Anda di halaman 1dari 35

TUGAS KELOMPOK

“ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS PADA GANGGUAN SISTEM IMUN:


IMUNODEFISIENSI DAN HIPERSENSITIVITAS”

Di susun untuk memenuhi tugas mata kuliah : Keperawatan Kritis


Dosen pengampu : Ns. Farida Aini, S. Kep., Sp. KMB

Disusun Oleh

Kelompok 7 :

1. Adi Chandra Prasetiawan (010218A018)


2. Bambang Supriyanto (010218A020)
3. Nizar Heru Ferdiansyah (010218A011)

PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS NGUDI WALUYO
2018/2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Perubahan terbentuknya sistem imunokompeten penting untuk melindungi
organisme tubuh terhadap invasi dari luar. Karenanya setiap defisiensi pada
salah satu komponen dari sistem imun itu dapat mengganggu aktivitas sistem
pertahanan tubuh. Perubahan patologis pada sistem imunologi yaitu sindrome
imunodefisiensi, dimana Imunodefisiensi itu adalah keadaan dimana terjadi
penurunan atau ketiadaan respon imun normal. Keadaan ini dapat terjadi secara
primer, yang pada umumnya disebabkan oleh kelainan genetik yang
diturunkan, serta secara sekunder akibat penyakit utama lain seperti infeksi,
pengobatan kemoterapi, sitostatika, radiasi, obat-obatan imunosupresan
(menekan sistem kekebalan tubuh) atau pada usia lanjut dan malnutrisi
(kekurangan gizi).
Immunodefisiensi tampak secara klinis sebagai kecenderungan yang
abnormal untuk menderita infeksi. Imunodefisiensi perlu dicurigai ada pada
penderita yang menderita infeksi oleh organisme yang tidak patogen pada
individu normal.
Pada dasarnya tubuh kita memiliki imunitas alamiah yang bersifat non-
spesifik dan imunitas spesifik. Imunitas spesifik ialah sistem imunitas humoral
yang secara aktif diperankan oleh sel limfosit B, yang memproduksi 5 macam
imunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE) dan sistem imunitas seluler yang
dihantarkan oleh sel limfosit T, yang bila mana ketemu dengan antigen lalu
mengadakan differensiasi dan menghasilkan zat limfokin, yang mengatur sel-
sel lain untuk menghancurkan antigen tersebut.
Bilamana suatu alergen masuk ke tubuh, maka tubuh akan mengadakan
respon. Bilamana alergen tersebut hancur, maka ini merupakan hal yang
menguntungkan, sehingga yang terjadi ialah keadaan imun. Tetapi, bilamana
merugikan, jaringan tubuh menjadi rusak, maka terjadilah reaksi
hipersensitivitas atau alergi.

2
B. Rumusan masalah
Adapun rumusan masalahnya adalah ”bagaimana cara memberikan
asuhan keperawatan kritis pada pasien dengan Imunodefisiensi dan
Hipersensitivitas dengan pendekatan proses keperawatan”.
C. Tujuan penulisan

1. Menjelaskan dan memahami pengertian imunodefisiensi dan


hipersensitivitas
2. Menjelaskan dan memahami etiologi imunodefisiensi dan hipersensitivitas
3. Menjelaskan dan memahami patofisiologi dari imunodefisiensi dan
hipersensitivitas
4. Menjelaskan dan memahami klasifikasi imunodefisiensi dan
hipersensitivitas
5. Menjelaskan dan memahami manifestasi klinik imunodefisiensi dan
hipersensitivitas
6. Memahami dan melakukan pemeriksaan penunjang pada pasien
imunodefisiensi dan hipersensitivitas
7. Memahami dan melakukan penatalaksanaan pada pasien imunodefisiensi
dan hipersensitivitas
8. Memahami komplikasi imunodefisiensi dan hipersensitivitas
9. Memahami konsep asuhan keperawatan (pengkajian, diagnosa, intervensi,
implementasi dan evaluasi) pada pasien imunodefisiensi dan
hipersensitivitas

3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
1. Imunodefisiensi
Imunodefisiensi adalah keadaan dimana terjadi penurunan atau
ketiadaan respon imun normal. Keadaan ini dapat terjadi secara primer,
yang pada umumnya disebabkan oleh kelainan genetik yang diturunkan,
serta secara sekunder akibat penyakit utama lain seperti infeksi, pengobatan
kemoterapi, sitostatika, radiasi, obat-obatan imunosupresan(menekan sistem
kekebalan tubuh) atau pada usia lanjut dan malnutrisi (kekurangan gizi).
2. Hipersensitivitas
Alergi atau hipersensitivitas adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana
tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi
terhadap bahan-bahan yang umumnya non imunogenik. Dengan kata lain,
tubuh manusia bereaksi berlebihan terhadap lingkungan atau bahan-bahan
yang oleh tubuh dianggap asing atau berbahaya. Bahan-bahan yang
menyebabkan hipersensitivitas tersebut disebut alergen.

B. Etiologi
1. Imunodefisiensi
Beberapa penyebab dari immunodefisiensi yang didapat:
a. Penyakit keturunan dan kelainan metabolisme
 Diabetes
 Sindroma Down
 Gagal ginjal
 Malnutrisi
 Penyakit sel sabit
b. Bahan kimia dan pengobatan yang menekan sistem kekebalan
 Kemoterapi kanker
 Kortikosteroid
 Obat immunosupresan

4
 Terapi penyinaran
c. Infeksi
 Cacar air
 Infeksi sitomegalovirus
 Campak Jerman (rubella kongenital)
 Infeksi HIV (AIDS)
 Mononukleosis infeksiosa
 Campak
 Infeksi bakteri yang berat
 Infeksi jamur yang berat
 Tuberkulosis yang berat
d. Penyakit darah dan kanker
 Agranulositosis
 Semua jenis kanker
 Anemia aplastik
 Histiositosis
 Leukemia
 Limfoma
 Mielofibrosis
 Mieloma
e. Pembedahan dan trauma
 Luka bakar
 Pengangkatan limpa
f. Lain-lain
 Sirosis karena alcohol
 Hepatitis kronis
 Penuaan yang normal
 Sarkoidosis
 Lupus eritematosus sistemik

5
2. Hipersensitivitas
Faktor yang berperan dalam alergi dibagi menjadi 2 yaitu :
a. Faktor Internal
1) Imaturitas usus secara fungsional (misalnya dalam fungsi-fungsi :
asam lambung, enzym-enzym usus, glycocalyx) maupun fungsi-fungsi
imunologis (misalnya : IgA sekretorik) memudahkan penetrasi alergen
makanan. Imaturitas juga mengurangi kemampuan usus mentoleransi
makanan tertentu.
2) Genetik berperan dalam alergi makanan. Sensitisasi alergen dini mulai
janin sampai masa bayi dan sensitisasi ini dipengaruhi oleh kebiasaan
dan norma kehidupan setempat.
3) Mukosa dinding saluran cerna belum matang yang menyebabkan
penyerapan alergen bertambah.
b. Fakor Eksternal
1) Faktor pencetus : faktor fisik (dingin, panas, hujan), faktor psikis
(sedih, stress) atau beban latihan (lari, olah raga).
2) Contoh makanan yang dapat memberikan reaksi alergi menurut
prevalensinya : : ikan 15,4%; telur 12,7%; susu 12,2%; kacang 5,3%
dll.
3) Hampir semua jenis makanan dan zat tambahan pada makanan dapat
menimbulkan reaksi alergi.

