Anda di halaman 1dari 68

8

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Benign Prostatic Hiperplasia (BPH)

2.1.1 Insiden dan Epidemiologi

BPH merupakan tumor jinak kronik progresif paling sering pada laki-laki,

yang menimbulkan keluhan LUTS yang mengganggu kualitas hidup pasien.

Insidennya berhubungan dengan usia. Prevalensi histologis BPH seperti halnya

diabetes mellitus dan hipertensi, meningkat dari 20% pada laki berusia 41-50

tahun, 50% pada laki usia 51-60 tahun hingga lebih dari 90% pada laki berusia

diatas 80 tahun. Keluhan obstruksi juga berhubungan dengan usia. Pada usia 55

tahun sebanyak 25% laki-laki mengeluh gejala obstruksi pada saluran kemih

bagian bawah, meningkat hingga 50% pada usia 75 tahun ke atas (Presti, 2012;

Cooperberg, 2013).

Para klinisi memakai terminologi BPH untuk menerangkan sindroma klinik

yang terdiri dari 3 komponen yaitu keluhan saluran kencing bawah (LUTS),

benign prostatic enlargement (BPE) dan bladder outlet obstruction (BOO).

Definisi BPH secara histologi adalah hiperplasi dari sel stromal dan epitelial pada

zona transisi prostat dan area periuretra (Descazeaud, dkk., 2011).

Penyebab pasti BPH sampai saat ini belum ditemukan. Faktor risiko yang

jelas adalah usia dan kadar androgen. BPH tidak berkembang pada pria yang

dikebiri sebelum usia 40, dan jarang menyebabkan gejala sebelum usia 40. Angka

kejadian naik 0,3% pada usia 45-49 tahun, dan 3,8% pada 75-79 tahun.

8
9

Diperkirakan sebanyak 90 persen pria diatas 70 tahun memiliki beberapa gejala

BPH. Dalam perjalanannya, kelenjar prostat mulai menekan uretra, dinding

kandung kemih dapat menjadi tebal dan mudah berkontraksi. Hal ini

menyebabkan tidak terkendalinya kontraksi dan terjadinya retensi urin (De

Nunzio, dkk., 2011, Cooperberg, 2013).

Beberapa faktor risiko lain terjadinya BPH, mengarah pada genetik atau

perbedaan ras. Kira-kira 50% laki-laki berusia dibawah 60 tahun yang menjalani

operasi BPH memiliki faktor keturunan yang kemungkinan besar bersifat

autosomal dominan, dimana penderita yang memiliki orangtua menderita BPH

memiliki risiko 4x lipat lebih besar dibandingkan dengan yang normal. (Presti

dkk., 2012).

Gambar 2.1 Angka BPH Berdasarkan Usia (dikutip dari Roehrborn, 2012)

Di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah, Denpasar, selama tahun 2013

terdapat 103 pasien dengan BPH yang menjalani operasi, dari total 1161 pasien

urologi yang menjalani operasi (Duarsa & Lesmana, 2016; Rosadi & Duarsa

2015).
10

2.1.2 Anatomi

Prostat adalah organ genitalia pria yang terletak inferior dari buli-buli, di

depan rektum dan membungkus uretra posterior. Berbentuk seperti buah kemiri

dengan ukuran 4x3x2,5 cm dan berat kurang lebih 20 gram. Kelenjar ini terdiri

atas jaringan fibromuskular dan glandular dimana menurut Mc Neal pada tahun

1970 membagi menjadi beberapa zona, yaitu zona perifer, zona sentral, zona

transitional, zona preprostatik dan zona anterior (Presti, 2012).

Secara histopatologi, kelenjar prostat terdiri atas komponen kelenjar dan

stroma. Komponen stroma terdiri atas otot polos, fibroblas, pembuluh darah, saraf

dan jaringan interstitial yang lain. Prostat menghasilkan cairan komponen ejakulat

yang dialirkan melalui duktus sekretorius dan bermuara di uretra posterior. Cairan

ini merupakan 25% dari seluruh volume ejakulat, dikeluarkan bersama cairan

semen yang lain pada saat ejakulasi. Prostat mendapatkan inervasi otonomik

simpatis dan parasimpatis dari pleksus prostatikus. Pleksus prostatikus menerima

masukan serabut parasimpatis dari korda spinalis S2-4 dan simpatis dari nervus

hipogastrikus T10-L2. Stimulasi parasimpatis meningkatkan sekresi kelenjar pada

epitel prostat, sedangkan rangsangan simpatis menyebabkan pengeluaran cairan

prostat saat ejakulasi. Sistem simpatis memberikan inervasi pada otot polos

prostat, kapsul prostat dan leher buli, yang banyak terdapat reseptor adrenergic α.

Rangsangan simpatis mempertahankan tonus otot polos tersebut. Jika kelenjar ini

mengalami hiperplasia jinak atau berubah menjadi tumor ganas, dapat terjadi

penekanan uretra posterior dan mengakibatkan terjadinya obstruksi saluran kemih

(Cooperberg dkk., 2013).


11

Gambar 2.2 Anatomi Kelenjar Prostat (modifikasi dari Presti 2012)

2.1.3 Etiologi

Etiologi BPH belum sepenuhnya dimengerti, tampaknya bersifat multifaktor

dan berhubungan dengan endokrin. Prostat terdiri dari elemen epithelial dan

stromal dimana pada salah satu atau keduanya dapat muncul nodul hiperplastik

dengan gejala yang berhubungan dengan BPH. Beberapa hipotesis yang diduga

sebagai penyebab timbulnya BPH antara lain (Purnomo, 2011; Presti dkk, 2012;

Cooperberg, 2013):

1. Teori Dihidrotestosteron

Dihidrotestosteron atau DHT adalah metabolit androgen yang sangat

penting pada pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Dibentuk dari testosteron di

dalam sel prostat oleh 5α-reduktase dengan bantuan koenzim NADPH. DHT yang

telah terbentuk berikatan dengan reseptor androgen (RA) membentuk kompleks


12

DHT-RA pada inti sel dan selanjutnya terjadi sintesis protein growth factor yang

menstimulasi pertumbuhan sel prostat.

2. Ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron

Pada usia yang semakin tua, kadar testosteron menurun sedangkan kadar

estrogen relatif tetap sehingga perbandingan antara estrogen : testosteron relatif

meningkat. Telah diketahui bahwa estrogen didalam prostat berperan didalam

terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan

sensitifitas sel-sel prostat terhadap rangsangan hormon androgen, meningkatkan

jumlah reseptor androgen dan menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat

(apoptosis). Hasil akhir dari semua keadaan ini adalah meskipun rangsangan

terbentuknya sel-sel baru akibat rangsangan testosteron menurun, tetapi sel-sel

prostat yang telah ada mempunyai umur yang lebih panjang sehingga massa

prostat jadi lebih besar.

3. Interaksi stromal-epitel

Diferensasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung

dikontrol oleh sel-sel stroma, mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-

sel stroma mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya mempengaruhi sel-

sel stroma itu sendiri secara intrakrin atau autokrin serta mempengaruhi sel-sel

epitel secara parakrin. Stimulasi itu sendiri menyebabkan terjadinya proliferasi

sel-sel epitel maupun sel stroma.

4. Berkurangnya kematian sel prostat

Pada jaringan normal terdapat keseimbangan antara laju proliferasi sel

dengan kematian sel. Pada saat pertumbuhan prostat sampai dewasa, penambahan
13

jumlah sel-sel prostat baru dengan yang mati dalam keadaan seimbang.

Berkurangnya jumlah sel prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan jumlah

sel prostat menjadi meningkat sehingga terjadi pertambahan masa prostat.

5. Teori Sel Stem

Untuk mengganti sel-sel yang telah mengalami apoptosis, selalu dibentuk

sel-sel baru. Di dalam kelenjar prostat dikenal suatu sel stem yaitu sel yang

mempunyai kemampuan berproliferasi sangat ektensif. Kehidupan sel ini sangat

tergantung pada keberadaan hormon androgen sehingga jika hormon ini kadarnya

menurun seperti yang terjadi pada kastrasi, akan menyebabkan apoptosis.

Terjadinya proliferasi sel-sel pada BPH dipostulasikan sebagai ketidaktepatnya

aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi yang berlebihan pada sel stroma

maupun sel epitel.

Observasi dan penelitian pada laki-laki jelas mendemontrasikan bahwa BPH

dikendalikan oleh sistem endokrin, di mana kastrasi mengakibatkan regresi pada

BPH dan perbaikan keluhan. Pada penelitian lebih lanjut tampak korelasi positif

antara kadar testosteron bebas dan estrogen dengan volume pada BPH. Hal ini

berhubungan dengan peningkatan estrogen pada proses penuaan yang

mengakibatkan induksi dari reseptor androgen yang menjadikan prostat lebih

sensitif pada testosteron bebas. Namun belum ada penelitian yang

mendemontrasikan peningkatan reseptor estrogen level pada penderita BPH.

6. Teori inflamasi kronis

Inflamasi kronis pada kelenjar prostat mulai dipelajari sebagai penyebab

terjadinya BPH ketika Bostwick menemukan adanya limfosit pada stromal dan
14

intraepithelial prostat manusia normal. Saat itu mulai diduga bahwa inflamasi

kronis akan merangsang terjadinya pertumbuhan kelenjar prostat baik BPH

ataupun kanker prostat (Bostwick dkk., 2003). Pada Uji klinis oleh Medical

Therapy of Prostatic Symptoms (MTOPS) menunjukkan bahwa volume prostat

dengan inflamasi cenderung tumbuh lebih cepat daripada yang tanpa inflamasi.

Robert G, 2009, meneliti 282 pasien yang dilakukan tindakan pembedahan pada

pasien BPH dengan atau tanpa gejala LUTS menggunakan microarray jaringan.

Descazeaud menemukan bahwa inflmasi pada sekitar 78% kasus BPH. Hampir

seluruh pasien ditemukan sel inflamasi pada jaringan BPH: 81% mempunyai T-

limfosit, 52% B-limfosit marker dan 82% mempunyai marker makrofag.

Didapatlkan IPSS skor dan volume prostat lebih besar pada pasien dengan derajat

inflamasi prostat yang tinggi (Descazeaud et.al, 2011; Delongchamps dkk, 2013

Duarsa & Lesmana,2016).

2.1.4 Patologi

Pada awalnya nodus BPH terbentuk pada zona transisional sebagai nodul

hiperplasia fibromuskular dengan sedikit komponen epitelial. Secara mikroskopik

tampak peningkatan jumlah sel dan pola pertumbuhan yang berbentuk noduler

yang terdiri dari jaringan stromal dan epitelial. Secara histologis kelenjar prostat

terdiri dari komponen stromal dan epitelial. Komponen stromal secara signifikan

lebih besar dari komponen epitelial. Pada prostat normal kompossi

stromal:epitelial adalah 2:1. Namun menjadi 4:1 pada penderita BPH. Komponen

stromal pada prostat normal mayoritas terdiri dari otot polos. Pada BPH
15

komponen prostat 50% terdiri dari jaringan ikat, 25% otot polos dan 25%

komponen epitelial (Mark, 2010)

Diyakini bahwa hiperplasia prostat dihubungkan dengan interaksi abnormal

antara stromal dan epitelial. Ketidakseimbangan antara proliferasi sel dan proses

apoptosis akan menghasilkan pembesaran kelenjar prostat. Pertumbuhan stromal

dihubungkan dengan proliferasi aktif dari mesenkim stromal sementara

peningkatan epitelial disebabkan karena berkurangnya apoptosis kelenjar. Bagian

distal duktus prostatikus mengalami proliferasi sedangkan bagian proksimalnya

justru mengalami apoptosis. Sel epitelial dari distal dan perifir kelenjar prostat

lebih aktif mengalami mitosis sementara sel epitelial yang di sentral dan

proksimal menunjukkan proses apoptosis (Zhang 2006; Mark, 2010; Presti, 2012).

Penampilan komponen-komponen BPH secara histologis yang beragam

menjelaskan potensial respon terhadap pengobatan. Terapi dengan α-blocker

memberi respons yang baik pada pasien BPH dengan komponen dominan otot

polos, sementara bila komponen yang dominan adalah epitel, memberikan respons

yang baik terhadap 5-α reduktase inhibitor. Penderita BPH dengan komponen

dominan kolagen kurang respon terhadap medikamentosa. Pembesaran nodul zona

transitional menekan zona luar prostat yang mengakibatkan terbentuknya surgical

capsule. Kapsul ini memisahkan zona transisional dengan zona perifer, dan juga

merupakan batas dilakukannya prostatektomi terbuka (cooperberg, 2013).

2.1.5 Patofisiologi

Keluhan pada BPH diakibatkan oleh obstruksi dan akibat dari respon

kandung kemih. Komponen obstruksi dapat dibagi menjadi obstruksi mekanik dan
16

dinamik. Pada hiperplasi prostat, obstruksi mekanik terjadi akibat penekanan

terhadap lumen uretra atau leher buli, yang mengakibatkan resistensi bladder

outlet. Stroma prostat terdiri dari otot polos dan kolagen, yang dipersyarafi oleh

saraf adrenergik. Tonus uretra pars prostatika diatur secara autonom, sehingga

penggunaan α-blocker menurunkan tonus ini dan menimbulkan disobstruksi.

Selain disebabkan karena obstruksi pembesaran prostat, LUTS pada pasien

BPH juga merupakan akibat dari respons sekunder kandung kemih. Obstruksi

pada kandung kemih mengakibatkan hipertrofi dan hiperplasia dari otot detrusor

disertai penimbunan kolagen, pada inspeksi tampak penebalan otot detrusor

berbentuk sebagai trabekulasi, apabila berkelanjutan mengakibatkan terjadinya

hernia mukosa diantara otot detrusor yang mengakibatkan terbentuknya divertikel

(Presti, 2012).

