BAB II
KAJIAN PUSTAKA
BPH merupakan tumor jinak kronik progresif paling sering pada laki-laki,
diabetes mellitus dan hipertensi, meningkat dari 20% pada laki berusia 41-50
tahun, 50% pada laki usia 51-60 tahun hingga lebih dari 90% pada laki berusia
diatas 80 tahun. Keluhan obstruksi juga berhubungan dengan usia. Pada usia 55
tahun sebanyak 25% laki-laki mengeluh gejala obstruksi pada saluran kemih
bagian bawah, meningkat hingga 50% pada usia 75 tahun ke atas (Presti, 2012;
Cooperberg, 2013).
yang terdiri dari 3 komponen yaitu keluhan saluran kencing bawah (LUTS),
Definisi BPH secara histologi adalah hiperplasi dari sel stromal dan epitelial pada
Penyebab pasti BPH sampai saat ini belum ditemukan. Faktor risiko yang
jelas adalah usia dan kadar androgen. BPH tidak berkembang pada pria yang
dikebiri sebelum usia 40, dan jarang menyebabkan gejala sebelum usia 40. Angka
kejadian naik 0,3% pada usia 45-49 tahun, dan 3,8% pada 75-79 tahun.
8
9
kandung kemih dapat menjadi tebal dan mudah berkontraksi. Hal ini
Beberapa faktor risiko lain terjadinya BPH, mengarah pada genetik atau
perbedaan ras. Kira-kira 50% laki-laki berusia dibawah 60 tahun yang menjalani
memiliki risiko 4x lipat lebih besar dibandingkan dengan yang normal. (Presti
dkk., 2012).
Gambar 2.1 Angka BPH Berdasarkan Usia (dikutip dari Roehrborn, 2012)
terdapat 103 pasien dengan BPH yang menjalani operasi, dari total 1161 pasien
urologi yang menjalani operasi (Duarsa & Lesmana, 2016; Rosadi & Duarsa
2015).
10
2.1.2 Anatomi
Prostat adalah organ genitalia pria yang terletak inferior dari buli-buli, di
depan rektum dan membungkus uretra posterior. Berbentuk seperti buah kemiri
dengan ukuran 4x3x2,5 cm dan berat kurang lebih 20 gram. Kelenjar ini terdiri
atas jaringan fibromuskular dan glandular dimana menurut Mc Neal pada tahun
1970 membagi menjadi beberapa zona, yaitu zona perifer, zona sentral, zona
stroma. Komponen stroma terdiri atas otot polos, fibroblas, pembuluh darah, saraf
dan jaringan interstitial yang lain. Prostat menghasilkan cairan komponen ejakulat
yang dialirkan melalui duktus sekretorius dan bermuara di uretra posterior. Cairan
ini merupakan 25% dari seluruh volume ejakulat, dikeluarkan bersama cairan
semen yang lain pada saat ejakulasi. Prostat mendapatkan inervasi otonomik
masukan serabut parasimpatis dari korda spinalis S2-4 dan simpatis dari nervus
prostat saat ejakulasi. Sistem simpatis memberikan inervasi pada otot polos
prostat, kapsul prostat dan leher buli, yang banyak terdapat reseptor adrenergic α.
Rangsangan simpatis mempertahankan tonus otot polos tersebut. Jika kelenjar ini
mengalami hiperplasia jinak atau berubah menjadi tumor ganas, dapat terjadi
2.1.3 Etiologi
dan berhubungan dengan endokrin. Prostat terdiri dari elemen epithelial dan
stromal dimana pada salah satu atau keduanya dapat muncul nodul hiperplastik
dengan gejala yang berhubungan dengan BPH. Beberapa hipotesis yang diduga
sebagai penyebab timbulnya BPH antara lain (Purnomo, 2011; Presti dkk, 2012;
Cooperberg, 2013):
1. Teori Dihidrotestosteron
dalam sel prostat oleh 5α-reduktase dengan bantuan koenzim NADPH. DHT yang
DHT-RA pada inti sel dan selanjutnya terjadi sintesis protein growth factor yang
Pada usia yang semakin tua, kadar testosteron menurun sedangkan kadar
(apoptosis). Hasil akhir dari semua keadaan ini adalah meskipun rangsangan
prostat yang telah ada mempunyai umur yang lebih panjang sehingga massa
3. Interaksi stromal-epitel
dikontrol oleh sel-sel stroma, mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-
sel stroma mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya mempengaruhi sel-
sel stroma itu sendiri secara intrakrin atau autokrin serta mempengaruhi sel-sel
dengan kematian sel. Pada saat pertumbuhan prostat sampai dewasa, penambahan
13
jumlah sel-sel prostat baru dengan yang mati dalam keadaan seimbang.
sel-sel baru. Di dalam kelenjar prostat dikenal suatu sel stem yaitu sel yang
tergantung pada keberadaan hormon androgen sehingga jika hormon ini kadarnya
aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi yang berlebihan pada sel stroma
BPH dan perbaikan keluhan. Pada penelitian lebih lanjut tampak korelasi positif
antara kadar testosteron bebas dan estrogen dengan volume pada BPH. Hal ini
terjadinya BPH ketika Bostwick menemukan adanya limfosit pada stromal dan
14
intraepithelial prostat manusia normal. Saat itu mulai diduga bahwa inflamasi
ataupun kanker prostat (Bostwick dkk., 2003). Pada Uji klinis oleh Medical
dengan inflamasi cenderung tumbuh lebih cepat daripada yang tanpa inflamasi.
Robert G, 2009, meneliti 282 pasien yang dilakukan tindakan pembedahan pada
pasien BPH dengan atau tanpa gejala LUTS menggunakan microarray jaringan.
Descazeaud menemukan bahwa inflmasi pada sekitar 78% kasus BPH. Hampir
seluruh pasien ditemukan sel inflamasi pada jaringan BPH: 81% mempunyai T-
Didapatlkan IPSS skor dan volume prostat lebih besar pada pasien dengan derajat
inflamasi prostat yang tinggi (Descazeaud et.al, 2011; Delongchamps dkk, 2013
2.1.4 Patologi
Pada awalnya nodus BPH terbentuk pada zona transisional sebagai nodul
tampak peningkatan jumlah sel dan pola pertumbuhan yang berbentuk noduler
yang terdiri dari jaringan stromal dan epitelial. Secara histologis kelenjar prostat
terdiri dari komponen stromal dan epitelial. Komponen stromal secara signifikan
stromal:epitelial adalah 2:1. Namun menjadi 4:1 pada penderita BPH. Komponen
stromal pada prostat normal mayoritas terdiri dari otot polos. Pada BPH
15
komponen prostat 50% terdiri dari jaringan ikat, 25% otot polos dan 25%
antara stromal dan epitelial. Ketidakseimbangan antara proliferasi sel dan proses
justru mengalami apoptosis. Sel epitelial dari distal dan perifir kelenjar prostat
lebih aktif mengalami mitosis sementara sel epitelial yang di sentral dan
proksimal menunjukkan proses apoptosis (Zhang 2006; Mark, 2010; Presti, 2012).
memberi respons yang baik pada pasien BPH dengan komponen dominan otot
polos, sementara bila komponen yang dominan adalah epitel, memberikan respons
yang baik terhadap 5-α reduktase inhibitor. Penderita BPH dengan komponen
capsule. Kapsul ini memisahkan zona transisional dengan zona perifer, dan juga
2.1.5 Patofisiologi
Keluhan pada BPH diakibatkan oleh obstruksi dan akibat dari respon
kandung kemih. Komponen obstruksi dapat dibagi menjadi obstruksi mekanik dan
16
terhadap lumen uretra atau leher buli, yang mengakibatkan resistensi bladder
outlet. Stroma prostat terdiri dari otot polos dan kolagen, yang dipersyarafi oleh
saraf adrenergik. Tonus uretra pars prostatika diatur secara autonom, sehingga
BPH juga merupakan akibat dari respons sekunder kandung kemih. Obstruksi
pada kandung kemih mengakibatkan hipertrofi dan hiperplasia dari otot detrusor
(Presti, 2012).
