Anda di halaman 1dari 21

PROMOSI KESEHATAN MAHASISWA PRAKTIK KERJA PROFESI

APOTEKER (PKPA) PERIODE APRIL 2019 TENTANG


“OBAT-OBAT ANTI JAMUR”
DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH (RSUD) KOTA BANDUNG

Disusun oleh:

Agustin M. Bebari, S.Farm. Universitas Padjadjaran


Agustiani Masliyana., S.Farm. Universitas Padjadjaran
Fitrah Purnama, S.Farm. Universitas Jendral Achmad Yani

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


UNIVERSITAS PADJADJARAN
UNIVERSITAS JENDRAL ACHMAD YANI
BANDUNG
APRIL 2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Jamur merupakan salah satu penyebab infeksi pada penyakit kulit maupun
sistemis,dan banyak terjadi terutama di negara – negara yang beriklim tropis termasuk
indonesia. Iklim tropis dengan kelembaban udara yang tinggi di Indonesia sangat
mendukung pertumbuhan jamur. Banyaknya infeksi jamur juga didukung oleh masih
banyaknya masyarakat indonesia yang berada digaris kemiskinan sehingga masalah
kebersihan lingkungan, sanitasi, dan pola hidup sehat kurang menjadi perhatian dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat indonesia.
Jamur dapat menyebabkan infeksi antara lain Candida albicans dan
Trichopyton rubrum dan lain sebagainya. Oleh karena itu untuk membantu tubuh
mencegah mengatasi infeksi jamur dapat menggunakan obat-obat anti jamur
berdasarkan spesifikasi penyakit dan mekanisme obat anti jamur dan juga efektivitas
anti jamur yang bersifat fungistatik atau fungisidal, namun dibalik kegunaan dari obat
tersebut tentu ada efek sampingnya. Untuk itu perlu bahasan tentang hal ini untuk dapat
memberikan pengetahuan kepada masyarakat mengenai obat anti jamur ini. bagi
masyarakat awam belum tentu dapat memahami dan mempelajari dengan mudah
mengenai ilmu-ilmu kesehatan ataupun ilmu pengobatan. Informasi mengenai obat
pada masyarakat atau pasien merupakah salah satu hal yang penting untuk diketahui
oleh seseorang yang sedang menggunakan obat. karena, hal tersebut akan berdampak
pada proses penyembuhan seseorang. Informasi terkait obat yang harus diketahui oleh
seorang pasien yaitu mengenai nama obat dan kandungannya, khasiat obat, dosis obat
yang digunakan, cara penggunaan obat, serta efek samping dari obat itu sendiri.
Dengan mengetahui hal-hal tersebut, seseorang akan dapat mengkonsumsi obat secara
efektif dan dapat menjalani proses penyembuhan penyakit dengan benar (Kemenkes
RI, 2005).
1.2. Tujuan Kegiatan
Tujuan dari Promosi Kesehatan ini adalah untuk memperkenalkan kepada
masyarakat mengenai “Obat-Obat Anti Jamur” dan memberikan pengetahuan kepada
masyarakat mengenai informasi terkait obat anti jamur.

1.3. Manfaat Kegiatan


Manfaat dari Promosi Kesehatan yang diselenggarakan di Rumah Sakit Umum
Daerah Kota Bandung yaitu diharapkan masyarakat dapat lebih aktif lagi menggali
informasi terkait obat yang diterima atau yang akan digunakan.
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Materi Promosi Kesehatan


Jamur adalah organisme mikroskopis tanaman yang terdiri dari sel, seperti
cendawan, dan ragi. Beberapa jenis jamur dapat berkembang pada permukaan tubuh
yang bisa menyebabkan infeksi kulit, kuku, mulut atau vagina. Jamur yang paling
umum menyebabkan infeksi kulit adalah tinea. Contohnya, tinea pedis (athletes foot).
Infeksi umum lainnya yang ada pada mulut dan vagina yang disebabkan oleh Candida.
Candida merupakan ragi yang merupakan salah satu jenis jamur. Sejumlah Candida
umumnya tinggal di kulit. Obat jamur atau anti fungi atau disebut juga anti mikotik
yaitu obat yang digunakan untuk membunuh atau menghilangkan jamur.
Obat antijamur terdiri dari beberapa kelompok yaitu: kelompok polyene
(amfoterisin B, nistatin, natamisin), kelompok azol (ketokonazol, ekonazol,
klotrimazol, mikonazol, flukonazol, itrakonazol), allilamin (terbinafin), griseofulvin,
dan flusitosin.

