Anda di halaman 1dari 26

BAB II

KONSEP TEORI
2.1 Definisi

Peritonitis adalah inflamasi peritoneum-lapisan membrane serosa rongga abdomen


dan meliputi visera merupakan penyulit berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut
maupun kronis atau kumpulan tanda dan gejala, diantaranya nyeri tekan dan nyeri lepas
pada palpasi, defans muscular, dan tanda-tanda umum inflamasi. Pasien dengan
peritonitis dapat mengalami gejala akut, penyakit ringan dan terbatas, atau penyakit
berat dan sistemikengan syok sepsis.(Ardi.2012)

Peritonitis adalah inflamasi rongga peritoneum yang disebabkan oleh infiltrasi isi
usus dari suatu kondisi seperti ruptur apendiks, perforasi/trauma lambung dan
kebocoran anastomosis.

Peritonitis adalah peradangan pentoneum yang merupakan komplikasi berbahaya


akibat penyebaran infeksi dari organ organ abdomen (apendisitis, pankreatitis, dll)
reputra saluran cerna dan luka tembus abdomen.

2.2 Klasifikasi

Berdasarkan patogenesis peritonitis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Peritonitis bakterial primer merupakan peritonitis akibat kontaminasi bakterial


secara hematogen pada cavum peritoneum dan tidak ditemukan fokus infeksi
dalam abdomen. Penyebabnya bersifat monomikrobial, biasanya E. Coli,
Sreptococus atau Pneumococus. Peritonitis bakterial primer dibagi menjadi dua,
yaitu:
a. Spesifik: misalnya Tuberculosis
b. Non spesifik: misalnya pneumonia non tuberculosis dan Tonsilitis.

1
2. Peritonitis bakterial akut sekunder (supurativa), Peritonitis yang mengikuti suatu
infeksi akut atau perforasi tractusi gastrointestinal atau tractus urinarius. Pada
umumnya organisme tunggal tidak akan menyebabkan peritonitis yang fatal.
Sinergisme dari multipel organisme dapat memperberat terjadinya infeksi
ini.Bakteri anaerob, khususnya spesies Bacteroides, dapat memperbesar
pengaruh bakteri aerob dalam menimbulkan infeksi.

Selain itu luas dan lama kontaminasi suatu bakteri juga dapat memperberat
suatu peritonitis. Kuman dapat berasal dari:

a. Luka/trauma penetrasi, yang membawa kuman dari luar masuk ke dalam


cavum peritoneal.
b. Perforasi organ-organ dalam perut, contohnya peritonitis yang disebabkan
oleh bahan kimia, perforasi usus sehingga feces keluar dari usus.
c. Komplikasi dari proses inflamasi organ-organ intra abdominal, misalnya
appendisitis.
3. Peritonitis tersier, misalnya:
a. Peritonitis yang disebabkan oleh jamur.
b. Peritonitis yang sumber kumannya tidak dapat ditemukan.
Merupakan peritonitis yang disebabkan oleh iritan langsung, sepertii
misalnya empedu, getah lambung, getah pankreas, dan urine.

Bentuk lain dari peritonitis:

1. Aseptik/steril peritonitis.
2. Granulomatous peritonitis.
3. Hiperlipidemik peritonitis.
4. Talkum peritonitis.

2
2.3 Anatomi dan Fisiologi

Peritoneum adalah mesoderm lamina lateralis yang tetap bersifat epitelial. Pada
permulaan, mesoderm merupakan dinding dari sepasang rongga yaitu coelom. Di antara
kedua rongga terdapat entoderm yang merupakan dinding enteron. Enteron didaerah
abdomen menjadi usus. Kedua rongga mesoderm, dorsal dan ventral usus saling
mendekat, sehingga mesoderm tersebut kemudian menjadi peritonium.

Peritoneum terdiri dari dua bagian yaitu peritoneum paretal yang melapisi dinding
rongga abdomen dan peritoneum visceral yang melapisi semua organ yang berada dalam
rongga abdomen.Ruang yang terdapat diantara dua lapisan ini disebut ruang peritoneal
atau kantong peritoneum.Pada laki-laki berupa kantong tertutup dan pada perempuan
merupakan saluran telur yang terbuka masuk ke dalam rongga peritoneum, di dalam
peritoneum banyak terdapat lipatan atau kantong. Lipatan besar (omentum mayor) banyak
terdapat lemak yang terdapat disebelah depan lambung. Lipatan kecil (omentum minor)
meliputi hati, kurvaturan minor, dan lambung berjalan keatas dinding abdomen dan
membentuk mesenterium usus halus.

Lapisan peritoneum dibagi menjadi 3, yaitu:

a. Lembaran yang menutupi dinding usus, disebut lamina visceralis (tunika serosa).
b. Lembaran yang melapisi dinding dalam abdomen disebut lamina parietalis.
c. Lembaran yang menghubungkan lamina visceralis dan lamina parietalis.