C. Patofisiologi
1. Imunodefisiensi
Pasien dengan penyakit ini telah sering infeksi, terutama yang
disebabkan oleh mikroorganisme yang sama. Infeksi berulang merupakan
indikasi bahwa sistem kekebalan tubuh tidak merespon secara normal dan
mengembangkan kekebalan terhadap reinfeksi. Pasien dengan
imunodefisiensi variabel umum memiliki jumlah normal sel B, limfosit
yang membuat antibodi., Namun jumlah sel B dalam darah yang memiliki
antibodi IgG pada permukaan mereka lebih rendah dari normal, tetapi ada

6
angka yang normal dari sel B di sumsum tulang mereka. Sel B dengan
antibodi IgG pada permukaan merekalah yang mampu menanggapi
mikroorganisme. Kurangnya IgG pada permukaan sel B berarti bahwa
mereka tidak siap untuk melawan infeksi. T-sel limfosit, sel-sel yang
bertanggung jawab untuk kekebalan seluler, biasanya normal, meskipun
beberapa komponen sel sinyal mungkin kurang.
2. Hipersensitivitas
Oleh Coomb dan Gell (1963), anafilaksis dikelompokkan dalam
hipersensitivitas tipe 1 atau reaksi tipe segera (Immediate type reaction).
Mekanisme anafilaksis melalui beberapa fase :
a. Fase Sensitisasi
Yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan Ig E sampai diikatnya
oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil. Alergen
yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan di
tangkap oleh Makrofag. Makrofag segera mempresen-tasikan antigen
tersebut kepada Limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL-4,
IL-13) yang menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadi sel Plasma
(Plasmosit). Sel plasma memproduksi Immunoglobulin E (Ig E) spesifik
untuk antigen tersebut. Ig E ini kemudian terikat pada receptor
permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil.
b. Fase Aktivasi
Yaitu waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang
sama. Mastosit dan Basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang
menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk
alergen yang sama kedalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat
oleh Ig E spesifik dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan
mediator vasoaktif antara lain histamin, serotonin, bradikinin dan
beberapa bahan vasoaktif lain dari granula yang disebut dengan istilah
Preformed mediators. Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi
asam arakidonat dari membran sel yang akan menghasilkan Leukotrien

7
(LT) dan Prostaglandin (PG) yang terjadi beberapa waktu setelah
degranulasi yang disebut Newly formed mediators.
c. Fase Efektor
Adalah waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek
mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan aktivitas
farmakologik pada organ organ tertentu. Histamin memberikan efek
bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya
menyebabkan edema, sekresi mukus dan vasodilatasi. Serotonin
meningkatkan permeabilitas vaskuler dan Bradikinin menyebabkan
kontraksi otot polos. Platelet activating factor (PAF) berefek
bronchospasme dan meningkatkan permeabilitas vaskuler, agregasi dan
aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan
neutrofil. Prostaglandin yang dihasilkan menyebabkan bronchokonstriksi,
demikian juga dengan Leukotrien. Secara ringkas, berbagai senyawa
kemotaksis, vasoaktif, dan bronkospasme memerantai reaksi
hipersensitivitas tipe 1.Beberapa senyawa ini dilepaskan secara cepat dari
sel mast yang tersensitasi dan bertanggung jawab terhadap reaksi segera
yang hebat yang berhubungan dengan kondisi seperti anafilaksis
sistemik. Senyawa lain, seperti sitokin, bertanggung jawab terhadap
reaksi fase lambat, termasuk rekrutmen sel radang. Sel radang yang
direkrut secara sekunder tidak hanya melepaskan mediator tambahan,
tetapi juga menyebabkan kerusakan epitel setempat.

D. Klasifikasi
1. Imunodefisiensi
Imunodefisiensi terbagi menjadi dua, yaitu imunodefisiensi primer yang
hampir selalu ditentukan faktor genetik. Sementara imunodefisiensi
sekunder bisa muncul sebagai komplikasi penyakit seperti infeksi, kanker,
atau efek samping penggunaan obat-obatan dan terapi.
a. Imunodefisiensi Primer

8
Para peneliti telah mengidentifikasi lebih dari 150 jenis imunodefisiensi
primer.Imunodefisiensi dapat mempengaruhi limfosit B, limfosit T, atau
fagosit. Gangguan imunodefisiensi, diantaranya:
 Defisiensi IgA (imunoglobulin)
Imunoglobin ditemukan terutama di air liur dan cairan tubuh lain
sebagai perlindungan pertama tubuh. Penyebabnya genetik maupun
infeksi toksoplasma, virus cacar, dan virus lainnya. Orang yang
kekurangan IgA cenderung memiliki alergi atau mengalami pilek dan
infeksi pernapasan lain walaupun tidak parah.
 Granulomatos kronis (CGD)
Penyakit imunodefisiensi yang diwariskan sehingga penderitanya
rentan terhadap infeksi bakteri atau jamur tertentu.Penderitanya tidak
dapat melawan infeksi kuman yang umumnya ringan pada orang
normal.
 Bruton's Agammaglobulinemia
Kelainan yang ditandai kegagalan prekursor limfosit B karena cacat
pada gen kromosom X. Penyakit ini paling sering ditemukan pada pria
walaupun secara sporadik terjadi juga pada wanita. Penyakit mulai
terlihat pada usia 6 bulan setelah imunoglobin maternal mulai habis.
 Severe combined immunodeficiency (SCID)
SCID adalah gangguan sistem kekebalan tubuh serius karena limfosit
B dan limfosit T. Mereka yang kekurangan hampir mustahil melawan
infeksi. Bayi yang mengalam SCID umumnya mengalami kandidiasis
oral, diaper rash, dan kegagalan berkembang.
 Sindroma DiGeorge (thymus displasia)
Sindrom cacat lahir dengan penderita anak-anak yang lahir tanpa
kelenjar timus. Tanda sindroma ini antara lain menurunnya level sel T,
tetanus, dan cacat jantung bawaan. Telinga, wajah, mulut dan wajah
dapat menjadi abnormal.

