Anda di halaman 1dari 28

TUGAS PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER

RSUD KOTA BANDUNG


JAWABAN SOAL PRETEST APOTEKER

Disusun oleh:

Asti Destilia S., S.Farm. Universitas Padjadjaran


Desak Made Diah Dwi L., S.Farm. Universitas Padjadjaran
Siti Nuraeni Johari, S.Farm. Universitas Padjadjaran
Firda Rahmania Putri, S.Farm. Universitas Jendral A. Yani

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


UNIVERSITAS PADJADJARAN-UNIVERSITAS JENDRAL AHMAD YANI
BANDUNG
MARET 2019
A. UMUM
1. Apa yang dimaksud dengan yang tersebut dibawah ini, jelaskan kegunaanya
untuk keperluan farmasi klinik!

a. Onset
Onset adalah waktu yang dibutuhkan suatu obat untuk memengaruhi tubuh,
(Michael, 1983). Onset adalah waktu antara pemberian obat sampai timbulnya efek.
Kegunaan parameter onset yaitu untuk menentukan cara pemberian obat, karena
dapat mempengaruhi kecepatan absorpsi obat, sehingga berpengaruh juga terhadap
onset dan durasi (Anief, 2007).

b. Waktu puncak
Waktu puncak adalah waktu di mana obat mencapai konsentrasi tertinggi
dalam plasma. Setelah tubuh menyerap semakin banyak obat maka konsentrasinya di
dalam tubuh semakin meningkat sehingga mencapai konsentrasi puncak respon
(Noviani, 2017). Waktu puncak digunakan sebagai parameter untuk menunjukkan
kecepatan absorpsi, dan parameter ini lebih mudah diamati atau dikalkulasi daripada
Ka.
c. Waktu Paruh Eliminasi
Waktu paruh eliminasi adalah waktu yang dibutuhkan obat untuk tereliminasi
menjadi separuh dari harga awal. Besar kecilnya waktu paruh eliminasi sangat
menentukan lama kerja obat dan menjadi acuan untuk menentukan dosis pada
pemakaian berulang dalam terapi jangka panjang (Mutschler, 1999).
d. Volume Distribusi
Menurut Holford (1998), Volume Distribusi (Vd) adalah volume yang
didapatkan pada saat obat didistribusikan. Sedangkan menurut Batubara (2008),
volume distribusi (Vd) adalah volume perkiraan obat terlarut dan terdistribusi dalam
tubuh. Semakin besar nilai volume distribusi, semakin luas distribusinya. Vd
merupakan suatu parameter yang berguna untuk menilai jumlah relatif obat di luar
kompartemen sentral atau dalam jaringan (Shargel, 2005).
e. Durasi
Durasi kerja obat adalah lama waktu obat menghasilkan suatu efek terapi atau
efek farmakologis (Noviani, 2017). Parameter ini digunakan untuk bahan
pertimbangan pemberian obat di waktu berikutnya setelah durasi obat pertama habis
(Shargel,2005).
f. Bioavaibilitas oral
Bioavailabilitas adalah jumlah dan kecepatan obat yang diabsorpsi melalui
jalur pemberian tertentu masuk ke sirkulasi sistemik (Batubara, 2008). Untuk suatu
dosis intravena dari obat, bioavailabilitas adalah sama dengan satu (Holford, 2007),
atau dianggap 100% masuk ke dalam tubuh (Batubara, 2008). Untuk obat yang
diberikan peroral, bioavailabilitas dapat berkurang 100% karena absorpsi yang tidak
lengkap dan eliminasi first-pass (Holford, 2007). Sehingga bioavaibilitas dapat
digunakan dalam mengubah atau pengembangan bentuk sediaan obat untuk pasien
menjadi bentuk yang lebih mudah digunakan (Ansel, 2006).
g. Obat dengan window terapi sempit
Obat dengan indeksi terapi sempit merupakan obat-obat dengan batas
keamanan yang sempit. Pada obat dengan indeks terapi sempit, perubahan sejumlah
kecil dosis obat dapat menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan atau bahkan
efek toksik. Parameter ini digunakan untuk pengawasan pada level obat dalam plasma
dan penyesuaian dosis untuk mencegah timbulnya efek toksik (Kang dan Lee, 2009).
h. Clearance ginjal
Clearance adalah kecepatan obat dibersihkan dari dalam tubuh atau volume
plasma yang dibersihkan dari obat persatuan waktu (volume/waktu). Clearance ginjal
merupakan bersihan obat-obat yang tidak diubah melalui urin (Holford, 2007).
Kegunaan clearance ginjal adalah menentukan kebutuhan obat dan berapa kali dosis
harus diulang untuk mempertahankan kadar tertentu dalam serum.
2. Gambarkan diagram yang menggambarkan faktor-faktor yang mempengaruhi
respon pasien terhadap obat!
3. Jelaskan apa yang engkau ketahui tentang “Drug Related Problem
Drug Related Problems (DRPs) merupakan situasi tidak ingin dialami oleh
pasien yang disebabkan oleh terapi obat sehingga dapat berpotensi menimbulkan
masalah bagi keberhasilan penyembuhan yang dikehendaki. Suatu kejadian dapat
disebut DRPs bila memenuhi komponen-komponen. Komponen tersebut adalah
kejadian tidak diinginkan yang dialami pasien berupa keluhan medis, gejala,
diagnosis, penyakit, dan ketidakmampuan (disability) serta memiliki hubungan antara
kejadian tersebut dengan terapi obat dimana hubungan ini dapat berupa konsekuensi
dari terapi obat atau kejadian yang memerlukan terapi obat sebagai solusi maupun
preventif (Cipolle et al., 2004).
Pharmaceutical Care Network Europe (PCNE) mengklasifikasikan
permasalahan terkait obat yakni sebagai berikut:
a) Pemilihan obat
Masalah terkait pemilihan obat diantaranya yaitu obat yang tidak tepat
menurut pedoman / formularium, obat yang sesuai petunjuk tapi tidak diindikasikan,
tidak ada indikasi obat, kombinasi obat atau obat-obatan dan obat-obatan herbal yang
tidak tepat, duplikasi yang tidak tepat dari kelompok terapeutik atau bahan aktif, tidak
ada pengobatan obat meskipun ada indikasi, dan terlalu banyak obat yang diresepkan
untuk indikasi.
b) Pemilihan bentuk obat
c) Pemilihan dosis, dapat berupa dosis obat terlalu rendah, dosis obat terlalu
tinggi, rejimen dosis terlalu sering, dan instruksi waktu pemberian salah.
d) Durasi terapi, dapat berupa durasi terapi terlalu pendek atau panjang termasuk
ke dalam masalah yang berhubungan dengan durasi terapi.
e) Pemberian resep dan obat, dapat berupa obat yang diresepkan tidak tersedia,
informasi yang diperlukan tidak diberikan, salah obat, salah kekuatan atau
salah dosis yang disarankan, dan obat atau kekuatan yang salah diberikan.
f) Proses penggunaan obat, dapat berupa waktu pemberian dan / atau interval
dosis yang tidak tepat, pemberian obat yang kurang dikelola, pemberian obat
berlebih, obat tidak diberikan sama sekali, obat salah diberikan, dan obat
diberikan melalui jalur yang salah
g) Pasien dan kebiasaan pasien , dapat berupa pasien mengkonsumsi lebih sedikit
obat daripada yang ditentukan atau tidak minum obat sama sekali, pasien
menggunakan / mengkonsumsi lebih banyak obat daripada yang ditentukan,
penyalahgunaan obat oleh pasien (penggunaan berlebihan yang tidak diatur),
pasien menggunakan obat yang tidak perlu, pasien mengkonsumsi makanan
yang berinteraksi, pasien menyimpan obat secara tidak tepat, interval waktu
atau dosis yang tidak tepat, pasien mengelola / menggunakan obat dengan
cara yang salah, dan pasien tidak dapat menggunakan obat / bentuk sesuai
petunjuk termasuk ke dalam masalah yang berhubungan dengan pasien dan
kebiasaanya.

