Anda di halaman 1dari 6

KAJIAN ANGGOTA AHLI PIMPINAN DPRD KOTA CIREBON

Disampaikan :
Dr. R. Pandji Amiarsa, S.H.,M.H.

Dasar Hukum :

1. Keputusan Sekretaris DPRD Kota Cirebon Nomor : 175/Kep.Set. DPRD-01-2022


tertanggal 19 Januari 2022 Tentang Pembentukan Kelompok Pakar Atau Tim
Ahli Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota.
2. Surat Perintah Tugas Nomor : 175/005-Setwan tertanggal 19 Januari 2022.

Objek Bahasan :

Membahas dan mengkaji materi usulan pergantian Pimpinan DPRD dan Ketua Fraksi
dari Partai GERINDRA Kota Cirebon sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan
Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerakan Indonesia Raya (GERINDRA) Nomor : 06-
0108/Kpts/DPP-GERINDRA/2021 tentang Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
dan Ketua Fraksi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Partai Gerakan Indoensia Raya Kota
Cirebon Provinsi Jawa Barat Periode TA. 2021 -2024.

Batasan Masalah :

Bagaimana Tertib Hukum Positif proses penggantian kepemimpinan DPRD dan Fraksi
dihubungkan dengan Surat Keputusan Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerakan Indonesia
Raya (GERINDRA) Nomor : 06-0108/Kpts/DPP-GERINDRA/2021 tentang Pimpinan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Ketua Fraksi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Partai Gerakan Indonesia Raya Kota Cirebon Provinsi Jawa Barat Periode TA. 2021 -
2024.

Pembahasan :

Tertib hukum positif terkait alur proses penggantian kepemimpinan DPRD Provinsi,
Kabupaten, dan Kota diatur dalam PP Nomor 12 Tahun 2018 tentang Pedoman
Penyusunan Tata Tertib DPRD Provinsi, Kabupaten , dan Kota, mengatur tentang
mekanisme pergantian kepemimpinan DPRD sebagai berikut :

Dalam Pasal 36 menyebutkan :

(1) Masa jabatan Pimpinan DPRD terhitung sejak tanggal pengucapan sumpah/janji
pimpinan dan berakhir bersamaan dengan berakhirnya masa jabatan
keanggotaan DPRD.
(2) Pimpinan DPRD berhenti dari jabatannya sebelum berakhir masa jabatannya
karena :
a. Meninggal dunia;
b. Mengundurkan diri sebagai Pimpinan DPRD;

1
c. Diberhentikan sebagai Anggota DPRD sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan; atau
d. Diberhentikan sebagai Pimpinan DPRD.
(3) Pimpinan DPRD diberhentikan sebagai Pimpinan DPRD dalam hal:
a. Terbukti melanggar sumpah/janji jabatan dan Kode Etik berdasarkan
keputusan badan kehormatan; atau
b. Partai politik yang bersangkutan mengusulkan pemberhentian yang
bersangkutan sebagai Pimpinan DPRD sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(4) Dalam hal ketua DPRD berhenti dari jabatannya, para wakil ketua menetapkan
salah seorang diantaranya untuk melaksanakan tugas ketua sampai dengan
ditetapkannya ketua pengganti definitive.
(5) Dalam hal ketua dan wakil ketua DPRD berhenti dari jabatannya dan tersisa 1
(satu) wakil ketua, wakil ketua yang bersangkutan melaksanakan tugas ketua
DPRD sampai dengan ditetapkannya ketua pengganti difinitif.

Dalam Pasal 37 menyebutkan :

(1) Pimpinan DPRD lainnya melaporkan usul pemberhentian Pimpinan DPRD dalam
rapat paripurna.
(2) Pemberhentian Pimpinan DPRD ditetapkan dalam rapat paripurna.
(3) Pemberhentian Pimpinan DPRD ditetapkan dengan keputusan DPRD.

