Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

HIV/AIDS

diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Keperawatan Jiwa I


Dosen ampu : Ahmad Arifin,S.Kep.,Ners

oleh :
Gita Suci
1117017

S1 – Keperawatan 2B

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN RAJAWALI BANDUNG

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan
karunianya kami dapat menyelesaikan makalah Keperawatan Medikal Bedah II.
Solawat dan salam tak lupa kami sampaikan kepada junjungan Nabi kita Nabi
Agung Muhammad saw. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah
Keperawatan Medikal Bedah II. Selama pembuatan makalah ini kami juga
mendapat banyak dukungan dan juga bantuan dari berbagai pihak, maka dari itu
kami ucapkan banyak terima kasih yang sebesar – besarnya kepada :

1. Ibu Tonika Tohri, S.Kp., M.Kes selaku Ketua Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan Rajawali
2. Ibu Istianah, S.Kep., Ners, M.Kep selaku Ketua Program Studi S1
Keperawatan & Ners
3. Ibu Yora Nopriani, S.Kep.,Ners.,M.Kep selaku Dosen Koordinator
mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah II
4. Bapak Ahmad Arifin,S.Kep.,Ners selaku Dosen pembimbing mata kuliah
Keperawatan Jiwa I
5. Serta pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah

Kami menyadari bahwa makalah ini masih memiliki kekurangan dan


masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun
dari para pembaca dan masyarakat umum sangat dibutuhkan. Semoga makalah ini
bermanfaat. Terima kasih.

Bandung, April 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR. ......................................................................................... i

DAFTAR ISI. ........................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang. ......................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah. .................................................................................... 2
C. Tujuan. ...................................................................................................... 2
D. Manfaat. .................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Definisi ...................................................................................................... 3
B. Patofisiologi Gangguan Jiwa pada pasien HIV/AIDS .............................. 11
C. Klasifikasi gangguan jiwa pada HIV/AIDS .............................................. 11
D. Farmakoterapi ........................................................................................... 12
E. Psikoterapi ................................................................................................. 12

BAB III TINJAUAN KASUS

Asuhan keperawatan. ................................................................................ 18

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................................... 28
B. Saran .......................................................................................................... 28

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 29

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) adalah suatu gangguan yang


disebabkan oleh infeksi virus human immunodeficiency virus (HIV). Penyakit ini
pertama kali dilaporkan pada tahun 1981. Di amerika kasus pertama terjadi pada
musim panas tahun 1981. Pada saat itu mulai dilaporkan adanya Pneumonia
Pneumocystic Carinii dan Sarcoma Kaposi pada seorang pria muda yang
menderita homoseksual dan penurunan kekebalan.

Infeksi HIV adalah pandemic global, dengan laporan kasus dari hampir setiap
negara. Pada akhir tahun 2013, diperkirakan sekitar 35 juta individu yang hidup
dengan infeksi HIV, menurut Joint United Nations Programme on HIV/AIDS
(UNAIDS). Sekitar 95% orang yang mengidap HIV/AIDS berada pada negara
low income dan middle income; 50% adalah wanita dan 3,2 juta penderita adalah
anak-anak dibawah usia 15 tahun. Di Asia Dan Pasifik, diperkirakan 4,8 juta
orang yang mengidap HIV pada akhir 2013. Di berbagai wilayah dunia,
prevelensi HIV tertinggi di negara-negara asia tenggara.

HIV/AIDS adalah penyebab kematian dan kecacatan yang signifikan,


khususnya di negara yang berpendapatan rendah dan menengah. Kesehatan
mental dan HIV/AIDS sangat berkaitan erat; gangguan mental, termasuk
gangguan akibat penggunaan zat, dapat meningkatkan resiko HIV /AIDS, dan
begitupula dengan gangguan mental yang terjadi merupakan akibat langsung dari
infeksi HIV.

Tingkat prevelensi gangguan jiwa pada orang dengan HIV di rawat inap dan
rawat jalan telah dilaporkan 5% dan 23% dibandingkan dengan kisaran 0,3%
sampai 0,4% pada populasi umum di Amerika Serikat selama periode waktu
tertentu. Beberapa studi telah melaporkan resiko perilaku untuk penularan HIV

1
berkisara antara 30% dan 60% dari orang-orang dengan penyakit mental yang
berat.

