Anda di halaman 1dari 11

REFERAT SEJARAH STOVIA

STOVIA merupakan sebuah museum kebangkitan nasional dan dulu dikenal sebagai

sebuah sekolah yang terletak di jalan Dr. Abdul Rahman Saleh No 26 Jakarta Pusat. STOVIA yang

merupakan singkatan dari School tot Opleiding van Indische Artsen yang apabila diterjemahkan

dalam bahasa indonesia dapat diartikan sebagai Sekolah Pendidikan Dokter Bumiputera. STOVIA

juga merupakan sebuah kampus yang melahirkan tokoh – tokoh pergerakan Indonesia seperti

Dr Sutomo, Tjipto Mangunkusomo, dan Wahidin Sudirohusodo.

Gambar 1. Museum School tot Opleiding van Indische Artsen

Awal mula terbentuknya STOVIA atau Sekolah Pendidikan Dokter Bumiputera

disebabkan karena adanya suatu wabah cacar yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia yaitu di

tahun 1558 wabah cacar air di Ternate, tahun 1564 wabah cacar air di ambon dan tahun 1828

wabah cacar air di Bali, kemudian juga pada tahun 1821 terjadi wabah kolera di jawa dan pada

tahun 1848 terjadi wabah tipus di Jawa. Karena terjadi wabah cacar air, kolera dan tipus pada

beberpa tahun hal ini menyebabkan Pemerintah Belanda mendatangkan dokter-dokter dari Eropa

untuk mengatasi kejadian ini tetapi karena tiap tahun kejadian ini terus terjadi dan menurut
pemerintah Belanda apabila mendatangkan dokter dari Eropa cukup memakan banyak biaya

sehingga terpikirkanlah untuk membentuk dan mendidik kaum pribumi yaitu rakyat Indonesia

untuk belajar dan bisa mengobati bangsanya sendiri tanpa harus membayar dan mendatangkan

dokter dari Eropa.

Menurut sejarah kedokteran di Indonesia momentum maupun peringatan lahirnya

pendidikan kedokteran di Indonesia yaitu pada tanggal 2 Januari 1849, yang terjadi lewat

Keputusan Gubernemen Nomor 22. Ketetapan itu menjadi titik awal penyelenggaraan pendidikan

kedokteran di Indonesia. Pendidikan itu dilangsungkan di Rumah Sakit Militer atau yang sekarang

dikenal dengan Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat. Dua tahun setelah keputusan itu, dibukalah

Sekolah Pendidikan Kedokteran di Weltevreden dengan lama waktu pendidikan yaitu dua tahun

dengan jumlah siswa 12 orang. Lulusan sekolah itu kemudian diberi gelar Dokter Djawa. Namun

sayangnya, walau diberi gelar dokter, lulusan sekolah itu hanya memiliki kewenangan seperti

mantri, dan diperkerjakan sebagai mantri cacar atau sebagai pembantu dokter di rumah sakit .

Gambar 2 Pelajar School tot Opleiding van Indische Artsen

Awalnya Sekolah Dokter Jawa terletak di dalam suatu bangunan, di mana bangunan

tersebut terletak dalam rumah sakit militer hal ini dikarenakan para pengajar juga bekerja sebagai
dokter di rumah sakit militer tersebut awalnya aktifitas belajar mengajar di rumah sakit tidak

menganggu namun lama kelamaan aktifitas belajar mengajar di rumah sakit menganggu

kenyamanan para pengunjung serta pasien di rumah sakit militer tersebut sehingga pemerintah dan

dewan pengajar mengambil keputusan untuk memisahkan bangunan Sekolah Dokter Jawa dengan

rumah sakit militer.

Kemudian pada tahun 1899 Seorang Belanda bernama HF Roll, yang saat itu menjabat

sebagai direktur Sekolah Dokter Jawa, lalu memberikan pendapatnnya kepada pemerintah Belanda

untuk mengadakan pendidikan kedokteran yang bisa diselenggarakan dengan pendidikan

kedokteran di Belanda.Perlu waktu 10 tahun bagi dokter-dokter Indonesia sebelum mereka

memperoleh wewenang agar bisa bekerja lebih dari sekadar Mantri Cacar. Selain itu pada tahun

