Anda di halaman 1dari 12

LEARNING ISSUE

1. GNAPS
a. Definisi
GN akut pascainfeksi, salah satu dari kelainan glomerulus yang paling sering terjadi,
disebabkan oleh pengendapan kompleks imun pada glomerulus yang mengakibatkan
proliferasi sel glomerulus dan kerusakan terhadap sel glomerulus serta sebukan
leukosit, terutama neutrofil.
GNAPS  Proses peradangan dan proliferasi sel di glomeruli ginjal yang ditimbulkan
oleh reaksi imunologik terhadap antigen tertentu.

b. Epidemiologi
Insiden penyakit ini tidak diketahui secara tepat, diperkirakan jauh lebih tinggi dari
data statistik yang dilaporkan oleh karena banyaknya pasien yang tidak menunjukkan
gejala(asimtomatik) sehingga tidak terdeteksi. GNAPS dapat terjadi pada semua usia
terutama menyerang anak pada masa awal usia sekolah (2-12 tahun), jarang dibawah
usia 2 tahun (5%) , 10% pada dewasa dan rasio laki-laki : perempuan = 2:1
Di negara maju, insiden GNAPS berkurang akibat sanitasi yang lebih baik dan
pengobatan dini penyakit infeksi, sedangkan di negara sedang berkembang insiden
GNAPS masih banyak dijumpai. Di Indonesia & Kashmir, GNAPS lebih banyak
ditemukan pada golongan social ekonomi rendah, masing-masing 68,9% dan 66,9%.

c. Klasifikasi
Berbagai penyakit atau keadaan yang digolongkan ke dalam SNA antara lain :
a) Glomerulonefritis kronik eksaserbasi akut
b) Penyakit ginjal dengan manifestasi hematuria
- Glomerulonefritis fokal
- Nefritis herediter (sindrom Alport)
- Nefropati IgA-IgG (Maladie de Berger)
- Benign recurrent hematuria
c) Glomerulonefritis progresif cepat
d) Penyakit – penyakit sistemik
- Purpura Henoch-Schöenlein (HSP)
- Lupus erythematosus sistemik (SLE)
- Endokarditis bakterial subakut (SBE)
d. Faktor Resiko
GNAPS dapat terjadi secara sporadik ataupun epidemik. Biasanya kasus terjadi pada
kelompok sosioekonomi rendah, berkaitan dengan higiene yang kurang baik dan jauh
dari tempat pelayanan kesehatan. Risiko terjadinya nefritis 5% dari infeksi kuman
streptokokus beta hemolitikus grup A yang menyerang tenggorokan sampai 25% yang
menyerang kulit (pioderma), sedangkan tanpa melihat tempat infeksi risiko terjadinya
nefritis 10-15%.Rasio terjadinya GNAPS pada pria dibanding wanita adalah 2:1.
Penyakit ini terutama menyerang kelompok usia sekolah 5-15 tahun, pada anak < 2
tahun kejadiannya kurang dari 5%.
Kejadian glomerulonefritis pasca streptokokus sudah mulai menurun pada negara
maju, namun masih terus berlanjut pada negara berkembang, penurunan kejadian
GNAPS berkaitan banyak faktor diantaranya penanganan infeksi streptokokus lebih
awal dan lebih mudah oleh pelayanan kesehatan yang kompeten. Di beberapa negara
berkembang, glomerulonefritis pasca streptokokus tetap menjadi bentuk sindroma
nefritik yang paling sering ditemui. Attack rate dari glomerulonefritis akut terlihat
memiliki pola siklus, yaitu sekitar setiap 10 tahun.

e. Etiologi
Glomerulonefritis pasca streptokokus didahului oleh infeksi Streptococcus β
hemolyticus grup A jarang oleh streptokokus tipe lain. Beberapa tipe yang sering
menyerang saluran napas adalah dari tipe M 1,2,4,12,18,25 dan yang menyerang kulit
adalah tipe M 49,55,57,60.

