Disusun oleh:
2.3 Jenis dan Gejala Infeksi Jamur Kulit yang Perlu Diketahui
Berikut adalah jenis-jenis infeksi jamur kulit yang paling sering ditemukan:
a. Dermatofitosis (ringworm). Ruam pada kulit berbentuk lingkaran berwarna
kemerahan dan gatal. Warna merah di bagian tepi lebih jelas, terlihat seperti cincin,
dan berbatas tegas. Ringworm dapat menular, tetapi biasanya tidak menjadi parah.
Bisa terdapat di kulit kepala, wajah, leher, atau di bagian tubuh lainnya.
b. Tinea pedis atau kurap kaki (athlete’s foot). Gejalanya berupa kulit yang
mengelupas dan pecah-pecah di bagian kaki, terdapat kulit yang melepuh dan
berwarna merah, terasa gatal serta perih. Infeksi jamur ini banyak ditemukan pada
kaki olahragawan yang sering terbungkus oleh kaos kaki dan lembap. Umumnya
timbul pada sela-sela jari kaki.
c. Tinea cruris (jock itch). Tinea cruris muncul di bagian-bagian lipatan kulit yang
lemab dan hangat, misalnya bagian bokong, selangkangan, dan alat kelamin. Bagian
kulit yang terinfeksi akan tampak kemerahan dan gatal atau perih. Sering terjadi
pada pria usia remaja dan dewasa, atau orang yang sering mengenakan celana ketat.
d. Kandidiasis kulit. Infeksi ini disebabkan oleh jamur candida, dan dapat muncul di
bagian tubuh mana pun, tapi biasanya lebih mudah muncul di daerah yang hangat
dan lembap, seperti selangkangan dan ketiak. Kulit yang terinfeksi terlihat
kemerahan dan terasa gatal.
2. Flusitosin
Flusitosin merupakan anti jamur sintetik yang berasal dari fluorinasi
pirimidin dan mempunyai persamaan struktur dengan fluorourasil dan
floksuridin. Obat ini berbentuk kristal putih tidak berbau, sedikit larut dalam air
tapi mudah larut dalam alkohol.
Spektrum antijamur flusitosin cukup sempit. Obat ini efektif untuk
pengobatan kriptokokosis kandidiasis, kromomikosis, tolulopsis dan
aspergilosis. Crytococus dan candida dapat menjadi resistem selama
pengobatan dengan funsitosin. 40-50% candida sudah resisten sejak semula
pada kadar 100 mg/ml flusitosin.
Flusitosin masuk kedalam sel jamur dengan bantuan sitosin deaminase
dan dalam sitoplasma akan bergabung RNA setelah mengalami deaminase
menjadi 5-fluorourasil dan fosforilasi. Sintesis protein sel jamur terganggu
akibat penghambatan lansung sintesis DNA oleh metabolit fluorourasil.
Keadaan ini tidak terjadi pada sel mamalia karena dalam tubuh mamalia
flusitosin tidak di rubah menjadi fluorourasil.
Untuk infeksi sistemik flusitosin kurang toksis dari pada amfoterisin B
dan obat ini dapat diberikan per oral, tetapi cepat menjadi resisten. Oleh sebab
itu pemakaian tunggal flusitosin hanya untuk infeksi cryptococcus
neorformans, beberapa spesies candida dan infeksi oleh kromoblastomikosis.
Untuk infeksi lain biasanya dikombinasikan dengan amfoterisin B misalnya
untuk meninitis oleh cryptococcus 100-150 mg/kg BB/ hari flusitosin
dikombinasikan dengan 0,3 mg/kg BB/hari amfoterisin B. Kombinasi ini
merupakan obat terpilih untuk infeksi dengan kromoblastomikosis. Obat ini
dapat juga dikombinasikan dengan itrakonazole.