B. GAGAL JANTUNG
1. Dapatkah anda memberikan gambaran klinis yang terjadi pada gagal jantung kiri
dan kanan, dan mengapa itu terjadi?
Gagal jantung merupakan kondisi dimana jantung tidak lagi mampu memompa
pasokan darah yang memadai dalam kaitannya dengan aliran balik vena dan dalam
kaitannya dengan kebutuhan metabolisme jaringan tubuh pada saat itu. Semua bentuk
penyakit jantung dapat menyebabkan dekompensasi dan kegagalan. Gagal jantung
kiri mengacu pada kegagalan ventrikel kiri dan gejala dispnea saat aktivitas,
otropenea dan dispnea nokturnal paroksimal. Gejala dan tanda-tanda gagal jantung
kiri pada gagal jantung kiri meliputi:
a. Gejala
 Mudah kelelahan (non spesifik)
 Dispenea saat aktivitas
 Paroxysmal nocturnal dyspnea
 Ortopnea
 Batuk
 Nokturia
 Kebingungan
b. Tanda-tanda
 S3 gallop (temuan yang paling penting
 Takikardia, takipnea
 Tarif paru
 Peningkatan tekanan vena jugularis
 Desah
 Efusi pleura
Gagal jantung kanan mengacu pada kegagalan ventrikel kanan dengan distensi
vena leher dan edema bipedal. Penyebab paling serang dari gagal jantung kanan
adalah gagal jantung kiri. Gejala dan tanda-tanda gagal jantung kiri meliputi:
a. Gejala
 Gampang kelelahan
 Pembengkakan ekstremitas rendah
 Cepat kenyang
 Ketidaknyamanan kuadran kanan atas (karena pembesaran hati)
b. Tanda-tanda
 Peningkatan tekanan vena jugularis
 Pembesaran hati
 Asites
 Edema ekstrimitas bawah
(Rampengan, 2014).

Gagal jantung terjadi bila curah jantung tidak cukup untuk memberikan perfusi
yang adekuat ke jaringan, walaupun pengisian jantung berlangsung normal. hal
tersebut menyebabkan berbagai gejala seperti fatigue, edema, kesulitan bernapas dan
toleransi latihan yang menurun. Gagal ginjal kongesif biasa diartikan sebagai
kombinasi dari gagal jantung kanan dan kiri, menyebabkan kongesti paru dan edema
perifer. Penyebab gagal jantung termasuk hipertensi, penyakit katup kardiomiopati
dan yang paling sering adalah penyakit jantung koroner. Curah jantung yang rendah
pada gagal jantung menyebabkan aktivitas saraf simpatis meningkat, yang
menstimulasi frekuensi serta kekuatan denyut jantung dan mempertahankan tekanan
darah dengan meningkatkan resistensi vaskular. Pada gagal jantung, peningkatan
tahanan yang harus dilawan jantung (afterload) akan semakin menekan curah
jantung. Aliran darah ginjal yang berkurang menyebabkan sekresi renin dan
peningkatan kadar angiotensin serta aldosteron plasma. Retensi natrium dan air
meningkatkan volume darah, meningkatkan tekanan tekanan vena sentral (preload)
dan terjadi pemberntukan edema. Perubahan-perubahan akibat kompensasi ini pada
awalnya membantu mempertahankan curah jantung, namun dengan waktu yang lebih
panjang menyebabkan perubahan (misalnya dilatasi ventrikel abnormal) yang
meningkatkan mortalitas dan morbiditas (Neal, 2006).

2. Gambarkan diagram patofisiologi gagal jantung sistolik dan tentukan tempat


kerja berbagai obatnya!
Gagal jantung sistolik mengacu pada masalah kontraktilitas jantung yang
buruk, sedangkan gagal jantung diastol mengacu pada masalah relaksasi dari
ventrikel kiri yang kaku (Rampengan, 2014).