2.2 Mengenal Macam – Macam Infeksi Jamur


Infeksi jamur dapat dibagi menjadi dua yaitu: infeksi jamur sistemik dan nfeksi
jamur topikal (dermatofit dan mukokutan)

2.3 Jenis dan Gejala Infeksi Jamur Kulit yang Perlu Diketahui
Berikut adalah jenis-jenis infeksi jamur kulit yang paling sering ditemukan:
a. Dermatofitosis (ringworm). Ruam pada kulit berbentuk lingkaran berwarna
kemerahan dan gatal. Warna merah di bagian tepi lebih jelas, terlihat seperti cincin,
dan berbatas tegas. Ringworm dapat menular, tetapi biasanya tidak menjadi parah.
Bisa terdapat di kulit kepala, wajah, leher, atau di bagian tubuh lainnya.
b. Tinea pedis atau kurap kaki (athlete’s foot). Gejalanya berupa kulit yang
mengelupas dan pecah-pecah di bagian kaki, terdapat kulit yang melepuh dan
berwarna merah, terasa gatal serta perih. Infeksi jamur ini banyak ditemukan pada
kaki olahragawan yang sering terbungkus oleh kaos kaki dan lembap. Umumnya
timbul pada sela-sela jari kaki.
c. Tinea cruris (jock itch). Tinea cruris muncul di bagian-bagian lipatan kulit yang
lemab dan hangat, misalnya bagian bokong, selangkangan, dan alat kelamin. Bagian
kulit yang terinfeksi akan tampak kemerahan dan gatal atau perih. Sering terjadi
pada pria usia remaja dan dewasa, atau orang yang sering mengenakan celana ketat.
d. Kandidiasis kulit. Infeksi ini disebabkan oleh jamur candida, dan dapat muncul di
bagian tubuh mana pun, tapi biasanya lebih mudah muncul di daerah yang hangat
dan lembap, seperti selangkangan dan ketiak. Kulit yang terinfeksi terlihat
kemerahan dan terasa gatal.

2.4 Mengenal Jenis – Jenis Obat Anti Jamur


1. Anti Jamur Krim
Digunakan untuk mengobati infeksi jamur pada kulit dan vagina. Antara lain:
ketoconazole, fenticonazole, miconazole, sulconazole, dan tioconazole.
2. Anti Jamur Peroral
Amphotericin dan nystatin dalam bentuk cairan dan lozenges. Obat-obatan ini
tidak terserap melalui usus ke dalam tubuh. Obat tersebut digunakan untuk
mengobati infeksi Candida pada mulut dan tenggorokan. Sedangkan, itraconazole,
fluconazole, ketoconazole, dan griseofulvin adalah obat dalam bentuk tablet yang
diserap ke dalam tubuh.
Obat ini digunakan untuk mengobati berbagai infeksi jamur. Penggunaannya
tergantung pada jenis infeksi yang ada. contohnya:
• Terbinafine umumnya digunakan untuk mengobati infeksi kuku yang biasanya
disebabkan oleh jenis jamur tinea.
• Fluconazole umumnya digunakan untuk mengobati jamur Vaginal. Juga dapat
digunakan untuk mengobati berbagai macam infeksi jamur pada tubuh.
3. Anti Jamur Injeksi
Amphotericin, flucytosine, itraconazole, voriconazole dan caspofungin adalah
obat-obatan anti jamur yang sering digunakan dalam injeksi.

2.5. Mengenal Obat Anti Jamur


2.5.1Anti Jamur Untuk Infeksi Sistemik
1. Amfoterisin B
Amfoterisin adalah salah satu obat anti jamur yang termasuk kedalam
golongan polyene. Obat ini biasa digunakan untuk membantu tubuh mengatasi
infeksi jamur serius. Amfoterisin A dan B adalah hasil fermentasi Streptomyces
nodosus, actinomyces yang ditemukan di tanah. 98 % campuran ini terdiri dari
amfoterisin B yang mempunyai aktivitas anti jamur. Kristal seperti jarum atau
prisma berwarna kuning jingga, tidak berbau dan tidak berasa. Amfoterisin
merupakan antijamur polien yang bersifat basa amfoter lemah, tidak larut dalam
air, tidak stabil, tidak tahan suhu diatas 37°C. Tetapi dapat bertahan sampai
berminggu-minggu pada suhu 4°C.
Amfoterisin bekerja dengan menyerang sel yang sedang tumbuh dan sel
matang. Aktifitas anti jamur nyata pada pH 6,0 – 7,5. Aktifitas anti jamur akan
berkurang pada pH yang lebih rendah. Amfoterisin bersifat fungistatik atau
fungisidal tergantung dengan dosis yang diberikan dan sensitivitas jamur yang
dipengaruhi.
Obat ini digunakan untuk pengobatan infeksi jamur seperti: Koksidiodo
mikosis, Parakoksidioides mikosis, Aspergilosis, Kromoblasto mikosis,
Kandidiosis, Maduro mikosis (misetoma) Mukor mikosis (fikomikosis).
Mekanisme kerja: Amfoterisin B bekerja dengan berikatan kuat dengan
ergosterol (sterol dominan pada fungi) yang terdapat pada membran sel jamur.
Ikatan ini akan menyebabkan membran sel bocor dan membentuk pori-pori
yang menyebabkan bahan-bahan esensial dari sel-sel jamur merembas keluar
sehingga terjadi kehilangan beberapa bahan intrasel dan mengakibatkan
kerusakan yang tetap pada sel. Efek lain pada membran sel jamur yaitu dapat
menimbulkan kerusakan oksidatif pada sel jamur. Salah satu penyebab efek
toksik yang ditimbulkan disebabkan oleh pengikatan kolesterol pada membran
sel hewan dan manusia. Resistensi terhadap amfoterisin B mungkin disebabkan
oleh terjadinya perubahan reseptor sterol pada membran sel.
Efek Samping: Demam, sakit kepala, mual, turun berat badan, muntah,
lemas, diare, nyeri otot dan sendi, kembung, nyeri ulu hati, gangguan ginjal
(termasuk hipokalemia, hipomagnesemia, kerusakan ginjal), kelainan darah,
gangguan irama jantung, gangguan saraf tepi, gangguan fungsi hati, nyeri dan
memar pada tempat suntikan.
a. Infus: kulit panas, keringatan, sakit kepala, demam, menggigil, lesu,
anoreksia, nyeri otot, flebitis, kejang dan penurunan faal ginjal.
b. 50% penderita yang mendapat dosis awal secara IV akan mengalami demam
dan menggigil.
c. Flebitis (-): menambahkan heparin 1000 unit ke dalam infus.
d. Asidosis tubuler ringan dan hipokalemia sering dijumpai: pemberian kalium.
e. Efek toksik terhadap ginjal dapat ditekan bila amfoterisin B diberikan
bersama flusitosin.
Peringatan: bila diberikan secara parenteral sering menimbulkan efek
samping (perlu pengawasan ketat dan uji dosis yang diperlukan) pemeriksaan
fungsi hati dan ginjal, hitung jenis sel darah dan pemeriksaan elektrolit plasma
(hindari penggunaan obat lain yang bersifat hepatotolsol seperti kortikosteroid
kecuali untuk mengendalikan radang); antineoplastik; penggantian tempat
suntikan yang terlalu sering (iritasi); infus yang cepat (resiko aritmia). Hati-hati
pada wanita hamil dan ibu menyusui.