HIV/AIDS memberikan beban psikologis yang signifikan. Orang dengan HIV


sering menderita depresi dan anxietas karena mereka menyesuaikan diri dengan
dampak dari diagnosinya dan menghadapi kesulitan hidup dengan penyakit kronis
yang mengancam jiwa, misalnya tingkat harapan hidup yang rensah, rejimen
terapi yang rumit, stigmatisasi, dan hilangnya dukungan sosial, keluarga dan
teman. Infeksi HIV dapat dikaitkan dengan resiko tinggi bunuh diri atau mencoba
bunuh diri.

Terlepas dari dampak psikologis, infeksi HIV memiliki efek langsung pada
sistem saraf pusat, dan menyebabkan komplikasi neuropsikiatri termasuk
ensefalopati HIV, depresi, gangguan kognitif, dan demensia.

B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi HIV/AIDS?
2. Bagaimana Patofisiologi Gangguan Jiwa pada pasien HIV/AIDS?
3. Bagaimana Klasifikasi gangguan jiwa pada HIV/AIDS?
4. Apa saja Farmakoterapi nya?
5. Apa saja Psikoterapi nya?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Keperawatan Jiwa 1
sebagai kewajiban mahasiswa dalam menyelesaikan setiap program
mata kuliah yang diberikan.
2. Tujuan Khusus
Semoga makalah ini dapat memberikan pengetahuan masalah
psikologis pasien HIV/AIDS yang lebih luas terutama kepada
mahasiswa Keperawatan.

2
D. Manfaat
Manfaat yang ingin kami sampaikan adalah untuk memberikan informasi
kepada para pembaca, utamanya bagi sesama pelajar dan generasi muda
tentang masalah psikologis pasien HIV/AIDS, sehingga dengan demikian kita
semua berusaha untuk memberi saran dan dukungan kepada pasien
HIV/AIDS.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi
HIV (Human immunodeficiency) adalah virus yang dapat
menyebabkan terjadinya AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome).
HIV mempengaruhi system imun, khususnya CD4 atau Tcell. HIV ada di
dalam darah, sperma, cairan leher rahim dan vagina, dan pada tingkat lebih
rendah, dalam air liur, air mata, air susu ibu, dan cairan serebrospinal dari
mereka yang terinfeksi.
HIV paling sering ditularkan melalui hubungan seksual atau
transfer darah yang terkontaminasi dari satu orang ke orang lain.
Hubungan seks (anal dan vaginal) yang tidak memakai kondom adalah
kegiatan seksual yang paling mungkin untuk menularkan virus. Kehdiran
penyakit menular seksual seperti herpes atau sifilis, atau lesi lain yang
merusak integritas kulit atau mukosa, lebih lanjut meningkatkan resiko
penularan. Penularan juga terjadi melalui paparan jarum terkontaminasi,
sehingga akutansi untuk tingginya insiden infeksi HIV di kalangan
pengguna narkoba.
B. Patofisiologi Gangguan Jiwa pada pasien HIV/AIDS
HIV biasanya mencapai otak segera setelah infeksi awal. Satu teori
mengusulkan kemungkinan masuknya virus dengan melibatkan monosit
yang terinfeksi melintasi sawar darah-otak (Blood Brain Barrier) yang
dikenal dengan mekanisme “Trojan Horse”. Setelah monosit yang
terinfeksi telah menyeberangi endotelium, mereka menetap sebagai
makrofag perivaskular yang terinfeksi. Telah dikemukakan bahwa
makrofag menyebarkan virus dengan cara kontak antar sel dengan sel
mikroglia.
Teori lain yang menjelaskan masuknya virus adalah virus bebas
yang melintasi langsung BBB atau masuk melalui CSF. Keberadaan virus
produktif dalam sel endotel dan choroids pleksus mendukung teori ini.