Berikut merupakan diagram patofisiologi gagal jantung sistolik dan tempat


kerja berbagai obatnya:
3. Ceritakan mekanisme dari obat-obat yang dipakai pada terapi gagal jantung.
Sebutkan pula kontraindikasinya!
a. Angiotensin-Converting Enzime Inhibitros (ACEI)
Mekanisme: Dilatasi vena menurunkan tekanan pengisian (preload) dan
dilatasi arteriol menurunkan afterload. Pengurangan tonus vaskular menurunkan
kerja serta kebutuhan oksigen pada gagal jantung. ACEI merupakan vasodilator yang
paling sesuai dengan gagal jantung, karena dapat menurunkan resistensi arteri
maupun vena dengan mencegah penungkatan angiotensin II (vasokonstriktor) yang
sering ditemukan pada gagal jantung. Curah jantung meningkat dan karena trjadi
penurunan resistensi renovaskular, terjadi peningkatan aliran darah ginjal. Efek yang
terakhir ini, bersama dengan pelepasan aldosteron yang berkurang (angiotensin II
merupakan stimulus untuk pelepasan aldosteron), meningkatkan ekskresi natrium dan
air, menurunkan volume darah dan mengurangi aliran balik vena ke jantung. ACEI
juga mengurangi efek pertumbuhan langsung yang dilakukan angiotensin pada
jantung (Neal, 2006).
Kontraindikasi:
 Riwayat angioedema
 Stenosis renal bilateral
 Kadar kalium serum > 5,0 mmol/L
 Serum kreatinin > 2,5 mg/dL
 Stenosis aorta berat (Perki, 2015).
b. Betabloker
Mekanisme: Betabloker awalnya menyebabkan penurunan tekanan darah
melalui penurunan curah jantung. Betabloker secara akut dapat menurunkan
kontraktilitas miokard dan memperberat gagal jantung. Akan tetapi, penggunaan
jangka panjang dengan menyakinkan telah menunjukkan perbaikan ketahanan hidup
pada pasien dengan gagal jantung yang stabil, kemungkinan dengan memblok efek
perusakan dari aktivitas simpatis yang berlebihan. Untuk mencegah efek samping,
terapi dimulai dengan dosis rendah yang secara bertahap ditingkatkan selama
beberapa minggu atau beberapa bulan (Neal, 2006).
Kontraindikasi:
 Asma
 Blok antrioventrikular derajat 2 dan 3, sindroma sinus sakit (tanpa pacu jantung
permanen), sinus bradikardia (nadi < 50x/menit)
(Perki, 2015).
c. Angiotensi Receptor Blockers (ARB)
Mekanisme: menurunkan tekanan darah dengan memblok reseptor
angiotensin I. Obat ini memiliki sifat yang sama dengan ACEI, tetapi tidak
menimbulkan batuk, kemungkinan karena obat-obat ini tidak mencegah degradasi
bradikinin (Neal, 2006).
Kontraindikasi:
 Sama seperti ACEI, kecuali angioedema
 Pasien yang diterapi ACEI dan antagonis aldosteron bersamaan
 Monitor fungsi ginjal dan serung elektrolit serial ketika ARB digunakan
bersama ACEI
(Perki, 2015).
d. Obat inotropik
Mekanisme: Digoksin merupakan obat inotropik yang paling penting.
Digoksin meningkatkan kontraksi jantung pada gagal jantung. Digoksin menghambat
Na+/K+- ATPase membran yang berperan dalam pertukaran Na+/K+ melalui membran
sel otot. Hal ini meningkatkan Na+ intraseluler dan menghasilkan peningkatan
sekunder Ca2+ intraseluler yang meningkatkan kekuatan kontraksi miokard.
Peningkatan Ca2+ intraseluler yang terjadi karena penurunan gradien Na+ sepanjang
membran, mengurangi pengeluaran Ca2+ oleh penukar Na+/K+ yang terjadi selama
diastol. Digoksin dan ion K+ berkompetisi untuk sebuah reseptor (Na+/K+-ATPase)
pada sisi luar membran sel otot, sehingga efek digoksin bisa meningkat secara
membahayakan pada hipekalemia sebagai contoh yang disebabkan oleh diuretik
(Neal, 2006).
Kontraindikasi:
 Blok antrioventrikular derajat 2 dan 3 (tanpa pacu jantug tetap); hati-hati jika
pasien diduga sindroma sinus sakit
 Sindromas pre-eksitasi
 Riwayat introlensi digoksin
(Perki, 2015).
e. Obat simpatomimetik
Mekanisme: Obat ini mengaktivasi reseptor beta jantung dan menstimulasi
adenilat siklase, suatu efek yang diperantarai oleh protein G yang disebut G2. Hal
tersebut menyebabkan cAMP yang mengaktivasi protein kinase yang tergantung
cAMP, yang menyebabkan fosforilasi kanal Ca2+ tipe L dan meningkatkan
kemungkinan pembukaannya. Hal tersebut meningkatkan influks Ca2+ dan kekuatan
kontraksi miokard. Dobutamin diberikan secara infus intravena pada gagal jantung
berat akut. Dobutamin menstimulasi adenorseptor beta-1 pada jantung dan
meningkatkan kontaktilitas dengan sedikit efek pada frekuensi. Selain itu, kerja pada
reseptor beta-2 menyebabkan vasodilatasi (Neal, 2006).

4. Apabila anda ditugaskan memberikan konseling tentang kepatuhan minum obat


kepada pasien gagal jantung, meteri apa saja yang harus anda sampaikan?
Materi yang harus ditekankan pada pasien meliputi:
a. Terapi non-farmakologi meliputi diet rendah garam, restriksi cairan, stop
merokok
b. Efek obat yang sesuai obat yang diberikan
c. Compliance
d. Obat alternatif, obat tradisional dan obat bebas yang harus dihindari
e. Cara minum obat
f. Tanda toksisitas digoksin
(Widyati, 2016)

C. GINJAL

1. Jelaskan fungsi ginjal


Jawab :
Menurut Sherwood (2011), ginjal memiliki fungsi yaitu: Mempertahankan
keseimbangan H2O dalam tubuh. Memelihara volume plasma yang sesuai
sehingga sangat berperan dalam pengaturan jangka panjang tekanan darah
arteri.
Membantu memelihara keseimbangan asam basa pada tubuh.
Mengekskresikan produk-produk sisa metabolism tubuh. Mengekskresikan
senyawa asing seperti obat-obatan
a. Fungsi Eksresi
 Mempertahankan osmolalitas plasma sekitar 285 mili Osmol dengan
mengubah-ubah ekresi air.
 Mempertahankan volume ECF dan tekanan darah dengan mengubah-
ubah ekresi natrium.
 Mempertahankan konsentrasi plasma masing-masing elektrolit
individu dalam rentang normal.
 Mempertahankan derajat keasaman/pH plasma sekitar 7,4 dengan
mengeluarkan kelebihan hidrogen dan membentuk kembali karbonat.
 Mengeksresikan produk akhir nitrogen dari metabolisme protein
(terutama urea, asam urat dan kreatinin).
 Bekerja sebagai jalur eksretori untuk sebagian besar obat

b. Fungsi Non eksresi


 Menyintesis dan mengaktifkan hormon Renin : penting dalam
pengaturan tekanan darah
 Eritropoitin : merangsang produksi sel darah merah oleh sumsum
tulang
 1,25-dihidroksi vitamin D3 menjadi bentuk yang paling kuat.
 Prostaglandin : sebagian besar adalah vasodilator bekerja secara lokal
dan melindungi dari kerusakan iskemik ginjal
 Degradasi hormon polipeptida, insulin, glukagon, parathormon,
prolaktin, hormon pertumbuhan, ADH, dan hormon gastrointestinal.