Fungsi peritoneum:

a. Menutupi sebagian dari organ abdomen dan pelvis.


b. Membentuk pembatas yang halus sehinggan organ yang ada dalam rongga
peritoneum tidak saling bergesekan.
c. Menjaga kedudukan dan mempertahankan hubungan organ terhadap dinding
posterior abdomen.
d. Tempat kelenjar limfe dan pembuluh darah yang membantu melindungi
terhadap infeksi.(nuzulul.2012)

3
2.4 Etiologi

Infeksi bakteri

1. Mikroorganisme berasal dari penyakit saluran gastrointestinal


2. Appendisitis yang meradang dan perforasi
3. Tukak peptik (lambung/dudenum)
4. Tukak thypoid
5. Tukak disentri amuba/colitis
6. Tukak pada tumor
7. Salpingitis
8. Divertikulitis

Kuman yang paling sering ialah bakteri Coli, streptokokus alpha dan beta
hemolitik, stapilokokus aurens, enterokokus dan yang paling berbahaya adalah
clostridium wechii.

1. Secara langsung dari luar.


a. Operasi yang tidak steril
b. Terkontaminasi talcum venetum, lycopodium, sulfonamida, terjadi
peritonitisyang disertai pembentukan jaringan granulomatosa sebagai
respon terhadap benda asing, disebut juga peritonitis granulomatosa
serta merupakan peritonitis lokal.
c. Trauma pada kecelakaan seperti rupturs limpa, ruptur hati.
d. Melalui tuba fallopius seperti cacing enterobius vermikularis.
Terbentuk pula peritonitis granulomatosa.
2. Secara hematogen sebagai komplikasi beberapa penyakit akut seperti radang
saluran pernapasan bagian atas, otitis media, mastoiditis, glomerulonepritis.
Penyebab utama adalah streptokokus atau pnemokokus.

Bentuk peritonitis yang paling sering ialah Spontaneous bacterial Peritonitis


(SBP) dan peritonitis sekunder. SBP terjadi bukan karena infeksi intra abdomen,
tetapi biasanya terjadi pada pasien yang asites terjadi kontaminasi hingga kerongga
peritoneal sehingga menjadi translokasi bakteri munuju dinding perut atau pembuluh
limfe mesenterium, kadang terjadi penyebaran hematogen jika terjadi bakterimia dan

4
akibat penyakit hati yang kronik. Semakin rendah kadar protein cairan asites, semakin
tinggi risiko terjadinya peritonitis dan abses.

Terjadi karena ikatan opsonisasi yang rendah antar molekul komponen asites
pathogen yang paling sering menyebabkan infeksi adalah bakteri gram negative E.
Coli 40%, Klebsiella pneumoniae 7%, spesies Pseudomonas, Proteus dan gram
lainnya 20% dan bakteri gram positif yaitu Streptococcus pnemuminae 15%, jenis
Streptococcus lain 15%, dan golongan Staphylococcus 3%, selain itu juga terdapat
anaerob dan infeksi campur bakteri.

Peritonitis sekunder yang paling sering terjadi disebabkan oleh perforasi atau
nekrosis (infeksi transmural) organ-organ dalam dengan inokulasi bakteri rongga
peritoneal terutama disebabkan bakteri gram positif yang berasal dari saluran cerna
bagian atas.

Peritonitis tersier terjadi karena infeksi peritoneal berulang setelah mendapatkan


terapi SBP atau peritonitis sekunder yang adekuat, bukan berasal dari kelainan organ,
pada pasien peritonisis tersier biasanya timbul abses atau flagmon dengan atau tanpa
fistula. Selain itu juga terdapat peritonitis TB, peritonitis steril atau kimiawi terjadi
karena iritasi bahan-bahan kimia, misalnya cairan empedu, barium, dan substansi
kimia lain atau prses inflamasi transmural dari organ-organ dalam (Misalnya penyakit
Crohn). (Ardi.2012)

2.5 Patofisiologi

Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat
fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang
menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi.
Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai
pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi usus.

Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran mengalami


kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif, maka dapat
menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti misalnya interleukin,
dapat memulai respon hiperinflamatorius, sehingga membawa ke perkembangan

5
selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba untuk
mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan
juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung, tapi ini segera
gagal begitu terjadi hipovolemia.

Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami


oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ
tersebut meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen
usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem dinding abdomen termasuk
jaringan retroperitoneal menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia bertambah dengan
adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah.

Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut meningkatkan
tekana intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh menjadi sulit dan
menimbulkan penurunan perfusi.

Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila
infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum.Dengan perkembangan peritonitis
umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian
menjadi atoni dan meregang.Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus,
mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria.Perlekatan dapat
terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat mengganggu
pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus.

Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan ileus karena
adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik usus sebagai
usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaitu obstruksi
usus yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat total atau parsial,
pada ileus stangulasi obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi
iskemi yang akan berakhir dengan nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi
usus dan karena penyebaran bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat terjadi
peritonitis.(Ardi.2012)

6
2.6 Patway

Terlampir

2.7 Faktor Resiko

a. Adanya malnutrisi
b. Keganasan intraabdomen
c. Imunosupresi
d. Splenektomi
Limpa merupakan organ limfoid terbesar dalam tubuh, mengandung 25% limfosit T
dan10-15 % limfosit B dari jumlah total populasi.Limpa sebagai respon imun
nospesifik berfungsi menghilangkan pathogen dalam darah seperti bakteri dan virus yang
dibungkus dengan komplemen.Limpa juga sebagai respon imun spesifik memproduksi
antibody, selplasma, sel memori sebagai responnya terhadap antigen yang terjebak di
periarteriolar limfoid sheath.
Kelompok resiko tinggi adalah pasien dengan sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik,
lupuseritematosus sistemik, dan sirosis hepatis dengan asites.pasien dengan asites akibat
penyakit hati kronik. Akibat Asites akan terjadi kontaminasi hingga ke rongga peritoneal
sehingga menjadi translokasi bakteri menuju dinding perut atau pembuluh limfe
mesenterium, kadang-kadang terjadi penyebaran hematogen jika telah terjadi
bakteremia.(Scribd.2013)

