Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

Fikih Hisab Rukyah

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah : Pengantar Ilmu Falak

Dosen Pengampu : Dr. Rupi‟i Amri, M.Ag.

Disusun Oleh :

Fajar Siddiq 1602046083


M Zaidul Kirom 1602046086

IF A3

PROGRAM STUDY ILMU FALAK


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2016

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Hisab dan rukyah pada dasarnya adalah dua sistem perhitungan dalam Islam
untuk menetapkan berbagai aktivitas peribadahan. Keduanya berjalan bersama,
hampir tidak dapat dipisahkan, karena keduanya bersifat saling membantu, saling
melengkapi, saling menutupi kekurangan satu sama lain, sehingga keduanya
sama-sama dapat digunakan untuk penentuan awal bulan karena hisab dan rukyah
dapat saling membantu (simbiosis mutualis). Umat Islam menggunakan hisab
untuk menghitung kapan terjadinya konjungsi dan kapan hilal dapat dilihat,
kemudian mereka melakukan rukyah untuk melihat bulan dan membuktikan, atau
sebagai koreksi apakah saat itu hilal telah benar-benar nampak, untuk kemudian
dapat disimpulkan kapan dimualainya bulan baru.
Hisab dan rukyah terkesan terjadi perbedaan dikarenakan perbedaan sistem
perhitungan hisab dan atau perbedaan kriteria visibilitas hilal dapat terlihat. Hal
ini mengesankan praktik keduanya terkadang tidak sejalan atau tidak bertepatan
satu sama lain dalam persoalan penentuan awal bulan yang menyangkut ibadah.
Berangkat dari hal ini, kami hendak mengangkat tema tentang Fiqih Hisab
Rukyah.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Hisab dan Rukyah?
2. Apa Saja Dalil-dalil Tentang Hisab dan Rukyah?
3. Apa Saja Metode Hisab Rukyah yang Ada di Indonesia?
4. Bagaimana Analisis tentang Problem Hisab dan Rukyah di Indonesia?

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hisab
Kata hisab berasal dari bahasa arab yaitu Hasiba Yahsibu Hisaaban yang
artinya menghitung.1 Dalam bahasa inggris kata ini disebut Arithmatic yaitu ilmu
hitung2. Ilmu pengetahuan yang membahas tentang seluk beluk perhitungan.
Kitab suci Al-Qur‟an menjelaskan kata hisab mempunyai beberapa arti, antara
lain:

   


Artinya: “Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan”(Q.S. Ar-
Rahman: 5).2

            

            
Artinya: “Dan kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu kami
hapuskan tanda malam dan kami jadikan tanda siang itu terang, agar kamu
mencari kurnia dari Tuhanmu, dan supaya kamu mengetahui bilangan
tahun-tahun dan perhitungan. dan segala sesuatu telah kami terangkan
dengan jelas.” (Q.S. Al-Isra: 12).3
Dalam bidang ilmu fiqh, hisab menyangkut penentuan waktu-waktu
ibadah yang digunakan untuk perhitungan waktu dan arah tempat demi
kepentingan pelaksanaan ibadah. Misalnya dalam penentuan auqat as-shalat,
puasa, idul fitri, haji, dan waktu gerhana untuk melaksanakan shalat gerhana. Ilmu
ini juga dimanfaatkan untuk penetapan arah kiblat, agar umat Islam dapat

1
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawir: Kamus Arab Indonesia, Surabaya: Pustaka Progresif,
1997, hlm. 261-261
2
Depag RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: Ponogoro, 2005, hlm. 77
3
Ibid, hlm. 92.

3
mengerjakan shalat dengan arah yang tepat menuju Ka‟bah yang merada di
Masjid al-Haram. 4
Penetapan waktu dan arah tersebut dilakukan dengan perhitungan
terhadap posisi-posisi geometris benda-benda langit. Karena kita berada di planet
Bumi, maka ilmu ini mempunyai tiga benda langit yang menjadi objek utama
pembahasannya adalah Matahari sebagai pusat tata surya kita saat ini. Bumi
sebagai rumah kita dan satelitnya, Bulan. Tiga benda inilah yang biasanya
digunakan oleh para ahli falak maupun astronomi kaitannya dalam menentukan
arah juga waktu-waktu di muka bumi.5
Hisab awal bulan Qamariyah kegiatannya tidak lain untuk
menentukan kedudukan hilal pada saat terbenam matahari yang diukur dengan
derajat. Kegiatan ini dilakukan orang pada saat-saat terjadi ijtima (conjuntion)
pada bulan-bulan Qamariyah. Di kalangan umat Islam, ilmu falak dan ilmu faraidl
sangat dikenal dengan ilmu hisab. Dikarenakan kegiatan yang menonjol pada
keduanya adalah menghitung. Namun di Indonesia disebutkan ilmu hisab, maka
yang di maksud adalah ilmu falak.6