4
Secara keseluruhan, makrofag di ruang perivaskular dan multinucleated
giant cell (kumpulan makrofag dan sel mikroglia) adalah jenis sel otak
utama yang mendukung replikasi virus di otak.
Dua pandangan telah didalilkan mengenai dinamika HIV
memasuki CNS. Salah satu pandangan yang masuk akal adalah bahwa
CNS terkena kontak berulang virus yang diangkut melintasi BBB melalui
monosit.

C. Klasifikasi gangguan jiwa pada HIV/AIDS


1. Gangguan mental organik
a. HIV Associated Dementia (HAD)
Dementia adalah sebuah syndrome yang melibatkan kerusakan
dalam berpikir, perilaku dan kemampuan untuk melakukan aktivitas
sehari-hari. Dementia dapat terjadi pada orang yang positif terinfeksi HIV.
Hal ini dulunya dikenal dengan nama AIDS Dementia Complex. Kondisi
ini terkait dengan masalah kognitif, motorik, dan perilaku yang parah
sehingga dapat menghambat kualitas hidup. (7)
HAD adalah tingkatan yang paling parah dari HIV Associated
Neurocognitive Disorder (HAND). Pada tingkatan HAND yang lebih
rendah, ia mempengaruhi fungsi kognitif (memori, bahasa, perhatian)
tetapi tidak ditegakkan diagnosis untuk Dementia. Pada HAD fungsi
kognitif sangat dipengaruhi. (7)
Telah ada cukup bukti yang mengatakan bahwa HIV
mempengaruhi system saraf pusat secara dini, bahkan dapat didiagnosis
dalam waktu dua minggu setelah infeksi. Ia mengikuti model “Trojan
Horse” untuk memasuki jaringan. Awalnya ia menginfeksi monosit yang
bersirkulasi dan melewati blood-brain barrier, membawa protein virus ke
otak. (8)
Tidak ada bukti dari infeksi langsung HIV terhadap sel saraf. Oleh
karena itu, mekanisme yang terlibat dalam neuropatogenensis adalah lesi
pada sel penyokong dan sitokin inflamasi (TNF, radikal bebas, Platelet

5
Activating Factor, Interleukin-1, dan Interferon-y yang dihasilkan oleh sel-
sel tersebut). Selain itu, protein dari HIV seperti gp-120 adalah beracun
terhadap neuron dan sel glia. (8)
HIV telah diidentifikasi terutama pada ganglia basalis dan
hippocampus. Telah dilaporkan bahwa konsentrasi tertinggi berada pada
globus pallidus, nucleus caudatus dan white matter. Bahkan, kerusakan di
nucleus caudatus memiliki peran yang sangat penting dalam
perkembangan gangguan neurokognitif.

Gejala bervariasi dari orang ke orang dan dapat berfluktuasi dari waktu ke
waktu. Berbagai macam fungsi kognitif dapat dipengaruhi, termasuk:
1) penurunan kecepatan pemrosesan Informasi
2) memori jangka pendek dan memori jangka panjang
3) penurunan Kemampuan untuk belajar keterampilan baru dan
memecahkan masalah
4) Penurunan Perhatian dan konsentrasi
5) Penurunan Logika dan Kemampuan Penalaran
6) Penurunan Kemampuan untuk memahami dan
mengekspresikan bahasa

6
7) Penurunan keterampilan Tata Ruang dan koordinasi
8) Penurunan kemampuan Perencanaan dan pengorganisasian

Terdapat juga defisit kecepatan psikomotor; ataxia dan kelemahan


dapat ditemukan. Tanda neurologi yang abnormal termasuk paraparesis,
spastic ekstremitas bawah. Gangguan neuropsikologi ini dapat sering
dikaitkan dengan manifestasi di piramida dan ekstrapiramidal (tremor
distal, ataksia, inkoordinasi) sistem motor. (8,9)
Ketika fungsi kognitif yang agak terpengaruh dan hanya terdeteksi
pada tes neuropsikologis (orang lain tidak melihat gejala apapun), ini
disebut HIV associated asymptomatic neurocognitive impairment. Ketika
fungsi kognitif yang sedikit terpengaruh dan ini mengganggu pekerjaan,
rumah atau kegiatan sosial, ini disebut HIV associated mild neurocognitive
disorder. Ketika fungsi kognitif yang sangat terpengaruh dan ini secara
signifikan mengganggu aktivitas sehari-hari, ini disebut HIV associated
dementia (HAD).