7
2.8Komplikasi

Komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial akut sekunder, dimana


komplikasi tersebut dapat dibagi menjadi komplikasi dini dan lanjut, yaitu : (chushieri)

1. Komplikasi dini
a. Septikemia dan syok septic
b. Syok hipovolemik
c. Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan kegagalan
multisystem
d. Abses residual intraperitoneal
e. Portal Pyemia (misal abses hepar)
2. Komplikasi lanjut
a. Adhesi
b. Obstruksi intestinal rekuren. (Lili.2013)

2.9 Pencegahan

Cara pencegahan peritonitis utamanya adalah menghindari semua penyebabnya, baik


penyebabutama maupun penyebab sekundernya, yaitu Mengurangi minum alkohol dan obat yang
dapat menyebabkan sirosis.

a. Alkoholisme:
konsumsi alkohol yang berlebihan adalah salah satu faktor yang dapatmenyebabkan
sirosis. Karena alkohol memiliki efek yang toksik terhadap organ liver dandapat merusak
sel-sel pada liver.
b. Racun/obat-obatan
pemakaian jangka lama obat-obatan atau eksposur pada racun dapatmenyebabkan
kerusakan pada hati dan akhirnya terjadi sirosis.
Contoh-contoh dari obat-obat yang dapat menyebabkan hepatitis
akuttermasukacetaminophen (Tylenol), phenytoin (Dilantin), aspirin, isoniazid.
(Nydrazid,Laniazid), diclofenac (Voltaren), dan amoxicillin/clavulanic acid (Augmentin).
(Scrib.2013)

8
2.10 Manifestasi Klinis

Adanya darah atau cairan dalam rongga peritonium akan memberikan tanda-tanda
rangsangan peritonium. Rangsangan peritonium menimbulkan nyeri tekan dan defans
muskular, pekak hati bisa menghilang akibat udara bebas di bawah diafragma.
Peristaltik usus menurun sampai hilang akibat kelumpuhan sementara usus.

Bila telah terjadi peritonitis bakterial, suhu badan penderita akan naik dan terjadi
takikardia, hipotensi dan penderita tampak letargik dan syok. Rangsangan ini
menimbulkan nyeri pada setiap gerakan yang menyebabkan pergeseran peritonium
dengan peritonium.Nyeri subjektif berupa nyeri waktu penderita bergerak seperti jalan,
bernafas, batuk, atau mengejan.Nyeri objektif berupa nyeri jika digerakkan seperti
palpasi, nyeri tekan lepas, tes psoas, atau tes lainnya.

Diagnosis peritonitis ditegakkan secara klinis dengan adanya nyeri abdomen (akut
abdomen) dengan nyeri yang tumpul dan tidak terlalu jelas lokasinya (peritoneum
visceral) yang makin lama makin jelas lokasinya (peritoneum parietal). Tanda-tanda
peritonitis relative sama dengan infeksi berat yaitu demam tinggi atau pasien yang
sepsis bisa menjadi hipotermia, takikardi, dehidrasi hingga menjadi hipotensi. Nyeri
abdomen yang hebat biasanya memiliki punctum maximum ditempat tertentu sebagai
sumber infeksi. Dinding perut akan terasa tegang karena mekanisme antisipasi
penderita secara tidak sadar untuk menghindari palpasinya yang menyakinkan atau
tegang karena iritasi peritoneum. Pada wanita dilakukan pemeriksaan vagina bimanual
untuk membedakan nyeri akibat pelvic inflammatoru disease. Pemeriksaan-
pemeriksaan klinis ini bisa jadi positif palsu pada penderita dalam keadaan
imunosupresi (misalnya diabetes berat, penggunaan steroid, pascatransplantasi, atau
HIV), penderita dengan penurunan kesadaran (misalnya trauma cranial,ensefalopati
toksik, syok sepsis, atau penggunaan analgesic), penderita dengan paraplegia dan
penderita geriatric.(Ardi.2012)

2.11 Pemeriksaan Diagnostik


Test laboratorium
1. Leukositosis
Pada peritonitis tuberculosa cairan peritoneal mengandung banyak protein
(lebih dari 3 gram/100 ml) dan banyak limfosit, basil tuberkel diidentifikasi
9
dengan kultur. Biopsi peritoneum per kutan atau secara laparoskopi
memperlihatkan granuloma tuberkuloma yang khas, dan merupakan dasar
diagnosa sebelum hasil pembiakan didapat.
2. Hematokrit meningkat
3. Asidosis metabolic (dari hasil pemeriksaan laboratorium pada pasien
peritonitis didapatkan PH =7.31, PCO2= 40, BE= -4 )
4. X. Ray
Dari tes X Ray didapat:
Foto polos abdomen 3 posisi (anterior, posterior, lateral), didapatkan:
1. Illeus merupakan penemuan yang tak khas pada peritonitis.
2. Usus halus dan usus besar dilatasi.
3. Udara bebas dalam rongga abdomen terlihat pada kasus perforasi.
 Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk
pertimbangan dalam memperkirakan pasien dengan abdomen akut.
Pada peritonitis dilakukan foto polos abdomen 3 posisi, yaitu :
1. Tiduran terlentang (supine), sinar dari arah vertikal dengan
proyeksi anteroposterior.
2. Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan,
dengan sinar dari arah horizontal proyeksi anteroposterior.
3. Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan
sinar horizontal proyeksi anteroposterior.

