Anda di halaman 1dari 21

A.

Latar Belakang

Sebagai negara yang demokratis, Indonesia memiliki sistem ketatanegaraan dengan


memiliki lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Dari ketiga lembaga tersebut eksekutif
memiliki porsi peran dan wewenang yang paling besar apabila dibandingkan dengan lembaga
lainnya, oleh karenanya perlu ada kontrol terhadap pemerintah untuk adanya check and
balances. Untuk mengontrol kekuasaan eksekutif tersebut diperlukan lembaga yudikatif atau
kehakiman. Berkaitan dengan kekuasaan kehakiman dalam Pasal 24 UUD 1945 jo. Undang-
Undang No. 4 Tahun 2004 menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh
sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara menyebutkan bahwa sengketa tata usaha negara adalah sengketa yang
timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat
dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pada dasarnya sengketa Tata Usaha Negara terjadi karena adanya seseorang atau
badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata
Usaha Negara, yaitu suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang
menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Gugatan yang
diajukan oleh seseorang atau badan hukum yang merasa dirugikan tersebut haruslah dengan
alasan-alasan sesuai yang diatur dalam Pasal 53 ayat (2) UU No 5 Tahun 1986.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pertimbangan hukum hakim sehingga gugatan yang diajukan penggugat
tidak diterima ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui alasan pertimbangan hukum hakim sehingga gugatan yang diajukan
penggugat tidak diterima.
Contoh kasus :

1. Sengketa Kepegawaian Antara Perangkat Desa Gelam dan Kepala Desa


Gelam, Kecamatan Candi, Kabupaten Sidoarjo
Kronologi :

Pada tahun 2002 Kepala Desa Gelam, Kecamatan Candi, Kabupaten Sidoarjo
mengangkat Suroto, Imron Hanafi dan Anawati menjadi perangkat desa. Suroto diangkat
sebagai Perangkat Desa dengan jabatan Kepala Dusun Pagerwojo Desa Gelam,
Kecamatan Candi, Kabupaten Sidoarjo tanggal 29 April 2002 dengan Keputusan Kepala
Desa Gelam No. : 141/10.DS/404.5.2.10/2002. Imron Hanafi diangkat sebagai Perangkat
Desa dengan jabatan Seksi Pemerintahan Desa Gelam, Kecamatan Candi, Kabupaten
Sidoarjo berdasarkan Keputusan Kepala Desa Gelam tanggal 29 April 2002, Nomor :
141/10.DS/404.5.2.10/2002 dan Anawati diangkat sebagai Perangkat Desa dengan
Jabatan Seksi Pelayanan Umum Desa Gelam, Kecamatan Candi, Kabupaten Sidoarjo
berdasarkan Keputusan Kepala Desa Gelam tanggal 29 April 2002 Nomor :
141/10.DS/404.5.2.10/2002. Masa jabatan dari ketiga orang tersebut di atas ditentukan
berdasarkan pada pasal 36 Peraturan Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor : 4 Tahun 2000,
tanggal 29 April 2000, tentang Tata Cara Pencalonan, Pemilihan Dan Atau Pengangkatan
Perangkat Desa dengan masa jabatan masing-masing 10 (sepuluh) tahun terhitung mulai
tanggal 29 April 2002 sampai dengan tanggal 29 April 2012.

Pada tanggal 12 Juli 2002 telah diundangkan Perda No. 7 Tahun 2002 tentang
Perubahan Pertama Perda No. 4 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pencalonan, Pemilihan
dan atau Pengangkatan Perangkat Desa yang dalam pasal 44 ayat (2) menegaskan bahwa :
Bagi Perangkat Desa yang saat ini telah menjabat dapat menyelesaikan tugasnya sampai
dengan usia 64 (enam puluh empat) tahun. Walaupun telah ada Perda yang mengatur
bahwa masa jabatan Perangkat Desa dapat menyelesaikan masa jabatannya sampai
dengan umur 64 Tahun, tetapi khususnya Kepala Desa Gelam yang menjabat pada waktu
itu tidak mau merubah atau menerbitkan Keputusan yang baru untuk menyesuaikan dan
memberlakukan bahwa untuk Para Penggugat dapat menyelesaikan tugasnya sampai
dengan usia 64 (enam puluh empat) tahun. Padahal sejak diberlakukannya Perda Nomor :
7 Tahun 2002 pada tanggal 12 Juli 2002 kepala desa seharusnya menerbitkan Keputusan
yang merubah masa jabatan dari perangkat desa dari 10 (sepuluh) tahun menjadi 15 (lima
belas) tahun dan menyelesaikan tugasnya sampai dengan usia 64 (enam puluh empat)
tahun. Selain itu Suroto, Imron dan Anawati mendengar bahwa di desa lain yang juga
masuk wilayah hukum Kabupaten Sidoarjo ada Kepala Desa yang menerbitkan
Keputusan tentang masa jabatan Perangkat Desa sampai dengan usia 64 Tahun. Salah
satunya di Desa Keboharan, Kecamatan Krian, Kabupaten Sidoarjo seorang Perangkat
Desa bernama : Mohammad Yono diangkat pada tanggal 20 Mei 2002 dengan masa
jabatan sampai dengan usia 64 (enam puluh empat) tahun, sehingga menurut hukum,
seharusnya Para Penggugat memperoleh perlakuan yang serupa seperti yang berlaku di
Desa Keboharan, yakni mengenai berlakunya masa jabatan Perangkat Desa sampai
dengan usia 64 (enam puluh empat) tahun dan sampai saat ini masih berlaku dan diakui
oleh Pemerintah Kabupaten Sidoarjo.

Selanjutnya mereka bertiga bersama-sama dengan Perangkat Desa lainnya yang


termasuk dalam wilayah Kabupaten Sidoarjo diangkat berdasarkan Perda Nomor : 4
Tahun 2000 dengan masa jabatan 10 Tahun, menyampaikan pengaduan melalui Forum
Komukasi Perangkat Desa Kabupaten Sidoarjo dan dengar pendapat (hearing) ke DPRD
Kabupaten Sidoarjo terkait dengan implementasi pasal 44 ayat (2) Perda Nomor : 7
Tahun 2002. Kemudian DPRD Kabupaten Sidoarjo memberikan tanggapan positif
dengan mengirimkan surat yang ditujukan kepada Bupati Sidoarjo tanggal 28 Pebruari
2012, Nomor : 140/677/404.2/2012, perihal Tindak lanjut Pengaduan FKPD tentang masa
bakti Perangkat Desa yang pada nomor : 2 disebutkan bahwa Terjadinya kesalahan
dalam pembuatan SK Para Perangkat Desa oleh Kepala Desa terhadap masa bakti
Perangkat Desa diharapkan untuk melakukan pembenahan, penyesuaian atau revisi
terhadap SK Perangkat Desa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku pada saat itu.