Dalam Pasal 38 menyebutkan :

(1) Pimpinan DPRD provinsi menyampaikan keputusan DPRD tentang


pemberhentian Pimpinan DPRD provinsi kepada Menteri melalui gubernur
sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk peresmian pemberhentiannya paling
lambat 7 (tujuh) Hari terhitung sejak ditetapkan dalam rapat paripurna.
(2) Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat menyampaikan keputusan DPRD
provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri paling lambat 7
(tujuh) Hari terhitung sejak diterimanya keputusan DPRD provinsi.
(3) Pimpinan DPRD kabupaten/kota menyampaikan keputusan DPRD tentang
pemberhentian Pimpinan DPRD kabupaten/kota kepada gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat melalui bupati/wali kota untuk peresmian pemberhentiannya
paling lambat 7 (tujuh) Hari terhitung sejak ditetapkan dalam rapat paripurna.
(4) Bupati/wali kota menyampaikan keputusan DPRD kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat paling
lambat 7 (tujuh) Hari terhitung sejak diterimanya keputusan DPRD
kabupaten/kota.
(5) Keputusan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) disertai
dengan berita acara rapat paripurna.

Berdasarkan Peraturan Tata Tertib DPRD Nomor 1 Tahun 2021, dihubungkan dengan
objek pembahasan relevan dengan ketentuan pada pasal 63 ayat 3 huruf b yang pada
pokoknya berbunyi : Pimpinan DPRD diberhentikan sebagai pimpinan DPRD dalam hal
partai politik yang bersangkutan mengusulkan pemberhentian yang bersangkutan
sebagai Pimpinan DPRD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Surat-surat yang relevan dengan kajian diantaranya sebagai berikut :

2
a.Surat Keputusan DPP Gerindra Nomor : 06-0108/Kpts/DPP-GERINDRA/2021
tertanggal 19 Juni 2021 ;

b.Putusan Pengadilan Negeri Jaksel No. 861/Pdt.Sus-Parpol/2021/PN.Jkt.Sel tertanggal


29 Nopember 2021.

c. Surat Sekretariat Daerah Propinsi Jawa Barat tertanggal 29 Oktober 2021 perihal
Penjelasan Proses Penggantian Pimpinan DPRD.

e. Surat Sekretariat Daerah Propinsi Jawa Barat tertanggal 31 Desember 2021 perihal
Penjelasan Pergantian Pimpinan DPRD Kota Cirebon,

Berdasarkan uraian diatas, proses penggantian kepemimpinan DPRD dan Fraksi


dihubungkan dengan SK DPP Gerindra dalam perspektif tertib hukum positif dapat
disampaikan pendapat dibawah ini :

Bahwa, dasar-dasar yang dipergunakan SK. DPP Gerindra terhadap Pergantian


Kepemimpinan DPRD menggunakan landasan hukum yang berkenaan dengan usulan
partai politik sebagaimana pasal 36 ayat 3 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 12
tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD Provinsi, Kabupaten , dan
Kota juga ketentuan Pasal 63 ayat 3 huruf Peraturan DPRD Kota Cirebon Nomor 1
Tahun 2021 tentang Tata Tertib DPRD.

Bahwa, terhadap SK DPP Gerindra tersebut, Pihak Ibu Affiati (Ketua DPRD Kota
Cirebon) telah menggunakan hak keberatannya dengan cara menempuh upaya hukum
berupa gugatan perbuatan melawan hukum melalui Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
dan diputus pada tanggal 29 Nopember 2021
Reg.No.861/Pdt.Sus-Parpol/2021/PN.Jaksel.

Adapun amar putusan tersebut sebagai berikut :

- Menolak eksepsi Para Tergugat mengenai kompetensi absolut;


- Menyatakan Pengadilan Negeri Berwenang untuk memeriksa dan mengadili
perkara a quo.
- Mengabulkan eksepsi Para Tergugat mengenai gugatan premature.
- Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima.

Bahwa, pada pertimbangan Majelis Hakim yang memeriksa perkara a quo pada
pokoknya mengungkapkan terdapat bukti berupa AD ART Partai Gerindra tahun 2020
(Vide halaman 62 Putusan) dalam pasal 69 AD dibentuk Mahkamah Partai yang disebut
Majelis Kehormatan dan dalam pasal 63 ART disebutkan bahwa Mahkamah Partai
Gerindra yang disebut Majelis Kehormatan Partai Gerindra mempunyai tugas dan fungsi
menyelesaikan perselisihan internal Partai Gerindra serta pelanggaran disiplin dan
masalah-masalah lain yang dapat berpengaruh terhadap nama baik Partai Gerindra.