2.1.6 Gejala Klinis

Tidak semua BPH menimbulkan gejala. Sebuah penelitian pada pria berusia

diatas 40 tahun, sesuai dengan usianya, sekitar 50% mengalami hiperplasia

kelenjar prostat secara histopatlogis. Dari jumlah tersebut, 30-50% mengalami

LUTS, yang juga dapat disebabkan oleh kondisi lain (Roehrborn, 2010).

Gejala saluran kemih bagian bawah (LUTS) dibagi atas gejala obstruktif

(hesitansi, pancaran melemah, mengejan, pemanjangan waktu berkemih), gejala

iritiatif (inkontinensia urgensi dan berkemih dengan jumlah sedikit), serta gejala

post miksi (menetes setelah berkemih, berkemih terasa tidak tuntas). Hampir

seluruh pasien datang dengan kombinasi dari gejala iritatif, urgensi dan post miksi

(McVary dkk., 2010). Sebanyak 90% pria berusia di antara 45 dan 80 tahun
17

menderita gejala saluran kemih bagian bawah Keluhan ini yang seringkali

membawa penderita untuk berobat ke rumah sakit. Derajat LUTS dapat dinilai

dengan menggunakan International Prostate Symptom Score (IPSS) yang telah

digunakan sejak tahun 1992. Sistim skor yang dikembangkan oleh American

Urological Association, merupakan kuisioner yang paling sering digunakan. Telah

dilaporkan bahwa IPSS merupakan metode yang dapat dipercaya dan cukup

sederhana, di mana tidak dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan sosial

demografi. Anamnesa yang lengkap dan mendalam dilakukan untuk

menyingkirkan etiologi penyebab yang lain seperti ISK, neurogenik bladder,

striktur uretra, kanker prostat dan lain lain (Ozturk dkk., 2011; Cughtai, dkk,

2011, Presti, 2012).

Gambar 2.3 Hubungan antara BPH, LUTS, BPE dan BOO Pada Pria Berusia

Lebih Dari 40 Tahun (modifikasi dari Roehrborn, 2012)


18

2.1.7 Pemeriksaan Klinis

Pemeriksaan fisik berupa colok dubur dan pemeriksaan neurologis

dilakukan pada semua penderita. Yang dinilai pada colok dubur adalah ukuran

dan konsistensi prostat. Pada pasien BPH, umumnya prostat teraba licin dan

kenyal. Ukuran prostat pada pemeriksaan colok dubur memiliki korelasi yang

kurang terhadap timbulnya gejala, karena lobus medial kurang atau tidak teraba.

Apabila didapatkan indurasi pada perabaan, waspada adanya proses keganasan,

sehingga memerlukan evaluasi yang lebih lanjut berupa Prostat Spesific Antigen

(PSA) dan ultrasonografi transrectal dan biopsi (Presti, 2012).

2.1.8 Pemeriksaan Laboratorium

Dilakukan pemeriksaan urinalisis untuk menyingkirkan infeksi dan

hematuria. Serum kreatinin diperiksa untuk evaluasi fungsi ginjal. Insufisiensi

renal didapatkan dari 10% penderita dengan prostatism dan dibutuhkan

pemeriksaan saluran kemih bagian atas. Pasien dengan insufisiensi renal memiliki

risiko lebih tinggi untuk mengalami komplikasi pasca operasi. Pemeriksaan PSA

serum biasanya dilakukan pada awal terapi namun hal ini masih kontroversi

(Presti, 2012).

PSA adalah glikoprotein yang diproduksi terutama di sel epitel yang

tersusun pada duktus kelenjar prostat. PSA terutama terdapat pada jaringan

prostat, dan juga terdapat dalam jumlah kecil pada serum. Nilai normal dari PSA

adalah di bawah 4 ng/ml. Adanya kerusakan pada struktur jaringan prostat, seperti

penyakit pada prostat, inflamasi, atau trauma, menyebabkan PSA lebih banyak

memasuki sistem sirkulasi. Peningkatan kadar PSA serum menjadi penanda


19

penting dari berbagai penyakit prostat, termasuk diantaranya BPH, prostatitis, dan

kanker prostat. Dikatakan tingkat inflamasi pada prostat dan faktor usia

berkorelasi positif dengan nilai PSA dan volume prostat (Caroll, 2013; Putra,

2016; Wadgaonkar, 2013; Gui-zhong, 2013).

Kultur urin dilakukan untuk mengidentifikasi adanya infeksi saluran

kemih. Dalam keadaan normal, urin bersifat steril. Pada wanita, urin keluar dari

kandung kemih melalui uretra yang bermuara dekat vagina. Pada pria, urin keluar

dari kandung kemih ke uretra melewati jaringan prostat (Shoskes, 2011).

2.1.9 Pencitraan

Pencitraan saluran kemih bagian atas (IVP dan USG) dianjurkan apabila

didapatkan kelainan penyerta dan atau terdapat komplikasi misalnya hematuria,

ISK, insufisiensi renal dan riwayat batu ginjal. Sistoskopi tidak direkomendasikan

untuk diagnostik tetapi digunakan untuk terapi invasif. Pemeriksaan tambahan

berupa cystometrogram dan profil urodinamik dilakukan pada pasien yang

dicurigai memiliki kelainan neurologis. Pemeriksaan flow rate dan residu post

miksi merupakan pemeriksaan tambahan (Presti, 2012; Mochtar, 2015).

Untuk mengetahui ukuran prostat secara tepat dilakukan dengan bantuan

pemeriksaan ultrasonografi transrektal atau transabdominal. Volume dihitung

dengan rumus 0,52 x panjang (cm) x lebar (cm) x tebal cm) (Presti, 2012).

2.1.10 Diagnosa Banding

Obstruksi saluran kemih bagian bawah lain seperti striktur uretra, kontraktur

pada leher buli, batu buli atau keganasan prostat, riwayat instrumentasi uretra,

uretritis atau trauma harus dieksklusi. Hematuria dan nyeri umunya berhubungan
20

dengan batu buli-buli, keganasan prostat dapat terdeteksi pada colok dubur dan

peningkatan PSA.

Infeksi saluran kemih dapat menyerupai gejala iritatif dari BPH yang

diidentifikasi dari urinalisis dan kultur. Keluhan iritatif juga dapat berhubungan

dengan keganasan kandung kemih terutama karsinoma insitu. Riwayat kelainan

neurologis, stroke, DM dan cedera tulang belakang dapat mengarah ke neurogenic

bladder. Umumnya didapatkan penurunan sensibilitas pada perineum dan

ekstremitas inferior dan penurunan tonus spinkter ani dan reflek bulbokavernosus

serta mungkin didapatkan perubahan pola defekasi (Presti, 2012).

2.1.11 Penatalaksanaan

Terapi spesifik berupa observasi pada penderita gejala ringan hingga operasi

pada penderita dengan gejala berat. (Presti, 2012; Oelke, 2013; Mochtar, 2015).

1. Watchful waiting

Penderita dengan BPH yang simptomatis tidak selalu mengalami progresi

keluhan, beberapa mengalami perbaikan spontan. Watchful waiting merupakan

penatalaksanaan terbaik untuk penderita BPH dengan nilai IPSS 0-7. Penderita

dengan gejala LUTS sedang juga dapat dilakukan observasi atas kehendak pasien.

Proses watchful waiting terdiri dari: edukasi mengenai kondisi pasien,

meyakinkan bahwa tidak ada keganasan, pengawasan secara berkala, perubahan

gaya hidup, seperti mengurangi asupan cairan pada waktu tertentu guna

mengurangi frekuensi berkemih di saat yang tidak nyaman (misalnya pada malam

hari atau saat berada di tempat umum), menghindari kafein dan alkohol yang

memiliki efek diuretik dan iritan, melakukan relaksasi dan teknik double-voiding,
21

pemijatan uretra untuk mencegah dribbling post miksi, teknik pengalihan

perhatian dan pikiran dari kandung kemih dan toilet, melatih otot untuk menahan

kemih, menelaah penggunaan obat yang mempengaruhi misalnya diuretikum,

penanganan untuk konstipasi (Oelke, 2013).

2. Medikamentosa

Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk mengurangi resistensi

otot polos prostat sebagai komponen dinamik penyebab obstruksi infravesika

dengan obat-obatan penghambat adrenergic alfa (adrenergic alfa blocker) dan

mengurangi volume prostat sebagai komponen statik dengan cara menurunkan

kadar hormone testosterone/dihidrotestosteron (DHT) melalui penghambat 5α-

reduktase. Selain kedua cara diatas, sekarang banyak dipakai terapi menggunakan

fitofarmaka yang mekanisme kerjanya masih belum jelas.

Tabel 2.1 Klasifikasi Terapi Medikamentosa BPH (modifikasi dari Presti, 2012)

Klasifikasi Dosis Oral


Alfa Bloker
Non Selektif
Phenoxybenzamine 10 mg, 2 kali sehari
Alfa-1, kerja pendek
Prazosin 2 mg, 2 kali sehari
Alfa-1, kerja panjang
Terazosin 5 atau 10 mg, sekali sehari
Doxazosin 3 atau 8 mg, sekali sehari
Alfa-1a selektif
Tamsulosin 0,2 atau 0,4 mg, sekali sehari
Alfuzosin 10 mg, sekali sehari
5-alfa reduktase inhibitor
Finasterida 5 mg, sekali sehari
Dutasterida 0,5 mg, sekali sehari
Subcutaeous implant Setahun sekali
Triptorelin pamoate 3,75 mg setiap bulan

3. Operatif
22

Tindakan operatif dilakukan apabila BPH dengan komplikasi (retensi urin

yang menetap atau berulang, inkontinensia overflow, ISK berulang, adanya batu

buli atau divertikel, dilatasi saluran kemih bagian atas akibat obstruksi dengan

atau tanpa insufisiensi ginjal), BPH yang gagal dengan terapi medikamentosa atau

BPH dengan skor IPSS berat. Tindakan operatif pada prostat terdiri dari:

TURP (Transurethral Resection of the Prostate)

TURP adalah prosedur pembedahan pada bagian dalam dari prostat

utamanya zone transisi dengan menggunakan pendekatan endoskopi melalui

uretra tanpa insisi pada kulit. Reseksi jaringan menggunakan cutting loop dan

kauterisasi perdarahan. Prosedur ini yang paling umum dipakai untuk pengobatan

BPH yang simptomatik. (McVary, 2010). TURP adalah baku emas operasi prostat

saat ini untuk volume prostat 20-80 mg dengan gejala LUTS sedang sampai berat,

sesuai dengan panduan penatalaksanaan klinis pembesaran prostat jinak oleh

IAUI dengan level of evidence 1a dan grade recommendation A (Mochtar, 2015).

Kurang lebih 95% terapi operatif dari penderita BPH dapat dilakukan cara

endoskopi, di mana tindakan ini menggunakan pembiusan spinal dan lama

perawatan yang relatif singkat. TURP dikatakan merupakan pilihan yang lebih

baik dibandingkan dengan minimal invasive yang lain. Tujuan utama penanganan

operatif pada BPH adalah untuk menghilangkan gejala yang berhubungan dengan

obstruksi leher buli atau Bladder Outlet Obstruction (BOO) (Purnomo, 2011; Cao

Y., 2015). Dikatakan bahwa TURP dapat menyembuhkan gejala LUTS dan

memperbaiki skor IPSS pada 90-94,7% kasus dan meningkatkan laju pancaran

urin maksimum (Qmax) sampai 100% (Bozdar, 2010; Mochtar, 2015).


23

Komplikasi dini TURP sebesar 18-23% yaitu perdarahan dengan tranfusi

darah (0-9%), sindroma TURP (intoksikasi cairan) (0-5%). Timbulnya penyulit

ini biasanya pada reseksi prostat yang beratnya lebih dari 60 gram, usia lebih 80

tahun, dan lama reseksi diatas 90 menit. Penyulit TURP lainnya ejakulasi

retrograde (65,4%), disfungsi ereksi (6,5-14%), inkontinensia (2,2%), striktur

uretra (3,8) serta kontraktur leher buli, perforasi dari kapsul prostat. Angka

kematian pada TURP adalah 0,4% pda kelompok usia 65-79 tahun dan 1,9% pada

kelompok diatas 80 tahun. Dekade terakhir, angka morbiditas, mortalitas dan

transfusi makin menurun (Mochtar,2015).

TUIP (Transurethral Incicion of the Prostat)

Penderita dengan LUTS sedang atau berat dan prostat yang kecil seringkali

memiliki hiperplasia dari komisura posterior (elevasi leher buli), di mana hal ini

merupakan indikasi untuk insisi prostat. Keuntungannya berupa tindakan lebih

cepat, morbiditas dan risiko ejakulasi retrograd lebih rendah (25%).

Prostatektomi terbuka

Diindikasikan pada prostat yang terlalu besar untuk dilakukan tindakan

endoskopik, juga dapat dilakukan pada penderita dengan divertikulum buli atau

didapatkannya batu buli. Prostatektomi terbuka dibagi menjadi 2 cara pendekatan

yaitu suprapubik (Millin procedure) dan retropubik (Freyer procedure).

Terapi Invasif Minimal

Beberapa terapi invasif minimal antara lain terapi laser (TULIP),

Transurethral Electrovaporization of the Prostat, Microwave Hipertermia,


24

Transurethral Needle Ablation of the Prostat (TUNA), High Intencity Focused

Ultrasound (HIFU) dan Stent Intraurethral .