f. Pathogenesis
Infeksi streptokokus → antigen (protein M streptokokus) → respon antibodi terhadap
antigen → kompleks antigen-antibodi dalam darah, beredar di sirkulasi → mengendap
pada membrane basalis kapiler glomeruli → aktivasi sistem komplemen →
fagositosis dan pelepasan enzim lisozim → merusak endotel dan basal membrane
glomerulus → perubahan permeabilitas glomerulus → glomerulonefritis akut

Mekanisme dasar terjadinya sindrom nefritik akut pasca infeksi streptokokus adalah
adanya suatu proses imunologis yang terjadi antara antibody spesifik dengan antigen
streptokokus. Proses ini terjadi didinding kapiler glomerulus dan mengakibatkan
aktivasi sistem komplemen. Selanjutnya sistem komplemen memproduksi aktivator
komplemen 5a (C5a) dan mediator-mediator inflamasi lainnya.Sitokin dan faktor
pemicu imunitas seluler lainnya akan menimbulkan respon inflamasi dengan
manifestasi proliferasi sel dan edema glomerular. Penurunan laju filtrasi glomerulus
berhubungan dengan penurunan koefisien ultra filtrasi glomerulus. Penurunan laju
filtrasi glomerulus diikuti penurunan ekskresi atau kenaikan reabsorbsi natrium
sehingga terdapat penimbunan natrium dengan air selanjutnya akan diikuti kenaikan
volume plasma dan volume cairan ekstraselular sehingga akan timbul gambaran klinis
oliguria,hipertensi,edema dan bendungan sirkulasi.

g. Patofisiologi
Infeksi streptokokus → respon antibodi→ kompleks antigen-antibodi dalam darah →
sirkulasi ke dalam glomerulus dan membran basalis → komplemen terfiksasi dan
mengakibatkan peradangan yang menarik leukosit PMN dan trombosit →fagositosis
dan pelepasan lisosom → kerusakan endotel dan membran basalis → kebocoran
kapiler glomerulus → kerusakan glomerulus → protein dan sel darah dapat keluar →
proteinuria dan hematuria
Hipertensi
↓fungsi ginjal → ↓ekskresi natrium → retensi natrium dan air → gangguan
keseimbangan → hipertensi, edema, oliguria

h. Manifestasi Klinik
GNAPS didahului oleh infeksi melalui infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) atau
infeksi kulit (piodermi) dengan periode laten 1-2 minggu pada ISPA atau 3 minggu
pada pioderma.Penelitian multisenter di Indonesia menunjukkan bahwa infeksi
melalui ISPA terdapat pada 45,8% kasus sedangkan melalui kulit sebesar 31,6%.
Gejala klinik GNAPS sangat bervariasi dari bentuk asimtomatik sampai gejala yang
khas. Bentuk asimtomatik lebih banyak daripada bentuk simtomatik baik sporadik
maupun epidemik.
Manifestasi Klinis GNAPS simtomatik  hematuria (makroskopis pada 65%), edema
(75%), oliguria(5-10%) dan hipertensi(50%). Gejala klinis timbul dalam 5-21 hari
(rerata 10 hari) setelah infeks streptokokus nefritogenik.
Selain gejala-gejala utama diatas, kadang-kadang dijumpai gejala umum seperti lelah,
malaise, letargi dan anoreksia. Gangguan tersebut biasanya menghilang dalam
minggu pertama setelah istirahat di tempat tidur. Gejala gastrointestinal seperti
nausea, sakit perut, konstipasi jarang ditemukan. Gejala pucat disebabkan anemia
karena proses dilusi dan edema yang menekan kapiler-kapiler.