               
Artinya: “Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan
malam pun tidak dapat mendahului siang. dan masing-masing beredar
pada garis edarnya.” (Q.S. Yasin: 40).7

            
Artinya: “Dan dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari
dan bulan. masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis
edarnya.” (Q.S Al-Anbiya: 33).8

4
Majlis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Pedoman Hisab
Muhammadiyah, Yogyakarta: Majlis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2009, cet.
II, hlm. 2.
5
Robert H.Baker, Astronomy, New York, D.Van Nostrand Company,hal. 10.
6
Badan Hisab Rukyah Depertemen Agama, Almanak Hisab Rukyah, Jakarta: Proyek Pembinaan
Badan Peradilan Islam, 1981, hlm. 14
7
Depertemen Agama RI, op.cit, hlm. 442.
8
Ibid, hlm. 324.

4
Ilmu hisab pada garis besarnya ada dua macam yaitu “Ilmiy dan Amaliy”.
Ilmu falak ilmy yaitu ilmu yang membahas teori dan konsep benda-benda langit.
Sedangkan ilmu falak „amaly‟ adalah ilmu yang melakukan perhitungan untuk
mengetahui posisi dan kedudukan benda-benda langit antara satu dengan yang
lainnya. Ilmu falak amaly inilah yang oleh masyarakat umum dikenal dengan ilmu
falak atau ilmu hisab.9
B. Pengertian Rukyah
Kata rukyah juga berasal dari bahasa arab yaitu ra‟a yaraa ra‟yatan yang
artinya melihat. Adapun yang dimaksud adalah melihat bulan baru sebagai tanda
masuknya awal bulan Qamariyah dan dilaksanakan pada saat matahari terbenam
pada tiap tanggal 29 bulan Qamariyah.
Kata rukyah secara harfiyah diartikan melihat. Sedangkan arti yang umum
adalah melihat dengan mata kepala. Secara istilah, rukyah adalah melihat atau
mengamati hilal pada saat matahari terbenam menjelang awal bulan Qamariyah
dengan mata atau teloskop. Dalam ilmu Astronomi dikenal dengan observasi. Arti
rukyah secara istilah, kaitannya dalam penentuan awal bulan Qamariyah
mengalami berbagai perkembangan sesuai dengan fungsi dan kepentingan
penggunaannya.10
Semula, pengertian rukyah adalah melihat hilal pada saat Matahari
terbenam pada akhir bulan Sya‟ban dan Ramadhan dalam rangka menentukan
awal bulan Qamariyah berikutnya. Jika pada saat matahari terbenam tersebut hilal
dapat dilihat, maka malam itu dan keesokan harinya merupakan tanggal satu bulan
baru, sedangkan jika hilal tidak tampak maka malam itu dan keesokan harinya
merupakan tanggal 30 bulan yang sedang berlangsung atau dengan kata lain di
istikmalkan (disempurnakan) menjadi 30 hari.11
Dalam perkembangan selanjutnya, melihat hilal tersebut tidak hanya
dilakukan pada akhir Sya‟ban dan Ramadhan saja, namun juga pada bulan-bulan
lainnya terutama menjelang awal-awal bulan yang ada kaitannya dengan waktu

9
Robert H.Baker, Astronomy, New York, D.Van Nostrand Company,hal. 13.
10
Susiknan Azhari, op.cit, hlm. 130.
11
Depaq RI, Pedoman Teknik Rukyah, Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam
dan Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1994, hlm. 1

5
pelaksanaan ibadah atau hari-hari besar Islam. Bahkan untuk kepentingan
pengecekan hasil hisab.12
Jika kita melihat pada zaman dahulu, sarana peralatan yang digunakan
untuk pelaksanaan rukyah hanya dilakukan dengan mata telanjang, tanpa alat.
Hanya melihat kearah ufuk bagian barat, tidak tertuju pada posisi tertentu. Dari
keadaan seperti ini timbul istilah rukyah bi al‟ain dan rukyah bi al‟fi‟li. Namun
setelah kebudayaan manusia semakin maju, maka pelaksanaan rukyah pun secara
berangsur dilengkapi dengan sarana prasarana serta berkembang terus menuju
kesempurnaan sesuai dengan perkembangan teknologi.
Hanya saja, ketika melakukan rukyah matahari pada saat itu terbenam atau
sesaat setelah itu langit sebelah barat berwarna kuning kemerah-merahan.
Sehingga, antara cahaya hilal yang putih kekuning-kuningan dengan warna langit
yang melatar belakanginya tidak begitu kontras. Oleh sebab itu, bagi mata yang
kurang terlatih melakukan rukyah tentunya akan menemukan kesulitan
menentukan hilal yang dimaksudkan. Apalagi apabila di ufuk barat terdapat awan
tipis atau awan tebal tidak merata atau bahkan orang yang melakukan rukyah
tidak mengetahui pada posisi mana dimungkinkan hilal akan tampak, tentunya
akan mengalami kesulitan.13
Begitu juga cara pelaksanaan rukyah pun tidak hanya sekedar melihat
keatas ufuk bagian barat. Hal ini sebagai akibat ketidaktahuan ilmu astronomi dan
ilmu hisab. Namun setelah kedua ilmu ini dapat dikuasai, pelaksanaan rukyah pun
dapat dilakukan dengan lebih baik. Pelaksana dapat mengarahkan alatnya pada
posisi dimana diperkirakan hilal berada.14