Tidak semua BPH menimbulkan gejala. Sebuah penelitian pada pria berusia
LUTS, yang juga dapat disebabkan oleh kondisi lain (Roehrborn, 2010).
Gejala saluran kemih bagian bawah (LUTS) dibagi atas gejala obstruktif
iritiatif (inkontinensia urgensi dan berkemih dengan jumlah sedikit), serta gejala
post miksi (menetes setelah berkemih, berkemih terasa tidak tuntas). Hampir
seluruh pasien datang dengan kombinasi dari gejala iritatif, urgensi dan post miksi
(McVary dkk., 2010). Sebanyak 90% pria berusia di antara 45 dan 80 tahun
17
menderita gejala saluran kemih bagian bawah Keluhan ini yang seringkali
membawa penderita untuk berobat ke rumah sakit. Derajat LUTS dapat dinilai
digunakan sejak tahun 1992. Sistim skor yang dikembangkan oleh American
dilaporkan bahwa IPSS merupakan metode yang dapat dipercaya dan cukup
striktur uretra, kanker prostat dan lain lain (Ozturk dkk., 2011; Cughtai, dkk,
Gambar 2.3 Hubungan antara BPH, LUTS, BPE dan BOO Pada Pria Berusia
dilakukan pada semua penderita. Yang dinilai pada colok dubur adalah ukuran
dan konsistensi prostat. Pada pasien BPH, umumnya prostat teraba licin dan
kenyal. Ukuran prostat pada pemeriksaan colok dubur memiliki korelasi yang
kurang terhadap timbulnya gejala, karena lobus medial kurang atau tidak teraba.
sehingga memerlukan evaluasi yang lebih lanjut berupa Prostat Spesific Antigen
pemeriksaan saluran kemih bagian atas. Pasien dengan insufisiensi renal memiliki
risiko lebih tinggi untuk mengalami komplikasi pasca operasi. Pemeriksaan PSA
serum biasanya dilakukan pada awal terapi namun hal ini masih kontroversi
(Presti, 2012).
tersusun pada duktus kelenjar prostat. PSA terutama terdapat pada jaringan
prostat, dan juga terdapat dalam jumlah kecil pada serum. Nilai normal dari PSA
adalah di bawah 4 ng/ml. Adanya kerusakan pada struktur jaringan prostat, seperti
penyakit pada prostat, inflamasi, atau trauma, menyebabkan PSA lebih banyak
penting dari berbagai penyakit prostat, termasuk diantaranya BPH, prostatitis, dan
kanker prostat. Dikatakan tingkat inflamasi pada prostat dan faktor usia
berkorelasi positif dengan nilai PSA dan volume prostat (Caroll, 2013; Putra,
kemih. Dalam keadaan normal, urin bersifat steril. Pada wanita, urin keluar dari
kandung kemih melalui uretra yang bermuara dekat vagina. Pada pria, urin keluar
2.1.9 Pencitraan
Pencitraan saluran kemih bagian atas (IVP dan USG) dianjurkan apabila
ISK, insufisiensi renal dan riwayat batu ginjal. Sistoskopi tidak direkomendasikan
dicurigai memiliki kelainan neurologis. Pemeriksaan flow rate dan residu post
dengan rumus 0,52 x panjang (cm) x lebar (cm) x tebal cm) (Presti, 2012).
Obstruksi saluran kemih bagian bawah lain seperti striktur uretra, kontraktur
pada leher buli, batu buli atau keganasan prostat, riwayat instrumentasi uretra,
uretritis atau trauma harus dieksklusi. Hematuria dan nyeri umunya berhubungan
20
dengan batu buli-buli, keganasan prostat dapat terdeteksi pada colok dubur dan
peningkatan PSA.
Infeksi saluran kemih dapat menyerupai gejala iritatif dari BPH yang
diidentifikasi dari urinalisis dan kultur. Keluhan iritatif juga dapat berhubungan
ekstremitas inferior dan penurunan tonus spinkter ani dan reflek bulbokavernosus
2.1.11 Penatalaksanaan
Terapi spesifik berupa observasi pada penderita gejala ringan hingga operasi
pada penderita dengan gejala berat. (Presti, 2012; Oelke, 2013; Mochtar, 2015).
1. Watchful waiting
penatalaksanaan terbaik untuk penderita BPH dengan nilai IPSS 0-7. Penderita
dengan gejala LUTS sedang juga dapat dilakukan observasi atas kehendak pasien.
gaya hidup, seperti mengurangi asupan cairan pada waktu tertentu guna
mengurangi frekuensi berkemih di saat yang tidak nyaman (misalnya pada malam
hari atau saat berada di tempat umum), menghindari kafein dan alkohol yang
memiliki efek diuretik dan iritan, melakukan relaksasi dan teknik double-voiding,
21
perhatian dan pikiran dari kandung kemih dan toilet, melatih otot untuk menahan
2. Medikamentosa
reduktase. Selain kedua cara diatas, sekarang banyak dipakai terapi menggunakan
Tabel 2.1 Klasifikasi Terapi Medikamentosa BPH (modifikasi dari Presti, 2012)
3. Operatif
22
yang menetap atau berulang, inkontinensia overflow, ISK berulang, adanya batu
buli atau divertikel, dilatasi saluran kemih bagian atas akibat obstruksi dengan
atau tanpa insufisiensi ginjal), BPH yang gagal dengan terapi medikamentosa atau
BPH dengan skor IPSS berat. Tindakan operatif pada prostat terdiri dari:
uretra tanpa insisi pada kulit. Reseksi jaringan menggunakan cutting loop dan
kauterisasi perdarahan. Prosedur ini yang paling umum dipakai untuk pengobatan
BPH yang simptomatik. (McVary, 2010). TURP adalah baku emas operasi prostat
saat ini untuk volume prostat 20-80 mg dengan gejala LUTS sedang sampai berat,
Kurang lebih 95% terapi operatif dari penderita BPH dapat dilakukan cara
perawatan yang relatif singkat. TURP dikatakan merupakan pilihan yang lebih
baik dibandingkan dengan minimal invasive yang lain. Tujuan utama penanganan
operatif pada BPH adalah untuk menghilangkan gejala yang berhubungan dengan
obstruksi leher buli atau Bladder Outlet Obstruction (BOO) (Purnomo, 2011; Cao
Y., 2015). Dikatakan bahwa TURP dapat menyembuhkan gejala LUTS dan
memperbaiki skor IPSS pada 90-94,7% kasus dan meningkatkan laju pancaran
ini biasanya pada reseksi prostat yang beratnya lebih dari 60 gram, usia lebih 80
tahun, dan lama reseksi diatas 90 menit. Penyulit TURP lainnya ejakulasi
uretra (3,8) serta kontraktur leher buli, perforasi dari kapsul prostat. Angka
kematian pada TURP adalah 0,4% pda kelompok usia 65-79 tahun dan 1,9% pada
Penderita dengan LUTS sedang atau berat dan prostat yang kecil seringkali
memiliki hiperplasia dari komisura posterior (elevasi leher buli), di mana hal ini
Prostatektomi terbuka
endoskopik, juga dapat dilakukan pada penderita dengan divertikulum buli atau
2.2 Prostatitis
infeksi (prostatitis bakterial akut dan kronis), sindroma nyeri panggul kronik, dan
ditemukan secara tidak sengaja setelah penderita menjalani operasi dan dilakukan
bakterial akut, termasuk refluks urine intraprostatik, infeksi asending uretra, invasi
langsung atau penyebaran limfogen dari rektum dan infeksi langsung melalui
hematogen. Teori refluks urin intraprostatik yang paling banyak dipakai. Urin
duktus yang berasal dari zone perifer letaknya lebih horisontal, sehingga sebagian
besar infeksi prostat terjadi pada zona perifer. Pada pria usia seksual aktif, infeksi
dapat terjadi karena hubungan seksual selain karena instrumentasi, biopsi prostat
infeksi prostat melibatkan organisme tunggal (82%). Bakteri lain yang juga dapat
biasanya didapat di rumah sakit pada pasien dengan pemakaian kateter jangka
organisme parasit atau jamur (Lee, 2007; Presti, 2012; Rosadi & Duarsa, 2015).