2.2 Prostatitis

Inflamasi prostat (prostatitis) menggambarkan kombinasi dari penyakit

infeksi (prostatitis bakterial akut dan kronis), sindroma nyeri panggul kronik, dan

inflamasi asimptomatik. Penegakan diagnosa prostatitis seringkali terlambat dan

ditemukan secara tidak sengaja setelah penderita menjalani operasi dan dilakukan

pemeriksaan histopatologi pada jaringan kelenjar prostat (Krieger, 2008).

Terdapat banyak teori yang menerangkan patogenesis dari prostatitis

bakterial akut, termasuk refluks urine intraprostatik, infeksi asending uretra, invasi

langsung atau penyebaran limfogen dari rektum dan infeksi langsung melalui

hematogen. Teori refluks urin intraprostatik yang paling banyak dipakai. Urin

yang terinfeksi mengalami refluks ke duktus ejakulatorius dan prostatikus. Posisi

duktus yang berasal dari zone perifer letaknya lebih horisontal, sehingga sebagian

besar infeksi prostat terjadi pada zona perifer. Pada pria usia seksual aktif, infeksi

dapat terjadi karena hubungan seksual selain karena instrumentasi, biopsi prostat

dan kateterisasi jangka panjang (Presti, 2012).

Bakteri utama penyebab prostatitis bakterial umumnya juga bertanggung

jawab pada sebagian besar infeksi saluran kemih seperti golongan

enterobacteriaceae antara lain Escherichia coli, Proteus mirabilis, Klebsiella

species, Enterobacter species, Pseudomonas aeruginosa, dan Serratia species.

Escherichia coli adalah bakteri tersering penyebab prostatitis. Sebagian besar


25

infeksi prostat melibatkan organisme tunggal (82%). Bakteri lain yang juga dapat

menyebabkan prostatitis adalah Enterococci (5-10%). Staphylococcus aureus

biasanya didapat di rumah sakit pada pasien dengan pemakaian kateter jangka

panjang. Bakteri lain penyebab prostatitis antara Neisseria gonorrhea,

Mycobacterium tuberculosis, spesies Salmonella, species Clostridium and

organisme parasit atau jamur (Lee, 2007; Presti, 2012; Rosadi & Duarsa, 2015).

Beberapa faktor risiko terjadinya prostatitis bakterial antara lain obstruksi

bladder outlet seperti BPH, intraprostatic ductal reflux, fimosis, kelompok

golongan darah tertentu, unprotected anal intercourse, infeksi saluran kemih,

epididimitis akut, kateterisasi, operasi transuretral, Altered prostatic secretions,

transrektal ultrasound-guided biopsi prostat (Shoskes, 2011).

Secara patologi, prostatitis didefinisikan dengan adanya peningkatan jumlah

sel-sel inflamasi dalam kelenjar prostat. Proses inflamasi dapat berupa infeksius

atau inflamasi steril. Pola histologi tersering adalah infiltrasi limfosit ke dalam

stroma dekat acini prostat (Clemens, 2007).

2.3 Lower Urinary Tract Syndrome (LUTS)

Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS) merupakan gejala yang paling

sering dikeluhkan pada laki-laki usia tua dan meningkat seiring bertambahnya

usia. Sebelumnya LUTS dianggap sebagai efek masa pembesaran prostat yang

berkembang menjadi BPH, sehingga sering disebut prostatism. Istilah LUTS

diperkenalkan pertama kali oleh Paul Abrams, 2003. Peningkatan prevalensi

LUTS dengan bertambahnya usia merupakan fakta yang terjadi saat ini. LUTS

bukan hanya muncul pada pasien dengan BPH dan BPH tidak selalu diikuti oleh
26

keluhan LUTS. Pasien BPH yang mengalami LUTS adalah sebanyak 40,5%

pasien, sebanyak 60% pasien dengan LUTS bukan disebabkan oleh karena BPH.

Etiologi LUTS pada laki-laki sesungguhnya lebih kompleks dan mungkin

terkait dengan pertumbuhan jinak dari jaringan prostat (bladder outlet

obstruction) dan juga merupakan disfungsi kandung kemih (Suskind, 2013).

Adanya gangguan dari kandung kemih misalnya peningkatan aktivitas otot

detrusor, gangguan kontraktilitas pada fase penampungan dan penurunan aktivitas

otot detrusor pada fase pengosongan juga sering menjadi penyebab LUTS.

Kondisi lain penyebab LUTS terkait dengan usia, keganasan prostat, penyakit

pada uretra, dan kondisi medis seperti poliuria dan gangguan tidur (sleep

disorders) serta kelainan neurologis seperti neuropati perifer, stroke, parkinson

dan sebagainya. LUTS secara tipikal digolongkan dalam storage symptoms

(frekuensi dan urgensi), voiding symptoms (pancaran yang lemah, hesistansi,

straining) dan post voiding symptoms (post micturition dribbling). Etiologi LUTS

ini bersifat multifaktorial (Thirucelvam, 2014).

Gambar 2.4 LUTS berdasarkan usia pada tujuh negara yang berbeda (dikutip dari
Roehrborn, 2010)
27

Gambar 2.5 Penyebab LUTS pada pria (dikutip dari Oelke, 2013).

Anamnesa dan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang yang tepat

harus dilakukan untuk menyingkirkan penyebab LUTS lainnya (Oelke, 2013).

Hubungan antara LUTS, Bladder Outlet Obstruction (BOO), dan Benign Prostate

Enlargement (BPE) diilustrasikan dalam Hald’s Rings, yang menggambarkan

hubungan terkait yang kompleks antara gejala dan patologi yang terjadi. BPE

dapat terkait dengan LUTS disertai atau tanpa BOO, dan BPE dapat terkait

dengan BOO tanpa disertai LUTS (Parnham, 2013).

Pada Uji klinis oleh Medical Therapy of Prostatic Symptoms (MTOPS)

menunjukkan bahwa volume prostat dengan inflamasi cenderung tumbuh lebih

cepat daripada yang tanpa inflamasi. Kondisi ini menyebabkan predisposisi

terjadinya LUTS sampai retensi urin. Hubungan yang serupa antara inflamasi dan

IPSS juga dilaporkan oleh uji coba reduction by dutasterida of prostate cancer
28

event (REDUCE). Nickel menyebutkan bahwa inflamasi glanduler sebagai faktor

yang sangat signifikan terhadap terjadinya BPH dan gejala LUTS. Dimana

inflamasi mempengaruhi komponen statik (obstruksi uretra) dan komponen

dinamik (hipertrofi otot detrusor dan otot polos leher buli) (Yalcinkaya, 2011).

Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS) prevalensi tertinggi terjadi pada

laki laki, yang terdiri dari gejala storage, gejala voiding, dan gejala post-miksi

(Mitchel, 2006). Patofisiologi gejala LUTS, terdiri atas gejala-gejala yaitu,

storage, gejala voiding dan post miksi :

1. Gejala storage (frekuensi, nocturia, urgensi dan disuria)

Kompresi pada uretra menyebabkan distensi buli-buli yang mengakibatkan

terjadinya iskemia, inflamasi dan stres oksidatif pada kandung kemih, sehingga

menimbulkan kompensasi dari otot kandung kemih seperti hipertrofi, instability,

penurunan compliance dan gangguan kontraktilitas, terjadi juga gangguan dari

fungsi sistem saraf, dan pelepasan mediator seperti, ATP, nerve growth factor,

yang menyebabkan timbulnya gejala frekuensi, urgensi, dan nokturia. Walaupun

tidak ada kompresi pada uretra, stimulasi saraf sensorik uretra bisa menyebabkan

gejala storage (Mitchel, 2006).

Sindrom metabolik dianggap memiliki peran penting dalam patofisiologi

LUTS dan BPH. Resistensi insulin dengan hiperinsulinemia sekunder telah

dihubungkan dengan terjadinya pembesaran prostat. Hiperinsulinemia dan

hiperglikemia menyebabkan aktivasi sistem saraf simpatis sehingga menyebabkan

peningkatan tonus otot polos dari prostat, hal ini menyababkan keluhan LUTS

yang semakin memberat (Mitchel, 2006).


29

Beberapa studi menunjukkan bahwa penuaan dan inflamasi yang terkait

dengan terjadinya fibrosis menyebabkan perubahan arsitektur jaringan serta

berkontribusi pada terjadinya disfungsi dan penyakit pada berbagai sistem organ.

Pada jaringan prostat juga seperti jaringan lainnya dan bersifat susceptible

terhadap perubahan fibrotik terkait dengan inflamasi dan penuaan, maka dapat

terjadi perubahan arsitektur jaringan yang lebih kaku dan dapat berdampak negatif

pada fungsi uretra. Peningkatan risiko BPH didapatkan pada pasien dengan

polimorfisme TGF- pada kodon 10. Fibrosis jaringan periurethral dapat

menurunkan fleksibilitas uretra untuk dapat meregang dalam mengakomodasi

aliran urin selama proses berkemih, yang dapat termanifestasi sebagai gejala

obstruktif dan iritatif (Pohlers, 2009; Ma., 2012).

Ma, (2012) dalam studinya mendapatkan data yang menunjukkan bahwa

fibrosis merupakan salah satu dari proses yang terjadi pada jaringan prostat dan

terkait dengan LUTS. Fibrosis jaringan sejalan dengan proliferasi selular ataupun

pembesaran prostat dan hiperkontraktilitas otot polos dapat berperan secara

independen ataupun dalam kombinasi dengan faktor lainnya untuk menimbulkan

LUTS. Lebih jauh lagi tiga proses patologis ini lebih cenderung saling tumpang

tindih, sehingga tipe sel yang terkait pada proses ini dapat berakumulasi dan

bertransdiferensiasi. Sehingga terapi dengan menargetkan tiga proses patologis

diperlukan secara adekuat untuk mengurangi gejala dan patobiologi yang

berkontribusi pada terjadinya LUTS.

2. Gejala Voiding (hesistency, pancaran urine melemah)

Pada pasien dengan BPH, penekanan pada uretra yang disebabkan karena
30

pembesaran prostat menyebabkan terjadinya gejala voiding (komponen statis).

Kontraksi otot polos pada prostat menghasilkan kekuatan aktif yang menyebabkan

kompresi dari uretra. Stimulasi sistem saraf adrenergik yang didominasi oleh

α1A-adrenoseptor menyebabkan peningkatan resistensi dari uretra prostatika

(komponen dinamik). Volume prostat tidak berkorelasi dengan derajat obstruksi.

Faktor-faktor lain seperti resistensi uretra, kapsul prostat, dan perbedaan anatomi

prostat memainkan peran yang lebih penting dalam menimbulkan gejala

dibandingkan dengan volume prostat. Detrusor underactivity yang dihubungkan

dengan usia, sebagai salah satu hal yang penting dalam menyebabkan timbulnya

gejala voiding (Mitchel, 2006).

3. Gejala Post Miksi (terminal dribbling)

Patogenesis dari terminal dribbling karena terjadi kelemahan dari otot bulbo

cavernosus yang menyebabkan kegagalan evakuasi urine yang telah dikeluarkan

dan terjebak pada daerah bulbosa dari urethra setelah miksi (Kim, 2015).
31

Gambar 2.6 Patofisiologi LUTS (Mitchel,2006)

Perubahan hormon seksual seperti peningkatan estradiol dan penurunan

testosteron berkontribusi dalam pertumbuhan prostat. Mekanisme yang mendasari

hubungan LUTS dan disfungsi ereksi berdasar pada empat hipotesis:

1. Perubahan nitrat oksida/nitrat sintetase oksida (NO/NOS) pada cyclic

guanosine monophosphate (cGMP) pathway di penis dan prostat

2. Hiperaktivasi rho kinase dan endothelin pathway

3. Hiperaktivitas otonom dan sindrom metabolik hipotesa dan

4. Arteriosklerosis panggul Semua kondisi ini dapat meningkatkan Bladder


32

outlet resistensi dan merusak ereksi, sehingga mengakibatkan disfungsi ereksi

dan LUTS pada pasien BPH (Mitchel, 2006)

Gambar 2.7 BPH dan kategori LUTS (Athanasopolous, 2011)

Bladder outlet obstruction (BOO) yang disebabkan oleh karena BPH secara

langsung dapat menimbulkan keluhan voiding dan postvoiding. Gejala OAB pada

pasien BOO yang disebabkan karena BPH dapat disebabkan karena terjadinya

peningkatan dari reseptor cholinergic dan perubahan struktur yang disebabkan

oleh karena kondisi iskemia sehingga menimbulkan gejala over aktifitas otot

detrusor (Athanasopoulos, 2011).