b. Delirium
Delirium adalah nama generik untuk keadaan mental yang umum
dengan beberapa kemungkinan penyebab. Tidak seperti demensia,
delirium biasanya terjadi cukup cepat dan pasien dibawa ke rumah sakit
karena perubahan jelas dalam status mental.
Seseorang yang mengalami delirium memiliki hubungan yang
membingungkan dengan lingkungan. Pasien mungkin tampak bingung,
menunjukkan kebingungan tentang waktu dan lokasi (percaya dia berada
di rumah daripada di rumah sakit), salah mengartikan lingkungan fisik
(melihat benda-benda tertentu sebagai hal-hal yang tidak jelas), dan
bahkan mengalami halusinasi dan ilusi. Gangguan perilaku seperti agitasi
dan agresi adalah gejala yang umum.
Delirium umumnya berkembang pesat selama periode waktu yang
singkat (biasanya jam sampai hari) dan berfluktuasi sepanjang hari.
Delirium, jika tidak ditangani, dapat menyebabkan pingsan, koma, dan

7
bahkan kematian. Kematian dapat setinggi 20%. Hal ini dianggap sebagai
darurat medis. Menemukan penyebab dari delirium dapat menjadi
menyelamatkan nyawa.
Sejumlah faktor membuat orang dengan AIDS sangat rentan
terhadap delirium. Delirium umumnya terjadi pada orang yang mengalami
sakit fisik, dan lebih mungkin dengan penyakit parah. Banyak penyakit
otak terkait HIV dan kebanyakan obat HIV juga dapat menyebabkan
delirium. Selain itu, dua subtipe delirium, intoksikasi zat delirium dan
substance-withdrawal delirium mungkin lebih umum pada orang dengan
HIV.
Dalam beberapa kasus, komplikasi dari sistem saraf pusat termasuk
sindrom kejiwaan, delirium, kejang dan gangguan kognitif, mungkin
mungkin merupakan hasil dari obat antiretroviral yang menembus SSP.
AZT dan efavirenz, yang keduanya digunakan untuk mengobati
komplikasi SSP karena kemampuannya menembus blood brain barrier,
dapat menyebabkan komplikasi neuropskiatri yang signifikan.
Delirium pada AIDS dapat disebabkan oleh sejumlah faktor dalam
kombinasi termasuk kelainan metabolik, sepsis, hipoksemia, anemia,
infeksi SSP dan keganasan, hampir semua obat terkait HIV, opioid, dan
zat terlarang. Infeksi HIV awal juga dapat menyebabkan delirium.
Delirium ditandai oleh perubahan kewaspadaan atau kognisi dan
ketidakmampuan untuk berkonsentrasi atau memproses rangsangan
eksternal. Delirium dapat menyebabkan pergeseran yang cepat dan tak
terduga dari satu keadaan emosional kepada keadaan yang lain. Seseorang
mengalami masalah dengan siklus tidur, termasuk kantuk di siang hari,
malam hari agitasi, dan gangguan pada kesinambungan tidur harus
dievaluasi untuk delirium. Gangguan emosi, seperti kecemasan, ketakutan,
depresi, mudah tersinggung, marah, euforia, dan apatis juga harus
dievaluasi.
Delirium sering membawa serta perubahan di tingkat energi.
Subtipe Delirium yang mempengaruhi aktivitas psikomotor meliputi

8
"hiperaktif" (atau gelisah, hyperalert), dan "hypoactive" (lesu, hypoalert)
atau mixed delirium.
Pada hari-hari sebelum timbulnya delirium, pasien mungkin
mengalami kegelisahan, kecemasan, mudah tersinggung, distractibility
atau gangguan tidur. Tanda-tanda prodromal biasanya berkembang
menjadi delirium full-blown dalam waktu satu sampai tiga hari.
Tantangan utama dalam mendiagnosis delirium adalah untuk
membedakan delirium dari demensia. Hal ini terutama berlaku ketika
merawat orang dengan penyakit HIV lanjut (AIDS) karena HIV Associated
Dementia sangat umum terjadi. Delirium memiliki onset mendadak, dalam
hitungan jam, sedangkan demensia harus memiliki masalah memori
dengan penurunan berfungsi untuk setidaknya satu bulan. Seorang dokter
harus membedakan delirium dari demensia dan juga menentukan apakah
pasien memiliki delirium saja, atau keduanya. Hal ini juga penting untuk
membedakan delirium kondisi kejiwaan lainnya, termasuk depresi,
hypomania, dan bahkan psikosis.

