Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

PENCATATAN DAN AKTA PERKAWINAN

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah : Hukum Perdata Islam Indonesia

Dosen Pengampu : Dr. Rokhmadi, M.Ag.

Disusun Oleh :

Fajar Siddiq 1602046083


Ayu Azizaah 1602046105

IF A3

PROGRAM STUDY ILMU FALAK


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2016

1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkawinan merupakan suatu hal yang urgen dalam realita kehidupan
umat manusia. Pernikahan adalah suatu ikatan batin antara seorang pria
dengan wanita yang menjadi hubungan suami istri dengan harapan menjadi
keluarga sakinah, mawaddah, warohmah. Selain itu, nikah juga sangat
dianjurkan Karena dengan menikah seseorang bias menundukkan
pandangannya dan menjaga kemaluaannya serta untuk meyempurnakan
sebagian dari agamanya. Seseorang yang mulanya haram untuk dikumpuli,
maka dengan menikah seseorang itu akan menjadi halal bagi pasangannya.
Oleh Karena itu, dalam perkawinan juga tidak luput dari syarat-syarat
yang harus dipersiapkan sebelum melaksanakan, serta rukun-rukun yang harus
ada dalam pelaksanaan pernikahan tersebut. Agar pernikahan yang
diselenggarakan sah, maka perlu kiranya terpenuhi syarat dan rukun tersebut.
Selain itu, kita sebagai warga negara Indonesia juga perlu mencatatkan
dan mempunyai akte perkawinan, sehingga memiliki bukti yang jelas bahwa
dua orang tersebut telah membentuk keluarga. oleh karenanya dalam
kesempatan ini, kami akan mengulas perihal syarat dan rukun nikah, serta
bagaimana pencatatan serta akte pernikahan di Indonesia, sebagai bekal
pengetahuan kita dimasa medatang. Karena tidak bisa dipungkiri, semua
manusia akan menempuh itu, kecuali orang-orang tertentu. Oleh karena itu,
kami hendak membahas dalam makalah ini mengenai definisi Perawinan,
Syarat dan Rukun Perkawinan, Pencatatan Perkawinan, dan Akta Nikah.

2
PEMBAHASAN

A. Definisi Perkawinan
perkawinan dan pernikahan dalam literatur fikih berbahasa arab
disebut dengan dua kata, yaitu nikah dan zawaj. kedua kata tersebut dipakai
orang arab dalam komunikasi sehari-hari dan terdapat dalam Al-Quran dan
hadis Nabi SAW. kata na-ka-ha bayak terdapat dalam Al-Quran dengan arti
kawin, sebagaimana dalam surat an-Nisa’ ayat 3:1
‫وإن خفتم أالّ تقسطىا في اليتامى فاوكحىاماطاب لكم مه الىساء مثىى وثالث ورباع فئن خفتم‬
‫أالَتعدلىا فىاحدة‬

“Dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap anak yatim,
maka kawinilah perempuan-perempuan lain yang kamu senangi, dua
tiga atau empat orang, dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil,
cukup satu orang.”2
Begitupun dengan kata za-wa-ja dalam Al-Quran yang berarti kawin,
seperti pada surat al-Ahzab ayat 37:

...‫فلما قضى زيد مىها وطرا زوّخىاكها لكي ال يكىن على المؤمىيه حرج فى أزواج أدعيائهم‬

“maka tatkala bila zaid telah mengakhiri keperluan (mencerikan)


istrinya, kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan
bagi orang mukmin utuk mengawini mantan istri anak-anak angkat
mereka.”3
Perkawinan menurut etimologi adalah ‫والىطئ‬ ‫الضم‬ yaitu
mengumpulkan dan wathi’, sedangkan menurut terminologi adalah ‫عقد مشتمل‬
‫ على األركان والشروط‬yakni suatu akad yang mencakup beberapa rukun dan
syarat.4 Dalam kitab al-Mahally dipaparkan oleh kalangan ulama Syafi’iyah:

‫عقد يتضمه إباحة الىطء بلفظ اإلوكاح أوالتسويح‬

1
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2006), hlm 35
2
Departemen Agama, Al-Quran dan Terjemahannya (Al-Quran Digital)
3
Ibid.
4
Muhammad bin Qosim, Fathul Qarib, (Surabaya: Imaratullah, tt), hlm 43

3
“Akad atau perjanjian yang mengandung maksud membolehkan
hubungan kelamin dengan menggunakan lafaz na-ka-ha atau za-wa-
ja.”
Definisi diatas mengandung maksud sebagai berikut:
1. ‫ عقد‬: Penggunaan lafaz akad ini untuk menjelaskan bahwa perkawinan
adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh orang-orang atau pihak-pihak
yang terlibat dalam perkawinan. Dibuat dalam bentuk akad Karena ia
adalah peristiwa hukum, bukan peristiwa biologis atau semata hubungan
kelamin antara laki-laki dan perempuan.
2. ‫ يتضمه إباحة الىطء‬: Pada dasarnya hubungan laki-laki dan perempuan itu
adalah terlarang, kecuali hal-hal yang membolehkan secara syara’.
Diantara hal yang membolehkan hubungan kelamin itu adalah adanya
akad nikah diantara keduanya. Dengan demikian, akad itu adalah suatu
usaha untuk membolehkan sesuatu yang asalnya tidak boleh.
3. ‫ بلفظ اإلوكاح أوالتسويح‬: Berarti menggunakan lafaz na-ka-ha atau za-wa-ja,
mengandung maksud bahwa akad yang membolehkan hubungan kelamin
antara laki-laki dan perempuan pasti menggunakan kata na-ka-ha atau za-
wa-ja, sehingga pada masa awal Islam disamping akad nikah ada usaha
yang membolehkan hubungan antara laki-laki dan perempuan yaitu
pemilihan seorang laki-laki atas seorang perempuan atau disebut dengan
“perbudakan.”

Ulama golongan Syafi’iyah memberikan definisi tersebut melihat kepada


hakikat dari akad itu bila dilihat kepada hakikat dari akad yang dihubungkan
dengan kehidupan suami istri sesudahnya, yaitu boleh bergaul sedangkan
sebelum akad tersebut tidak boleh bergaul.5

5
Amir Syarifuddin, Op.cit, hlm 38

4
Ulama’ lain juga mendefinisikan sebagaimana dipaparkan oleh
Abdurrahman al-Juzairi dalam kitabnya al-Fiqih ala Madzahibil Arba’ah
sebagai berikut:

a. Menurut Hanafiyyah, pada hakikatnya nikah adalah wathi’ sedang makna


majaznya yaitu akad. Pendapat ini sama dengan pengertian secara Bahasa,
sebagaimana dalam quran:
‫والتىكحىاماوكح آبائكم مه اوساء إالماقد سلف‬
“Dan janganlah kamu meikahi perempuan-perempuan yang telah dinikahi
oleh ayahmu, kecuali (kejadian masalalu) yang telah lampau.”(Q.S An-
Nisa’ 4:22)6
b. Menurut Syafi’iyyah dan Malikiyyah, nikah pada hakikatnya merupakan
akad, sedangkan secara majaz adalah wathi’. Pendapat ini berlawanan
dengan arti secara Bahasa, sebagaimana arti dari firman Allah:

‫حتى تىكح زوخا غيري‬


“Sampai dia menikah dengan suami yang lain”.(Q.S Al-Baqarah 2:230)7
c. Perserikatan antara akad dan wathi’. Pendapat ini adalah pendapat yang
paling jelas, Karena syara’ terkadang menggunakan akad dan terkadang
juga menggunakan wathi’. Pendapat yang ketiga ini merupakan makna
secara fikih, walaupun ulama’ berbeda pendapat namun pada intinya
kembali pada arti yang sama, yaitu akad nikah adalah aturan syari’ untuk
memposisikan suami dapat mengambil manfaat dengan kemaluan isteri
dan seluruh badannya dengan cara bersenang-senang. Dengan akad nikah
suami akan memiliki manfaat tersebut dan yang menjadi kekhususan
dalam kepemilikannya.8