Penyelesaian :

Atas kesepakatan DPRD Kabupaten Sidoarjo dan Perangkat Desa, Kepala Desa
Gelam dinyatakan melakukan Mall Admisistrasi di Pemerintahan Desa apabila tidak
mengubah surat keputusan yang di keluarkannya. Karena itu pihak perangkat desa
membuat surat permohonan kepada kepala desa yang isinya meminta kepala desa untuk
mengubah isi surat keputusan tetapi kepala desa memberikan penolakan dan tetap
berpegang teguh pada keputusan awal yang ditetapkannya yaitu Keputusan Nomor :
141/03/404.7.2.11/2012 tanggal 29 April 2012, tentang Pengesahan Pemberhentian
Perangkat Desa. Sehingga para perangkat desa akhirnya mendaftarkan gugatan kepada
kepala desa di PTUN Surabaya atas adanya keputusan yang dinilai merugikan tersebut.

Analisa Saya :

Menurut saya subyek sengketa tersebut adalah Suroto, Imron Hanafi dan Anawati
selaku perangkat desa sebagai penggugat karena mereka yang mendaftarkan gugatan di
PTUN terhadap keputusan Kepala Desa yang dinilai tidak sesuai dengan Perda
Kabupaten Sidoarjo dan merugikan Perangkat Desa Gelam. Yang menjadi tergugat
adalah Kepala Desa Gelam, Kecamatan Candi, Kabupaten Sidoarjo karena Kepala Desa
Gelam adalah pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan tersebut serta
menimbulkan akibat yang merugikan bagi perangkat desa (pengugat).

Berdasarkan kronologi diatas kepala desa dapat digugat oleh perangkat desa karena
keputusan yang dikeluarkannya dianggap tidak sesuai dengan Perda Kabupaten Sidoarjo
yang berlaku saat ini. Keputusan Tata Usaha Negara bersifat konkrit, individual dan final
sebagaima diatur dalam pasal 1 angka (9) Undang Undang Nomor : 5 Tahun 1986 jo.
Undang Undang Nomor : 51 Tahun 2009 yang menegaskan bahwa:Keputusan Tata
Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat
tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha Negara yang berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang belaku yang bersifat konkrit, individual dan final,
yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata dalam hal
ini terhadap para perangkat desa (Penggugat). Selain itu keputusan yang bersifat final
tersebut dianggap merugikan bagi pihak perangkat desa karena menimbulkan akibat
hukum pemberhentian dari jabatan perangkat desa.

Menurut saya seharusnya dalam menerbitkan keputusan kepala desa sebagai pejabat
Tata Usaha Negara haruslah memperhatikan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik
(AAUPB) agar tidak menimbulkan sengketa di kemudian hari. Dalam kasus ini, kepala
desa Gelam dalam mengeluarkan keputusan sepertinya bertentangan dengan beberapa
asas AAUPB, seperti :

Asas Kecermatan Formal : Keputusan yang dibuat oleh kepala desa dinilai
tidak cermat karena bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi yaitu
bertentangan dengan Perda Kabupaten Sidoarjo.
Asas Persamaan/Keseimbangan : Perangkat desa Gelam tersebut menuntut
adanya persamaan atas masa jabatan mereka karena di desa lain yang masih
termasuk wilayah hukum Kabupaten Sidoarjo, perangkat desa menjabat
hingga berumur 64 tahun dan masa jabatannya 15 tahun sedangkan perangkat
desa Gelam (Penggugat) dibatasi hanya 10 tahun masa jabatannya. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa tidak ada persamaan perlakuan kepada perangkat
desa di satu wilayah hukum yang sama yakni Kabupaten Sidoarjo.
Asas Kepastian Hukum : Keputusan yang dikeluarkan oleh Kepala Desa
Gelam dinilai tidak mengutamakan kepastian hukum karena tidak berdasarkan
pada peraturan perundang-undangan yang berlaku yakni Peraturan Daerah
Kabupaten Sidoarjo: Perda No. 7 Tahun 2002 tentang Perubahan Pertama
Perda No. 4 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pencalonan, Pemilihan dan atau
Pengangkatan Perangkat Desa.

2. Sengketa Pendirian Wahana Yang Merusak Hutan


Kronologi :
Pemerintah Kabupaten Sukamaju menghadapi gugatan PTUN yang dilakukan oleh
LSM Sadar Diri yang terus mempersoalkan ijin gangguan atau HO Wahana Wisata
Water Park Sukamaju di Desa Pinggiran Kabupaten Sukamaju yang dikeluarkan pada
tanggal 29 Februari 2012 lalu, karena dianggap pendirian wahana wisata tersebut
merusak hutan yang dijadikan lokasi wahana wisata seluas tiga hektar, di mana hutan itu
merupakan tempat mata pencaharian sebagian besar warga Desa Pinggiran.
Pemerintah Kabupaten Sukamaju pun siap atas gugatan yang diajukan tersebut,
karena merasa tidak ada kesalahan dalam kebijakan perijinan pendirian Wahana Wisata
Water Park oleh PT Tolak Miskin. Sementara itu PT Tolak Miskin selaku pemilik
wahana wisata tersebut telah secara resmi mengantongi HO. Kepastian pengelola wahana
wisata telah mengantongi HO dikatakan oleh Direktur Pemasaran Tolak Miskin, Yuda
Aduy yang didampingi kuasa hukumnya. Menurut Yuda Aduy, dengan menunjukkan
bukti otentik HO yang selama ini diperjuangkan, tidak ada alasan lagi bagi pihak lain
untuk mempermasalahkan ijin tersebut.
Dia mengatakan bahwa sebelumnya sempat mengalami keterlambatan pengurusan ijin
HO. Namun demikian dengan menunjukkan alat bukti yang sah serta memiliki kekuatan
hukum, akhirnya HO diterbitkan. Yuda mengakui meskipun HO sudah keluar, namun
masih ada persoalan internal yang harus secepatnya diselesaikan. Saat ini LSM Sadar
Diri telah mengajukan gugatan PTUN terhadap Pemerintah Kabupaten Sukamaju terkait
ijin wahana wisata tersebut. Di samping itu, PT Tolak Miskin pun menunggu kepastian
hukum yang jelas terkait masalah ini.
Analisa :