2. Flusitosin
Flusitosin merupakan anti jamur sintetik yang berasal dari fluorinasi
pirimidin dan mempunyai persamaan struktur dengan fluorourasil dan
floksuridin. Obat ini berbentuk kristal putih tidak berbau, sedikit larut dalam air
tapi mudah larut dalam alkohol.
Spektrum antijamur flusitosin cukup sempit. Obat ini efektif untuk
pengobatan kriptokokosis kandidiasis, kromomikosis, tolulopsis dan
aspergilosis. Crytococus dan candida dapat menjadi resistem selama
pengobatan dengan funsitosin. 40-50% candida sudah resisten sejak semula
pada kadar 100 mg/ml flusitosin.
Flusitosin masuk kedalam sel jamur dengan bantuan sitosin deaminase
dan dalam sitoplasma akan bergabung RNA setelah mengalami deaminase
menjadi 5-fluorourasil dan fosforilasi. Sintesis protein sel jamur terganggu
akibat penghambatan lansung sintesis DNA oleh metabolit fluorourasil.
Keadaan ini tidak terjadi pada sel mamalia karena dalam tubuh mamalia
flusitosin tidak di rubah menjadi fluorourasil.
Untuk infeksi sistemik flusitosin kurang toksis dari pada amfoterisin B
dan obat ini dapat diberikan per oral, tetapi cepat menjadi resisten. Oleh sebab
itu pemakaian tunggal flusitosin hanya untuk infeksi cryptococcus
neorformans, beberapa spesies candida dan infeksi oleh kromoblastomikosis.
Untuk infeksi lain biasanya dikombinasikan dengan amfoterisin B misalnya
untuk meninitis oleh cryptococcus 100-150 mg/kg BB/ hari flusitosin
dikombinasikan dengan 0,3 mg/kg BB/hari amfoterisin B. Kombinasi ini
merupakan obat terpilih untuk infeksi dengan kromoblastomikosis. Obat ini
dapat juga dikombinasikan dengan itrakonazole.
Efek Samping: Flusitosin kurang toksik dibandingkan dengan amfoterisin
B, namun dapat menimbulkan anemia, leukopenia dan trombisitopenia
terutama pada pasien dengan kelainan hematologik yang sedang mendapat
pengobatan radiasi atau obat yang menekan fungsi sum-sum tulang dan pasien
dengan riwayat pemakaian obat tersebut. Efek sampingnya adalahm mual,
muntah, diare, dan eterokolitis yang hebat kira-kira 5% dari pasien mengalami
peninggian enzim SGOT dan SGPT hepatomegali dapat pula terjadi. Efek
samping ini akan hilang sendiri bila pengobata dihentikan gejala toksik ini lebih
sering terjadi pada pasien azotemia dan jelas mengikat bila kadar melampaui
100-125/ml. Kadang-kadang dapat pula terjadi sakit kepala, pusing, mengantuk
dan halusinasi. Flusitosin tidak bersifat nefrotoksik. Keamanan obat ini pada
kehamilan belum terbukti, sebaiknya tidak diberikan untuk wanita hamil.