2. Faktor farmakokinetik yang mana yang mana yang berubah jika fungsi
ginjal terganggu ?
Jawab :
Faktor eliminasi, karena Jika fungsi ginjal sudah tidak berfungsi normal maka
akan terdapat penumpukan kotoran, zat-zat yang sudah tidak digunakan
didalam tubuh, sehingga menyebabkan toksik.

3. Konsep Patofisiologi/ problem medik apa saja yang terjadi pada pasien
dengan gangguan ginjal? Jelaskan penyebabnya masing-masing!
Jawab :
a. Penurunan volume intravaskular yang berakibat hipotensi arterial
disebabkan oleh asupan cairan yang kurang, pendarahan,
hipoalbuminemia
b. Hipoperfusi renal terisolasi disebabkan emboli (kolesterol, trombosis),
stenosis arteri ginjal bilateral
c. Hipotensi arterial disebabkan anafilaksis, sepsis, antihipertensi berlebih
d. Kerusakan vascular disebabkan aterosklerosis, trombosis, hipertensi,
vaskulitis
e. Kerusakan glomerular disebabkan Glomerulonefritis pasca streptococcus
f. Nekrosis tubulus disebabkan oleh iskemik, toksin eksogen dan endogen
g. Nefritis interstitial akut disebabkan oleh obat-obatan dan infeksi
virus/bakteri.

4. Apa yang dimaksud dengan laju filtrasi glomerulus dan apa hubungannya
dengan clearance serum kreatinin? Mengapa creatinin yang digunakan
untuk penentuan fungsi ginjal?
Jawab :
Laju filtrasi glomerulus adalah jumlah filtrat glomerulus yang dibentuk setiap
menit dalam semua nefron kedua ginjal. LFG digunakan sebagai salah satu indikator
menilai fungsi ginjal. Biasanya digunakan untuk menghitung bersihan kreatinin.
Hubungan GFR dengan clearance serum kreatinin adalah dimana kenaikan
kreatinin serum proporsional dengan penurunan fungsi glomeruli, bahkan lazim
digunakan sebagai indikator penurunan fungsi ginjal. Kreatinin merupakan hasil
metabolisme otot yang berukuran mikromolekul sehingga sebagian besar dapat lolos,
dan hal ini digunakan dalam parameter pengukuran fungsi ginjal. Laju filtrasi
glomerulus merupakan salah satu indikasi untuk melihat fungsi ginjal. Pemeriksaan
kadar kreatinin darah merupakan salah satu parameter yang digunakan untuk menilai
fungsi ginjal, karena konsentrasi dalam plasma dan ekskresinya dalam urin dalam 24
jam relatif konstan. Kadar kreatinin darah yang tinggi menindikasikan bahwa fungsi
ginjal terganggu.

5. Bagaimana cara memperoleh nilai clearance serum kreatinin?


Jawab :
Nilai clearance serum kreatinin didapat dengan memasukkan hasil
pengukuran kreatinin serum pada uji laboratorium ke dalam persamaan.
Persamaan Cockcroft-Gault (Bauer,2006)
Pada pria : CLcr (mL/menit) =

Pada wanita : CLcr (mL/menit) =

6. Bagaimana cara perhitungan penyesuaian dosis obat pada pasien dengan


gagal ginjal?
Jawab :

ku/kN adalah rasio bersihan kreatinin pada ginjal yang terganggu fungsinya
dengan ginjal yang normal, fe adalah fraksi obat yang dieksresikan dalam bentuk

utuh, adalah nilai bersihan kreatinin pada pasien dengan gangguan fungsi

ginjal dan adalah nilai bersihan kreatinin pada ginjal normal. Dosis dihitung
dengan menggunakan rasio bersihan kreatinin. Penyesuaian dosis berdasarkan dosis
awal (Shargel,2005).
7. Apa yang dimaksud dengan obat yang bersifat nefrotoksik dan sebutkan
obat-obat yang dimaksud!
Jawab :
Obat nefrotoksik adalah obat-obat yang mengganggu fungsi ginjal karena
mekanisme kerja obat nefrotoksik dapat mengakibatkan kerusakan nefron ginjal.
Contoh obatnya adalah antibiotic aminoglikosida, cisplastin, ACEI, NSAIDs,
antirematik. Obat obat ini bukan tidak boleh digunakan, namun harus selalu dalam
pengawasan dokter.
8. Bagaimana prinsip umum penggunaan obat pada gagal ginjal?
Jawab :
Mengembalikan fungsi ginjal seperti sebelumnya dan mencegah kerusakan
ginjal yang lebih parah yaitu dengan penentuan dosis obat, pengaturan elektrolit,
nutrisi dan protein, mengurangi asupan sodium.
9. Apabila Anda ditugaskan menjawab pertanyaan dokter “Berapa dosis obat
digoksin yang harus saya berikan kepada pasien X?” Apa yang harus anda
lakukan selanjutnya.
Jawab :
a. Harus Mengetahui nama, umur, BB, luas permukaan pasien
b. Harus Mengetahui kondisi pasien dan obat-obat yang telah digunakan beserta
penyakit lain yang mungkin diderita pasien melalui PMR pasien.
c. Memastikan bahwa digoksin adalah obat yang paling tepat dan sesuai untuk
pasien X, pastikan bahwa tidak ada kontraindikasi.
d. Apabila pasien memiliki gangguan ginjal dan pasien harus menggunakan
digoksin makan lakukan pengkajian literatur tentang penggunaan digoksin
pada gagal ginjal
e. Menghitung penyesuaian dosis untuk pasien
f. Lakukan Therapeutic Drug Monitoring (TDM) terhadap penggunaan
digoksin.