sel-sel inflamasi dalam kelenjar prostat. Proses inflamasi dapat berupa infeksius
atau inflamasi steril. Pola histologi tersering adalah infiltrasi limfosit ke dalam
sering dikeluhkan pada laki-laki usia tua dan meningkat seiring bertambahnya
usia. Sebelumnya LUTS dianggap sebagai efek masa pembesaran prostat yang
LUTS dengan bertambahnya usia merupakan fakta yang terjadi saat ini. LUTS
bukan hanya muncul pada pasien dengan BPH dan BPH tidak selalu diikuti oleh
26
keluhan LUTS. Pasien BPH yang mengalami LUTS adalah sebanyak 40,5%
pasien, sebanyak 60% pasien dengan LUTS bukan disebabkan oleh karena BPH.
otot detrusor pada fase pengosongan juga sering menjadi penyebab LUTS.
Kondisi lain penyebab LUTS terkait dengan usia, keganasan prostat, penyakit
pada uretra, dan kondisi medis seperti poliuria dan gangguan tidur (sleep
straining) dan post voiding symptoms (post micturition dribbling). Etiologi LUTS
Gambar 2.4 LUTS berdasarkan usia pada tujuh negara yang berbeda (dikutip dari
Roehrborn, 2010)
27
Gambar 2.5 Penyebab LUTS pada pria (dikutip dari Oelke, 2013).
Hubungan antara LUTS, Bladder Outlet Obstruction (BOO), dan Benign Prostate
hubungan terkait yang kompleks antara gejala dan patologi yang terjadi. BPE
dapat terkait dengan LUTS disertai atau tanpa BOO, dan BPE dapat terkait
terjadinya LUTS sampai retensi urin. Hubungan yang serupa antara inflamasi dan
IPSS juga dilaporkan oleh uji coba reduction by dutasterida of prostate cancer
28
yang sangat signifikan terhadap terjadinya BPH dan gejala LUTS. Dimana
dinamik (hipertrofi otot detrusor dan otot polos leher buli) (Yalcinkaya, 2011).
laki laki, yang terdiri dari gejala storage, gejala voiding, dan gejala post-miksi
terjadinya iskemia, inflamasi dan stres oksidatif pada kandung kemih, sehingga
fungsi sistem saraf, dan pelepasan mediator seperti, ATP, nerve growth factor,
tidak ada kompresi pada uretra, stimulasi saraf sensorik uretra bisa menyebabkan
peningkatan tonus otot polos dari prostat, hal ini menyababkan keluhan LUTS
berkontribusi pada terjadinya disfungsi dan penyakit pada berbagai sistem organ.
Pada jaringan prostat juga seperti jaringan lainnya dan bersifat susceptible
terhadap perubahan fibrotik terkait dengan inflamasi dan penuaan, maka dapat
terjadi perubahan arsitektur jaringan yang lebih kaku dan dapat berdampak negatif
pada fungsi uretra. Peningkatan risiko BPH didapatkan pada pasien dengan
aliran urin selama proses berkemih, yang dapat termanifestasi sebagai gejala
fibrosis merupakan salah satu dari proses yang terjadi pada jaringan prostat dan
terkait dengan LUTS. Fibrosis jaringan sejalan dengan proliferasi selular ataupun
LUTS. Lebih jauh lagi tiga proses patologis ini lebih cenderung saling tumpang
tindih, sehingga tipe sel yang terkait pada proses ini dapat berakumulasi dan
Pada pasien dengan BPH, penekanan pada uretra yang disebabkan karena
30
Kontraksi otot polos pada prostat menghasilkan kekuatan aktif yang menyebabkan
kompresi dari uretra. Stimulasi sistem saraf adrenergik yang didominasi oleh
Faktor-faktor lain seperti resistensi uretra, kapsul prostat, dan perbedaan anatomi
dengan usia, sebagai salah satu hal yang penting dalam menyebabkan timbulnya
Patogenesis dari terminal dribbling karena terjadi kelemahan dari otot bulbo
dan terjebak pada daerah bulbosa dari urethra setelah miksi (Kim, 2015).
31
Bladder outlet obstruction (BOO) yang disebabkan oleh karena BPH secara
langsung dapat menimbulkan keluhan voiding dan postvoiding. Gejala OAB pada
pasien BOO yang disebabkan karena BPH dapat disebabkan karena terjadinya
oleh karena kondisi iskemia sehingga menimbulkan gejala over aktifitas otot
menyebabkan keluhan LUTS telah berubah. Keluhan saluran kencing bawah tidak
hanya disebabkan karena prostat tetapi juga faktor buli yang menyertai keluhan
yang ada. Beratnya derajat BOO berhubungan dengan derajat disfungsi otot
33
detrusor. Beberapa hal telah dikaitkan dengan over aktifitas otot detrusor yaitu
Dari 80% pasien dengan gejala BOO oleh karena BPH akan menimbulkan
gejala over aktifitas otot detrusor. Hal ini dapat terjadi karena, pada pasien dengan
reseptor -1 A dan -1 D, dimana jumlah normalnya -1 reseptor sebanyak 70 %
-1 D reseptor. Reseptor -1 D memiliki daya ikat 10 hingga 100 kali lebih kuat
gejala storage yaitu ( frekuensi, nocturia, urgensi dan dysuria). Sistem saraf
peningkatan dari kontraktilitas dari otot polos kandung kemih (Cruz, 2010).