9
 Sindroma Chediak-Higashi
Ditandai dengan ketidakmampuan neutrofil untuk berfungsi sebagai
fagosit secara normal.
 Hyper IgM syndrome
Penyakit ini ditandai dengan produksi IgM tetapi defisiensi IgA dan
IgE.Akibatnya terjadi cacat pada respon imun sel T helper dan
maturasi sel B dalam sekresi imunoglobin terhambat.
 Wiskott -Aldrich Syndrome
Penyakit yang terkait dengan kromosom X ditandai dengan
trombositopenia, eksema, dan rentan infeksi sehingga menyebabkan
kematian dini.
b. Imunodefisiensi Sekunder
Penyakit ini berkembang umumnya setelah seseorang mengalami
penyakit. Penyebab yang lain termasuk akibat luka, kurang gizi atau
masalah medis lain. Sejumlah obat-obatan juga menyebabkan gangguan
pada fungsi kekebalan tubuh. Immunodefisiensi sekunder, diantaranya:
 Infeksi
HIV (human immunodeficiency virus) dan AIDS (acquired
immunodeficiency syndrome) adalah penyakit umum yang terus
menghancurkan sistem kekebalan tubuh penderitanya. Penyebabnya
adalah virus HIV yang mematikan beberapa jenis limfosit yang
disebut sel T-helper. Akibatnya, sistem kekebalan tubuh tidak dapat
mempertahankan tubuh terhadap organisme biasanya tidak berbahaya.
Pada orang dewasa pengidap AIDS, infeksi HIV dapat mengancam
jiwa.
 Kanker
Pasien dengan kanker yang menyebar luas umumnya mudah terinfeksi
mikroorganisma. Tumor bone marrow dan leukimia yang muncul di
sumsum tulang belakang dapat mengganggu pertumbuhan limfosit
dan leukosit.Tumor juga menghambat fungsi limfosit seperti pada
penyakit Hodgkin.

10
 Obat-obatan
Beberapa obat menekan sistem kekebalan tubuh, seperti obat
kemoterapi yang tidak hanya menyerang sel kanker tetapi juga sel-sel
sehat lainnya, termasuk dalam sum-sum tulang belakang dan sistem
kekebalan tubuh.Selain itu, gangguan autoimun atau mereka yang
menjalani transplantasi organ dapat mengurangi kekebalan tubuh
melawan infeksi.
 Pengangkatan Lien
Pengangkatan lien sebagai terapi trauma atau kondisi hematologik
menyebabkan peningkatan suspeksibilitas terhadap infeksi terutama
Streptococcus pneumoniae.
2. Hipersensitivitas
a. Tipe I : Reaksi Anafilaksi
Di sini antigen atau alergen bebas akan bereaksi dengan antibodi, dalam
hal ini IgE yang terikat pada sel mast atau sel basofil dengan akibat
terlepasnya histamin. Keadaan ini menimbulkan reaksi tipe
cepat.Hipersensitifitas tipe I disebut juga sebagai hipersensitivitas
langsung atau anafilaktik.Reaksi ini berhubungan dengan kulit, mata,
nasofaring, jaringan bronkopulmonari, dan saluran gastrointestinal.
Reaksi ini dapat mengakibatkan gejala yang beragam, mulai dari
ketidaknyamanan kecil hingga kematian.Waktu reaksi berkisar antara 15-
30 menit setelah terpapar antigen, namun terkadang juga dapat
mengalami keterlambatan awal hingga 10-12 jam. Hipersensitivitas tipe I
diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE). Komponen seluler utama pada
reaksi ini adalah mastosit atau basofil. Reaksi ini diperkuat dan
dipengaruhi oleh keping darah, neutrofil, dan eosinofil.
Peningkatan kadar IgE merupakan salah satu penanda terjadinya alergi
akibat hipersensitivitas pada bagian yang tidak terpapar langsung oleh
alergen). Namun, peningkatan IgE juga dapat dikarenakan beberapa
penyakit non-atopik seperti infeksi cacing, mieloma, dll. Pengobatan
yang dapat ditempuh untuk mengatasi hipersensitivitas tipe I adalah

11
menggunakan anti-histamin untuk memblokir reseptor histamin,
penggunaan Imunoglobulin G (IgG), hyposensitization (imunoterapi
atau desensitization) untuk beberapa alergi tertentu
b. Tipe II : reaksi sitotoksik
Hipersensitivitas tipe II diakibatkan oleh antibodi berupaimunoglobulin
G (IgG) dan imunoglobulin E (IgE) untuk melawan antigen pada
permukaan sel dan matriks ekstraseluler. Kerusakan akan terbatas atau
spesifik pada sel atau jaringan yang langsung berhubungan dengan
antigen tersebut. Pada umumnya, antibodi yang langsung berinteraksi
dengan antigen permukaan sel akan bersifat patogenik dan menimbulkan
kerusakan pada target sel.Hipersensitivitas dapat melibatkan reaksi
komplemen (atau reaksi silang) yang berikatan dengan antibodi sel
sehingga dapat pula menimbulkan kerusakan jaringan. Beberapa tipe dari
hipersensitivitas tipe II adalah:
 Pemfigus (IgG bereaksi dengan senyawa intraseluler di antara sel
epidermal).
 Anemia hemolitik autoimun (dipicu obat-obatan seperti penisilin yang
dapat menempel pada permukaan sel darah merah dan berperan seperti
hapten untuk produksi antibodi kemudian berikatan dengan
permukaan sel darah merah dan menyebabkan lisis sel darah merah),
dan
 Sindrom Goodpasture (IgG bereaksi dengan membran permukaan
glomerulus sehingga menyebabkan kerusakan ginjal).
c. Tipe III : reaksi imun kompleks
Di sini antibodi berikatan dengan antigen dan komplemen membentuk
kompleks imun. Keadaan ini menimbulkan neurotrophichemotactic
factor yang dapat menyebabkan terjadinya peradangan atau kerusakan
lokal. Pada umumnya terjadi pada pembuluh darah kecil.
Pengejawantahannya di kornea dapat berupa keratitis herpes simpleks,
keratitis karena bakteri (stafilokok, pseudomonas) dan jamur. Reaksi
demikian juga terjadi pada keratitis Herpes simpleks.

12
d. Tipe IV : Reaksi tipe lambat
Pada tipe IV yang berperan adalah limfosit T atau dikenal sebagai
imunitas seluler. Limfosit T peka (sensitized T lymphocyte) bereaksi
dengan antigen, dan menyebabkan terlepasnya mediator (limfokin) yang
jumpai pada reaksi penolakan pasca keratoplasti, keraton- jungtivitis
flikten, keratitis Herpes simpleks dan keratitis diskiformis.

E. Manifestasi klinik
1. Imunodefisiensi
a. Bayi dengan gangguan sistem kekebalan, biasanya menderita infeksi
bakteri berat yang menetap, berulang atau menyebabkan komplikasi.
Misalnya infeksi sinus, infeksi telinga menahun dan bronkitis kronis
yang biasanya terjadi setelah demam dan sakit tenggorokan. Bronkitis
bisa berkembang menjadi pneumonia
b. Kulit dan selaput lendir yang melapisi mulut, mata dan alat kelamin
sangat peka terhadap infeksi.
c. Thrush (suatu infeksi jamur di mulut) disertai luka di mulut dan
peradangan gusi, bisa merupakan pertanda awal dari adanya gangguan
sistem kekebalan.
d. Peradangan mata (konjungtivitis), rambut rontok, eksim yang berat dan
pelebaran kapiler dibawah kulit juga merupakan pertanda dari penyakit
immunodefisiensi.
e. Infeksi pada saluran pencernaan bisa menyebabkan diare, pembentukan
gas yang berlebihan dan penurunan berat badan.
Masalah yang paling umum untuk orang dengan penyakit imunodefisiensi
primer adalah bahwa mereka lebih mungkin untuk mendapatkan infeksi dari
pada orang lain. Gejala lain termasuk:
a. Setelah infeksi lebih sering dan mendapatkan infeksi yang lebih parah,
lebih tahan lama, dan sulit untuk menyembuhkan dari pada orang dengan
sistem kekebalan tubuh normal.