6
Departemen Agama, Op.cit
7
Departemen Agama, Op.cit
8
Abdurrahman al-Juzairi, al-Fiqih ala Madzahibil Arba’ah, (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, tt), juz
IV, hlm 7-8

5
Pasal 1 UU No. 1 1974 menegaskan bahwa perkawinan ialah ikatan
lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa. menurut hukum Islam sesuai dengan
pasal 2 UU No. 1 1947 adalah pernikahan atau akad yang sangat kuat atau
mitsaqan ghalidzan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah.9

Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa nikah


adalah suatu akad yang menghalalkan seorang suami isteri untuk berkumpul
ataupun wathi’ dengan rukun-rukun tertentu serta syarat-syarat tertentu, untuk
membentuk keluarga sakinah, mawaddah warohmah.

B. Syarat-Syarat Dan Rukun Perkawinan


Syarat dan rukun merupakan suatu perbuatan hukum, terutama yang
menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum.
Keduanya mengandung arti yang sama dalam hal harus adanya kedua hal
tersebut. Begitupun dalam hal perkawinan, syarat dan rukun tidak boleh
tertinggal, dalam arti jika keduanya tidak ada atau tidak lengkap maka
perkawinan tersebut tidak sah.10

Terdapat perbedaan dalam pegertian syarat dan rukun dari segi bahwa
syarat adalah sesuatu yang berada diluar suatu perbuatan dan tidak merupakan
unsurnya, sedangkan rukun merupakan sesuatu yang berada dalam hakikat
dan merupakan bagian atau unsur yang mengujudkan perbuata tersebut.
Syarat itu adakalanya yang berdiri sendiri serta adapula yang berkaitan
dengan rukun atau berlaku untuk setiap unsur yang menjadi rukun.11

9
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1998), hlm 60
10
Amir Syarifuddin, Op.cit, hlm 59
11
Ibid.

6
Hemat penulis, syarat yang dimaksud adalah sesuatu yang harus
dipenuhi terlebih dahulu sebelum perkawinan dilaksanan, karena syarat bukan
menjadi bagian dari pekerjaan itu sendiri. Sedangkan yang dipersyaratkan
dalam hal ini adalah satuan dari rukun nikah. Dalam hal ini yang menjadi
syarat dari lima komponen rukun, yaitu calon mempelai pria, calon mempelai
wanita, wali nikah, saksi nikah serta ijab qobul. Berikut beberapa syarat dari
rukun tersebut:
1. Calon memepelai pria
Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh calon mempelai pria adalah:
a. Beragama Islam
b. Laki-laki
c. Jelas orangnya
d. Dapat memerikan persetujuan
e. tidak terdapat halangan perkawinan
2. Calon mempelai wanita
Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh calon mempelai wanita adalah:
a. Beragama, meskipun Yahudi atau Nasrani
b. perempuan
c. Jelas orangnya
d. Dapat dimintai persetujuan
e. Tidak terdapat halangan perkawinan
3. Wali nikah
Wali nikah sebagai rukun perkawinan, harus memenuhi syarat yang
ada yaitu:
a. Laki-laki
b. Dewasa
c. Mempunyai hak perwalian
d. Tidak terdapat halangan perwaliannya

7
4. Saksi nikah
Saksi nikah sebagai rukun perkawinan, harus memenuhi syarat-syarat
yang ada yaitu:
a. Minimal dua orang laki-laki
b. Hadir dalam ijab qabul
c. Dapat mengerti maksud akad
d. Islam
e. Dewasa
5. Ijab qabul
Ijab qabul sebagai rukun perkawinan harus memenuhi syarat-syarat
berikut, yaitu:
a. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali
b. Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai pria
c. Memakai kata-kata nikah, tazwij, atau terjemahan dari keduanya
d. Antara ijab dan qabul bersambungan
e. Antara ijab dan qabul jelas maksudnya
f. Orang yang berijab qabul tidak sedang dalam ihram umrah atau haji
g. Majelis ijab dan qabuk tersebut minimal dihadiri empat orang, yaitu
calon mempelai pria atau wakilnya, wali dari mempelai wanita atau
wakilnya dan dua orang saksi.
C. Percatatan Perkawinan
Pada mulanya syariat Islam baik Al-Qur’an atau al-Sunnah tidak
mengatur secara konkret tentang adanya pencatatan perkawinan. Ini berbeda
dengan muamalat (mudayanah) yang dilakukan tidak secara tunai untuk
waktu tertentu, diperintahkan untuk mencatatnya. Tuntutan perkembangan,
dengan berbagai pertimbangan kemaslahatan, hukum perdata Islam di