1. Subyek hukum dari kasus di atas adalah:


a. LSM sadar diri sebagai penggugat.
b. Pemkab Sukamaju sebagai tergugat.
c. PT Tolak Miskin sebagai pihak ketiga yang ijin usahanya dipermasalahkan oleh
penggugat.
2. Obyek hukum dari kasus di atas adalah keputusan tata usaha negara, yaitu pemberian
ijin oleh Pemkab Sukamaju kepada PT Tolak Miskin terkait pendirian Wahana Wisata
Waterpark di Desa Pinggiran.
3. Kasus dapat diajukan gugatan kepada PTUN, karena:
a. Obyek Gugatan
Dasar gugatannya: Keputusan TUN berupa tindakan hukum TUN (mengeluarkan
keputusan/Beschikking yang bersifat konkret (nyata tidak abstrak: ijin usaha).
b. Posita.Gugatan
Posita atau dasar-dasar gugatan, berisikan dalil Penggugat untuk mengajukan gugatan.
yang diuraikan secara ringkas dan sederhana. Posita ini berupa :
- Fakta hukum berisi fakta-fakta secara kronologis tentang adanya hubungan
hukum antara Penggugat dengan Tergugat maupun dengan objek.gugatan.
Dalam fakta hukum ini dapat diuraikan kapan keputusan yang menjadi obyek
gugatan dikeluarkan (29 Februari 2012) atau diberitahukan kepada penggugat
atau kapan mulai merasa kepentingan terganggu karena adanya keputusan
tersebut (masyarakat mulai merasa hutan Desa Pinggiran sulit menjadi mata
pencaharian mereka lagi).
- Kualifikasi Perbuatan Tergugat, yaitu pemberian ijin usaha pendirian
Wahana Wisata Water Park yang menganggu kepentingan warga Desa
Pinggiran.
- Uraian Kerugian Penggugat yaitu pendirian wahana wisata tersebut merusak
hutan yang dijadikan lokasi wahana wisata seluas tiga hektar, di mana hutan
itu merupakan tempat mata pencaharian sebagian besar warga Desa Pinggiran.
Jadi persyaratan secara materiil sudah terpenuhi.
3. Sengketa terhadap Pemilihan Umum Kepala Daerah
Kronologi :
Sengketa terkait masalah Pilkada Pamekasan beberapa waktu lalu, saat ini resmi
didaftarkan di Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) Surabaya. Langkah tersebut
diambil, lantaran tindakan KPUD yang mendiskualifikasi pasangan calon bupati
Pamekasan Achmad Syafii dan Khalil Asy'ari dengan alasan yang dinilai kurang fair
sehingga muncul tudingan jika KPUD Pemekasan berkonspirasi dengan pasangan
incumbent Bupati Pamekasan, Kholilurahman.
Sengketa ini bermula ketika panwas mendiskualifisi Achmad Syafii yang berpasangan
dengan Khalil Asy'ari, yang mencalonkan diri sebagai Bupati Pamekasan periode 2013-
2018 tetapi memberi rekomendasi kepada pasangan incumbent. Tidak hanya itu, KPUD
juga mencabut penetapan calon bupati Pamekasan. Dan justru kini membuka pendaftaran
baru untuk para calon yang ingin maju sebagai bupati periode 2013-2018. Tapi,
pendukung dari mantan Bupati Pamekasan Achmad Syafii dan Khalil Asy'ari (ASRI)
dari partai Demokrat, PPP, PKS dan Hanura menyesalkan sikap Panwaslu Pamekasan.
Dinilai tidak fair dalam pendaftaran calon bupati pamekasan saat ini. Pasangan
incumbent yang tidak mempunyai ijazah, yakni Kholilurahman dan Masduki justru
diloloskan untuk maju kembali mencalonkan bupati pamekasan periode 2013-2018. Tapi
yang mempunyai ijazah yakni Achmad Syafii dan Khalil Asy'ari, justru didiskualifikasi.
Lantaran nama Khalil tidak sesuai dengan yang ada di ijazah mulai tingkat MI, MTS dan
MA bernama Halil.
Namun, nama tersebut sudah diganti setelah Halil maju mencalonkan diri sebagai
legislatif menjadi Khalil Asyari yang kini jadi ketua DPRD kabupaten Pamekasan. Dan
sudah dinonaktifkan untuk maju mencalonkan diri sebagai wakil bupati berpasangan
dengan Achmad Syafii. Makanya dengan ketidak fairnya dalam pemilihan kepala
daerah Pamekasan, masyarakat dari pendukung Achmad Syafii dan Khalil Asy'ari
menggugat KPUD Pamekasan ke PTUN Surabaya.
Secara terpisah, M. Sholeh kuasa hukum dari pasangan Achmad Syafii dan Khalil
Asy'ari meminta agar bersikap adil. Karena, kliennya itu mempunyai ijazah yang asli dan
dikeluarkan oleh Kanwil Departemen Agama Jatim waktu itu. Kuasa hokum pasangan
Achmad Syafii dan Khalil Asyari menggugat KPUD Pamekasan ke PTUN dengan
nomor 144/G/2012/PTUN.Sby. yang isinya dan intinya agar PTUN Surabaya meloloskan
pasangan Achmad Syafii dan Khalil Asy'ari.
Analisa :
Keberadaan pasal 2 huruf g Undang Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara (UU PTUN) masih sering memicu munculnya berbagai macam penafsiran. Pasal
ini merumuskan Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara
menurut Undang-Undang ini adalah: (g) Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di
pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum. Artinya, pasal ini
menjelaskan bahwa salah satu Keputusan Tata Usaha Negara yang tidak dapat
diselesaikan dan diputus melalui mekanisme PTUN adalah Keputusan Panitia Pemilihan,
baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum. Dalam tafsir yang
paling sederhana, bahwa selain tahapan penghitungan suara, semua tahapan pemilu
memiliki peluang untuk digugat melalui mekanisme hukum. Mengingat setiap tahapan
pemilu memiliki dasar hukum yakni Surat Keputusan KPU, maka SK KPU tentang
setiap tahapan itulah yang berpeluang menjadi obyek perkara dalam PTUN.
Namun ternyata Mahkamah Agung memberikan makna lain. Lewat Surat Edaran No
8 Tahun 2005, Mahkamah Agung memberikan tafsir bahwa semua SK KPU yang terbit
pada semua tahapan pemilu tidak dapat diproses di PTUN, termasuk SK yang tidak
terkait dengan hasil Pemilihan Umum. Pada butir 2 SEMA disebutkan bahwa
dihubungkan dengan pasal 2 huruf g UU PTUN, maka keputusan atau penetapan
(KPUD) tidak dapat digugat di Peradilan Tata Usaha Negara, sehingga bukan merupakan
kewenangannya untuk memeriksa dan mengadili. Menurut SEMA ini, sekalipun yang
dicantumkan secara eksplisit dalam ketentuan tersebut mengenai hasil pemilihan umum,
haruslah diartikan meliputi juga keputusan-keputusan yang terkait dengan pemilihan
umum.
Sebab, apabila harus dibedakan kewenangan lembaga-lembaga pengadilan yang
berhak memutusnya, padahal dilakukan terhadap produk keputusan atau penetapan yang
diterbitkan oleh badan yang sama, yaitu KPUD dan terkait dengan peristiwa hukum yang
sama pula, yaitu perihal pemilihan umum, maka perbedaan kewenangan tersebut akan
dapat menimbulkan inkonsistensi putusan pengadilan. Bahkan putusan-putusan
pengadilan yang berbeda satu sama lain atau saling kontroversial. SEMA juga menunjuk
putusan No. 482 K/TUN/2003 tanggal 18 Agustus 2004 sebagai yurisprudensi
Mahkamah Agung yang menegaskan bahwa keputusan yang berkaitan dan termasuk
dalam ruang lingkup politik dalam kasus pemilihan tidak menjadi kewenangan PTUN
untuk memeriksa dan mengadilinya.
Namun sikap Mahkamah Agung tidak bertahan lama. Tahun 2010, Mahkamah Agung