13
b. Mendapatkan terinfeksi dengan kuman yang sistem kekebalan tubuh
yang sehat akan mampu menyingkirkan, yang dikenal sebagai infeksi
oportunistik.
c. Setelah masalah autoimun, yang berarti bahwa alih-alih sistem kekebalan
tubuh menyerang kuman dan penyakit-menyebabkan bahan, menyerang
organ tubuh sendiri dan jaringan dengan kesalahan.
2. Hipersensitivitas
Tanda dan gejala utama pada reaksi anafilaktik dapat digolongkan menjadi reaksi
sistemik yang ringan, sedang dan berat.

a. Ringan. Reaksi sistemik yang ringan terdiri dari rasa kesemutan serta hangat
pada bagian perifer dan dapat disertai dengan perasaan penuh dalam mulut serta
tenggorokan. Kongesti nasal, pembengkakan periorbital, pruritus, bersin-bersin
dan mata berair dapat terjadi. Awitan gejala dimulai dalam waktu 2 jam pertama
sesudah kontak.
b. Sedang. Reaksi sistemik yang sedang dapat mencakup salah satu gejala diatas
disamping gejala flushing, rasa hangat, cemas, dan gatal-gatal. Reaksi yang
lebih serius berupa bronkospasme dan edema saluran pernafasan atau laring
dengan dispnea, batuk serta mengi. Aawitan hgejala sama seperti reaksi yang
ringan.
c. Berat. Reaksi sistemik yang berat memiliki onset mendadak dengan tanda-tanda
serta gejala yang sama seperti diuraikan di atas dan berjalan dengan cepat
hingga terjadi bronkospasme, edema laring, dispnea berat serta sianosis.
Disfagia (kesulitan menelan), kram abdomen, vomitus, diare, dan serangan
kejang-kejang dapat terjadi. Kadang-kadang timbul henti jantung

F. Pemeriksaan penunjang
1. Imunodefisiensi
Sejumlah tes yang dilibatkan dalam penentuan penyakit immunodefisiensi
yaitu:
a. Tes darah, yang dapat mengungkap kelainan dalam sistem kekebalan
tubuh. Tes termasuk mengukur sel-sel darah dan sel imun (jumlah sel
darah putih, kadar antibodi/immunoglobulin, jumlah limfosit T dan kadar
komplemen).
b. Identifikasi infeksi, untuk menganalisis infeksi dan penyebabnya apabila
pasien tidak merespon pengobatan standar.

14
c. Uji Pre-natal, dilakukan orangtua yang memiliki anak dengan gangguan
imunodefisiensi untuk melakukan pengecekan apakah gangguan tersebut
juga dialami janin pada kehamilan berikutnya.
2. Hipersensitivitas
a. RAST (Radio Allergo Sorbent Test) atau ELISA (Enzym Linked
Immunosorbent Assay test)
Pemeriksaan yang lebih bermakna yaitu IgE spesifik, namun memerlukan
biaya yang mahal. Tes ini untuk mengetahui alergi terhadap alergen hirup
dan makanan. Tes ini memerlukan sampel serum darah sebanyak 2 cc.
Lalu serum darah tersebut diproses dengan mesin komputerisasi khusus,
hasilnya dapat diketahui setelah 4 jam. Kelebihan tes ini : dapat
dilakukan pada usia berapapun, tidak dipengaruhi oleh obat-obatan.
b. Skin Prick Test (Tes tusuk kulit)
Tes ini untuk memeriksa alergi terhadap alergen hirup dan makanan,
misalnya debu, tungau debu, serpih kulit binatang, udang, kepiting dan
lain-lain. Tes ini dilakukan di kulit lengan bawah sisi dalam, lalu alergen
yang diuji ditusukkan pada kulit dengan menggunakan jarum khusus
(panjang mata jarum 2 mm), jadi tidak menimbulkan luka, berdarah di
kulit. Hasilnya dapat segera diketahui dalam waktu 30 menit. Bila positif
alergi terhadap alergen tertentu akan timbul bentol merah gatal. Syarat
tes ini :
 Pasien harus dalam keadaan sehat dan bebas obat yang mengandung
antihistamin (obat anti alergi) selama 3 – 7 hari, tergantung jenis
obatnya.
 Umur yang di anjurkan 4 – 50 tahun.
c. Skin Test (Tes kulit)
Tes ini digunakan untuk mengetahui alergi terhadap obat yang
disuntikkan. Dilakukan di kulit lengan bawah dengan cara menyuntikkan
obat yang akan di tes. Hasil tes yang positif menunjukkan adanya reaksi
Hipersensitivitas yang segera pada individu tersebut, atau dengan kata
lain pada epikutan individu tersebut terdapat kompleks IgE mast.

15
d. Patch Test (Tes Tempel)
Tes ini untuk mengetahui alergi kontak terhadap bahan kimia, pada
penyakit dermatitis atau eksim. Tes ini dilakukan di kulit punggung.
Hasil tes ini baru dapat dibaca setelah 48 jam. Bila positif terhadap bahan
kimia tertentu, akan timbul bercak kemerahan dan melenting pada kulit.
Syarat tes ini :
 Dalam 48 jam, pasien tidak boleh melakukan aktivitas yang
berkeringat, mandi, posisi tidur tertelungkup, punggung tidak boleh
bergesekan.
 2 hari sebelum tes, tidak boleh minum obat yang mengandung steroid
atau anti bengkak. Daerah pungung harus bebas dari obat oles, krim
atau salep.
 Hasil tes baru dapat dibaca setelah 15 menit. Bila positif akan timbul
bentol, merah, gatal.
e. Tes Provokasi
Tes ini digunakan untuk mengetahui alergi terhadap obat yang diminum,
makanan, dapat juga untuk alergen hirup, contohnya debu. Tes provokasi
untuk alergen hirup dinamakan tes provokasi bronkial. Tes ini digunakan
untuk penyakit asma dan pilek alergi. Tes provokasi bronkial dan
makanan sudah jarang dipakai, karena tidak nyaman untuk pasien dan
berisiko tinggi terjadinya serangan asma dan syok.
f. Uji gores (scratch test)
Merupakan uji yang membawa resiko yang relatif rendah, namun reaksi
alergi sistemik telah dilaporkan. Tes ini dilakukan diperkutan.
g. Uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (skin
end-point titration/ SET)
Memiliki sensitivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan tes kulit
cukit. SET (Skin End Point Titration) merupakan pengembangan larutan
tunggal dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen
dalam berbagai konsentrasi. Selain dapat mengetahui alergen penyebab,
dapat juga menentukan derajat alergi serta dosis awal untuk

16
immunoterapi.Uji cukit paling sesuai karena mudah dilakukan dan dapat
ditoleransi oleh sebagian penderita termasuk anak, meskipun uji
intradermal (SET) akan lebih ideal.
h. Hitung eosinofil darah tepi dapat normal atau meningkat, demikian
halnya dengan IgE total sering kali menunjukkan nilai normal.
Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi
atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi.