D. HATI
.1 Jelaskan fungsi hati :
Hati (liver) merupakan organ solid terbesar dengan berat berkisar 1.2-1.5 kg.
Hati memiliki fungsi detoksifikasi, metabolisme, tempat utama bagi biotransformasi
obat (Widyati, 2016). Fungsi metabolisme meliputi :
.a Metabolisme karbohidart (glikogenesis dan glukoneogenesis)
Glikogenesis merupakan proses perubahan glukosa menjadi glikogen dalam
darah, yang kemudian disimpan dalam hati. Hati akan mengubah gluksoa menjadi
glikogen ketika kadar gula dalam darah tinggi. Sedangkan glukoneogenesis adalah
proses perubahan glikogen atau asam amino menjadi glukosa dan dilepaskan ke
dalam darah ketika kadar gula dalam darah menurun. Hati juga dapat membantu
pemecahan fruktosa dan galaktosa menjadi glukosa serta glukosa menjadi lemak
.b Metabolisme lemak
Hati membantu proses beta oksidasi, yaitu hati mampu menghasilkan asam
lemak dari Asetil Koenzim A. Selanjutnya mengubah kelebihan Asetil Koenzim A
menjadi badan keton (Ketogenesis)
.c Metabolisme protein
Dalam metabolisme protein, hati berperan pada proses deaminasi yaitu
mengubahn gusus amino, NH2 menjadi asam-asam amino agar dpaat digunakan
sebagai energi atau diubah menjadi karbohidrat dna lemak
.d Mensekresikan cairan empedu
Bilirubin yang berasal dari heme pada saat perombakan sel darah merah, akan
diserap oleh hati dari darah dan dikeluarkan ke empedu (Guyton, 2007).

.2 Faktor farmakokinetik yang mana yang berubah jika fungsi hati terganggu ?
Perubahan farmakokinetik yang terjadi ketika fungsi hati terganggu yaitu :
.a Perubahan hepatic blood flow yang akan mengakibatkan penurunan klirens
hepatik
.b Hepatocellular damage. Penurunan blood flow juga mengakibatkan
pengurangan hepatic extraction sehingga bioavailabilitas meningkat khususnya
untuk high extraction ratio’s drug seperti propanolol, pethidin, pentazocine dan
labetalol
.c Kolestasis (aliran empedu terhambat) mengakibatkan absorbsi obat yang larut
dalam lemak menurun sehingga terjadi akumulasi obat
.d Perubahan ikatan protein yang menyebabkan meningkatnya fraksi yang bebas,
contohnya 0bat-obat yang bersifat asam
.e Pergeseran cairan ke arah ekstravaskuler sehingga volume distribusi meningkat
.f Diarrhea associated with hepatitis menyebabkan absorbsi menurun (Widyati,
2016).

.3 Konsep patofisiologis/problem medik apa saja yang terjadi pada pasien dengan
gangguan fungsi hati. Jelaskan penyebabnya masing-masing.
Problem medik yang umum terjadi pada pasien dengan gangguan fungsi hati
yaitu :
.a Hepatic Encephalopathy
Hepatic Encephalopathy merupakan kondisi yang merujuk pada perubahan
kepribadian, psikologis dan sistem saraf pada orang yang mengalami gagal
hati. Kadar amonia yang tinggi di dalam aliran darah dan otak mugkin menjadi
penyebabnya
.b Hipertensi portal dan varises
Hipertensi portal merupakan peningkatan tekanan vena portal di atas 5 mmHg.
Sedangkan varises adalah pembengkakan atau pelebaran pembuluh darah vena
yang disebabkan oleh adanya penumpukan darah di dalam pembuluh tersebut
.c Ascites
Ascites merupakan kondisi dimana terdapat cairan pada rongga perut, tepatnya
antara dinding perut bagian dalam dengan organ dalam perut. Ascites terjadi
karena adanya penurunan absorpsi dari cairan peritoneum (Heildelbaught,
2006).

.4 Mengapa tidak dapat dilakukan penyesuaian dosis obat secara terbilang pada
pasien dengan gangguan fungsi hati?
Penyesuaian dosis secara terbilang pada pasien dengan fungsi hati sulit
dilakukan, karena tidak terdapat senyawa yang dapat dijadikan indikator spesifik
untuk mengukur fungsi hati secara keseluruhan. Pada umumnya, gangguan fungsi
hati dapat diliat dari nilai SGOT (serum glutamic oxaloacetic transaminase) dan
SGPT (serum glutamic pyruvic transaminase), namun keberadaan enzim SGOT dna
SGPT tidak hanya di hati, melainkan SGOT juga terdapat di sel darah, jantung dan
otot.