kembali mengeluarkan Surat Edaran terkait dengan Pasal 2 huruf g UU PTUN. Secara
substansi, materi SEMA No. 7 Tahun 2010 memiliki perbedaan yang fundamental
dengan substansi SEMA No. 8 Tahun 2005. Bahkan materi SEMA No. 7 Tahun 2010
cenderung berusaha meluruskan materi SEMA No. 8 Tahun 2005. Namun SEMA
membedakan dua jenis kelompok keputusan, yaitu keputusan-keputusan yang berkaitan
dengan tahap persiapan penyelenggaraan Pilkada dan keputusan yang berisi mengenai
hasil pemilihan umum. Dengan demikian SEMA No. 7 Tahun 2010 mengatur bahwa
keputusan-keputusan yang belum atau tidak merupakan hasil pemilihan umum dapat
digolongkan sebagai keputusan di bidang urusan pemerintahan. Oleh karena itu,
sepanjang keputusan tersebut memenuhi kriteria Undang-Undang No. 51 Tahun 2009
Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan
Tata Usaha Negara pasal 1 ayat 9 maka tetap menjadi kewenangan PTUN untuk
memeriksa dan mengadilinya.
Munculnya SEMA No. 07 Tahun 2010 memicu dinamika dalam berperkara di PTUN.
Beberapa PTUN kemudian mengalami lonjakan jumlah perkara mengingat pelaksanaan
Pemilukada di daerah berlangsung secara intens. Dalam tahapan pemilukada itulah
muncul persoalan-persoalan hukum, termasuk persoalan hukum administratif terkait
terbitnya Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) oleh KPUD. Dalam pengamatan
penulis, tahapan yang paling dominan menjadi obyek gugatan di PTUN dalam perkara
Pemilukada 2010 adalah Tahapan Verifikasi Bakal Calon menjadi Calon Tetap.
Beberapa pihak atau pasangan tertentu yang merasa tidak diloloskan KPUD dalam
verifikasi Bakal Calon berusaha menggugat Keputusan KPUD tentang Penetapan Calon
melalui PTUN. Harapannya, PTUN membatalkan SK Penetapan tersebut dan KPUD
dapat mengakomodir pasangan untuk ikut berkompetisi dalam Pilkada. Seiring
banyaknya perkara pemilukada yang masuk PTUN akhir-akhir ini, maka beberapa
persoalan penyelesaian secara yuridis formil juga mulai muncul. Salah satunya adalah
mekanisme penerapan tenggang waktu mengajukan gugatan ke PTUN dalam perkara
Pemilukada. Pasal 55 UU No. 5 Tahun 1986 menerangkan bahwa Gugatan dapat
diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat
diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
Dalam perkara No. 51/G.TUN/2010/PTUN Makassar antara Andi Maddusila melawan
KPUD Kabupaten Gowa terlihat ada problem penerapan tenggang waktu pasal 55 UU
PTUN dalam perkara Pilkada.
Pada kasus ini, Penggugat merasa kepentingannya dirugikan oleh terbitnya SK KPUD
tentang Penetapan Calon Bupati Gowa karena proses penerbitan SK tidak melalui
verifikasi yang cermat dan valid. Penggugat mengajukan gugatan pada saat tahapan
Pemilukada sudah selesai, yakni setelah pelantikan calon terpilih. Penggugat mengklaim,
gugatannya masih dalam tenggang waktu mengingat Penggugat baru sadar dan tahu
kepentingannya dirugikan dengan keluarnya SK itu setelah pelantikan berlangsung dan
masih dalam tenggang waktu 90 hari.
Problem Tenggang Waktu UU PTUN dalam Penyelesaian Perkara Pilkada oleh Irvan
Mawardi Problem Tenggang Waktu UU PTUN dalam Penyelesaian Perkara Pilkada oleh
Irvan Mawardi. Meskipun pada akhirnya Gugatan 51/G.TUN/2010/PTUN Makassar
antara Andi Maddusila melawan KPUD Kabupaten Gowa tidak lolos dismissal oleh
Ketua PTUN Makassar, gugatan ini menyisakan persoalan pokok. Apa itu? Gugatan
perkara Pemilukada yang diajukan masih dalam tenggang waktu namun tahapan pilkada
tetapi sudah memasuki tahapan pemilihan suara bahkan penetapan pasangan yang
berpotensi melahirkan ketidakpastian hukum terhadap tahapan pemilukada. Selain itu,
gugatan yang muncul pada tahapan akhir pilkada atau bahkan selesainya semua tahapan
pilkada akan memicu gejolak sosial di tengah masyarakat. Sehingga persoalannya adalah
bagaimana mencari titik temu atau solusi antara tahapan pilkada yang telah terjadwal dan
terus berjalan dengan munculnya gugatan PTUN setiap saat mengingat durasi tenggang
waktu dalam gugatan PTUN cukup lama, yakni 90 hari.
Pada umumnya jangka waktu 90 hari bagi pelaksanaan Pemilukada dapat mencakup
lima tahapan, yakni pendaftaran dan penetapan calon pasangan, kampanye, pemungutan
suara, penghitungan suara dan penetapan pasangan pemenang. Seperti dalam kasus
Pilkada Gowa Sulawesi Selatan, KPUD melalui Surat KPUD Gowa No.
01/SK/KPUGW/PKWK/X/2009 tanggal 21 Oktober 2009 menetapkan jadwal tahapan
pilkada, yakni tahapan pendaftaran dan penetapan calon berakhir 21 April 2010 dan
penetapan pasangan pemenang pada 02 Juli 2010. Dalam kasus ini misalnya, tenggang
90 hari menjadi persoalan ketika pihak pertama atau pihak ketiga baru merasakan
kepentingannya dirugikan pada awal Juli atau tepatnya memasuki tahapan pasangan
pemenang.
Eksistensi tenggang waktu dalam sebuah gugatan, termasuk gugatan dalam PTUN
menjadi penting untuk menghadirkan kepastian hukum terhadap proses beracara.
Tenggang waktu lazim juga disebut bezwaartermijn atau klaagtermijn. Ini merupakan
batas waktu yang diberikan kepada seseorang atau badan hukum perdata untuk
memperjuangkan hanya dengan cara mengajukan gugatan melalui peradilan tata usaha
Negara.
Secara konseptual, tenggang waktu menggugat selama 90 hari dalam hukum acara
PTUN menurut pasal 55 UU No. 5 Tahun 1986 termasuk sangat singkat. Disebut singkat
apabila dibandingkan dengan ketentuan batas waktu menggugat dalam hukum acara
perdata, khususnya ketentuan pasal 835, 1963, dan 1967 KUH Perdata. Tenggang waktu
menurut ketentuan tersebut adalah selama 30 tahun. Demikian pula menurut putusan
Mahkamah Agung No.26/K/Sip/1972 tanggal 19 April 1972. Dalam hukum adat lewat
waktu untuk hak milik atas tanah bahkan tidak dikenal, sebagaimana putusan Mahkamah
Agung No. 916 K/Sip/1973 tangal 19 Desember 1973.
Berdasarkan pasal 55, tenggang waktu mengajukan gugatan bagi yang dituju dengan
sebuah KTUN (pihak II), makan tenggang waktunya 90 hari sejak saat KTUN itu
diterima. Sedangkan bagi pihak ke III yang berkepentingan, maka tenggang waktunya
sejak 90 KTUN itu diumumkan. Yang menjadi masalah, dalam praktek pemerintahan,
belum ada suatu ketentuan yang pasti tentang tata cara pengumuman suatu KTUN. Hal
ini berpotensi merugikan pihak ketiga yang sesungguhnya punya kepentingan terhadap
terbitnya KTUN, namun tidak mengetahui secara langsung. Berdasarkan kondisi
demikian, Mahkamah Agung kemudian mengeluarkan SEMA No. 2 Tahun 1991 yang
pada pokoknya mengatur bahwa bagi pihak ketiga yang tidak dituju KTUN,
penghitungan 90 hari adalah sejak bersangkutan mengetahui keputusan dan merasa
kepentingannya dirugikan KTUN tersebut.
