Anda di halaman 1dari 6

LEARNING ISSUE

1. HEPATITIS B
a. Definisi
Hepatitis B adalah suatu penyakit hati yang disebabkan oleh virus Hepatitis B, suatu
anggota famili hepadnavirus yang dapat menyebabkan peradangan hati akut atau kronis
yang dapat berlanjut menjadi sirosis hati atau kanker hati.
b. Epidemiologi
Indonesia termasuk negara endemik hepatitis B dengan jumlah yang terjangkit antara 2,5%
sampai 36,17% dari total jumlah penduduk
c. Etiologi
Virus hepatitis B digolongkan dalam Hepadnavirus = hepatitis DNA virus, yaitu kelompok
virus yang mengandung double-stranded DNA dan hanya menyerang sel-sel hati. Bagian
luar dari virus ini adalah protein envelope lipoprotein, sedangkan bagian dalam berupa
nukleokapsid atau core.
- Struktur HVB
Struktur genom VHB terdiri dari empat open reading frame (ORF), yaitu gen S dan
pre-S (mengode HBsAg), gen pre-C dan gen C (mengode HBeAg dan HBcAg) dan gen
P yang mengode DNA polimerase serta gen X yang mengode HBxAg. Gen x berfungsi
memacu ekspresi seluruh genom virus dengan cara berinteraksi pada daerah gen
tertentu pada genom inang. Dengan demikian, HBxAg mempunyai sifat transaktifator
dan mungkin penting untuk efisiensi replikasi VHB.

- Proses terjadinya infeksi VHB


Infeksi VHB dapat terjadi apabila partikel utuh VHB berhasil masuk ke dalam
hepatosit, kemudian kode genetik VHB akan masuk ke dalam inti sel hati dan kode
genetik tersebut akan “memerintahkan” sel hati untuk membentuk protein-protein
komponen VHB.
- Siklus Replikasi VHB
 Attachment Virus menempel pada reseptor permukaan sel. Penempelan terjadi
dengan perantaran protein pre-S1, protein pre-S2, dan poly-HSA (polymerized Human
Serum Albumin) serta dengan perantaraan SHBs (small hepatitis B antigen surface).
 Penetration Virus masuk secara endositosis ke dalam hepatosit. Membran virus
menyatu dengan membran sel pejamu (host) dan kemudian memasukkan partikel core
yang terdiri dari HBcAg, enzim polimerase dan DNA VHB ke dalam sitoplasma sel
pejamu. Partikel core selanjutnya ditransportasikan menuju nukleus hepatosit.
 Uncoating VHB bereplikasi dengan menggunakan RNA. VHB berbentuk partially
double stranded DNA yang harus diubah menjadi fully double stranded DNA terlebih
dahulu, dan membentuk covalently closed circular DNA (cccDNA). cccDNA inilah
yang akan menjadi template transkripsi untuk empat mRNA.
 Replication Pregenom RNA dan mRNA akan keluar dari nukleus. Translasi akan
menggunakan mRNA yang terbesar sebagai kopi material genetik dan menghasilkan
protein core, HBeAg, dan enzim polimerase. Translasi mRNA lainnya akan
membentuk komponen protein HBsAg.
 Assembly Enkapsidasi pregenom RNA, HBcAg dan enzim polimerase menjadi
partikel core di sitoplasma. Dengan proses tersebut, virion-virion akan terbentuk dan
masuk kembali ke dalam nukleus.
 Release DNA kemudian disintesis melalui reverse transcriptase. Kemudian terjadi
proses coating partikel core yang telah mengalami proses maturasi genom oleh protein
HBsAg di dalam retikulum endoplasmik. Virus baru akan dikeluarkan ke sitoplasma,
kemudian dilepaskan dari membran sel.

