Anda di halaman 1dari 26

Nama : Ria Riona Syarif

NIM : 4424216042
Kelas : Kimia B

Jurnal Komputasi
1. Pemodelan konduktivitas ion dalam struktur -Li2Sc3(PO4)3 (Modeling Ionic
Conductivity in -Li2Sc3(PO4)3 Structure)
 Latar Belakang
Penggunaan minyak bumi secara terus menerus sebagai bahan bakar disamping
akan menurunkan cadangan sumber energi, juga menghasilkan emisi gas CO2 sebagai
pemicu perubahan iklim secara global. Salah satu alternatif sumber energi yang
potensial sebagai pengganti minyak bumi adalah baterai. Baterai merupakan salah
satu sumber energi yang ramah lingkungan, dan dapat diaplikasikan dalam berbagai
bidang kehidupan mulai dari mobil sampai microchip (Tarascon dan Armand, 2008).
Baterai yang dikembangkan pada abad ini adalah baterai yang dapat diisi ulang
(recargeable lithium batery) yang berbasis litium karena ion Li+ paling elektropiositif
(-3,40 V) dan paling ringan sehingga dapat memfasilitasi desain sistem penyimpanan
dengan kerapatan energi lebih tinggi (Tarascon dan Armand, 2001). Baterai litium
yang dapat diisi ulang merupakan baterai masa depan yang menjanjikan karena
memiliki tegangan sel lebih tinggi, kerapatan energi lebih tinggi, dan retensi muatan
lebih lama. Penggunaan konduktor ion litium.
Material elektrolit yang diaplikasikan untuk baterai, seperti polimer dan larutan
nonaqueous tidak memenuhi syarat pada kekompakan ukuran, integritas, dan
kestabilan pada suhu tinggi (Suzuki, et al.,1997). Sementara, konduktor ion litium
memenuhi syarat untuk diaplikasikan sebagai elektrolit dalam sistem baterai.
Konduktor superionik litium menunjukkan konduktivitas ion cukup tinggi pada suhu
ambien. Bykov et al. Melaporkan bahwa senyawa Li2Sc3(PO4)3 merupakan
konduktor ion litium yang memiliki konduktivitas ion tinggi. Senyawa tersebut
mempunyai tiga fasa sruktur, yaitu fasa alfa monoklin yang terbentuk sampai suhu
187 °C; fasa beta monoklin yang terbentuk antara suhu 187 °C dan 245 °C dengan
struktur yang sama dengan fasa alfa, namun sel satuannya lebih besar; dan fasa gama
ortorombik yang terbentuk pada suhu di atas 245 °C. Fasa gama menunjukkan
konduktivitas superionik (Bykov et al., 1990).
Pemahaman konduksi ion Li+ dalam struktur ᵞ-Li2Sc3(PO4)3 akan memudahkan
untuk mengetahui mengapa konduktivitas ionnya tinggi, dan juga untuk mendesain
material baru dengan cara melakukan doping ᵞ-Li2Sc3(PO4)3 dengan dopan tertentu.
Hal itu dapat dijelaskan melalui simulasi komputasi konduksi ion sebelum melakukan
sintesis (eksperimen) sehingga dapat menghemat waktu dan biaya. Penelitian ini
melaporkan hasil simulasi komputasi konduksi ion Li+ dalam strukur ᵞ-Li2Sc3(PO4)3
dengan menggunakan metode bond valence sum.
 Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode bond valence sum
(BVS). Metode BVS telah berhasil digunakan untuk memodelkan pergerakan kation
dalam material padatan, seperti Na+ dalam NASICON (natrium superionic conductor)
dan K+ dalam KFeAs2O7 (Mazza, 2001 dan Querfelli, et al. 2007). Model yang
disimulasikan tersebut berkesesuain baik dengan hasil-hasil ekperimen. Dalam peneli-
tian ini, pergerakan litium atau geometri konduksi untuk lintasan ion Li+ dalam -
Li2Sc3(PO4)3 diprediksi dengan menggunakan metode BVS. Metode ini menyatakan
bahwa valensi suatu ion merupakan jumlah seluruh valensi ikatan ion-ion tetangga
terdekat yang mengelilinginya.
Source code berbasis BVS yang digunakan dalam penelitiain ini adalah
JUMPITER (Mazza, 2010). Program ini mensimulasi efek gaya listrik eksternal yang
bertindak pada ion litium sehingga nilai BVS ion litium dapat dipetakan. Pemetaan
litium dalam -Li2Sc3(PO4)3 dilakukan sebagai berikut: ion litium ditempatkan
pada suatu posisi (x, y, z), sebagai posisi awal dengan nilai BVS terendah, kemudian
ion tersebut digerakkan menurut arah tertentu. Ion litium akan bergerak secara bebas
menuju nilai BVS yang paling rendah dalam struktur padatan. Gerakan litium tersebut
merupakan proses berkesinambungan. Setelah mencapai trajektori tertentu, ion litium
akan mudah mencapai posisi berikutnya dalam kisi, yang biasanya dikenal sebagai
posisi berdasarkan kristalografi. Kemudian, nilai BVS diplot terhadap jarak, sehingga
dapat ditentukan rongga titik kisi yang kecil atau besar dan potensial penghalang yang
terjadi.
Hasil simulasi BVS divisualisasikan dengan menggunakan perangkat lunak
VESTA (Momma dan Izumi, 2008) dan origin. VESTA digunakan untuk
menggambarkan struktur tiga dimensi Li2Sc3(PO4)3 dan lintasan ion Li+, sementara
origin digunakan untuk membuat grafik BVS terhadap jarak perpindahan ion Li+.
 Hasil Penelitian
𝛾-Li2Sc3(PO4)3 merupakan senyawa litium superionik konduktor. Konduktivitas
ionnya dapat dianalisis melalui struktur dan lintasan ion Li+-nya, yang dijelaskan
berikut ini. Struktur -Li2Sc3(PO4)3 Data kristalografi 𝛾-Li2Sc3(PO4)3 yang
digunakan dalam penelitian ini bersumber dari inorganic crystal structure data
(ICSD) dengan nomor kode 50421 (Suzuki, et al., 1998). Struktur fasa 𝛾 -
Li2Sc3(PO4)3 itu memiliki tipe yang sama dengan NASICON, LiM2(PO4)3 (M =
Ti, Ge, Zr, Hf) (Aono et al., 1990; Ado et al., 1992; Saito, et al., 1992). Dalam
struktur 𝛾 -Li2Sc3(PO4)3, sebagaimana yang disketsakan dalam Gambar 1, ion P5+
berkoordinasi tetrahedral dengan oksigen (PO4), dan ion Sc3+ berkoordinasi
oktahedral dengan oksigen (ScO6), sementara ion Li+ mengisi posisi interstisi di
antara polihedral PO4 dan ScO6. Ada empat jenis posisi kristalografi yang tersedia
untuk ion litium dalam struktur Li2Sc3(PO4)3. Struktur gama mempunyai tiga posisi
(state) litium yang terisi parsial dan satu posisi terisi penuh, sementara posisi litium
untuk struktur alfa dan beta terdapat tiga posisi litium yang terisi penuh dan satu
posisi kosong (Bykov, et al., 1990). Adanya tiga posisi litium yang terisi sebagian
dalam struktur gama, maka ion litium dapat berpindah dari satu posisi ke posisi lain.
Perpindahan ion tersebut melalui suatu jalur yang panjang yang dapat disebut
sebagai lintasan ion. Oleh karena itu, gama Li2Sc3(PO4)3 mempunyai konduktivitas
yang tinggi dibandingkan dengan struktur alfa dan betanya.
Gambar 1. Struktur 𝛾 -Li2Sc3(PO4)3. Ion P5+ berkoordinasi tetrahedral dengan ion
O2-, ion Sc3+ berkoordinasi oktahedral dengan O2-, dan ion Li+ menempati posisi
interstisi, dan pada posisi itu terdapat posisi kosong yang memicu terjadinya
konduksi ion Li+. Lintasan Konduksi Ion Li+ dalam Struktur - Li2Sc3(PO4)3
Lintasan ion litium dalam struktur 𝛾 - Li2Sc3(PO4)3 dipelajari dengan menggunakan
metode BVS. Metode ini dapat menganalisis atau memodelkan struktur kristal
anorganik (Brown 1978; Keffe, 1990). Pauling menyatakan bahwa valensi suatu ion
(Vi) sama dengan jumlah seluruh valensi ikatan (Sij) yang dibentuk dengan ion-ion
tetangganya. Aturan BVS itu dirumuskan:
Vi = ∑ 𝑆𝑖𝑗 (1)
Persamaan di atas menunjukkan hubungan empiris antara valensi ikatan dan panjang
ikatan atau jarak antara ion i dan j (Rij) yang dirumuskan:

𝑆ij = exp (R0 - Rij)


(𝑏)
dimana Ro adalah konstanta dan b adalah tetapan universal yang biasanya bernilai
0,173. Dalam penelitin ini, nilai Ro dan b masing-masing adalah 0,516 Å dan
1,171Å.

Hasil simulasi komputasi BVS dalam strurktur -Li2Sc3(PO4)3 menunjukkan


terjadinya perpindahan ion-ion litium dari posisi terisi ke posisi kosong.
Perpindahan tersebut melalui suatu rongga yang membentuk saluran dengan nilai
potensial penghalang yang rendah antara 0,675 dan 0,982 (Gambar 2 dan 3). Hal ini
berarti bahwa ion Li+ dalam struktur -Li2Sc3(PO4)3 mudah mengalami migrasi.
Pada Gambar 2, migrasi ion Li+ pada arah [101] terjadi dari posisi Li1 ke Li2
dengan potensial penghalang yang kecil sehingga mudah untuk mencapai posisi ion
Li+ dengan energi terendah (sesuai dengan posisi kristalografi). Namun, pada arah
tersebut juga, migrasi ion Li+ selanjutnya mengalami hambatan (mencapai
bottleneck) dengan potensial penghalang yang sangat tinggi (Gambar 2).

Pada aran [101], migrasi ion Li+ dari posisi Li3 ke Li2 melalui suatu rongga
dengan potensial penghalang yang lebih besar dibandingkan dengan arah [010].
Setelah mencapai BVS maksimum, migrasi ion Li+ ke posisi Li2 melalui suatu
daerah di mana ion Li+ sedikit terhambat akibat kemungkinan terjadi distorsi
polihedral PO4 dan ScO6. Hal itu dapat dilihat dari puncak kecil yang terbentuk
pada arah [101] dalam Gambar 2

1.00
0.95
0.90
S (vu)

0.85

0.80
BV

Li1-Li2-Li3
0.75 Li1-Li2-Li3
0.70
0.65
0 1 2 3 4
Jarak (A)
Gambar 2. BVS ion Li+ terhadap jarak pada arah [010] dan [101] dalam struktur
𝛾 - Li2Sc3(PO4)3.

Pada arah [110] dan [120] atau searah bidang ab, migrasi ion Li+ terjadi secara
berkesinambungan mulai dari Li1 ke Li2 kemudian menuju Li3. Kedua arah migrasi
ion Li+ pada Gambar 3 pada dasarnya sama (ekivalen), yaitu mempunyai pola
migrasi yang sama dan searah dengan bidang ab.
Pola migrasi ion Li+ yang menarik diperhatikan adalah pola migrasi dari Li2 ke
Li3 pada arah [120] dengan nilai BVS maksimum (0,982) mendekati valensi ion Li+
(1). Migrasi ion Li+ yang digambarkan dalam.
Gambar 4 membentuk suatu lintasan konduksi dari Li1 ke Li2 kemudian ke Li3
Gambar 4. Lintasan ion Li+ pada arah [120] dalam Struktur 𝛾 -Li2Sc3(PO4)3:
(a) Lintasan ion Li dalam satu sel satuan, (b) penyederhanaan sketsa lintasan ion Li+
yang dikelilingi oleh ion-ion oksigen tetangga terdekat.
Migrasi ion Li+ dari Li1 ke Li2 lebih mudah dilalui dibandingkan dengan
migrasi dari Li2 ke Li3. Hal itu dapat dilihat dari dua parameter, yaitu (1) nilai BVS
maksimumnya, dimana semakin besar nilainya maka semakin sulit ion Li+
bermigrasi, dan (2) lebar rongga channel yang dilalui oleh ion Li+, sebagaimana
yang ditunjukkan dalam Gambar 5.