Paradigma klasik obstruksi dari yang disebabkan oleh karena BPH

menyebabkan keluhan LUTS telah berubah. Keluhan saluran kencing bawah tidak

hanya disebabkan karena prostat tetapi juga faktor buli yang menyertai keluhan

yang ada. Beratnya derajat BOO berhubungan dengan derajat disfungsi otot
33

detrusor. Beberapa hal telah dikaitkan dengan over aktifitas otot detrusor yaitu

diantaranya stimulasi saraf simpatis, supersensitifitas terhadap acetylcholine,

perubahan lokal yang menyebabkan kontraksi segmental dan peningkatan nerve

growth factor (Cruz, 2010).

a. Stimulasi Saraf Simpatis

Dari 80% pasien dengan gejala BOO oleh karena BPH akan menimbulkan

gejala over aktifitas otot detrusor. Hal ini dapat terjadi karena, pada pasien dengan

BOO mempengaruhi sistem simpatik dan terjadi pergeseran dari subtipe -

adenoreseptor yang dominan. Penelitian pada tikus, terjadi perubahan jumlah

reseptor -1 A dan -1 D, dimana jumlah normalnya -1 reseptor sebanyak 70 %

dan -1 D reseptor sebanyak 25 %; menjadi 23 % -1 A reseptor dan 75 % pada

-1 D reseptor. Reseptor -1 D memiliki daya ikat 10 hingga 100 kali lebih kuat

untuk norepinefrin endogen hal ini menjelaskan terjadinya peningkatan

kontraktilitas pada kandung kemih sehingga menimbulkan keluhan LUTS berupa

gejala storage yaitu ( frekuensi, nocturia, urgensi dan dysuria). Sistem saraf

simpatis distimulasi melalui Rho-Kinase pathway. Pada pasien dengan BOO

terjadi peningkatan dari jalur Rho A/Rho-kinase pathway, dimana terjadi

peningkatan phosphorylation dari rantai themyosin sehingga menyebabkan

peningkatan dari kontraktilitas dari otot polos kandung kemih (Cruz, 2010).

b. Supersensitifitas terhadap acetylcholine

LUTS pada pasien dengan BOO terjadi supersensitivity terhadap

acetylcholine seperti pada denervasi dari saraf parasimpatis yang selanjutnya akan

meningkatkan kontraksi dan intensitas dari otot polos kandung kemih. Denervasi
34

dari saraf parasimpatis disebabkan oleh karena terjadinya penurunan aliran darah

dari kandung kemih sehingga menyebabkan gangguan dari kontraksi otot polos

kandung kemih (Cruz, 2010, Mitchel, 2006).

c. Local Segmental Contractility

BOO menyebabkan terjadinya perubahan kontak antar sel diantara otot

polos detrusor. Signaling antar sel yang abnormal dapat menyebabkan segmental

contraction. Hal ini juga akan menyebabkan peningkatan aktivitas saraf afferent

sehingga merangsang terjadinya proses miksi. Serat saraf sensorik juga akan

mengalami stimulasi abnormal karena terjadi peningkatan pelepasan

neurotrasmiter dari urothelium. Otot dinding buli yang meregang merangsang

pelepasan adenosine triphosphate (ATP). ATP berikatan dengan reseptor P2X3

pada serat saraf sensorik dan memiliki peranan yang penting dalam mengatur

refleks miksi (Cruz, 2010).

d. Peningkatan nerve growth factor.

BOO menyebabkan peningkatan pelepasan nerve growth factor (NGF), dan

setelah obstruksi dihilangkan tidak mampu mengembalikan pada kondisi normal.

NGF memiliki efek pada saraf sensorik C-Fibers yang selanjutnya akan merubah

ekspresi reseptor pada saraf sensorik dan terjadi penurunan terhadap nilai ambang

stimuli normal (Cruz, 2010).

LUTS disebabkan karena interaksi kompleks antara buli dan aliran urine yang

melalui uretra, sehingga hal hal yang mempengaruhi fungsi buli, prostat dan

urethra berkontribusi terhadap terjadinya LUTS. Usia, hormon, proses inflamasi,

fibrosis periuretra, gaya hidup, penyakit metabolik, faktor kongenital, sosial


35

ekonomi dan nocturnal enuresis merupakan penyebab dari LUTS

(Maharajh,2015).

Usia sangat berhubungan dengan LUTS dimana terjadi perubahan hormonal

dan perubahan mitogenesis yang secara pasti berhubungan dengan BPH dan

LUTS. Penuaan berhubungan dengan proses inflamasi dan ini juga terjadi pada

prostat. Proses penuaan yang normal, membentuk probiotic milieu pada prostat

melalui mekanisme aktivasi sitokin yang diproduksi oleh stromal fibroblast

(Maharajh,2015).

Hormon androgen memiliki efek terhadap pertumbuhan kelenjar prostat dan

juga fungsi traktus urinarius bagian bawah melalui berbagai mekanisme.

Testosteron secara langsung mempengaruhi pertumbuhan prostat dan juga

mempengaruhi reseptor pada detrusor dan akhirnya mempengaruhi fungsi dari

buli. Pada bertambahnya usia terjadi penurunan androgen dan sex hormone

binding globulin (SHBG). Hormon estrogen memiliki peranan yang penting

dalam proses mitogenesis dan pertumbuhan stromal pada pasien BPH. Androgen

berperan dalam pertumbuhan volume prostat, sedangkan estrogen memiliki peran

dalam proses mitogenetic pada stroma prostat. Growth factor yang terdapat pada

epithelium dan stroma diantaranya adalah vascular endothelial growth factor

(VEGF), fibroblast growth factor (FGF), epithelial growth factor (E-GF). Insulin

growth factor (IGF-1), dan TGF- (Maharajh,2015).

Inflamasi dari prostat berhubungan dengan keluhan LUTS dan BPH dan hal

ini telah dikonfirmasi secara histologi. Pada proses penuaan yang terjadi

peningkatan C-reactive protein (CRP) pada pasien BPH dan LUTS (Maharajh,
36

2015). Merokok meningkatkan risiko LUTS. Nikotin meningkatkan aktivitas saraf

simpatis dan meningkatkan testosterone. Konsumsi alkohol meningkatkan risiko

LUTS. Pada pasien yang mengalami obesitas dan metabolik sindrom memiliki

risiko yang lebih tinggi untuk terjadinya LUTS. Sindrom metabolik berhubungan

dengan gejala iritatif. Adiposites pada lemak memrangsang perubahan

testosterone menjadi estrogen sehingga menstimulasi pertumbuhan stroma

prostate yang akan memperberat komponen statik dari uretra, sehingga

memperberat keluhan LUTS. Adipocyte juga memproduksi sitokin proinflamasi

dan menyebabkan terjadinya inflamasi pada prostat. Hal ini dibuktikan dengan

terjadinya peningkatan CRP pada pasien BPH. CRP merupakan mediator

inflamasi dan merupakan tanda nonspesifik dari inflamasi. Laki laki dengan

peningkatan indeks massa tubuh akan mengalami insulin resistance dan

menyebabkan hiperinsulinemia. Insuline memiliki struktur yang sama dengan

IGF-1 dan berikatan dengan reseptor IGF sehingga menyebabkan pertumbuhan

dari prostat. Pasien dengan sindroma metabolik akan cenderung mengalami

keluhan iritatif (Maharajh,2015).

Hipertensi merupakan salah satu kriteria dari sindrom metabolic yang

memiliki hubungan dengan terjadinya LUTS. Keluhan yang dominan pada pasien

hipertensi adalah keluhan iritatif. Pada pasien dengan hipertensi terjadi

peningkatan aktivitas saraf simpatis yang akan menimbulkan dominan gejala

voiding. Pada pasien dengan hipertensi juga akan meningkatkan risiko

aterosklerosis, dimana kondisi pelvis yang iskemi dapat meningkatkan

pertumbuhan prostat (Maharajh,2015).


37

Hiperinsulinemia meningkatkan system saraf simpatis dan meningkatkan

influx calcium ke dalam detrusor. Perubahan mikrovaskular yang terjadi pada

pasien diabetes mempengaruhi otot detrusor. Hal yang ditimbulkan adalah

neuropati saraf perifer, hilangnya rangsang sensorik, penurunan kontraktilitas dan

gangguan pengosongan buli (Maharajh,2015).

Hiperlipidaemia berhubungan dengan LUTS, peningkatan katabolisme HDL

kolesterol dan peningkatan LDL pada sindrom metabolisme akan menstimulasi

pertumbuhan prostat dan meningkatkan risiko LUTS (Maharajh,2015).

Inflamasi sering ditemukan pada pemeriksaan histologi spesimen prostat,

yaitu sebanyak 43%- 98%. Proses inflamasi berkontribusi terhadap pembesaran

prostat dengan cara merangsang langsung atau dengan menghambat proses

apoptosis dari prostat. Proses inflamasi juga mempengaruhi buli sehingga

memiliki peran dalam terjadinya LUTS baik pada pasien yang mengalami

pembesaran prostat maupun tidak. Beberapa penelitian menilai hubungan petanda

inflamasi dan terjadinya LUTS yang menunjukkan adanya hubungan antara

inflamasi prostat dan volume prostat. Dari penelitian ini menunjukkan mediator

inflamasi berkontribusi terhadap pertumbuhan prostatic epithelial dan stromal cell

growth secara langsung yaitu dengan menginduksi pertumbuhan melalui sitokin

dan menstimulasi produksi prostatic growth factor, dan secara tidak langsung

dengan cara menurunkan kematian sel prostat dengan menekan apoptosis sel

prostat (Sauver, 2008).

Beberapa penelitian menunjukan adanya hubungan inflamasi dan

terjadinya LUTS. Prostaglandin memediasi terjadinya kontraksi pada buli tetapi


38

mekanismenya hingga menyebabkan urgensi masih belum diketahui. Diketahui

bahwa cyclooxygenases mensisntesis prostaglandin dari arachadonic acid, yang

menunjukan peran penting dari COX-related pathway. Peningkatan prostaglandin

terjadi karena proses mekanik daripada infeksi, lingkungan atau stimulasi

autoimun. Dari penelitian peregangan dari dinding buli menyebabkan terjadinya

penurunan dari COX-2 inhibitor dan peningkatan dari PGE2. Otot polos detrusor

dari buli juga memproduksi beberapa sitokin proinflamasi seperti IL-1  dan

TNF-a selain itu juga terjadi peningkatan protein 1 (MCP-1), IL-6, dan IL-8.

Tetapi penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menilai inflamasi buli

berkontribusi terhadap terjadinya LUTS melalui jalur COX-2 dependent

pathways, independent inflammatory pathways atau keduanya (Sauver, 2008).

Metode kuisioner yang tersedia saat ini bagi para klinisi untuk mengukur

tingkat gejala saluran kemih bagian bawah di antaranya adalah Boyarsky,

Madsen–Iversen, Maine Medical Assessment Program (MMAP), Danish symptom

score, AUA symptom score, IPSS, Bolognese instrument (Donovan., 1996).

International Prostate Symptom Score (IPSS), yang dikembangkan oleh

American Urological Association, merupakan kuisioner yang paling sering

digunakan. IPSS merupakan pengembangan dari AUA symptom score yang

ditambah dengan satu pertanyaan mengenai kualitas hidup. IPSS merupakan

metode yang dapat dipercaya dan cukup sederhana, di mana tidak dipengaruhi

oleh tingkat pendidikan dan sosial demografi. IPSS dibuat sedemikian rupa

sehingga pasien dapat melengkapi sendiri atau disertai dengan bantuan dari

petugas kesehatan. Ozturk, membuktikan bahwa nilai dari IPSS yang dilengkapi
39

oleh pasien sendiri dengan nilai IPSS yang dilengkapi oleh pasien dengan bantuan

petugas kesehatan tidak berbeda secara signifikan. Pria dengan level pendidikan

sekolah menengah dan usia berkisar 60 tahun dapat memahami pengisian skor

IPSS dengan baik tanpa bantuan. IPSS saat ini telah divalidasi dan diterjemahkan

ke dalam bahasa yang berbeda-beda di banyak negara (Ozturk, 2011).

Pedoman dari American Urological Association (AUA) menyatakan bahwa

IPSS merupakan kuisioner yang telah tervalidasi untuk digunakan dalam menilai

tiga gejala penampungan (frekuensi, nokturia, dan urgensi) dan empat gejala

pengosongan buli (rasa tidak tuntas, intermiten, mengedan, dan pancaran yang

lemah), dan satu pertanyaan tambahan mengenai kualitas hidup (McVary, 2010).

IPSS berisi tujuh pertanyaan mengenai gejala dan satu pertanyaan untuk

menilai kualitas hidup, dimana pasien dapat menilai keluhan secara kuantitatif

dalam skala 0-5. Nilai maksimal dari IPSS adalah 35. Derajat gejala saluran

kemih bagian bawah dikelompokkan menjadi tiga, nilai 0-7 derajat ringan, 8-19

derajat sedang, dan 20-35 derajat berat. IPSS hanya digunakan untuk menilai

beratnya gejala, dan bukan faktor diagnostik untuk menegakkan adanya BPH

(Oelke, 2013).
40

Gambar 2.8 International Prostate Symptom Score (dikutip dari Mochtar 2013)
41

2.3.1 LUTS Pasca TURP

Sebagai baku emas prosedur operasi pada BPH, TURP bertujuan untuk

menghilangkan gejala yang berhubungan dengan obstruksi leher buli atau bladder

outlet obstruction (BOO). TURP sebagai terapi operatif dapat mengurangi gejala

LUTS pada sebagian besar kasus, namun pada sebagian pasien hasil yang

didapatkan tidak sesuai dengan yang diharapkan dimana LUTS menetap setelah

dilakukan tindakan TURP (Yalcinkaya, 2011).

Bozdar, 2010, melakukan penelitian mengenai outcome dari TURP dalam

hubungannya dengan LUTS. Dari total 70 pasien dengan BPH yang disertai

dengan keluhan LUTS, rata-rata IPSS pra operasi adalah 22,5 (rentang 20-35).