i. Komplikasi
Komplikasi yang sering dijumpai adalah :
- Ensefalopati hipertensi (EH).
EH adalah hipertensi berat (hipertensi emergensi) yang pada anak > 6 tahun dapat
melewati tekanan darah 180/120 mmHg. EH dapat diatasi dengan memberikan
nifedipin (0,25 – 0,5 mg/kgbb/dosis) secara oral atau sublingual pada anak dengan
kesadaran menurun. Bila tekanan darah belum turun dapat diulangi tiap 15 menit
hingga 3 kali. Penurunan tekanan darah harus dilakukan secara bertahap. Bila
tekanan darah telah turun sampai 25%, seterusnya ditambahkan kaptopril (0,3 – 2
mg/kgbb/hari) dan dipantau hingga normal.
- Gangguan ginjal akut (Acute kidney injury/AKI)
Pengobatan konservatif :
a) Dilakukan pengaturan diet untuk mencegah katabolisme dengan memberikan
kalori secukupnya, yaitu 120 kkal/kgbb/hari
b) Mengatur elektrolit :
Bila terjadi hiponatremia diberi NaCl hipertonik 3%.
Bila terjadi hipokalsemia diberikan :
Calcium Gluconas 10% 0,5 ml/kgbb/hari
NaHCO 7,5% 3 ml/kgbb/hari
K exchange resin 1 g/kgbb/hari
Insulin 0,1 unit/kg & 0,5 – 1 g glukosa 0,5 g/kgbb
- Edema paru
Anak biasanya terlihat sesak dan terdengar ronki nyaring, sehingga sering
disangka sebagai bronkopneumoni.
- Posterior leukoencephalopathy syndrome
Merupakan komplikasi yang jarang dan sering dikacaukan dengan ensefalopati
hipertensi, karena menunjukkan gejala-gejala yang sama seperti sakit kepala,
kejang, halusinasi visual, tetapi tekanan darah masih normal.