Bahwa, mengutip pada halaman yang sama dalam putusan pengadilan negeri a quo,
Majelis Hakim berpendapat bahwa Ibu Affiati (Penggugat) belum menjalankan
kewajibannya untuk menyelesaikan perselisihan partai politik tersebut melalui
penyelesaian internal yang diatur dalam AD ART sebagaimana dimaksud dalam pasal 32
UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang perubahan atas UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Partai Politik.
3
Bahwa, upaya keberatan yang ditempuh Ibu Affiati melalui opsi gugatan tersebut ,
secara hukum menunjukan kondisi telah terjadi “Perselisihan Partai Politik”
sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 32 ayat 1 Undang-undang Nomor 2
Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Partai Politik (selanjutnya disebut UU Parpol), dimana yang dimaksud Perselisihan
Partai Politik adalah meliputi : 1).perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan,
2).pelanggaran terhadap hak anggota partai politik, 3). Pemecatan tanpa alasan yang
jelas, 4). Penyalahgunaan kewenangan, 5). Pertanggung jawaban keuangan, dan/atau,
6). Keberatan terhadap keputusan partai politik.

Bahwa, Berdasarkan ketentuan pasal 33 UU Parpol menentukan bahwa sengketa atau


perselisihan partai politik adalah juga diselesaikan melalui pengadilan negeri
dengan syarat tertentu. Maka syarat tertentu dimaksud adalah disebutkan dalam Pasal
33 ayat 1 UU Parpol menyebutkan bahwa dalam hal penyelesaian perselisihan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 32 UU Parpol tidak tercapai, maka penyelesaian
perselisihan dilakukan melalui pengadilan, dengan demikian penyelesaian sengketa atau
perselisihan dimaksud baru dapat ditempuh melalui pengadilan dipersyaratkan apabila
melalui mekanisme internal parpol atau mahkamah partai politik (Vide pasal 32
ayat 1 jo 2 UU Parpol) tidak tercapai.

Bahwa berdasarkan kaidah yang terkandung di dalam uraian diatas melalui pendekatan
yuridis administrative, upaya penyelesaian sengketa melalui pengadilan terhadap
perselisihan dalam internal partai politik merupakan jalan terakhir, maka pertimbangan
hukum Majelis Hakim Tingkat Pertama yang mengadili Perkara Gugatan yang diajukan
Ibu Affiati mengatakan sebagai gugatan yang premateur berdasarkan pasal 32 ayat 1 UU
Parpol.

Bahwa, apabila menggunakan pendekatan yuridis keperdataan, penggunaan hak


keperdataan Ibu Affiati (Ketua DPRD) langsung menempuh opsi gugatan perdata di
dasarkan adagium hukum “ Point d’interes point d’action “yakni siapa yang
mempunyai kepentingan hukum dapat mengajukan gugatan, maka upayanya tersebut
dapat dibenarkan berdasar adagium hukum tersebut.

Bahwa, kemudian apakah SK DPP Gerindra dapat dijalankan prosesnya sementara


perkara perselisihannya masih dalam status kasasi di Mahkamah Agung, untuk hal ini
belum diatur secara jelas pengaturannya dalam hukum positif terkait baik pada UU
Parpol maupun pada Peraturan pelaksananya, melainkan berdasarkan surat Sekretariat
Daerah Propinsi Jawa Barat tertanggal 29 Oktober 2021 pada pokoknya menggunakan
pendekatan prinsip Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AUPB) khususnya Asas
Kepastian Hukum yang memberi petunjuk agar Pemerintah Daerah Kota Cirebon dapat
memproses penggantian Pimpinan DPRD Kota Cirebon setelah adanya Keputusan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berkas persyaratan yang disampaikan
sesuai peraturan perundang-undangan.

Bahwa, makna frasa kata “dapat” tersebut diatas memberi arti bersifat fakultatif.
Meski kemudian dalam surat kedua tertanggal 31 Desember 2021 Sekretariat Daerah
Provinsi Jawa Barat dalam kalimatnya tidak lagi menggunakan frasa kata “dapat”,
4
melainkan menggunakan frasa kata “agar” yang mengandung makna sebagai bersifat
“anjuran”.

Berdasarkan uraian diatas, dapat dipetakan terdapat 2 (dua) wilayah proses dalam
menyikapi dan menindaklanjuti surat usulan DPP tersebut yakni Wilayah Proses
Politik itu tunduk pada ketentuan UU Parpol, PP No.12 Tahun 2018, dan Tatib DPRD
dimana dalam proses usulan pergantian / pemberhentian pimpinan DPRD tidak diatur
untuk menunda bila ada keberatan terhadap keputusan partai.