IPSS pasca operasi dievaluasi setelah 6 minggu dan 12 minggu. Pada evaluasi 6

minggu pasca TURP, 81% pasien dengan LUTS ringan, 15,7% dengan LUTS

sedang, dan 2,9% dengan LUTS berat. Pada evaluasi 12 minggu pasca TURP,

terdapat 88,6% pasien dengan LUTS ringan, 10% dengan LUTS sedang, dan

1,5% dengan LUTS berat

Gejala LUTS yang sering dialami pria lanjut usia sejak lama dikaitkan

dengan adanya pembesaran kelenjar prostat, namun saat ini telah diketahui bahwa

penyebab dan patofisiologi dari LUTS adalah multifaktorial dan kompleks. Secara

khusus, adanya inflamasi pada prostat baik akut maupun kronik menjadi salah

satu penyebab terjadinya LUTS (Lee, 2015). LUTS yang menetap pasca TURP

berhubungan dengan adanya infeksi prostat yang ada sebelum operasi, khususnya

prostatitis kategori IV menurut klasifikasi National Institute of Health (NIH),

yaitu prostatitis kronis asimtomatis, yang biasanya tidak diketahui atau tidak
42

terdiagnosa sebelum operasi. Prostatitis kategori IV ditegakkan dengan adanya sel

inflamasi pada sekresi kelenjar prostat atau pemeriksaan histopatologi jaringan

prostat. Prostatitis kategori IV dilaporkan terdapat pada 43-98% spesimen

histopatologi dari reseksi prostat (Yalcinkaya, 2011, Rosadi & Duarsa, 2015).

Yalcinkaya menunjukkan bahwa inflamasi kronis pada BPH sebelum TURP akan

mempengaruhi LUTS dan kualitas hidup (QOL) sampai 3 bulan pasca TURP.

Namun inflamasi kronis tidak mempengaruhi pancaran urin dan residual urin.

Faktor usia dan volume prostat merupakan dua faktor utama lain yang

berpengaruh pada LUTS pasca TURP.

Gejala yang ditimbulkan akibat prostatitis umumnya adalah gejala iritatif.

Adanya prostatitis pada pasien BPH menyebabkan gejala iritatif menetap

walaupun telah dilakukan tindakan pembedahan. Yalcinkaya, 2011, melakukan

sebuah penelitian pada 247 pasien BPH yang menjalani prosedur TURP. Evaluasi

IPSS 90 hari pasca TURP menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan di

mana kelompok pasien dengan BPH yang disertai prostatitis memiliki IPSS yang

lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok pasien dengan BPH murni.

Cao, 2015, meneliti proses re-epitelisasi jaringan prostat pasca reseksi prostat

menggunakan laser yang dilakukan pada anjing. Proliferasi pada sel epitel dimulai

satu minggu setelah operasi. Dalam waktu dua minggu, regenerasi epitel

mencapai tiga sampai empat lapis, dan pada minggu ketiga jaringan granulasi

sudah terbentuk dan re-epitelisasi pada dasarnya dikatakan lengkap. Pada minggu

keempat terjadi penggantian jaringan granulasi dengan jaringan ikat yang teratur.
43

Sementara Luo, 2016, menunjukkan bahwa seluruh permukaan prostat pasca

reseksi sudah tertutup 3-8 lapis sel setelah minggu ke 2.

Penelitian pada 77 pasien yang mengalami LUTS menetap setidaknya sampai

2 bulan pasca TURP dilakukan oleh Anutrakulchai (2005) untuk mencari

penyebabnya. Dari jumlah sampel tersebut, 50,65% mengalami gejala

penyimpanan (storage), 32,47% mengalami gejala berkemih (voiding), dan

16,85% mengalami kombinasi keduanya. Dari hasil penelitian didapatkan

penyebab terbanyak LUTS pasca TURP adalah gangguan kontraktilitas uretra

(41,56%), diikuti oleh aktivitas detrusor yang meningkat (20,78%). Dari

penelitian tersebut juga didapatkan bahwa hanya 2,6% dari LUTS yang menetap

murni disebabkan oleh bladder outlet obstruction (BOO), dan 11,67% disebabkan

oleh kombinasi obstruksi leher buli dengan aktivitas detrusor yang meningkat, di

mana pasien memerlukan tindakan TURP ulang. Namun penelitian ini tidak

menilai faktor inflamasi sebagai salah satu kemungkinan faktor penyebab LUTS

yang menetap.

Chen, 2010, menemukan bahwa semakin kecil residu prostat pasca TURP

maka keluaran klinis akan makin baik. Pada prostat yang besar, makin banyak

jaringan yang dibuang saat TURP akan memberikan hasil yang makin baik.

Penggunaan kateter jangka panjang akan menurunkan kapasitas buli.

Penggunaan kateter selama 1 tahun akan menurunkan volume buli dengan cepat

dari 360 menjadi 220 ml. Dalam 8 tahun volume buli akan turun menjadi 150 cc.

Pada kondisi penurunan volume buli ini, keluhan LUTS akan menetap pasca

TURP, terutama keluhan iritatif atau storage (Kobayashi, 2013)


44

Lee, 2015, Inflamasi prostat menimbulkan efek berkemih melalui dua

mekanisme, yaitu mencetuskan fibrosis yang mengganggu pembukaan leher buli

dan prostat pada saat berkemih, dan mengakibatkan perubahan sensasi dan fungsi

buli dengan adanya neural cross-talk. Terdapat tiga mekanisme terjadinya

perubahan sensasi dan fungsi buli yang disebabkan oleh inflamasi prostat. Yang

pertama, pelepasan mediator inflamasi seperti prostaglandin, serotonin, ATP,

histamin, bradikinin, dan faktor neurotropik seperti NGF dapat menimbulkan efek

aferen buli. Kedua, neural cross-talk pada organ pelvis (buli dan prostat pada

khususnya) juga menjadi dugaan kuat penyebab perubahan perilaku buli. Ketiga,

hipersensitifitas dari aferen pelvis akibat adanya proses inflamasi menyebabkan

peningkatan sensitifitas pengisian buli dan perubahan perilaku berkemih.

Berbagai riset telah membuktikan peran inflamasi dan fibrotik pada

terjadinya BPH. Namun tidak banyak yang mengungkap tentang keterkaitan

antara kedua proses tersebut pada terjadinya LUTS yang merupakan kelanjutan

dari BPH. Diharapkan terjadi perbaikan LUTS setelah dilakukan TURP.

Menetapnya LUTS pasca TURP diduga karena proses inflamasi dan fibrosis baik

secara langsung maupun tidak langsung melalui terjadinya BPH. Peran variabel

PSA, TNF-, dan TGF-sebagai representatif proses tersebut diharapkan dapat

menjelaskan faktor risiko menetapnya LUTS pasca TURP.

2.4 Prostate Spesific Antigen (PSA)

Pengukuran Prostate Spesific Antigen (PSA) telah digunakan secara luas

untuk mendeteksi dini keganasan dan memonitor terapi pada prostat. Perlu
45

ditekankan bahwa PSA tidaklah spesifik untuk kanker prostat, namun PSA secara

spesifik diproduksi oleh jaringan prostat. Kelainan pada prostat selain keganasan

juga dapat mempengaruhi kadar PSA serum, seperti misalnya BPH, prostatitis,

usia yang makin tua serta pasca manipulasi prostat seperti colok dubur, biopsi

prostat, TURP. (Mochtar dkk., 2015; Amirrasouli dkk., 2010).

PSA adalah glikoprotein yang diproduksi terutama di sel epitel yang tersusun

pada duktus kelenjar prostat. PSA terutama terdapat pada jaringan prostat, dan

juga terdapat dalam jumlah kecil pada serum. Adanya kerusakan pada struktur

jaringan prostat, seperti penyakit pada prostat, inflamasi, atau trauma,

menyebabkan PSA lebih banyak memasuki sistem sirkulasi. Peningkatan kadar

PSA serum menjadi penanda penting dari berbagai penyakit prostat, termasuk

diantaranya BPH, prostatitis, dan kanker prostat (Caroll, dkk., 2013).

Nilai normal dari PSA adalah di bawah 4 ng/ml (Wadgaonkar, dkk., 2013).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tingkat inflamasi pada jaringan prostat

berkorelasi positif dengan nilai PSA. Inflamasi meningkatkan kadar PSA serum,

penyebab paling memungkinkan adalah adanya kerusakan integritas dari duktus

pada prostat yang mengakibatkan keluarnya PSA dari lumen duktus dan acini ke

interstitial (Gui-zhong, dkk., 2011).

Salah satu penelitian awal mengenai kadar PSA dengan inflamasi histologis

dilakukan oleh Brawn tahun 1991, dengan kesimpulan bahwa inflamasi pada

prostat menyebabkan kenaikan kadar PSA serum. Penelitian selanjutnya oleh Irani

pada tahun 1997, menunjukkan adanya hubungan antara agresifitas inflamasi

dengan peningkatan kadar PSA dan luasnya inflamasi berkorelasi dengan


46

peningkatan PSA serum. Kandirali pada tahun 2007 memodifikasi metode

grading dari Irani, dan menunjukkan adanya hubungan luas dan agresifitas dari

inflamasi pada prostat dengan peningkatan kadar PSA dan PSA density (PSAD)

serta penurunan kadar free PSA (fPSA). Gui-zhong (2013) menggunakan

klasifikasi prostatitis dari National Institute of Health (NIH), menunjukkan

perluasan dan derajat inflamasi berhubungan dengan peningkatan kadar PSA

serum (De Nunzio dkk, 2011; Gui-zhong, dkk., 2011, Duarsa & Lesmana, 2016).

Pemeriksaan PSA serum yang umum dilakukan adalah PSA serum total

(tPSA). Perbandingan PSA serum total dengan volume prostat yang diukur

melalui transrektal ultrasonografi atau transabdominal ultrasonografi disebut

sebagai PSA density. (PSAD). Nilai PSAD yang lebih tinggi dari 1,5

mengesankan suatu keganasan karena jumlah PSA yang dilepaskan pergram

kelenjar prostat lebih besar dari kelenjar prostat normal atau BPH. Sebagian besar

PSA pada plasma berikatan dengan inhibitor serine protease seperti α1-

antichymotrypsin, α1-protease inhibitor, dan α2-macroglobulin. 10%-30% dari

PSA total (tPSA) tidak berikatan dengan protein serum, disebut dengan PSA

bebas (free PSA/fPSA). Rasio fPSA dengan tPSA (fPSA/tPSA) disebut sebagai

persentase fPSA. Beberapa penelitian menunjukkan adanya persentase fPSA yang

lebih rendah pada pasien dengan kanker prostat yang digunakan sebagai

pemeriksaan yang lebih spesifik untuk mendeteksi kanker prostat. Partin

melaporkan bahwa f/tPSA pada serum dapat lebih akurat dalam membedakan

kanker prostat dengan penyakit nonmalignansi sehingga dapat menghindari


47

adanya biopsi yang tidak perlu. Nilai normal f/tPSA yang direkomendasikan

adalah 0,2-0,25 (Amirraouli dkk., 2010).

Serum PSA dapat dipakai untuk meramalkan perjalanan penyakit dari BPH.

Jika kadar PSA tinggi berarti (Muchtar dkk., 2015):

1) pertumbuhan volume prostat lebih cepat

2) keluhan akibat BPH/ laju pancaran kencing lebih jelek

3) Lebih mudah terjadi retensi urin akut

Menurut panduan penatalaksanaan klinis pembesaran prostat jinak oleh IAUI,

pemeriksaan PSA direkomendasikan jika ada kecurigaan kanker prostat yang

dapat mengubah penatalaksanaan atau jika PSA dapat membantu mengambil

keputusan pada pasien dengan risiko BPH (Mochtar, 2015).

2.5. Inflamasi Dan Fibrosis

2.5.1 Inflamasi

Inflamasi adalah suatu proses perlindungan tubuh yang bertujuan untuk

mengeliminasi segala sesuatu yang menjadi penyebab kerusakan sel sekaligus

menghilangkan sel-sel dan jaringan nekrotik yang terjadi akibat kerusakan

tersebut. Tanpa inflamasi, proses infeksi akan terus berlangsung dan luka tidak

pernah sembuh. Akan tetapi apabila tidak terkontrol, proses inflamasi sendiri

dapat menyebabkan kerusakan jaringan (Kumar, 2010).

Tahapan terjadinya inflamasi dapat disingkat menjadi 5 R, yaitu:

recognition atau pengenalan terhadap agen perusak, recruitment atau penarikan

leukosit, removal atau pengeliminasian agen penyebab, regulation atau kontrol

terhadap reaksi dan resolution atau proses perbaikan. Pada proses inflamasi akut
48

terjadi eliminasi rangsangan berbahaya yang diikuti penurunan reaksi dan

perbaikan jaringan yang rusak. Namun apabila proses kerusakan tersebut bersifat

persisten maka akan berlanjut menjadi proses inflamasi kronis (Kumar, 2010).

Gambar 2.9 Reaksi vaskuler pada proses inflamasi (dikutip dari Kumar 2010)

Gambar 2.10 Perbedaan inflamasi akut dan kronis (dikutip dari Kumar, 2010)
49

Hasil akhir proses inflamasi akut berbeda dengan inflamasi kronis. Pada

inflamasi akut terdapat tiga kemungkinan yaitu: 1) jaringan sembuh dan dapat

berfungsi normal; 2) terjadi pembentukan jaringan fibrosis sehingga kehilangan

fungsi awal; 3) terjadi progresivitas menjadi inflamasi kronis. Sebaliknya, pada

proses inflamasi kronis, jaringan tidak mungkin dapat berfungsi normal seperti

semula, karena terjadi proses angiogenesis, infiltrasi sel mononuklear serta

pembentukan jaringan parut (Kumar, 2010).

Makrofag sebagai sel yang paling dominan pada inflamasi kronis, adalah

suatu monosit yang berada di jaringan setelah beremigrasi dari pembuluh darah.