j. Penegakan diagnosis
a) Anamnesis
Pada anamnesis didapatkan riwayat infeksi saluran nafas 2 minggu sebelum
masuk rumah sakit diikuti bengkak di kelopak mata , BAK seperti air teh tua
dengan jumlah yang sedikit, dan sakit kepala.
b) Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan edema palpebra, hipertensi stadium II.
c) Pemeriksaan Penunjang
Urinalisa
Jumlah urin biasanya berkurang dan berawarna gelap atau coklat (seperti air
cucian daging). Hematuria biasanya terdapat pada hampir semua pasien dapat
secara makroskopik maupun mikroskopik. Toraks eritrosit didapatkan pada 60-
85% kasus yang menunjukkan adanya perdarahan glomerulus. Pada penderita
GNAPS mungkin pula memberikan gejala-gejala leukosituria, toraks hialin dan
torak glomeruler. Proteinuria biasanya tidak melebihi +2, secara kuantitatif pada
umumnya kurang dari 2 gram/m2/24 jam. Pada kasus proteinuria +3 harus
dipertimbangkan adanya gejala sindroma nefrotik atau akibat hematuria
makroskopik. Hilangnya proteinuria tidak selalu bersamaan dengan hilangnya
gejala-gejala klinik sebab lamanya proteinuri bervariasi antara beberapa minggu
sampai beberapa bulan. Sebagai batas 6 bulan, bila lebih dari 6 bulan masih
terdapat proteinuria, disebut proteinuria persisten yang menunjukkan suatu
glomerulonefritis kronik sehingga memerlukan biopsi ginjal untuk
membuktikannya.
Fungsi ginjal
LFG pada umumnya berkurang dan pengurangan ini biasanya sejajar dengan
beratnya kerusakan secara histologis. Menurunnya LFG terjadi akibat tertutupnya
permukaan glomerulus dengan deposit kompleks imun. Kadar ureum dan
kreatinin serum umumnya meningkat pada fase akut tetapi kemudian akan
kembali normal. Pada sejumlah kecil kasus dapat disertai azotemia berat disertai
peningkatan fosfat, hiperkalemia, hipokalsemia dan asidosis metabolik
Darah
Anemia normokrom normositer dapat terjadi yang disebabkan hemodilusi.
Beberapa peneliti melaporkan adanya pemendekan masa hidup eritrosit,
trombositopenia, peningkatan fibrinogen, faktor VIII dan aktivasi plasmin. Jumlah
leukosit pada umumnya normal atau dapat pula sedikit meningkat dan jumlah
trombosit pada umumnya normal. Laju endap darah (LED) pada umumnya
meninggi pada fase akut dan menurun sesudah gejala klinik menghilang.
Walaupun demikian LED tidak dipakai sebagai parameter sembuhnya GNAPS
karena terdapat kasus-kasus GNA dengan LED tinggi walaupun gejala-gejala
klinik sudah tidak ada.
Kadar albumin dan protein total serum pada umumnya sedikit menurun yang
disebabkan proses dilusi. Menurunnya kadar albumin serum berbanding terbalik
dengan jumlah deposit imun kompleks pada mesangial glomerulus.
Bakteriologi
Pemeriksaan bakteriologi penting untuk mengisolasi dan mengidentifikasi kuman
streptokokus. Biakan mungkin hasilnya negatif bila pasien telah diberi
antimikroba. Pemeriksaan bakterologi ini hanya bersifat mendukung adanya
infeksi streptokokus sebelumnya, tetapi tidak dapat memastikan diagnosis
GNAPS karena sebagian besar penderita menunjukkan hasil negatif dan adanya
hasil yang positif tidak menjamin mempunyai sifat nefritogenik, mungkin hanya
infeksi sekunder dipengaruhi pemberian antibiotika.
Serologi
Pada pemeriksaan serologi dijumpai adanya peningkatan titer antibodi tehadap
produksi antigen ekstraseluler streptokokus. Kenaikkan titer antibodi ini dapat
diukur dengan tes streptosim yaitu antistreptolisin-O (ASTO), antistreptokinase
(ASKase), antihialuronidase (aHase), antideoksiribonuklease-B (anti-DNase-B),
