a. Hospitalisasi
Menurut Supartini (2004), hospitalisasi merupakan suatu proses dimana karena alasan
tertentu atau darurat mengharuskan anak untuk tinggal di RS, menjalani terapi perawatan
sampai pemulangannya kembali ke rumah.
Rumah sakit dapat menjadi suatu tempat yang menakutkan dilihat dari sudut
pandang anak-anak. Suasana rumah sakit yang tidak familiar, wajah-wajah yang asing,
berbagai macam bunyi dari mesin yang digunakan, dan bau yang khas, dapat
menimbulkan kecemasan dan ketakutan baik bagi anak ataupun orang tua. (Norton-
Westwood,2012).
3) Faktor kurangnya informasi yang didapat anak dan orang tuanya ketika akan
menjalani hospitalisasi. Hal ini dimungkinkan mengingat proses hospitalisasi
merupakan hal yang tidak umum di alami oleh semua orang. Proses ketika menjalani
hospitalisasi juga merupakan hal yang rumit dengan berbagai prosedur yang
dilakukan (Gordon dkk,2010).
4) Faktor kehilangan kebebasan dan kemandirian; Aturan ataupun rutinitas rumah sakit,
prosedur medis yang dijalani seperti tirah baring, pemasangan infus dan lain
sebagainya sangat mengganggu kebebasan dan kemandirian anak yang sedang dalam
taraf perkembangan (Price & Gwin,2005).
6) Faktor perilaku atau interaksi dengan petugas rumah sakit; khususnya perawat;
mengingat anak masih memiliki keterbatasan dalam perkembangan kognitif, bahasa
dan komunikasi. Perawat juga merasakan hal yang sama ketika berkomunikasi,
berinteraksi dengan pasien anak yang menjadi sebuah tantangan, dan dibutuhkan
sensitifitas yang tinggi serta lebih kompleks dibandingkan dengan pasien dewasa.
Selain itu berkomunikasi dengan anak juga sangat dipengaruhi oleh usia anak,
kemampuan kognitif, tingkah laku, kondisi fisik dan psikologis tahapan penyakit dan
respon pengobatan (Pena & Juan,2011).
Masalah yang utama terjadi adalah karena dampak dari perpisahan dengan orang
tua sehingga ada gangguan pembentukan rasa percaya dan kasih sayang. Pada anak usia
lebih dari enam bulan terjadi stranger anxiety atau cemas apabila berhadapan dengan
orang yang tidak dikenalnya dan cemas karena perpisahan. Reaksi yang sering muncul
pada anak usia ini adalah menangis, marah, dan banyak melakukan gerakan sebagai sikap
stranger anxiety. Bila ditinggalkan ibunya, bayi akan merasakan cemas karena
perpisahan dan perilaku yang ditunjukkan adalah dengan menangis keras. Respon
terhadap nyeri atau adanya perlukaan biasanya menangis keras, pergerakan tubuh yang
banyak, dan ekspresi wajah yang tidak menyenangkan (Supartini, 2004).
Anak usia todler bereaksi terhadap hospitalisasi sesuai dengan sumber stresnya.
Sumber stres yang utama adalah cemas akibat perpisahan. Respon perilaku anak sesuai
dengan tahapannya,yaitu tahap protes, putus asa, dan pengingkaran (denial). Pada tahap
protes, perilaku yang ditunjukkan adalah menangis kuat, menjerit memanggil orang tua
atau menolak perhatian yang diberikan orang lain. Pada tahap putus asa, perilaku yang
ditunjukkan adalah menangis berkurang, anak tidak aktif, kurang menunjukkan minat
untuk bermain dan makan, sedih, dan apatis. Pada tahap pengingkaran, perilaku yang
ditunjukkan adalah secara samar mulai menerima perpisahan, membina hubungan secara
dangkal, dan anak mulai terlihat menyukai lingkungannya. Oleh karena adanya
pembatasan terhadap pergerakannya, anak akan kehilangan kemampuannya untuk
mengontrol diri dan anak menjadi tergantung pada lingkungannya. Terhadap perlukaan
yang dialaminya atau nyeri yang dirasakan karena mendapatkan tindakan invasive,
seperti injeksi, infus, pengambilan darah, anak akan meringis, menggigit bibirnya, dan
memukul (Supartini, 2004).