B. Dasar Hukum Hisab Rukyah


1. Dasar Hukum al-Qur’an
a. Surat Yunus ayat 5

12
Ibid, hlm. 2
13
Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Buana Pustaka, 2004, Cet 1,
hlm. 3.
14
Muhyiddin Khazin, op.cit, hlm. 174

6
           

             
Artinya: “Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan
bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi
perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan
perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu
melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya)
kepada orang-orang yang mengetahui.”(Q.S. Yunus: 5).15

b. Surat ar-Rahman ayat 5


  
Artinya : “Matahari dan bulan (beredar) menurut
perhitungannya”(Q.S.Ar-Rahman: 5).19

c. Surat al-Baqarah ayat 189

             

              

 
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah:
"Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat)
haji; dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya,
akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. dan
masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah
kepada Allah agar kamu beruntung.” (Q.S Al-Baqarah ayat 189).
Syaikh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berpendapat bahwa Allah telah
menjadikan hilal sebagai tanda waktu bagi manusia pada hukum-hukum yang
ditetapkan dengan syariat, seperti halnya puasa, haji, masa „ila, „iddah dan kafarat
puasa. Kelima hal ini disebutkan dalam Al-Qur‟an. Selain itu termasuk juga puasa
nadzar, hutang-piutang, zakat, jizyah, sumpah, perjanjian damai dan hukum-
hukum lainnya.
15
Ibid, hlm. 306

7
Di lain tempat Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa tanda-tanda waktu bagi
manusia itu dibatasi dengan sesuatu yang nampak dan jelas. Bermula dari sinilah
akhirnya orang mengatakan bahwa dalam menentukan awal bulan Ramadhan
harus berpegang kepada rukyatul-hilal, bukan dengan berpegang kepada hisab.
Karena melihat hilal dapat dilakukan oleh semua orang, berbeda dengan hisab
yang hanya dapat diketahui oleh orang-orang tertentu. Kemudian beliau juga
merekomendasikan bahwa hilal tidak akan dinamakan hilal meski telah terbit di
langit, tetapi tidak nampak dari permukaan Bumi. Dinamakan hilal bila telah
terlihat dan diberitahukan kepada khalayak ramai.16
Ayat pertama dan kedua surat Yunus ayat 5 dan ar-Rahman ayat 5
mengandung pengertian bahwa matahari dan bulan beredar dan bercahaya yang
dijadikan pedoman waktu untuk manusia. Terutama untuk pelaksanakan ibadah
shalat dan puasa. Sedangkan dalam surat al-Baqarah ayat 189 menjelaskan
tentang hilal (bulan sabit muda) dapat dijadikan pedoman dalam pelaksanaan
ibadah haji.17

2. Dasar Hukum Dari Hadits


a. Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim

‫إِ َذا َرأَ ْيتُ ْم ْال ِه ََل َل فَصُى ُمىا َوإِ َذا َرأَيْتُ ُمىهُ فَأ َ ْف ِطرُوا فَإ ِ ْن ُغ َّم َعلَ ْي ُك ْم فَصُى ُمىا ثَ ََلثِيهَ يَىْ ًما‬
"Jika kalian telah melihat hilāl, maka berpuasalah, dan apabila kalian
melihatnya kembali, maka berpuasalah. Namun, bila bulan itu tertutup
dari pandangan kalian (karena awan), maka berpuasalah sebanyak tiga
puluh hari."18
ُ ‫ََل تَصُى ُمىا َحتَّى تَ َروْ ا ْال ِه ََل َل َو ََل تُ ْف ِطرُوا َحتَّى ت ََروْ هُ فَإِ ْن أُ ْغ ِم َي َعلَيْ ُك ْم فَا ْق ِدرُوا لَه‬