d. Faktor Resiko
Menurut WHO (2002), terdapat beberapa kelo mpok yang berisiko terinfeksi virus hepatitis
B:
1. Anak yang baru lahir dari ibu yang terinfeksi hepatitis B.
2. Anak-anak kecil di tempat perawatan anak yang tinggal di lingkungan yang endemis.
3. Tinggal serumah atau berhubungan seksual (suami -istri) dengan penderita. Risiko
tertular untuk orang yang tinggal serumah terjadi karena menggunakan peralatan rumah
tangga yang bisa terkena darah seperti pisau cukur, sikat gigi.
4. Pekerja Kesehatan. Paparan terhadap darah secara rutin menjadi potensi utama
terjadinya penularan di kalangan kesehatan.
5. Pasien cuci darah
6. Pengguna narkoba dengan jarum suntik
7. Mereka yang menggunakan peralatan kesehatan bersama seper ti pasien dokter gigi, dan
lain lain. Karena itu, seharusnya dokter menggunakan alat sekali pakai atau mensterilkan
alat setiap kali pemakaian.
8. Orang yang memberi terapi akupuntur atau orang yang menerima terapi akupuntur.
9. Mereka yang tinggal di daerah endemis, atau seri ng bepergian ke daerah endemis
hepatits B.
10. Mereka yang berganti-ganti pasangan, dan ketidaktahuan akan kondisi kesehatan
pasangan.
11. Kaum homoseksual
e. Klasifikasi
Hepatitis B akut jika perjalanan penyakit kurang dari 6 bulan sedangkan Hepatitis B kronis
bila penyakit menetap, tidak menyembuh secara klinis atau laboratorium atau pada
gambaran patologi anatomi selama 6 bulan.
f. Patofisiologi
Hepatitis B akut VHB bersifat non-sitopatik, dengan demikian kelainan sel hati pada
infeksi VHB disebabkan oleh reaksi imun tubuh terhadap hepatosit yang terinfeksi VHB.
Pada kasus hepatitis B akut, respon imun tersebut berhasil mengeliminasi sel hepar yang
terkena infeksi VHB, sehingga terjadi nekrosis pada sel yang mengandung VHB dan
muncul gejala klinik yang kemudian diikuti kesembuhan. Pada sebagian penderita, respon
imun tidak berhasil menghancurkan sel hati yang terinfeksi sehingga VHB terus menjalani
replikasi.
Pada infeksi primer, proses awal respon imun terhadap virus sebagian besar belum dapat
dijelaskan. Diduga, awal respon tersebut berhubungan dengan imunitas innate pada liver
mengingat respon imun ini dapat terangsang dalam waktu pendek, yakni beberapa menit
sampai beberapa jam. Terjadi pengenalan sel hepatosit yang terinfeksi oleh natural killer
cell (sel NK) pada hepatosit maupun natural killer sel T (sel NK-T) yang kemudian
memicu teraktivasinya sel-sel tersebut dan menginduksi sitokin-sitokin antivirus, termasuk
diantaranya interferon (terutama IFN-α). Kenaikan kadar IFN-α menyebabkan gejala panas
badan dan malaise.
Untuk proses eradikasi lebih lanjut, dibutuhkan respon imun spesifik yaitu aktivasi sel
limfosit T dan B. Aktivasi sel T CD8+ terjadi setelah kontak reseptor sel T dengan
kompleks peptida VHB-MHC kelas I yang ada pada permukaan dinding sel hati dan pada
permukaan dinding Antigen Presenting Cell (APC) dengan dibantu rangsangan sel T CD4+
yang sebelumnya sudah mengalami kontak dengan kompleks peptida VHB-MHC kelas II
pada dinding APC. Sel T CD8+ selanjutnya akan mengeliminasi virus dalam sel hati yang
terinfeksi. Proses eliminasi tersebut bisa berupa nekrosis sel hati yang dapat meningkatkan
kadar ALT.
Jika proses imunologi yang terjadi pada hepatitis b akut tidak efektif sehingga sel yang
terinfeksi tidak berhasil di hilangkan seluruhnya, akan terjadi infeksi hepatitis B Kronik.
Pada hepatitis B kronik antigen viral yag diekspresikan pada membran hepatosit adalah
HBcAg atau HBeAg. Antara HBcAg dan HbeAg terjadi reaksi imunologik silang pada
tingkat sel T.
g. Manifestasi Klinis
Hepatitis B akut memiliki onset yang perlahan yaitu ditandai dengan gejala hilang nafsu
makan, diare dan muntah, letih (malaise), rasa sakit pada otot, tulang sendi, demam ringan,
dan rasa tidak nyaman pada perut bagian atas.
Setelah 2-6 hari urin menjadi gelap, tinja menjadi lebih pucat, dan timbul ikterus. Sindrom
demam, atralgia, artritis, dan ruam urtikaria atau makulopapular terjadi pada 10% pasien
sebelum onset ikterus.
h. Diagnosis
- Laboratorium
1) Darah
Hemoglobin P 13 – 16 g/dl W 12 – 14 g/dl
Leukosid 5000 – 10.000 uL
Trombosit 150.000 – 400.000 ul
Eritrosit P 4,5 – 5,5 juta /ul W 4 – 5 juta/ul
Hematrokit P 40 – 48% W 37 – 43%