Perawatan anak di rumah sakit memaksa anak untuk berpisah dari lingkungan
yang dirasakannya aman, penuh kasih sayang, dan menyenangkan, yaitu lingkungan
rumah, permainan, dan teman sepermainannya. Reaksi terhadap perpisahan yang
ditunjukkan anak usia prasekolah adalah dengan menolak makan, sering bertanya,
menangis walaupun secara perlahan, dan tidak kooperatif terhadap petugas kesehatan.
Perawatan di rumah sakit juga membuat anak kehilangan control terhadap dirinya.
Perawatan di rumah sakit mengharuskan adanya pembatasan aktivitas anak sehingga
anak merasa kehilangan kekuatan diri. Oleh karena itu, hal ini menimbulkan reaksi
agresif dengan marah dan berontak, ekspresi verbal dengan mengucapkan kata-kata
marah, tidak mau bekerja sama dengan perawat, dan ketergantungan pada orang tua
(Supartini, 2004).
Perawatan anak di rumah sakit memaksa anak untuk berpisah dengan lingkungan
yang dicintainya, yaitu keluarga dan terutama kelompok sosialnya dan menimbulkan
kecemasan. Kehilangan control juga terjadi akibat dirawat di rumah sakit karena adanya
pembatasan aktivitas. Kehilangan kontrol tersebut berdampak pada perubahan peran
dalam keluarga, anak kehilangan kelompok sosialnya karena ia biasa melakukan kegiatan
bermain atau pergaulan sosial, perasaan takut mati, dan adanya kelemahan fisik. Reaksi
terhadap perlukaan atau rasa nyeri akan ditunjukkan dengan ekspresi baik secara verbal
maupun nonverbal karena anak sudah mampu mengomunikasikannya. Anak usia sekolah
sudah mampu mengontrol perilakunya jika merasa nyeri, yaitu dengan menggigit bibir
dan memegang sesuatu dengan erat (Supartini, 2004).
4. Kecemasan anak
b. Atraumatic care
Mengontrol nyeri melalui pengkajian yang sering dan intervensi farmakologi dan
non-farmakologi.
Mengurangi rasa takut yang tidak diketahui melalui pendidikan, artikel yang
dikenal, dan mengurangi ancaman lingkungan.
Supartini (2014) menyatakan bahwa meminimalkan rasa takut terhadap cedera tubuh dan
rasa nyeri dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:
1. Mempersiapkan psikologis anak dan orang tua untuk tindakan prosedur yang menimbulkan
rasa nyeri.
Persiapan ini dilakukan perawat dengan cara menjelaskan apa yang akan dilakukan dan
memberikan dukungan psikologis pada orang tua (Supartini, 2014). Persiapan anak-anak
untuk menghadapi prosedur yang menakutkan dapat menurunkan ketakutan mereka, serta
memanipulasi teknik prosedural untuk anak-anak di setiap kelompok umur juga
meminimalkan ketakutan akan cedera tubuh (Wong, et al., 2009).
2. Lakukan permainan terlebih dahulu sebelum melakukan persiapan fisik anak.
Permainan yang bisa dilakukan diantaranya bercerita, menggambar, menonton video
kaset dengan cerita yang berkaitan dengan tindakan atau prosedur yang akan dilakukan
pada anak (Supartini, 2014). Bermain adalah salah satu aspek penting dari kehidupan anak
dan salah satu alat paling efektif untuk penatalaksanaan stres, serta bermain juga sangat
penting bagi mental, emosional dan kesejahteraan sosial anak (Wong, et al., 2009).
c. Terapi bermain
Permainan kerincing
a. Arsitek Menara Bahan yang dibutuhkan adalah kotak/kubus yang berwarna-warni dengan
ukuran yang sama, kemudian anak diminta untuk menyusun kotak atau kubus ke atas.
Penyusunan kubus/kotak diupayakan yang sama warnanya. Selalu beri pujian setiap kegiatan
anak.
b. Tebak Gambar Permainan ini membutuhkan gambar yang sudah tidak asing bagi anak
seperti binatang, buah-buahan, jenis kendaraan atau gambar profesi/pekerjaan. Permainan
dimulai dengan menunjukkan gambar yang telah ditentukan sebelumnya kemudian ajak anak
untuk menebak gambar tersebut, lakukan beberapa kali. Jika anak tidak mengetahui gambar
yang
Ada beberapa pengertian bermain yang telah diungkapkan oleh beberapa ahli, antara lain
1. Bermain adalah merupakan ungkapan bahasa secara alami untuk diekspresikan melalui Bio-
Psiko-Sosial yang berhubungan dengan lingkungan (Smith).