16
Ibnu Taimiyah, Muqaddimah fii Ushuulit Tafsir, hal. 675.
17
Azhari, Susiknan. Ilmu Falak: Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern, Suara
Muhammadiyah, Yogyakarta, 2007.
18
HR. Bukhari, kitab : Ṣiyām, bab : qaulu an-Nabī, “Idha raiatum al-hilāl faṣūmū…”, no : 1863 ; dan
Muslim, kitab : Ṣiyām, bab : wujūbu Ṣaumi Ramaḍān liru’yati al-hilāl…, no : 1080

8
"Janganlah kalian berpuasa hingga kalian melihat hilāl dan jangan pula
berbukan hingga melihatnya (terbit) kebali. Namun, jika bulan itu tertutup
dari pandanganmu, makan hitunglah."19

Ada beberapa yang berpendapat bahwa kata “melihatnya” bermakna


melihat “melihat bulan” dalam artian “melihat tanggal” telah ditetapkannya,
bukan bulan dalam artian sebenarnya. Namun, kita harus juga melihat hadist-
hadist shahih yang lain karena sabda nabi begitu banyaknya sebagai keterangan
kepada para sahabat dan umatnya. Maka dengan demikian akan ditemukan makna
yang pasti dari hadist tersebut.
b. Dari Abdurrahman bin Zaid bin Al Khaththab, bahwa dia berkhuthbah di
hari yang diragukan :
َ‫ فَإ ِ ْن ُغ َّم َعلَ ْي ُك ْم فَأَتِ ُّمىْ ا ثََلَثِ ْيه‬,‫ صُىْ ُمىْ ا لِر ُْؤيَتِ ِه َوأَ ْف ِطرُوْ ا لِر ُْؤيَتِ ِه‬: ‫ َح َّدثُىْ وِي أَ َّن َرسُىْ َل هللا قَا َل‬.

Sesungguhnya mereka menyampaikan kepada saya bahwa Rasulullah


Shallallahu „alaihi wa Sallam bersabda : “Berpuasalah kamu karena
melihat hilal (bulan) dan berbukalah kamu karena melihat hilal. Jika
terhalang (oleh mendung) maka genapkanlah (istikmal) 30 hari.” (HR
Bukhari Muslim).20
c. Rasulullah SAW bersabda:
‫صىمىا لرؤيته وأفﻁروا لرؤيته فإنغﻡ عليﮑﻡ فأكملوا عﺩﺓ ﺸﻌﺒان ﺜَلﺜين‬
Artinya: “Berpuasalah kalian karena melihat (ru‟yah) hilal, dan
berbukalah karena melihat hilal. Maka jika ia tertutup awan bagimu,
maka sempurnkanlah bilangan Sya‟ban tiga puluh.” (HR.Bukhori dan
Muslim)21
Dalam hadits tersebut digunakan kata kerja perintah (fi‟il amar) “‫”صىمىا‬
(berpuasalah) dan “‫( ”وأفﻁروا‬berbukalah atau berlebaranlah) dan indikasi
(qarinah)-nya “‫( ”لرؤيته‬karena melihat bulan). Dalam kajian Ushul Fiqh, “melihat
bulan” ini disebut dengan sebab. Dan kata “‫”صىمىا‬dan “‫ ”وأفﻁروا‬ini secara umum
ditujukan untuk umat muslim seluruhnya. Para ulama‟ sepakat bahwa “perintah
itu menunjukkan suatu kewajiban” (al-ashl fi al-amar li al- wujub). Dan perintah

19
HR Muslim, kitab : Ṣiyām, bab : wujūbu Ṣaumi Ramaḍān liru’yati al-hilāl…, no : 1080
20
HR al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (III/24) dan Shahiih Muslim (III/122)
21
ibid, (Shahiih al-Bukhari (III/25) dan Shahiih Muslim (III/124)

9
hadits itu ditujukan pada seluruh umat Islam di dunia. Namun pelaksanaan
rukyahnya tidak diwajibkamn kepada seluruhnya bahkan mungkin hanya
perseorangan.22
Secara lahiriah, hadits di atas menunjukkan bahwa perintah melakukan
rukyah itu ditujukan bagi setiap umat Islam. Namun dalam realitasnya tidak
demikian, tidak semua orang muslim memulai puasa dengan melihat hilal terlebih
dahulu, bahkan mayoritas orang berpuasa berdasarkan pada berita tentang
terlihatnya hilal dari orang lain. Dengan kata lain, berdasarkan seseorang atau
beberapa orang yang mengaku melihat hilal.
Dalam tafsir Imam Almaraghi dikatakan bahwa sabda Rasuluulah SAW
itu tidaklah mewajibkan rukyah untuk setiap orang yang hendak memulai puasa
Ramadhan. Akan tetapi, hanyalah ditujukan kepada salah seorang atau sebagian
orang dari mereka. Rukyah hilal cukup dilakukan oleh seseorang yang adil,
demikian pendapat jumhur ulama‟. Pendapat lain mengharuskan dua orang yang
adil.
As-San‟ani mengatakan, bahwa menurut lahirnya hadits itu
mengisyaratkan rukyah bagi segenap orang, tetapi telah terjadi ijma‟ yang
menetapkan bahwa rukyah itu cukup dicapai pleh seseorang atau dua orang yang
adil. An-Nawawi juga menerangkan bahwa rukyah itu cukup dicapai oleh dua
orang yang adil di antara kaum muslimin tidak disyaratkan setiap orang harus
melakukan rukyah.23
Dari hadis-hadis di atas muncul permasalahan-permasalahan kompleks,
permasalahan yang data kita ambil adalah apakah perkataan “Shuumuu” yang
pernah dikatakan Rasulullah itu khitabnya untuk seluruh umat islam yang berada
di seluruh penjuru dunia yang apabila salah seorang di antara mereka melihat
hilal, maka seluruh umat muslim di pelosok negeri juga ikut berpuasa atau hanya
mereka yang berada dalam satu mathla‟ saja yang diwajibkan berpuasa.24