acetylcholine seperti pada denervasi dari saraf parasimpatis yang selanjutnya akan
meningkatkan kontraksi dan intensitas dari otot polos kandung kemih. Denervasi
34
dari saraf parasimpatis disebabkan oleh karena terjadinya penurunan aliran darah
dari kandung kemih sehingga menyebabkan gangguan dari kontraksi otot polos
polos detrusor. Signaling antar sel yang abnormal dapat menyebabkan segmental
contraction. Hal ini juga akan menyebabkan peningkatan aktivitas saraf afferent
sehingga merangsang terjadinya proses miksi. Serat saraf sensorik juga akan
pada serat saraf sensorik dan memiliki peranan yang penting dalam mengatur
NGF memiliki efek pada saraf sensorik C-Fibers yang selanjutnya akan merubah
ekspresi reseptor pada saraf sensorik dan terjadi penurunan terhadap nilai ambang
LUTS disebabkan karena interaksi kompleks antara buli dan aliran urine yang
melalui uretra, sehingga hal hal yang mempengaruhi fungsi buli, prostat dan
(Maharajh,2015).
dan perubahan mitogenesis yang secara pasti berhubungan dengan BPH dan
LUTS. Penuaan berhubungan dengan proses inflamasi dan ini juga terjadi pada
prostat. Proses penuaan yang normal, membentuk probiotic milieu pada prostat
(Maharajh,2015).
buli. Pada bertambahnya usia terjadi penurunan androgen dan sex hormone
dalam proses mitogenesis dan pertumbuhan stromal pada pasien BPH. Androgen
dalam proses mitogenetic pada stroma prostat. Growth factor yang terdapat pada
(VEGF), fibroblast growth factor (FGF), epithelial growth factor (E-GF). Insulin
Inflamasi dari prostat berhubungan dengan keluhan LUTS dan BPH dan hal
ini telah dikonfirmasi secara histologi. Pada proses penuaan yang terjadi
peningkatan C-reactive protein (CRP) pada pasien BPH dan LUTS (Maharajh,
36
LUTS. Pada pasien yang mengalami obesitas dan metabolik sindrom memiliki
risiko yang lebih tinggi untuk terjadinya LUTS. Sindrom metabolik berhubungan
dan menyebabkan terjadinya inflamasi pada prostat. Hal ini dibuktikan dengan
inflamasi dan merupakan tanda nonspesifik dari inflamasi. Laki laki dengan
memiliki hubungan dengan terjadinya LUTS. Keluhan yang dominan pada pasien
memiliki peran dalam terjadinya LUTS baik pada pasien yang mengalami
inflamasi prostat dan volume prostat. Dari penelitian ini menunjukkan mediator
dan menstimulasi produksi prostatic growth factor, dan secara tidak langsung
dengan cara menurunkan kematian sel prostat dengan menekan apoptosis sel
penurunan dari COX-2 inhibitor dan peningkatan dari PGE2. Otot polos detrusor
dari buli juga memproduksi beberapa sitokin proinflamasi seperti IL-1 dan
TNF-a selain itu juga terjadi peningkatan protein 1 (MCP-1), IL-6, dan IL-8.
Metode kuisioner yang tersedia saat ini bagi para klinisi untuk mengukur
metode yang dapat dipercaya dan cukup sederhana, di mana tidak dipengaruhi
oleh tingkat pendidikan dan sosial demografi. IPSS dibuat sedemikian rupa
sehingga pasien dapat melengkapi sendiri atau disertai dengan bantuan dari
petugas kesehatan. Ozturk, membuktikan bahwa nilai dari IPSS yang dilengkapi
39
oleh pasien sendiri dengan nilai IPSS yang dilengkapi oleh pasien dengan bantuan
petugas kesehatan tidak berbeda secara signifikan. Pria dengan level pendidikan
sekolah menengah dan usia berkisar 60 tahun dapat memahami pengisian skor
IPSS dengan baik tanpa bantuan. IPSS saat ini telah divalidasi dan diterjemahkan
IPSS merupakan kuisioner yang telah tervalidasi untuk digunakan dalam menilai
tiga gejala penampungan (frekuensi, nokturia, dan urgensi) dan empat gejala
pengosongan buli (rasa tidak tuntas, intermiten, mengedan, dan pancaran yang
lemah), dan satu pertanyaan tambahan mengenai kualitas hidup (McVary, 2010).
IPSS berisi tujuh pertanyaan mengenai gejala dan satu pertanyaan untuk
menilai kualitas hidup, dimana pasien dapat menilai keluhan secara kuantitatif
dalam skala 0-5. Nilai maksimal dari IPSS adalah 35. Derajat gejala saluran
kemih bagian bawah dikelompokkan menjadi tiga, nilai 0-7 derajat ringan, 8-19
derajat sedang, dan 20-35 derajat berat. IPSS hanya digunakan untuk menilai
beratnya gejala, dan bukan faktor diagnostik untuk menegakkan adanya BPH
(Oelke, 2013).
40
Gambar 2.8 International Prostate Symptom Score (dikutip dari Mochtar 2013)
41
Sebagai baku emas prosedur operasi pada BPH, TURP bertujuan untuk
menghilangkan gejala yang berhubungan dengan obstruksi leher buli atau bladder
outlet obstruction (BOO). TURP sebagai terapi operatif dapat mengurangi gejala
LUTS pada sebagian besar kasus, namun pada sebagian pasien hasil yang
didapatkan tidak sesuai dengan yang diharapkan dimana LUTS menetap setelah
hubungannya dengan LUTS. Dari total 70 pasien dengan BPH yang disertai
dengan keluhan LUTS, rata-rata IPSS pra operasi adalah 22,5 (rentang 20-35).
IPSS pasca operasi dievaluasi setelah 6 minggu dan 12 minggu. Pada evaluasi 6
minggu pasca TURP, 81% pasien dengan LUTS ringan, 15,7% dengan LUTS
sedang, dan 2,9% dengan LUTS berat. Pada evaluasi 12 minggu pasca TURP,
terdapat 88,6% pasien dengan LUTS ringan, 10% dengan LUTS sedang, dan
Gejala LUTS yang sering dialami pria lanjut usia sejak lama dikaitkan
dengan adanya pembesaran kelenjar prostat, namun saat ini telah diketahui bahwa
penyebab dan patofisiologi dari LUTS adalah multifaktorial dan kompleks. Secara
khusus, adanya inflamasi pada prostat baik akut maupun kronik menjadi salah
satu penyebab terjadinya LUTS (Lee, 2015). LUTS yang menetap pasca TURP
berhubungan dengan adanya infeksi prostat yang ada sebelum operasi, khususnya
yaitu prostatitis kronis asimtomatis, yang biasanya tidak diketahui atau tidak
42
histopatologi dari reseksi prostat (Yalcinkaya, 2011, Rosadi & Duarsa, 2015).
Yalcinkaya menunjukkan bahwa inflamasi kronis pada BPH sebelum TURP akan
mempengaruhi LUTS dan kualitas hidup (QOL) sampai 3 bulan pasca TURP.
Namun inflamasi kronis tidak mempengaruhi pancaran urin dan residual urin.
Faktor usia dan volume prostat merupakan dua faktor utama lain yang
sebuah penelitian pada 247 pasien BPH yang menjalani prosedur TURP. Evaluasi
mana kelompok pasien dengan BPH yang disertai prostatitis memiliki IPSS yang
Cao, 2015, meneliti proses re-epitelisasi jaringan prostat pasca reseksi prostat
menggunakan laser yang dilakukan pada anjing. Proliferasi pada sel epitel dimulai
satu minggu setelah operasi. Dalam waktu dua minggu, regenerasi epitel
mencapai tiga sampai empat lapis, dan pada minggu ketiga jaringan granulasi
sudah terbentuk dan re-epitelisasi pada dasarnya dikatakan lengkap. Pada minggu
keempat terjadi penggantian jaringan granulasi dengan jaringan ikat yang teratur.
