Anda di halaman 1dari 4

KELALAIAN TENAGA KESEHATAN

TANGGUNG JAWAB RUMAH SAKIT

Pasal 46 Undang-undang Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit (UU RS) menentukan
"Rumah Sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan
atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit. ”

Pembentuk Undang-undang menganggap Pasal tersebut sudah cukup jelas. Padahal bila
dicermati lebih lanjut banyak hal yang masih memerlukan penjelasan, lima diantaranya
adalah:
1. Apakah yang dimaksud dengan “yang mewakili rumah sakit dan siapa yang dapat
dituntut pertanggungjawabannya mewakili rumah sakit?
2. Apakah yang dimaksud dengan bertanggung jawab secara hukum?
3. Apakah yang dimaksud dengan semua kerugian?
4. Apakah yang dimaksud dengan kelalaian?
5. Siapakah yang dimaksud dengan tenaga kesehatan di Rumah Sakit?
Karena UU RS tidak jelas menerangkan isi Pasal 46, maka jawaban atas keenam
pertanyaan tersebut dicari dalam doktrin hukum.

1. Wakil Rumah Sakit


Untuk menjawab ‘siapa yang mewakili rumah sakit’, perlu pemahaman atas rumah sakit di
Indonesia beserta struktur organisasinya dan peraturan perundagan yang terkait lainnya.
UU RS Pasal 1 angka 1 menentukan bahwa rumah sakit adalah institusi pelayanan
kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang
menyediakan pelayanan rawat inal, rawat jalan dan gawat darurat. Selanjutnya, UU ini
membagi jenis rumah sakit berdasarkan pengelola menjadi dua jenis yaitu rumah sakit
publik dan rumah sakit privat.
Rumah Sakit Publik dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah dan badan hukum yang
bersifat nirlaba. Rumah Sakit Publik yang dikelola oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah
diselenggarakan berdasarkan pengelolaan Badan Layanan Umum atau Badan Layanan
Umum Daerah. Sedangkan Rumah sakit Privat dikelola oleh badan hukum dengan tujuan
profit yang berbentuk perseroan terbatas atau persero.
UU RS menetapkan organisasi rumah sakit. Sebagai sebuah institusi, setiap rumah sakit
menurut ketentuan Pasal 33 UU RS, harus memiliki organisasi yang efektif, efisien dan
akuntabel yang paling sedikit terdiri atas Kepala Rumah Sakit atau Direktur Rumah Sakit,
unsur pelayanan medis, unsur keperawatan, unsur penunjang medis, komite medis, satuan
pemeriksaan internal serta administrasi umum dan keuangan.
Yang dimaksud dengan kepala rumah sakit menurut Penjelasan Pasal 34 ayat (3) UU RS
adalah pimpinan tertinggi dengan jabatan direktur utama (chief executive officer) termasuk
direktur medis. Dengan demikian, yang mewakili rumah sakit secara hukum adalah kepala
rumah sakit.
Untuk rumah sakit yang dikelola oleh pemerintah atau pemerintah daerah, tanggung jawab
dilaksanakan oleh pimpinan unit pelaksana teknis (UPT). Pimpinan UPT dalam hal ini
adalah kepala rumah sakit atau sebutan lainnya merupakan penanggung jawab organisasi
dan penentu kebijakan organisasi rumah sakit.
Bagi rumah sakit berbadan hukum perseroan, ketentuan ini sesuai dengan UU No. 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT). Pasal 98 ayat 1 UU PT menetapkan
bahwa direksi mewakili Perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Kewenangan
direksi untuk mewakili perseroan tidak terbatas dan tidak bersyarat, kecuali ditentukan lain
dalam UU PT, anggaran dasar atau keputusan rapat umum pemengang saham.
Sedangkan bagi rumah sakit berbadan hukum yayasan, menurut Pasal 35 ayat 1 UU No. 16
Tahun 2001 tentang Yayasan sebagaimana diubah dengan UU No. 28 Tahun 2004,
tanggung jawab berada di tangan pengurus yayasan. Pengurus yayasan berhak mewakili
yayasan baik di dalam maupun luar pengadilan. Kecuali jika yayasan mendirikan badan
usaha rumah sakit, maka pertanggungjawabannya ada di tangan pengurus rumah sakit.

