Anda di halaman 1dari 10

Adrenal

Sindroma Cushing

Definisi
Sindroma cushing adalah keadaan kelebihan hormone glukokortikoid kronik yang bersumber
endogen maupun eksogen. Dideskripsikan pertama oleh Harvey Cushing tajim 1932.

Penyebab
Penyebab paling sering adalah iatrogenic (eksogen), akibat pemberian terapi steroid.
Penyebab endogen bisa bersifat ACTH-dependent (70% kasus) atau ACTH-independent
(meliputi adenoma adrenal 10% kasus dan karsinoma adrenal 8% kasus). Sindrom ACTH-ektopik
didapatkan pada 12-15% kasus, sebagian bersumber dari kanker paru sel kecil (small cell lung
cancer). Penyebab yang lain jarang, seperti sindrom CRH-ektopik.

Gejala klinis
Gejala sindrom cushing nonspesifik, bervariasi, dan tergantung beratnya kelebihan hormon
kortikosteroid, mineralokortikoid, dan androgen. Gejala yang mengarah ke sindrom cushing
adalah :
- obesitas sentral dengan penebalan bantalan lemak (buffalo hump, moon facies,
supraklavikular fat pad, eksoftalmus)
- Striae keunguan, lebar
- Hiperpigmentasi (pada ACTH sindrom ektopik)
- Atrofi kulit
- Ekimosis spontan
- Virilisasi (pada adenoma adenal)
- Penurunan berat badan atau anoreksia (pada sindrom ACTH-ektopik yang berhubungan
dengan malignansi)
- Miopati proksimal dan berkurangnya massa otot
- Kegagalan pertumbuhan pada anak-anak
- Osteoporosis dan osteopenia
- Alkalosis hipokalemia

Laboratorium
Pemeriksaan terbaik untuk menentukan sindrom cushing adalah pengukuran hormone
kortisol bebas dalam urine 24 jam. Peningkatan nilai 2 sampai 3 kali normal pada 2 kesempatan
berbeda sangat menunjang diagnosis.
Setelah sindrom cushing endogen dipastikan, untuk menentukan ACTH dependent atau
ACTH independent dilakukan pengukuran kadar ACTH. Kadar ACTH tidak terdeteksi atau
rendah (<5mcg/dL) menunjukkan penyebabnya primer di kelenjar adrenal. Kadar ACTH >15
mcg/dL biasanya ACTH-dependent. Bila kadar ACTH antara 5-15mcg/dL, pemeriksaan diulangi.
Untuk membedakan ACTH dependent akibat Cushing’s disease dan sindrom ACTH ektopik
diperlukan beberapa pemeriksaan lainnya.

Diagnosis banding
1. Pseudo cushing’s syndrome:
- Gangguan depresi mayor
- Alcoholism
2. Peningkatan kadar kortisol tanpa sindrom cushing
- Obesitas
- Anoreksia nervosa
- Stres, trauma, penyakit yang berat
- Peningkatan cortisol binding protein (kehamilan, terapi estrogen, hipertiroidism)
- Resistensi glukokortikoid familial

Penatalaksanaan
Sindrom Cushing iatrogenik diatasi dengan menghentikan pemberian glukokortikoid eksogen,
dan Penanganan sesuai dengan gejala yang timbul.
ACTH-independent Cushing’s syndrome
Adenoma adrenal atau karsinoma diatasi dengan adrenalektomi unilateral. Bila
didapatkan mikro atau makronodular bilateral, dilakukan adrenalektomi bilateral. Selama dan
setelah adrenalektomi unilateral, diberikan terapi pengganti glukokortikoid untuk memulihkan
aksis HPA yang lama tertekan. Sedangkan pada adrenalektomi bilateral diperlukan terapi
pengganti glukokortikoid dan mineralokortikoid seumur hidup
Cushing’s disease
Adenomektomi transsphenoidal dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama pada
cushing’s disease. Bila dilakukan reseksi inkomplit, dapat dilakukan pembedahan ulangan atau
iradiasi pituitary. Bila tetap refrakter, diperlukan adrenalektomi bilateral. Selama dan setelah
dilakukan reseksi transspenoidal, diberikan terapi pengganti glukokortikoid sampai aksis HPA
pulih kembali.
Sindrom ACTH dan CRH ectopic
CT, MRI, dan bila perlu skintigrafi dilakukan utnuk mencari tumor asalnya di daerah
dada, abdomen, pelvis atau leher. Penanganan dilakukan sesuai tumor asalnya (dengan
pembedahan).