Sebaiknya pemotretan dibuat dengan memakai kaset film yang


dapat mencakup seluruh abdomen beserta dindingnya. Perlu
disiapkan ukuran kaset dan film ukuran 35x43 cm. Sebelum terjadi
peritonitis, jika penyebabnya adanya gangguan pasase usus (ileus)
obstruktif maka pada foto polos abdomen 3 posisi didapatkan
gambaran radiologis antara lain:

1. Posisi tidur, untuk melihat distribusi usus, preperitonial fat,


ada tidaknya penjalaran. Gambaran yang diperoleh yaitu
pelebaran usus di proksimal daerah obstruksi, penebalan

10
dinding usus, gambaran seperti duri ikan (Herring bone
appearance).
2. Posisi LLD, untuk melihat air fluid level dan kemungkinan
perforasi usus. Dari air fluid level dapat diduga gangguan
pasase usus. Bila air fluid level pendek berarti ada ileus
letak tinggi, sedang jika panjang-panjang kemungkinan
gangguan di kolon.Gambaran yang diperoleh adalah adanya
udara bebas infra diafragma dan air fluid level.
3. Posisi setengah duduk atau berdiri. Gambaran radiologis
diperoleh adanya air fluid level dan step ladder appearance.

2.12Penatalaksanaan

1. Therapy umum
a. Istirahat
- Tirah baring dengan posisi fowler
- Penghisapan nasogastrik, kateter
b. Diet
- Cair → nasi
- Diet peroral dilarang
c. Medikamentosa
- Obat pertama
Cairan infus cukup dengan elektrolit, antibiotik dan vitamin
- Obat alternatif
Narkotika untuk mengurangi penderitaan pasien

2. Therapy Komplikasi
 Intervensi bedah untuk menutup perforasi dan menghilangkan sumber
infeksi.
Prinsip umum pengobatan adalah pemberian antibiotik yang sesuai
dekompresi saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik atau intestinal
penggantian cairan dan elektrolit yang dilakukan secara intravena,
pembuangan fokus septik (appendiks dsb) atau penyebab radang lainnya bila

11
mungkin dengan mengalirkan nanah keluar dan tindakan-tindakan
menghilangkan nyeri.

Management peritonitis tergantung dari diagnosis penyebabnya.Hampir semua


penyebab peritonitis memerlukan tindakan pembedahan (laparotomi eksplorasi).

 Pertimbangan dilakukan pembedahan


1. Pada pemeriksaan fisik didapatkan defans muskuler yang meluas,
nyeri tekan terutama jika meluas, distensi perut, massa yang nyeri,
tanda perdarahan (syok, anemia progresif), tanda sepsis (panas
tinggi, leukositosis), dan tanda iskemia (intoksikasi, memburuknya
pasien saat ditangani).
2. Pada pemeriksaan radiology didapatkan pneumo peritoneum, distensi
usus, extravasasi bahan kontras, tumor, dan oklusi vena atau arteri
mesenterika.
3. Pemeriksaan endoskopi didapatkan perforasi saluran cerna dan
perdarahan saluran cerna yang tidak teratasi.
4. Pemeriksaan laboratorium.

Pembedahan dilakukan bertujuan untuk :

1. Mengeliminasi sumber infeksi.


2. Mengurangi kontaminasi bakteri pada cavum peritoneal
3. Pencegahan infeksi intra abdomen berkelanjutan.

Apabila pasien memerlukan tindakan pembedahan maka kita harus mempersiapkan


pasien untuk tindakan bedah :

1. Mempuasakan pasien untuk mengistirahatkan saluran cerna.


2. Pemasangan NGT untuk dekompresi lambung.
3. Pemasangan kateter untuk diagnostic maupun monitoring urin.
4. Pemberian terapi cairan melalui I.V.
5. Pemberian antibiotic.

12
Terapi bedah pada peritonitis :

1. Kontrol sumber infeksi, dilakukan sesuai dengan sumber infeksi. Tipe dan luas
dari pembedahan tergantung dari proses dasar penyakit dan keparahan
infeksinya.
2. Pencucian ronga peritoneum: dilakukan dengan debridement, suctioning,kain
kassa, lavase, irigasi intra operatif. Pencucian dilakukan untuk menghilangkan
pus, darah, dan jaringan yang nekrosis.
3. Debridemen : mengambil jaringan yang nekrosis, pus dan fibrin.
4. Irigasi kontinyu pasca operasi.