G. Penatalaksanaan
1. Imunodefisiensi
a. Penangananya bisa dilakukan dengan cara melakukan pemeriksaan
laboratorium untuk mengetahui : jumlah sel darah putih, kadar
antibodi/immunoglobulin, jumlah limfosit T, kadar komplemen.
b. Jika ditemukan pertanda awal infeksi, segera diberikan antibiotik.
Kepada penderita sindroma Wiskott-Aldrich dan penderita yang tidak
memiliki limpa diberikan antibiotik sebagai tindakan pencegahan
sebelum terjadinya infeksi. Untuk mencegah pneumonia seringkali
digunakan trimetoprim-sulfametoksazol.
c. Obat-obat untuk meningkatkan sistem kekebalan (contohnya levamisol,
inosipleks dan hormon thymus) belum berhasil mengobati penderita yang
sel darah putihnya sedikit atau fungsinya tidak optimal.
d. Peningkatan kadar antibodi dapat dilakukan dengan suntikan atau infus
immun globulin, yang biasanya dilakukan setiap bulan. Untuk mengobati
penyakit granulomatosa kronis diberikan suntikan gamma interferon.
e. Prosedur yang masih bersifat eksperimental, yaitu pencangkokan sel-sel
thymus dan sel-sel lemak hati janin, kadang membantu penderita anomali
DiGeorge. Pada penyakit immunodefisiensi gabungan yang berat yang
disertai kekurangan adenosin deaminase, kadang dilakukan terapi sulih
enzim.
f. Jika ditemukan kelainan genetik, maka terapi genetik memberikan hasil
yang menjanjikan. Pencangkokan sumsum tulang kadang bisa mengatasi

17
kelainan sistem kekebalan kongenital yang berat. Prosedur ini biasanya
hanya dilakukan pada penyakit yang paling berat, seperti penyakit
immunodefisiensi gabungan yang berat.
g. Kepada penderita yang memiliki kelainan sel darah putih tidak dilakukan
transfusi darah kecuali jika darah donor sebelumnya telah disinar, karena
sel darah putih di dalam darah donor bisa menyerang darah penderita
sehingga terjadi penyakit serius yang bisa berakibat fatal (penyakit graft-
versus-host).
2. Hipersensitivitas
Penanganan gangguan alergi berlandaskan pada empat dasar:
a. Menghindari allergen
b. Terapi farmakologis
1) Adrenergik
Yang termasuk obat-obat adrenergik adalah katelokamin ( epinefrin,
isoetarin, isoproterenol, bitolterol ) dan nonkatelomin ( efedrin,
albuterol, metaproterenol, salmeterol, terbutalin, pributerol,
prokaterol dan fenoterol ). Inhalasi dosis tunggal salmeterol dapat
menimbulkan bronkodilatasi sedikitnya selam 12 jam, menghambat
reaksi fase cepat maupun lambat terhadap alergen inhalen, dan
menghambat hiperesponsivitas bronkial akibat alergen selama 34
jam.
2) Antihistamin
Obat dari berbagai struktur kimia yang bersaing dengan histamin
pada reseptor di berbagai jaringan. Karena antihistamin berperan
sebagai antagonis kompetitif mereka lebih efektif dalam mencegah
daripada melawan kerja histamine.
3) Kromolin Sodium
Kromolin sodium adalah garam disodium 1,3-bis-2-hidroksipropan.
Zat ini merupakan analog kimia obat khellin yang mempunyai sifat
merelaksasikan otot polos. Obat ini tidak mempunyai sifat
bronkodilator karenanya obat ini tidak efektif unutk pengobatan

18
asma akut. Kromolin paling bermanfaat pada asma alergika atau
ekstrinsik.
4) Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah obat paling kuat yang tersedia untuk
pengobatan alergi. Beberapa pengaruh prednison nyata dalam 2 jam
sesudah pemberian peroral atau intravena yaitu penurunan eosinofil
serta limfosit prrimer. Steroid topikal mempunyai pengaruh lokal
langsung yang meliputi pengurangan radang, edema, produksi
mukus, permeabilitas vaskuler, dan kadar Ig E mukosa.
c. Imunoterapi
Imunoterapi diindikasikan pada penderita rhinitis alergika, asma yang
diperantarai Ig E atau alergi terhadap serangga. Imunoterapi dapat
menghambat pelepasan histamin dari basofil pada tantangan dengan
antigen E ragweed in vitro. Leukosit individu yang diobati memerlukan
pemaparan terhadap jumlah antigen E yang lebih banyak dalam upaya
melepaskan histamin dalam jumlah yang sama seperti yang mereka
lepaskan sebelum terapi. Preparat leukosit dari beberapa penderita yang
diobati bereaksi seolah-olah mereka telah terdesensitisasisecara
sempurna dan tidak melepaskan histamin pada tantangan dengan antigen
E ragweed pada kadar berapapun.
d. Profilaksis
Profilaksis dengan steroid anabolik atau plasmin inhibitor seperti
traneksamat, sering kali sangat efektif untuk urtikaria atau angioedema.
Bila terjadi komplikasi syok anafilaktik, maka tindakan yang perlu
dilakukan, adalah:
a. Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih
tinggi dari kepala untuk meningkatkan aliran darah balik vena, dalam
usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan tekanan darah.
b. Penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru, yaitu:
1) Airway (membuka jalan napas). Jalan napas harus dijaga tetap bebas,
tidak ada sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar,

19
posisi kepala dan leher diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang
menutupi jalan napas, yaitu dengan melakukan ekstensi kepala, tarik
mandibula ke depan, dan buka mulut.
2) Breathing support, segera memberikan bantuan napas buatan bila
tidak ada tanda-tanda bernapas, baik melalui mulut ke mulut atau
mulut ke hidung. Pada syok anafilaktik yang disertai udem laring,
dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas total atau
parsial. Penderita yang mengalami sumbatan jalan napas parsial,
selain ditolong dengan obat-obatan, juga harus diberikan bantuan
napas dan oksigen. Penderita dengan sumbatan jalan napas total,
harus segera ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi
endotrakea, krikotirotomi, atau trakeotomi.
3) Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a.
karotis, atau a. femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar.