antinikotiniladenin dinukleotidase (ANADase) yang digunakan untuk memastikan
infeksi streptokokus sebelumnya. Titer ASTO adalah yang diukur karena mudah
dititrasi dan biasanya diperiksa pada akhir minggu pertama atau permulaan
minggu kedua oleh karena ASTO meningkat pada waktu-waktu tersebut.
Kenaikan titer ASTO timbul 10-14 hari setelah infeksi streptokokus, mencapai
puncak pada minggu ke 4 dan tetap tinggi beberapa bulan.
Respon imunologi terhadap infeksi streptokokus pada faringitis berbeda dengan
yang terdapat pada kulit. Sebagian besar anak-anak (95%) dengan faringitis akan
berespon dengan peningkatan antibodi terhadap antigen multipel. Pada infeksi
kulit atau piodermi, titer ASTO jarang meningkat karena perubahan atau
inaktivasi streptolisin oleh lemak kulit akan tetapi titer anti-Dnase-B tetap
meningkat pada 90-95% kasus. Pengukuran titer setiap dua minggu akan
menunjukkan perubahan level dan akan memberikan kemaknaan yang lebih baik
bahwa infeksi sebelumnya secara sementara berhubungan dengan
glomerulonefritis.
Pemeriksaan imunologi
Kadar C3 rendah pada hampir semua pasien dalam 2 minggu pertama, tetapi C4
normal atau sedikit meningkat, sedangkan kadar properdin menurun pada 50%
kasus. Keadaan tersebut menunjukkan adanya aktivasi jalur komplemen. Keadaan
tersebut menunjukkan adanya aktivasi jalur aktif komplemen. Penurunan C3
sangat mencolok pada pasien GNAPS, sering kadarnya sekitar 20-40mg/dl
(normal: 80-170 mg%). Tetapi penurunan C3 tidak berhubungan dengan parahnya
penyakit dan kesembuhan. Kadar komplemen akan mencapai normal kembali
dalam waktu 8-10 minggu, sehingga pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan secara
serial. Pengamatan itu memastikan diagnosis, karena glomerulonefritis lain juga
menunjukkan penurunan kadar C3 tidak berlangsung lama.
Biopsi Ginjal
Biopsi ginjal jarang diindikasikan pada anak-anak dengan GNAPS, tetapi
sebaiknya dipertimbangkan pada keadaan sebagai berikut pada onset dengan
gejala yang atipikal seperti adanya anuria, sindroma nefrotik, azotemia yang
nyata, tidak ada bukti serologis yang menunjukkan adanya infeksi streptokokus
sebelumnya. Dan terlambatnya penyembuhan dengan kadar C3 yang menurun
secara persisten, hipertensi yang bermakna dan hematuria makroskopik setelah 3
minggu atau proteinuria yang persisten atau tanpa hematuria setelah 6 bulan.
Hematuria mikroskopik selama lebih dari 1 tahun mungkin muncul dan sebaiknya
diindikasikan untuk biopsi ginjal.
Pemeriksaan Radiologis
Pada foto toraks dapat ditemukan kardiomegali, bendungan paru dan efusi pleura.
Manifestasi klinis ini kemungkinan disebabkan adanya kongesti sirkulasi sentral
sekunder sebagai bagian dari venokonstriksi perifer dan hipervolemia. Menurut
penelitian Albar dkk, didapatkan gambaran radiologis sebagai berikut:
kardiomegali (84,1%), bendungan sirkulsi (68,2%), efusi pleura (65,9%) dan
edema paru (48,9%).
Elektrokardiografi
Bila tidak terdapat hiperkalemi, perubahan-perubahan pada EKG biasanya tidak
spesifik, umumnya berupa elevasi atau depresi segmen ST dan gelombang T
terbalik. Bila terdapat hiperkalemia akan didapatkan gambaran EKG berupa
gelombang T yang runcing yang merupakan gejala awal manifestasi pada jantung,
walaupun hal ini tidak selalu terlihat. Penemuan selanjutnya dapat berupa
pemanjangan PR interval, gelombang P yang mendatar, pelebaran kompleks QRS,
perubahan segmen ST, takikardia ventrikuler dan fibrilasi ventrikel terminal.