3. Imidazole dan Triazole


Anti jamur golongan imidazole dan triazole mempunyai spektrum yang
luas. Kelompok imidazole terdiri atas ketokonazole, mikonazole dan
klorimazole. Sedangkan kelompok triazole meliputi intrapunazole, flukonazole
dan vorikunazole. Berikut ini akan dibahas golongan imidazole dan triazole
yang banyak digunakan sebagai anti jamur sistemik.
a. Ketokonazole
Ketokonazole merupakan turunan imidazole sintetik dengan struktur
mirip mikonazole dan klotrimazole obat ini bersifat liofilik dan larut dalam
air pada pH asam aktivitas anti jamur. Ketokonazole aktif sebagai anti jamur
baik sistemik maupun non sistemik efektif terhadap candida coccidioides
immitis, cyrptococcus neoformans, H. Capsulatum, B. Dermatitidis,
asperggilus sporthrik spp.
Ketokonazole terutama efektif untuk histoplasmosis paru, tulang,
sendi, dan jaringan lemak. Ketokonazole tidak di anjurkan untuk meningitis
kriptokokus karna pernetrasinya kurang baik tapi obat ini efektif untuk
kriptokokus nonmeningeal. Dan terbukti bermanfaat pula pada para
koksidiohidomikosis, beberapa untuk koksidiohidomikosis,
dermatomikosis, candidiasis (mukokutan vaginal dan oral) dengan adanya
intrakonazole yang lebih aman penggunaan ketokonazole ini sudah mulai
tergeser. Namun ketokonazole digunakan karena harganya yang murah.
Efek toksik ketokonazole lebih ringan dari amfoterisin B. Mual dan
muntah adalah efek samping yang paling sering dijumpai, keadaan ini akan
lebih ringan bila obat ditelan bersama makanan efek samping yang lebih
jarang ialah sakit kepala, fertigo, nyeri epigastrik, fotofobia, pruritus,
parestesia, gusi berdarah, erupsi kulit dan trombositopenia. Obat ini dapat
meningkatkan aktifitas enzim hati untuk sementara waktu dan kadang-
kadang dapat menimbulkan kerusakan hati. Frekuensi kerusakan hati yang
berat adalah sekitar 1: 10.000-15.000. hepatoksisitas yang berat lebih sering
dijumpai pada wanita berumur lebih dari 50 tahun. Yang menggunakan obat
ini untuk onikomikosis atau penggunaan lama. Ginekomastia dapat terjadi
pada sejumlah pasien pria dan dapat menyebabkan haid yang tidak teratur
pada sekitar 10% wanita. Hal ini disebabkan oleh efek perlambatan
ketokonazole terhadap biosintesis steroid melalui enzim yang terkait dengan
sitrokrom P450. Obat ini sebaiknya tidak diberikan pada wanita hamil. Pada
tikus dosis 80 mg/kg BB/ hari menyebabkan cacat pada jari fetus hewan coba
tersebut. Pemakaian pada wanita menyusui dsebaiknya juga dihindari karena
obat ini disekresikan dalam ASI.
b. Itrakonazole
Anti jamur sistemik turunan triazole ini erat hubungan nya dengan
ketokonazole. Obat ini dapat diberikan per oral dan IV. Aktivitas anti
jamurnya lebih lebar sedangkan efek samping yang ditimbulkan lebih kecil
dibandingkan ketokonazole. Itrakonazole tersedia dalam kapsule 100 mg,
dosis yang disarankan 200 mg sekali sehari. Itrakonazole juga tersedia dalam
suspensi 10 mg/ml dalam larutan IV 10 mg/ml dengan bioavailabilitas yang
lebih baik.
Sepuluh hingga 15 % pasien mengeluh mual atau muntah namun
pengobatan tidak perlu dihentikan. Kemerahan, pruritus, lesu, pusing, odema
kaki, parestesia, dan kehilangan libido pernah dilaporkan. Itrakonazol
memberikan hasil memuaskan untuk indikasi yang sama dengan
ketokonazol. Namun, itrakonazol juga memberikan efek terapi terhadap
aspergilosis di luar SSP.
Itrakonazole untuk mikosis dalam diberikan dengan dosis 2 x 200 mg
sehari yang diberikan bersama dengan makanan. Untuk onikomikosis
diberikan 1x 2oo mg sehari selama 12 minggu, atau dengan terapi berkala
yakni 2x 200 mg sehari selama 1 minggu, diikuti 3 minggu periode bebas
obat setiap bulannya. Lama pengobatannya biasanya 3 bulan. Infus diberikan
dalam 1 jam.
c. Flukonazole
Flukonazole adalah suatu fluorinated bis-striazole dengan khasiat
farmakologis yang baru. Obat ini diserap sempurna melalui saluran cerna
tanpa dipengaruhi adanya makanan ataupun keasaman lambung. Kadar
plasma setelah pemberian per oral sama dengan kadar plasma dengan
pemberian intra vena. Gangguan saluran cerna merupakan efek samping