Gambar 5. Bentuk dan ukuran tunnel pada arah [120] dalam struktur -
Li2Sc3(PO4)3.
Lebar rongga bottleneck untuk migrasi ion Li+ dalam struktur -Li2Sc3(PO4)3
ber- variasi dari 3,621 Å sampai 5,083 Å. Migrasi Li1 ke Li2 memiliki rongga yang
lebih besar (3,739 Å - 5,083 Å) dibandingkan dengan migrasi dari Li2 ke Li3 yang
memiliki rongga tunnel sekitar 3,621. Akibatnya, migrasi ion dari Li1 ke Li2
membutuhkan energi yang lebih rendah dibandingkan dengan migrasi dari Li2 ke
Li3.
 Kesimpulan
Migrasi ion Li+ dalam struktur 𝛾- Li2Sc3(PO4) telah dimodelkan dengan
menggunakan metode bond valence sum (BVS). Konduksi ion Li+ dapat terjadi pada
arah [010], [101], dan [120]. Namun, lintasan konduksi ion Li+ lebih mudah terjadi
pada arah [120] atau serah bidang ab dengan nilai maksimum BVS adalah 0,982.
Lintasan itu terbentuk melalui migrasi ion Li+ dari Li1 ke Li2 kemudian ke Li3.
Migrasi ion itu lebih mudah terjadi dari Li1 ke Li2 dibandingkan dengan migrasi ion
Li+ dari Li2 ke Li3.
2. Modeling Ionic Conduction in γ-Bi2VO5.5
 Introduction
Solid electrolyte materials with high oxide ion conductivity at low temperature are
intensively investigated in order to have solid oxide fuel cell (SOFC) capable of
operating at low temperature. One of oxide material that has high oxide ion
conductivity is γ-Bi2VO5.5. As comparison to the materials widely used as a solid
electrolyte material, such as yttria stabilized zirconia (YSZ), γ-Bi2VO5.5 has ionic
conductivity of 1x10−2 Scm−1, which is around three orders of magnitude larger than
YSZ at same temperature of 300 °C [1]. Therefore γ- Bi2VO5.5 has potential
application as electrolyte in SOFC working at low temperature.
The structure of Bi2VO5.5 can be derived from Bi2WO6 and γ-Bi2MoO6 by
formation of oxide vacancies in the metal oxide layers; thus the compound can be
formulated (Bi2O2)(VO3.50.5), where is the corresponding to intrinsic oxide
vacancy [1, 2]. The Bi2VO5.5 goes to several structural transformations and known
has several polymorphs but essentially, there are only three main polymorphs, namely
α , β, and γ with the transformations: α → β at 447 °C and β → γ at 567 °C. The
structures of α and β-phases are more ordered, larger in unit cell, and have lower
conductivity. At the high temperature, γ-phase is formed and has maximum
conductivity of 0.2 Scm−1 at 670 °C [3].
Experimental studies on the oxide conductivity of γ-Bi2VO5.5 have been reported
elsewhere [4]. However, the experimental study could not reveal the detail of the
mechanism of ionic conduction. Abraham and Krok proposed oxide conduction
mechanism which was applied only to BIMEVOX with ME is divalent metal, and
derived from crystallographic data [5]. In
our knowledge, the conduction mechanism in parent structure of BIMEVOX, γ-
Bi2VO5.5, has not been reported yet. Computational studies could be used to study
the detail of ionic conductivity mechanism in the atomic level. Some computation
study on the layered structure of Aurivillius phases similar to γ- Bi2VO5.5 has been
carried out and reported [6]. It could reveal defect energies and maximum dopant
concentrations in Aurivillius as ferroelectric material. Here, we report the
computational study of γ-Bi2VO5.5 structure that cover trajectory of oxide in γ-
Bi2VO5.5. The study was aimed to investigate the oxide pathways that are possible in
the γ-Bi2VO5.5 structure via vacancy defect in perovskite-like layer.
 Experimental Method
In this study, oxide migration in γ-Bi2VO5.5 is calculated using by method of
bond valence sum (BVS). BVS method is empirical model which predict oxidation
state based on distances with neighbor atoms. The rule of bond valence is formulated:
Vi = ∑ 𝑆𝑖𝑗 (1)
The equation above shows the empirical relationship between bond valence and bond
length or the distance between ions i and j (Rij ) which is defined:
𝑆ij = exp (R0 - Rij)
(𝑏)
where R0 is a constant and b is universal constant which is 0.173. In this work, the
value of R0 and b are 0.516 Å and 1.171 Å, respectively.
The method has been successfully used to model the movement of cations in solid
materials, such as Na+ in the NASICON (sodium super ionic conductor) and K+ in
KFeAs2O7 [7, 8]. In this study, movement or geometry conduction for oxide in γ-
Bi2VO5.5 structure is predicted by using the BVS method as has been performed by
JUMPITER [9].
γ-Bi2VO5.5 structure which is built in this work are an simple model that can
represent the structure, especially by paying attention the possibility of various
vanadium coordination environment in the perovskite-like layer. Here, we built model
of γ-Bi2VO5.5 as simple as possible to get insight the oxide conduction of γ-
Bi2VO5.5. This model is a primitive structure for one unit cell of γ-Bi2VO5.5 where
perovskite-like layers have two different vanadium coordinations, namely tetrahedron
and octahedron. In the middle the layer, V coordinations are entire tetrahedron,
meanwhile, the upper and lower perovskite- like layers of γ-Bi2VO5.5 have entirely
octahedral coordination.
 Result and Discussion
Structures of model were created based on γ-Bi2VO5.5 structure reported by
Mairesse et al. as depicted in Figure1. [10]. The γ-Bi2VO5.5 is tetragonal with space
group is I4/mmm, and cell unit dimension is a = 3.99176(4), b = 3.99176(4), and c =
15.4309(3) Å. The structure has high symmetry and contains oxygen vacancy in
perovskite-like layer. Environment of the V5+ coordinations in perovskite-like layer
are recognized as octahedron, tetrahedron, trigonal bipyramid, and tetragonal pyramid
with interatomic distances compatible with O atomic size. Based on the vanadium
coordination environment, we built a model structure of γ-Bi2VO5.5with P1 space
group by creating oxide vacancies at the equatorial site, so the perovskite-like layer
becomes entire tetrahedrons, and other layers were octahedron (Figure 2). The
structure is far from the real structure of γ-Bi2VO5.5, however we expect that an
insight of the role of non octahedron coordination in the oxide conduction could be
obtained.
Figure 1. The refined crystal structures of γ-Bi2VO5.5; vacancies in perovskite- like
layers were not shown. O(3) and O(2) each are equatorial and apical oxides,
respectively.
To find a most possible the pathway in the γ-Bi2VO5.5 structure, we do the
calculations using by the bond valence sum. As a preliminary step, the structure of γ-
Bi2VO5.5 is optimized. Geometry optimization of model carried out by Density
Functional Theory (DFT) method using by the CASTEP program.

Figure 2. Model of γ-Bi2VO5.5 structures; vacancies in equatorial site of


perovskite-like layers (tetrahedron coordinations, VO4) were not shown. The other
coordinations of parovskite-like layers (upper and below) are octahedron, VO6.
The activation energy of oxide to move to vacant position is calculated using by
ab initio method.
The results showed that oxide ion migration into vacant positions in the
perovskite-like layer requires activation energy of 0.38 eV. This result is in a good
agreement to experimental results [4, 11-13], although, Joubert et al. reported a value
of 0.19 eV [14]. Based on the activation energy result, the structure is a good model
for ab initio methods as well as bond valence sum, but not for molecular dynamic.
The oxide conduction was very difficult as indicated by maximum BVS value was
very high, reaching twice the valence of oxygen. On the upper and lower perovskite-
like layers of γ-Bi2VO5.5 are entirely octahedral coordination, thus hopping oxygen
is not possible since there is no vacancy.
Pathway of oxide in the structure was modeled by using the JUMPITER software
based on bond valence sum on various directions. Oxide movements into the apical
site reached potential barrier very quickly with BVS of 11.758 at 0.131 Å distance.
Therefore, oxide movement was calculated in equatorial site, that could be modeled
on the directions of [100], [010], and [ab0]. Bond valence sum of trajectory O(3) in
the these directions is shown in Figure 3. It could be seen that the movement of oxide
are difficult into the directions of a and b. The covered oxide migration distances in
[100] and [010] directions do not exceed 1.2 and 0.4 Å, respectively. The easy
conduction path of ionic conductivity in the γ-Bi2VO5.5 is in the direction of ab, as
given in the Figure 4.