k. Diagnosis banding
Banyak kelainan ginjal yang menyerupai GNAPS, meliputi nefropati IgA,
glomerulonefritis kronik eksaserbasi akut, GNA infeksi lain, purpura
HenochSchöenlein, eritematosus dan endokarditis bakterial subakut.

l. Tatalaksana
Beratnya manifestasi klinis dari penderita GNAPS sangat bervariasi, sehingga tidak
semua pasien memerlukan perawatan di rumah sakit. Perawatan di rumah sakit hanya
dianjurkan untuk anak yang menderita hipertensi, edema yang berat, oliguria,
penurunan fungsi ginjal yang berat, adanya tanda dan gejala uremia atau dengan
muntah-muntah hebat dan letargis.
Terapi bersifat supportif dan simptomatik terhadap gejala serta komplikasi dari
nefritis akut. Jika terdapat bukti infeksi streptokokus, penderita GNAPS harus
mendapat terapi antibiotika antistreptokokus. Antibiotika pilihan untuk golongan
streptokokus grup A adalah penisilin (penisilin prokain 50.000 UI/kg/hari) atau
eritromisin (50 mg/kg/hari dibagi 3 dosis) selama 10 hari, alternatif lain seperti
klindamisin atau sefalosporin. Tujuan terapi antibiotika ini adalah untuk
mengeradikasi kuman dan membatasi penyebaran bakteri nefritogenik, namun tidak
mempengaruhi perjalanan penyakit serta prognosis nefritis.
Untuk mengatasi hipervolemia yang terjadi pada penderita GNAPS, diperlukan
penatalaksanaan dengan diuretika serta restriksi cairan. Diuretik loop seperti
furosemid (1-2 mg/kg/kali), bekerja di loop henle ascendens. Diuretika golongan ini
menghambat sistem transport lumen, dan menghalangi reabsorbsi natrium dan
klorida, dimana sampai 25% dari natrium yang difiltrasi beserta air dapat diekskresi.
Restriksi cairan sangat penting untuk penatalaksanaan hipertensi ringan,
menghilangkan edema dan kongesti sirkulasi. Masukan cairan dibatasi sesuai jumlah
insensible water loss (IWL) untuk mengimbangi kebutuhan cairan ketika terapi
dengan diuretik. Sedangkan pada penderita dengan oligouri kurang memberi respon
dengan diuretik dan pembatasan cairan sehingga cairan harus dibatasi ketat untuk
mengatasi edema dan hipervolemia.
Efek penghambat ACE adalah menghalangi konversi angiotensin I menjadi
angiotensin II melalui penghambatan aktivitas enzim konvertase, sehingga
mengurangi produksi aldosteron serta menurunkan resistensi pembuluh darah sistemik
sehingga menurunkan tekanan darah. Captopril adalah salah satu penghambat ACE.
Captopril akan menurunkan resistensi vaskular dan meningkatkan kapasitas vena,
sehingga curah jantung meningkat dan tekanan pengisian jantung menurun. Selain itu
dapat memberikan efek diuresis ringan karena aliran darah ginjal yang meningkat
serta berkurangnya aldosteron. Dosis yang diberikan 0,3 mg/kg/hari dibagi 2-3 dosis.
Terapi antihipertensi dapat diteruskan dengan dosis maintenans apabila diperlukan.
Pembatasan aktivitas dilakukan selama fase awal, terutama bila ada hipertensi, gross
hematuria dan edema berat. Tirah baring dapat menurunkan derajat dan durasi gross
hematuria. Pembatasan bahan makanan (restriksi cairan, diet rendah garam, rendah
protein) tergantung kepada beratnya edema, gagal ginjal dan hipertensi.

m. Edukasi dan pencegahan


Menjaga oral hygiene yang baik dan bersih, serta penggunaan antibiotik dengan
benar. Penderita dan keluarganya perlu dijelaskan mengenai perjalanan dan prognosis
penyakitnya. Keluarga perlu memahami bahwa meskipun kesembuhan yang
sempurna diharapkan (95%), masih ada kemungkinan kecil terjadinya kelainan yang
menetap dan bahkan memburuk (5%). Perlu dielaskan rencana pemantauan
selanjutnya, pengukuran tekanan darah dan pemeriksaan urine untuk protein dan
hematuria dilakukan dengan interval 4-6 minggu untuk 6 bulan pertama, kemudian
tiap 3-6 bulan sampai hematuria dan proteinuria menghilang dan tekanan darah
normal untuk selama 1 tahun.

n. Prognosis
Penyakit ini dapat sembuh sempurna dalam waktu 1-2 minggu bila tidak ada
komplikasi, sehingga sering digolongkan ke dalam self limiting disease. Walaupun
sangat jarang, GNAPS dapat kambuh kembali. Pada umumnya perjalanan penyakit
GNAPS ditandai dengan fase akut yang berlangsung 1-2 minggu, kemudian disusul
dengan menghilangnya gejala laboratorik terutama hematuria mikroskopik dan
proteinuria dalam waktu 1-12 bulan. Pada anak 85-95% kasus GNAPS sembuh
sempurna, sedangkan pada orang dewasa 50-75% GNAPS dapat berlangsung kronis,
baik secara klinik maupun secara histologik atau laboratorik. Pada orang dewasa
kira-kira 15-30% kasus masuk ke dalam proses kronik, sedangkan pada anak 5-10%
kasus menjadi glomerulonefritis kronik. Walaupun prognosis GNAPS baik, kematian
bisa terjadi terutama dalam fase akut akibat gangguan ginjal akut (Acute kidney
injury), edema paru akut atau ensefalopati hipertensi.