Efek Samping: Flusitosin kurang toksik dibandingkan dengan amfoterisin
B, namun dapat menimbulkan anemia, leukopenia dan trombisitopenia
terutama pada pasien dengan kelainan hematologik yang sedang mendapat
pengobatan radiasi atau obat yang menekan fungsi sum-sum tulang dan pasien
dengan riwayat pemakaian obat tersebut. Efek sampingnya adalahm mual,
muntah, diare, dan eterokolitis yang hebat kira-kira 5% dari pasien mengalami
peninggian enzim SGOT dan SGPT hepatomegali dapat pula terjadi. Efek
samping ini akan hilang sendiri bila pengobata dihentikan gejala toksik ini lebih
sering terjadi pada pasien azotemia dan jelas mengikat bila kadar melampaui
100-125/ml. Kadang-kadang dapat pula terjadi sakit kepala, pusing, mengantuk
dan halusinasi. Flusitosin tidak bersifat nefrotoksik. Keamanan obat ini pada
kehamilan belum terbukti, sebaiknya tidak diberikan untuk wanita hamil.
Pada tahun 1946, Brian dkk. menemukan bahan yang menyebabkan susut dan
mengecilnya hifa yang disebut ebagai curling factor kemudian ternyata diketahui
bahwa bahan yang mereka isolasi dari penicillim janczewski adalah griseofulvin.
Griseofulvin in vitro efektif terhadap berbagai jenis jamur dermatofit seperti
Trichophyton, epidermohyton dan Microsporum. terhadap sel muda yang sedang
berkembang griseofulvin bersifat fungisidal. obat ini tidak efektif terhadap bakteri,
jamur lain dan ragi, Actinomyces dan nocardia.
Griseofulvin memberikan hasil yang baik terhadap penyakit jamur di kulit,
rambut dan kuku yang disebabkan oleh jamur yang sensitive. gejala pada kulit akan
berkurang dalam 48-96 jam setelah pengobatan dengan griseofulvin sedangkan
penyembuhan sempurna baru terjadi setelah beberapa minggu. biakan jamur menjadi
negative dalam 1-2 minggu tetapi pengobatan sebaiknya dilanjutkan sampai 3-4
minggu. infeksi pada telapak tangan dan telapak kaki lebih lambat beraksi, biakan di
sini baru negative setelah 2-4 minggu dan pengobatan membutuhkan waktu sekitar 4-
8 minggu.
Infeksi kuku tangan membutuhkan waktu 4-6 bulan sedangkan infeki kuku kaki
membutuhka waktu 6-12 bulan. Trichophyton rubrum dan trichophyton mentarovites
membutuhkan dosis yang lebih tinggi dari pada dosis biasa. pada keadaan yang disertai
hyperkeratosis perlu penambahan zat keratolitik. kandidiasis maupun tinea versi kolor
tidak dapat diobati dengan griseofulvin. Dosis sangat tinggi griseofulvin bersifat
karsiongenik dan teratogenik sehinga dematofitosis ringan tidak
perlu diberikan griseofulvin, cukup dengan pemberian preparat topical.
Griseofulvin kurang baik penyerapannya padda saluran cerna bagian atas
karena obat ini tidak larut dalam air. dosis oral 0,5 g haya akan menghasilkan kadar
plasma tertinggi kira-kira 1 ml setelah 4 jam. Preparat dalam bentuk yang lebih kecil
diserap lebih baik. Absorpsinya meningkat bila diberika bersamaan dengan makanan
berlemak.
Obat ini dimetabolisme di hati dan metabolit utamanya adalah 6-
metilgriseofulvin. waktu paruh obt ini kira-kira 24 jam, 50% dri dosis oral yang
diberikan dikeluarkan bersama urin dlam bentuk metabolit selama 5 hari. kulit yang
sakit mempunyai afinitas yang tinggi terhadap obat ini. Obat ini akan dihimpun dalam
sel pembentuk keratin, lalu muncul bersama sel yang baru berdiferensiasi, terikat kuat
dengan keratin seingga sel baru ini akan resisen terhadap serangan jamur. Keratinn
yang mengandung jamur akan terkelupas dan diganti oleh sel yang normal. Antibiotik
ini dapat ditemukan dalam lapisan tanduk 408 jam setelah pemberian per oral. Keringat
dan kehilangan cairan transepidermal memegang peranan penting dalam penyebaran
obat ini pada stratum korneum, kadar yang ditemukan dalam cairan dan jarngan tubuh
lainnya kecil sekali.