Terapi post operasi:

1. Pemberian cairan I.V, dapat berupa air, cairan elektrolit, dan nutrisi.
2. Pemberian antibiotic
3. Oral-feeding, diberikan bila sudah flatus, produk ngt minimal, peristaltic usus
pulih, dan tidak ada distensi abdomen.

Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang
dilakukan secara intravena, pemberian antibiotika yang sesuai, dekompresi saluran
cerna dengan penghisapan nasogastrik dan intestinal, pembuangan fokus septik
(apendiks, dsb) atau penyebab radang lainnya, bila mungkin mengalirkan nanah keluar
dan tindakan-tindakan menghilangkan nyeri.

Resusitasi hebat dengan larutan saline isotonik adalah penting.Pengembalian


volume intravaskular memperbaiki perfusi jaringan dan pengantaran oksigen, nutrisi,
dan mekanisme pertahanan.Keluaran urine tekanan vena sentral, dan tekanan darah
harus dipantau untuk menilai keadekuatan resusitasi.

Terapi antibiotika harus diberikan sesegera diagnosis peritonitis bakteri dibuat.


Antibiotik berspektrum luas diberikan secara empirik, dan kemudian dirubah jenisnya
setelah hasil kultur keluar. Pilihan antibiotika didasarkan pada organisme mana yang
dicurigai menjadi penyebab.Antibiotika berspektrum luas juga merupakan tambahan
drainase bedah. Harus tersedia dosis yang cukup pada saat pembedahan, karena
bakteremia akan berkembang selama operasi.

13
Pembuangan fokus septik atau penyebab radang lain dilakukan dengan operasi
laparotomi. Insisi yang dipilih adalah insisi vertikal digaris tengah yang menghasilkan
jalan masuk ke seluruh abdomen dan mudah dibuka serta ditutup.Jika peritonitis
terlokalisasi, insisi ditujukan diatas tempat inflamasi.Tehnik operasi yang digunakan
untuk mengendalikan kontaminasi tergantung pada lokasi dan sifat patologis dari
saluran gastrointestinal.Pada umumnya, kontaminasi peritoneum yang terus menerus
dapat dicegah dengan menutup, mengeksklusi, atau mereseksi viskus yang perforasi.

Lavase peritoneum dilakukan pada peritonitis yang difus, yaitu dengan


menggunakan larutan kristaloid (saline). Agar tidak terjadi penyebaran infeksi ketempat
yang tidak terkontaminasi maka dapat diberikan antibiotika ( misal sefalosporin ) atau
antiseptik (misal povidon iodine) pada cairan irigasi. Bila peritonitisnya terlokalisasi,
sebaiknya tidak dilakukan lavase peritoneum, karena tindakan ini akan dapat
menyebabkan bakteria menyebar ketempat lain.

Drainase (pengaliran) pada peritonitis umum tidak dianjurkan, karena pipa drain itu
dengan segera akan terisolasi/terpisah dari cavum peritoneum, dan dapat menjadi
tempat masuk bagi kontaminan eksogen. Drainase berguna pada keadaan dimana terjadi
kontaminasi yang terus-menerus (misal fistula) dan diindikasikan untuk peritonitis
terlokalisasi yang tidak dapat direseksi.

Pengobatanyang pertama dilakukan adalah pembedahan eksplorasi darurat, terutama


bila terdapat apendisitis, ulkus peptikum yang mengalami perforasi atau
divertikulitis.Pada peradangan pankreas (pankreatitis akut) atau penyakit radang
panggul pada wanita, pembedahan darurat biasanya tidak dilakukan. Diberikan
antibiotik yang tepat, bila perlu beberapa macam antibiotik diberikan
bersamaan.(Ardi.2012)

14
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian

Keluhan utama yang sering muncul adalah nyeri kesakitan di bagian perut sebelah
kanan dan menjalar ke pinggang.

1. Riwayat Penyakit Sekarang

Peritinotis dapat terjadi pada seseorang dengan peradangan iskemia, peritoneal


diawali terkontaminasi material, sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus
eritematosus, dan sirosis hepatis dengan asites.

2. Riwayat Penyakit Dahulu

Seseorang dengan peritonotis pernah ruptur saluran cerna, komplikasi post


operasi, operasi yang tidak steril dan akibat pembedahan, trauma pada
kecelakaan seperti ruptur limpa dan ruptur hati.

3. Riwayat Penyakit Keluarga

Secara patologi peritonitis tidak diturunkan, namun jika peritonitis ini


disebabkan oleh bakterial primer, seperti: Tubercolosis. Maka kemungkinan
diturunkan ada.

 Pemeriksaan Fisik
1. Sistem pernafasan (B1)
Pola nafas irregular (RR> 20x/menit), dispnea, retraksi otot bantu
pernafasan serta menggunakan otot bantu pernafasan.