yang paling banyak ditemukan. Pada pasien AIDS ditemukan urtikaria,
eosinofilia, sindroma stevens-johnson, gangguan fungsi hati yang
tersembunyi dan trombositopenia. Flukonazole berguna untuk mencegah
relaps meningitis yang disebabkan oleh cryphtococcus pada pasien AIDS
setelah pengobatan dengan amfoterisin B. Juga efektif untuk pengobatan
kandidiasis mulut dan tenggorokan pada pasien AIDS.
d. Vorikonazole
Obat ini adalah anti jamur baru golongan triazole yang di indikasikan
untuk aspergilosis sistemik dan infeksi jamur berat yang disebabkan oleh
scedosporium apiospermum dan fusarium sp. Obat ini juga mempunyai
efektifitas yang baik terhadap candida sp, cryphtococcus sp dan dermatopit
sp, termasuk untuk infeksi candida yang resisten terhadap flukonazole.
Pengobatan yang dimulai dengan pemberian IV ini, secepatnya harus
dialihkan ke pemberian oral >40 kg ialah 400 mg dan untuk pasien yang
berat nya <40 kg diberikan 200 mg. Dosis muat oral ini juga diberikan hanya
2 x dengan interval 12 jam.Untuk pasien dengan gangguan fungsi hati ringan
dan sedang (child-pugh kelas A atau B) diberikan dosis muat seperti biasa.
Efek samping terpenting dari obat ini ialah gangguan penglihatan sementara
berupa penglihatan kabur atau fotofobia yang terjadi sekitar 30 % pasien.
Efek samping lainnya ialah reaksi fotosensitivitas dan kenaikan kadar
transaminase serum yang bersifat sementara.
4. Ekinokandin
Ada 3 ekinokandin yang diterima utuk penggunaan klinik yakni
kaspofungin, micafungin dan anidulafungin. Ketiganya merupakan siklik-
lipopeptida dengan inti heksa-peptida.
Kaspofungin adalah anti jamur sistemik dari suatu kelas baru yang disebut
ekinokandin obat ini bekerja dengan menghambat sintesis beta (1,3) D-glukan,
suatu komponen esensial yang membentuk dinding sel jamur. Hambatan
tersebut menyebabkan kerusakan integritas dinding sel jamur, instabilitas
osmotik dan kematian sel tersebut. Indikasi: Kandidiasis infasif, termasuk
kandidemia pada pasien neotropenia atau non neutropenia; Kandidiasi
esophagus; Kandidiasis orofaring; Aspergiolosis infasif yang sudah refrakter
terhadap antijamur lainnya. Mikafungin juga digunakan untuk profilaksis
terhadap infeksi candida pada penderita yang mendapat terapi sel punca
hematopoetik. Indikasi anidulafungin sama dengan micafungin.
Pada pasien dewasa, obat ini diberikan pada hari pertama dengan dosis
tunggal 70 mg IV. Bila dilanjutkan dengan dosis tunggal 50 mg sehari pada
hari-hari berikutnya. Pengurangan dosis tidak diperlukan pada pasien dengan
insufisiensi ginjal atau pasien berusia lanjut. Pengobatan umumnya diberikan
selama 14 hari. Keamanan obat ini belum diketahui pada wanita hamil dan anak
berumur kurang dari 18 tahun.
Ekinokandin ditoleransi dengan baik. Sesekali terjadi gangguan
gastrointestinal, flebitis, reaksi hipersensitivitas dan flusing. Profil
keamanannta sebanding dengan flukonazol. Peningkatan enzim hati dapat
terjadi dalam kombinasi kaspofungin dengan siklosporin; kombinasi obat
tersebut harus dihindari. Dosis hanya perlu dikurangi pada gangguan hati yang
berat.
5. Terbinafin
Terbinafin merupakan suatu derifat alilamin sintetik dengan struktur
mirip naftitin obat ini digunakan untuk terapi dermatofitosis terutama
onikomikosis. Terbinafin diserap baik melalui saluran cerna tetapi
bioavailabilitasnya oralnya hanya 40% karena mengalami metabolisme lintas
pertama dihati. Terbinafin tidak aktif dan diekskresika di urin. Terbinafin tidak
boleh diberikan untuk pasien azotemia tau gagal hati karena dapat terjadi
peningkatan terbinafin yang sulit diperkirakan.
Terbinafin bersifat keratofilik dan fungisidal. Obat ini mempengaruhi
biosintesis ergosterol dinding sel jamur melalui penghambatan enzim skualen
epoksidase pada jamur dan bukan melalui penghambatan enzim sitokrom P450.
Efek samping terbinafin jarang terjadi, biasanya berupa gangguan salura cerna,
sakit kepala, atau rash. Pada wanita hamil, penggunaan obat ini termasuk
kategori B. Penggunaan terbinafine pada ibu menyusui sebaiknya dihindari.
Hingga saat ini, belum ada obat yang berinteraksi sacara signifikan dengan
terbinafine.