Efek samping yang berat jarang timbul akibt pemakaian griseofulvin.
leucopenia dan graulositopenia dapat terjadi pada pemakaian dosis besar dalam waktu
lama. karena itu sebaiknya dilakukan pemeriksaan darah yang teratur selama
pemakaian obat ini. sakit kepala merupakan keluhan utama, terjadi kira-kira pada 15
% pasien, yang akan hilang sendiri sekalipun pemakaian obat dilanjutkan. efek
samping lainnya seperti artralgia, neuritis perifer, demam, pandangan kabur, insomnia,
berkurangnya fungsi motorik, pusing dan sinkop. pada saluran cerna dapat terjadi rasa
kering mulut, mual, muntah, diare dan flatulensi.
2. Imidazol dan Triazol
Anti jamur golongan imidazol mempunyai spectrum yang luas. karena sifat dan
penggunaannya praktis tidak berbeda, maka hanya mikonazol dan klotrimazol yang
akan dibahas.
i. Mikonazol
Pembukaan
Perkenalan
Menjelaskan maksud dan tujuan
1 09.45 – 09.55 10’ kegiatan
Meminta partisipasi peserta dalam
kegiatan
Membagikan leaflet
Penyampaian materi
2 09.55 – 10.25 30’ Pemateri menyampaikan materi
Peserta menyimak
Sesi diskusi dan tanya jawab antara
3 10.25 – 10.45 20’ pemateri dan peserta
Penutupan
4 10.45 – 10.50 5’ Simpulan
Menutup kegiatan
DAFTAR PUSTAKA
Anief, M., 1997, Formulasi Obat Topikal Dengan Dasar Penyakit Kulit, Gajah Mada
…….University Prees, Yogjakarta.
Brooks, G. F., Butel, J. S., Morse, S. A., 2007, Mikrobiologi Kedokteran, Edisi 23,
…….255, 655, 167-168, Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta.
Diterjemahkan oleh Hartanto, H., Rachman, C., Dimarti, A., Diani, A., Fakultas
…….Kedokteran Universitas Indonesia. 2016. Farmakologi dan Terapi. Edisi 6.
…….Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Gillespie, S. H., Bamford, K. B., 2009, At A Glance Mikrobiologi Medis Dan
…….Infeksi, 32-33, Erlangga, Jakarta.
Harahap, M., 2000, Ilmu Penyakit Kulit, 73, Hipocrates, Jakarta.
Jawetz, E., Melnick, J. L., Adelburg, E. A., 1991, Mikrobiologi untuk Profesi
…….Kesehatan (Review of Medical Microbiology), Edisi 16, 239-244, EGC,
…….Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta.
Neal, M.J. 2006. At a Glance Farmakologi Medis. Edisi Kelima. Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Nelwan, R. H. H., 2006, Pemakaian Antimikrobia Secara rasional di Klinik, Buku
…….Ajar Ilmu Penyakit dalam, Pusat Penerbitan departemen Ilmu Penyakit Dalam
…….FKUI Jakarta.
Pratiwi, S. T., 2008, Mikrobiologi Farmasi, 22, 38-39, 188-192, Erlangga, Jakarta.
Pelczar, M. J. Chan, E. C. S., 1988, Dasar-dasar Mikrobiologi, diterjemahkan oleh
…….Hadioetomo, R. S., Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.
Sukandar, E.Y., Retnosari, A., Josephhh I.S., I Ketut, A., Adji, P.S. & Kusnandar.
2008. ISO Farmakoterapi. Jakarta: PT. Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia
Penerbitan.
Setyabudy, R. dan Gan V. N. S., 1995, Pengantar Antimikrobiologi Dalam
…….Farmakologi dan Terapi, Edisi IV, F. Kedokteran Universitas Indonesia,
…….Jakarta, 571.
Tjay, T. H. dan Rahardja, K., 1986, Obat-obat penting khasiat, penggunaan dan efek
…….samping, Edisi IV, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.