43
penelitian tersebut juga didapatkan bahwa hanya 2,6% dari LUTS yang menetap
murni disebabkan oleh bladder outlet obstruction (BOO), dan 11,67% disebabkan
oleh kombinasi obstruksi leher buli dengan aktivitas detrusor yang meningkat, di
mana pasien memerlukan tindakan TURP ulang. Namun penelitian ini tidak
menilai faktor inflamasi sebagai salah satu kemungkinan faktor penyebab LUTS
yang menetap.
Chen, 2010, menemukan bahwa semakin kecil residu prostat pasca TURP
maka keluaran klinis akan makin baik. Pada prostat yang besar, makin banyak
jaringan yang dibuang saat TURP akan memberikan hasil yang makin baik.
Penggunaan kateter selama 1 tahun akan menurunkan volume buli dengan cepat
dari 360 menjadi 220 ml. Dalam 8 tahun volume buli akan turun menjadi 150 cc.
Pada kondisi penurunan volume buli ini, keluhan LUTS akan menetap pasca
dan prostat pada saat berkemih, dan mengakibatkan perubahan sensasi dan fungsi
perubahan sensasi dan fungsi buli yang disebabkan oleh inflamasi prostat. Yang
histamin, bradikinin, dan faktor neurotropik seperti NGF dapat menimbulkan efek
aferen buli. Kedua, neural cross-talk pada organ pelvis (buli dan prostat pada
khususnya) juga menjadi dugaan kuat penyebab perubahan perilaku buli. Ketiga,
antara kedua proses tersebut pada terjadinya LUTS yang merupakan kelanjutan
Menetapnya LUTS pasca TURP diduga karena proses inflamasi dan fibrosis baik
secara langsung maupun tidak langsung melalui terjadinya BPH. Peran variabel
untuk mendeteksi dini keganasan dan memonitor terapi pada prostat. Perlu
45
ditekankan bahwa PSA tidaklah spesifik untuk kanker prostat, namun PSA secara
spesifik diproduksi oleh jaringan prostat. Kelainan pada prostat selain keganasan
juga dapat mempengaruhi kadar PSA serum, seperti misalnya BPH, prostatitis,
usia yang makin tua serta pasca manipulasi prostat seperti colok dubur, biopsi
PSA adalah glikoprotein yang diproduksi terutama di sel epitel yang tersusun
pada duktus kelenjar prostat. PSA terutama terdapat pada jaringan prostat, dan
juga terdapat dalam jumlah kecil pada serum. Adanya kerusakan pada struktur
PSA serum menjadi penanda penting dari berbagai penyakit prostat, termasuk
Nilai normal dari PSA adalah di bawah 4 ng/ml (Wadgaonkar, dkk., 2013).
berkorelasi positif dengan nilai PSA. Inflamasi meningkatkan kadar PSA serum,
pada prostat yang mengakibatkan keluarnya PSA dari lumen duktus dan acini ke
Salah satu penelitian awal mengenai kadar PSA dengan inflamasi histologis
dilakukan oleh Brawn tahun 1991, dengan kesimpulan bahwa inflamasi pada
prostat menyebabkan kenaikan kadar PSA serum. Penelitian selanjutnya oleh Irani
grading dari Irani, dan menunjukkan adanya hubungan luas dan agresifitas dari
inflamasi pada prostat dengan peningkatan kadar PSA dan PSA density (PSAD)
serum (De Nunzio dkk, 2011; Gui-zhong, dkk., 2011, Duarsa & Lesmana, 2016).
Pemeriksaan PSA serum yang umum dilakukan adalah PSA serum total
(tPSA). Perbandingan PSA serum total dengan volume prostat yang diukur
sebagai PSA density. (PSAD). Nilai PSAD yang lebih tinggi dari 1,5
kelenjar prostat lebih besar dari kelenjar prostat normal atau BPH. Sebagian besar
PSA pada plasma berikatan dengan inhibitor serine protease seperti α1-
PSA total (tPSA) tidak berikatan dengan protein serum, disebut dengan PSA
bebas (free PSA/fPSA). Rasio fPSA dengan tPSA (fPSA/tPSA) disebut sebagai
lebih rendah pada pasien dengan kanker prostat yang digunakan sebagai
melaporkan bahwa f/tPSA pada serum dapat lebih akurat dalam membedakan
adanya biopsi yang tidak perlu. Nilai normal f/tPSA yang direkomendasikan
Serum PSA dapat dipakai untuk meramalkan perjalanan penyakit dari BPH.
2.5.1 Inflamasi
tersebut. Tanpa inflamasi, proses infeksi akan terus berlangsung dan luka tidak
pernah sembuh. Akan tetapi apabila tidak terkontrol, proses inflamasi sendiri
terhadap reaksi dan resolution atau proses perbaikan. Pada proses inflamasi akut
48
perbaikan jaringan yang rusak. Namun apabila proses kerusakan tersebut bersifat
persisten maka akan berlanjut menjadi proses inflamasi kronis (Kumar, 2010).
Gambar 2.9 Reaksi vaskuler pada proses inflamasi (dikutip dari Kumar 2010)
Gambar 2.10 Perbedaan inflamasi akut dan kronis (dikutip dari Kumar, 2010)
49
Hasil akhir proses inflamasi akut berbeda dengan inflamasi kronis. Pada
inflamasi akut terdapat tiga kemungkinan yaitu: 1) jaringan sembuh dan dapat
proses inflamasi kronis, jaringan tidak mungkin dapat berfungsi normal seperti
Makrofag sebagai sel yang paling dominan pada inflamasi kronis, adalah
suatu monosit yang berada di jaringan setelah beremigrasi dari pembuluh darah.
di liver (sel Kupffer), lien, kelenjar getah bening (disebut histiosit), susunan saraf
pusat (mikroglia) dan paru (makrofag alveolar). Bersama-sama sel ini membentuk
pertahanan tubuh dan sebagai sentinel untuk memberi peringatan kepada sistem
Monosit yang memiliki waktu paruh satu hari dengan tuntunan mediator
akan bermigrasi ke lokasi perlukaan dalam waktu 24-48 jam. Setelah melakukan
berukuran lebih besar dan mempunyai waktu paruh serta kemampuan fagositosis
yang lebih besar. Sinyal aktivasi makrofag dapat berasal dari endotoksin bakteri
dan produk mikroba lainnya, sitokin yang disekresikan oleh limfosit T (IFN- γ),
yang bila terjadi disregulasi dapat menyebabkan kerusakan jaringan dan fibrosis,
T. Kedua sel tersebut aktif mengeluarkan mediator yang saing mempengaruhi satu
12) yang akan menstimulasi respon limfosit T. Sebaliknya, limfosit T yang aktif
lebih banyak pengenalan antigen dan sekresi sitokin. Hasil akhirnya adalah reaksi
51
itu pada lokasi inflamasi terdapat sel plasma yang berasal dari limfosit B dan
reaksi inflamasi kronis yang kuat, akumulasi limfosit, antigen presenting cells
(APCs) dan sel plasma dapat menyerupai gambaran morfologis organ limfoid/
Sitokin yang memainkan peran kunci dalam mediasi reaksi inflamasi akut,
yaitu IL-1, TNF-α, IL-6, IL-11, IL-8 dan kemokin lainnya. Interleukin-1 (α dan β)
dan TNF- adalah sitokin utama yang memediasi peradangan akut dan mediator
seperti GM-CSF(38) dan IFN-γ pada situs inflamasi. Peran makrofag pada proses
inflamasi kronis dengan menurunkan kadar IL-1 dan TNF- yang bertanggung
mengantuk, dan leukositosis (De Nunzio dkk., 2008; De Nunzio dkk, 2012).
