Anda di halaman 1dari 3

Ade Ayu Chusnul.

M
160342606234/Off. GHI-L
SEJARAH SINGKAT

Revolusi hijau pertama kali muncul karena adanya kekhawatiran terjadinya


kemiskinan massal di dunia yang diakibatkan oleh ketidakseimbangan pertumbuhan
penduduk dengan peningkatan produksi pangan. Kemudian revolusi hijau menjadi proyek
penelitian dalam rangka meningkatkan produksi pertanian terutama pangan di berbagai
negara di dunia. Revolusi Hijau merupakan sebutan untuk menggambarkan perubahan
fundamental dalam pemakaian teknologi budidaya pertanian yang dimulai pada tahun 1950
hingga 1980 di banyak negara berkembang, terutama Asia. Hasil yang nyata adalah
tercapainya swasembada (kecukupan penyediaan) sejumlah bahan pangan di beberapa negara
yang sebelumnya selalu kekurangan persediaan pangan (pokok), seperti India, Bangladesh,
Tiongkok, Vietnam, Thailand, dan Indonesia.

Norman Borlaug adalah penerima penghargaan Nobel Perdamaian 1970, adalah orang
yang dipandang sebagai konseptor utama gerakan ini. Revolusi hijau diawali oleh Ford dan
Rockefeller Foundation, yang mengembangkan gandum di Meksiko (1950) dan padi di
Filipina (1960). Konsep Revolusi Hijau yang di Indonesia dikenal sebagai gerakan Bimas
(bimbingan masyarakat) adalah program nasional untuk meningkatkan produksi pangan,
khususnya swasembada beras.

Pelaksanaan penelitian ini dilakukan di Meksiko, Filipina, India, dan Pakistan dengan
disponsori oleh lembaga Ford and Rockefeller Foundation. Perubahan yang disebut revolusi
itu dimulai dari Meksiko yang mengubah sistem pertaniannya secara radikal pada tahun
1945. Salah satu alasannya karena berbanding terbaliknya pertambahan jumlah penduduk
dengan kapasitas produksi gandum. Hasilnya yaitu delapan tahun kemudian Meksiko dapat
mengekspor gandum. IMWIC (International Maize and Wheat Improvement Centre)
merupakan pusat penelitian di Meksiko. Sedangkan di Filipina, IRRI (International Rice
Research Institute) berhasil mengembangkan bibit padi baru yang produktif yang disebut padi
ajaib atau padi IR-8. Pada tahun 1970 dibentuk CGIAR (Consultative Group for International
Agriculture Research) yang bertujuan untuk memberikan bantuan kepada berbagai pusat
penelitian international.
HUBUNGAN REVOLUSI HIJAU DENGAN PENGENDALIAN HAYATI

Pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) secara terpadu (PHT) sudah


banyak dibahas dan didokumentasikan (Oka dan Bahagiawati 1991). Rumusan teknologi
PHT (Pengendalian Hama Terpadu) pada dasarnya bertujuan agar OPT dapat terkendali
secara alamiah dalam ekologi yang seimbang antara semua organisme penyusun ekologi.
Dalam praktek, hal demikian sukar terjadi karena usaha pertanian sawah mengubah
komponen ekologi menjadisatu spesies dominan yaitu tanaman padi. Hama, penyakit, dan
gulma secara alamiah akan ter-seleksi ke arah OPT yangsesuai dengan tanaman padi,
sehingga keseimbangan ekobiologi sukar diperoleh.

Teknologi RHL (Revolusi Hijau Lestari) mempersyaratkan pengendalian OPT


memenuhi kriteria sebagai berikut :

 Mengutamakan peniadaan/minimalisasi sumber penularan, baik yang berasal dari


tumbuhan inang, wilayah sekitar, lokasi setempat, atau terbawa masuk melalui sarana
produksi dan alat dan mesin pertanian.
 Pemutusan daur hidup OPT melalui pergiliran tanaman/varietas, dan pengaturan pola
tanam yang tepat.
 Penanaman varietas-varietas yang memiliki gen dengan ketahanan terhadap OPT;
memanfaatkan kemampuan daya sangga genetik berbagai genotipe/varietas tanaman.
 Pemanfaatan musuh alami, baik yang bersifat indigenous (asli) maupun berasal dari
luar.
 Penggunaan pestisida secara rasional, baik dari segi jenis yang dipakai, waktu
aplikasi, dosis dan teknik aplikasi, sehingga memberikan efek residu minimal, tidak
mematikan musuh alami, dan tidak mengakibatkan OPT menjadi kebal.
 Penerapan teknik PHT secara efektif dan relevan.

Pengendalian OPT dalam teknologi RHL harus merupakan bagian integral


(berkesinambungan) dalam seluruh sistem usaha tani di lahan sawah, termasuk sanitasi
lingkungan yang merupakan status kesehatan suatu lingkungan yang mencakup pemakaian
lahan, pembuangan kotoran, penyediaan air bersih dan sebaginya, pergiliran tanaman,
pergiliran varietas, bertani secara sehat, dan sebagainya, yang terencana dalam jangka pendek
dan jangka panjang.
Oleh karena itu, munculnya pengendalian hayati perlu disambut dengan baik dan
perlu dimasyarakatkan, untuk mendukung keseimbangan ekosistem pertanian dan dalam
menunjang ketahanan pangan nasional yang berkelanjutan. Dorongan untuk menerapkan
pengendalian hayati, sebagai salah satu cara untuk mengendalikan patogen tanaman.
Beberapa peluang yang diketahui dari penggunaan agensia pengendali hayati untuk
mengatasi masalah penyakit tanaman, menurut Greathead (1995) dan Soesanto (2008), yaitu :

 kesadaran masyarakat dunia akan produk pertanian yang sehat dan aman,
 ketidak-mampuan fungisida sintetis,
 kepedulian akan keseimbangan ekologi dan keamanan lingkungan,
 kesadaran petani dan keluarganya akan masalah kesehatan,
 biaya eksplorasi agensia hayati yang rendah,
 bertambahnya biaya produksi pertanian,
 waktu penyiapan agensia hayati yang singkat,
 ketersediaan agensia hayati melimpah di alam, dan
 produksi metabolit sekunder.

DAFTAR RUJUKAN

Greathead, D.J. 1995. Benefits and risks of classical biological control. Pp. 53-63. In: H.M.T.
Hokkanen and J.M. Lynch (Eds.), Biological Control: Benefits and Risks. Cambridge
University Press, Cambridge.

Soesanto, L. 2008. Pengantar Pengendalian Hayati Penyakit Tanaman, Suplemen ke Gulma


dan Nematoda. RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Oka, I.N. dan Bahagiawati. 1991. Pengendalian hama terpadu. E. Soenarjo et al. (eds.): Padi,
III. Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor. p. 653-680.

Sumarno. 2006. Teknologi Revolusi Hijau Lestari untuk Ketahanan Pangan Masa Depan.
Seminar Nasional Sumber Daya Lahan Pertanian, Balai Besar Litbang Sumber Daya
Lahan Pertanian. Bogor, 14-15 September 2006.

Anda mungkin juga menyukai