.

“Laut Natuna bukan milik kapal-kapal Thailand, Tiongkok, Vietnam, tapi milik kapal-kapal Indonesia,”
kata Susi.

Perairan Natuna yang berhadapan dengan Laut China Selatan yang menjadi sengketa sejumlah negara, membuat wilayah itu rawan.
(Wikimedia Commons/Holger Behr)

Nine-dashed line

Kemarahan Indonesia atas China soal perairan Natuna bukan hal baru. Ketegangan kedua negara
di wilayah itu meningkat sejak 2014. Kala itu China memasukkan sebagian perairan Natuna di Laut
China Selatan ke dalam peta teritorialnya yang dikenal dengan sebutan ‘sembilan garis putus-putus’
atau nine-dashed line.

Nine-dashed line yakni garis demarkasi atau garis batas pemisah yang digunakan pemerintah
Republik Rakyat China untuk mengklaim sebagian besar wilayah Laut China Selatan yang menjadi
sengketa sejumlah negara di Asia.

“China telah mengklaim dengan sewenang-wenang perairan Natuna sebagai wilayah teritorial
mereka, dan tidak transparan soal koordinat-koordinat yang dimasukkan ke peta mereka. Peta baru
itu bahkan telah tergambar dalam paspor-paspor baru warga China,” kata Marsekal Pertama Fahru
Zaini Isnanto yang saat itu menjabat Deputi Koordinator Doktrin dan Strategi Pertahanan Negara
Kemenkopolhukam, seperti dilansir Antara.

Fahru mengucapkan itu saat menyambangi Natuna. Sengketa Laut China Selatan yang
sesungguhnya tidak melibatkan Indonesia, ujarnya, akan berdampak luas terhadap keamanan
perairan Natuna yang masuk zona teritorial Indonesia.

China
membangun landasan pacu di Laut China Selatan. China ialah salah satu negara yang terlibat sengketa di wilayah itu. (REUTERS/CSIS
Asia Maritime Transparency Initiative/DigitalGlobe)

Sebulan kemudian, Jenderal Moeldoko, Panglima TNI kala itu, mengumumkan bahwa “Tentara
Nasional Indonesia memutuskan untuk meningkatkan kekuatannya di Natuna.”

Dalam tulisannya yang dimuat 28 April 2014 di The Wall Street Journal, Moeldoko mengatakan “TNI
perlu mempersiapkan pesawat tempurnya untuk menghadapi potensi meningkatnya ketegangan di
Natuna yang merupakan salah satu jalur perairan utama di dunia.”

Moeldoko blakblakan mengatakan Indonesia terganggu atas langkah China memasukkan sebagian
perairan Natuna ke dalam nine-dashed line. Menurut dia, itu sama artinya dengan “Menyatakan
sebagian Provinsi Kepulauan Riau masuk ke wilayah China.”

Indonesia kembali menegaskan posisinya atas Natuna pada Januari 2016. Menteri Luar Negeri
Retno Marsudi menyatakan kepemilikan Natuna tak bisa diganggu-gugat.

“Pulau-pulau terluar pada gugusan Natuna yang dijadikan titik dasar terluar wilayah Indonesia, telah
ditetapkan dalam Deklarasi Juanda 1957 dan didaftarkan di Perserikatan Bangsa-Bangsa pada
2009 sesuai Konvensi Hukum Laut 1982,” kata dia.

Klaim China

China, tiap bersitegang dengan Indonesia di Natuna, selalu berkata insiden terjadi di zona perikanan
tradisional mereka. Zona versi China itu tak diakui pemerintah Indonesia.

“Traditional fishing zone itu tak diakui dalam hukum internasional. Itu klaim sepihak China,” kata
Susi, Maret.

Indonesia hanya mengakui hak perikanan tradisional (traditional fishing rights) yang diatur dalam
Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea).

“Satu-satunya traditional fishing rights di Indonesia hanya dengan Malaysia, sedangkan zona
ekonomi eksklusif di perairan Natuna mutlak wilayah Indonesia, ” ujar Susi.

Hal senada dikatakan pakar hukum internasional Hasyim Djalal yang pagi tadi menyambangi kantor
Kemenkopolhukam. “Menurut Indonesia, China salah. Menurut China, perairan itu traditional fishing
ground mereka. Tapi tidak pernah ada kesepakatan soal itu dengan Indonesia.”

Seperti Susi, ia menyatakan TNI AL berhak mengambil tindakan di Natuna. “Indonesia


mempertahankan zona ekonomi eksklusifnya sesuai hukum internasional. Di situ (ZEE), Indonesia
punya kedaulatan atas kekayaan alamnya. Natuna itu wilayah kedaulatan Indonesia, dan karenanya
menurut hukum, Indonesia berhak atasnya.”
Baca juga:
TNI Tembaki Kapal China, Hasyim Djalal Tegaskan Natuna Hak RI
Kapal
China yang ditangkap TNI Angkatan Laut di perairan Natuna. (Dok. Dinas Penerangan TNI AL)

Indonesia dan China sesungguhnya sudah sempat “berjabat tangan” pascainsiden pada 19 Maret di
Natuna. Kala itu kapal penjaga perbatasan China menabrak KM Kway Fey yang hendak ditangkap
Kapal Patroli Hiu 11 Kementerian Kelautan dan Perikanan RI. Kway Fey diduga mencuri ikan di
Natuna.

Beberapa waktu setelah insiden terjadi dan memicu keberangan Menteri Susi, pemerintah China
menyambangi Indonesia, disusul oleh kunjungan balasan Menko Luhut ke China.

Sepulangnya dari China, Luhut menyatakan kedua negara sepakat menuntaskan masalah
perikanan di Laut China Selatan dengan menjalin kerja sama penangkapan dan pembuatan pabrik
ikan.

Kedua negara juga setuju untuk lebih menahan diri dalam menyikapi insiden. “Indonesia dan China
mendukung penyelesaian masalah dilakukan dengan jalan damai agar tidak menimbulkan
ketegangan kawasan,” kata Sekretaris Kabinet Pramono Anung.

Namun ucapan Luhut dan Pramono dua bulan lalu itu kini seakan ditelan angin. Indonesia dan
China kembali terlibat kemelut terbuka di Natuna.

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160620170157-20-139564/perairan-natuna-medan-tempur-indonesia-china/

Anda mungkin juga menyukai