22
Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, Semarang, C. V Toha Putra, 1
1988, hlm. 156
23
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah I, Bandung : PT Al-Ma’arif, t.th, hlm. 213
24
Ibid, hal 214.

10
Prof. Dr. Muhammad Quraisy Shihab dalam tafsirnya Al-Misbah
mengatakan tidak wajib bagi kita untuk menyamakan ketetapan awal dan akhir
puasa dengan kerajaan Arab Saudi, karena masing-masing Negara berbeda
mathla‟nya.
Dari beberapa pendapat para ulama di atas dapat diambil kesimpulan
bahwa hadis Nabi saw.”Shuumuu” itu khitabnya hanya untuk masyarakat muslim
yang mathla‟nya tidak berbeda. Dan ulama telah sepakat bahwa mathla‟ hilal
berbeda-beda.dan hal itu diketahui secara bukti empiris dan logik. Akan tetapi
mereka berselisih tentang diberlakukan atau tidak (perbedaan mathla‟ tersebut)
dalam memulai puasa Ramadhan dan mengakhirinya. Ada dua pendapat:
1. Sebagian imam fiqih berpendapat, bahwa perbedaan mathla‟ diberlakukan
dalam menentukan awal dan akhir puasa.
2. Sebagian mereka tidak memberlakukannya. Dan masing-masing kelompok
berlandaskan Al-Qur‟an, As-Sunnah serta Qiyas.25

C. Kelebihan Dan Kelemahan Metode Hisab dan Rukyat


Kelebihan dan kekurangan metode hisab rukyah diantaranya:26
Kelebihan dari menggunakan metode hisab dalam menentukan awal bulan
hijriyah adalah keefektifan waktu yang terpakai dan ketepatan hasil hisab karena
telah didukung dengan data-data astronomis dan kaidah-kaidah ilmiyah. Apalagi
jika ahli hisab memakai metode hisab modern atau kontemporer. Sehingga para
ahli hisab tidak perlu repot-repot untuk mempersiapkan alat-alat yang digunakan
oleh rukyatul hilal. Sedangkan kelemahannya terletak saat menggunakan alat
hitung yang tidak sempurna sehingga hasilnya dapat berbeda dengan ahli hisab
yang lainnya. Selain itu banyaknya macam dalam metode hisab mengakibatkan
berbada juga hasilnya, antara lain hisab urfi dengan hasil hisab modern atau
kontemporer.
Kelebihan dalam menggunakan metode rukyat ketika menentukan awal
bulan hijriyah adalah kita telah mengikuti apa yang Rasulullah SAW perintahkan.
25
Bashori, Muhammad Hadi. Pengantar Ilmu Falak,Pustaka Alkautsar, Jakarta: 2015. Hal. 34.
26
Azhari, Suskinan. Hisab dan Rukyat: Wacana untuk Membangun Kebersamaan di Tengah
Perbedaan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007.hal. 32.

11
Selain itu, menggunakan metode rukyat ini akan memberikan keyakinan atas apa
yang perukyat lihat berupa pergantian bulan secara langsung. Adapun salah satu
kekurangan dalam menentukan awal bulan hijriyah dengan metode rukyat adalah
hasil rukyat tidak dapat digunakan untuk menyusun almanak atau kalender
tahunan. Begitu pula hasil rukyat sering diragukan karena dipengaruhi unsur
subjektif yaitu adanya perbedaan paham antara suatu ormas dengan ormas lain
dan metode rukyat juga tergantung dengan kondisi alam.27