1899 HF Roll mulai melaksanakan sebuah pembagunan gedung baru Sekolah Dokter Jawa yang

terletak di samping rumah sakit militer proses pembangunan gedung sekolah berlangsung cukup

lama dan proses pembangunan juga sempat terhenti karena biaya yang kurang untuk

pembangunan tetapi hal ini membuat HF Roll tetap bekerja keras untuk mencari biaya agar

Sekolah Dokter Jawa tetap ada. Dengan tekad HF Roll para pengusaha pengusaha perkebunan

memberikan bantuan untuk pembangunan gedung tersebut sehingga pada tahun 1901

pembangunan gedung Sekolah Dokter Jawa bisa terselesaikan. Pada tahun 1864, lama pendidikan

kedokteran diubah menjadi tiga tahun dan lulusan yang dihasilkan dapat menjadi dokter yang

berdiri sendiri, walau masih di bawah pengawasan dokter Belanda. Sekolah Dokter Jawa sendiri

memiliki aturan yang ketat dimana proses belajar mengajar berlangsung dari jam 07.00 sampai

jam 12.00 kemudian para pelajar diberi waktu istirahat selama 10 menit untuk pergi ke toilet dan

mempersiapkan buku pelajaran untuk jam berikutnya, selama pelajaran berlangsung para pelajar

dilarang untuk pergi ke toilet. Kemudian pada sore hari jam 17.00 para pelajar datang untuk belajar
mandiri. Umumnya setiap tahun jumlah pelajar di Sekolah Dokter Jawa akan berkurang hal ini

disebabkan apabila ada pelajar yang memiliki nilai di bawah 5 akan tidak dinaiikkan ke tingkatan

kelas selanjutnya dan mengulang dan apabila dalam mengulang pelajar tersebut tidak naik

umumnya pelajar akan diberhentikan dari sekolah. Pada tahun 1875 lama pendidikan yang harus

ditempuh di Sekolah Dokter Jawa menjadi 7 tahun yang dibagi atas 2 tahun sebagai waktu

persiapan diamana selama 2 tahun para pelajar diajarkan mengenai bahasa Belanda yang

merupakan bahasa pengantar dan 5 tahunnya merupakan waktu untuk menempuh pendidikan

kedokteran. Kemudian pada tahun 1898 didirikan sekolah pendidikan kedokteran yang disebut

STOVIA yang sebenarnya merupakan kelanjutan dari perkembangan dan pengembangan Sekolah

Dokter Jawa yang terus menerus mengalami perbaikan dan penyempurnaan di bidang kurikulum

dan dibidang nama. Sehingga Baru 20 tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1898, sekolah

pendidikan kedokteran yang sesungguhnya berdiri. Sekolah kedokteran itu disebut STOVIA yang

merupakan singkatan dari School tot Opleiding van Indische Artsen.

Gambar 3 Pelajar School tot Opleiding van Indische Artsen

Dalam perkembangannya, STOVIA menjadi lembaga yang mendidik dokter-dokter

Bumiputera (inlandsch arts) dan bukan hanya dokter Jawa. Sekolah ini mulai membuka
kesempatan bagi siapa saja tanpa memandang keturunan. Walau memang, untuk bersekolah di sini

dibutuhkan biaya sendiri. Untuk masuk ke STOVIA pun siswanya harus melalui ujian yang

ketat.Pada tahun 1902 tepatnya pada bulan maret gedung baru sekolah kedokteran STOVIA dibuka

di Hospitaalweng yang sekarang dikenal dengan Jalan Dr Abdul Rahman Saleh no 26 dan lama

pendidikan yang akan ditempuh yaitu 9 tahun. Pada tahun 1903, terjadi perubahan dalam sistem

penerimaan siswa baru STOVIA. Mereka mulai menerima siswa dari sekolah pribumi

(sebelumnya hanya menerima siswa tamatan sekolah Belanda).STOVIA juga kemudian

membebaskan siswa-siswanya dari kewajiban membayar. Bahkan, mahasiswanya mendapat alat-

alat kuliah dan seragam gratis. Siswa-siswa STOVIA juga menerima uang saku sebesar 15 gulden

per bulan. Pembebasan biaya itu membuka kemungkinan dari pemuda-pemuda golongan priayi

untuk belajar di STOVIA. Hal ini kemudian menghasilkan tokoh-tokoh bangsa dari kalangan

priayi, seperti Wahidin Sudirohusodo dan Tjipto Mangoenkoesomo. STOVIA sebagai lembaga