.5 Apa yang dimaksud dengan obat yang bersifat hepatotoksik dan sebutkan obat-
obat yang dimaksud yang engkau ketahui
Obat yang bersifat hepatotoksik merupakan obat yang menyebabkan kerusakan
pada hati (Sonderup, 2006).
Obat-obat tersebut yaitu :
.a Dantrolene, isoniazid, fenitoin, nitrofurantoin dan trazadone merupakan obat
yang mencedera autoimun yang dapat menyebabkan penyakit hepatitis
.b Minocycline, nitrofurantoin, fenitoin dapat menyebabkan reaksi intrinsik yang
bersifat alergi
.c Acetaminophen, furosemide dan diklofenak merupakan obat yang
mengaktivasi metabolic dari enzim sitokrom P450
.d Lovastatin, venlafaxine dan phalloidin merupakan obat yang merusak
homeostatis kalsium yang menyebabkan masuknya kalsium intraseluler yang
kemudian terjadi penurunan kadar adenosine trifosfat
(Dipiro, 2007).
.6 Bagaimana prinsip umum penggunaan obat pada pasien dengan gangguan
fungsi hati ?
Jawab :
.a Melakukan penyesuaian dosis dengan menghtiung skala CPS (Child-Pugh
Scores) dengan total point 5-6 (Mild dysfunction), 7-9 (Moderate dysfunction)
dan >9 (Severes dysfunction).
.b Memilih obat yang eliminasinya melalui ginjal
.c Hindari obat-obat yang bersifat mendepresi SSP (terutama morfin), diuretik
kuat, obat-obat yang dapat menyebabkan konstipasi
.d Menggunakan dosis yang lebih rendah, terutama untukobat-obat yang
eliminasinya melalui hati
.e Hindari obat-obat yang bersifat hepatotoksik
.7 Apabila anda ditugaskan untuk mengikuti untuk mengikuti visite medis
terjadwal besok. Apa yang akan anda lakukan hari ini ?
Jadwal :
.a Memilih pasien/menyeleksi pasien yang akan dikonseling. Pemilihan pasien ini
didasarkan pada srioritas pasien yaitu :
- Pasien baru
- Pasien yang mendapatkan terapi obat indeks terapi sempit
- Pasien polifarmasi (lebih dari 5 macam obat)
- Pasien dalam rawat intensif
- Pasien yang mengalami gangguan fungsi oragan terutama hati dna ginjal
.b Pengumpulan informasi mengenai pasien
Informasi penggunaan obat dapat diperoleh dari rekam medik, wawancara
dengan pasien.keluarga pasien. Informasi yang dikumpulkan berupa :
- Data pasien : nama, nomor rekam medik, umur, jenis kelamin, berat badan,
tinggi badan, ruang rawat, nomor tempat tidur
- Keluhan utama pasien
- Riwayat penyakit pasien (saat ini)
- Riwayat sosial
- Riwayat penyakit yang pernah dialami sebelumnya
.c Memeriksa terapi obat pada rekam medik dan riwayat penyakit
Data-data yang dikumpulkan yaitu :
- Riwayat penggunaan obat
- Riwayat penyakit keluarga
- Riwayat alergi
- Hasil pemeriksaan fisik
- Hasil pemeriksaan laboratorium
- Masalah medis meliputi gejala dan tanda klinis
- Catatan penggunana obat saat ini
- Pemeriksana diagnostik seperti foto rontgen, USG, CT Scan
- Catatan perkembangan pasien
.d Melakukan pengkajian masalah terkat penggunaan obat
Paien yang mendapatkan obat memiliki risiko mengalami maslaah terkait
penggunaan obat baik yang bersifat aktual maupun potensial. Masalah terkait
penggunaan obat tersebut dapat berupa efektivitas terapi, efek samping obat
dan biaya pengobatan.
.e Mempersiapkan fasilitas yang akan digunakan pada saat visite, seperti :
- Formulir pemantauan terapi obat
- Referensi dalam bentuk cetakan maupun elektronik, seperti formularium
rumah sakit, pedoman penggunaan antibiotik, pedoman diagnosis, daftar
obat askes (DOA), American Hospital Formulary Service (AHFS)
- Kalkulator (Kemenkes, 2011).