D. Metode Hisab Rukyah Indonesia


Perkembangan ilmu hisab di Indonesia menghasilkan beragam metode atau
sistem penetapan awal bulan Qamariyah. Sehingga memunculkan adanya
pengelompokan dari berbagai metode dan sistem yang ada. Pengelompokan ini
berangkat dari adanya persamaan dan perbedaan cara, alat, dan data yang dipakai
oleh setiap metode atau sistem penetapan.28Metode yang digunakan dalam hisab
rukyah pada dasarnya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Metode Hisab
Sistem hisab adalah penentuan awal bulan Qamariyah yang didasarkan
kepada perhitungan peredaran bulan mengelilingi bumi. Sistem ini dapat
menetapkan awal bulan jauh sebelumnya. Sebuah sistem yang tidak tergantung
kepada terlihatnya hilal pada saat matahari terbenam menjelang masuknya tanggal
satu. Metode hisab ini dikembangkan oleh Muhammadiyah dalam penentuan awal
bulan Qamariyah, dengan menggunakan hisab Wujud al-Hilal. Maksudnya,
mengandung pengertian posisi hilal sudah positif di atas ufuk dengan keadaan
matahari terbenam lebih dahulu dari pada bulan. Istilah hisab wujudul hilal
sebagaimana dikemukakan oleh Oman Fathurrahman, pakar falak
Muhammadiyah.29
Hanya saja kriteria hisab yang digunakan antara Muhammadiyah dan
Kementrian Agama RI berbeda. Perbedaan itu adalah Muhammadiyah
27
Bashori, Muhammad Hadi. Pengantar Ilmu Falak,Pustaka Alkautsar, Jakarta: 2015. Hal. 43.
28
Fairus Sabiq, op.cit, hlm. 108.
29
Majlis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Pedoman Hisab
Muhammadiyah, Yogyakarta: Majlis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2009, cet.
II, hlm. 9

12
menggunakan kriteria wujud al-hilal sedangkan Pemerintah (Kementrian Agama
RI) dengan kriteria imkan ar-rukyah. Kedua kriteria ini jelas sangat berbeda.
Hisab wujud al-hilal adalah konsep hisab yang menyelidiki keberadaan hilal.
Dengan kata lain, jika secara hisab hilal sudah ada, maka menurut kriteria hisab
wujud al-hilal, awal bulan Qamariyah baru sudah bisa ditetapkan. Sedangkan
dengan kriteria imkan ar-rukyah adalah kriteria hisab yang memungkinkan hilal
bisa dilihat. Aplikasinya, sekalipun menurut hisab hilal sudah ada tetapi tidak
memungkinkan untuk dilihat, maka awal bulan baru belum bisa ditetapkan.30
Metode ini adalah metode dengan menggunakan perhitungan astronomis
dalam penentuan awal bulan Qamariyah. Metode tersebut dapat dibedakan
menjadi 2 macam yaitu:
a. Hisab Urfi
Hisab urfi adalah sistem perhitungan yang didasarkan pada peredaran rata-
rata bulan mengelilingi bumi dan ditetapkan secara konvensional. Sistem ini tidak
berbeda dengan kalender masehi. Bilangan hari pada tiap bulan berjumlah tetap
kecuali pada tahun-tahun tertentu yang jumlahnya lebih panjang satu hari. Sistem
hisab ini tidak dapat digunakan dalam menentukan awal bulan Qamariyah untuk
pelaksanaan ibadah. Karena menurut sistem ini umur bulan Sya‟ban dan
Ramadhan adalah tetap yaitu 29 hari untuk bulan Sya‟ban dan 30 hari untuk bulan
Ramadhan.
Sebenarnya sistem ini sangat baik dipergunakan dalam penyusunan
kalender, sebab perubahan jumlah hari tiap bulan dan tahun adalah tetap dan
beraturan, sehingga penetapan jauh kedepan dan kebelakang dapat diperhitungkan
dengan mudah tanpa melihat data peredaran bulan dan matahari yang
sebenarnya.31
b. Hisab Hakiki
Hisab hakiki adalah hisab yang didasarkan pada perdaran bulan dan bumi
yang sebenarnya. Menurut sistem ini umur bulan tidaklah konstan dan juga tidak
beraturan melainkan bergantung posisi hilal setiap bulan. Sehingga umur bulan

30
Ibid, hal. 11.
31
Moedji Raharto Tarmi, op cit, yang dikutip dari Mohammad Ilyas, A Modern Guide to Islamic
Calendar, Times & Qibla, 1984, hlm. 55