pendidikan 9 tahun baru menghasilkan Inlandsch Arts pada tahun 1909. Di masa itu, J. Noordhoek

sebagai Direktur pengganti H.F. Roll mendesak pembangunan gedung STOVIA yang baru di

samping rumah sakit besar di Salemba. Pembangunan juga dilakukan untuk memenuhi kekurangan

dokter yang dialami Hindia Belanda, terutama setelah pada tahun 1911 terjadi wabah pes di

beberapa daerah. Dari tahun ke tahun organisasi STOVIA terus mengalami pembaruan. Praktikum

dan alat pendukungnya diperbanyak. Jumlah guru spesialis dan pembantunya ditingkatkan terus,

seraya dibebaskan dari tugas kemiliteran. Gelar Inlandsch Arts diubah menjadi Indisch Arts

(Dokter Hindia). Lama pendidikan pun ditingkatkan menjadi 10 tahun lamanya. Di Surabaya,

sekolah dokter kedua dibangun dengan nama Nederlands Indische Artsen School (N.I.A.S.).

Sekolah ini memiliki sistem yang sama dengan STOVIA. Akhir tahun 1919 Rumah Sakit yang

baru selesai dibangun, namanya Centrale Burgerlijke Ziekeninrichting, di bawah pimpinan Dr.
Hulskoff. Rumah sakit ini digunakan sebagai tempat praktik siswa STOVIA. Pada tanggal 5 Juli

1920 seluruh pendidikan dipindahkan ke Salemba 6, satu bangunan yang sangat modern saat itu.

Tiap mata pelajaran memiliki ruangan kuliah dan kerja tersendiri yang cukup luas. Pada tahun

1925 Gedung STOVIA yang lama tidak lagi dimanfaatkan untuk kegiatan pembelajaran Sekolah

Kedokteran Bumiputera namun menjadi pendidikan untuk MULO (Setingkat SMP) dan AMS

(setingkat SMA) dan Sekolah Asisten Apoteker. Selama tahun 1923-1924 Indisch Arts yang

pertama lulus menyelesaikan pendidikan 10 tahun. Selama itu anak yang baru masuk pada bagian

persiapan tidak lagi diwajibkan mengikuti kontrak kerja setelah lulus kepada pemerintah. Buat

mereka yang kurang mampu akan disediakan beasiswa. Sistem kontrak hanya dipertahankan buat

mereka di bagian kedokteran. Itupun bisa dilepaskan setiap waktu asal lulusan bisa

mengembalikan biaya yang dikeluarkan buatnya, ditambah bunga yang wajar. Pada tahun Pada

tahun 1928, lama pendidikan yang harus ditempuh diubah menjadi 8,5 tahun dengan menghapus

bagian persiapan. 1926 perkumpulan Vereniging van lndische Artsen berubah namanya menjadi

Vereniging van lndonesische Geneeskundige (VIG).Menurut Prof Bahder Djohan yang pernah

menjadi sekretaris VIG selama 11 tahun (1928-1938), perubahan nama ini dengan landasan politik

yang menjelma dari timbulnya rasa nasionalisme (karena dokter pribumi dianggap sebagai dokter

kelas dua) sehingga membuat kata “Indische” menjadi “Indonesische” dalam VIG. Dengan

demikian, profesi dokter telah menimbulkan rasa kesatuan, atau paling tidak meletakkan sendi-

sendi rasa persatuan.Bahder Djohan mengatakan pula, “tujuan VIG ialah menyuarakan pendapat

dokter, dimana pada masa itu persoalan yang pokok ialah mempersamakan kedudukan antara

dokter-dokter pribumi dengan dokter Belanda dalam segi kualitasnya yang tidak kalah. Kongres

VIG tahun 1940 di Solo menugaskan pada Bahder Djohan untuk membina serta memikirkan

istilah-istilah baru dalam dunia kedokteran. Masa itu telah terkumpul 3000 istilah baru dalam dunia
kedokteran. Usaha-usaha VIG lainnya yang patut diketengahkan yakni peningkatan gaji (upah)

dokter-dokter “Melayu” agar mempunyai derajat yang sama dengan dokter Belanda, yang berhasil

mencapai 70% dari jumlah semula (50%). Selain itu, memberikan kesempatan dan pendidikan

bagi dokter “melayu” menjadi asisten dengan prioritas pertama. Pada tanggal 9 Agustus 1927

pendidikan dokter STOVIA resmi menjadi pendidikan tinggi dengan nama Geneeskundige Hooge