Poin SEMA No. 2 Tahun 1991 secara substansi memperpanjang masa tenggang
waktu menggugat di PTUN. Hal ini mengingat frasa merasa kepentingannya dirugikan
tidak hanya dibatasi oleh 90 hari, tetapi juga kapan saja tiba-tiba bisa muncul kondisi
merasa kepentingannya dirugikan. Dengan SEMA tersebut sangat dimungkinkan untuk
menggugat suatu KTUN yang sudah diterbitkan puluhan tahun silam. Dalam konteks
perkara PTUN yang terkait dengan Pilkada, maka substansi SEMA No. 12 Tahun 1991
inilah yang berpotensi memicu lahirnya ketidakpastian hukum dalam tahapan pilkada.
Berdasarkan prinsip merasa kepentingannya dirugikan, pihak ketiga dapat saja
mengajukan gugatan selama 90 hari sejak kepentingannya dirugikan meskipun pada
faktanya tahapan pilkada sudah akan berakhir atau bahkan sudah selesai.
Dalam kasus Pilkada Gowa di atas, partai-partai pengusung Andi Maddusila baru
merasa kepentingannya dirugikan ketika Badan Kehormatan KPU Provinsi Sulawesi
Selatan memeriksa anggota KPUD Gowa. Hasil pemeriksaan menunjukkan ada
kesalahan yang dilakukan KPUD Gowa dalam melakukan verifikasi bakal calon kandidat
pemilukada Gowa. Kesalahan tersebut berupa lolosnya bakal calon yang diduga tidak
memenuhi syarat secara formal. Kesalahan KPUD menjadi titik awal bahwa ada
kepentingan para partai pengusung Andi Maddusila yang dirugikan. Padahal informasi
bahwa KPUD melakukan kesalahan tersebut muncul ketika tahapan pilkada sudah
selesai.
Modus tentang kepentingan pihak ketiga yang merasa dirugikan yang muncul dalam
rentang waktu yang cukup lama sejak lewatnya masa tenggang waktu 90 hari nampaknya
akan semakin banyak ditemui dalam kasus pemilukada. Harus dingat bahwa pemilukada
adalah peristiwa politik. Faktor kekecewaan dari pihak yang kalah cukup potensial.
Kondisi ini kemudian berhadapan dengan kinerja KPUD mengelola penerbitan KTUN
yang terkadang lalai dan kurang cermat. Dalam kondisi inilah ada pihak berusaha
menggugat KTUN yang merugikan.
Sesungguhnya, proses gugatan adalah sesuatu yang normatif dan biasa-biasa saja.
Adalah hak setiap orang untuk melayangkan gugatan. Yang menjadi persoalan, dalam
peristiwa politik seperti pemilukada, masa tenggang waktu menggugat seperti yang
diatur dalam pasal 55 merupakan rentang waktu yang cukup lama. Sehingga memicu
ketidakpastian hukum bagi KTUN serta mengganggu proses pemilihan. Idealnya,
penyelesaian hukum dalam peristiwa politik seperti pemilihan umum diatur proses
hukum yang berjalan dan selesai dalam waktu relatif singkat.
Jangka waktu pengajuan gugatan di PTUN menurut pasal 55 adalah 90 hari. Jangka
waktu ini jauh lebih lama dibandingkan dengan jangka waktu pengajuan sengketa
pemilukada ke Mahkamah Konstitusi yang sangat pendek, yaitu dibatasi hanya 3 hari
setelah penetapan hasil pemilihan (vide Pasal 94 PP No.6/2005 jo UU No.12/2008),
sedangkan untuk kasus pidana pemilukada harus dilaporkan paling lambat 7 hari (vide
Pasal 110 PP No.6/2005). Pembatasan jangka waktu gugatan sengketa pemilukada
dimaksudkan agar proses pemilukada tidak terkatung-katung atau terjadi kevakuman,
ketidakpastian hukum dan pengeluaran anggaran yang sangat besar, maka batasan
tenggang waktu gugatan baik di PTUN, di MK maupun di PN bersifat mutlak, sehingga
pengajuan gugatan yang lewat waktu dinyatakan tidak dapat diterima.
Dengan demikian diperlukan upaya sistematis dan konseptual untuk mendudukkan
aturan tenggang waktu yang proporsional dalam perkara pilkada. Dalam pandangan
penulis, tenggang waktu yang diatur dalam pasal 55 UU PTUN harus diterapkan asas lex
specialis derogat legi generali pada kasus sengketa Pemilukada. Asas ini diterapkan
apabila terjadi konflik/pertentangan antara undang-undang yang khusus dengan yang
umum maka yang khusus yang berlaku.
Dalam konteks ini, ketentuan tenggang waktu pasal 55 dalam UU PTUN harus
dimaknai secara hukum berlaku pada tataran ketentuan hukum acara peradilan tata usaha
negara secara umum. Namun ketika ketentuan hukum acara PTUN berhadapan dengan
kasus khusus, seperti halnya kasus sengketa Pemilukada --yang mana tahapan
Pemilukada menghendaki proses penyelesaian hukum yang cepat-- ketentuan tenggang
waktu UU PTUN harus ditentukan secara khusus dalam sengketa pemilukada. Formula
hukum yang paling proporsional adalah, UU PTUN harus mencantumkan materi
eksepsional dalam ketentuan pasal 55, bahwa dalam hal sengketa Pemilu atau
Pemilukada, maka tenggang waktu mengajukan gugatan adalah 7 hari sejak keputusan
KPU/KPUD dan atau Bawaslu/Panwaslu diterbitkan atau diumumkan.
Pilihan eksepsional dalam pasal 55 UU PTUN merupakan salah satu upaya untuk
tetap memberikan hak hukum bagi para pencari keadilan dan tetap menjaga agar proses
pelaksanaan pemilu atau pemilukada tetap terjaga. Secara rasio dalam kasus pemilukada,
penerapan pasal 55 UU PTUN amat sulit dieksekusi. Seperti dalam kasus gugatan
Pemilukada Gowa di PTUN Makassar, penggugat menggugat Keputusan KPU tentang
penetapan calon Bupati Gowa karena ada calon yang semestinya tidak lolos tetap lolos.
Rationya adalah, jika gugatan itu menyangkut calon yang dianggap tidak sah, maka
obyek gugatan dapat segera diputus atau ditunda (schorsing) sebelum tahap pelaksanaan
pemilukada. Sedangkan apabila gugatan itu baru diajukan setelah tahap pelaksanaan
pemungutan suara, berarti obyek gugatan sudah terlanjur dilaksanakan KPU/KPUD
sudah tidak efektif lagi.
Selain itu, muncul obyek gugatan baru berupa penetapan hasil pemilukada yang
bukan menjadi wewenang PTUN karena merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi
(MK). Seharusnya dengan mengacu pada ketentuan SEMA No. 07 Tahun 2010, dalam
hal ada sengketa tata usaha negara yang terjadi pada tahap persiapan pemilukada,
seharusnya segera diajukan dalam tahap persiapan atau sebelum lewat tahap pelaksanaan
pemilukada (pemungutan suara: pencontrengan atau pencoblosan), tahap penghitungan
suara dan tahap penetapan calon terpilih berdasarkan hasil penghitungan suara.
Logika rasionalitas seperti itu akan tetap menjadi dilema dan problem yang tak
berkesudahan apabila pasal 55 UU PTUN masih tetap memberikan waktu 90 hari untuk
tenggang waktu menggugat tanpa memberikan pilihak spesialis atau eksepsional dalam
kasus Pemilukada. Dengan adanya peluang menggugat, maka secara hukum pada para
pencari keadilan tetap melekat hak untuk menggugat. Dalam posisi itu secara hukum
juga terbuka kemungkinan terbitnya keputusan-keputusan hukum yang mungkin juga
keluar dari rasionalitas yang dipahami secara umum. Dengan demikian, apabila pasal 55
UU PTUN tidak memberikan pilihan eksepsional, ketentuan tersebut menimbulkan
ketidakpastian hukum dalam tahapan pilkada.