Sitokin yang berperan pada proses inflamasi kronis dapat dibagi menjadi
sitokin pada proses peradangan humoral, seperti IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, IL-7, IL-9,
IL-10, IL- 13, TGF-β dan sitokin yang berkontribusi terhadap inflamasi selular
seperti IL-1, IL-2, IL-3, IL-4, IL-7, IL-9, IL-10, IL-12, interferon (IFN), dimana
52
IFN-γ dapat merangsang faktor (IGIF), TGF-β, dan TNF-α dan –β (Alcaide, 2009;
Wang X, 2012). Sitokin yang didapatkan baik pada peradangan akut dan kronis
antara lain IL-1, IL-6. IL-1, IL-17, TNF-a, Eotaxin dan GM CSF (Wang X, 2012)
2.5.2 Fibrosis
ekstra seluler lainnya di dalam atau di sekitar jaringan inflamasi datau jaringan
rusak, yang pada gilirannya dapat menyebankan jaringan parut permanen dan
terjadi stimulus merugikan yang dapat disebabkan oleh infeksi, reaksi autoimun,
trauma, dan cedera jaringan persisten dalam penyakit kronis, yang selanjutnya
(Pohlers, 2011).
awal dari hospes terhadap invasi mikroba eksternal dan cedera jaringan
53
secara efektif mencerna, menghancurkan mikroba dan jaringan mati. Diikuti oleh
yang menekan aktivitas mikrobisidal dan merombak jaringan yang tidak berfungsi
menginduksi aktivasi makrofag klasik diproduksi oleh sel-sel TH-1, terutama IFN-
diproduksi oleh sel TH-2 terutama IL-4 dan IL-13 dan sel lain yaitu sel mast dan
lainnya yang terlibat dalam proses reparasi sel atau jaringan (Kumar, 2010).
Gambar. 2.12 Terjadinya fibrosis pada inflamasi kronis (dikutip: Kumar, 2010)
sintesis kolagen dan fibronektin, serta penurunan degradasi ECM karena inhibisi
54
metalloproteinase. Kadar TGF-β dalam jaringan tidak diatur oleh transkripsi gen
tetapi tergantung dari aktivasi pasca-transkripsi dari TGF-β laten, laju sekresi dari
molekul aktif, dan faktor-faktor dalam ECM yang mengatur aktivitas TGF-β
(Pohlers 2011).
Mekanisme aktivasi TGF-β pada fibrosis tidak diketahui secara pasti, tetapi
diduga dipicu oleh sel mati karena nekrosis atau apoptosis dan produksi spesies
stimulasi TGF-β dapat bervariasi tergantung pada jejas pada jaringan tertentu.
netrofil dan makrofag pada stroma fibromuskuler, duktus glandular dan atau acini
sel yang dapat dilihat dalam tabel berikut (De Nunzio dkk., 2011) :
Tabel 2.2 Derajat Histologi dan agresifitas (dimodifikasi dari De Nunzio, 2011)
Derajat histologis :
0: Tidak ada inflamasi
1: Infiltrasi sel inflamasi yang menyebar tanpa nodul
2: Nodul limfoid tanpa penyatuan
3: Area inflamasi yang besar dengan penyatuan nodul
Agresivitas histologis :
0: Tidak ada kontak antara sel inflamasi dengan epitel kelenjar
1: Terdapat kontak antara sel inflamasi dengan epitel
2: Infiltrasi ke interstitial dengan kerusakan struktur kelenjar
3: Kerusakan struktur kelenjar >25%
55
Pada pasien dengan prostat normal, area periglandular didominasi oleh sel T
agregasi limfoid dengan dominasi hampir 50% berupa sel B limfosit yang
dikelilingi oleh sel T parafolikular. Sedangkan pada prostat pasien dewasa yang
adalah CD4), CD19 dan CD20 B limfosit (10-15%) dan makrofag (15%). Fenotip
dari sel T juga mengalami perubahan yaitu dengan dominasi sel CD4, dan pada
sel T parafolikular didapatkan perbandingan sel CD4 lebih banyak dua kali
daripada sel CD8. (Nickel JC, 2008, De Nunzio, 2011). Makrofag terakumulasi di
lumen dan lapisan epithelial kelenjar prostat. Sel T juga didapatkan dalam jumlah
besar dilapisan epithelial kelenjar dan disekitar kelenjar. Namun sel B tidak
didapatkan banyak pada kelenjar prostat pasien BPH (Djavan. 2009; Izumi, 2014)
Tabel 2.3 Perbandingan komposisi sel imun prostat normal dengan BPH (dikutip
Pada tabel 2.3 dapat dilihat perbedaan komposisi sel imun pada prostat
normal dan BPH. Peran dari Limfosit T CD 8 terutama sebagai barier sistem imun
prostat yang lain (termasuk PSA), dengan demikian pada kondisi BPH terjadi
Berbagai stimulus yaitu infeksi, asam urat, dislipidemia, DM, refluks, DHT
dan terutama PSA sebagai auto antigen dapat menginduksi rangkaian proses
inflamasi pada prostat. Berbagai bakteri dan virus diketahui sebagai penyebab
keterkaitan antara proses infeksi dan autoimun pada terjadinya BPH. Sekresi
Destruksi pada epitel karena faktor infeksi dapat meningkatkan paparan terhadap
bahan proteolitik tersebut (PSA) sehingga sistem imun prostat harus bekerja untuk
mengatasi kondisi paparan oleh infeksi maupun autoimun. (Robert, 2009; Rosadi
Iritasi kimiawi akibat refluks urine pada duktus prostatikus pada area perifer
prostat dapat pula merupakan sumber dari inflamasi kronik. Kristal asam urat
pelepasan sitokin inflamasi, dan pada akhirnya mengakibatkan influks dari sel-sel
CD4+, dan meningkatkan sekresi IL-4 dan TGF β. Obesitas yang secara umum
terkait dengan inflamasi kronis dan kadar yang tinggi dari sitokin inflamasi di
dalam pembuluh darah (meliputi leptin, TNF-, CRP dan interleukin 6, 8, dan 1β,
57
juga dapat mempengaruhi pertumbuhan sel-sel prostat. Diet tinggi lemak juga
terkait dengan peningkatan sekresi dan aktivitas dari makrofag dan sel mast dalam
penurunan berat badan (khususnya ditargetkan pada lemak abdominal) dan diet
rendah lemak pada perbaikan LUTS karena BPH dan prostatitis kronis
Destruksi dari integritas duktus prostatikus oleh berbagai sebab di atas dapat
menyebabkan PSA dilepaskan dari acini dan duktus ke ruang interstisial dan pada
kuantitas PSA dapat dideteksi pada darah perifer pasien dengan prostatitis kronis/
chronic pelvic pain syndrome, BPH, dan kanker prostat. Reaksi inflamasi pada sel
berakibat pada pelepasan beberapa tipe mediator, meliputi sitokin dan growth
factor yang memodulasi respon imun lokal ataupun sistemik, yang juga berperan
ataupun apoptosis dari sel epitel dan sel stromal dari prostat. (De Nunzio dkk.,
diinisiasi oleh infeksi, lebih jauh lagi menurunkan kapasitas pertahanan prostat,
prostat dan penghambatan apoptosis (Gui zhong, 2011; McIlwan dkk., 2013).