Figure 3. BVS of oxide on [100] and [010] directions in the perovskite-like layer
of γ-Bi2VO5.5. Distances of oxide migration in [100] and [010] directions do not
exceed 1.2 and 0.4 Å, respectively.
Figure 4. BVS of oxide on [140] direction in the perovskite-like layer of γ-
Bi2VO5.5. Hopping distance of oxide is 3.86 Å.
In this model, oxygen ions are easier to move in [140] direction, which connect
the O(3) with other O(3) with a hopping distance of 3.86 Å. Along these pathways the
maximum value of BVS is 4.472, and the minimum value is 1.320, i.e. within range
of +223% to 66% from ideal value of 2. Querfelli et al. reported BVS of K+ cation in
KFeAs2O7 structure were within +197% (max BVS = 1.97) maximum and 89% (min
BVS = 0.89) minimum [8]. Mazza reported that the maximum and minimum BVSes
of Na+ cation were 1.4 and minimum 0.42, i.e. within range of 140 and 42% [7].
Thus, it could be seen that the range BVS values along the pathway are similar to
those of other ion conductors. Oxygen ion migration parallel to ab plane is in
agreement with that was proposed by Abraham and Krok [5], where a suitable
pathway is available through vacant sites located in equatorial vanadate plane
between four vanadium polyhedrals. The vacant site of vanadate layer is faced
directly and coordinated linear to Bi 6s2 lone pair orbital of (Bi2O2)2+ layer.
Interaction between layers of (Bi2O2)2+ and vanadate in γ-Bi2VO5.5 is ionic. In this
site, transient oxide ions can endure electrostatic repulsion, and due to well
polarizability of the Bi 6s2 lone pair orbital, so this route in equatorial site can avoid
oxygen ions more close to vanadium ions [5].
This study suggests that the oxide is easier to migrate between equatorial site
rather than from equatorial to apical or vice versa. The more realistic model of course
is model with various coordinations in perovskite-like layers, namely tetrahedron,
five-coordination, and octahedron. The result of ionic conductivity calculation in
these models will be reported.
 Conclusion
Computational simulation of ionic conductivity of γ- Bi2VO5.5 has been
performed using BVS method. Pathways of oxide conduction are within equatorial
site on coordination environment of V-O. Oxide ions are easier to move on the [140]
direction which is parallel to ab plane in perovkite-like layers, with minimum BVS of
1.320.
3. Ionic Conductivity of Pb and Co-Substituted Bi2VO5.5 Single Crystal
 Introduction
Bismuth vanadate (Bi2VO5 .5) belongs to the m=1 member of Aurivillius layer-
structured family denoted as (Bi2O2)2+ (Am-1BmO3m+1)2-, where A=Li+, CO2+,
Al3+ etc., B=Ti4+, Nb5+, Ta5+ etc., and m=1, 2, 3 etc.1)-3) Bi2VO5 .5 consists of
alternating (Bi2O2)2+ layer and oxygen deficient pseudo-perovskite block with
composition (VO3 .5• 0.5 )2- as shown in Fig. 1.4) Due to the intrinsic oxygen
vacancies, Bi2VO5.5 shows oxide-ion conduction. A very high oxide-ion
conductivity is observed in the high-temperature stable ƒÁ-form (tetragonal), in
which oxygen vacancies are disordered.5),6). In contrast, the conductivity of the low-
temperature stable ƒ¿-form (orthorhombic) is far lower than the ƒÁ-form due to the
asymmetric crystal structure of the (VO3.5• 0.5)2- block. In the ƒÀ-form (tetragonal)
observed in the intermediate temperature region between the ƒ¿- and ƒÁ- forms, since
the configuration of oxygen vacancy is ordered, the conductivity of the ƒÀ-form
shows values in between the ƒ¿-form and the ƒÁ-form . Thus, in order to stabilize the
high-temperature ƒÁ-form down to room temperature, substitution by other cations
such as Cu2+, Co2+ has been studied.7)-9)
From the structural point of view, the (Bi2O2)2+ layer is thought to act as an
insulator for oxide ion conduction along the c-axis because it contains no oxygen
vacancy.10) If the oxygen vacancies are introduced in (Bi2O2)2+ layer by some
substitution, an improvement in oxide ion conduction can be expected. Some double-
substituted polycrystalline phases have also been reported. Vannier et al. performed
simul taneous substitution for bismuth and vanadium sites (Pb, Cu and Pb, Mo for Bi,
V sites, respectively).11) However, in the range 0•…x•…0.25 of Bi2-xPbxV1-
xMoxO5 .5 and 0•…y•… 0.075 of Bi2(1-y)Pb2yV1-zCuzO(11-y-3z)/2 with z fixed to
0.10 or 0.125, they did not observe any improvement in the oxide ion conduction
properties. For polycrystalline samples of Bi2VO5.5, observed conductivity is mainly
dominated by the pseudo-perovskite block with a high conductivity along the
a-b plane parallel to the (Bi2O2)2+ layer. Therefore, for the evaluation of the effect
of Pb substitution in the (Bi2O2)2+ layer, it is necessary to examine the conductivity
of single crystalline sample perpendicular to the (Bi2O2)2+ layer. In the present
study, the Pb substitution effects on electrical properties of bismuth vanadate single
crystals were investi gated by measuring conductivities in the
 Experimental Method
Single crystals were grown by melting (940•Ž) and slow cooling (4•Ž/h to 600•Ž)
the mixture of Bi2O3, PbO, V2O5 and CoO (99.99% purity) in a desired molar ratio.
A plati num crucible with a cap containing sample was set in a verti cal tube furnace
in order to obtain a vertical temperature gradient of 2-3•Ž/mm and the temperature
was monitored with two thermocouples positioned at the top and the bot tom of the
crucible. The obtained aggregate was easily broken into plate-like thin sheets. The
obtained crystals were characterized by X-ray diffraction (XRD) analysis us
ing Cu Kƒ¿ radiation (PW-1792, Philips) at room tempera ture. The XRD patterns of
the powder samples prepared by crushing a part of the obtained single crystals were
analyzed by the Rietveld method,12) using the RIETAN refinement program.13)
The chemical composition of single crystal was analyzed with inductively coupled
plasma (ICP) spectroscopy.
The samples for electrical measurements were obtained by cutting the crystals
into plates of about 2mm•~2mm•~ 0.2mm (thickness) by an abrasive wire saw. Gold
electrode was applied by firing gold paste. Electrical conductivity was
measured at 250-800•Ž in air, by complex impedance method in the frequency range
from 5Hz to 13MHz using an AC impedance analyzer (Model 4192A, HP). In the
electrical conductivity measurements of single crystals, thermal hysteresis was
observed between the first and the second heating-cooling cycles. Therefore, the
conductivity data obtained on the second heating was used in the present study.
 Result and Discussion
The Co substitution for V site gives rise to a ƒÁ-form at room temperature when x
is within the range 0.07•…x•…0.25 in Bi2V1-xCoxO(11-3x)/2.8) We fixed the
amount of Co at a value of x=0.1 and modified the amount of Pb. For the poly
crystalline sample Bi2(1-y)Pb2yV0.9Cu0.1O5.35-y, it has been reported that the
solid solution was obtained for 0•…y•…0.075 and all the compounds revealed a ƒÁ-
form structure at room temperature.12) However, in the case of single crystal line
sample, the substituted amount of Pb was limited. The Pb-substituted single crystal of
Bi2(1-x)Pb2xV0.9Co0.1O5.35-x was obtained only in the range x•…0.03.
The XRD patterns for the powder samples of Bi2VO5.5, Bi2V0 .9Co0.1O5.35 and
Bi1.94Pb0.06V0.9Co0.1O5.32 are shown in Fig. 2. Bi2VO5 .5 was also prepared
because of the parent compound of these members. All the samples were con firmed
to be a single phase without preferred orientation.The Bi2VO5.5 was in the
orthorhombic ƒ¿-form and other two samples (x=0, 0.03) were in the tetragonal ƒÁ-
form. For samples of Bi2(1-x)Pb2xV0.9Co0.1O5.35-x, with x>0.03, unknown second
phase was included. The atomic ratio of Bi, Pb, V and Co in
Bi1.94Pb0.06V0.9Co0.1O5.32 was confirmed to be 1.94:0.05:0.88:0.08 by ICP
spectroscopy, which in dicates that the composition is maintained in the single crys tal
within experimental errors.