8
Indonesia perlu mengaturnya guna kepentingan kepastian hukum di dalam
masyarakat.12
Al-Quran dan al-Hadis tidak mengatur secara rinci mengenai
pencatatan perkawinan. Namun dirasakan oleh masyarakat mengenai
pentingnya hal itu, sehingga diatur melalui perundang-undangan, baik
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 maupun melalui Kompilasi Hukum
Islam. Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban
perkawinan dalam masyarakat, baik perkawinan yang dilaksanakan
berdasarkan hukum Islam. Pencatatan perkawinan merupakan upaya untuk
menjaga kesucian aspek hukum yang timbul dari ikatan perkawinan. Realisasi
pencatatan itu, melahirkan Akta Nikah yang masing-masing dimiliki oleh istri
dan suami salinanya. Akta tersebut, dapat digunakan oleh masing-masing
pihak bila ada yang merasa dirugikan dari adanya ikatan perkawinan itu untuk
mendapatkan haknya.13
Pemerintah telah melakukan upaya ini sejak lama sekali, karena
perkawinan selain merupakan akad suci, ia juga mengandung hubungan
keperdataan. Ini dapat dilihat dalam Penjelasan Umum nomor 2 (dua)
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai berikut:
“Dewasa ini berlaku berbagai hukum perkawinan bagi berbagai
golongan warga negaranya dan berbagai daerah seperti berikut:
1. Bagi orang-orang Indonesia Asli yang beragama Islam berlaku hukum
agama yang telah diresipir dalam Hukum Adat.
2. Bagi orang-orang Indonesia Asli lainnya berlaku Hukum Adat.
3. Bagi orang-orang Indonesia Asli yang beragama Kristen berlaku Huwelijks
Ordonantie Christen Indonesia (Stbl. 19 Nomor 74).

12
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013, hlm. 91.
13
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: PT Sinar Grafika, 2007, hlm. 26

9
4. Bagi orang Timur Asing Cina dan warga Negara Indonesia keturunan Cina
berlaku ketentuan-ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
dengan sedikit perubahan.
5. Bagi orang-orang Timur Asing lainnya dan warga Negara Indonesia
keturunan Timur Asing lainnya tersebut berlaku Hukum Adat mereka.
6. Bagi orang-orang Eropa dan warga Negara Indonesia keturunan Eropa dan
yang disamakan dengan mereka berlaku Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata.14
Akan halnya tentang pencatatan perkawinan, Kompilasi Hukum Islam
menjelaskannya dalam Pasal 5 bahwa:
1. Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap
perkawinan harus dicatat.
2. Pencatatan pernikahan tersebut, pada ayat (1) dilakukan oleh pegawai
Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam undang-undang nomor 22
tahun 1946 jo.undang-undang Nomor 32 tahun 1954.
Adapun teknis pelaksanaannya, dijelaskan dalam Pasal 6 yang
berbunyi:
1. Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus
dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatatan
Nikah.
2. Perkawinan yang dilakukan diluar pengawasan Pegawai Pencatatan Nikah
tidak mempunyai kekuatan hukum.15
Memerhatikan ketetuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang
pencatatan perkawinan, dapat dipahami bahwa pencatatan tersebut adalah
syarat administratif. Artinya perkawinan tetap sah, karena standar sah dan
tidaknya perkawinan ditentukan oleh norma-norma agama dari pihak-pihak
yang melangsungkan perkawinan. Pencatatan perkawinan diatur karena tanpa

14
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam indonesia, Op. Cit. hlm. 92
15
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam indonesia Op. Cit. hlm. 27