58
Gambar 2.13 Perjalanan inflamasi kronis menjadi BPH (Dikutip: Kramer, 2007)
Terdapat 4 sel utama yang berperan pada proses inflamasi prostat yaitu
makrofag, Limfosit T, sel epitelial dan sel stromal (yang terdiri dari otot polos dan
peradangan prostat pada 43% kasus, dalam spesimen ini, jenis yang paling umum
adalah inflamasi kronis (69%). Tingkat keparahan dari inflamasi kronis paling
banyak didapatkan dengan kategori ringan dalam 78% kasus. Pada pasien BPH
yaitu 81% pasien memiliki infiltrat limfosit T (CD-3), 52% Sel B (CD-20) dan
82% marker makrofag (CD-163) yang bertanggung jawab atas pelepasan sitokin-
sebagian besar IL-2, IFN-, dan TGF- yang dapat mendukung pertumbuhan
lingkungan sekitar sel menjadi sasaran dan terjadi kematian sel, peristiwa ini akan
dilepaskan oleh berbagai sel tersebut tidak hanya berinteraksi dengan efektor
imun tetapi juga dengan stroma dan sel epitel prostat. Epitel prostat juga telah
terbukti melepaskan mediator inflamasi (Robert, dkk., 2009). Sel dendritik juga
respon limfosit T, sejauh ini, aktivitas berbagai sel tersebut diduga ikut
Sel limfosit dapat memicu growth factor pada pertumbuhan sel stroma
melepaskan berbagai sitokin terutama IL-2, IFN-γ dan TGF-β, yang akan memicu
jaringan BPH antara lain IL-15 pada sel stroma dan IL-17 melalui interaksi
dengan sel T, IFN-γ pada sel basal dan stroma dan IL-8 di sel epitel prostat.
Sitokin proinflamatori pada BPH dapat menginduksi jalur COX-2 pada sel
epitel BPH, pada akhirnya akan meningkatkan laju proliferasi sel prostat. Namun
ekspresi IL-17, sebagai pemicu ekspresi COX-2. Pada sel stroma BPH yang
mengalami inflamasi, IFN-γ and IL-17 memicu produksi dari IL-8 and IL-6.
factor-2 (FGF-2), sebagai growth factor utama pada sel epitel dan stroma prostat.
sedangkan pada BPH dan prostat yang terinfeksi akan mengekspresikan IL-17.
prostat. Berbagai penemuan ini sejalan dengan peran inflamasi sebagai etiologi
proliferasi jaringan prostat (Robert G dkk, 2009; Wang, 2012). Interlukin-17 yang
diekspresikan dalam 79% dari pasien yang aktif pada epitel dan sel-sel otot polos.
diproduksi oleh sel dendritik, monosit, dan makrofag. Ekspresi reseptor IL-23
juga telah diamati dalam epitel dan endotel. Pada penelitian Alcaide, 2009,
Tabel 2.4 Interleukin dalam proses inflamasi BPH (dikutip dari Bardan 2014)
ganda dalam biologi tumor. Di satu sisi, ada bukti bahwa TNF merangsang
61
TNF terutama diproduksi oleh makrofag, sel T dan natural killer (NK) sel,
tetapi dapat pula disekresi oleh sel-sel imun seperti fibroblas, sel-sel otot polos,
dan sel-sel tumor. Dalam proses signaling TNF memiliki dua reseptor yaitu:
reseptor TNF-1 (TNFR-1, p55 reseptor), yang terdapat dalam jumlah banyak di
berbagai tempat dan TNF reseptor-2 (TNFR-2, p75 reseptor) yang terutama
Berbagai studi membuktikan bahwa sintesis TNF dalam dalam jumlah kecil
besar dapat menyebabkan nekrosis sel tumor, merangsang antitumor, dan memicu
(ROS), dan nitric oxide (NO). Stress oksidatif memicu pelepasan asam
Tabel 2.5 Potensial peran paradoks TNF- pada BPH (dikutip dari Tse, 2012)
63
Gambar 2.14 Peran hipoksia dan signaling VEGF pada BPH (dikutip dari
Reynolds, 2006)
kronis dapat dideteksi pada 77% pasien pasien dengan BPH yang menjalani biopsi
prostat. Peneliti ini juga menunjukkan korelasi statistik dan klinis yang signifikan
Berbagai studi klinis lain yang meneliti hubungan antara penanda inflamasi
kronis dengan LUTS telah menunjukkan asosiasi yang lebih lemah dibandingkan
korelasi antara inflamasi kronis dengan BPH. Tidak didapatkan korelasi bermakna
dengan LUTS (Rohrman, 2005). Roehrborn, 2005, juga menemukan bahwa pada
BPH. Secara singkat, satu atau lebih faktor penyerta (infeksi bakteri, virus,
organisme penyakit menular seksual, faktor diet, hormon, respon autoimun dan
refluks urin) dapat merangsang reaksi inflamasi dalam jaringan prostat ditandai
peningkatan ekspresi faktor pertumbuhan yang berasal dari stroma maupun epitel
(seperti FGF-2) dan terjadi proliferasi abnormal sel-sel prostat. Hipoksia lokal
lainnya (VEGF, interleukin 8, FGF 7, TGF dan FGF 2). Mekanisme ini berjalan
terus dan menciptakan lingkaran setan, terjadinya BPH dan dilanjutkan LUTS
Figure 1.
Possible
Gambar 2.15 Mechanisms
Mekanisme By Which Inflammatory
sitimulasi Stimuli
inflamasi BPHMay(dikutip
Contributedari
to Prostatic
Sauver Growth
, 2009)
NIH-PA Author Manuscript
Gambar 2.16 Obstruksi pada duktus yang mengiduksi rangkaian respon imun
pada BPH yang berlanjut pada LUTS. (dikutip dari Ficarra, 2013)
prostat. TGF-α, EGF, basic fibroblast growth factor, keratinocyte growth factor
dan insulin growth factor merangsang pertumbuhan sel epitel kelenjar prostat.
TGF-β menghambat pertumbuhan sel epitel kelenjar prostat. TGF-α dan EGF
merupakan polipeptid mitogen yang mengandung 50 dan 53 asam amino pada sel
kelenjar prostat akan berikatan dengan reseptor EGF (Gregory Vyssoulis, 2012).