4. Gugatan terhadap Keputusan Presiden Nomor 71/M Tahun 2000.

Keputusan presiden Nomor 71/M Tahun 2000 yang memberhentikan Parni Hadi
dari jabatannya selaku Pimpinan Lembaga Kantor Berita Nasional ANTARA (LKBNAN
TA) dan menggantiannya dengan Mohammad Sobary telah mendatangkan sejumlah
kontroversi, sebagaimana diketahui bahwa Parni Hadi melalui kuasa hukumnya telah
menggugat Keppres tersebut ke PTUN. Jika dicermati Keppres tersebut telah memenuhi
persyaratan sebagai keputusan TUN, karena sangat jelas bahwa badan atau pejabat yang
mengeluarkannya adalah presiden RI.

Begitu juga mengenai isi Keppres dan kepada siapa Keppres tersebut ditujukan sudah
sangat jelas yakni pemecatan/pemberhentian Parni Hadi sebagai Pimpinan Lembaga
Kantor Berita Nasional ANTARA dan sekaligus mengangkat Mohammad Sobary sebagai
penggantinya. Keputusan presiden tersebut berisi tentang tindakan hukum TUN, bersifat
konkret karena keputusan presiden tersebut mengenai pemberhentian Parni Hadi sebagai
Pimpinan LKBN ANTARA. Bersifat individual, jelas keputusan presiden tersebut tidak
ditunjukkan untuk umum, tetapi ditujukan kepada Parni Hadi dan Mohammad Sobary
yang alamatnya sudah sangat jelas. Bersifat final, keputusan presdien tersebut
untuk berlakunya tidak memerlukan persetujuan siapapun. Kemudian keputusan tersebut
menimbulkan kerugian bagi Parni, jadi dapat dikualifikasikan keputusan presiden nomor
71/M Tahun 2000 termasuk KTUN.

Namun, dalam keputusan Presiden tersebut tidak tercantum secara jelas alasan-alasan
mengapa Parni Hadi di berhentikan, dan dia juga tidak di berikan kesempatan untuk
membela diri, sehingga muncullah pemikiran baru jika keputusan Presiden ini di buat
secara subyektif, karena alasan seperti pelanggaran atau kesalahan Parni Hadi tidak di
sebutkan. Dalam surat surat gugatan Parni Hadi ke PTUN yang dibuat oleh kuasa
hukumnya,terdapat dua alasan utama yang di jadikan argumentasi bahwa presiden tidak
memiliki wewenang mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 71/M Tahun 2000. Yang
pertama alasan bahwa berdasarkan Akte Notaris No. 52 tanggal 20 Mei 1953 status
LKBNANTARA adalah badan hukum swasta, namun alasan ini dapat langsung
dipatahkandengan Keputusan Presiden No. 307 Tahun 1962, yang menjelaskan bahwa
Yayasan Kantor Berita Nasional telah dirubah menjadi Lembaga Kantor Berita
Nasional(ANTARA). Begitu juga dengan alasan kedua yang dapat di perdebatkan, bahwa
Keppresini tidak bertentangan dengan UU No.40/1990, karena keduanya mengatur hal
yang berbeda. Namun, KTUN ini pada akhirnya di nyatakan cacat prosedur sehingga
menjadikannya tidak sah. Karena seharusnya, sebelum KTUN yang di maksud di
keluarkan hendaknya di perhatikan tentang pemberian kesempatan kepada orang atau
badan hukum perdata yang di tuju untuk membela diri sebelum KTUN tersebut di
keluarkan, hal ini juga bertujuan agar tidak terjadi kesewenang-wenangan dalam
mewujudkan good governance. Keppres tersebut juga melanggar Pasal 53 ayat 2 huruf
aUUPTUN, yang mana pada akhirnya Keppres ini bertentangan dengan ketentuan-
ketentuan dalam atauran perundang-undangan yang bersifat prosedural formal, seperti :
sebelum keputusan pemberhentian dikeluarkan harusnya pegawai yang bersangkutan
mendapat kesempatan untuk membela diri.