10
pencatatan, suatu perkawinan tidak mempunyai kekuatan hukum. Akibat yang
timbul adalah, apabia salah satu pihak melalaikan kewajibannya, maka pihak
lain tidak dapat melakukan upaya hukum, karena tidak memiliki bukti-bukti
yang sah dan autentik dari perkawinan yang dilangsungkannya. Tentu saja,
keadaan demikian bertentangan dengan misi dan tujuan perkawinan itu sendiri.
Secara lebih rinci, Perturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Bab II
Pasal 2 menjelaskan tentang pencatatan perkawinan:
1. Pencatat perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya
menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat, sebagaimana
dimaksudkan dalam UU No. 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah,
Talak, dan Rujuk.
2. Pencatatan Perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya
menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan
oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil sebagaimana
dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan
perkawinan.
3. Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi tata
cara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai peraturan yang berlaku,
tata cara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 9 PP ini.16
Lembaga pencatatan perkawinan merupakan syarat administratif, selain
substansinya bertujuan untuk mewujudkan ketertiban hukum, ia mempunyai
cakupan manfaat yang sangat besar bagi kepentingan dan kelangsungan suatu
perkawinan. Setidaknya ada dua manfaat pencatatan perkawinan, yakni manfaat
preventif dan manfaat represif.
Manfaat preventif, yaitu untuk menanggulangi agar tidak terjadi
kekurangan atau penyimpangan rukun dan syarat-syarat perkawinan, baik

16
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan), (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2002), hlm. 98.

11
menurut hukum agama dan kepercayaannya itu, maupun menurut perundang-
undangan. Dalam bentuk konkretnya, penyimpangan tadi dapat dideteksi
melalui prosedur yang diatur dalam Pasal 3 PP No. 9 Tahun 1975:
1. Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan
kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat di tepat perkawinan akan
dilangsungkan.
2. Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10
(sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.
3. Pengecualian terhadap waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan sesuatu
alasan yang penting, diberikan oleh Camat atas nama Bupati Kepala
Daerah.17
Perkawinan dianggap sah adalah perkawinan yang dilaksanakan menurut
hukum masing-masing agama dan kepercayaannya dan dicatat menurut
perundang-undangan yang berlaku. Di negara Indonesia ada dua instansi atau
lembaga yang diberi tugas untuk mencatat perkawinan dan perceraian (dan
rujuk). Adapun instansi atau lembaga yang dimaksud adalah :
1. Kantor urusan agama Kecamatan untuk Nikah, Talak dan Rujuk, bagi orang
yang beragama Islam (lihat UU no. 22 tahun 1946 jo. UU No Tahun 1954).
2. Kantor Catatan Sipil (Bugerlijk Stand) untuk perkawinan bagi yang tunduk
kepada :
a. Stb. 1933 Nomor 75 jo. Stb. Nomor 1936 Nomor 607: peraturan catatan
sipil untuk orang Indonesia Kristen, Madura, Minahasa, Ambonia.
b. Stb. 1857 Nomor 23 tentang peraturan perkawinan dilakukan menurut
ketentuan Stb. 1849. Nomor 25 yaitu tentang pencatatan sipil Eropa.
c. Stb. 1917 Nomor 129 pencatatan perkawinan yang dilakukan menurut
ketentuan Stb. 1917 Nomor 130 jo. Stb. 1919 Nomor 81 tentang
peraturan pencatatan sipil campuran.

17
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di indonesia, Op. cit hlm. 95.