1.4.2 Anti Jamur Untuk Infeksi Dermatofit dan Mukokutan


1. Griseofulvin

Pada tahun 1946, Brian dkk. menemukan bahan yang menyebabkan susut dan
mengecilnya hifa yang disebut ebagai curling factor kemudian ternyata diketahui
bahwa bahan yang mereka isolasi dari penicillim janczewski adalah griseofulvin.
Griseofulvin in vitro efektif terhadap berbagai jenis jamur dermatofit seperti
Trichophyton, epidermohyton dan Microsporum. terhadap sel muda yang sedang
berkembang griseofulvin bersifat fungisidal. obat ini tidak efektif terhadap bakteri,
jamur lain dan ragi, Actinomyces dan nocardia.
Griseofulvin memberikan hasil yang baik terhadap penyakit jamur di kulit,
rambut dan kuku yang disebabkan oleh jamur yang sensitive. gejala pada kulit akan
berkurang dalam 48-96 jam setelah pengobatan dengan griseofulvin sedangkan
penyembuhan sempurna baru terjadi setelah beberapa minggu. biakan jamur menjadi
negative dalam 1-2 minggu tetapi pengobatan sebaiknya dilanjutkan sampai 3-4
minggu. infeksi pada telapak tangan dan telapak kaki lebih lambat beraksi, biakan di
sini baru negative setelah 2-4 minggu dan pengobatan membutuhkan waktu sekitar 4-
8 minggu.
Infeksi kuku tangan membutuhkan waktu 4-6 bulan sedangkan infeki kuku kaki
membutuhka waktu 6-12 bulan. Trichophyton rubrum dan trichophyton mentarovites
membutuhkan dosis yang lebih tinggi dari pada dosis biasa. pada keadaan yang disertai
hyperkeratosis perlu penambahan zat keratolitik. kandidiasis maupun tinea versi kolor
tidak dapat diobati dengan griseofulvin. Dosis sangat tinggi griseofulvin bersifat
karsiongenik dan teratogenik sehinga dematofitosis ringan tidak
perlu diberikan griseofulvin, cukup dengan pemberian preparat topical.
Griseofulvin kurang baik penyerapannya padda saluran cerna bagian atas
karena obat ini tidak larut dalam air. dosis oral 0,5 g haya akan menghasilkan kadar
plasma tertinggi kira-kira 1 ml setelah 4 jam. Preparat dalam bentuk yang lebih kecil
diserap lebih baik. Absorpsinya meningkat bila diberika bersamaan dengan makanan
berlemak.
Obat ini dimetabolisme di hati dan metabolit utamanya adalah 6-
metilgriseofulvin. waktu paruh obt ini kira-kira 24 jam, 50% dri dosis oral yang
diberikan dikeluarkan bersama urin dlam bentuk metabolit selama 5 hari. kulit yang
sakit mempunyai afinitas yang tinggi terhadap obat ini. Obat ini akan dihimpun dalam
sel pembentuk keratin, lalu muncul bersama sel yang baru berdiferensiasi, terikat kuat
dengan keratin seingga sel baru ini akan resisen terhadap serangan jamur. Keratinn
yang mengandung jamur akan terkelupas dan diganti oleh sel yang normal. Antibiotik
ini dapat ditemukan dalam lapisan tanduk 408 jam setelah pemberian per oral. Keringat
dan kehilangan cairan transepidermal memegang peranan penting dalam penyebaran
obat ini pada stratum korneum, kadar yang ditemukan dalam cairan dan jarngan tubuh
lainnya kecil sekali.
Efek samping yang berat jarang timbul akibt pemakaian griseofulvin.
leucopenia dan graulositopenia dapat terjadi pada pemakaian dosis besar dalam waktu
lama. karena itu sebaiknya dilakukan pemeriksaan darah yang teratur selama
pemakaian obat ini. sakit kepala merupakan keluhan utama, terjadi kira-kira pada 15
% pasien, yang akan hilang sendiri sekalipun pemakaian obat dilanjutkan. efek
samping lainnya seperti artralgia, neuritis perifer, demam, pandangan kabur, insomnia,
berkurangnya fungsi motorik, pusing dan sinkop. pada saluran cerna dapat terjadi rasa
kering mulut, mual, muntah, diare dan flatulensi.
2. Imidazol dan Triazol

Anti jamur golongan imidazol mempunyai spectrum yang luas. karena sifat dan
penggunaannya praktis tidak berbeda, maka hanya mikonazol dan klotrimazol yang
akan dibahas.
i. Mikonazol

Mikonazol merupakan turunan imidazol sintetik yang relative stabil,


mempunyai spectrum anti jamur yang lebar terhadap jamur dermatofit.
Obat ini berbentuk Kristal putih, tidak berwarna dan tidak berbau, sebagian
kecil larut dalam air tapi lebih larut dalam pelarut organik.
Mikonazol menghambat aktivitas jamur trichphyton,
epidermophyton, microsporim, candida dan malassezia furfur. mikonazol
in vitro efektif terhadap beberapa kuman gram positif. Mekanisme krja obat
ini belum diketahui sepenuhnya. mikonazole masuk ke dalam se jamur dan
menyebabkan kerusakan dinding sel sehingga permeabilitas terhadap
berbagai zat intrasel meningkat. mungkin pula terjadi gangguan sintsis sel
jamur yang akan menyebabkan kerusakan. obat yang sudah menembus ke
dalam lapisan tanduk kulit akan menetap di sana sampai 4 hari. Mikonazol
topical diindikasikan untuk dermatofitosis, tinea versikolor dan kandidiasis
mukokutan. untuk dermatofitosis sedang atau berat yang menganai kulit
kepala, telapa dan kuku sebaiknya dipakai griseofulvin.
Efek samping berupa iritasi, rasa terbakar dan masersi memerlukan
penghentian terapi. sejumlah kecil mikonazol diserap melalui mukosa
vagina tapi belum ada laporan tentang efek samping pada bayi yang ibunya
mendapat mikonazol intravaginal pada waktu hamil, tetapi penggunaanya
pada kehamilan trimester pertama sebaiknya dihindari.
ii. Klotrimazol

