Anda di halaman 1dari 2

Nama : Fajar Siddiq (1602046083)

Kelas : IF A6

HUKUM PROGRESIF

Progresif berasal dari bahasa asing (Inggris) pro gress yang artinya maju. Hukum
Progresif berarti hukum yang bersifat maju. Hukum progresif, diperkenalkan oleh Satjipto
Rahardjo, yang dilandasi bahwa hukum adalah untuk manusia. Satjipto Rahardjo merasa prihatin
dengan rendahnya kontribusi ilmu hukum dalam mencerahkan bangsa Indonesia, dalam
mengatasi krisis, termasuk krisis dalam bidang hukum itu sendiri. Adapun pengertian hukum
progresif, adalah mengubah secara cepat, melakukan pembalikan yang mendasar dalam teori dan
praksis hukum, serta melakukan berbagai terobosan.

Secara lebih sederhana hukum progresif adalah hukum yang melakukan pembebasan,
baik dalam cara berpikir maupun bertindak dalam hukum, sehingga mampu membiarkan hukum
itu mengalir saja untuk menuntaskan tugasnya mengabdi kepada manusia dan kemanusiaan. Jadi
tidak ada rekayasan atau keberpihakan dalam menegakkan hukum. Sebab menurutnya, hukum
bertujuan untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi semua rakyat. Konsep hukum
progresif adalah hukum tidak ada untuk kepentingannya sendiri, melainkan untuk suatu tujuan
yang berada di luar dirinya. Progresifisme hukum mengajarkan bahwa hukum bukan raja, tetapi
alat untuk menjabarkan dasar kemanusiaan yang berfungsi memberikan rahmat kepada dunia dan
manusia.

Asumsi yang mendasari progresifisme hukum adalah pertama hukum ada untuk manusia
dan tidak untuk dirinya sendiri, kedua hukum selalu berada pada status law in the making dan
tidak bersifat final, ketiga hukum adalah institusi yang bermoral kemanusiaan.

Berdasar asumsi-asumsi di atas maka kriteria hukum progresif adalah:

1. Mempunyai tujuan besar berupa kesejahteraan dan kebahagiaan manusia.


2. Memuat kandungan moral kemanusiaan yang sangat kuat.
3. Hukum progresif adalah hukum yang membebaskan meliputi dimensi yang amat luas
yang tidak hanya bergerak pada ranah praktik melainkan juga teori.
4. Bersifat kritis dan fungsional
Nama : Fajar Siddiq (1602046083)
Kelas : IF A6

Hukum Responsif
Sifat responsif diartikan sebagai melayani kebutuhan dan kepentingan sosial yang dialami
dan ditemukan, tidak oleh pejabat melainkan oleh rakyat. Sifat responsif berarti suatu komitmen
kepada “hukum di dalam perspektif konsumen”. Nonet dan Selznick banyak berkonsentrasi
dalam hal antara integritas dan keterbukaan. Integritas artinya suatu institusi dalam melayani
kebutuhan-kebutuhan sosial tetap terikat kepada prosedur-prosedur dan cara-cara bekerja yang
membedakannya dari institusi-institusi lain. Keterbukaan yang sempurna akan berarti bahwa
bahasa institusional menjadi sama dengan bahasa yang dipakai dalam masyarakat pada
umumnya, akan tetapi tidak mengandung arti khusus lagi. Konsep hukum responsif melihat suatu
pemecahan untuk dilema ini yang mencoba untuk mengkombinasikan keterbukaan dengan
integritas.
Dua ciri yang menonjol dari konsep hukum responsif adalah
1. pergeseran penekanan dari aturan-aturan ke prinsip-prinsip dan tujuan.
2. pentingnya kerakyatan baik sebagai tujuan hukum maupun cara untuk mencapainya.
Menurut Nonet dan Selznick, penerimaan maksud memerlukan penyatuan otoritas hukum
dan kemauan politik. Jika maksud menunjuk kepada fungsi dari pemerintah, maka kerakyatan
menunjuk kepada peranan yang sangat menentukan dari partisispasi rakyat dalam hukum dan
pemerintahan serta nilai terakhir yang dipertaruhkan, yaitu tercapainya suatu komunitas politik
yang berbudaya yang tidak menolak masalah-masalah kemanusiaan dan dalam mana ada tempat
bagi semua. Norma kerakyatan dapat diartikan sebagai pernyataan hukum dari suatu etika yang
menghormati manusia sebagai nilai yang paling tinggi bagi kehidupan politik dalam dunia
modern. Norma kerakyatan, pertama: membedakan hukum responsif dari hukum represif dengan
memaksakan adanya penampungan bagi kepentingan-kepentingan manusiawi dari mereka yang
diperintah. Kedua, ia membedakan hukum responsif dari hukum otonom dengan memperlunak
tuntutan tentang kepatuhan kepada aturan-aturan dan mengikuti saluran-saluran prosedural yang
telah ditetapkan dan dengan sikapnya yang lebih menyukai pendekatan integrasi kepada
problem-problem penyelewengan, ketidak patuhan dan konflik. Ketiga, norma kerakyatan
menuntut cara-cara partisipasi dalam pembuatan keputusan.

Anda mungkin juga menyukai