Komplikasi
Sindrom cushing yang tidak ditangani akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas sesuai
dengan gejala yang muncul. Di samping itu penderita dapat mengalami komplikasi
thromboemboli.

Insufisiensi Adrenal

Definisi
Aksis adrenal adalah kompleks yang menjaga keseimbangan hormon adrenal, dari hipotalamus,
pituitari, dan kelenjar adrenal. Defek salah satu dari lokasi ini dapat menyebabkan insufisiensi
adrenal. Insufisiensi adrenal primer berhubungan dengan kelainan di tingkat kelenjar adrenal,
insufisiensi adrenal sekunder berhubungan dengan kurangnya kadar ACTH (adrenocorticotropic
hormone) dari pituitary, insufisiensi adrenal tersier berhubungan dengan kurangnya CRH
(corticotrophin-releasing hormone).

Epidemiologi
Onset keadaan ini insidious dengan gejala yang nonspesifik, sehingga umumnya tidak
terdiagnosis sampai suatu saat ada faktor pencetus yang menyebabkan pasien mengalami
insufisiensi adrenal berat.

Penyebab
1. Primer
- Idiopatik (autoimun)
- Tuberculosis
- Infeksi oportunistik yang berhubungan dengan HIV
- Karsinoma metastatik
- Perdarahan adrenal
- Sepsis
- Infark
- Hiperplasia adrenal congenital
- Hipokortisolism familial
2. Sekunder
- Penggunan steroid jangka panjang
- Infeksi (tuberculosis)
- Neurosarcoidosis
- Metastasis
- Infark (seperti: sindrom Sheehan peripartum)
- Perdarahan/apopleksia
- Massa primer di kelenjar pituitary (adenoma pituitary, craniopharingioma)
- Trauma
- Defisiensi ACTH

Gejala klinis
1. Insufisiensi adrenal akut
Ditandai oleh hipotensi berat, mual, muntah, dan sering disertai nyeri perut (bila
penyebabnya adalah infark atau perdarahan)
2. Insufisiensi adrenal kronik
Pada pasien dengan insufisiensi adrenal primer di mana terjadi destruksi kelenjar adrenal
umumnya akan terjadi defisiensi kortisol dan aldosteron. Rendahnya kadar hormone
adrenal ini akan menyebabkan peningkatan ACTH. Kombinasi hal ini akan memberikan
gejala meliputi: mual, muntah, anoreksia, berat badan menurun, fatigue, dan
hiperpigmentasi kulitn dan mukosa akibat stimulasi reseptor melanokortin oleh ACTH.
Aldosteron yang rendah mengakibatkan renal salt wasting. Secara laboratories akan
didapatkan hiponatremia dan hiperkalemia. Seringkali keadaan ini disertai juga dengan
penyakit autoimun yang lain seperti: hipo- atau hipertiroidism, diabetes tipe 1, vitiligo.
3. Insufisiensi adrenal sekunder
Disebabkan oleh defisiensi ACTH, jarang sekali berdiri sendiri, biasanya disertai dengan
defisiensi hormon pituitari lainnya. Hal lain yang membedakan dengan insufisiensi adrenal
primer adalah tidak adanya hiperpigmentasi kulit dan tidak ada gangguan sekresi aldosteron
(tidak dijumpai hiperkalemia).

Laboratorium
1. Kadar kortisol serum basal <3 mcg/dL mendukung dugaan insufisiensi adrenal
2. Tes stimulasi kortisol dengan cosyntropin
Interpretasi: kadar serum kortisol >18 mcg/dL (500 nmol/L) sampai 20 mcg/dL (550 nmol/L)
yang didapatkan 30 atau 60 menit setelah injeksi (IV atau IM) cosyntropin sintetik 250 mcg
menyingkirkan diagnosis insufisiensi adrenal primer.
3. ACTH
Pemeriksaan ACTH bersamaan dengan kortisol basal digunakan untuk membedakan
insufisiensi adrenal primer dan sekunder. Bila kadar kortisol rendah, sedangkan ACTH
meningkat tinggi kemungkinan insufisiensi adrenal primer.
3. Insulin tolerance test (ITT)

Radiologis
1. CT adrenal
Dilakukan pada dugaan insufisiensi adrenal primer, untuk membuktikan adanya infeksi,
perdarahan, atau malignansi.
2. MRI pituitari
Dilakukan pada pasien dengan dugaan insufisiensi adrenal sekunder.