2. Bermain merupakan kegiatan yang dilakukan untuk kesenangan yang ditimbulkan tanpa
mempertimbangkan hasil akhir (Hurlock).
3. Bermain merupakan cara ilmiah anak untuk mengungkapkan konflik dirinya yang tidak
disadarinya (Wong).
4. Bermain merupakan kegiatan yang dilakukan sesuai dengan keinginan sendiri untuk
memperoleh kesenangan (Foster).
Bermain merupakan kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan anak-anak,
sekalipun dalam keadaan sakit atau dirawat. Melalui media bermain, anak belajar berkata-kata
dan bagaimana menyesuaikan diri terhadap lingkungan, objek, waktu, orang dan ruang. Bermain
bagi anak-anak juga merupakan bekerja. Dalam bermain anak melakukan praktek yang
kompleks, proses kehidupan yang penuh stress, komunikasi dan pencapaian hubungan
interpersonal dan memperluas perkembangan dan hubungan dengan orang lain. Bermain juga
mengandung motivasi instrinsik anak.
Terdapat berbagai fungsi bermain pada anak, antara lain: untuk perkembangan sensoris dan
motorik, perkembangan kognitif, meningkatkan kreatifitas, perkembangan sosial, menunjukan
kesadaran diri akan kemampuan dan kekuatannya, dapat meningkatkan perkembangan moral.
Pada keadaan sakit dan dirawat di Rumah Sakit, bermain tetap diperlukan dalam melanjutkan
perkembangan dan pertumbuhan. Dengan bermain anak dapat mengekspresikan perasan pikiran
dan fantasi. Disamping itu, anak tetap dapat mengembangkan kreatifitasnya serta agar dapat
beradaptasi lebih baik dalam mengahadapi stress.
B. Prinsip Bermain
4. Melibatkan orangtua/keluarga
C. Keuntungan Bermain Di Rumah Sakit
E. Tujuan
1. Tujuan umum:
a. Dapat melanjutkan tumbuh kembang selama perawatan
b. Dapat mengembangkan kreatifitas melalui pengalaman bermain yang tepat
c. Dapat beradaptasi lebih efektif terhadap stress karena penyakit atau dirawat di Rumah Sakit
2. Tujuan khusus:
a. Memberikan kesenangan pada anak dengan keinginan bermain
b. Memberikan kegiatan yang dapat mengalihkan perhatian anak dari sakit
c. Mengurangi penderitaan anak dari rasa tekekang dan terisolasi
d. Anak dapat bersosialisasi dengan lingkungan
e. Anak merasa diperhatikan
f. Orang tua dapat mengerti tentang pentingnya bermain pada anak dan membantu dalam kegiatan
bermain
g. Membina keterampilan anak
h. Memberikan pesan moral kepada anak
F. Topik Bermain
H. Struktur Kelompok
2. Setting tempat :
Kegiatan MTBS merupakan upaya yang ditujukan untuk menurunkan kesakitan dan kematian
sekaligus meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan anak balita di unit rawat jalan kesehatan
dasar seperti Puskesmas, Pustu, Polindes, Poskesdes, dll. Bila dilaksanakan dengan baik, upaya
ini tergolong lengkap untuk mengantisipasi penyakit-penyakit yang sering menyebabkan
kematian bayi dan balita. Dikatakan lengkap karena meliputi upaya kuratif
(pengobatan), preventif (pencegahan), perbaikan gizi, imunisasi dan konseling (promotif).
1) Gizi
2) Imunisasi
3) Pencegahan penyakit
4) Promosi tumbuh kembang
5) Tatalaksana kasus
Dalam penentuan diagnosa Disesuaikan dengan keluhan yang dialami si anak, apakah kondisi
anak sesuai dengan klasifikasi penyakit dalam MTBS. Setelah menemukan diagnosa maka bisa
dibuat penatalaksanaan sesuai dengan MTBS.
2. Ratri anak perempuan. Umur 14 bulan. Berat badan 12 kg. Panjang badan 94 cm. Suhu badan 37,50C.
Ibu berkata bahwa anak menderita diare selama 3 minggu, tidak ada tanda-tanda bahaya umum, tidak
batuk atau sukar bernafas. Petugas kesehatan memeriksa diare Ratri. Ibu mengatakan bahwa tidak ada
darah dalam tinja anak. Anak tampak selalu rewel dan gelisah. Matanya tidak cekung. Ia minum dengan
lahap. Cubitan kulit perut kembali segera.
Tentukan kemungkinan diagnosis yang muncul dan prinsip penatalaksanaan dengan panduan MTBS.