15
2. Sistem kardiovaskuler (B2)
Klien mengalami takikardi karena mediator inflamasi dan
hipovelemia vaskular karena anoreksia dan vomit. Didapatkan irama
jantung irregular akibat pasien syok (neurogenik, hipovolemik atau
septik), akral : dingin, basah, dan pucat.
3. Sistem Persarafan (B3)
Klien dengan peritonitis tidak mengalami gangguan pada otak namun
hanya mengalami penurunan kesadaran.
4. Sistem Perkemihan (B4)
Terjadi penurunan produksi urin.
5. Sistem Pencernaan (B5)
Klien akan mengalami anoreksia dan nausea. Vomit dapat muncul
akibat proses ptologis organ visceral (seperti obstruksi) atau secara
sekunder akibat iritasi peritoneal. Selain itu terjadi distensi abdomen,
bising usus menurun, dan gerakan peristaltic usus turun
(<12x/menit).
6. Sistem Muskuloskeletal dan Integumen (B6)
Penderita peritonitis mengalami letih, sulit berjalan, nyeri perut
dengan aktivitas. Kemampuan pergerakan sendi terbatas, kekuatan
otot mengalami kelelahan, dan turgor kulit menurun
akibat kekurangan volume cairan.
7. Pengkajian Psikososial terdiri dari: Interaksi sosial menurun terkait
dengan keikutsertaan pada aktivitas sosial yang sering dilakukan.
8. Personal Hygiene

Kelemahan selama aktivitas perawatan diri.

a. Pengkajian Spiritual
b. Pemeriksaan penunjang

16
 Pemeriksaan Laboratorium
a. Complete BloodCount (CBC), umumnya pasien dengan infeksi intra
abdomen menunjukan adanya luokositosis (>11.000 sel/ µL) dengan
adanya pergerakan ke bentuk immatur pada differential cell count.
Namun pada pasien dengan immunocompromised dan pasien dengan
beberapa tipe infeksi (seperti fungal dan CMV) keadaan leukositosis
dapat tidak ditemukan atau malah leucopenia
b. PT, PTT dan INR
c. Test fungsi hati jika diindikasikan
d. Amilase dan lipase jika adanya dugaan pancreatitis
e. Urinalisis untuk mengetahui adanya penyakit pada saluran kemih
(seperti pyelonephritis, renal stone disease)
f. Cairan peritoneal, cairan peritonitis akibat bakterial dapat ditunjukan
dari pH dan glukosa yang rendah serta peningkatan protein dan nilai
LDH
 Pemeriksaan Radiologi
a. Foto polos
b. USG
c. CT Scan (eg, gallium Ga 67 scan, indium In 111–labeled autologous
leucocyte scan, technetium Tc 99m-iminoacetic acid derivative
scan).
d. Scintigraphy
e. MRI

Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk pertimbangan


dalam memperkirakan pasien dengan abdomen akut. Pada peritonitis dilakukan foto
polos abdomen 3 posisi, yaitu:

a. Tiduran telentang (supine), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi


anteroposterior (AP).
b. Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan sinar
horizontal proyeksi AP.
c. Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar
horizontal, proyeksi AP.

17
Sebaiknya pemotretan dibuat dengan memakai kaset film yang dapat mencakup
seluruh abdomen beserta dindingnya. Perlu disiapkan ukuran kaset dan film ukuran 35 x
43 cm. Sebelum terjadi peritonitis, jika penyebabnya adanya gangguan pasase usus
(ileus) obstruktif maka pada foto polos abdomen 3 posisi didapatkan gambaran
radiologis antara lain:

a. Posisi tidur, untuk melihat distribusi usus, preperitonial fat, ada tidaknya
penjalaran. Gambaran yang diperoleh yaitu pelebaran usus di proksimal
daerah obstruksi, penebalan dnding usus, gambaran seperti duri ikan (Herring
bone appearance).
b. Posisi LLD, untuk melihat air fluid level dan kemungkinan perforasi usus.
Dari air fluid level dapat diduga gangguan pasase usus. Bila air fluid level
pendek berarti ada ileus letak tinggi, sedang jika panjang-panjang
kemungkinan gangguan di kolon. Gambaran yang diperoleh adalah adanya
udara bebas infra diafragma dan air fluid level.
c. Posisi setengah duduk atau berdiri. Gambaran radiologis diperoleh adanya air
fluid level dan step ladder appearance. Jadi gambaran radiologis pada ileus
obstruktif yaitu adanya distensi usus partial, air fluid level, dan herring bone
appearance.

Sedangkan pada ileus paralitik didapatkan gambaran radiologis yaitu:

a. Distensi usus general, dimana pelebaran usus menyeluruh sehingga kadang-


kadang susah membedakan anatara intestinum tenue yang melebar atau
intestinum crassum.
b. Air fluid level.
c. Herring bone appearance.

Bedanya dengan ileus obstruktif: pelebaran usus menyeluruh sehingga air fluid level
ada yang pendek-pendek (usus halus) dan panjang-panjang (kolon) karena diameter
lumen kolon lebih lebar daripada usus halus. Ileus obstruktif bila berlangsung lama dapat
menjadi ileus paralitik.

Pada kasus peritonitis karena perdarahan, gambarannya tidak jelas pada foto polos
abdomen. Gambaran akan lebih jelas pada pemeriksaan USG (ultrasonografi).