Fig. 2. XRD patterns of Bi2VO5.5,a nd Bi2(1-x)Pb2xV0.9Co0.1O5.35-x (x=0 and


0.03).
For the Rietveld analysis, we used space group Aba2 (No. 41 orthorhombic) for
all samples. It is because Bi2VO5.5 belongs orthorhombic (Aba2) or tetragonal
(I4/mmm) and the tetragonal XRD peaks can be simulated by using Aba2 space
group. We analyzed two models with different position of oxygen vacancies; one is
assumed that the oxygen vacancies introduced by Pb substitution locate inside the
(Bi2O2)2+ layer and another one is inside the perovskite block. Better agreement of
simulated and observed XRD peaks was obtained in the second model that vacancies
are inside the perovskite block. Figure 3 shows the result of Rietveld refinement for
Bi1.94Pb0.06V0.9Co0.1O5.32 with the second model. Agreement of simulated and
observed XRD peaks are satisfactory and the refinement converged to agreement
factors Rwp (R-weighted pattern)=13.7% and S (goodness of fit)=Rwp/Rexp=1.959.
On the contrary, the first model gave the S value of 1.964. The differences of
agreement factors between these two models are very small and it is not evident only
from this result. However, all oxygen vacancies seemed to exist randomly in the
perovskite block.
The lattice parameters obtained by the Rietveld analysis are given in Table 1. The
values of lattice parameters of Bi2VO5 .5 and Bi2V0.9Co0.1O5.35 are matched well
with the reported one.14) The length of both a- and c-axis increased by Pb
substitution. This change is attributed to a difference in ionic radius between Bi3+
(0.103nm: 6-coordination) and Pb2+ (0.119nm: 6-coordination).15) Although the
refinement was conducted as the orthorhombic structure, Bi2V0.9Co0.1O5.35 and
Bi1.94Pb0.06V0.9Co0.1O5.32 were judged as the tetragonal structure due to the
equal length in the a- and b-axes.
Figure 4 shows temperature dependence of conductivity of Bi2VO5 .5 and Bi2(1-
x)Pb2xV0.9Co0.1O5.35-x (x=0, 0.03) single crystals. The symbols (//) and (•Û) mean
the direction along the a(b)-axis and c-axis, respectively. The directions for a(b)- and
c-axis were determined by XRD patterns of single crystal. Bi2VO5 .5 belongs to the
ƒ¿-form at room temperature, and two phase transitions occur with increasing
temperature.