9
2. Gangguan Fungsional
Saat seseorang diberitahu bahwa dia terinfeksi HIV maka
responnya beragam. Pada umumnya dia akan mengalami lima tahap yang
digambarkan oleh Kubler Ross yaitu penolakan, marah, tawar-menawar,
(11)
depresi dan penerimaan. Respon permulaan ini biasanya akan
dilanjutkan dengan respons lain sampai pada akhirnya dapat menerima.
Penerimaan seseorang tentang keadaan dirinya yang terinfeksi HIV belum
tentu juga akan diterima dan didukung oleh lingkungannya. Beban yang
diderita Odha baik karena gejala penyakit yang bersifat organik maupun
beban psikososial dapat menimbulkan rasa cemas. Depresi berat bahkan
sampai keinginan bunuh diri.
a. Depresi
Depresi adalah sindrom kejiwaan yang paling umum dilaporkan
dalam studi antara orang yang terinfeksi HIV. Depresi besar pada populasi
HIV-positif meningkat sekitar dua kali lipat di atas mereka dalam sampel
masyarakat yang sehat. Tingkat depresi telah berkisar dari 5 sampai 25
persen atau bahkan lebih tinggi(12). Di antara pasien depresi, 20 persen
menyatakan keinginan kematian, 12 persen melaporkan ideations bunuh
diri sesekali, dan 6 persen melaporkan ideations bunuh diri terus-menerus
sedangkan 8 persen telah membuat upaya untuk melakukan bunuh diri.
Terutama semua orang yang telah mencoba bunuh diri, memiliki sejarah
masa lalu dari penyakit jiwa. Semua upaya bunuh diri yang dilakukan
selama minggu pertama setelah diketahuinya status seropositif.
Ada beberapa hambatan diagnosis depresi pada orang yang
terinfeksi HIV. Pertama, pasien sering tidak membahas suasana hati atau
emosi dengan profesional perawatan kesehatan mereka karena takut akan
stigma. Kedua, profesional perawatan kesehatan dapat melihat depresi
sebagai reaksi normal terhadap infeksi daripada memperlakukannya
sebagai kondisi yang perlu penilaian, rujukan dan pengobatan. Akhirnya,
kesulitan dalam mendiagnosis depresi karena gejala somatik seperti
kelelahan, kehilangan nafsu makan, konsentrasi yang buruk dapat

10
mempersulit diagnosis pada orang yang terinfeksi HIV sakit secara fisik.
Untuk mengatasi hal ini, gejala psikologis kardinal depresi harus dicari
untuk konfirmasi diagnosis. Ini termasuk suasana hati sedih, kehilangan
minat atau kesenangan, merasa tidak berharga, bunuh diri, perasaan gagal
atau dosa. Profesional kesehatan harus mendorong ekspresi emosi di klinik
dan membutuhkan pelatihan dalam penilaian sindrom kejiwaan.
Gejala dari depresi terbagi menjadi 2 kategori yakni gejala afektif
dan gejala somatik. Gejala afektif meliputi afek depresif, perasaan
bersalah, putus asa bahkan terdapat ide untuk bunuh diri. Sedangkan gejala
somatik meliputi penurunan berat badan, gangguan tidur, agitasi, mudah
lelah, dan penurunan konsentrasi. (12,14)
Terdapat beberapa obat HIV yang memiliki efek samping yang
dapat menjadi pemicu terjadinya depresi, dan gejala psikologi yang lain
yaitu:

Oleh karena itu, sangat sulit membedakan gejala klinik depresi yang
disebabkan oleh penerimaan pasien terhadap HIV ataupun efek samping
pengobatan, kecuali kita memperoleh informasi mengenai onset perubahan
perilaku dari pasien.