E. PASIEN ANAK
1. Coba ceritakan bagaimana farmakokinetik obat pada anak-anak
Terapi obat pada pediatri berbeda dengan terapi obat pada orang dewasa
karena perbedaan karakteristik. Perbedaan karakteristrik ini akan mempengaruhi
farmakokinetik-farmakodinamik obat yang pada akhirnya akan mempengaruhi
efikasi dan/atau toksisitas obat. Kinetika obat dalam tubuh anak-anak berbeda
dengan dewasa sesuai dengan pertambahan usianya. Beberapa perubahan
farmakokinetik terjadi selama periode perkembangan dari masa anak-anak sampai
masa dewasa yang menjadi pertimbangan dalam penetapan dosis untuk pediatri,
meliputi:
a. Absorpsi
 Absorpsi obat melalui rute oral dan parenteral pada anak sebanding dengan
dewasa. Pada bayi dan anak sekresi asam lambung belum sebanyak pada
dewasa, sehingga pH lambung menjadi lebih alkalis. Hal tersebut akan
menurunkan absorpsi obat-obat yang bersifat asam lemah seperti fenobarbitas
dan fenitoin, sebaliknya akan meningkatkan absorpsi obat-obat yang bersifat
basa lemah seperti penisislin dan eritromisin. Waktu pengosongan dan pH
lambung akan mencapai tahap normal pada usia sekita tiga tahun. Waktu
pengosongan lambung pada bayi baru lahir yaitu 6-8 jam sedangkan dewasa
3-4 jam. Oleh karena itu harus diperhatikan pada pemberian obat yang
diabsorpsi di lambung.
 Peristaltik pada neonatus tidak beraturan dan mungkin lebih lambat karena itu
absorbsi obat di usus halus sulit diprediksi. Absoprsi perkutan meningkat pada
bayi dan anak-anak terutama pada bayu prematur karena kulitnya lebih tipis,
lebih lebih lembab dan lebih besar dalam rasio luas permukaan tubuh per
kilogram berat badan.
 Absorpsi obat pada pemberian secara intramuskular bervariasi dan sulit
diperkirakan. Perbedaan masa otot, ketidakstabilan vasomotor perife,
kontraksi otot dan perfusi darah yang relatif lebih kecil dari dewasa, kecuali
persentase air dalam otot bayi lebih besar dibandingkan dewasa. Efek total
dari faktor-faktor ini sulit diperkirakan, misalnya fenobarbital akan diabsorpsi
secara cepat sedang absorpsi diazepam memerlukan waktu lebih lama. Oleh
karena itu, pemberian secara intramuskular jarang dilakukan pada neonatus
kecuali pada keadaan darurat atau tidak dimungkinkannya pemberian secara
intravena
 Pemberian obat secara rektal umumnya berguna untuk bayi dan anak yang
tidak memungkinkan menggunakan sediaan oral seperti pada kondisi muntah,
kejang. Namun demikian, seperti halnya pada pasien dewasa, ada
kemungkinan terjadinya variasi individu pada suplai darah ke rektum yang
menyebabkan variasi dalam kecepatan dan derajat absorpsi pada pemberian
secara rektal.
b. Distribusi
 Distribusi obat pada bayi dan anak berbeda dengan orang dewasa, karena
adanya perbedaan volume cairan ekstraseluler, total air tubuh, komposisi
jaringan lemak dan ikatan protein. Volume cairan ekstraseluler relatif lebih
tinggi dibandingkan orang dewasa, volume ini akan terus menurun seiring
bertambahnya usia; pada neonatus 50%, pada bayi berusia 4-6 bulan 35%,
pada usia satu tahun 25% sedangkan pada orang dewasa sebanyak 20-25%
dari total berat badan. Hal lain yang lebih penting adalah total cairan dalam
tubuh akan lebih tinggi pada bayi yang dilahirkan secara prematur (80-85%
dari total berat badan) dibanding pada bayi normal (75% dari total berat
badan) dan pada bayi usia 3 bulan 60% dan pada orang dewasa (55% dari
berat badan). Besarnya volume cairan ekstrasel dan total air tubuh akan
menyebabkan volume ditribusi dari obat-obat yang larut dalam air contoh
fenobarbital Na, penisilin dan aminigikosida akan meningkat sehingga dosis
mg/kgBB harus dituturunkan
 Hal sebaliknya terjadi berupa lebih sedikitnya jaringan lemak pada bayi
dibandingkan pada orang dewasa. Pada bayi prematur 1-2% sedangkan pada
bayi lahir cukup bulan 15% sedangkan pada orang dewasa sekitar 20%.
Sebagai konsekuensinya volume distribusi obat yang larut lemak pada bayi
dan anak lebih kecil dibandingkan dengan orang dewasa sehingga diperlukan
penurunan dosis dan/atau penyesuaian interval. Afinitas ikatan obat dengan
protein plasma pada bayi dan anak lebih rendah dibandingkan dengan orang
dewasa, hal ini ditambah pula dengan terjadinya kompetisi untuk tempat
ikatan obat tertentu oleh senyawa endogen tertentu seperti bilirubin. Ikatan
protein plasma seperti fenobarbital, salisilat dan fenitoin pada neonatus lebih
kecil daripada orang dewasa sehingga diperlukan dosis yang lebih kecil atau
interval yang lebih panjang.
 Afinitas ikatan obat dengan protein akan sama dengan orang dewasa pada usia
10-12 bulan. Sebagai contoh, dosis gentamisin pada neonatus usia 0-7 hari 5
mg/kg BB setiap 48 jam, bayi usia 1 - 4 minggu tiap 36 jam, lebih dari 1 bulan
setiap 24 jam. Pada anak usia 7-8 bulan 4 mg/kg BB setiap 24 jam.
c. Metabolisme
 Rendahnya metabolisme obat di hati pada neonatus disebabkan oleh
rendahnya aliran darah ke hati, asupan obat oleh sel hati, kapasitas enzim hati
dan ekskresi empedu. Sistem enzim di hati pada neonatus dan bayi belum
sempurna, terutama pada proses oksidasi dan glukoronidase, sebaliknya pada
jalur konjugasi dengan asam sulfat berlangsung sempurna. Meskipun
metabolisme asetaminofen melalui jalur glukoronidase pada anak masih
belum sempurna dibandingkan pada orang dewasa, sebagian kecil dari bagian
ini dikompensasi melalui jalur konjugasi dengan asam sulfat. Jalur
metabolisme ini mungkin berhubungan langsung dengan usia dan mungkin
memerlukan waktu selama beberapa bulan sampai satu tahun agar
berkembang sempurna. Hal ini terlihat dari peningkatan klirens pada usia
setelah satu tahun.
 Dosis beberapa jenis antiepilepsi dan teofilin untuk bayi lebih besar daripada
dosis dewasa agar tercapai konsentrasi plasma terapeutik. Hal ini disebabkan
bayi belum mampu melakukan metabolisme senyawa tersebut menjadi bentuk
metabolit aktifnya.
d. Eliminasi Melalui Ginjal
 Filtrasi glomerulus, sekresi tubulus, reabsorbsi tubulus menurun dan bersihan
(clearance) obat tidak dapat di prediksi, tergantung cara eliminasi obat
tersebut di ginjal. Pada umumnya obat dan metabolitnya dieliminasi melalui
ginjal. Kecepatan filtrasi glomerulus pada neonatus adalah 0,6–0,8 mL/menit
per 1,73 m2 dan pada bayi adalah 2-4 mL/menit per 1,73 m 2. Proses filtrasi
glomerulus, sekresi tubuler dan reabsorpsi tubuler akan menunjukkan efisiensi
ekskresi ginjal. Proses perkembangan proses ini akan berlangsung sekitar
beberapa minggu sampai satu tahun setelah kelahiran.
(Binfar, 2009).

2. Bagaimana pendapat anda apabila dokter RSUD Kota Bandung menulis resep
obat “off label” untuk pasien anak?
Obat off-label merupakan obat yang diresepkan tetapi tidak sesuai dengan
informasi resmi obat seperti indikasi obat yang tidak sesuai dengan yang dinyatakan
oleh izin edar serta dosis, umur pasien, dan rute pemberian yang tidak sesuai.
Penggunaan obat off-label pada anak terjadi karena tidak lengkapnya data
farmakokinetik, farmakodinamik, dan efek samping dari suatu obat karena penelitian
klinik pada anak cukup sulit dan tidak sesuai dengan etika dan moral penelitian.
Kurangnya penelitian terhadap suatu obat akan memengaruhi hasil yang diharapkan
dari obat tersebut, khususnya pada anak. Oleh karena itu, pemberian obat pada anak
didasarkan pada data penelitian obat pada orang dewasa yang sudah ada. Anak-anak
memiliki daya metabolisme yang berbeda dengan orang dewasa sehingga respon
terhadap obat juga kemungkinan berbeda (Pratiwi dkk, 2013).

3. Apabila anda ditugaskan memberikan konseling tentang kepatuhan minum obat


kepada orang tua anak yang sakit, materi apa saja yang harus anda sampaikan?
Materi yang harus disampaikan tentang kepatuhan minum obat kepada orang tua
anak yang sakit meliputi:
 Tujuan dari masing-masing pengobatan
 Petunjuk dosis
 Interaksi obat yang mungkin terjadi
 Hal yang berkaitan dengan usia termasuk teknik menyiapkan sediaan, intruksi
penggunaan dan takaran obat
 Pemakaian sediaan tertentu seperti tetes mata, inhaler dan sediaan lain dengan
penggunaan khusus (diperagakan)

Kepatuhan anak terhadap penggunaan obat sangat bergantung pada orang tua.
Penelitian menunjukkan bahwa kepatuhan akan meningkat seiring peningkatan
pemahaman orang tua akan tingkat keparahan kondisi penyakit anak. Ada beberapa
faktor yang mempengaruhi tingkat kerjasama anak dalam meminum obat yaitu
formulasi, penampilan obat dan kemudahan cara penggunaan (Binfar, 2009).