Fig. 3. Rietveld refinement of Bi1.94Pb0.06V0.9Co0.1O5.32. Dotted and full lines


indicate observed and calculated intensities, respec tively.
The conductivity of Bi2VO5.5 single crystal along the a(b)- axis showed a rapid
increase at about 450•Ž. The temperature of the rapid increase corresponds to the
phase transi tion from the ƒ¿-form to the ƒÀ-form. A change in conductivity at about
570•Ž by the phase transition from the ƒÀ-form to the ƒÁ-form was not so large.
Bi2(1-x)Pb2xV0 .9Co0.1O5.35-x (x=0, 0.03) are in the ƒÁ-form at room temperature
and show no phase transition. Therefore, the conductivity of Bi2(1-x)Pb2x V0
.9Co0.1O5.35-x (x=0, 0.03) single crystals showed no jump.
The conductivity values along the a(b)-axis of the two sam ples (x=0, 0.03) were
almost same. It was confirmed that the values of conductivity along the a-axis are
mainly influenced by the difference in crystal structures of poly
morphic forms rather than that in dopant concentration. On the other hand, the
conductivities along the c-axis were almost the same among these three samples and
found to be not influenced by the phase transitions or sample composi
tion. The conductivity of the perovskite block in the ƒÁ-form was about 2 to 3 orders
of magnitude larger than that of (Bi2O2)2+ layer, and the conductivity along the c-
axis can be assumed to the conductivity of (Bi2O2)2+ layer.10)
From theconductivities of Bi2(1-x)Pb2xV0.9Co0.1O5.35-x( x=0, 0.03) along the
c-axis, it is considered that the oxygen vacancies by Pb substitution are introduced not
in (Bi2O2)2+ layer but in the pseudo-perovskite block. Although an increase of con
ductivity is not observed in fact for Bi1.94Pb0.060.9o0.15 single crystal along the a-
axis, it will be attributed to that the concentration of oxygen vacancy introduced by Pb
substitu tion is too small compared to that of Bi2V0.9Co0.15O.3o5r igi nally has.
 Conclusion
A single crystal of Bi1.94Pb0.06V0.9Co0.1O5i.3n2 , which the Bi and V sites of
Bi2VO5.5 were simultaneously substituted, was prepared for the first time. Ionic
conductivity along the c-axis was almost same with that in single crystal without Pb
substitution. From the results of conductivity measurement and Rietveld refinement of
XRD pattern, the oxygen vacan cies generated by Pb substitution was suggested to be
in troduced not in the (Bi2O2)2+ layer but in the pseudo-perov skite block.
4. Silver Sulfate (Ag2SO4) : Molecular Analysis and Ion Transfort
 Latar Belakang
Perak sulfat(11-22) merupakan senyawa ion dari perak dengan rumus Ag2SO4,
yang digunakan dalam penyepuhan perak (silver plating) dan pengganti tanpa noda
untuk perak nitrat. Garam sulfat ini stabil di bawah kondisi penggunaan dan
penyimpanan biasa, meskipun ia menjadi gelap pada pajanan terhadap udara atau
cahaya. Perak Sulfat(11-22) mengalami interaksi molekul dalam pelarut Air. Berat
molekul senyawa ini yaitu 311,799 gr/mol dengan tampilan kristal tidak berwarna.
Kelarutannya dalam air 0,79 gr/100 mL (20oC) dan dapat larut juga dalam pelarut
asam nitrat. Secara termokimia, perak sulfat(11-22) memiliki entalpi pembentukan
standar, ΔfHo298 -715 kJ/mol dan entropi molar standar, So298 16,74 kJ/mol. Perak
sulfat(11-22) tidak mudah terbakar. Perak Sulfat (Ag2SO4) (11-22) memiliki
konduktivitas(1-10). Besarnya nilai konduktivitas(1-10) ditentukan oleh konsentrasi
elektrolit. Muatan dalam senyawa dapat dibawa dalam bentuk electron seperti logam
atau biasanya digunakan ion positif dan ion negative seperti dalam larutan elektrolit
dan leburan garam. Aliran listrik dapat ditemukan dalam suatu larutan karena terdapat
di dalam larutan tersebut ion-ion yang bergerak. Kepolaran(23) suatu senyawa dapat
dipengaruhi oleh adanya perbedaan keelektronegatifan(23) antara atom-atom yang
berkaitan dengan bentuk molekul. Senyawa dikatakan bersifat polar(24-37) apabila
selisih keelektronegatifan(38-47) antar atom penyusunnya semakin besar. Selain itu,
ketidaksimetrisan bentuk molekul juga mengakibatkan suatu senyawa bersifat
polar(24-37). Dengan adanya muatan elektron yang tidak seimbang antar atom yang
tidak seimbang antar atom dalam senyawa polar mengakibatkan terjadinya suatu
kutub (dipol) (30, 48-55). Maka dari itu, pasangan
elektron(56-64) yang digunakan untuk membentuk ikatan kovalen polar(65-73)
lebih kuat tertarik pada salah satu atom. Parameter transfer ion(74-78) disini yaitu
kecepatan hanyut(79-82) , bilangan transport(83-87), mobilitas ion(88-91), difusi(92-
95), dan hukum I Fick(96-101) dari senyawa perak sulfat (Ag2SO4). Penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis pengaruh sifat termodinamika molekul Perak Sulfat
(Ag2SO4) sehingga diketahui interaksi bagaimana molekuler di dalam senyawa
tersebut dengan menggunakan aplikasi Chem office dengan pemodelan komputasi
Chemdraw dan Chem3D, untuk mengetahui sifat fisika dan kimia, dan
penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari.
 Metode Penelitian
Penelitian dilakukan dalam beberapa tahapan, yaitu (1) Analisis 2D molekul
Ag2SO4 secara dua dimensi menggunakan ChemDraw 2D; (2) Analisis molekul(103,
115-124) Ag2SO4, secara 3 dimensi menggunakan Chem 3D. Molekul Ag2SO4
dilukis dengan menggunakan ChemDraw dengan cara memilih Structure dan Convert
Name to Structure. Pada layar kerja, ditulis silver sulphate untuk molekul Ag2SO4,
lalu pilih OK. Setelah Rumus Molekul terbentuk, lakukan analisis senyawa. Proses
analisis dilakukan dengan pilih pada bagian view, dengan optional show analysis
window dan show chemical properties windows. Pada analisis 3D dilakukan dengan
mentransformasikan molekul 2D ke Chem 3D. Pada bagian Chem3D, struktur
Ag2SO4 akan berubah menjadi bentuk 3 dimensi dan kemudian dilakukan beberapa
analisis, seperti : 1. Menghitung MM2 dari masing-masing molekul yang terdiri atas
MM2 minimization, MM2 dynamics dan MM2 properties dengan cara pilih pada
bagian calculation, klik MM2 minimization kemudian pilih minimize energy dan klik
run. Begitu juga dengan molecular dynamics dan compute properties.
Konduktivitas(1-10) (2.) Analisis keberadaan pasangan elektron bebas(125-135)
dengan cara pilih bagian structure, pilih lone pair kemudian pilih add, maka akan
tampil pasangan elektron bebas(125-135) dari masing-maisng molekul. (3.) Analisis
surface masing-masing molekul, diantaranya Surface Solvent Accesible dengan
model solid, wire mesh dan tranculent. Kemudian Surface Connolly Molecular
dengan model solid, wire mesh dan tranculent. (4.) Analisis jarak antara masing-
maisng atom tiap-tiap molekul dengan cara pilih bagian structure, lalu pilih
measurement dan centang semua kotak pada bagian display.Untuk analisis besaran
lainnya digunakan besaran dan perhitungan pada kimia fisika 3 menggunakan metode
pengolahan data yang ada. Setelah semua analisis molekular dan besaran kimia fisika
dilakukan maka digunakan software EndNote untuk sitasi referensi.
 Hasi Penelitian
Perak sulfat(11-22) adalah senyawa yang dapat dibuat dengan menambahkan
asam sulfat ke dalam larutan perak nitrat, dengan reaksinya sebagai berikut:
2 Ag+(aq) + SO42-(aq) → Ag2SO4(s)
Endapannya kemudian dicuci dengan air panas dan sediaan di bawah iluminasi merah
ruby. Bersama dengan kelompok emas, dan logam platinum, perak adalah salah satu
yang disebut logam mulia. Karena kelangkaan, warna putih cemerlang, kelenturan,
daktilitas, dan ketahanan terhadap oksidasi atmosfer, perak telah lama digunakan
dalam pembuatan koin, ornamen, dan perhiasan. Perak memiliki konduktivitas listrik
dan termal yang dikenal tertinggi dari semua logam dan digunakan dalam fabrikasi
sirkuit listrik dan sebagai pelapis uap yang disimpan untuk konduktor elektronik.
Perak juga berpadu dengan unsur-unsur seperti nikel atau paladium untuk digunakan
dalam kontak listrik. Perak juga digunakan sebagai katalis karena memiliki
kemampuan unik untuk mengubah etilen menjadi etilen oksida, yang merupakan
prekursor dari banyak senyawa organik. Perak adalah salah satu logam mulia. Perak
merupakan unsur paling tidak reaktif diantara elemen-elemen transisi.
Ornamen perak dan dekorasi telah ditemukan di makam kerajaan dating 4000 SM.
Besar kemungkinan bahwa emas dan perak digunakan sebagai uang oleh manusia 800
SM di semua negara antara Indus dan Sungai Nil. Perak tersebar luas di alam, tetapi
jumlah total cukup kecil jika dibandingkan dengan logam lain; jumlah perak 0,05
bagian per juta dari kerak bumi. Hampir semua sulfida timbal, tembaga, dan seng
mengandung beberapa perak. Bijih bantalan perak dapat mengandung sejumlah perak
beberapa ribu troy ounces per avoirdupois ton, atau sekitar 10 persen. Tidak seperti
emas, perak hadir dalam banyak mineral alami. Perak yang lebih dikenal secara
komersial adalah senyawa seperti mineral tetrahedrite dan argentit (perak sulfida,
Ag2S), yang biasanya berhubungan dengan sulfida lainnya seperti timbal dan
tembaga, serta beberapa sulfida lain, beberapa di antaranya mengandung antimon
juga. Perak ditemukan umumnya pada bijih timah, bijih tembaga, dan kobalt bijih
arsenide dan juga sering dikaitkan dengan emas di alam. Kebanyakan perak
diturunkan sebagai produk sampingan dari bijih yang ditambang dan diproses untuk
mendapatkan logam lainnya. Karena sebagian besar bijih yang mengandung perak
juga mengandung logam lainnya seperti plumbum, tembaga, atau seng atau kombinasi
dari ketiganya, fraksi bijih perak- bantalan ini sering ditemukan sebagai produk
sampingan dari produksi tembaga dan plumbum. Perak murni kemudian dipisahkan
dari campuran mentah dengan kombinasi peleburan dan pembakaran atau
electrorefining.
Molekul Ag2SO4 dibuat dengan menggunakan Chemdraw 2D dan kemudian di
pindahkan ke dalam bentuk 3 dimensi menggunakan Chem 3D. Proses ini dapat
membantu melihat pola pergerakan molekul(103, 115-124) secara optimal dan
kemungkinan dinamika air selama berinteraksi(164-172) di lingkungan saat proses
splitting berlangsung. Dengan bantuan Chem3D dapat dilihat bentuk surface dari
molekul Ag2SO4. Selain itu Jarak antar atom dalam molekul Ag2SO4 juga dapat
diketahui, dimana jarak antara O-S adalah 1.660Å dan jarak antara atom Ag-O adalah
1.980 Å. Berikut ini adalah gambar dari penerapan Chem3D terhadap molekul
Ag2SO4.