11
b. Anxietas
Anxietas adalah gejala yang umum terjadi pada pasien HIV. Ketika
sebuah gejala anxietas menjadi berat atau menetap, maka pasien tersebut
mengalami gangguan anxietas. Gangguan ini termasuk gangguan
penyesuaian, OCD, gangguan panik, PTSD, dan cemas menyeluruh.
Orang yang memiliki riwayat gangguan anxietas dan depresi berat adalah
mereka yang memiliki keterbatasan dukungan sosial. Seiring berjalannya
waktu, anxietas pada pasien HIV dapat semakin memburuk.

D. Farmakoterapi
1. Terapi Kausal
Suatu daftar yang terus berkembang berisi agen yang bekerja
dengan cara yang berbeda dengan cara yang berbedadalam replikasi virus
untuk pertama kalinya menumbuhkan harapan bahwa HIV dapat disupresi
secara permanen atau benar-benar dieradikasi oleh tubuh. Rekomendasi
terkini menganjurkan bahwa pengobatan sebaiknya dimulai dengan terapi
tripel yaitu kombinasi dua penghambat transkriptase ditambah satu
inhibitor protease. Terapi tripel dapat digunakan untuk orang yang telah
mengalami kontak seksual tak terduga dengan pasangan yang berpotensi
terinfeksi. Agen antiretroviral memiliki banyak efek samping, yang paling
penting bagi psikiater adalah bahwa penghambat protease dimetabolisme

12
oleh sistem oksidase sitokrom P450 hepatik dan oleh karena itu dapat
meningkatkan kadar beberapa obat psikotropik yang dimetabolisme
dengan cara serupa. Obat tersebut mencakup Bupropion (wellbutrin),
meperidin (Demerol), berbagai jenis benzodiazepine dan SSRI. Oleh
karena itu harus berhati-hati meresepkan psikotropik kepada orang yang
mengonsumsi penghambat protease.
2. Terapi Simptomik
a. Dimentia
Pasien HIV dengan gejala Demensia dapat diterapi dengan obat-
obatan psikotropik yang digunakan untuk meringankan gejala-gejala
khusus seperti kelemahan psikomotor, dan agitasi.
b. Delirium
Pada pasien delirium, gejala seperti kebingungan atau agitasi dapat
diberikan neuroleptic dengan dosis rendah (haloperidol, dan
risperidon).
c. Depresi
Pasien dapat merasakan gejala depresi yang bervariasi, beberapa
gejala dapat diringankan melalui pengobatan anti depresan. Misalnya
pada pasien yang sulit tidur, dapat diberikan anti depresan yang
memiliki efek sedative.
d. Anxietas
Pasien dengan infeksi HIV lebih sensitif terhadap efek samping
obat. Pasien ini juga dapat merespon anxiolytics dengan dosis yang
lebih rendah. Benzodiazepine, busiprone, SSRI, dan TCA adalah
golongan pengobatan yang digunakan untuk mengobati gangguan
cemas.

13
E. Psikoterapi
Psikoterapi adalah suatu cara pengobatan terhadap masalah
emosional seorang pasien yang dilakukan oleh seorang terlatih dalam
hubungan professional secara dengan maksud hendak menghilangkan,
mengubah, atau menghambat gejala-gejala yang ada, mengoreksi perilaku
yang terganggu dan mengembangkan pertumbuhan kepribadian secra
positif.
Tema psikodinamik pasien terinfeksi HIV mencakup menyalahkan
diri sendiri, harga diri, dan masalah tentang kematian. Psikiater dapat
membantu pasien mengatasi perasaan bersalah seputar perilaku yang
menyebabkan dirinya terkena infeksi atau AIDS. Seluruh pendekatan
psikoterapetik mungkin sesuai untuk pasien dengan gangguan trkait HIV.
Baik terapi individu maupun kelompok menjadi lebih efektif. Terapi
individu dapat bersifat jangka pendek dan jangka panjang dan dapat
berupa suportif, kognitif, perilaku dan psikodinamika.
Psikoterapi supportif pada pasien HIV bertujuan untuk menguatkan
daya mental yang ada, mengembangkan mekanisme yang baru dan yang
lebih baik untuk mempertahankan kontrol diri, mengembalikan
keseimbangan adaptif (dapat menyesuaikan diri). Seperti berupa bujukan,
sugesti, bimbingan, penyuluhan, hipnoterapi. Psikoterapi kelompok
berguna untuk membebaskan individu dari stress, membantu para anggota
kelompok agar dapat mengerti lebih jelas sebab kesukaran mereka;
membantu terbentuknya mekanisme pembelaan yang lebih baik, yang
dapat diterima dan yang lebih memuaskan. Agar proses kelompok berjalan
lancer maka, individu harus diterima sebaik-baiknya sebagaimana adanya
dan pembatasan yang tidak perlu dihindarkan dan diskriminasi.