i. Tatalaksana
Menurut Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia (PPHI) tahun 2006, tujuan utama dari
pengobatan hepatitis B kronik adalah untuk mengeliminasi atau menekan 28 secara
permanen VHB. Hal ini akan mengurangi patogenitas dan infektivitas, dan akhirnya
menghentikan atau mengurangi nekroinflamasi hati. Dalam istilah klinis, tujuan jangka
pendek adalah mengurangi inflamasi hati, mencegah terjadinya dekompensasi hati,
menghilangkan VHB-DNA (dengan serokonversi HBeAg ke anti-HBe pada pasien HBeAg
positif) dan normalisasi ALT pada akhir atau 6-12 bulan setelah akhir pengobatan. Tujuan
jangka panjang adalah mencegah terjadinya hepatitis flare yang dapat menyebabkan
dekompensasi hati, perkembangan ke arah sirosis dan/atau karsinoma hepatoselular, dan
pada akhirnya memperpanjang usia.
Tidak ada terapi spesifik untuk infeksi VHB akut. Penggunaan adrenokortikosteroid untuk
manajemen hepatitis B akut yang belum komplikasi tidak diindikasikan karena tidak ada
efek perbaikan terhadap proses penyakit yang mendasarinya dan dapat meningkatkan
angka relaps. Pengobatan awal hepatitis B akut dengan steroid dapat membuat infeksi
menjadi menetap. Terapi hepatitis B akut seharusnya adalah suportif dan memelihara
kenyamanan dan keseimbangan nutrisi yang adekuat. Pada hepatitis B akut, tirah baring
merupakan pengobatan utama (WHO, 2002).
Terapi kortikosteroid digunakan pada pasien hepatitis kronis aktif yang simptomatik,
HBsAg negatif, dan yang memiliki lesi histologi yang parah pada biopsi hati. Pada
hepatitis B kronis, pengobatan dapat berupa antivirus atau melalui peningkatan sistem
imun. Alfa-interferon memperkuat aktvitas sel T dalam melawan hepatosit terinfeksi
(WHO, 2002). Lamivudine menunjukkan 29 efektifitas supresi VHB DNA, normalisasi
ALT, dan perbaikan secara histologi baik pada HBeAg positif dan HbeAg negatif atau
VHB DNA positif. Pada penderita dengan HbeAg positif yang diterapi selama satu tahun
dengan lamivudine dengan dosis 100 mg per hari menghasilkan serokonversi menjadi anti-
Hbe (PPHI, 2006). Lamivudin memiliki keuntungan yaitu sama aktifnya baik pada muatan
precore maupun pada strain virus liar. Lamivudin dapat menimbulkan resistensi pada
pasien yang tidak memiliki serokonversi dalam 1 tahun (Mandal & Wilkins, 2006).
Adefovir dipivoxil adalah nukleosida analog dari adenosin monofosfat setelah menjadi
bentuk aktifnya akan bekerja langsung menghambat DNA polimerase dengan tempat ikatan
yang berbeda dengan lamivudin. Adefo difosfat bekerja menghambat VHB polimerase
dengan berkompetisi langsung dengan substrat endogen deoksiadenosin trifosfat dan setel,
berintegrasi dengan VHB DNA sehingga pembentukan rantai DNA virus hepatitis B
terhenti. Terapi dengan adefovir dipivoxil terbukti memberikan perbaikan histologis yang
sangat bermakna pada kelompok penderita hepatitis B dengan hasil serokonversi HBeAg,
penurunan VHB-DNA maupun normalisasi ALT yang jauh lebih tinggi dibandingkan
plasebo. Penggunaan adefovir dipivoxil dapat dipertimbangkan sebagai pilihan untuk
pengobatan hepatitis B pada kasus baru maupun yang sudah resisten serta terbukti sebagai
penyelamat dalam pengobatan dengan lamivudine. Dosis yang dianjurkan untuk
penggunaan adefovir adalah 10 mg per-hari. Efek samping penggunaan adefovir jika
digunakan dosis tinggi yaitu sebesar 30 mg per-hari adalah gagal ginjal (PPHI, 2006).
Selain itu, terdapat bukti baru bahwa pengobatan dengan interferon selama 12 bulan dapat
memperbaiki angka serokonversi HbeAg. Penderita hepatitis anak dengan ALT tinggi
memberikan respons terhadap IFN-α dengan angka keberhasilan yang sama dengan orang
dewasa. Lama terapi interferon adalah 4 hingga 6 bulan. Penggunaan interferon dapat
menimbulkan efek samping berupa sindrom menyerupai influenza, supresi sumsum tulang,
depresi, dan alopesia. Interferon tidak boleh diberikan pada pasien dengan sirosis karena
dapat terjadi perburukan fungsi hati (PPHI, 2006).
Pegylated interferon memiliki mekanisme kerja ganda yaitu sebagai imunomodulator dan
antivirus. Sebagai imunomodulator, pegylated interferon akan mengaktivasi makrofag, sel
natural killer (NK), dan limfosit T sitotoksik serta memodulasi pembentukan antibodi yang
akan meningkatkan respon imun hospes untuk melawan virus hepatitis B. Sedangkan
aktivitas antivirus dilakukan dengan menghambat replikasi virus hepatitis B secara
langsung melalui aktivasi endo-ribonuklease, elevasi protein kinase, dan induksi 2’,5’-
oligodenylate synthetase. Pada saat ini yang telah diterima sebagai obat untuk hepatitis B
Kronis adalah pegylated interferon α-2a (PPHI, 2006).
Pada kasus hepatitis fulminan diperlukan perawatan intensif. Terapi transplantasi hati dapat
mengalami komplikasi akibat kemungkinan reinfeksi cangkok dari lokasi ekstrahepatik.
Transplantasi hati untuk penyakit hati dekompensata tahap akhir dapat berhasil pada pasien
tertentu, meskipun reinfeksi hati dari ekstrahepatik hampir selalu terjadi. Supresi replikasi
virus pada saat ini penting untuk melindungi dari hepatitis pasca transplantasi (Mandal &
Wilkins, 2006).
j. Edukasi dan Pencegahan