Klotrimazol berbentuk bubuk tidak berwarna yang praktis tidak


larut dalam air, larut dalam alkohol dan kloroform, sedikit larut dalam eter.
Klotrimazol mempunyai efek anti jamur dan antibakteri dengan mekanisme
kerja mirip mikonazol dan secara topical digunakan untuk pengobatan tinea
pedis, kruris dan korporis yang disebabkan oleh T. rubrum, dan juga untuk
infeksi kulit dan vulvovaginitis yang disebabkan oleh C, albicanns. Obat
ini tersedia dalam bentuk cream dan larutan dengan kadar 1% untuk
dioleskan 2x sehari. cream vaginal 1% atu tablet vaginal 100 mg digunakan
sekali sehari pada malam hari selama 7 hari. tau tablet vaginal 500 mg, dosis
tunggal pada pemakaian topical dapat terjadi rasa terbakar, eritema, edema,
gatal dan urtikaria.
3. Tolnaftat dan Tolsiklat
a. Tolnaftat

Tolnaftat adalah suatu tiokarbamat yang efektif untuk pengobatan


sebagain besar dermatofitosis tapi tidak efektif terhadap kandida. Tolnaftat
tersedia dalam bentuk cream, gel, bubuk, caira aerosol atau larutan topical
dengan kadar 1%. Digunakan local 2-3 kali sehari. Rasa gatal akan hilang
dalam 24-72 jam. lesi interdigital oleh jamur yang rentan dapat sembuh
antara 7-21 hari. pada lesi dengan hyperkeratosis, toinaftat sebaiknya
diberikan bergantian dengan salep asam salisilat 10%.
ii. Tolsiklat
Tolsiklat merupakan anti jamur topical yang diturunkan dari
tiokarbamat. Namun karena spektrumnya yang sempit, anti jamur ini tidak
banyak digunakan lagi.
4. Nistatin

Nistatin merupakan suatu antibiotic polien yang dihasilkan oleh streptomyces


noursel. obat yang beruba bubuk warna kuning kemerahan ini bersifat higroskopis,
berbau khas, sukar larut dalam kloroform dan eter. larutannya mudah trraid alam air
atau plasma. sekalipun nistatin mempunyai struktu kima dan mekanisme kerja mirip
dengan amfoterisin B, nistatin lebih toksik sehingga tidak digunakan sebagai obat
sistemik. nistatin tidak diserap melalui saluran cerna, kulit maupun vagina.
Nistatin menghambat pertumbuhan berbagai jamur dan ragi tetapi tidak aktif
terhadap bakteri, protozoa dan virus. Nistatin hanya akan diikat oleh jamur atau ragi
yang sensitive. akfititas anti jamur tergantung dari adanya ikatan dengansterol pada
membrane sel jamur atau ragi terutama sekali ergosterol. Akibtnya terbentuknya iktan
antara sterol dengan antibiotic ini akan terjadi perubahan permeabilitias membrane sel
sehingga sel akan kehilangan berbagi molekul kecil.
Nistatin terutama digunakan untuk infeksi kandida di kulit, selaput lender dan
saluran cerna. paronikia, vaginitis dan kandidiasis oral dan saluran cerna cukup diobati
secara topikal. Kandidiasis di mulut, esophagus dan lambung biasanya merupakan
komplikasi dari penyakit darah yang ganas terutama komplikasi dari penyakit darah
yang ganas terutama pada pasien yang mendapat pengobatan imunosupresif. sebagian
besar inifeksi ini memberikan respon yang baik terhadap nistatin. Kandidiasis saluran
cerna jarang ditemukan, tetapi keadaan ini dapat merupakan penyebab timbulnya nyeri
perut dan diare.
Efek samping jarang ditemukan pada pemakaian nistatin. Mual, muntal dan
diare ringan mungkin didapatkan setelah pemakaian per oral. Iritasi kulit maupun
selaput ledir pada pemakaian topical belum pernah dilaporkan. Nistatin tidak
memempengaruhi bakteri, protozoa dan virus maka pemberian nistatin dengan dosis
tinggi tidak akan menimbulkan superinfeksi.