H. Komplikasi
1. Imunodefisiensi
Komplikasi yang disebabkan oleh gangguan immunodefisiensi bervariasi,
tergantung pada apa gangguan tertentu yang dimiliki, dapat mencakup:
a. Infeksi berulang
b. Gangguan autoimun
c. Kerusakan jantung, sistem paru-paru, saraf atau saluran pencernaan
d. Memperlambat pertumbuhan
e. Peningkatan risiko kanker
f. Kematian dari infeksi serius, seperti meningitis
2. Hipersensitivitas
a. Eritroderma eksfoliativa sekunder
Eritroderma ( dermatitis eksfoliativa ) adalah kelainan kulit yang ditandai
dengan adanya eritema seluruh / hampir seluruh tubuh, biasanya disertai
skuama (Arief Mansjoer, 2000). Etiologi eritroderma eksfoliativa
sekunder :

20
 Akibat penggunaan obat secara sistemik yaitu penicillin dan
derivatnya , sulfonamide , analgetik / antipiretik dan ttetrasiklin.
 Meluasnya dermatosis ke seluruh tubuh , dapat terjadi pada liken
planus, psoriasis, pitiriasis rubra pilaris, pemflagus foliaseus,
dermatitis seboroik dan dermatitis atopik.
 Penyakit sistemik seperti Limfoblastoma.
b. Abses limfedenopati
Limfadenopati merujuk kepada ketidaknormalan kelenjar getah bening
dalam ukuran, konsistensi ataupun jumlahnya. Limfadenopati dapat
timbul setelah pemakaian obat-obatan seperti fenitoin dan isoniazid.
Obat-obatan lainnya seperti allupurinol, atenolol, captopril,
carbamazepine, cefalosporin, emas, hidralazine, penicilin, pirimetamine,
quinidine, sulfonamida, sulindac). Pembesaran karena obat umumnya
seluruh tubuh (generalisata).
c. Furunkulosis
Furunkel adalah peradangan pada folikel rambut dan jaringan yang
disekitarnya, yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus. Apabila
furunkelnya lebih dari satu maka disebut furunkolosis. Faktor
predisposisi :
 Hygiene yang tidak baik
 Diabetes mellitus
 Kegemukan
 Sindrom hiper IgE
 Carier kronik S.aureus (hidung)
 Gangguan kemotaktik
 Ada penyakit yang mendasari, seperti HIV
 Sebagai komplikasi dari dermatitis atopi, ekscoriasi, scabies atau
pedikulosis (adanya lesi pada kulit atau kulit utuh bisa juga karena
garukan atau sering bergesekan).

21
d. Rinitis
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi
alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan
alergen yang sama serta dilepaskannya suatumediator kimia ketika terjadi
paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (Brunner & suddarth,
2002).
e. Stomatitis
Stomatitis Aphtous Reccurent atau yang di kalangan awam disebut
sariawan adalah luka yang terbatas pada jaringan lunak rongga
mulut. Hingga kini, penyebab dari sariawan ini belum dipastikan, tetapi
ada faktor-faktor yang diduga kuat menjadi pemicu atau pencetusnya.
Beberapa diantaranya adalah:
 Trauma pada jaringan lunak mulut (selain gigi), misal tergigit, atau
ada gigi yang posisinya di luar lengkung rahang yang normal sehingga
menyebabkan jaringan lunak selalu tergesek/tergigit pada saat
makan/mengunyah
 Kekurangan nutrisi,terutama vitamin B12, asam folat dan zat besi.
 Stress
 Gangguan hormonal, seperti pada saat wanita akan memasuki masa
menstruasi di mana terjadi perubahan hormonal sehingga lebih rentan
terhadap iritasi
 Gangguan autoimun/kekebalan tubuh, pada beberapa kasus penderita
memiliki respon imun yang abnormal terhadap jaringan mukosanya
sendiri.
 Penggunaan gigi tiruan yang tidak pas atau ada bagian dari gigi tiruan
yang mengiritasi jaringan lunak
 Pada beberapa orang, sariawan dapat disebabkan karena
Hipersensitivitas terhadap rangsangan antigenik tertentu terutama
makanan.

22
f. Konjungtivitis
Konjungtivitis adalah radang atau infeksi pada konjungtiva dimana
batasnya dari kelopak mata hingga sebagian bola mata. Etiologi:
 Infeksi oleh virus
 Reaksi alergi terhadap debu, serbuk sari, bulu binatang
 Iritasi oleh angin, debu, asap dan polusi lainnya
 Kelainan saluran air mata, dll
g. Kolitis Bronkolitis
h. Hepatomegali

I. Konsep asuhan keperawatan


1. Imunodefisiensi
a. Pengkajian
1) Primary survey
Pasien dapat mengalami masalah A atau B atau C atau kombinasinya.
a) Airway Problem :
Kaji apakah terdapat pembengkakan jalan nafas seperti
tenggorokan dan lidah membengkak (faring/laring edem). Pasien
sulit bernafas dan menelan dan merasa tenggorokan tertutup atau
suara nafas tambahan
b) Breathing Problems :
Kaji apakah terdapat nafas pendek, pengingkatan frekuensi nafas,
kelelahan, kebingungan karena hipoksia, sianosis (muncul biru), ini
biasanya pada late sign.
c) Circulation Problems:
Kaji apakah terdapat tanda syok, pucat, berkeringat, peningkatan
frekuensi nadi (takikardi), tekanan darah rendah (hipotensi), merasa
ingin jatuh (dizziness), kolaps, penurunan tingkat kesadaran atau
kehilangan kesadaran.
2) Secondary survey
a) Identitas klien

23
Meliputi nama, umur (pada rinitis alergik lebih sering penderita
bayi). ,jenis kelamin,pendidikan, alamat (lingkungan yang terpapar
oleh alergen seperti lingkungan tempat tinggal yang kotor seperti
diperkotaan yang dipenuhi dengan debu dan asap, selain itu
lingkungan yang sanitasinya kurang sehat dan tempat tinggal yang
tidak mempunyai ventilasi atau pertukaran udara yang baik
merupakan awal dari timbulnya gangguan pada sistem imunitas.
Cuaca, suhu dingin di tempat tinggal tertentu juga merupakan
penyakit rhinitis alergi), pekerjaaan (mempunyai hubungan langsung
sebab akibat terjadinya serangan rhinitis alergi. Hal ini berkaitan
dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang bekerja di
laboratorium hewan, industri tekstil, polisi lalu lintas), agama, suku
bangsa, tanggal dan jam MRS, no register dan diagnose medis.
b) Keluhan utama
Biasanya pasien mengalami bersin-bersin, hidung mengeluarkan
sekret, hidung tersumbat, dan hidung gatal.
c) Riwayat penyakit terdahulu
Biasanya pasien pernah menderita penyakit THT.
d) Riwayat penyakit keluarga
Keluarga biasanya dahulu pernah mengalami hal yang sama
dengan penderita.
e) Pemeriksaan fisik
 Mata, mata berair
 Hidung, ada sekret (hidung buntu)
 Perut, peristaltik meningkat 40x/menit
 Periksa tanda-tanda vital terutama suhu dan pernafasan
b. Diagnosa
1) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sekresi
yang tertahan
2) Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis
3) Resiko infeksi berhubungan dengan imunodefisiensi

24
c. Intervensi
No Diagnosa Noc Nic
keperawatan
1 Ketidakefektifan Setelah dilakukan (3160)
bersihan jalan nafas tindakan Penghisapan
(00031) keperawatan 1x30 lendir pada jalan
Domain 11 : menit diharapkan nafas
Keamanan/perlindun bersihan jalan nafas 1. Auskultasi
gan kembali efektif dan suara nafas
Kelas 2 : Cedera normal dengan sebelum dan
fisik kriteria hasil: sesudah
1. Menunjukkan suctioning.
perilaku untuk 2. Informasikan
memperbaiki pada klien dan
bersihan jalan keluarga
nafas tentang
suctioning
3. Minta klien
nafas dalam
sebelum
suction
dilakukan.
4. Berikan O2
dengan
menggunakan
nasal untuk
memfasilitasi
suksion
nasotrakeal
5. Anjurkan
pasien untuk
istirahat dan
napas dalam
setelah kateter
dikeluarkan
dari
nasotrakeal
6. Monitor status
oksigen
pasien
7. Hentikan
suksion dan
berikan
oksigen
apabila pasien