F. LABORATORIUM
Apa artinya seorang pasien laki-laki dengan hasil pemeriksaan laboratorium sebagai
berikut? Coba terangkan arti angka tersebut dan apa kira-kira penyakitnya?
Parameter Hasil Nilai normal Keterangan
SGOT 355 μ/L 5-35 U/L Tinggi
SGPT 30 μ/L 5-35 U/L Normal
Albumin serum 2.1 g/dl 3.5-5 g/dl Rendah
Kreatinin serum 3.2 mg/dl 0.6- 1.3 mg/dl Tinggi
Hb 7 gr/dl 14-18 gr/dl Rendah
Interpretasi hasil pemeriksaan laboratorium
SGOT adalah enzim yang memiliki aktivitas metabolisme yang tinggi,
ditemukan di jantung, hati, otot rangka, ginjal, otak, limfa, pankreas dan paru-paru.
Penyakit yang menyebabkan perubahan, kerusakan atau kematian sel pada jaringan
tersebut akan mengakibatkan terlepasnya enzim ini ke sirkulasi. Peningkatan kadar
AST dapat terjadi pada MI, penyakit hati, pankreatitis akut, trauma, anemia hemolitik
akut, penyakit ginjal akut, luka bakar parah dan penggunaan berbagai obat, misalnya:
isoniazid, eritromisin, kontrasepsi oral
Konsentrasi enzim SGPT yang tinggi terdapat pada hati. SGPT juga terdapat
pada jantung, otot dan ginjal. SGPT lebih banyak terdapat dalam hati dibandingkan
jaringan otot jantung dan lebih spesifi k menunjukkan fungsi hati daripada SGOT.
SGPT berguna untuk diagnosa penyakit hati dan memantau lamanya pengobatan
penyakit hepatik, sirosis postneurotik dan efek hepatotoksik obat.
Albumin di sintesa oleh hati dan mempertahankan keseimbangan distribusi air
dalam tubuh (tekanan onkotik koloid). Albumin membantu transport beberapa
komponen darah, seperti: ion, bilirubin, hormon, enzim, obat. Implikasi Klinis: Nilai
menurun pada keadaan malnutrisi, sindroma absorpsi, hipertiroid, kehamilan,
gangguan fungsi hati, infeksi kronik, luka bakar, edema, asites, sirosis, nefrotik
sindrom, SIADH, dan perdarahan.
Hb yang rendah (anemia) dapat mengindikasikan bahwa pasien mengalami
gangguan fungsi hati atau sirosis hati.
DAFTAR PUSTAKA

Anief, M. 2007. Apa yang Perlu Diketahui tentang Obat. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.

Ansel, H. C., & Prince, S. J. 2006. Kalkulasi Farmasetik. Jakarta: EGC Behrman, R.
et al., 1999. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Jakarta: EGC.
Batubara, P. L. 2008. Farmakologi Dasar, edisi II. Jakarta: Lembaga Studi dan
Konsultasi Farmakologi.

Bauer, L.A., Clinical Pharmacokinetics Handbook, Washington : McGram Hill, 2006.


Binfar, 2009. Pedoman Pelayanan Kefarmasian untuk Pasien Pediatri. Jakarta:
Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, Ditjen Bina Kefaramasian dan
Alat Kesehatan, Departemen RI

Cipolle, RJ., Strand, LM, Morley, PC, 2004, Drug Therapy Problem, In
Pharmaceutical Care Practie The Clinician's Guide second edition, The
McGraw-Hill Companies, New York

Dipiro, J.T., Talbert, R.L., G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., and Posey, L.m. 2007.
Pharmacology Handbook. USA : Mc. Graw-Hill Company
Guyton A.C. and J.E. Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta :
EGC
Heidelbaught, J. 2006. Cirrhosis and Chronic Liver Failure: Part II. Complications
and Treatment. University of Michigan Medical School, Ann Arbor,
Michigan
Holford, N.H. (1998). Farmakokinetik dan farmakodinamik : Pemilihan Dosis yang
Rasional dan waktu Kerja Obat. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi VI.
Jakarta. Hal. 36-38.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Interpretasi Data Klinis. Jakarta :


Kemenkes
Michael, A. 1983. Physiologi and Behavior of the Dog. Academic Press, London.

Mutschler, E., 1999, Dinamika Obat : Buku Ajar Farmakologi dan Toksikologi. Edisi
Kelima Bandung: ITB.

Neal, M.J. 2006. At a Glance Farmakologi Medis Edisi Kelima. Jakarta: Penerbit
Erlangga

Noviani, Nita dan Nurilawati, Fitri. 2017. Farmakologi. Jakarta:Kemenkes RI.

PERKI. 2015. Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung. Jakarta: Perhimpunan Dokter


Spesialis Kardiovaskular Indonesia

Pharmaceutical Care Network Europe, 2017. Classification for Drug Related


Problems Version 8.02. Available online at
http://www.pcne.org/upload/files/230_PCNE_classification_V8-02.pdf
[diakses pada 1/03/2019]
Pratiwi, Ami A., Khairinnisa, Miski A., Alfian, Sofa D., Priyadi, Akhmad., Pradipta,
Ivan S., dan Abdullah, Rizky. 2013. Peresepan Obat-obat Off-Label pada Pasien
Anak Usia 0 Hingga 2 Tahun di Apotek Kota Bandung. Jurnal Farmasi Klinik
Indonesia Volume 2, Nomor 2, Juni 2013

Rampengan, Starry Homenta. 2014. Buku Praktis Kardiologi. Jakarta: Badan Penerbit
FKUI

Shargel, L., Yu, A., and Wu, S., 2005, Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan,
Edisi kedua, Airlangga University Press, Surabaya. 167 – 187.

Sonderup, M.W. 2006. Drug Induced Liver Injury is a Significant Cause of Liver
Disease, Including Chronic Liver. Drug Induced Liver Injuries. 29(6).
Widyati. 2016. Praktik Farmasi Klinik, Fokus Pada Pharmaceutical Care Edisi 2.
Surabaya: Brilian Internasional.

Anda mungkin juga menyukai