12
d. Pencatatan sipil untuk perkawinan campuran sebagaimana diatur dalam
Stb. 1904 Nomor 279.
e. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menegaskan bahwa orang
kristen di Sumatera, Kalimantan, Bali, NTB dan NTT, sebagian di
Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya yang belum diatur tersendiri
sebagaimana tersebut dalam poin-poin di atas, pencatatan perkawinan
bagi mereka ini dilaksanakan dikantor catatan sipil berdasarkan
ketentuan pasal 3-9 peraturan ini.18
D. Akta Nikah
Setelah adanya kesepakatan antara pihak pria dan wanita untuk
melangsungkan perkawinan, yang kemudian kesepakatan itu, diumumkan
oleh pihak Pegawai Pencatatan Nikah dan tidak ada keberatan dari pihak-
pihak yang terkait dengan rencana dimaksud, perkawinan dapat
dilangsungkan. Ketentuan dan tata caranya diatur dalam pasal 10 Peraturan
Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 sebagai berikut:
1. Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman
kehendak perkawinan oleh Pegawai Pencatat seperti pasal 8 PP ini.
2. Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaan itu.
3. Dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-masing
hukum agamanya dan kepercayaanya itu, perkawinan dilangsungkan
dihadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi.19
Kalau perkawinan akan dilangsungkan oleh kedua belah pihak,
Pegawai Pencatat menyiapkan Akta Nikah dan salinanya dan telah diisi
mengenai hal-hal yang diperlukanya, seperti diatur dalam pasal 12 Peraturan

18
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2006, hlm.14-15.
19
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di indonesia, hlm. 28.

13
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Akta Nikah memuat sepuluh langkah
yang harus terpenuhi, yaitu sebagai berikut.
1. Nama, tanggal, tempat lahir, agama / kepercayaan, pekerjaan dan tempat
kediaman suami istri. Apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin,
disebutkan juga nama istri atau suami terdahulu.
2. Nama, agama/kepercayaan, dan tempat kediaman orang tua mereka.
3. Izin kawin sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4), dan (5)
Undang-Undang Perkawinan.
4. Dispensasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (2) Undang-
Undang Perkawinan.
5. Izin pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 Undang-Undang
Perkawinan.
6. Persetujuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) Undang-
Undang Perkawinan.
7. Izin pejabat yang ditunjuk oleh Menhamkam/Pangab bagi Angkatan
Bersenjata.
8. Perjanjian perkawinan apabila ada.
9. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, dan tempat kediaman para
saksi, dan wali nikah bagi yang beragama Islam.
10. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, dan tempat tinggal kuasa
apabila perkawinan dilakukan melalui seorang kuasa.20
Apabila suatu kehidupan suami istri belangsung tanpa Akta Nikah
karena adanya sesuatu sebab, Kompilasi Hukum Islam membuka kesempatan
kepada mereka untuk mengajukan permohonan isbat nikah (penetapan nikah)
kepada Pengadilan Agama sehingga yang bersangkutan mempunyai kekuatan
hukum dalam ikatan perkawinanya. Pasal 7 ayat (2) dan (3) mengungkapkan
sebagai berikut.

20
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di indonesia, hlm. 28.

14
1. Pasal 7 ayat (2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan
Akta Nikah, dapat diajukan isbat nikahnya ke Pengadilan Agama.
2. Pasal 7 ayat (3) Isbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama
terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan:
a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;
b. Hilangnya Akta Nikah;
c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat
perkawinan;
d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974;
e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai
halangan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974.21
Permohonan isbat nikah di atas, menurut pasal 7 ayat (4) Kompilasi
Hukum Islam menyatakan bahwa yang berhak mengajukan permohonan isbat
nikah ialah suami atau istri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang
berkepentingan dengan perkawinan itu.
Pencatatan perkawinan dan aktanya, merupakan sesuatu yang penting.
Berdasarkan Firman Allah dalam surah Al-Baqoroh ayat 282, para pemikir
hukum Islam dahulu tidak ada yang menjadikan dasar pertimbangan dalam
perkawinan mengenai pencatatan dan aktanya, sehingga mereka menganggap
bahwa hal itu tidak penting. Namun, bila diperhatikan perkambangan ilmu
hukum saat ini pencatatan perkawinan dan aktanya mempunyai kemaslahatan
serta sejalan dengan kaidah fikih yang mengungkapkan Darul mafasidu
muqaddamun ala jalabil mashalih. Dengan demikian, pelaksanaan peraturan
pemerintah yang mengatur tentang pencatatan dan pembuktian perkawinan
dengan akta nikah merupakan tuntutan dari perkembangan hukum dalam

21
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : Akademika Pressindo, 1992), hlm 114