2.Bertanggung Jawab Secara Hukum


Rumah sakit adalah subyek hukum. Berarti, rumah sakit dapat melakukan hubungan
hukum dengan subyek hukum lainnya dalam melaksanakan pelayanan kesehatan. Karena
itu rumah sakit wajib menanggung segala konsekuensi hukum yang timbul sebagai akibat
dari perbuatannya atau perbuatan orang lain yang berada dalam tanggung jawabnya.
Tanggung jawab hukum tersebut meliputi tiga aspek yaitu hukum perdata, hukum
administrasi dan hukum pidana.
Dari sisi hukum perdata, pertanggungjawaban rumah sakit terkait dengan hubungan hukum
yang timbul antara pasien dengan rumah sakit dalam pelayanan kesehatan di rumah sakit.
Perdata
Merujuk pendapat Triana Ohoiwutun(2007:81), hubungan hukum ini menyangkut dua
macam perjanjian yaitu perjanjian perawatan dan perjanjian pelayanan medis. Perjanjian
perawatan adalah perjanjian antara rumah sakit untuk menyediakan perawatan dengan
segala fasilitasnya kepada pasen. Sedangkan perjanjian pelayanan medis adalah perjanjian
antra rumah sakit dan pasen untuk memberikan tindakan medis sesuai kebutuhan pasen.
Jika terjadi kesalahan dalam pelayanan kesehatan, maka menurut mekanisme hukum
perdata pihak pasien dapat menggugat dokter berdasarkan perbuatan melawan hukum.
Sedangkan gugatan terhadap rumah sakit dapat dilakukan berdasarkan wan prestasi (ingkar
janji), di samping perbuatan melawan hukum. ”
Administratif
Pertanggungjawaban rumah sakit dari aspek hukum administratif berkaitan dengan
kewajiban atau persyaratan administratif yang harus dipenuhi oleh rumah sakit khususnya
untuk mempekerjakan tenaga kesehatan di rumah sakit.
UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) yang menentukan antara lain
kewajiban untuk memiliki kualifikasi minimum dan memiliki izin dari pemerintah untuk
menyelenggarakan pelayanan kesehatan. Selain itu UU Kesehatan menentukan bahwa
tenaga kesehatan harus memenuhi kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan
kesehatan, standar pelayanan dan standar prosedur operasional.
Jika rumah sakit tidak memenuhi kewajiban atau persyaratan administratif tersebut, maka
berdasarkan Pasal 46 UU RS, rumah sakit dapat dijatuhi sanksi administratif berupa
teguran, teguran tertulis, tidak diperpanjang izin operasional, dan/atau denda dan
pencabutan izin.
Pidana
Pertanggungjawaban dari aspek hukum pidana terjadi jika kerugian yang ditimbulkan atas
kelalaian yang dilakukan oleh tenaga medis di rumah sakit memenuhi tiga unsur. Ketuga
unsur tersebut adalah adanya kesalahan dan perbuatan melawan hukum serta unsur lainya
yang tercantum dalam ketentuan pidana yang bersangkutan.
Perlu dikemukakan bahwa dalam sistem hukum pidana kita, dalam hal tindak pidana
dilakukan oleh korporasi, maka pengurusnya dapat dikenakan pidana penjara dan denda.
Sedangkan untuk korporasi, dapat dijatuhi pidana denda dengan pemberatan.

3. Semua Kerugian
Apakah yang dimaksud dengan semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang
dilakukan oleh tenaga kesehatan di rumah sakit?
Dalam hukum perdata dibedakan antara kerugian yang dapat dituntut berdasarkan
wanprestasi dengan yang berdasarkan perbuatan melawan hukum.
Kerugian yang dapat dituntut atas dasar wanprestasi menurut Adami Chazawi (Malpraktek
Kedokteran 2007:69), ” hanyalah kerugian materiil atau kerugian
kekayaan/kebendaan (vermogenschade) atau kerugian yang dapat dinilai dengan uang.
Sementara itu kerugian yang dapat dituntut dengan alasan perbuatan melawan hukum selain
kerugian kebendaan juga kerugian idiil (immaterial) yang tidak bersifat kebendaan, namun
dapat diperkirakan nilai kebendaannya berdasarkan kelayakan. ”
Pasal 46 Undang-undang tentang Rumah Sakit menyatakan Rumah Sakit bertanggung
jawab atas “semua kerugian”artinya rumah sakit menanggung kerugian materiil maupun
immaterial.
Selanjutnya, UU RS hanya mensyaratkan bahwa kerugian itu “ ditimbulkan atas kelalaian
yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit. Hal ini berarti, UU RS
mensyaratkan adanya hubungan kausal antara kerugian dengan kelalaian tenaga kesehatan
di rumah sakit .
Hubungan kausal dalam hukum perdata digunakan untuk menentukan adanya kerugian
sebagai dasar untuk menuntut ganti kerugian kepada pihak yang bertanggung jawab.
Sedangkan dalam hukum pidana hubungan kausal tersebut sebagai syarat bagi terjadinya
tindak pidana.