Penatalaksanaan
1. Glukokortikoid: dibutuhkan pada insufisiensi adrenal primer maupun sekunder
Hidrokortison 15-30 mg PO/hari atau dosis ekuivalen: prednisone 5 – 7,5mg PO total/hari,
deksametason 0,75 – 1,25 mg PO total/hari. Dosis dapat diberikan sekali sehari (pagi) atau
terbagi dengan dosis pagi lebih banyak dari sore hari.
2. Mineralokortikoid
Diberikan pada insufisiensi adrenal primer, yaitu: fludrocortisone 0,05-0,2 mg PO/hari.
Jika penderita mengalami hipotiroidism bersamaan dengan insufisiensi adrenal, maka terapi
glukokortikoid harus adekuat sebelum diberikan terapi hormone tiroid untuk mencegah krisis
adrenal.

Komplikasi
Krisis adrenal adalah keadaan insufisiensi adrenal akut. Keadaan ini membutuhkan Penanganan
segera:
1. Terapi cairan dengan saline atau D5% in saline.
2. Steroid dosis tinggi
Bila diagnosis sebelumnya tidak jelas, dapat diberikan deksametason 4 mg IV, kemudian
dilanjutkan dengan tes stimulasi cosyntropin.
Bila riwayat pasien sebelumnya jelas dengan insufisiensi adrenal, diberikan
hidrokortison IV 50 – 100 mg setiap 6 – 8 jam sampai kondisinya stabil. Biasanya pada
krisis adrenal perbaikan terjadi dengan cepat dalam 1 – 2 jam. Setelah faktor pencetus
diatasi, dosis steroid dapat ditapering kembali ke dosis glukokortikoid sebelumnya.

Keadaan khusus
1. Peningkatan kebutuhan steroid pada keadaan stress
Stres fisik dapat meningkatkan kebutuhan hormone glukokortikoid, biasanya ditandai
oleh gejala: mual, muntah, hipotensi orthostatik. Pada keadaan ini dosis glukokortikoid
dapat dilipatgandakan. Setelah keadaan membaik, dosis dapat dikembalikan ke dosis
awal dalam 1-2 hari.
2. Perioperatif

Diabetes Insipidus

Definisi
Diabetes insipidus (DI) adalah gangguan keseimbangan cairan tubuh yang disebabkan oleh
kehilangan cairan nonosmotik.

Penyebab
Defisiensi arginin vasopressin (AVP) atau antidiuretik hormone (ADH) sentral, atau tidak adanya
respon terhadap AVP (nefrogenik). Berdasarkan penyebabnya, dibagi menjadi DI sentral dan
nefrogenik
DI sentral:
- Trauma kepala
- Pasca operasi (biasanya terjadi pada hari 1-6 setelah operasi, dapat menghilang
spontan, berulang, atau menjadi kronik
- Tumor
- Infeksi (TB, sifilis, mikosis, toksoplasmosis, ensefalitis, meningitis)
- Penyakit granulomatosis (sarkoidosis, histiositis, granulomatosis Wagener)
- Penyakit serebrovaskular (aneurisma, trombosis, sindrom Sheehan, cerebrovascular
accident)
- Idiopatik
DI nefrogenik:
- Kongenital
- Didapat, disebabkan oleh:
 Obat: lithium, amphotericin, cisplatin, aminoglikosida, rifampin, vincristin
 Gangguan elektrolit: hiperkalsemia, hiperkalsiuria, hipokalemia
 Penyakit tubulointerstisial kronik
 Penyakit sel sabit
 Mieloma multipel
 Sarkoidosis

Patofisiologi
AVP atau ADH dikeluarkan oleh sel kelenjar pituitary posterior dan berperan meningkatkan
permeabilitas air di tubulus distalis dan duktus kolektivus nefron, serta meningkatkan
reabsorpsi air di tempat ini. Penurunan produksi atau aktivitas AVP akan mencegah reabsorpsi
air di nefron sehingga terjadi kehilangan urine dan cairan.