25
menunjukkan
bradikardi,
peningkatan
saturasi O2,
dll.
(3140)
Manajemen jalan
nafas
1. Buka jalan
nafas,
guanakan
teknik chin lift
atau jaw thrust
bila perlu
2. Posisikan
pasien untuk
memaksimalk
an ventilasi
3. Identifikasi
pasien
perlunya
pemasangan
alat jalan
nafas buatan
4. Pasang mayo
bila perlu
5. Lakukan
fisioterapi
dada jika
perlu
2 Nyeri akut (00031) Setelah dilakukan (1400) Manajemen
Domain 12 : tindakan nyeri
Kenyamanan keperawatan 2x24 1. Lakukan
Kelas 1 : jam diharapkan pengkajian
Kenyamanan fisik nyeri pasien nyeri secara
berkurang atau komprehensif
hilang dengan termasuk
kriteria hasil: lokasi,
1. pasien karakteristik,
menyatakan dan durasi,
menunjukkan frekuensi,
nyerinya hilang kualitas dan
2. wajah tidak faktor
meringis presipitasi
3. skala nyeri 0 2. Observasi
reaksi

26
nonverbal dari
ketidaknyaman
an
3. Kontrol
lingkungan
yang dapat
mempengaruhi
nyeri seperti
suhu ruangan,
pencahayaan
dan kebisingan
4. Kaji tipe dan
sumber nyeri
untuk
menentukan
intervensi
5. Ajarkan
tentang teknik
non
farmakologi:
napas dala,
relaksasi,
distraksi,
kompres
hangat/ dingin
6. Berikan
analgetik untuk
mengurangi
nyeri
3 Resiko infeksi Setelah dilakukan (6540) kontrol infeksi
(00004) tindakan 1. Pertahankan
Domain 11 : keperawatan 2x24 teknik aseptif
Keamanan/perlindun jam diharapkan 2. Batasi
gan dapat mengurangi pengunjung
Kelas 1 : Infeksi resiko terjadinya bila perlu
infeksi dengan 3. Cuci tangan
kriteria hasil: setiap
1. Infeksi sebelum dan
berkurang sesudah
2. Daya tahan tindakan
tubuh meningkat keperawatan
4. Gunakan baju,
sarung tangan
sebagai alat
pelindung
5. Ganti letak IV

27
perifer dan
dressing
sesuai dengan
petunjuk
umum
6. Berikan terapi
antibiotic
7. Monitor tanda
dan gejala
infeksi
sistemik dan
local
8. Pertahankan
teknik isolasi
k/p
9. Inspeksi kulit
dan membran
mukosa
terhadap
kemerahan,
panas,
drainase
10. Ajarkan
pasien dan
keluarga tanda
dan gejala
infeksi
11. Kaji suhu
badan pada
pasien

2. Hipersensitivitas
a. Pengkajian
1) Primary survey
Pasien dapat mengalami masalah A atau B atau C atau kombinasinya.
a) Airway Problem :
Kaji apakah terdapat pembengkakan jalan nafas seperti
tenggorokan dan lidah membengkak (faring/laring edem). Pasien
sulit bernafas dan menelan dan merasa tenggorokan tertutup atau
suara nafas tambahan
b) Breathing Problems :

28
Kaji apakah terdapat nafas pendek, pengingkatan frekuensi nafas,
kelelahan, kebingungan karena hipoksia, sianosis (muncul biru), ini
biasanya pada late sign.
c) Circulation Problems:
Kaji apakah terdapat tanda syok, pucat, berkeringat, peningkatan
frekuensi nadi (takikardi), tekanan darah rendah (hipotensi), merasa
ingin jatuh (dizziness), kolaps, penurunan tingkat kesadaran atau
kehilangan kesadaran.
2) Secondary survey
a) Identitas klien
Meliputi nama, umur,jenis kelamin,pendidikan, alamat, pekerjaaan,
agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, no register dan diagnose
medis.
b) Keluhan utama
Biasanya terdapat kemerahan dan bengkak pada kulit dan terasa gatal.
c) Riwayat penyakit sekarang
Pasien mengeluh nyeri perut, sesak nafas, demam, bibirnya bengkak,
tibul kemerahan pada kulit, mual muntah dan terasa gatal.
d) Riwayat penyakit dahulu
Mengkaji apakah sebelumnya pasien pernah mengalami nyeri perut,sesak
nafas, demam,bibirnya bengkak,tibul kemerahan pada kulit,mual
muntah,dan terasa gatal dan pernah menjalani perawatan di RS atau
pengobatan tertentu.
e) Riwayat penyakit keluarga
Mengkaji apakah dalam keluarga pasien ada/tidak yang mengalami
penyakit yang sama.
f) Riwayat psikososial
Mengkaji orang terdekat dengan pasien, interaksi dalam keluarga,
dampak penyakit pasien terhadap keluarga, masalah yang mempengaruhi
pasien, mekanisme koping terhadap stres, persepsi pasien terhadap
penyakitnya, tugas perkembangan menurut usia saat ini, dan sistem nilai
kepercayaan.
g) Pemeriksaan fisik

29
 Kulit, seluruh kulit harus diperhatikan apakah ada peradangan kronik,
bekas garukan terutama daerah pipi dan lipatan kulit daerah fleksor.
 Mata, diperiksa terhadap hiperemia, edema, sekret mata yang
berlebihan dan katarak yang sering dihubungkan dengan penyakit
atropi.
 Telinga, telinga tengah dapat merupakan penyulit rinitis alergi.
 Hidung, beberapa tanda yang sudah baku misal: salute, allergic crease,
allergic shiners, allergic facies.
 Mulut dan orofaring pada rinitis alergik, sering terlihat mukosa
orofaring kemerahan, edema. Palatum yang cekung kedalam, dagu
yang kecil serta tulang maksila yang menonjol kadang-kadang
disebabkan alergi kronik.
 Dada, diperiksa secara infeksi, palpasi, perkusi, auskultasi. Pada
waktu serangan asma kelainan dapat berupa hiperinflasi, penggunaan
otot bantu pernafasan.
 Periksa tanda-tanda vital terutama tekanan darah.
b. Diagnosa
1) Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan terpajan allergen
2) Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi
3) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan infalamasi dermal,
intrademal sekunder
4) Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologi
2) Intervensi
No Diagnosa Noc Nic

1 Ketidakefektifan Setelah dilakukan (3140) Manajemen jalan


pola nafas tindakan nafas
(00032) keperawatan 1x15 1. Posisikan pasien
Domain 4 : menit diharapkan untuk
Aktivitas/istirahat pasien menunjukkan memaksimalkan
Kelas 4 : Respon pola nafas efektif ventilasi
kardiovaskuler/pu dengan frekuensi 2. Pasang mayo bila
lmonal dan kedalaman perlu
rentang normal 3. Lakukan
dengan kriteria hasil: fisioterapi dada
1. Frekuensi jika perlu