Makrofag biasanya tersebar acak di jaringan penghubung dan banyak ditemukan

di liver (sel Kupffer), lien, kelenjar getah bening (disebut histiosit), susunan saraf

pusat (mikroglia) dan paru (makrofag alveolar). Bersama-sama sel ini membentuk

sistem retikuloendotelium. Dalam jaringan, makrofag berperan sebagai filter

pertahanan tubuh dan sebagai sentinel untuk memberi peringatan kepada sistem

imun adaptif (limfosit B dan T) terhadap rangsangan berbahaya (Kumar, 2010)

Monosit yang memiliki waktu paruh satu hari dengan tuntunan mediator

akan bermigrasi ke lokasi perlukaan dalam waktu 24-48 jam. Setelah melakukan

ekstravasasi ke jaringan, monosit akan bertransformasi menjadi makrofag yang

berukuran lebih besar dan mempunyai waktu paruh serta kemampuan fagositosis

yang lebih besar. Sinyal aktivasi makrofag dapat berasal dari endotoksin bakteri

dan produk mikroba lainnya, sitokin yang disekresikan oleh limfosit T (IFN- γ),

berbagai mediator inflamasi akut dan protein matriks ekstraseluler seperti

fibronektin. Setelah aktif, makrofag akan mensekresikan berbagai produk aktif


50

yang bila terjadi disregulasi dapat menyebabkan kerusakan jaringan dan fibrosis,

sesuai karakteristik proses inflamasi kronis (Kumar, 2010).

Gambar 2.11 Aktivitas makrofag (dikutip dari Kumar, 2010)

Dalam proses inflamasi kronis, makrofag berkomunikasi dengan limfosit

T. Kedua sel tersebut aktif mengeluarkan mediator yang saing mempengaruhi satu

sama lain. Makrofag akan mengenalkan antigen kepada sel T, mengekspresikan

molekul membran (disebut co-stimulator) dan memproduksi sitokin (terutama IL-

12) yang akan menstimulasi respon limfosit T. Sebaliknya, limfosit T yang aktif

memproduksi sitokin yang salah satunya adalah IFN- γ yang mempromosikan

lebih banyak pengenalan antigen dan sekresi sitokin. Hasil akhirnya adalah reaksi
51

seluler yang mempertahankan inflamasi kronis berlangsung terus-menerus. Selain

itu pada lokasi inflamasi terdapat sel plasma yang berasal dari limfosit B dan

memproduksi antibodi yang bertugas melawan antigen yang diperkenalkan. Pada

reaksi inflamasi kronis yang kuat, akumulasi limfosit, antigen presenting cells

(APCs) dan sel plasma dapat menyerupai gambaran morfologis organ limfoid/

kelenjar getah bening (Kumar, 2010).

Sitokin yang memainkan peran kunci dalam mediasi reaksi inflamasi akut,

yaitu IL-1, TNF-α, IL-6, IL-11, IL-8 dan kemokin lainnya. Interleukin-1 (α dan β)

dan TNF- adalah sitokin utama yang memediasi peradangan akut dan mediator

utama syok septik (Kumar, 2010).

Peradangan kronis dapat berkembang mengikuti peradangan akut dan dapat

berlangsung selama beberapa minggu, bulan, dan sampai bertahun-tahun. Terjadi

kemotaksis monosit ke siklus peradangan, dimana Macrophage Activating Factor

(MAF) meningkatkan ekspresi IFN-γ, MCP-1. Sedangkan Macrophage Migration

Inhibition Factor (MMIF/MIF) mempertahankan keberadaan beberapa sitokin

seperti GM-CSF(38) dan IFN-γ pada situs inflamasi. Peran makrofag pada proses

inflamasi kronis dengan menurunkan kadar IL-1 dan TNF- yang bertanggung

jawab untuk beberapa gejala klinis, seperti anoreksia, cachexia, demam,

mengantuk, dan leukositosis (De Nunzio dkk., 2008; De Nunzio dkk, 2012).

Sitokin yang berperan pada proses inflamasi kronis dapat dibagi menjadi

sitokin pada proses peradangan humoral, seperti IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, IL-7, IL-9,

IL-10, IL- 13, TGF-β dan sitokin yang berkontribusi terhadap inflamasi selular

seperti IL-1, IL-2, IL-3, IL-4, IL-7, IL-9, IL-10, IL-12, interferon (IFN), dimana
52

IFN-γ dapat merangsang faktor (IGIF), TGF-β, dan TNF-α dan –β (Alcaide, 2009;

Wang X, 2012). Sitokin yang didapatkan baik pada peradangan akut dan kronis

antara lain IL-1, IL-6. IL-1, IL-17, TNF-a, Eotaxin dan GM CSF (Wang X, 2012)

2.5.2 Fibrosis

Fibrosis didefinisikan sebagai proliferasi berlebihan dari fibroblas dan

myofibroblas serta akumulasi berlebihan dari kolagen dan komponen matriks

ekstra seluler lainnya di dalam atau di sekitar jaringan inflamasi datau jaringan

rusak, yang pada gilirannya dapat menyebankan jaringan parut permanen dan

disfungsi organ (Kermani, 2013).

Mekanisme dasar yang terjadi dalam pembentukan fibrosis terkait dengan

inflamasi kronis. Berbeda dengan penyembuhan luka di kulit, pada fibrosis

terjadi stimulus merugikan yang dapat disebabkan oleh infeksi, reaksi autoimun,

trauma, dan cedera jaringan persisten dalam penyakit kronis, yang selanjutnya

dapat menyebabkan disfungsi dan kegagalan fungsi organ. Fibrosis merupakan

proses penyembuhan luka yang memiliki karakteristik akumulasi myofibroblas,

deposisi kolagen, remodelling matriks ekstraselular dan kekakuan jaringan

(Pohlers, 2011).

Stimulus yang persisten dari inflamasi kronis mengaktifkan makrofag dan

limfosit, menyebabkan produksi growth factors dan sitokin, yang meningkatkan

sintesis kolagen (kumar, 2010).

Respon hospes terhadap stimulus berbahaya diawali dengan menghilangkan

rangsangan tersebut dan kemudian menyembuhkan kerusakan. Bentuk respon

awal dari hospes terhadap invasi mikroba eksternal dan cedera jaringan
53

menginduksi aktivasi makrofag klasik (classically activated macrophages), yang

secara efektif mencerna, menghancurkan mikroba dan jaringan mati. Diikuti oleh

akumulasi dari aktivasi makrofag alternatif (alternatively activated macrophages),

yang menekan aktivitas mikrobisidal dan merombak jaringan yang tidak berfungsi

serta menginduksi terjadinya angiogenesis dan formasi skar. Sitokin yang

menginduksi aktivasi makrofag klasik diproduksi oleh sel-sel TH-1, terutama IFN-

γ dan TNF, sedangkan sitokin yang menginduksi aktivasi makrofag alternatif

diproduksi oleh sel TH-2 terutama IL-4 dan IL-13 dan sel lain yaitu sel mast dan

eosinofil. Aktivasi makrofag alternatif memproduksi TGF-β dan growth factors

lainnya yang terlibat dalam proses reparasi sel atau jaringan (Kumar, 2010).

Gambar. 2.12 Terjadinya fibrosis pada inflamasi kronis (dikutip: Kumar, 2010)

TGF-β sebagai agen fibrogenik penting dalam perjalanan penyakit, dengan

berbagai penyebab. TGF-β diproduksi oleh sebagian besar sel-sel jaringan

granulasi dan menyebabkan migrasi dan proliferasi fibroblas, meningkatkan

sintesis kolagen dan fibronektin, serta penurunan degradasi ECM karena inhibisi
54

metalloproteinase. Kadar TGF-β dalam jaringan tidak diatur oleh transkripsi gen

tetapi tergantung dari aktivasi pasca-transkripsi dari TGF-β laten, laju sekresi dari

molekul aktif, dan faktor-faktor dalam ECM yang mengatur aktivitas TGF-β

(Pohlers 2011).

Mekanisme aktivasi TGF-β pada fibrosis tidak diketahui secara pasti, tetapi

diduga dipicu oleh sel mati karena nekrosis atau apoptosis dan produksi spesies

oksigen reaktif. Selanjutnya sel-sel yang memproduksi kolagen di bawah

stimulasi TGF-β dapat bervariasi tergantung pada jejas pada jaringan tertentu.

2.6 Inflamasi pada BPH dan LUTS pasca TURP

Inflamasi pada prostat ditandai dengan didapatkannya limfosit, sel plasma,

netrofil dan makrofag pada stroma fibromuskuler, duktus glandular dan atau acini

(Descazeaud, dkk., 2011). Irani pada tahun 1997 mengusulkan klasifikasi

inflamasi prostat berdasarkan gradasi histologis terkait dengan perluasan inflamasi

sel yang dapat dilihat dalam tabel berikut (De Nunzio dkk., 2011) :

Tabel 2.2 Derajat Histologi dan agresifitas (dimodifikasi dari De Nunzio, 2011)

Derajat histologis :
0: Tidak ada inflamasi
1: Infiltrasi sel inflamasi yang menyebar tanpa nodul
2: Nodul limfoid tanpa penyatuan
3: Area inflamasi yang besar dengan penyatuan nodul

Agresivitas histologis :
0: Tidak ada kontak antara sel inflamasi dengan epitel kelenjar
1: Terdapat kontak antara sel inflamasi dengan epitel
2: Infiltrasi ke interstitial dengan kerusakan struktur kelenjar
3: Kerusakan struktur kelenjar >25%
55

Pada pasien dengan prostat normal, area periglandular didominasi oleh sel T

limfosit (70% CD8+), sedangkan disekitar stroma fibromuskular didapatkan

agregasi limfoid dengan dominasi hampir 50% berupa sel B limfosit yang

dikelilingi oleh sel T parafolikular. Sedangkan pada prostat pasien dewasa yang

mengalami inflamasi didapatkan perubahan, yaitu sel CD3+ T limfosit (70-80%

adalah CD4), CD19 dan CD20 B limfosit (10-15%) dan makrofag (15%). Fenotip

dari sel T juga mengalami perubahan yaitu dengan dominasi sel CD4, dan pada

sel T parafolikular didapatkan perbandingan sel CD4 lebih banyak dua kali

daripada sel CD8. (Nickel JC, 2008, De Nunzio, 2011). Makrofag terakumulasi di

lumen dan lapisan epithelial kelenjar prostat. Sel T juga didapatkan dalam jumlah

besar dilapisan epithelial kelenjar dan disekitar kelenjar. Namun sel B tidak

didapatkan banyak pada kelenjar prostat pasien BPH (Djavan. 2009; Izumi, 2014)

Tabel 2.3 Perbandingan komposisi sel imun prostat normal dengan BPH (dikutip

dari Bardan 2014)

Pada tabel 2.3 dapat dilihat perbedaan komposisi sel imun pada prostat

normal dan BPH. Peran dari Limfosit T CD 8 terutama sebagai barier sistem imun

yang mencegah reaksi autoimun terhadap komponen sperma maupun antigen


56

prostat yang lain (termasuk PSA), dengan demikian pada kondisi BPH terjadi

penurunan fungsi barier sistem imun. (Bardan, 2014)

Berbagai stimulus yaitu infeksi, asam urat, dislipidemia, DM, refluks, DHT

dan terutama PSA sebagai auto antigen dapat menginduksi rangkaian proses

inflamasi pada prostat. Berbagai bakteri dan virus diketahui sebagai penyebab

prostatis NIH kelas IV dapat menyebabkan produksi sitokin proinflamasi dan

kemokin pada sel stroma, selanjutnya memicu terjadinya BPH. Didapatkan

keterkaitan antara proses infeksi dan autoimun pada terjadinya BPH. Sekresi

prostat normal bersifat imunogenik karena memiliki karakter proteolitik.

Destruksi pada epitel karena faktor infeksi dapat meningkatkan paparan terhadap

bahan proteolitik tersebut (PSA) sehingga sistem imun prostat harus bekerja untuk

mengatasi kondisi paparan oleh infeksi maupun autoimun. (Robert, 2009; Rosadi

& Duarsa, 2015; Bardan 2014).

Iritasi kimiawi akibat refluks urine pada duktus prostatikus pada area perifer

prostat dapat pula merupakan sumber dari inflamasi kronik. Kristal asam urat

pada urine mencetuskan ekspresi dari caspase-1-activating NALP3

inflammasome, sebuah kompleks multiprotein pada makrofag, yang menginisiasi

pelepasan sitokin inflamasi, dan pada akhirnya mengakibatkan influks dari sel-sel

inflamasi tambahan lainnya. Estrogen sebagai hormon proinflamasi dapat

menginduksi produksi IFN  di dalam limfosit, menstimulasi akumulasi dari sel-T

CD4+, dan meningkatkan sekresi IL-4 dan TGF β. Obesitas yang secara umum

terkait dengan inflamasi kronis dan kadar yang tinggi dari sitokin inflamasi di

dalam pembuluh darah (meliputi leptin, TNF-, CRP dan interleukin 6, 8, dan 1β,
57

juga dapat mempengaruhi pertumbuhan sel-sel prostat. Diet tinggi lemak juga

terkait dengan peningkatan sekresi dan aktivitas dari makrofag dan sel mast dalam

kelenjar prostat. Beberapa studi menganalisis keuntungan potensial dari

penurunan berat badan (khususnya ditargetkan pada lemak abdominal) dan diet

rendah lemak pada perbaikan LUTS karena BPH dan prostatitis kronis

(Robert,2009; Ficcara, 2013; Duarsa& Lesmana, 2016).