4. Kelalaian
Pasal 46 UU RS tidak menjelaskan apa yag dimaksud dengan kelalaian.
Hal ini dapat dimaklumi. Ajaran tentang kelalaian (culpa) dalam doktrin hukum
merupakan hal yang sulit, karena menyangkut sikap batin si pelaku yakni sesuatu yang
berada dalam pikiran si pelaku.
Adami Chazawi menyimpulkan secara pokok adanya dua ajaran mengenai kealpaan
yaitu culpa subjektif dan culpa objektif (op cit:88).
Ajaran culpa subjektif bertitik tolak dari sayarat syarat subjektif pada diri si
pelaku/pembuat. Sedangkan ajaran culpa objektif meletakkan syarat lalai atas suatu
perbuatan pada kewajaran dan kebiasaan yang berlaku secara umum.
Sementara itu dari sisi hukum pidana , J Guwandi (Pengantar Ilmu Hukum Medik dan Bio-
Etika, 2009:19) mengemukakan, ”kelalaian, di dalam literature disebut ”delicta
ommissionis”atau melanggar suatu peraturan pidana karena tidak melakukan sesuatu yang
seharusnya dilakukan sehingga merugikan pasien. ”
Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 46 UU RS, ihwal kelalaian memang perlu dibahas
secara lebih mendalam agar penerapannya dalam praktek dapat memenuhi rasa keadilan
semua pihak.

5. Tenaga Kesehatan di Rumah Sakit


Pasal 46 UU RS membatasi tanggung jawab rumah sakit terhadap kerugian yang
ditimbulkan oleh tenaga kesehatan di rumah sakit. Jadi, pasal ini menekankan pada lokasi
terjadinya kelalaian, tidak mempertimbangkan hubungan kerja antara tenaga kesehatan dan
rumah sakit.
UU RS tidak membedakan hubungan hukum antara rumah sakit dengan tenaga kesehatan
tersebut. Apakah hubungan hukumnya sebagai mitra atau menjadi pihak yang bekerja
sepenuhnya sebagai pegawai/karyawan rumah sakit? Undang-undang hanya menentukan
bahwa tenaga kesehatan yang bersangkutan memberi pelayanan kesehatan di rumah sakit.
Semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian mereka menjadi tanggung jawab rumah
sakit.
Yang dimaksud dengan tenaga kesehatan menurut pasal 1 angka 6 Undang-undang Nomor
36 tahun 2009 tentang Kesehatan adalah ”setiap orang yang mengabdikan diri dalam
bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau ketrampilan melalui pendidikan di
bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangn untuk melakukan
upaya kesehatan. ”
Dalam Penjelasan Pasal 21 ayat(1) Undang-undang tentang Kesehatan dikemukakan antara
lain:”Tenaga kesehatan dapat dikelompokkan sesuai dengan keahlian dan kualifikasi yang
dimiliki, antara lain meliputi tenaga medis, tenaga kefarmasian, tenaga keperawatan, tenaga
kesehatan masyarakat dan lingkungan, tenaga gizi, tenaga keterapian fisik, tenaga
keteknisan medis, dan tenaga kesehatan lainnya.”

6. Tindak Lanjut
Tanggung jawab Rumah Sakit semakin berat. Risiko yang dipikul semakin besar. Karena
itu rumah sakit perlu lebih ketat melakukan seleksi dan penempatan tenaga kesehatan, serta
melakukan pembinaan dan pengawasan internal terhadap kinerja tenaga kesehatan di rumah
sakit yang bersangkutan.
Selain itu untuk menjaga hubungan yang harmonis antara rumah sakit dengan pasen dan
tenaga kesehatan, maka pimpinan rumah sakit harus menanamkan 3 norma moral yang
temaktub dalam “Hospital Patient’s Charter, 1979” yang telah diterima menjadi standar
internasional. Ketiga norma tersebut adalah menghormati pasen, standar profesi dan
tanggung jawab sosial untuk pelayanan kesehatan rumah sakit.
Dan yang terpenting, Pemerintah harus segera menetapkan peraturan pelaksanaan UU RS
dan UU Kesehatan serta standar-standar pelayanan untuk memberikan perlindungan kepada
pasen, tenaga kesehatan dan rumah sakit.

Anda mungkin juga menyukai