School.Untuk pendidikan dokter sampai Agustus 1927, syarat pendidikan sebelumnya adalah

setingkat SD dan setelah didirikan Geneeskundige Hoog School setingkat SMA. Geneeskundige

Hoogeschool dibuka di Jakarta. Siswa harus berasal dari HBS V dan AMS B dengan lama

pendidikan 7 tahun lulusan GHS bertitel “Arts” yang sederajat dengan lulusan dokter di Negeri

Belanda. STOVIA tidak lagi menerima calon-calon baru, sedangkan siswa yang duduk di tingkat

rendah diberi kesempatan pindah ke AMS atau ke NIAS Surabaya dan yang duduk di tingkat tinggi

dapat menyelesaikan studi di Jakarta, disamping HGS. Di masa dahulu dikenal 3 macam dokter

Indonesia, ada dokter Jawa keluaran sekolah dokter Jawa, ada Indische Arts keluaran Stovia dan

NIAS serta ada pula dokter lulusan Faculteit Medica Batvienis

Pada jaman pendudukan Jepang nama sekolah STOVIA diubah menjadi IKA DAI

GAKU.Dalam masa pendudukan Jepang (1943), VIG dibubarkan dan diganti menjadi Jawa Izi

Hooko Kai. Agustus, Barisan Pelopor yang dibentuk oleh sayap pemuda Jawa Hokokai (setelah

kemerdekaan berganti nama menjadi Barisan Benteng). Pada bulan Februari tahun 1946 setelah

kemerdekaan RI nama sekolah IKA DAIGAKU diubah menjadi nama Perguruan Tinggi

Kedokteran Republik Indonesia. Pada bulan Februari tahun 1947 yaitu pada jaman pendudukan

Belanda, oleh pemerintah Belanda diadakan juga kegiatan pendidikan kedokteran dengan

memakain nama Geneeskundige Faculteit, Nood-Universiteit van Indonesie. Disamping itu

pendidikan kedokteran pada Perguruan Tinggi Kedokteran Republik Indonesia tetap


dilaksanakan. 1948 Didirikan Perkumpulan Dokter Indonesia (PDI), yang dimotori kalangan

dokter-dokter muda di bawah pimpinan dr. Darma Setiawan Notohadmojo. Pendirian PDI

berdasarkan kehendak situasi dan tuntutan zaman yang berkembang pendapat-pendapat atau

tinjauan-tinjauan baru dalam suasana dan semangat yang baru pula pada waktu itu. Dengan

demikian PDI berfungsi pula sebagai badan perjuangan di daerah pendudukan Belanda.Hampir

bersamaan berkembang pula Persatuan Thabib Indonesia (Perthabin) cabang Yogya yang

dianggap sebagai kelanjutan VIG masa tersebut. Tidaklah mungkin bahwa Perthabin dan PDI

sekaligus merupakan wadah dokter di Indonesia, maka dicapai mufakat antara Perthabin dan

Dewan Pimpinan PDI untuk mendirikan suatu perhimpunan dokter baru. Dr. Soeharto berpendapat

bahwa perkumpulan dokter yang ada sejak 1911 telah rusak di zaman kependudukan Jepang. Lagi

pula organisasi yang bernama Jawa Izi Hooko Kai hanya terbatas di Pulau Jawa saja. la menilai

juga bahwa perkumpulan tersebut tidak bekerja dan berfungsi dan hanya sebagai penyalur politik

Jepang. Dasar pemikiran inilah digunakan untuk mendirikan suatu perkumpulan dokter baru yang

sesuai dengan alam pikiran dan jiwa kemerdekaan serta sesuai dengan indentitas kita, yakni

persatuan. Diharapkan perkumpulan kedokteran tersebut dapat menjadi semacam perkumpulan

persatuan. Pada tanggal 2 Februari tahun 1950 setelah penyerahan kedaulatan kepada Pemerintah

Republik Indonesia kedua jenis institusi pendidikan kedokteran tersebut, yaitu Perguruan Tinggi

Kedokteran Republik Indonesia dan Geneeskundige Faculteit, Nood Universiteit van

Indonesie, digabung dan disatukan dengan memakai memakai nama Fakultas Kedokteran

UniversitasIndonesia.
Gambar 4 Organisasi Boedi Oetomo

Pada tahun 1908 tepatnya pada tanggal 20 Mei, pada pukul 09.00 pagi bertempat di salah

satu ruang belajar di gedung STOVIA, Soetomo mengemukakan dan menjelaskan gagasannya.