18
Gambaran radiologis peritonitis karena perforasi dapat dilihat pada pemeriksaan
foto polos abdomen 3 posisi. Pada dugaan perforasi apakah karena ulkus peptikum,
pecahnya usus buntu atau karena sebab lain, tanda utama radiologi adalah:

a. Posisi tiduran, didapatkan preperitonial fat menghilang, psoas line


menghilang, dan kekaburan pada cavum abdomen.
b. Posisi duduk atau berdiri, didapatkan free air subdiafragma berbentuk bulan
sabit (semilunair shadow).
c. Posisi LLD, didapatkan free air intra peritonial pada daerah perut yang
paling tinggi. Letaknya antara hati dengan dinding abdomen atau antara
pelvis dengan dindingabdomen.
d. Jadi gambaran radiologis pada peritonitis yaitu adanya kekaburan pada
cavum abdomen, preperitonial fat dan psoas line menghilang, dan adanya
udara bebas subdiafragma atau intra peritoneal.
 X. Ray

Foto polos abdomen 3 posisi (anterior, posterior, lateral), didapatkan :

a. lleus merupakan penemuan yang tak khas pada peritonitis.


b. Usus halus dan usus besar dilatasi.
c. Udara bebas dalam rongga abdomen terlihat pada kasus perforasi.

3.2 Diagnosa

1. Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi, demam dan kerusakan jaringan.


2. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan trauma jaringan.
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia dan
muntah.
4. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan volume cairan aktif.
5. Ketidakefektifan pola nafas b.d penurunan kedalaman pernafasan sekunder
distensi abdomen dan menghindari nyeri.
6. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan.

19
3.3 Intervensi

 Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi, demam dan kerusakan jaringan.

Intervensi:
1. Selidiki laporan nyeri, catat lokasi, lama, intensitas (skala 0-10) dan
karakteristiknya (dangkal, tajam, konstan).
Rasional: Perubahan pada lokasi/intensitas tidak umum tetapi dapat
menunjukkan terjadinya komplikasi. Nyeri cenderung menjadi konstan,
lebih hebat, dan menyebar ke atas, nyeri dapat lokal bila terjadi abses.
2. Pertahankan posisi semi fowler sesuai indikasi
Rasional:Meningkatkan relaksasi dan mungkin meningkatkan
kemampuan koping pasien dengan memfokuskan kembali perhatian
3. Berikan tindakan kenyamanan, contoh pijatan punggung, napas dalam,
latihan relaksasi atau visualisasi.
Rasional:Menurunkan mual/muntah yang dapat meningkatkan tekanan
atau nyeri intraabdomen.
4. Berikan obat sesuai indikasi
Rasional: Menurunkan laju metabolik dan iritasi usus karena toksin
sirkulasi/lokal, yang membantu menghilangkan nyeri dan meningkatkan
penyembuhan.

 Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan trauma jaringan.

Intervensi:

1. Catat faktor risiko individu contoh trauma abdomen, apendisitis akut,


dialisa peritoneal.
Rasional: Mempengaruhi pilihan intervensi.
2. Kaji tanda vital dengan sering, catat tidak membaiknya atau berlanjutnya
hipotensi, penurunan tekanan nadi, takikardia, demam, takipnea.
Rasional: Tanda adanya syok septik, endotoksin sirkulasi menyebabkan
vasodilatasi, kehilangan cairan dari sirkulasi, dan rendahnya status curah
jantung.
3. Catat perubahan status mental (contoh bingung, pingsan).

20
Rasional: Hipoksemia, hipotensi, dan asidosis dapat menyebabkan
penyimpangan status mental.
4. Catat warna kulit, suhu, kelembaban.
Rasional: Hangat, kemerahan, kulit kering adalah tanda dini septikemia.
Selanjutnya manifestasi termasuk dingin, kulit pucat lembab dan sianosis
sebagai tanda syok.
5. Awasi haluaran urine
Rasional: Oliguria terjadi sebagai akibat penurunan perfusi ginjal, toksin
dalam sirkulasi mempengaruhi antibiotik.

 Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia dan


muntah.

Intervensi:

1. Awasi haluan selang NG, dan catat adanya muntah atau diare.
Rasional: Jumlah besar dari aspirasi gaster dan muntah atau diare diduga
terjadi obstruksi usus, memerlukan evaluasi lanjut.
2. Auskultasi bising usus, catat bunyi tak ada atau hiperaktif.
Rasional: bising usus sering tak ada, inflamasi atau iritasi usus
dapat menyertai hiperaktivitas usus, penurunan absorpsi air dan diare.
3. Catat kebutuhan kalori yang dibutuhkan.
Rasional: Adanya kalori (sumber energi) akan mempercepat proses
penyembuhan.
4. Monitor Hb dan albumin
Rasional: Indikasi adekuatnya protein untuk sistem imun.

5. Kolaborasi pemasangan NGT jika klien tidak dapat makan dan minum
peroral.
Rasional: Agar nutrisi klien tetap terpenuhi.
6. Kolaborasi dengan ahli gizi dalam diet.
Rasional: Tubuh yang sehat tidak mudah untuk terkena infeksi
(peradangan).

 Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan volume cairan aktif.

21
Intervensi:

1. Pantau tanda vital, catat adanya hipotensi (termasuk perubahan postural),


takikardia, takipnea, demam. Ukur CVP bila ada.
Rasional: Membantu dalam evaluasi derajat defisit cairan/keefektifan
penggantian terapi cairan dan respons terhadap pengobatan.
2. Pertahankan intake dan output yang adekuat lalu hubungkan dengan berat
badan harian.
Rasional: Menunjukkan status hidrasi keseluruhan.
3. Rehidrasi/ resusitasi cairan
Rasional: Untuk mencukupi kebutuhan cairan dalam tubuh (homeostatis).
4. Ukur berat jenis urine
Rasional: Menunjukkan status hidrasi dan perubahan pada fungsi ginjal.
5. Observasi kulit/membran mukosa untuk kekeringan, turgor, catat edema
perifer/sacral.
Rasional: Hipovolemia, perpindahan cairan, dan kekurangan nutrisi
mempeburuk turgor kulit, menambah edema jaringan.