14
BAB III

TINJAUAN KASUS

A. Konsep Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

a. Identitas

Meliputi nama, umur, tempat dan tanggal lahir

b. Riwayat

Test HIV positif, riwayat perilaku beresiko tinggi, menggunakan obat-

obatan

c. Keadaan Umum

Pucat, kelaparan

d. Gejala Subjektif

Demam kronik dengan atau tanpa mengigil, keringat malam hari

berulang kali, lemah, lelah, anoreksia

e. Psikososial

Kehilangan pekerjaaan dan penghasilan, perubahan pola hidup

f. Status Mental

Marah atau pasrah, depresi , ide bunuh diri, halusinasi

g. HEENT

Nyeri perorbital, sakit kepala, edema muka, mulut kering

15
h. Neurologis

Gangguan refleks pupil, nystagmus, vertigo, ketidakseimbangan , kaku

kuduk, kejang, paraplegia

i. Muskoloskletal

Focal motor deifisit, lemah, tidak mampu melakukan ADL

j. Kardiovaskular

Takikardi, sianosis, hipotensi, edem perifer, dizziness

k. Pernapasan

Dyspnea, takipnea, sianosis, SOB, menggunakan otot bantu

pernapasan, batuk produktif atau non produktif.

l. GI

Intake makan dan minum menurun, mual, muntah, BB menurun, diare,

inkontinensia, perut kram, hepatosplenomegali, kuning

m. Gu

Lesi atau eksudat pada genital,

n. Integument

Kering, gatal, rash atau lesi, turgor jelek, petekie positif

2. Diagnosa Keperawatan

a. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imunosupresi,

malnutrisi dan pola hidup yang beresiko.

b. Resiko tinggi infeksi (kontak pasien) berhubungan dengan infeksi

HIV, adanya infeksi nonopportunisitik yang dapat ditransmisikan.

16
c. Tidak efektif koping keluarga berhubungan dengan cemas tentang

keadaan yang orang dicintai

3. Intervensi
NO Diagnosa Intervensi Rasional
1. Resiko tinggi infeksi 1. Monitor tanda- 1. Untuk
berhubungan dengan tanda infeksi baru. pengobatan dini
imunosupresi, 2. gunakan teknik 2.Mencegah pasien
malnutrisi dan pola aseptik pada terpapar oleh
hidup yang beresiko. setiap tindakan kuman patogen
invasif. Cuci yang diperoleh di
tangan sebelum rumah sakit.
meberikan 3.Mencegah
tindakan. bertambahnya
3. Anjurkan pasien infeksi
metoda mencegah 4.Meyakinkan
terpapar terhadap diagnosis akurat
lingkungan yang dan pengobatan
patogen.
5.Mempertahankan
4. Kumpulkan
spesimen untuk kadar darah yang
tes lab sesuai
terapeutik
order.
5. Atur pemberian
antiinfeksi sesuai
order

2. Resiko tinggi infeksi 1. Anjurkan pasien 1.Pasien dan


atau orang keluarga mau dan
(kontak pasien)
penting lainnya memerlukan
berhubungan dengan metode mencegah informasikan ini
transmisi HIV dan
infeksi HIV, adanya 2.Mencegah
kuman patogen
infeksi lainnya. transimisi infeksi
nonopportunisitik 2. Gunakan darah HIV ke orang lain
yang dapat dan cairan tubuh
ditransmisikan. precaution bial
merawat pasien.