Dan Wilayah Proses Administratif, yakni pengambilan Keputusan terhadap usulan


yang telah di proses paripurna DPRD yang diteruskan pada Gubernur melalui Walikota,
merupakan proses pengambilan keputusan pejabat Tata Usaha Negara yang menganut
Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AUPB) sebagaimana UU No. 30 Tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan, dimana Gubernur pengambil keputusan selaku
kepanjangan pemerintah pusat.

KESIMPULAN :

Pergantian kepemimpinan DPRD Kota Cirebon yang menjadi objek kajian Tim Ahli yakni
di dasarkan pada Surat Keputusan DPP Gerindra Nomor 06-01018/Kpts/DPP-
GERINDRA/2021 tertanggal 19 Juni 2021 perihal : Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah dan Ketua Fraksi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Partai Gerakan Indonesia
Raya Kota Cirebon Provinsi Jawa Barat TA 2021-2024, sehingga dengan surat tersebut
secara hukum diklasifikasikan dasar pengajuan pergantian pimpinan DPRD
menggunakan pasal 36 ayat 3 huruf B PP No.12 Tahun 2008, yang pada pokoknya
berbunyi : “Partai Politik yang bersangkutan mengusulkan pemberhentian yang
bersangkutan sebagai pimpinan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.” Begitupula pada Pasal 63 ayat 3 Peraturan DPRD Nomor 1 Tahun 2021
tentang Tata Tertib DPRD mengatur hal yang sama, Adapun dasar pertimbangan /
konsideran keputusan tersebut adalah demi kelancaran jalannya kinerja organisasi
Partai di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan dalam rangka mencapai tujuan
Partai Gerindra vide SK DPP Gerindra.

Maka penggunaan dasar pergantian melalui ketentuan pasal tersebut dapat dimaknai
secara hukum SK DPP bersifat usulan, dimana masih memerlukan tahapan proses
sebagaimana diatur Undang-undang terkait yang dalam tingkat pelaksanaan
berpedoman pada PP No. 12 Tahun 2008 dan Peraturan DPRD No, 1 Tahun 2021
tentang Tata Tertib DPRD sebagai Proses Politik dan UU Administrasi Pemerintahan
sebagai dasar Proses Administratif berupa pengambilan keputusan Pejabat Tata Usaha
Negara.

Mekanisme proses penggantian harus sesuai dengan tertib hukum positif, yakni telah
tersedia pengaturan tersebut sebagaimana pasal 37 dan pasal 38 PP No. 12 Tahun 2018
tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD Provinsi,Kabupaten dan Kota, dan
Pasal 63 ayat 2 jo ayat 3 huruf b jo Pasal 64 jo 65 Peraturan DPRD Kota Cirebon nomor 1
Tahun 2021 tentang Tata Tertib DPRD sebagai pedoman proses politik di DPRD.

Bahwa kemudian mekanisme keberatan terhadap pemberhentian diatur dalam Pasal 31


UU Partai Politik, tetapi tidak mengatur tegas ihwal apabila terjadi perselisihan
dalam tingkat peradilan dapat menunda pelaksanaan proses penggantian
5
pimpinan DPRD melalui mekanisme PP No. 12 Tahun 2018 maupun Tata Tertib
DPRD, terkecuali yang berkaitan dengan perkara Pidana. Namun Sekretariat
Daerah Propinsi Jabar memberi petunjuk yang dapat berlaku sebagai pedoman dalam
suratnya baik tertanggal 29 Oktober 2021 dan tertanggal 31 Desember 2021 dengan
pendekatan UU nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yang pada
pokoknya agar menunggu putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.

Dengan demikian apabila usulan penggantian pimpinan DPRD diproses lebih lanjut
melalui rapat paripurna DPRD Kota Cirebon sebagaimana ketentuan pasal 37 ayat 1 PP
Nomor 12 Tahun 2018 serta Tatib terkait , dalam pendekatan / wilayah proses politik
tidak ada penghalang yuridis untuk ditempuh, melainkan dalam pendekatan wilayah
Tata Usaha Negara perlu dipedomani terkait AUPB , maka prinsip Asas Umum
Pemerintahan Yang Baik (AUPB) khususnya asas kepastian hukum akan
terlanggar sebagaimana pokok surat Sekretariat Daerah Propinsi Jawa Barat
dengan mendasarkan Undang-undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan jika pengambilan keputusan Pejabat Tata Usaha Negara dilakukan
sebelum Keputusan Pengadilan berkekuatan hukum tetap. (Inkracht van
gewisjde).

Anda mungkin juga menyukai