Gambar 2. Analisis 3D pada molekul Ag2SO4 model Ball and Stick. (a) molekul
Ag2SO4 terdiri dari 1 atom S (bola Kuning), 2 buah atom(173-177) Ag (bola Abu-
abu) 1 atom Ag (bola abu-abu), dan 4 atom O (bola merah) (b) molekul Ag2SO4
dengan empat pasang Elektron Bebas (PEB, bola pink) dan (c) penampang girasi
molekul Ag2SO4 pada permukaan molekul pada sisi positif (merah) dan pada sisi
bermuatan negative (biru).

Gambar 3. Analisis 3D Surface Ag2SO4, (a) Surface Solvent Accessible molekul


Ag2SO4,(b) Surface Solvent Accessible molekul Ag2SO4 Display Mode Wire Mesh (c)
Surface Solvent Accessible molekul Ag2SO4 Display Mode Translucent, (d)Surface
Connolly Molecular molekul Ag2SO4, (e) Surface Connolly Molecular molekul
Ag2SO4 Display Mode Wire Mesh,(f) Surface Connolly Molecular molekul Ag2SO4
Display Mode Translucent
Larutan Perak Sulfat (Ag2SO4) juga memiliki nilai konduktivitas. Besarnya nilai
kondukvitas disini juga ditentukan oleh jumlah konsentrasi elektrolit. Aruslistrik
dapat ditransfer melalui materi berupa hantaran yang bermuatan listrik, berwujud arus
listrik , sehingga arus memiliki pembawa muatan listrik di dalam di dalam materi da
nada gaya yang dapat menggerakkan muatan tersebut. Pembawa muatan dapat
berupa electron atau ion positif dan ion negative dalam larutan elektrolit dan leburan
garam. Arus listrik bermuatan bergerak biasanya berasal dari sumber energy listrik.
Arus listrikakan mengalir dari tempat yang berpotensial tinggi menuju tempat yang
berpotensial lebih rendah. Arus listrik dapat terjadi di dalam suatu larutan karena
adanya peran dari ion-ion yang bergerak.
 Kesimpulan
Molekul Ag2SO4 mengalami interaksi dengan air. Proses interaksi
mempengaruhi jarak atom yang berikatan dan sudut ikatan, dibuktikan dengan
terjadinya perbahan nilai setelah molekul di optimasi. Molekul perak sulfat
dioptimasi, dengan jarak O-S adalah 1.660 Å dan jarak antara atom Ag-O adalah
1.980 Å. Selain energi, proses interaksi antara molekul dengan air juga
dipengaruhi oleh muatan dan medan gaya antar molekul yang berpengaruh
terhadap jarak dari masing-masing atom yang berpengaruh terhadap tarikan antar
molekul yang berinteraksi. Hasil penelitian konduktivitas larutan Ag2SO4
semakin meningkat seiring dengan kenaikan konsentrasi persen massa sesuai
grafik hasil perhitungan. Energi optimasi MM2 Minimization, Optimasi MM2
Dynamics, dan Optimasi MM2 Properties berturut-turut yaitu 210. 2194
kcal/mol, 755. 377 kcal/mol, 216. 774 kcal/mol. Nilai kecepatan hanyut Perak
Sulfat (Ag2SO4) dengan potensial 3,61 V dan jarak antara elektroda adalah 1,5
cm adalah 2, 407 V/ cm.
5. Calcium Chloride (CaCl2) : Characteristics and Molecular Interaction in Solution
 Latar Belakang
Dinamika molekuler (30-38) merupakan suatu metode untuk menyelidiki struktur
dari zat padat(41), cair dan gas. Dinamika molekuler(42) pada umumnya
menggunakan teknik persamaan hukum newton (43-47) dan mekanika klasik. Tujuan
utama dari simulasi dinamika molekuler adalah (1) Menghasilkan trajektori molekul
dalam jangka waktu terhingga; (2) Menjadi jembatan antara teori dan hasil
eksperimen; (3) Memungkinkan para ahli kimia untuk melakukan simulasi yang tidak
bisa dilakukan dalam laboratorium. Kalsium merupakan unsur kimia(48)
bersimbolkan Ca yang mempunyai nomor atom 20. Kalsium ini unsur kelima paling
berlimpah dalam kerak Bumi. Unsur ini berbentuk putih keperakan. Kalsium sangat
penting bagi makhluk hidup, terutama dalam fisiologi sel dan unsur paling biasa
dalam kebanyakan hewan. Salah satu manfaat(204-205) kalsium terdapat pada salah
satu senyawa yaitu kalsium klorida.
Klorida merupakan unsur kimia yang bersimbolkan Cl dengan nomor atom 17.
Senyawa ini merupakan halogen kedua paling ringan yang berada diantara flour dan
bromin. Unsur ini berwujud gas berwarna kuning hijau yang sangat reaktif dan
mempunyai afinitas elektron tertinggi. Kalsium Klorida (49-53) dengan rumus
molekul CaCl2 sering juga disebut Kalsium(II) klorida, dan Kalsium diklorida.
Senyawa ini memiliki nama IUPAC yaitu calcium chloride(54; 55) yang biasanya
berguna dalam penurunan titik beku, pengolahan air, medis, sterilisasi hewan, sumber
ion kalsium, pengering, dan proses industri. Senyawa ini berbentuk serbuk putih, yang
bersifat higroskopis dan tidak berbau. Kalsium klorida ini larut dalam
CH3COOH(56), alkohol, etanol, metanol(57; 58), aseton, dan piridin. Tetapi tidak
larut dalam NH3 cair, DMSO, CH3COOC2H5. Kalsium klorida dijumpai sebagai
hidrasi padat dengan rumus umum CaCl2(H2O)x dengan nilai x = 0, 1, 2, 4, dan 6.
Senyawa ini terutama digunakan untuk penghilang es dan pengendali debu. Karena
garam anhidrat yang higroskopis(59; 60) dan digunakan sebagai desikan. Kalsium
klorida larut dalam air (61-70) menghasilkan klorida dan kompleks logam akuo
[Ca(H2O)6]2+, yang merupakan sumber kalsium "bebas" dan ion klorida bebas.
Penjelasan ini menggambarkan fakta bahwa larutan(71) ini bereaksi dengan sumber
fosfat menghasilkan endapan kalsium fosfat(72). Kalsium klorida memiliki perubahan
entalpi sangat tinggi, ditunjukkan dengan kenaikan suhu yang cukup besar dan
disertai pelarutan garam anhidrat dalam air(233-236). Sifat ini merupakan dasar bagi
senyawa kalsium klorida. Dimana kalsium klorida memiliki nilai titik didih sebesar
2208 K, titik leleh sebesar 1045-1048 K, massa molar sebesar 110.98 g/mol, densitas
2.15 g/cm3, serta kalsium klorida ini tidak berbau. Termokimia kalsium klorida
(CaCl2) dibagi atas empat bagian, yaitu kapasitas kalor (C), entropi molar standar
(So), entalpi pembentukan standar (∆fH) dan energi bebas gibbs (∆fG) yang masing-
masingnya mempunyai nilai C 72,89 J/molK, So 108,4 J/molK, ∆fH -795,42 kJ/mol,
dan ∆fG - 748,81 kJ/mol. Karakteristik(232) dari Kalsium Klorida merupakan
memiliki 3 struktur (73) kristal yaitu ortorombik, tetragonal, dan trigonal. Kalsium
klorida boleh berfungsi sebagai sumber ion (74-78) kalsium dalam larutan aqua
kerena sifat kalsium klorida yang boleh larut dalam air. Sifat (79) ini berguna untuk
mengeluarkan ion daripada larutan(80). Contohnya, fosfat dikeluarkan daripada
larutan oleh kalsium:
3 CaCl2(aq) + 2 K3PO4(aq) → Ca3(PO4)2(s) + 6 KCl (aq)
Kalsium klorida dielektrolisis untuk menghasilkan logam kalsium dan gas klorin:
CaCl2(l) → Ca (s) + Cl2(g)
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik, struktur, jenis ikatan, dan
bentuk molekul dari senyawa(228-231) kalsium klorida serta mengetahui sifat fisika
dan sifat kimia dengan menggunakan metode literasi EndNote yang hasilnya berupa
fishbone state of art. Kemudian metode aplikasi ChemOffice 15.0 untuk memperoleh
energi, optimasi, gambaran bentuk molekul, dan jari-jari antar atom, serta
menggunakan metode perhitunganmatematis yang menghasilkan nilai-nilai yang
dituangkan dalam bentuk grafik.
 Metode Penelitian
Analisis ini menggunakan perangkat laptop. Kemudian laptop dilengkapi dengan
aplikasi Endnote X7 dan software Chemoffice 15.0 seperti ChemDraw 2015 yang
digunakan untuk mengetahui struktur senyawa dan Chem3D 2015 untuk
menggambarkan senyawa dalam bentuk 3 dimensi. Aplikasi Endnote X7 ini
digunakan untuk literasi jurnal dari materi yang akan dibahas. Langkah menggunakan
aplikasi Endnote : Pertama mengklik Endnote yang terdapat di menu microsoft word,
kemudian mengklik “Go to Endnote” maka aplikasinya akan muncul. Setelah itu
menuliskan body text dan juga tahunnya pada menu Endnote tersebut. Jangan lupa
menukar mengklik
“PubMed (NLM)” agar terhubung dengan internet, karena aplikasi ini menggunakan
koneksi internet. Langkah selanjutnya mengklik enter, maka akan keluar jumlah
referensi yang akan dipilih. Jika kita membutuhkan 5, maka referensinya akan keluar
5 buah. Kemudian mengcopy referensi dan menyalinnya tepat pada body text yang
telah dipilih. Maka referensinya akan terdaftar pada halaman terakhir.
 Hasil Penelitian
Sebuah senyawa alami merupakan kalsium klorida cair yang dapat ditemukan
dalam air laut dan mata air mineral. Kemampuan kalsium klorida menyerap banyak
cairan(191-195) merupakan salah satu keistimewaan yang begitu serbaguna. Kalsium
klorida ini memiliki sifat fisika.
Molekul Kalsium Klorida
a The Ball & Sticks Models