5. Sengketa Kepegawaian Pegawai Negeri Sipil

Menurut Muhammad Arsad pemberhentian itu tidak sesuai dengan peraturan


perundang-undangan. Muhammad Arsad menduga pemecatannya bukan karena tidak
mampu menjalankan tugas melainkan terkait Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Selayar
23 Mei 2010 yang lalu. Saat Pilkada Muhammad Arsad mendukung pasangan calon
Bupati lain yang merupakan lawan Syahrir Wahab yang terpilih kembali memimpin
Selayar. Oleh karena itu Muhammad Arsad mengajukan gugatan ke PTUN Makassar
tercatat dengan Nomor 58/G.TUN/10/PTUN MKS tanggal 20 Oktober 2010. Inti gugatan
adalah Muhammad Arsad memohon kepada Hakim PTUN untuk membatalkan SK
Pemberhentian Muhammad Arsad. Berdasarkan pemberitaan, surat gugatan telah
memenuhi syarat-syarat dalam Pasal 56 ayat (1) UU PTUN di mana gugatan berisikan:
1. Identitas penggugat (Pak Arsad) dan tergugat (Bupati Kepulauan Selayar).
2. Fundamentum petendi (dasar gugatan) adalah pemberhentian dalam jabatan BKD
yang dilakukan secara sepihak oleh Bupati Kepulauan Selayar yang mengatakan
bahwa Pak Arsad dianggap tidak mampu mendukung pelaksanaan tugas dan
fungsi BKD Kepulauan Selayar. Sedangkan sesuai Daftar Penilaian Pekerjaan
(BP-3) ia memperoleh nilai rata-rata baik.
Oleh karena itu, keputusan pemberhentian dalam jabatan melanggar hukum dan
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu:
a) Melanggar Pasal 7 ayat (4) butir c PP No. 53 tahun 2010 tentang disiplin pegawai
negeri sipil yaitu jenis hukuman disiplin berat (pembebasan dari jabatan).
b) Melanggar Pasal 10 PP No.100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan PNS dalam
Jabatan Struktural, di mana dalam Pasal 10 itu tidak tercantum kriteria PNS
diberhentikan dari jabatan struktural karena ketidakmampuan mendukung
pelaksanaan tugas serta alasan politis (mendukung calon Bupati lain).
c) Melanggar Pasal 14 ayat (1) PP No.100 tahun 2000 tentang pengangkatan PNS
dalam jabatan struktural yang mengatakan bahwa untuk menjamin kualitas dan
objektivitas dalam pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian PNS dalam
dan dari jabatan struktural Eselon II ke bawah di setiap instansi dibentuk Badan
Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan selanjutnya disebut Baperjakat. Di mana
ayat (4) Pasal 14 tersebut disebutkan tugas pokok Baperjakat adalah memberikan
pertimbangan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Kabupaten dalam
pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dalam dan dari jabatan struktural
Eselon II ke bawah.
Melihat kasus Gugatan PTUN oleh Muh Arsyad terhadap Bupati Selayar maka
menurut saya: Seharusnya Pak Arsad mengajukan upaya administratif karena upaya
administratif ini dimaksudkan sebagai kontrol atau pengawasan yang bersifat intern dan
represif di lingkungan Tata Usaha Negara terhadap keputusan yang dikeluarkan oleh
pejabat TUN. Selanjutnya, putusan PT TUN tersebut (yang telah masuk dalam tahap
upaya administratif) dapat diajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung. Prosedur
ini ditempuh untuk mempercepat proses penyelesaian, demi tercapainya kepastian
hukum.
Cara Penyelesaiannya :
- Upaya Administratif sesuai PP No. 53 Tahun 2010
Pasal 32 PP No. 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS, mengatur apabila PNS tidak
puas atau tidak menerima atas keputusan penjatuhan hukuman disiplin, maka di tempuh
melalui upaya administrative. Ada 2 upaya administratif, yaitu berupa keberatan dan
banding adminstratif. Keberatan adalah upaya administratif yang dapat ditempuh oleh
PNS yang tidak puas terhadap hukuman disiplin yang dijatuhkan oleh pejabat yang
berwenang menghukum kepada atasan pejabat yang berwenang menghukum. Hukuman
disiplin yang dapat diajukan keberatan adalah penundaan kenaikan gaji berkala selama 1
(satu) tahun, dan penundaan kenaikan pangkat selama 1 (satu) tahun. Hukuman disiplin
yang dapat diajukan banding administratif ke Badan Pertimbangan Kepegawaian
(BAPEK) adalah yang dijatuhkan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian dan Gubernur
sebagai wakil pemerintah untuk jenis hukuman disiplin berat berupa :
pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS, dan
pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS. Dengan demikian, Badan
Pertimbangan Kepegawaian dianggap sebagai badan Peradilan Khusus.
Prosedur keberatan hukuman disiplin, diajukan secara tertulis kepada atasan pejabat
yang berwenang menghukum dengan memuat alasan keberatan dan tembusannya
disampaikan kepada pejabat yang berwenang menghukum. Keberatan diajukan dalam
jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung mulai tanggal yang bersangkutan menerima
keputusan hukuman disiplin. Keberatan yang diajukan melebihi 14 (empat belas) hari
kalender tidak dapat diterima. Pejabat yang berwenang menghukum setelah menerima
tembusan surat keberatan atas keputusan hukuman disiplin yang telah dijatuhkannya,
harus memberikan tanggapan atas keberatan yang diajukan oleh PNS yang bersangkutan.
Tanggapan tersebut disampaikan secara tertulis kepada atasan pejabat yang berwenang
menghukum dalam jangka waktu 6 (enam) hari kerja terhitung mulai tanggal yang
bersangkutan menerima tembusan surat keberatan. Atasan pejabat yang berwenang
menghukum wajib mengambil keputusan atas keberatan yang diajukan oleh PNS yang
bersangkutan, dalam jangka waktu paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja terhitung
mulai tanggal atasan pejabat yang berwenang menghukum menerima surat keberatan.
Penguatan, peringanan, pemberatan, atau pembatalan hukuman disiplin, ditetapkan
dengan keputusan atasan pejabat yang berwenang menghukum. Keputusan tersebut
bersifat final dan mengikat. Yang dimaksud dengan final dan mengikat adalah terhadap
keputusan peringanan, pemberatan, atau pembatalan hukuman disiplin tidak diajukan
keberatan dan wajib dilaksanakan.
- Gugatan melalui Peradilan TUN
Kepekaan dan kesadaran hukum PNS kian meningkat di era reformasi dan globalisasi
informasi ini, PNS dapat memperjuangkan kepentingannya yang menyangkut sengketa
kepegawaian melalui peradilan TUN. Pada prinsipnya semua sengketa kepegawaian
dapat digugat langsung ke peradilan TUN, namun adakalanya sengketa kepegawaian
harus diselesaikan terlebih dahulu melalui upaya administratif sesuai PP No. 53 Tahun
2010. Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa
kepegawaian, jika seluruh upaya administratif telah ditempuh oleh penggugat (PNS).
Pengadilan yang bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
ditingkat pertama sengketa kepegawaian yang telah melalui upaya adminsitratif adalah
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN). Putusan PT TUN tersebut dapat
diajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung. Prosedur ini ditempuh untuk
mempercepat proses penyelesaian, demi tercapainya kepastian hukum.
Dari 2 cara untuk menyelesaikan sengketa tersebut, ada perbedaan yang cukup
signifikan, yaitu:
Dalam penyelesaian dari segi hukumnya (rechtmatigheid).
Badan atau Pejabat atau Instansi yang memeriksa upaya administratif dapat
mengganti, mengubah atau meniadakan atau dapat memerintahkan untuk mengganti atau
merubah atau meniadakan keputusan yang menjadi obyek sengketa. Sedangkan Peradilan
Tata Usaha Negara tidak dapat mengganti, mengubah atau meniadakan atau dapat
memerintahkan untuk mengganti atau merubah atau meniadakan keputusan yang
menjadi obyek sengketa. Namun hanya dapat menjatuhkan putusan bahwa Keputusan
Tata Usaha Negara yang menjadi obyek sengketa tersebut tidak sah atau batal
(Kursif Penulis).
Pada waktu Badan atau Pejabat atau Instansi yang memeriksa upaya administratif
menjatuhkan putusan terhadap sengketa tersebut dapat memperhatikan perubahan yang
terjadi sesudah dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara yang mengakibatkan
terjadinya sengketa tersebut. Sedangkan penyelesaian oleh Peradilan Tata Usaha Negara
hanya memperhatikan keadaan yang terjadi pada waktu dikeluarkannya Keputusan Tata
Usaha Negara yang menjadi obyek sengketa tersebut.

6. Sengketa atas pemberian IMB


Kronologi :
Kota Malang adalah kota terbesar kedua di Jawa Timur setelah Surabaya. Terkandung
Tri Bina Cita Kota Malang yang menyatakan bahwa Malang Kota Pariwisata, Malang
Kota Pendidikan dan Malang Kota Industri. Berdasarkan Perda Kota Malang Nomor 10
Tahun 2010 tentang Tata Ruang dan Tata Wilayah, diatur bahwa Kecamatan Klojen
dijadikan sebagai kawasan terbuka hijau. Pada Maret 2012, ada perusahaan yang bernama
PT. Logistik Unggas yang bergerak di bidang produksi makanan hewan ternak
mengajukan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk pembangunan pabrik baru di
wilayah Kecamatan Klojen. Enam bulan kemudian dikeluarkan IMB atas PT. Logistik
Unggas yang disahkan atas nama walikota Malang (Drs. Beni Suprapto, M.Ap) dan
ditandatangani oleh Kepala Dinas Perijinan (M. Fathir Djoko Susilo S,T., M.J.). Walikota
menilai bahwa pembangunan industri harus didukung karena Malang sebagai Kota
Industri, sehingga dikeluarkanlah IMB dengan Nomor 123/45.6/MAL/IX/2012. Akibat
adanya keputusan tersebut maka masyarakat Kec. Klojen merasa dirugikan jika pabrik
tersebut telah beroperasi dikemudian hari akibat limbah yang ada.