Destruksi dari integritas duktus prostatikus oleh berbagai sebab di atas dapat

menyebabkan PSA dilepaskan dari acini dan duktus ke ruang interstisial dan pada

akhirnya ke dalam pembuluh darah. Sebagai konsekuensinya, peningkatan

kuantitas PSA dapat dideteksi pada darah perifer pasien dengan prostatitis kronis/

chronic pelvic pain syndrome, BPH, dan kanker prostat. Reaksi inflamasi pada sel

berakibat pada pelepasan beberapa tipe mediator, meliputi sitokin dan growth

factor yang memodulasi respon imun lokal ataupun sistemik, yang juga berperan

sebagai stimulator antigenik pada sel prostat, yang mempengaruhi pertumbuhan

ataupun apoptosis dari sel epitel dan sel stromal dari prostat. (De Nunzio dkk.,

2013; Duarsa& Lesmana, 2016)

Keseluruhan penjelasan diatas mengenai injuri epitel intraprostatik yang

diinisiasi oleh infeksi, lebih jauh lagi menurunkan kapasitas pertahanan prostat,

mencetuskan reaksi imun, yang pada akhirnya memfasilitasi proliferasi sel-sel

prostat dan penghambatan apoptosis (Gui zhong, 2011; McIlwan dkk., 2013).
58

Gambar 2.13 Perjalanan inflamasi kronis menjadi BPH (Dikutip: Kramer, 2007)

Terdapat 4 sel utama yang berperan pada proses inflamasi prostat yaitu

makrofag, Limfosit T, sel epitelial dan sel stromal (yang terdiri dari otot polos dan

fibroblas), yang selanjutnya akan mengeluarkan berbagai sitokin pro inflamasi

maupun faktor pertumbuhan. (Mishra VC, 2007, De Nunzio 2013).

Silverio meneliti 3942 pemeriksaan histologis dari pasien BPH, didapatkan

peradangan prostat pada 43% kasus, dalam spesimen ini, jenis yang paling umum

adalah inflamasi kronis (69%). Tingkat keparahan dari inflamasi kronis paling

banyak didapatkan dengan kategori ringan dalam 78% kasus. Pada pasien BPH

yang dilakukan tindakan operasi ternyata didapatkan komponen inflamasi kronis

yaitu 81% pasien memiliki infiltrat limfosit T (CD-3), 52% Sel B (CD-20) dan

82% marker makrofag (CD-163) yang bertanggung jawab atas pelepasan sitokin-

sebagian besar IL-2, IFN-, dan TGF- yang dapat mendukung pertumbuhan

fibromuskular pada BPH. Ketika kepadatan limfosit T mencapai batas tertentu,

lingkungan sekitar sel menjadi sasaran dan terjadi kematian sel, peristiwa ini akan

meninggalkan ruang yang digantikan oleh nodul fibromuskular. Sitokin yang


59

dilepaskan oleh berbagai sel tersebut tidak hanya berinteraksi dengan efektor

imun tetapi juga dengan stroma dan sel epitel prostat. Epitel prostat juga telah

terbukti melepaskan mediator inflamasi (Robert, dkk., 2009). Sel dendritik juga

memainkan peran penting dalam mendorong, mempertahankan, dan mengatur

respon limfosit T, sejauh ini, aktivitas berbagai sel tersebut diduga ikut

memberikan kontribusi untuk pemeliharaan dan kekebalan dalam proses

inflamasi prostat (Jashnich, 2010).

Sel limfosit dapat memicu growth factor pada pertumbuhan sel stroma

prostat. Selanjutnya infiltrasi limfosit B, limfosit T dan makrofag akan

melepaskan berbagai sitokin terutama IL-2, IFN-γ dan TGF-β, yang akan memicu

proliferasi fibromuskular pada prostat. Sitokin proinflamatori yang terdapat pada

jaringan BPH antara lain IL-15 pada sel stroma dan IL-17 melalui interaksi

dengan sel T, IFN-γ pada sel basal dan stroma dan IL-8 di sel epitel prostat.

Sitokin proinflamatori pada BPH dapat menginduksi jalur COX-2 pada sel

epitel BPH, pada akhirnya akan meningkatkan laju proliferasi sel prostat. Namun

tidak semua kasus BPH didapatkan peningkatan COX-2, misalnya pada

Proliferative Inflammatory Atrophy (PIA), namun selalu didapatkan peningkatan

ekspresi IL-17, sebagai pemicu ekspresi COX-2. Pada sel stroma BPH yang

mengalami inflamasi, IFN-γ and IL-17 memicu produksi dari IL-8 and IL-6.

Interleukin-6, merupakan autokrin faktor pertumbuhan terpenting pada sel stroma

prostat dan interleukin-8 merupakan parakrin induser dari fibroblast growth

factor-2 (FGF-2), sebagai growth factor utama pada sel epitel dan stroma prostat.

Steiner dkk., membuktikan bahwa prostat normal tidak menghasilkan IL-17,


60

sedangkan pada BPH dan prostat yang terinfeksi akan mengekspresikan IL-17.

Wang juga menemukan peran cyclooxygenase 2 (COX-2) pada peradangan

prostat. Berbagai penemuan ini sejalan dengan peran inflamasi sebagai etiologi

proliferasi jaringan prostat (Robert G dkk, 2009; Wang, 2012). Interlukin-17 yang

diekspresikan dalam 79% dari pasien yang aktif pada epitel dan sel-sel otot polos.

Pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel T yang memproduksi IL-17

membutuhkan faktor tambahan, seperti IL-23. Interleukin-23 heterodimer

diproduksi oleh sel dendritik, monosit, dan makrofag. Ekspresi reseptor IL-23

juga telah diamati dalam epitel dan endotel. Pada penelitian Alcaide, 2009,

dibuktikan bahwa ekspresi IL-6 dihubungkan dengan peningkatan TNF- (35,2%

sampel) dan peningkatan PSA (Kramer G, 2007; Robert, 2009).

Tabel 2.4 Interleukin dalam proses inflamasi BPH (dikutip dari Bardan 2014)

Tumor Necrosis Factor (TNF) adalah sitokin pleiotropik dengan peran

ganda dalam biologi tumor. Di satu sisi, ada bukti bahwa TNF merangsang
61

angiogenesis tumor, terlibat dalam inisiasi androgen-dependent, berperan dalam

plastisitas epitel menjadi mesenkimal, serta berkontribusi pada disregulasi jalur

eicosanoid. Di sisi lain, TNF- juga memiliki sifat menghambat neovaskularisasi,

menginduksi apoptosis, dan merangsang kekebalan antitumor (Tse,2012).

TNF terutama diproduksi oleh makrofag, sel T dan natural killer (NK) sel,

tetapi dapat pula disekresi oleh sel-sel imun seperti fibroblas, sel-sel otot polos,

dan sel-sel tumor. Dalam proses signaling TNF memiliki dua reseptor yaitu:

reseptor TNF-1 (TNFR-1, p55 reseptor), yang terdapat dalam jumlah banyak di

berbagai tempat dan TNF reseptor-2 (TNFR-2, p75 reseptor) yang terutama

diekspresikan pada sel-sel imun (Tse, 2012).

Berbagai studi membuktikan bahwa sintesis TNF dalam dalam jumlah kecil

akan menginduksi pertumbuhan tumor, angiogenesis, sedangkan dalam jumlah

besar dapat menyebabkan nekrosis sel tumor, merangsang antitumor, dan memicu

kolaps pembuluh darah. Sekarang diterima bahwa inflamasi kronis merupakan

faktor risiko utama untuk tumorigenesis, dan berbagai bukti menunjukkan

terdapat perbedaan karakter TNF- tergantung berapa banyak jumlah TNF-

yang tersedia (Tse, 2012),

Inflamasi prostat yang terjadi pada BPH akan menyebabkan pengeluaran

sitokin proinflamatori dan menyebabkan kondisi hipoksia relatif karena

peningkatan kebutuhan oksigen akibat proliferasi sel yang pada akhirnya

menyebabkan injuri jaringan yang diikuti pelepasan reactive oxygen species

(ROS), dan nitric oxide (NO). Stress oksidatif memicu pelepasan asam

arachidonat yang diubah oleh enzim siklooksigenase menjadi prostaglandin, yang


62

berperan penting dalam pengaturan proliferasi sel. Sebagai tambahannya, hipoksia

mencetuskan pelepasan vascular endothelial growth factor (VEGF), faktor

pertumbuhan seperti FGF-7, TGF-, FGF-2, dan IL-8 merangsang

neoangiogenesis dan diferensiasi fibroblas, yang merupakan faktor yang

merangsang terjadinya hiperplasia ataupun neoplasia pada stromal prostat yang

pada akhirnya menentukan pertumbuhan prostat (Ficarra, 2013).

Tabel 2.5 Potensial peran paradoks TNF- pada BPH (dikutip dari Tse, 2012)
63

Gambar 2.14 Peran hipoksia dan signaling VEGF pada BPH (dikutip dari

Reynolds, 2006)

Data klinis yang tersedia membuktikan kontribusi inflamasi kronis pada

terjadinya BPH dan LUTS. Sebuah sub-analisis studi REDUCE (Reduction by

Dutasteride of Prostat Cancer Events) menunjukkan bahwa inflamasi prostat

kronis dapat dideteksi pada 77% pasien pasien dengan BPH yang menjalani biopsi

prostat. Peneliti ini juga menunjukkan korelasi statistik dan klinis yang signifikan

antara inflamasi kronis dan derajat keparahan LUTS. (Nickel, 2008)


64

Berbagai studi klinis lain yang meneliti hubungan antara penanda inflamasi

kronis dengan LUTS telah menunjukkan asosiasi yang lebih lemah dibandingkan

korelasi antara inflamasi kronis dengan BPH. Tidak didapatkan korelasi bermakna

antara Peningkatan C-reactive protein, sebuah penanda inflamasi non-spesifik

dengan LUTS (Rohrman, 2005). Roehrborn, 2005, juga menemukan bahwa pada

peserta studi Medical Therapy of Prostate Symptoms (MTOPS) didapatkan

perbedaan derajat keparahan LUTS padan spesimen biopsi inflamasi akut

dibandingkan tanpa inflamasi akut (Sauver, 2008).

Berbagai bukti telah mendukung peran inflamasi kronis pada patogenesis

BPH. Secara singkat, satu atau lebih faktor penyerta (infeksi bakteri, virus,

organisme penyakit menular seksual, faktor diet, hormon, respon autoimun dan

refluks urin) dapat merangsang reaksi inflamasi dalam jaringan prostat ditandai

dengan infiltrasi limfosit T, aktivasi dan up-regulasi sitokin pro inflamasi,

peningkatan ekspresi faktor pertumbuhan yang berasal dari stroma maupun epitel

(seperti FGF-2) dan terjadi proliferasi abnormal sel-sel prostat. Hipoksia lokal

memainkan peran penting merangsang pelepasan Reactive Oxugen Species

(ROS), proses neovaskularisasi dan produksi faktor pertumbuhan tambahan

lainnya (VEGF, interleukin 8, FGF 7, TGF dan FGF 2). Mekanisme ini berjalan

terus dan menciptakan lingkaran setan, terjadinya BPH dan dilanjutkan LUTS

yang dapat pula tidak mengalami perbaikan setelah TURP.


65

St. Sauver and Jacobsen Page 11


NIH-PA Author Manuscript
NIH-PA Author Manuscript

Figure 1.
Possible
Gambar 2.15 Mechanisms
Mekanisme By Which Inflammatory
sitimulasi Stimuli
inflamasi BPHMay(dikutip
Contributedari
to Prostatic
Sauver Growth
, 2009)
NIH-PA Author Manuscript

Gambar 2.16 Obstruksi pada duktus yang mengiduksi rangkaian respon imun

pada BPH yang berlanjut pada LUTS. (dikutip dari Ficarra, 2013)

Curr Prostate Rep. Author manuscript; available in PMC 2009 October 5.


66

2.7 Fibrosis pada BPH dan LUTS pasca TURP

Beberapa growth factor memperantarai interaksi epitel stroma pada kelenjar

prostat. TGF-α, EGF, basic fibroblast growth factor, keratinocyte growth factor

dan insulin growth factor merangsang pertumbuhan sel epitel kelenjar prostat.

TGF-β menghambat pertumbuhan sel epitel kelenjar prostat. TGF-α dan EGF

merupakan polipeptid mitogen yang mengandung 50 dan 53 asam amino pada sel

kelenjar prostat akan berikatan dengan reseptor EGF (Gregory Vyssoulis, 2012).

Ekspresi TGF-β dapat dijumpai pada bagian ventral kelenjar prostat tikus

normal. TGF-β juga berperan pada pembesaran kelenjar prostat. Ekspresi TGF-β

terdapat pada prostat yang langsung diregulasi oleh androgen. Ekspresi TGF-β

diregulasi oleh EGF dan KGF (keratinocyte growth factor) tapi bukan oleh

testosteron (Gregory Vyssoulis, 2012).

Pada inflamasi, TGF-β berperan dalam menimbulkan fibrosis dengan

mempercepat terjadinya konversi myofibroblas dan deposisi kolagen ekstra

selular. Seperti pada kasus penyakit paru fibrosis, TGF-β merupakan target terapi

dimana dengan menghambat TGF-β maka kaskade terjadinya fibrosis dapat

terputus (Wynn, 2012). Pada prostat sendiri, seperti dilaporkan oleh Wong dan

rekan, PSA pada prostat dapat mengaktivasi TGF-β melalui jalur independent,

sehingga peningkatan PSA baik karena inflamasi (infeksi dan instrumentasi)

maupun karena keganasan prostat akan meningkatkan aktifitas TGF-β dengan

hasil peningkatan terjadinya fibrosis prostat (Wong, 2013).