Gambar 5.Pemodelan CaCl2


b. Connoly Translucent

Gambar 6.Struktur dengan Permukaan Translucent

Gambar 7.Struktur dengan Permukaan Wire Mash


Optimasi(212) Molekul CaCl2 menggunakan Molecular Mechanic (MM2)
Optimasi(137) molekul CaCl2 dilakukan dengan Molekular Mekanik (MM2) dan
menghasilkan output data dalam bentuk data geometri(239) atom atom dalam molekul
dan Energi optimumnya. Hasil output yang diolah dapat dilihat sebagai berikut : 1.
Optimasi MM2 Minimization 2. Optimasi MM2 Dynamics
 Kesimpulan
Kalsium Klorida dengan rumus molekul CaCl2 sering juga disebut Kalsium(II)
klorida, dan Kalsium diklorida. Senyawa ini memiliki nama IUPAC yaitu calcium
chloride yang biasanya berguna dalam penurunan titik beku, pengolahan air, medis,
sterilisasi hewan, sumber ion kalsium, pengering, dan proses industri. Senyawa ini
berbentuk serbuk putih, yang bersifat higroskopis dan tidak berbau. Kalsium klorida
ini larut dalam CH3COOH, alkohol, etanol, metanol, aseton, dan piridin. Tetapi tidak
larut dalam NH3 cair, DMSO, CH3COOC2H5. Metoda yang digunakan yaitu metode
pemodelan dengan menggunakan software ChemOffice 15.0, penelusuran literatur
dengan Endnote X7 dan juga
perhitungan matematis. Melalui Senyawa ini mempunyai total energi dan juga jari-jari
molekul CaCl2 yang hasilnya bisa diketahui dengan menggunakan chemoffice 15.0
yaitu sebesar 526,865 kcal/mol dan 2.730 Å. Secara termodinamika, kalsium klorida
mempunyai nilai kapasitas kalor, entropi molar standar, entalpi pembentukan standar
dan energi bebas gibbs yang masing-masing mempunyai nilai C 72,89 J/molK, So
108,4 J/molK, ∆fH -795,42 kJ/mol, dan ∆fG -748,81 kJ/mol. Dimana hasilnya
didapatkan dari review jurnal dan sumber lainnya. Nilai kecepatan hanyut didapatkan
sebesar 4,5125 V/cm setelah dilakukan perhitungan dengan menggunakan rumus.
Nilai viskositas pada suhu 10oC sebesar 1.20, suhu 20oC sebesar 1.02, dan pada suhu
30oC sebesar 0,79. Nilai konduktiviti yang beragam tergantung dari suhu dan
spesinya. Dimana nilai konduktiviti pada suhu 25oC sebesar 0.0617 jika nilai
molarnya 0.3857 mole/L, 0.1289 jika nilai molarnya 0.905 mole/L.Hasil dari
viskositas dan konduktiviti ini dituangkan dalam bentuk grafik.

Anda mungkin juga menyukai