Analisis Kasus :
Tata Usaha Negara adalah Administrasi Negara yang melaksanakan fungsi untuk
menyelenggarakan urusan pemerintahan baik pusat maupun daerah ( Pasal 1 butir 1
Undang-Undang No.5 Tahun 1986). Untuk menganalisa kasus PTUN terdapat dua
metode yang dapat kita lakukan. Pertama kita harus mengetahui siapa subjek dari kasus
tersebut. Kedua kita harus mengetahui apa yang menjadi objek dari kasus tersebut.
Didalam Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang menjadi objek gugatan atas suatu
permasalahan adalah surat keputusan yang dikeluarkan oleh Badan/Pejabat tata usaha
negara, Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan
oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha
Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat
konkrit, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau
badan hukum perdata (Pasal 1 butir 3 Undang-Undang No.5 Tahun 1986), sedangkan
yang menjadi subyek gugatan adalah Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang
mengeluarkan surat keputusan tersebut. Badan/Pejabat Tata Usaha Negara
adalahBadan/Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku (Pasal 1 butir 2 Undang-Undang No.5 Tahun
1986). Contohnya Walikota, Bupati, Kepala Dinas, Gubernur, Rektor, Komisi
Pemilihan Umum, dsb.
Hukum acara PTUN berbeda dengan hukum acara lain. Di dalam Hukum Acara
PTUN yang menjadi penggugat adalah Orang/Badan hukum sedangkan yang menjadi
pihak tergugat adalah Badan/Pejabat TUN. Ketentuan tersebut tidak boleh dibalik karena
PTUN ada untuk melindungi rakyat. Tidak semua kasus dapat diselesaikan di PTUN,
karena hal ini berkaitan dengan kompetensi dari PTUN itu sendiri. Ketika terdapat
sebuah kasus kita harus menentukan apakah kasus tersebut dalam kompetensi PTUN.
Terdapat dua jenis kompetensi ,yaitu kompetensi absolut yang berkaitan dengan materi
dari kasus yang ada dan kompetensi relatif yang didasarkan atas wilayah terjadinya
kasus.
Berdasarkan dua metode untuk dapat menganalisa suatu kasus TUN, kasus diatas
merupakan kasus TUN yang dapat diajukan gugatan ke PTUN oleh masyarakat Kec.
Klojen. Hal ini didasarkan atas fakta yang menunjukkan bahwa objek atas kasus tersebut
adalah surat keputusan IMB dengan Nomor 123/45.6/MAL/IX/2012. Keputusan tersebut
merupakan keputusan yang tidak termasuk didalam Pasal 2 Undang-Undang No 5 Tahun
1986. sedangkan subyeknya adalah Walikota dan Kepala Dinas perijinan kota Malang.
Maka, dari metode yang ada dapat kita katakan bahwa kasus tersebut adalah murni
sengketa TUN antara masyarakat dengan Pejabat TUN.
Dalam Kasus tersebut sebelum kedua belah pihak menyelesaikan sengketanya melalui
PTUN, langkah utama yang ditempuh adalah melalui jalur upaya administrasi, karena
upaya adminstrasi adalah langkah mutlak yang harus ditempuh sebelum jalur pengadilan,
hal ini berdasarkan pasal 48 ayat 1 yang menyebutkan bahwa Dalam hal suatu Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenang oleh atau berdasarkan peraturan
perundang-undangan untuk menyelesaikan secara administratif sengketa Tata Usaha
Negara tertentu, maka batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi
dan/administratif yang tersedia. Ketika upaya administrasi tidak menghasilkan solusi
atas sengketa tersebut maka walikota malang melalui kepala dinas perijinan dapat
digugat ke PTUN. Ketentuan tersebut dapat kita lihat pada pasal 48 ayat 2 yang
menyebutkan bahwa Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus dan
menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika
seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah digunakan.

PENUTUPAN
Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usahanegara
antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usahanegara, baik di
pusat maupun daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usahanegara. Sengketa
Tata Usaha Negara terbagi menjadi dua yaitu, sengketa intern dansengketa ekstern.Penggugat
adalah orang atau badan hukum perdata yang dirugikan akibatdikeluarkannya KTUN. Pihak
tergugat adalah selalu badan atau jabatan TUN yangmengeluarkan keputusan berdasarkan
wewenang yang ada padanya atau yangdilimpahkan kepadanya.Terdapat dua cara
penyelesaian sengketa TUN, yaitu :1. Secara langsung yaitu melalui pengadilan2. Secara
tidak langsung yaitu melalui upaya administratif, terbagi menjadi duacara yaitu banding
administrasi dan keberatan.Penyelesaian sengketa melalui pengadilan digunakan terhadap
gugatan denganobjeknya berupa Keputusan Tata Usaha Negara yang dalam peraturan
dasarnya tidakmengisyaratkan adanya penyelesaian sengketa melalui upaya administratif
terlebihdahulu. Sedangkan Upaya administratif adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh
olehseorang atau badan hukum perdata apabila ia tidak puas terhadap keputusan TUN
yangdilaksanakan di lingkunagan pemerintahan itu sendiri.Banding administrasi adalah
penyelesaian sengketa TUN secara administratif yangdilakukan oleh instansi atasan atau
instansi lain dari yang mengeluarkan keputusan
yang bersangkutan. Sedangkan penyelesaian sengketa TUN secara keberatan adalah penyeles
aian sengketa TUN secara administratif yang dilakukan sendiri oleh badan / pejabat TUN
yang mengeluarkan keputusan itu.Dengan mengetahui proses penyelesaian sengketa
administrasi maka kitamemperoleh pengetahuan dan dapat menjelaskan dengan tepat kapan
suatu sengketadapat diselesaikan melalui jalur pengadilan, dan kapan suatu penyelesaian
sengketa TataUsaha Negara melalui upaya administratif terlebih dahulu.

SARAN
Seharusnya setiap KTUN yang dikeluarkan dapat dipertanggung jawabkan, karenasetiap
KTUN akan selalu ada akibat hukum yang ditimbulkan dan akan ada pihak yangdirugikan.
Sehingga UU PTUN semestinya mampu melindungi pihak penggugat daritindak
kesewenang-wenangan pejabat atau badan TUN.Dan juga seharusnya ada pensederhanaan
prosedur, karena prosedur yang diterapkansaat ini terlalu berbelit-belit. kita tahu bahwa
terdapat tenggang waktu untuk mengajukangugatan, jika prosedur yang ditreapkan serumit
ini, maka waktu hanya akan terbuang pada proses adminitrasi masuknya gugatan saja.

Anda mungkin juga menyukai