Ekspresi TGF-β dapat dijumpai pada bagian ventral kelenjar prostat tikus
normal. TGF-β juga berperan pada pembesaran kelenjar prostat. Ekspresi TGF-β
terdapat pada prostat yang langsung diregulasi oleh androgen. Ekspresi TGF-β
diregulasi oleh EGF dan KGF (keratinocyte growth factor) tapi bukan oleh
selular. Seperti pada kasus penyakit paru fibrosis, TGF-β merupakan target terapi
terputus (Wynn, 2012). Pada prostat sendiri, seperti dilaporkan oleh Wong dan
rekan, PSA pada prostat dapat mengaktivasi TGF-β melalui jalur independent,
Gambar 2.17 Mekanisme inflamasi, fibrosis dan apoptosis pada sel prostat
dkk., 2011). Beberapa studi menunjukkan bahwa penuaan dan inflamasi yang
serta berkontribusi pada terjadinya disfungsi dan penyakit pada berbagai sistem
organ. Bila jaringan prostat juga seperti jaringan lainnya dan bersifat susceptible
terhadap perubahan fibrotik terkait dengan inflamasi dan penuaan, maka dapat
terjadi perubahan arsitektur jaringan yang lebih kaku dan dapat berdampak negatif
pada fungsi uretra. Peningkatan risiko BPH didapatkan pada pasien dengan
aliran urin selama proses berkemih, yang dapat termanifestasi sebagai gejala
stromal namun tidak pada epitelial. Juga didapatkan adanya hubungan yang
signifikan dengan LUTS dan terapi dengan 5-ARI. Dengan demikian TGF-R
berpotensi menjadi target terapi BPH untuk mencegah pembesaran prostat dengan
tidak semua sel-sel tersebut terdapat dalam lingkungan mikro dari jaringan
prostat, hal ini menunjukkan bahwa perubahan yang dinamis pada komposisi
jaringan dapat berkembang pada prostat terkait dengan usia dan proses inflamasi.
Ma, dkk. (2012) dalam studinya mendapatkan data yang menunjukkan bahwa
fibrosis merupakan salah satu dari proses yang terjadi pada jaringan prostat dan
terkait dengan LUTS. Fibrosis jaringan sejalan dengan proliferasi selular ataupun
LUTS. Lebih jauh lagi tiga proses patologis ini lebih cenderung saling tumpang
tindih, sehingga tipe sel yang terkait pada proses ini dapat berakumulasi dan
PERSPECTIVES
Gambar 2.18 Kontribusi patobiologi prostat pada LUTS (dikutip: Nieves, 2013)
Gambar 2.20 Kontribusi fibrosis pada LUTS (Dikutip dari Ma dkk., 2012)
dan diferensiasi pada BPH, juga mengontrol androgen pada pertumbuhan prostat
sebagai supressor tumor pada epitel normal, dengan menginhibisi proliferasi sel
menjadi hilang dan pada tahap lanjut, TGF-β akan berubah fungsi menjadi agen
dikaitkan dengan pembesaran volume prosate dan adanya CD4 T limfosit pada
Peran dari TGF-β yaitu sebagai regulator dari regulasi transkripsi sel. Anti
proliferatif respon dari TGF-β pada siklus transkripsi sel yaitu hanya pada fase
G1. Ketika sel akan memasuki fase replikasi, maka DNA akan terus bereplikasi,
71
terbelah dan berhenti setelah memasuki fase G1. TGF-β menghentikan siklus sel
melalui penekanan fungsi dan ekspresi c-Myc. Kadar rendah c-Myc akan
Gambar 2.21 Keterkaitan antara proses inflamasi dan fibrosis pada BPH dan
LUTS. Kiri: efek sitokin proinflamasi yang berasal dari T cell pada jaringan BPH
selama pengembangan dan pada regulasi pluripotency sel punca, namun proses ini
juga diaktifkan dalam konteks patologis, seperti pada fibrosis dan karsinogenesis.
Berbagai komponen bekerja sama pada inisiasi program EMT dan MET, melalui
jalur ini secara dinamis berperan pada pembentukan struktur tiga dimensi selama
gastrulasi dan pembentukan organ. Aktivasi yang tidak terkendali jalur signaling
interaksi sinyal dari lingkungan mikro, sehingga sel-sel tumor epitel yang
memiliki sifat polaritas tinggi, menjadi invasif dan cepat bermetastasis ke tempat
peran siklus EMT-MET pada proses terjadinya BPH, dengan fokus khusus pada
Smad 4, yang kemudian mengatur transkripsi gen target melalui interaksi dengan
faktor transkripsi DNA lain. Dalam induksi EMT, Smads yang diaktifkan
mengakibatkan represi ekspresi gen penanda epitel serta aktivasi ekspresi gen
mesenkimal (Xu,2009).
74
Gambar 2.23 Regulasi Faktor transkripsi EMT oleh TGF (dikutip dari Xu, 2009)
Rangkaian proses EMT pada sel epitel prostat dimediasi oleh interaksi
sinyal TGF-β dan AR. AR menginduksi EMT melalui aktivasi faktor transkripsi
Snail atau melalui represi dari E-cadherin. Aktivasi transkripsi faktor Snail, ZEB-
ekspresi penanda mesenkimal dan protein yang terkait dengan invasi. Ekspresi E-
adalah efektor penting dari sinyal TGF-β yang meregulasi ekspresi mesenkimal
75
DHT
Apical Membrane
Cripto-1
TGF-B AR
E-Cadherins
Smad 2/3 (Adherens
Junctions)
Snail ZEB-1
Smad 4
Epithelial-mesenchymal transition
Basement Membrane
Figure 1 EM T control by the AR signaling. EM T in prostate epithelial cells is mediated by T GF-β and AR signaling interactions.
AR induces EM T through
Gambar activation
2.24ofKontrol
Snail transcription factor or viasignaling
EMT melalui repression of AR
E-cadherin.
(ikutipActivation of Snail, ZEB-1
dari Grant, 2013)or Smad
transcription factors initiates allows for mesenchymal gene expression. Snail increases the expression of mesenchymal markers and proteins
associated with invasion. E-cadherin is transciptionally suppressed by Snail; this loss of E-cadherin, which mediates intracellular adhesions
at adherens junctions, leads to collapse of cell-cell communications and onset of EM T. Cripto-1 is a critical effector of the T GF-β
signaling that upregulates mesenchymal expression during embryonic development. ZEB-1 is involved in a feedback loop with AR where
downregulation of AR leads to uncontrolled ZEB-1 expression.
of development, differentiation and development of prostate cancer, androgen depravation therapy (AD T ) improves
cells are dependent on androgens. Stimulation of the AR bone pain, lessens lower U T I symptoms, and increases
signaling in the urogenital sinus mesenchyme by testicular qual i t y of l i fe (7). Yet , met ast at i c di sease devel ops i n
androgens induces epithelial budding, proliferation and patients failing AD T and emerging with castration-resistant
differentiation towards formation of ductal structures. A prostate cancer (CRPC), through an aberrant AR signaling
non-functional AR results in testicular feminization-like mechani sm act i vat ed despi t e andr ogen depr i vat i on.
syndrome with the absence of the prostate (5). Circulating Increased AR expression, elevated intraprostatic androgens
testosterone is converted into dihydrotestosterone (D H T ) and per pet ual l y act i vat ed AR si gnal i ng i n t he face of
via 5-alpha reductase activity, the active metabolite that castrate levels of androgens characterize this progression to
interacts with the AR to ensure maintenance and function CRPC (8,9). Prostate tumors employ several mechanisms
of adul t prostate gland. Once bound to D H T, the AR to bypass or perpetuate AR signaling on the path towards
under goes a confor mati onal change and r el eases heat CRPC, including alterations to the AR itself, the synthesis
shock proteins (H SP). T he AR translocates to the nucleus of androgens by prostate cancer cells, or the activation
where dimerization, D N A binding, and recruitment of of AR by aberrant signaling pathways (10-12). T here are
coactivators occurs (6). I n men with metastatic prostate t wo recognized mechani sms for cast rati on r esi st ance:
© Translational Andrology and U rology. All rights reserved. www.amepc.org/tau Transl Androl Urol 2013;2(3):202-211