k. Komplikasi
Komplikasi hepatik dapat terjadi hepatitis fulminan, hepatitis kronik aktif, hepatitis kronik
persisten, sirosis hepatis, hepatitis kolestatik dan hepatitis relaps, serta Hepatoma.
Komplikasi ekstrahepatik seperti anemia aplastik, anemia hemolitik, trombositopeni,
Sindrom GuillainBarre (GBS), ensephalomielitis, sindrom pascahepatitis (sindrom
kelelahan kronis), glomerulonefritis, dan vaskulitis.
l. Prognosis
Mortalitas keseluruhan dari VHB akut adalah 1-3%, namun 25-30% pasien karier kronis
akan mengalami hepatitis kronis dengan nekroinflamasi, 25% dari pasien tersebut akan
mengalami sirosis dan/atau hepatoma. Median harapan hidup setelah onset sirosis
dekompensata adalah kurang dari 5 tahun dan 1-3% berkembang menjadi hepatoma setiap
tahun
Menurut WHO tahun 2002, prognosis tidak pasti, terutama pada infeksi awal yang
berkembang menjadi fulminan yang merupakan kasus fatal pada nekrosis hepatitis akut.
Pada anak jarang terjadi penyakit klinis yang akut, tetapi kebanyakan anak yang terinfeksi
sebelum usia tujuh tahun akan mengalami karier kronis.
m. SKDI
3A. Bukan gawat darurat
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi pendahuluan
pada keadaan yang bukan gawat darurat. Lulusan dokter mampu menentukan rujukan yang
paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu
menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.

Hepatosit yang mengalami apoptosis juga menstimuli aksi fibrogenik sel stelata hati. Sel stelata hati yang
teraktivasi melepaskan sitokin yang semakin meningkatkan jumlah sel stelata hati yang teraktivasi. TGF-β
merupakan sitokin pro- fibrogenik utama yang menginduksi miofibroblas membentuk α-smooth muscle actin
(α-SMA) dan kolagen fibrillar (collagen type-1), sehingga terbentuk matrik fibrotik.

Anda mungkin juga menyukai