Prognosis baik, 95% sembuh sempuma, 3% meninggal karena komplikasi, 2%


berkembang menjadi GGK.
“Self limited disease”
• Edema biasanya menghilang dalam 5-10 hari
• Hematuria makroskopik biasanya menghilang dalam 1 – 3 minggu
• Tekanan darah kembali normal dalam 2 – 3 minggu
• Kadar C3 kembali normal dalam 8 – 10 minggu
• Proteinuria menghilang 2 – 3 bulan, tapi dapat menetap sampai 6 bulan
• Hematuria mikroskopik menghilang dalam 3 – 6 bulan, dapat sampai 1 tahun
Anak kecil mempunyai prognosis lebih baik dibanding anak yang lebih besar atau
orang dewasa oleh karena GNAPS pada dewasa sering disertai lesi nekrotik
glomerulus.

o. SKDI

2. Urinalisis

A) Volume
Urin rata-rata : 1-1,5 liter setiap hari; tergantung luas permukaan tubuh dan intake
cairan.
JUMLAH URINE (PRODUKSI URINE PER 24 JAM)
Bayi : 30 - 500 ml
Anak (1-14 th) : 500 - 1400 ml
Dewasa : 600 - 1600 ml
anuria : ≤100 ml
oliguria : 100 - 600 ml
poliuria : >1600 ml
Oliguria <1mL/ kg BB perjam pada bayi, <0.5mL/kgBB perjam pada anak, <400 mL
perhari pada dewasa.
B) Warna
Kuning bening oleh adanya urokhrom. Secara normal warna dapat berubah,
tergantung jenis bahan /obat yang dimakan. banyak carotein, warna kuning banyak
melanin, warna coklat kehitam-hitaman. banyak darah, warna merah tua (hematuria)
banyak nanah, warna keruh (piuria) adanya protein, warna keruh (proteinuri).
C) Bau
Urin baru, bau khas sebab adanya asam-asam yg mudah menguap. Urin lama, bau
tajam sebab adanya NH3 dari pemecahan ureum dalam urine. Bau busuk, adanya
nanah dan kuman-kuman. Bau manis, adanya aseton.
D) Berat Jenis Urin
Normal : 1,003-1,03; rata-rata 1,008
E) pH Urin
Kurang lebih ph = 6 atau sekitar 4,8-7,5. Pemeriksaan dgn kertas lakmus (reaksi) :
Urin asam, warna merah dan Urin basa, warna biru.

Urin normal umumnya berwarna kuning. Urin encer warna kuning pucat (kuning
jernih),urin kental berwarna kuning pekat. PH urin normal berkisar 4,8-7,5 urin akan ber pH
asam jika mengonsumsi banyak protein dan bersifat basa jika banyak mengonsumsi sayuran.
Berat jenis urin normal ialah 1,002-1,030. Vol urin normal 900-1200ml/hari. Volume urin
dipengaruhi suhu, zat-zat diuretic (teh, alcohol, kopi, obat diuertik), jumlah air yang
diminum, hormone ADH dan emosi. Volume urin normal bervariasi :

- 1 – 3 tahun : 500 – 600 ml


- 3 – 5 tahun : 600 – 700 ml
- 5 – 8 tahun : 700 – 1000 ml
- 8 – 14 tahun : 800 – 1400 ml
- 14 tahun – dewasa : 1500 ml

Pada penderita ini termasuk hipertensi derajat berat, yang bila tidak dilakukan dengan pengamatan
yang benar dapat berkembang menjadi hipertensi ensefalopati. Terapi yang diberikan pada penderita
ini adalah captopril 2 x 6,25 mg peroral. Terapi antihipertensi ini masih diteruskan setelah normotensi
stabil beberapa hari dan diturunkan secara bertahap. Diuretika yang poten juga diberikan untuk
hipertensi. Terapi yang diberikan adalah furosemide 3 x 25 mg .

Anda mungkin juga menyukai