67

Gambar 2.17 Mekanisme inflamasi, fibrosis dan apoptosis pada sel prostat

(dikutip dari De Nunzio, 2013)

Hormon androgen telah diketahui secara luas dapat mengontrol proliferasi

dan diferensiasi stromal prostat melalui regulasi ekspresi TGF- (Descazeaud,

dkk., 2011). Beberapa studi menunjukkan bahwa penuaan dan inflamasi yang

terkait dengan terjadinya fibrosis menyebabkan perubahan arsitektur jaringan

serta berkontribusi pada terjadinya disfungsi dan penyakit pada berbagai sistem

organ. Bila jaringan prostat juga seperti jaringan lainnya dan bersifat susceptible

terhadap perubahan fibrotik terkait dengan inflamasi dan penuaan, maka dapat

terjadi perubahan arsitektur jaringan yang lebih kaku dan dapat berdampak negatif

pada fungsi uretra. Peningkatan risiko BPH didapatkan pada pasien dengan

polimorfisme TGF- pada kodon 10. Fibrosis jaringan periurethral dapat


68

menurunkan fleksibilitas uretra untuk dapat meregang dalam mengakomodasi

aliran urin selama proses berkemih, yang dapat termanifestasi sebagai gejala

obstruktif (Pohlers, 2009; Ma., 2012).

TGF-R suatu reseptor protein TGF-, memiliki hubungan yang sangat

signifikan dengan inflamasi dan pembesaran volume prostat terutama pada

stromal namun tidak pada epitelial. Juga didapatkan adanya hubungan yang

signifikan dengan LUTS dan terapi dengan 5-ARI. Dengan demikian TGF-R

berpotensi menjadi target terapi BPH untuk mencegah pembesaran prostat dengan

mengurangi volume prostat (Descazeaud, 2011; Weinbreck N, 2011).

Berbagai tipe sel dapat berdiferensiasi menjadi myofibroblas, walaupun

tidak semua sel-sel tersebut terdapat dalam lingkungan mikro dari jaringan

prostat, hal ini menunjukkan bahwa perubahan yang dinamis pada komposisi

jaringan dapat berkembang pada prostat terkait dengan usia dan proses inflamasi.

Ma, dkk. (2012) dalam studinya mendapatkan data yang menunjukkan bahwa

fibrosis merupakan salah satu dari proses yang terjadi pada jaringan prostat dan

terkait dengan LUTS. Fibrosis jaringan sejalan dengan proliferasi selular ataupun

pembesaran prostat dan hiperkontraktilitas otot polos dapat berperan secara

independen ataupun dalam kombinasi dengan faktor lainnya untuk menimbulkan

LUTS. Lebih jauh lagi tiga proses patologis ini lebih cenderung saling tumpang

tindih, sehingga tipe sel yang terkait pada proses ini dapat berakumulasi dan

bertransdiferensiasi. Sehingga terapi dengan menargetkan tiga proses patologis

diperlukan secara adekuat untuk mengurangi gejala dan patobiologi yang

berkontribusi pada terjadinya LUTS (Ma, 2012).


69

PERSPECTIVES
Gambar 2.18 Kontribusi patobiologi prostat pada LUTS (dikutip: Nieves, 2013)

ormal wound Box 1 | Sources of inflammation


cluding fibro-
■ Inflammator y infiltrate
d mesencymal
■ UTI
entiating into ■ Prostatitis
on hallmarks ■ Ageing
n are expres- ■ Type 2 diabetes mellitus
ti n (α-SM A)
a large com-
Infection Type 2
creted ECM . Ageing
(UTI, prostatitis) diabetes mellitus
α-SM A for m
ding collagen-
Inf ammation
ction of these
e mechani cal
tracture and
osure reduces
e myof i br o-
Fibrosis
-SMA, which
sor protein—
al adhesions,
and eventual
cell death.53,54 Smooth
Proliferation muscle
ur, myofibro- dysfunction
nical signal to
ue to accumu-
by replaci ng
Lower urinar y tract dysfunction
ue.
an beinduced Figure 2 | Contribution of inflammation and
ollagen 1 and Gambar 2.19 Peran
fibrosis to inflamasi dan fibrosistract
lower urinary pada LUTS (dikutip dari Nieve, 2013)
dysfunction
go complete (LUTD). UTI, prostatitis, ageing, and type 2
noconversion diabetes mellitus are all sources of tissue
e cannonical inflammation that promotes fibrosis in the
lower urinary tract. Periurethral tissue
r the CXCLs
fibrosis, stromal or epithelial prostatic
2 (even in the proliferation, and smooth muscle dysfunction
).36 Moreover, can, alone or in combination, promote male
70

Gambar 2.20 Kontribusi fibrosis pada LUTS (Dikutip dari Ma dkk., 2012)

TGF-β adalah sitokin inflamasi yang bertanggungjawab terhadap proliferasi

dan diferensiasi pada BPH, juga mengontrol androgen pada pertumbuhan prostat

Dibandingkan dengan jaringan prostat normal, prostat pada pasien BPH

menunjukkan peningkatan volume jaringan fibromuskuler dan penurunan area

glanduler. Peningkatan mRNA TGF-b2 banyak ditemukan pada jaringan BPH

khususnya pada fibroblast stroma dibandingkan dengan epitelial. TGF-β berfungsi

sebagai supressor tumor pada epitel normal, dengan menginhibisi proliferasi sel

dan menginduksi apoptosis. Seiring dengan progresi tumor, sensitivitas TGF-β

menjadi hilang dan pada tahap lanjut, TGF-β akan berubah fungsi menjadi agen

pro-onkogen (Yang J, 2009). Ekspresi protein TGF-βR2 pada pasien BPH

dikaitkan dengan pembesaran volume prosate dan adanya CD4 T limfosit pada

prostatitis (Descazeaud, dkk., 2011).

Peran dari TGF-β yaitu sebagai regulator dari regulasi transkripsi sel. Anti

proliferatif respon dari TGF-β pada siklus transkripsi sel yaitu hanya pada fase

G1. Ketika sel akan memasuki fase replikasi, maka DNA akan terus bereplikasi,
71

terbelah dan berhenti setelah memasuki fase G1. TGF-β menghentikan siklus sel

melalui penekanan fungsi dan ekspresi c-Myc. Kadar rendah c-Myc akan

menginduksi transkripsi dari gen p15INK4B dan p21CIP1 yang menghambat

pembentukan cyclin D sebagai aktivator CDK4/6 kompleks. Selanjutnya akan

menginaktivasi fase G1 dan S sehingga menghambat siklus pertumbuhan sel

(Weinbreck dkk., 2011).

Gambar 2.21 Keterkaitan antara proses inflamasi dan fibrosis pada BPH dan

LUTS. Kiri: efek sitokin proinflamasi yang berasal dari T cell pada jaringan BPH

termasuk menginduksi peningkatan myofibroblas; Kanan: Peran otot polos pada

infiltrasi sel radang BPH (dikutip dari Kramer, 2007)


72

Epithelial Mesenchymal Transition (EMT) dan sebaliknya, Mesenchymal

Epithelial Transition (MET), adalah proses morfologis penting yang terjadi

selama pengembangan dan pada regulasi pluripotency sel punca, namun proses ini

juga diaktifkan dalam konteks patologis, seperti pada fibrosis dan karsinogenesis.

Berbagai komponen bekerja sama pada inisiasi program EMT dan MET, melalui

proses transkripsi, pasca-transkripsi, translasi, dan regulasi post-translasi. EMT

diperlukan untuk regenerasi jaringan dan perkembangan embrio yang normal

karena memungkinkan sel-sel epitel untuk memperoleh fenotipe mesenkimal,

jalur ini secara dinamis berperan pada pembentukan struktur tiga dimensi selama

gastrulasi dan pembentukan organ. Aktivasi yang tidak terkendali jalur signaling

EMT pada kehidupan dewasa, dapat menginisiasi progresivitas tumor melalui

interaksi sinyal dari lingkungan mikro, sehingga sel-sel tumor epitel yang

memiliki sifat polaritas tinggi, menjadi invasif dan cepat bermetastasis ke tempat

yang jauh. Kehilangan penanda epitel (E-cadherin) dan meningkatnya penanda

mesenkimal (N-cadherin), pada perifer tumor solid berkorelasi dengan kapasitas

progresifitas tumor. Kontribusi dan konsekuensi fungsional dari siklus EMT-MET

juga terjadi pada tumorigenesis prostat. Konsep pemahaman baru mengungkapkan

peran siklus EMT-MET pada proses terjadinya BPH, dengan fokus khusus pada

Androgen Receptor (AR) dan sinyal TGF-β diharapkan bermanfaat sebagai

prediktor dan target sasaran penatalaksanaan BPH (Grant 2013).

EMT terjadi ketika sel-sel epitel kehilangan karakteristik sel epitel,

termasuk disolusi cell junction, yaitu persimpangan ketat (hitam), adherens

persimpangan (biru) dan desmosom (hijau), dan hilangnya polaritas apikal-


73

basolateral. Selanjutnya sel-sel tersebut memperoleh fenotipe mesenkimal,

ditandai dengan reorganisasi aktin, pembentukan formasi fiber dalam kondisi

distres (merah), migrasi serta invasi (Xu, 2009).

Gambar 2.22 Proses terjadinya EMT. (dikutip dari Xu, 2009)

Regulasi transkripsi EMT diawali oleh rangsangan TGF-β, respon

selanjutnya adalah pengaktivan Smad 2 dan 3 untuk membentuk kompleks dengan

Smad 4, yang kemudian mengatur transkripsi gen target melalui interaksi dengan

faktor transkripsi DNA lain. Dalam induksi EMT, Smads yang diaktifkan

memediasi regulasi transkripsi melalui tiga keluarga faktor transkripsi, yang

mengakibatkan represi ekspresi gen penanda epitel serta aktivasi ekspresi gen

mesenkimal (Xu,2009).
74

Gambar 2.23 Regulasi Faktor transkripsi EMT oleh TGF (dikutip dari Xu, 2009)

Rangkaian proses EMT pada sel epitel prostat dimediasi oleh interaksi

sinyal TGF-β dan AR. AR menginduksi EMT melalui aktivasi faktor transkripsi

Snail atau melalui represi dari E-cadherin. Aktivasi transkripsi faktor Snail, ZEB-

1 atau Smad menginisiasi ekspresi gen mesenkimal. Snail dapat meningkatkan

ekspresi penanda mesenkimal dan protein yang terkait dengan invasi. Ekspresi E-

cadherin ditekan oleh Snail melalui regulasi transkripsional. Hilangnya E-

cadherin yang berfungsi sebagai memediasi adhesi intraseluler melalui adherens

junction, menyebabkan hilangnya komunikasi-sel sel dan terjadi EMT. Cripto-1

adalah efektor penting dari sinyal TGF-β yang meregulasi ekspresi mesenkimal
75

selama perkembangan embrio. ZEB-1 terlibat dalam mekanisme umpan balik

pada proses aktivasi AR sehingga menyebabkan ekspresi ZEB-1 yang tidak

terkontrol. (Grant, 2013)


Translational Andrology and Urology, Vol 2, No 3 September 2013 203

DHT

Apical Membrane

Cripto-1

TGF-B AR

E-Cadherins
Smad 2/3 (Adherens
Junctions)
Snail ZEB-1

Smad 4

P-Smad 4 Snail ZEB-1


Transcription Transcription
E-Cadherins
(Adherens
Junctions)

Epithelial-mesenchymal transition

Basement Membrane

Figure 1 EM T control by the AR signaling. EM T in prostate epithelial cells is mediated by T GF-β and AR signaling interactions.
AR induces EM T through
Gambar activation
2.24ofKontrol
Snail transcription factor or viasignaling
EMT melalui repression of AR
E-cadherin.
(ikutipActivation of Snail, ZEB-1
dari Grant, 2013)or Smad
transcription factors initiates allows for mesenchymal gene expression. Snail increases the expression of mesenchymal markers and proteins
associated with invasion. E-cadherin is transciptionally suppressed by Snail; this loss of E-cadherin, which mediates intracellular adhesions
at adherens junctions, leads to collapse of cell-cell communications and onset of EM T. Cripto-1 is a critical effector of the T GF-β
signaling that upregulates mesenchymal expression during embryonic development. ZEB-1 is involved in a feedback loop with AR where
downregulation of AR leads to uncontrolled ZEB-1 expression.

of development, differentiation and development of prostate cancer, androgen depravation therapy (AD T ) improves
cells are dependent on androgens. Stimulation of the AR bone pain, lessens lower U T I symptoms, and increases
signaling in the urogenital sinus mesenchyme by testicular qual i t y of l i fe (7). Yet , met ast at i c di sease devel ops i n
androgens induces epithelial budding, proliferation and patients failing AD T and emerging with castration-resistant
differentiation towards formation of ductal structures. A prostate cancer (CRPC), through an aberrant AR signaling
non-functional AR results in testicular feminization-like mechani sm act i vat ed despi t e andr ogen depr i vat i on.
syndrome with the absence of the prostate (5). Circulating Increased AR expression, elevated intraprostatic androgens
testosterone is converted into dihydrotestosterone (D H T ) and per pet ual l y act i vat ed AR si gnal i ng i n t he face of
via 5-alpha reductase activity, the active metabolite that castrate levels of androgens characterize this progression to
interacts with the AR to ensure maintenance and function CRPC (8,9). Prostate tumors employ several mechanisms
of adul t prostate gland. Once bound to D H T, the AR to bypass or perpetuate AR signaling on the path towards
under goes a confor mati onal change and r el eases heat CRPC, including alterations to the AR itself, the synthesis
shock proteins (H SP). T he AR translocates to the nucleus of androgens by prostate cancer cells, or the activation
where dimerization, D N A binding, and recruitment of of AR by aberrant signaling pathways (10-12). T here are
coactivators occurs (6). I n men with metastatic prostate t wo recognized mechani sms for cast rati on r esi st ance:

© Translational Andrology and U rology. All rights reserved. www.amepc.org/tau Transl Androl Urol 2013;2(3):202-211

Anda mungkin juga menyukai