17
Gunakan masker
bila perlu.
3. Tidak efektif koping 1. Kaji koping 1.Memulai suatu
keluarga berhubungan keluarga terhadap hubungan dalam
dengan cemas tentang sakit pasein dan bekerja secara
keadaan yang orang perawatannya konstruktif dengan
dicintai. keluarga.
2. Biarkan keluarga
mengungkapkana 2.Mereka tak
perasaan secara menyadari bahwa
verbal mereka berbicara
secara bebas
3. Ajarkan kepada
keluaraga tentang 3.Menghilangkan
penyakit dan kecemasan tentang
transmisinya. transmisi melalui
kontak sederhana.

18
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Sebagian besar HIV/AIDS berakibat fatal. Sekitar 75% pasien
yang didiagnosis AIDS meninggal 3 tahun kemudian. Penelitian
melaporkan ada 5% kasus pasien terinfeksi HIV yang tetap sehat secara
klinis dan imunologis.
Kenali bahwa penegakan diagnosis AIDS sangat menimbulkan
distress pada pasien karena dampak sosial yang ditimbulkan oleh penyakit
tersebut dan prognosis tidak menggembirakan. Pasien dapat kehilangan
pekerjaan dan rasa aman finansial selain itu kehilangan dukungan keluarga
dan sahabat-sahabatnya. Lakukan tindakan yang terbaik untuk membantu
pasien mengatasi perubahan citra tubuh yang menjadi beban emosional
akibat sakit yang serius dan acaman kematian.
Manifestasi psikiatrik yang sering dijumpai berhubungan dengan
infeksi HIV berupa gangguan fungsional seperti depresi, cemas, gangguan,
hingga keinginan untuk bunuh diri. Dapat juga dijumpai gangguan mental
organik seperti demensia dan delirium. Meskipun begitu, juga dapat
dikhawatirkan perubahan suasana afektif dari pasien ini juga dipengaruhi
oleh obat-obatan HIV/AIDS. Sehingga seorang psikiater harus lebih
mampu melihat gangguan ini apakah berasal dari penolakan pasien
terhadap penyakitnya maupun efek samping pengobatannya.
Perlunya pertimbangan psikoterapi pada proses pengobatan pasien
HIV/AIDS sehingga tidak hanya berorientasi pada penyembuhan gejala
tetapi juga dengan melihat aspek psikiatri dari pasien.

19
B. Saran

Diharapkan kepada pembaca untuk memberikan kritik dan


sarannya agar bermanfaat untuk kita semua terutama bagi kami penulis.
Harapannya tujuan dari makalah ini dapat memasyarakat dan
terimplementasi dengan baik.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Anthony S. Fauci, H Clifford Lane. Human Immunodeficiency Virus Disease:


AIDS and Related Disorders. In: DL Kasper, SL Hauser, JL Jameson, AS
Fauci, DL Longo, J Loscalzo, ed. by. Harrison’s Principles of Internal
Medicine. 19th ed. New York: Mc Graw Hill Education. 2015. p1215-1227
2. World Health Organization. HIV/AIDS and Mental Health [Internet]. 2008.
Available from: http://apps.who.int/gb/ebwha/pdf_files/EB124/B124_6-
en.pdf
3. Sadock B. Neuropsychiatric Aspect of HIV Infection and AIDS. In: Sadock B,
Sadock V, ed. by. Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry. 10th ed. New
York: Lippincott Williams & Wilkins; 2007. p. 372-379.
4. Ances B, Clifford D. HIV Associated Neurocognitive Disorders and The
Impact of Combination of Antiretroviral Therapy. NCBI. November 2008.
Nov; 8(6): p455–461.
5. Prabha S. Chandra, Geetha Desai, Sanjeev Ranjan. HIV and Psychiatric
Disorder. Department of Psychiatry, Indian J Med Res. April 2005. pp 451-
467
6. Horwath E, Nash S. Psychiatric Manifestations of HIV Infection and AIDS.
Psychiatric Times. 2005
7. Birkhead G, Maki G. Mental helath Care for People with HIV Infection. 1st
ed. New York: AIDS Institute New York State Department of Health;. 2015

21

Anda mungkin juga menyukai