13
bisa jadi berturut- turut 29 hari atau 30 hari bahkan boleh jadi bergantian
sebagaimana dalam hisab urfi.
Dalam praktek perhitungan. Sistem ini mempergunakan data sebenarnya
dari gerakan bulan dan bumi serta mempergunakan kaidah-kaidah ilmu ukur
segitiga bola. Sistem hisab hakiki dianggap lebih sesuai dengan syara‟.
Disebabkan, dalam prakteknya sistem ini memperhitungkan kapan hilal akan
muncul atau wujud. Sehingga sistem inilah yang kemudian dipergunakan orang
dalam menentukan awal bulan yang ada kaitannya dengan pelaksanaan ibadah.
i. Hisab Haqiqi Taqribi
Dalam bahasa arab, “Taqrobu” berarti pendekatan atau aprokmasi. Hisab
taqribi adalah sistem hisab yang sudah menggunakan kaidah-kaidah astronomis
dan matematis, namun masih menggunakan rumus-rumus sederhana sehingga
hasilnya kurang teliti. System hisab ini merupakan warisan dari para Ilmuan Falaq
Islam masa lalu dan hingga sekarang system hisab ini menjadi acuan
pembelajaran hisab di berbagai pesantren di Indonesia.
ii. Hisab Haqiqi Tahqiqi
Hisab ini merupakan pengembangan dari sistem hisab haqiqi yang diklaim
oleh penyusunnya memiliki tingkat akurasi yang sangat tinggi sehingga mencapai
derajat pasti. Derajat pasti ini sudah dibuktikan secara ilmiah dengan
menggunakan kaidah-kaidah ilmiah juga. Dan perhitungannya telah menggunakan
system komputerisasi sehingga bilangan angka tidak ada yang terpotong. Contoh
hisab haqiqi tahqiqi adalah Alfalaqiyah Nurul Anwar.32
Mengenai metode rukyah, diantaranya ada metode Rukyah bi al-Fi’li.
Istilah ini berati melihat atau mengamati hilal dengan mata ataupun dengan
teleskop pada saat matahari terbenam menjelang bulan baru Qamariyah. Apabila
hilal berhasil dilihat maka malam itu dan keesokan harinya ditetapkan sebagai
tanggal satu untuk bulan baru. Sedangkan apabila hilal tidak berhasil dilihat
karena gangguan cuaca, maka tanggal satu bulan baru ditetapkan pada malam hari
berikutnya atau bulan di istikmalkan menjadi 30 hari.33

32
Ahmad ghazali M Fathullah, Addurrul Aaniq, Laajnah Falakiyah almubaraq lanbuan, hal. 4
33
Ibid, hlm. 5

14
E. Analisis Problem Hisab Rukyah Di Indonesia.
Pada dasarnya hisab dan rukyah yang dijadikan proses dalam menentukan
awal bulan, itu merupakan dua hal yang saling menguatkan satu sama lain,
keduanya dapat saling membantu (simbiosis mutualisme). Adapun beberapa
permasalahan dalam hisab rukyah meliputi persoalan penentuan awal waktu
sholat, persoalan penentuan arah kiblat, persoalan penentuan gerhana Matahari
dan Bulan, dan persoalan penentuan awal bulan Qamariyah.
Melalui kedua metode inilah secara garis besar persoalan hisab rukyah dapat
dipilah ke dalam dikotomi Mazhab Hisab dan Mazhab Rukyah. Dan selama ini
hanya persoalan dalam penentuan awal bulan qamariah saja yang secara aktual
menampakkan perbedaan dari kalangan Mazhab Hisab dan kalangan Mazhab
Rukyah, sedangkan untuk permasalahan lainnya lebih banyak persamaannya dari
pada perbedaannya.
Namun, perbedaan dalam hal penentuan awal bulan Qamariyah, khususnya
pada bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah sebagai pemicu perbedaan
seringkali menjadi polemik tersendiri bagi umat Islam yang membuat umat
menjadi bingung, bahkan timbul keresahan dan pertentangan yang mengancam
ukhuah islamiyyah. Oleh karenanya, menurut penulis perlu diadakan penyatuan,
setidaknya dengan dua tahap. Pertama, penyatuan teoritistis, dan kedua,
penyatuan dalam teknis penetapan awal bulan.
Pertama, penyatuan teoristis. Sebaiknya dibentuk sebuah wadah yang
menghimpun para ahli, baik ahli hisab, rukyah, fiqih, astronomi, dan ahli-ahli
terkait lainnya bersama dengan ormas-ormas yang ada di Indonesia yang secara
terus menerus melakukan koordinasi dan peningkatan kualitas, sehingga pada
akhirnya terjadi keseragaman sistem dan paham yang dapat menyatukan umat
dalam menetapkan awal bulan. Minimal awal bulan Ramadhan, Syawwal,
dan Dzulhijjah.
Pada dasarnya, penyebab utama perbedaan dalam penetapan awal bulan
adalah adanya perbedaan kriteria tentang hilal dapat di rukyah. Muhammadiyah
yang lebih dikenal dengan aliran hisab saat ini lebih cenderung menggunakan