Dimana Soetomo berusaha untuk menggugah hati hadirin dan menyatakan bahwa hari depan bagsa

dan tanah air ada di tangan mereka. Maka pada saat itu lahirlah suatu perkumpulan yang dikenal

dengan Boedi Oetomo. Umumnya perkumpulan Boedi Oetomo terdiri dari para pelajar sehingga

pada saat itu mereka menyadari bahwa tugas mereka sebagai mahasiswa kedokteran masih banyak

untuk dilakukan sehingga mereka berpendapat bahwa kauh tualah yang harus memimpin

organisasi Boedi Oetomo ini dan para pemuda akan bertidak sebagai motor yang akan bergerak

menjalankan oraganisasi Boedi Oetomo ini agar bisa maju. Boedi Oetomo didirikam di antara para

mahasiswa suku Jawa kelas atas di Jawa termasuk dr,Sutomo dan dr.Tjipto Mangunkusumo. Pada

bulan oktober Boedi Oetomo mengadakan kongres di Yogyakarta. STOVIA sempat dianggap

sebagai sekolah untuk orang miskin. Para putra-putra priayi kalangan tinggi tidak ingin masuk ke

sekolah tersebut. Masuk STOVIA bukan hal mudah, mereka harus melewati ujian yang sulit dan

ketat. Mahasiswanya juga wajib belajar sangat keras.Inilah yang kemudian membuat banyak

mahasiswa STOVIA berasal dari keluarga-keluarga kurang mampu. Namun justru, anak-anak dari

kalangan miskin inilah muncul tokoh-tokoh Indonesia yang militan, baik sebagai dokter maupun
sebagai pejuang. Salah satu faktor yang mendorong munculnya para pejuang yang nantinya

menjadi tokoh nasional Indonesia itu adalah lokasi STOVIA itu sendiri. STOVIA berada di

Weltevreder, pusat Kota Batavia, yang juga pusat kegiatan politik, ekonomi, dan kebudayaan.

Tempat ini juga menjadi tempat berkumpulnya kaum intelektual untuk berinteraksi dan bertukar

pikiran. Para pelajar STOVIA yang kebanyakan berasal dari kota-kota kecil mulai mendapat

dorongan intelektual dari lingkungan sekolahnya. Batavia juga jadi kediaman kelompok

intelektual nonpribumi, yang kemudian memengaruhi pola pikir mahasiswa STOVIA. Tempat

yang paling disenangi sebagian besar pelajar STOVIA adalah perpustakaan milik Douwes Dekker,

seorang Indo yang sangat mendukung politik etis. Dekker tinggal di dekat STOVIA.Bagi sebagian

pelajar STOVIA, keberadaan Dekker memiliki arti penting. Dia adalah seorang intelektual yang

rumahnya selalu terbuka sebagai tempat pertemuan, memiliki ruang baca, dan perpustakaan.

Douwes Dekker juga yang menginspirasi pelajar-pelajar STOVIA, seperti Tjipto

Mangoenkoesoemo, Goenawan Mangoenkoesoemo, Surjopranoto, serta Tjokrodirdjo belajar

menuangkan gagasan mereka dalam surat kabar. Mereka juga belajar untuk menyuarakan pendapat

mereka dan semakin jeli melihat kondisi rakyat dan bangsanya. Semangat para pelajar STOVIA

untuk memperbaiki nasib bangsanya semakin kuat dengan kedatangan dr Wahidin Sudirohusodo

pada akhir tahun 1907. Dr Wahidin mengampanyekan pendidikan bagi kaum priayi dan

masyarakat kelas bawah.Mereka berpendapat, masyarakat perlu diberikan pendidikan karena

perluasan pengajaran akan menumbuhkan kesadaran kebangsaan. Gagasan dr Wahidin membuka

pikiran pelajar STOVIA dan menciptakan cita-cita baru.Cita-cita baru itulah yang kemudian

mendorong lahirnya suatu organisasi baru. Pada tanggal 20 Mei 1908, organisasi bernama Boedi

Oetomo dibentuk oleh para mahasiswa STOVIA tadi. Tujuannya adalah untuk memperjuangkan

nasib rakyat agar memiliki kehidupan yang pantas.

Anda mungkin juga menyukai