Pasal 46 Undang-undang Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit (UU RS) menentukan
"Rumah Sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan
atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit. ”
Pembentuk Undang-undang menganggap Pasal tersebut sudah cukup jelas. Padahal bila
dicermati lebih lanjut banyak hal yang masih memerlukan penjelasan, lima diantaranya
adalah:
1. Apakah yang dimaksud dengan “yang mewakili rumah sakit dan siapa yang dapat
dituntut pertanggungjawabannya mewakili rumah sakit?
2. Apakah yang dimaksud dengan bertanggung jawab secara hukum?
3. Apakah yang dimaksud dengan semua kerugian?
4. Apakah yang dimaksud dengan kelalaian?
5. Siapakah yang dimaksud dengan tenaga kesehatan di Rumah Sakit?
Karena UU RS tidak jelas menerangkan isi Pasal 46, maka jawaban atas keenam
pertanyaan tersebut dicari dalam doktrin hukum.
3. Semua Kerugian
Apakah yang dimaksud dengan semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang
dilakukan oleh tenaga kesehatan di rumah sakit?
Dalam hukum perdata dibedakan antara kerugian yang dapat dituntut berdasarkan
wanprestasi dengan yang berdasarkan perbuatan melawan hukum.
Kerugian yang dapat dituntut atas dasar wanprestasi menurut Adami Chazawi (Malpraktek
Kedokteran 2007:69), ” hanyalah kerugian materiil atau kerugian
kekayaan/kebendaan (vermogenschade) atau kerugian yang dapat dinilai dengan uang.
Sementara itu kerugian yang dapat dituntut dengan alasan perbuatan melawan hukum selain
kerugian kebendaan juga kerugian idiil (immaterial) yang tidak bersifat kebendaan, namun
dapat diperkirakan nilai kebendaannya berdasarkan kelayakan. ”
Pasal 46 Undang-undang tentang Rumah Sakit menyatakan Rumah Sakit bertanggung
jawab atas “semua kerugian”artinya rumah sakit menanggung kerugian materiil maupun
immaterial.
Selanjutnya, UU RS hanya mensyaratkan bahwa kerugian itu “ ditimbulkan atas kelalaian
yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit. Hal ini berarti, UU RS
mensyaratkan adanya hubungan kausal antara kerugian dengan kelalaian tenaga kesehatan
di rumah sakit .
Hubungan kausal dalam hukum perdata digunakan untuk menentukan adanya kerugian
sebagai dasar untuk menuntut ganti kerugian kepada pihak yang bertanggung jawab.
Sedangkan dalam hukum pidana hubungan kausal tersebut sebagai syarat bagi terjadinya
tindak pidana.
4. Kelalaian
Pasal 46 UU RS tidak menjelaskan apa yag dimaksud dengan kelalaian.
Hal ini dapat dimaklumi. Ajaran tentang kelalaian (culpa) dalam doktrin hukum
merupakan hal yang sulit, karena menyangkut sikap batin si pelaku yakni sesuatu yang
berada dalam pikiran si pelaku.
Adami Chazawi menyimpulkan secara pokok adanya dua ajaran mengenai kealpaan
yaitu culpa subjektif dan culpa objektif (op cit:88).
Ajaran culpa subjektif bertitik tolak dari sayarat syarat subjektif pada diri si
pelaku/pembuat. Sedangkan ajaran culpa objektif meletakkan syarat lalai atas suatu
perbuatan pada kewajaran dan kebiasaan yang berlaku secara umum.
Sementara itu dari sisi hukum pidana , J Guwandi (Pengantar Ilmu Hukum Medik dan Bio-
Etika, 2009:19) mengemukakan, ”kelalaian, di dalam literature disebut ”delicta
ommissionis”atau melanggar suatu peraturan pidana karena tidak melakukan sesuatu yang
seharusnya dilakukan sehingga merugikan pasien. ”
Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 46 UU RS, ihwal kelalaian memang perlu dibahas
secara lebih mendalam agar penerapannya dalam praktek dapat memenuhi rasa keadilan
semua pihak.
6. Tindak Lanjut
Tanggung jawab Rumah Sakit semakin berat. Risiko yang dipikul semakin besar. Karena
itu rumah sakit perlu lebih ketat melakukan seleksi dan penempatan tenaga kesehatan, serta
melakukan pembinaan dan pengawasan internal terhadap kinerja tenaga kesehatan di rumah
sakit yang bersangkutan.
Selain itu untuk menjaga hubungan yang harmonis antara rumah sakit dengan pasen dan
tenaga kesehatan, maka pimpinan rumah sakit harus menanamkan 3 norma moral yang
temaktub dalam “Hospital Patient’s Charter, 1979” yang telah diterima menjadi standar
internasional. Ketiga norma tersebut adalah menghormati pasen, standar profesi dan
tanggung jawab sosial untuk pelayanan kesehatan rumah sakit.
Dan yang terpenting, Pemerintah harus segera menetapkan peraturan pelaksanaan UU RS
dan UU Kesehatan serta standar-standar pelayanan untuk memberikan perlindungan kepada
pasen, tenaga kesehatan dan rumah sakit.