15
wujudul hilal. Sistem wujudul hilal ini menjadikan kriteria itu bisa jadi kurang
dari 2º, padahal kriteria kurang dari 2º menyebabkan hilal tidak dapat atau sulit
dirukyah meskipun dengan menggunakan alat bantu optik sekalipun. Praktis hal
ini membuat aliran ini tidak pernah bertemu paham dengan aliran rukyah yang
mensyaratkan masuknya bulan adalah hilal dapat dirukyah.
Untuk itulah menurut penulis, kedua mazhab hisab rukyah diharapkan
saling toleran dalam menyikapi persoalan-persoalan hisab rukyah, yaitu
Muhammadiyyah dan ormas lain sebagai madzhab hisab menaikkan kriteria, yang
semula wujudul hilal atau dengan ketinggian hilal kurang dari 2o, dinaikkan
menjadi 2º, atau wujudul hilal plus. Sedangkan NU dan ormas lain sebagai
madzhab ru‟yah menurunkan kriteria derajatnya menjadi 2º. Karena dengan
visibilitas hilal 2º, maka hilal telah dapat diru‟yah walaupun dengan alat bantu,
sedangkan jika visibilitas hilal kurang dari 2º, sangat mustahil hilal dapat
diru‟yah.
Kedua, penyatuan dalam teknis penetapan awal bulan. Setelah ditemukan
kesepakatan tentang metode, kriteria visibilitas hilal, sehingga dapat ditetapkan
masuknya awal bulan, maka secara teknis penetapan awal bulan, terutama
bulan Ramadhan dan Syawwal serta Idul Adha dilakukan oleh pemerintah dengan
tegas.
Dengan konsep yang demikian, diharapkan kaidah yang menyatakan
Hukmul hakim ilzamun wa yarfa‟ul khilaf (keputusan hakim atau pemerintah itu
mengikat dan menyelesaikan pendapat) dapat benar-benar terealisasi karena
seluruh komponen masyarakat dan ormas mematuhinya. Sehingga kemaslahatan
umum, keseragaman, dan bersatunya umat ada di depan mata.

16
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan
1. Hisab dan rukyah dapat digunakan untuk penetapan awal bulan. Keduanya
terbukti memiliki hasil temuan yang sama apabila menggunakan visibilitas
dan kriteria yang sama. Sehingga kedua metode tersebut dapat saling
membantu, kait-mengait dan melengkapi (simbolis mutualisme).
2. Persoalan penentuan awal bulan qomariyyah sering kali berbeda karena
perbedaan paham dan kriteria penentuannya. Hal itu sering diwarnai dengan
ketetapan beberapa organisasi kemasyarakatan seperti NU dan
Muhammadiyyah yang sering berbeda dan mengakibatkan perbedaan dalam
menetapkan awal bulan dan berhari raya.
3. Untuk penyatuan dan keseregaman, penulis menawarkan dua tahap dalam
rangka penyatuan penetapan awal bulan. Yakni pertama,penyatuan dalam
teoritistis, dan kedua, penyatuan dalam teknis penetapan awal bulan.

B. Saran
Demikianlah makalah ini kami buat. Kami menyadari bahwa makalah
yang kami buat jauh dari pada sempurna dan juga masih banyak kesalahan. Untuk
itu kami harapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca agar
dalam pembuatan makalah selanjutnya menjadi lebih baik, semoga makalah ini
dapat memberikan manfaat kepada kita.

17
DAFTAR PUSTAKA

Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-mughirah al-Ju‟fi. Shahi
Bukhari, bab shaum.

Ahmad ghazali M Fathullah, Addurrul Aaniq, Laajnah Falakiyah almubaraq


lanbuan, hal. 4

Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, Semarang, C. V


Toha Putra, 1988,

Azhari, Susiknan. Ilmu Falak: Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern,
Suara Muhammadiyah, Yogyakarta, 2007.

Azhari, Suskinan. Hisab dan Rukyat: Wacana untuk Membangun Kebersamaan


di Tengah Perbedaan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007.

Baker, Robert H., Astronomy, New York, D.Van Nostrand Company,


Bashori, Muhammad Hadi. Pengantar Ilmu Falak,Pustaka Alkautsar, Jakarta: 2015.

Depag RI, Al Qur‟an dan Terjemahnya, Semarang: Ponogoro, 2005.

Ibnu Taimiyah, Muqaddimah fii Ushuulit Tafsir.

Majlis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Pedoman Hisab


Muhammadiyah, Yogyakarta: Majlis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat
Muhammadiyah, 2009, cet. II.

Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Buana
Pustaka, 2004, Cet 1,

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah I, Bandung : PT Al-Ma‟arif, t.th.

18

Anda mungkin juga menyukai