 Ketidakefektifan pola nafas b.d penurunan kedalaman pernafasan sekunder


distensi abdomen dan menghindari nyeri.

Intervensi:

1. Pantau hasil analisa gas darah dan indikator hipoksemia: hipotensi,


takikardi, hiperventilasi, gelisah, depresi SSP, dan sianosis.
Rasional: Indikator hipoksemia; hipotensi, takikardi, hiperventilasi,
gelisah, depresi SSP, dan sianosis penting untuk mengetahui adanya syok
akibat inflamasi (peradangan).
2. Auskultasi paru untuk mengkaji ventilasi dan mendeteksi komplikasi
pulmoner.
Rasional: Gangguan pada paru (suara nafas tambahan) lebih mudah
dideteksi dengan auskultasi.
3. Pertahankan pasien pada posisi semifowler.
Rasional: Posisi membantu memaksimalkan ekspansi paru dan
menurunkan upaya pernafasan, ventilasi maksimal membuka area

22
atelektasis dan meningkatkan gerakan sekret kedalam jalan nafas besar
untuk dikeluarkan.
4. Berikan O2 sesuai program
Rasional: Oksigen membantu untuk bernafas secara optimal.

 Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan.

Intervensi:
1) Evaluasi tingkat pemahaman klien/orang terdekat tentang diagnosa.
Rasional: Bila penyangkalan ekstem atau ansietas mempengaruhi
kemajuan penyembuhan, menghadapi itu klien perlu dijelaskan dan
membuka cara penyelesaiannya.
2) Akui rasa takut/masalah klien dan dorong mengekspresikan perasaan.
Rasional: Takut/ansietas menurun klien mulai menerima secara positif
kenyataan dan memiliki kemauan untuk ‘hidup lagi’.
3) Berikan kesempatan untuk bertanya dan jawab dengan jujur. Yakinkan
bahwa klien dan perawat mempunyai pemahaman yang sama.
Rasional: Dapat membantu memperbaiki beberapa perasaan
kontrol/kemandirian pada klien yang merasa tak berdaya dalam menerima
diagnosa dan pengobatan.

23
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Peritonitis adalah peradangan pada peritonium yang merupakan pembungkus visera

dalam rongga perut.Peritoneum adalah selaput tipis dan jernih yang membungkus organ

perut dan dinding perut sebelah dalam.Peritonitis yang terlokalisir hanya dalam rongga

pelvis disebut pelvioperitonitis.

Penyebab peritonitis antara lain : penyebaran infeksi dari organ perut yang terinfeksi,

penyakit radang panggul pada wanita yang masih aktif melakukan kegiatan seksual,

infeksi dari rahim dan saluran telur, kelainan hati atau gagal jantung, peritonitis dapat

terjadi setelah suatu pembedahan, dialisa peritoneal (pengobatan gagal ginjal), iritasi

tanpa infeksi.

Patofisologi peritonitis adalah reaksi awal peritoneum terhadap invasi bakteri adalah

keluarnya eksudat fibrinosa. Terbentuk kantong-kantong nanah (abses) diantara

perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya

sehingga membatasi

infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat

menetap sebagai pita-pita fibrinosa, yang kelak dapat menyebabkan terjadinya obstruksi

usus.

Prinsip umum terapi pada peritonitis adalah :

a. Penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang dilakukan secara intravena.

b. Terapi antibiotika memegang peranan yang sangat penting dalam pengobatan

infeksi nifas.

c. Terapi analgesik diberikan untuk mengatasi nyeri.

24
4.2 Saran

Kita sebagai seorang perawat dalam mengatasi masalah peritonitis di masyarakat

dapat memberikan berbagai cara untuk mencegah peritonitis dan diharapkan

mahasiswa/i dapat memberikan asuhan keperawatan khususnya pada klien yang

mengalami peritonitis yang sesuai dengan apa yang dipelajari.

25
DAFTAR PUSTAKA

Ardi.2012.Askep Peritonitis.

Online :(http://ardivirgos.blogspot.com/2012/10/normal-0-false-false-false-en-us-x-
none_8520.html) diakses: 1 November 2014

Nuzulul.2012.Askep Peritonitis.

Online:( http://nuzulul-fkp09.web.unair.ac.id/artikel_detail-35844-Kep%20Pencernaan-
Askep%20Peritonitis.html) diakses: 1 November 2014

Scrib.2013.Faktor Resiko dan Pencegahan Peritonitis.

Online:(http://www.scribd.com/doc/123953569/FAKTOR-RESIKO-Dan-Pencegahan-
PeritonitisDiakses: 1 November 2014

Lili.2013.Peritonitis.

Online:(http://lilipsikc2.blogspot.com/2013/08/peritonitis_19.html).Diakses:2November 2014

26

Anda mungkin juga menyukai