15
mewujudkan kemaslahatan umum (mashlahatul mursalah) di Negara Republik
Indonesia.22
Sejalan dengan perkembangna zaman dengan dinamika yang terus
berubah maka banyak sekali perubahan-perubahan yang terus terjadi.
Pergeseran kultur lisan (oral) kepada kultur tulis sebagai ciri masyarakat
modern, menuntut dijadikannya akta, sebagai bukti autentik pernikahan. Saksi
hidup tidak lagi bisa diandalkan tidak saja karena kematian, manusia bisa
mengalami lupa dan khilaf. Atas dasar ini diperlukan sebuah bukti tertulis
untuk dijadikan bukti perbnikahan. Dengan demikian salah satu bentuk
pembaharuan adalah dimuatnya pencatatan perkawinan sebagai salah satu
ketentuan perkawinan yang harus dipenuhi. Hal ini disebut dengan
pembaharuan karena tidak terdapat dalam kitab-kitab fiqih klassik ataupun
fatwa ulama. 23
Adapun perturan pencatatan dapat kita lihat dalam pasal 2 ayat 2 UU No
1/1974 yang berbunyi:
“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku”
Adapun tata cara pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Pemerintah No.
9 tahun 1975 pasal 3 yang berbunyi:
1. Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberikan
kehendaknya kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan
dilangsungkan
2. Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10
hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan

22
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam indonesia, hlm. 30.
23
Amiur Nuruddin & Azhari Akmal, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta : Kencana Prenada
Media Group, 2004, hlm 122

16
3. Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan
suatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat (atas nama) Bupati
Kepala Daerah.
Selain itu, akibat hukum nikah tidak tercatat sebagaimana uraian di
atas, dapat ditarik benang merah bahwa perkawinan tidak tercatat memiliki
akibat hukum yang sangat merugikan kaum wanita dan anak-anak dari
perkawinan tidak tercatat tersebut. Secara hukum, perkawinan tidak tercatat
hanya menempatkan perempuan dalam posisi yang rendah.
Suatu perkawinan yang tidak tercatat akan menghilangkan hak istri
untuk menuntut secara hukum. Dengan kata lain, wanita tidak mendapat
perlindungan hukum. Perkawinan yang demikian bertentangan dengan aspek
kesetaraan gender. Karena itu menurut M. Quraish Shihab, perkawinan yang
tidak tercatat merupakan salah satu bentuk pelecehan terhadap perempuan
karena dapat menghilangkan hak-hak kaum perempuan. Pernikahan apa pun
selain yang tercatat secara resmi di negara hukumnya tidak sah.
Perkawinan tidak tercatat tidak memiliki kekuatan hukum. Dengan
tidak adanya kekuatan hukum, maka suami tidak terikat secara hukum untuk
memenuhi kewajibannya sebagai seorang suami yang harus memberikan
nafkah kepada anak dan istrinya, serta kewajiban kewajiban lainnya, seperti
melindungi istri, memberikan segala keperluan hidup berumah tangga,
menanggung biaya pemeliharaan kesehatan bagi istri dan anak, biaya
pendidikan bagi anak-anaknya, serta menyediakan tempat tinggal yang layak
(Kompilasi Hukum Islam Pasal 80, 81). Tidak adanya keterikatan pada hukum
ini, menjadi salah satu faktor yang menyebabkan suami begitu mudah
mengabaikan kewajibannya terhadap istri dan anak-anak.
Dengan demikian kerugian perkawinan tidak tercatat sebagai berikut:
1. Tidak memiliki akta nikah. Jika bepergian kemudian menginap di hotel
misalnya tidak menutup kemungkinan terkena razia. Karena dianggap
bukan sebagai suami istri. Polisi hanya percaya manakala pasangan pria