30
pernapasan pasien 4. Keluarkan sekret
normal (16-20 kali dengan batuk atau
per menit) suction
2. Pasien tidak 5. Auskultasi suara
merasa sesak lagi nafas, catat adanya
3. Pasien tidak suara tambahan
tampak memakai 6. Berikan
alat bantu bronkodilator
pernapasan 7. Monitor respirasi
4. Tidak terdapat dan status O2
tanda-tanda 8. Pertahankan jalan
sianosis
nafas yang paten
9. Observasi adanya
tanda tanda
hipoventilasi
10. Monitor vital sign
11. Monitor pola nafas
2 Hipertermia Setelah dilakukan (3900) Pengaturan suhu
(00007) tindakan 1. Monitor suhu
Domain 11 : keperawatan 1x24 sesering mungkin
Keamanan/perlin jam diharapkan suhu 2. Monitor warna dan
dungan tubuh pasien suhu kulit
Kelas 6 : menurun dengan 3. Monitor tekanan
Termoregulasi kriteria hasil: darah, nadi dan
1. suhu tubuh pasien RR
kembali normal 4. Monitor intake dan
(36,5-37,50c) output
2. bibir pasien tidak 5. Berikan anti
bengkak piretik
6. Berikan cairan1.
intravena 2.
7. Tingkatkan intake
cairan dan nutrisi
8. Monitor hidrasi
seperti turgor
kulit, kelembaban
membran mukosa)
3 Kerusakan Setelah dilakukan (3500) Manajemen
integritas kulit tindakan tekanan
(00046) keperawatan 2x24 1. Anjurkan pasien
Domain 11 : jam diharapkan untuk
Keamanan/perlin pasien tidak akan menggunakan
dungan mengalami pakaian yang
Kelas 2 : Cedera kerusakan integritas longgar
fisik kulit lebih parah 2. Hindari kerutan
dengan kriteria hasil: pada tempat tidur

31
1. Tidak terdapat 3. Jaga kebersihan
kemerahan, bentol- kulit agar tetap
bentol dan odema bersih dan kering
2. Tidak terdapat 4. Mobilisasi pasien
tanda-tanda (ubah posisi
urtikaria,pruritus pasien) setiap dua
dan angioderma jam sekali
3. Kerusakan 5. Monitor kulit akan
integritas kulit adanya kemerahan
berkurang 6. Oleskan lotion
atau minyak/baby
oil pada derah
yang tertekan
7. Monitor aktivitas
dan mobilisasi
pasien
8. Observasi luka :
lokasi, dimensi,
kedalaman luka,
karakteristik,
warna cairan,
granulasi, jaringan
nekrotik, tanda-
tanda infeksi lokal,
formasi traktus
4 Nyeri akut Setelah dilakukan (1400) Manajemen nyeri
(00132) tindakan 1. Lakukan
Domain 12 : keperawatan 2x24 pengkajian nyeri
Kenyamanan jam diharapkan nyeri secara
Kelas 1 : pasien berkurang komprehensif
Kenyamanan fisik atau hilang dengan termasuk lokasi,
kriteria hasil: karakteristik,
1. pasien durasi, frekuensi,
menyatakan dan kualitas dan faktor
menunjukkan presipitasi
nyerinya hilang 2. Observasi reaksi
2. wajah tidak nonverbal dari
meringis ketidaknyamanan
3. skala nyeri 0 3. Kontrol
lingkungan yang
dapat
mempengaruhi
nyeri seperti suhu
ruangan,
pencahayaan dan
kebisingan

32
4. Kaji tipe dan
sumber nyeri
untuk menentukan
intervensi
5. Ajarkan tentang
teknik non
farmakologi:
napas dala,
relaksasi, distraksi,
kompres hangat/
dingin
6. Berikan analgetik
untuk mengurangi
nyeri

3. Implementasi

Melaksanakan tindakan sesuai dengan intervensi yang telah di rencanakan

dan dilakukan sesuai dengan kebutuhan klien/pasien tergantung pada

kondisinya. Sasaran utama pasien meliputi peredaan nyeri, mengontrol

ansietas, pemahaman dan penerimaan penanganan, pemenuhan aktivitas

perawatan diri, termasuk pemberian obat, pencegahan isolasi sosial, dan

upaya komplikasi.

4. Evaluasi

Melakukan pengkajian kembali untuk mengetahui apakah semua tindakan

yang telah dilakukan dapat memberikan perbaikan status kesehatan terhadap

klien sesuai dengan kriteria hasil yang diharapkan

33
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Imunodefisiensi adalah keadaan dimana terjadi penurunan atau ketiadaan
respon imun normal. Keadaan ini dapat terjadi secara primer, yang pada
umumnya disebabkan oleh kelainan genetik yang diturunkan, serta secara
sekunder akibat penyakit utama lain seperti infeksi, pengobatan kemoterapi,
sitostatika, radiasi, obat-obatan imunosupresan(menekan sistem kekebalan
tubuh) atau pada usia lanjut dan malnutrisi (kekurangan gizi).
Beberapa penyebab dari immunodefisiensi yang didapat : penyakit
keturunan dan kelainan metabolisme, bahan kimia dan pengobatan yang
menekan sistem kekebalan, infeksi, penyakit darah dan kanker, pembedahan
dan trauma dan lain-lain
Alergi atau hipersensitivitas adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana
tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi
terhadap bahan-bahan yang umumnya non imunogenik. Dengan kata lain,
tubuh manusia bereaksi berlebihan terhadap lingkungan atau bahan-bahan yang
oleh tubuh dianggap asing atau berbahaya. Bahan-bahan yang menyebabkan
hipersensitivitas tersebut disebut alergen. Faktor yang berperan dalam alergi
dibagi menjadi 2 yaitu :faktor internal dan faktor eksternal.

B. Saran
Setelah kami menyelesaikan makalah dengan judul Imunodefisiensi dan
Hipersensitivitas, kami merasa masih banyak sekali kekurangan karena
keterbatasan referensi baik itu dari etiologi, patofisiologi, lebih
khususnya lagi yaitu manajemen keperawatannya dari pengkajian
sampai dengan evaluasi. Untuk itu kami dari kelompok mengharap masukan
kritik dan saran untuk kelompok kami.

34
DAFTAR PUSTAKA

Elisabethj.Corwin.2009. Buku Saku Patofisiologi. Edisi 3.Jakarta: egc


Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga. FKUI. Jakarta
NANDA NIC NOC 2018
Price dan Wilson.2003. Patofiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit vol 2
edisi 6. Jakarta: EGC
Price, Syilvia. 2005. Patofisiolois : Konsep Klinis Proses – Proses Penyakit.
Jakarta : EGC.
https://www.academia.edu/12214975/Laporan_Pendahuluan_dan_Asuhan_Keper
awatan_Gangguan_Immunodefisiensi. diakses pada tanggal 4 April 2019
https://www.academia.edu/16826509/ASKEP_HIPERSENSITIVITAS_Klp_IV.
diakses pada tanggal 4 April 2019
http://scholar.unand.ac.id/19319/2/BAB%20I.pdf. diakses pada tanggal 4 April
2019
https://dokumen.tips/documents/askep-hipersensitivitas.html. diakses pada tanggal
4 April 2019

35

Anda mungkin juga menyukai