Gejala klinis
 Poliuria, volume urine per hari >3 L
 Haus
 Gejala hipernatremia: lemak, gangguan mental, koma, kejang
 Pemeriksaan fisik dalam batas normal, kecuali bila telah terjadi dehidrasi.
Laboratorium
- Urine mengalami dilusi: BJ <1,010, osmolalitas <300 mOsm/kg, pada kondisi
hipertonisitas dan poliuria.
- Hipernatremia: biasanya ringan, kecuali ada abnormalitas rasa haus atau hambatan
untuk minum.
Diagnosis
1. Ukur osmolalitas urine dan plasma. Pada DI osmolalitas urine <300 mOsm/kg, BJ urine
<1,010, osmolalitas plasma >295 mOsm/kg.
2. Ukur kadar kalsium dan kalium plasma. Hipokalemia dan hiperkalsemia mengarahkan
diagnosis DI
3. Pada poliuria, perlu dilakukan fluid deprivation test untuk membedakan DI dan
polidipsia primer. Bila hipertonisitas sudah terjadi, tes ini kurang bermanfaat dan
potensial berbahaya karena dapat mengakibatkan hipernatremia simptomatik.
Prosedur tes
Pemeriksaan dimulai pagi hari: timbang berat badan, osmolalitas plasma dan kadar
natrium, osmolalitas urine dan volume urine diukur setoap jam.
Penderita tidak diberi minum sampai berat badan menurun 5%, kadar osmolalitas
serum dan natrium serum mendapat batas atas kadar normal, atau sampai didapatkan
osmolalitas urine stabil (variasi <5% dalam 3 jam).
Interpretasi
Jika osmolaliltas urine tidak mencapai 300 mOsm/kg sebelum keadaan di atas tercapai,
maka polidipsia primer dapat disingkirkan. Pada DI parsial, osmolalitas urine akan lebih
besar dari osmolalitas plasma meski urine tetap dalam konsentrasi submaksimal. Pada
DI yang berat, osmolalitas urine lebih rendah dari osmolalitas plasma.
4. Setelah diagnosis DI ditegakkan, untuk membedakan DI sentral dan DI nefrogenik,
penderita diberikan desmopresin.
Interpretasi
Pada DI sentral, osmolalitas urine akan meningkat >50%, sedangkan DI nefrogenik tidak
berespon terhadap desmopresin atau bila ada respon sangat kecil.
Diagnosis banding
Diagnosis banding poliuria:
- Polidipsia primer
- Diuresis solute: biasanya disebabkan oleh obat diuretik, hiperglikemia
Diagnosis banding hipernatremia:
- kehilangan cairan oleh penyebab lain: insensible loss dari kulit atau saluran nafas, muntah-
muntah, diare, atau penggunaan diuretic

Penatalaksanaan
1. Penggantian cairan
Defisit cairan dihitung dengan rumus berikut:
Deficit cairan (L) = [0,6 (laki) atau 0,5 (wanita)] x berat badan (kg) x [(Na plasma – 140)/140
Koreksi natrium bertahap (0,5mEq/L/jam) dilakukan untuk mencegah edema otak.
2. Terapi penyebab
DI sentral:
- analog AVP, yaitu DDAVP (desmopresin), dapat diberikan intranasal (dosis 5-20 mcg satu
atau dua kali sehari) atau oral (dosis yang dibutuhkan 0,1 – 0,8 mg/hari dengan dosis
terbagi, tablet yang tersedia 0,1-0,2 mg)
- chlorpropramide (diabenese)
DI nefrogenik:
- bila penyebabnya iatrogenic, stop obat pencetus
- Diet rendah garam
- Thiazide
- Amiloride, merupakan pilihan untuk DI nefrogenik yang dicetuskan oleh lithium
- Terapi tambahan: NSAID

Komplikasi
Dehidrasi dan gangguan elektrolit.

Anda mungkin juga menyukai