17
wanita tersebut dapat memperlihatkan akta nikah. Tentu saja jika ini
terjadi sangat memalukan.
2. Ketika anak lahir akan sulit mendapat akta kelahiran juga akan menjadi
masalah ketika membuat Kartu Tanda Penduduk.
3. Apabila salah satu pasangan suami istri itu meninggal dunia, dalam hal
ini misalnya pihak suami, maka anak tidak memiliki hubungan hukum
dengan bapakknya melainkan hanya pada ibunya. Anak tidak
memperoleh warisan dari bapaknya.
4. Apabila terjadi cerai hidup, maka iastri kehilangan hak untuk menuntut
harta bersama atau waris.
5. Kapan waktu saja suami dapat menikah lagi pada wanita lain tanpa dapat
dituntut oleh istri yang pernikahannya tidak tercatat.24
Selanjutnya beberapa hal mengenai pentingnya suatu akad nikah
dicatatkan:
1. Sebagaimana tersebut dalam tujuan Pencatatan nikah, dengan adanya akta
nikah maka seseorang memiliki bukti yang sah menurut Negara sehingga
jika terjadi suatu masalah, Negara dengan kekuasaannya dapat mengadili.
2. Dalam Syari’ah Islam ketetapan seorang anak Syah hanya dapat
dilakukan dengan ikrar atau pembuktian dengan adanya dua orang saksi.
Namun ketika hal itu tidak dapat menjanjikan lagi maka penacatatan
nikah menjadi hal yang representative untuk mencapai tujuan maslahah.
3. Begitu pentingnya alat bukti dalam satu perkawinan sehingga Rasulullah
pernah menyatakan bahwa nikah tanpa saksi identik dengan perbuatan
zina. Bahkan Nabi SAW mensunahkan untuk mengadaan walimah. 25

24
Khoiruddin Nasution. Hukum Perdata (keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum
Perkawinan di dunia Musim, hlm. 321.
25
Ibid. hlm. 326.

18
PENUTUP

A. Kesimpulan
 perkawinan adalah suatu ikatan batin antara seorang laki-laki dengan
perempuan menjadi hubungan suami istri untuk membentuk keluarga
sakinah, mawaddah dan warahmah, dengan beberapa rukun dan syarat
yang harus dipenuhi terlebih dahulu.
 Rukun adalah suatu hal yang harus ada dalam suatu pekerjaan, yang
menentukan sah tidaknya suatu pekerjaan ersebut serta termasuk bagian
dari pekerjaan itu sendiri. Menurut jumhur ada 5 rukun nikah yaitu calon
mempelai pria, calon mempelai wanita, wali nikah, saksi nikah serta ijab
qabul.
 Syarat adalah suatu hal yang harus ada dalam suatu pekerjaan, yang
menentukan sah tidaknya suatu pekerjaan dan tidak termasuk bagian di
dalamnya. Yang dipersyaratkan dalam hal ini adalah kesatuan dari
masing-masing rukun perkawinan tersebut.
 Pencatatan dan akte perkawinan merupakan suatu hal yang harus ada
dalam perkawinan secara adminstrasi negara di Indonesia untuk
melindungi hak baik suami ataupun istri.

B. Saran
Demikianlah materi yang mampu dipaparkan pemakalah, atas
kekurangan dan kesalahan dalam makalah, kami mohon maaf. Dan atas
perhatian beserta saran yang diberikan, kami ucapkan terimakasih. Semoga
kedepannya akan menjadi koreksi kami bersama.

19
DAFTAR PUSTAKA

Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana


Prenada Media Group, 2006).

Departemen Agama, Al-Quran dan Terjemahannya (Al-Quran Digital)

Muhammad bin Qosim, Fathul Qarib, (Surabaya: Imaratullah, tt),

al-Juzairi, Abdurrahman, al-Fiqih ala Madzahibil Arba’ah, (Beirut: Darul


Kutub al-Ilmiyah, tt), juz IV

Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo


Persada, 1998).

Rofiq, Ahmad . Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja


Grafindo Persada, 2013.

Ali, Zainuddin. Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: PT Sinar Grafika,


2007.

Daud Ali, Mohammad. Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan


Tulisan), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002).

Manan, Abdul. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta:


Kencana Prenada Media Group, 2006.

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : Akademika


Pressindo, 1992).

Nuruddin, Amiur & Azhari Akmal. Hukum Perdata Islam di Indonesia,


Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2004.

Nasution, Khoiruddin. Hukum Perdata (keluarga) Islam Indonesia dan


Perbandingan Hukum Perkawinan di dunia Musim.

20

Anda mungkin juga menyukai