2.6 Mencegah Infeksi Jamur


Menjaga kebersihan kulit adalah kunci pencegahan infeksi jamur kulit,
khususnya bagi yang aktif bergerak, senang berolahraga, atau sering melakukan
aktivitas di luar ruangan. Berikut adalah hal-hal yang dapat dilakukan agar tidak
terserang infeksi jamur:
1. Jaga kebersihan kulit dan segera keringkan tubuh bila basah.
2. Jangan berbagi pakai handuk, pakaian, atau barang-barang pribadi.
3. Jaga kuku kaki tetap pendek, namun tidak terlalu pendek.
4. Jangan gunakan gunting kuku yang sama untuk kuku yang terinfeksi dan yang
tidak.
5. Kenakan alas kaki di tempat umum.
6. Jangan menggaruk area kulit yang terinfeksi.
7. Hindari mengenakan pakaian atau sepatu ketat.
8. Kenakan pakaian yang bersih untuk beraktivitas.
9. Segera cuci pakaian setelah digunakan.
10. Ganti pakaian dalam dan kaus kaki tiap selesai beraktivitas.
BAB III
RANCANGAN KEGIATAN

3.1 Topik Materi


Topik materi promosi kesehatan adalah “Obat-obat Anti Jamur”
3.2 Tujuan
Adapun tujuan dari pelaksanaan kegiatan ini adalah:
a. Memberi edukasi kepada masyarakat terkait penggunaan obat-obat Anti Jamur.
b. Meningktkan keaktifan masyarakat dalam mencari informasi terkait obat-obat
Anti Jamur.
c. Mengenalkan profesi apoteker sebagai penyedia informasi terkait obat.
3.3 Tempat dan Waktu
Promosi kesehatan dilakukan di Ruang tunggu Instalasi Farmasi Rawat Jalan
RSUD Kota Bandung pada hari Jumat 3 April 2019 pukul 09.45 – 10.50 (65
menit).
3.4 Sasaran
Sasaran promosi kesehatan adalah pasien dan keluarga pasien di ruang tunggu
Instalasi Farmasi Rawat Jalan RSUD Kota Bandung
3.5 Metode
Materi disampaikan melalui metode ceramah, simulasi dan diakhiri dengan diskusi
dan tanya jawab.
3.6 Pokok Bahasan
Adapun bahasan dalam kegiatan promosi kesehatan ini meliputi:
a. Pentingnya mengetahui bahaya infeksi jamur
b. Penyakit infeksi jamur
c. Jenis-jenis jamur yang menyebabkan infeksi
d. Pengobatan infeksi jamur
e. Cara mencegah infeksi jamur
3.7 Alat Bantu
Dalam kegiatan ini digunakan alat berupa layar, pointer, microphone, dan laptop.
3.8 Rundown Kegiatan

No Waktu Durasi Kegiatan

Pembukaan
 Perkenalan
 Menjelaskan maksud dan tujuan
1 09.45 – 09.55 10’ kegiatan
 Meminta partisipasi peserta dalam
kegiatan
 Membagikan leaflet
Penyampaian materi
2 09.55 – 10.25 30’  Pemateri menyampaikan materi
 Peserta menyimak
Sesi diskusi dan tanya jawab antara
3 10.25 – 10.45 20’ pemateri dan peserta

Penutupan
4 10.45 – 10.50 5’  Simpulan
 Menutup kegiatan
DAFTAR PUSTAKA

Anief, M., 1997, Formulasi Obat Topikal Dengan Dasar Penyakit Kulit, Gajah Mada
…….University Prees, Yogjakarta.
Brooks, G. F., Butel, J. S., Morse, S. A., 2007, Mikrobiologi Kedokteran, Edisi 23,
…….255, 655, 167-168, Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta.
Diterjemahkan oleh Hartanto, H., Rachman, C., Dimarti, A., Diani, A., Fakultas
…….Kedokteran Universitas Indonesia. 2016. Farmakologi dan Terapi. Edisi 6.
…….Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Gillespie, S. H., Bamford, K. B., 2009, At A Glance Mikrobiologi Medis Dan
…….Infeksi, 32-33, Erlangga, Jakarta.
Harahap, M., 2000, Ilmu Penyakit Kulit, 73, Hipocrates, Jakarta.
Jawetz, E., Melnick, J. L., Adelburg, E. A., 1991, Mikrobiologi untuk Profesi
…….Kesehatan (Review of Medical Microbiology), Edisi 16, 239-244, EGC,
…….Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta.
Neal, M.J. 2006. At a Glance Farmakologi Medis. Edisi Kelima. Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Nelwan, R. H. H., 2006, Pemakaian Antimikrobia Secara rasional di Klinik, Buku
…….Ajar Ilmu Penyakit dalam, Pusat Penerbitan departemen Ilmu Penyakit Dalam
…….FKUI Jakarta.
Pratiwi, S. T., 2008, Mikrobiologi Farmasi, 22, 38-39, 188-192, Erlangga, Jakarta.
Pelczar, M. J. Chan, E. C. S., 1988, Dasar-dasar Mikrobiologi, diterjemahkan oleh
…….Hadioetomo, R. S., Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.
Sukandar, E.Y., Retnosari, A., Josephhh I.S., I Ketut, A., Adji, P.S. & Kusnandar.
2008. ISO Farmakoterapi. Jakarta: PT. Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia
Penerbitan.
Setyabudy, R. dan Gan V. N. S., 1995, Pengantar Antimikrobiologi Dalam
…….Farmakologi dan Terapi, Edisi IV, F. Kedokteran Universitas Indonesia,
…….Jakarta, 571.
Tjay, T. H. dan Rahardja, K., 1986, Obat-obat penting khasiat, penggunaan dan efek
…….samping, Edisi IV, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai