Anda di halaman 1dari 11

POINTER BUMD

A. DASAR HUKUM
1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah.

Pasal 11
(2) Anggota Direksi adalah warga Negara Indonesia yang diangkat dan
diberhentikan oleh Kepala Daerah setelah mendengar pertimbangan
DPRD.

2. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1998 tentang Bentuk


Hukum BUMD.
Pasal 2
Bentuk hukum BUMD dapat berupa Perusahaan Daerah (PD) atau
Perseroan Terbatas (PT).
Pasal 3
(1) BUMD yang bentuk hukumnya berupa PD, tunduk pada Peraturan
Perundang-undangan yang berlaku yang mengatur Perusahaan
Daerah.
(2) BUMD yang bentuk hukumnya berupa PT, tunduk pada Undang-Undang
tentang PT dan peraturan pelaksanaannya.

Pasal 4
Gubernur dapat merubah bentuk Perusahaan Daerah menjadi Perseroan
Terbatas.
Pasal 5

Perubahan bentuk hukum BUMD dilakukan dengan cara:


a. Mengajukan permohonan prinsip tentang perubahan bentuk hukum
kepada Menteri.
b. Menetapkan Peraturan Daerah tentang Perubahan Bentuk Hukum BUMD
dari PD ke PT.
c. Pembuatan Akte Notaris pendirian sebagai PT.

3. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 50 Tahun 1999 tentang


Kepengurusan BUMD.
Pasal 2
Pengurus BUMD terdiri dari:
a. Direksi.
b. Badan Pengawas.

Pasal 3
(1) Direksi diangkat oleh Kepala Daerah diutamakan dari swasta atas usul
Badan Pengawas.
(2) Dalam hal calon Direksi bukan dari swasta maka yang bersangkutan
harus melepaskan terlebih dahulu status kepegawaiannya.
(4) Pengangkatan anggota Direksi ditetapkan dengan Keputusan Kepala
Daerah.
Pasal 18
(1) Badan Pengawas diangkat oleh Kepala Daerah.
(2) Badan Pengawas berasal dari orang yang profesional sesuai dengan
bidang usaha BUMD yang bersangkutan.
(4) Pengangkatan Badan Pengawas ditetapkan dengan Kepala Daerah.

B. USULAN DPRD DALAM RAPERDA TENTANG BUMD

Pasal 13
(1) Pengangkatan Direksi PD dan PT dilakukan oleh Gubernur selaku
Pemegang Saham melalui Keputusan Gubernur.
(2) Pengangkatan Direksi wajib mendapat persetujuan DPRD.

Pasal 14
(1) Gubernur selaku Pemegang Saham mengusulkan calon anggota Direksi
BUMD kepada DPRD untuk melakukan uji kepatutan dan kelayakan.

Pasal 15
(1) Pengangkatan Badan Pengawas PD dilakukan oleh Gubernur selaku
pemegang saham BUMD melalui Keputusan Gubernur.
(2) Pengangkatan Badan Pengawas wajib mendapat persetujuan DPRD.

Pasal 16
(1) Gubernur selaku pemegang saham mengusulkan calon anggota Badan
Pengawas kepada DPRD untuk melakukan uji kepatutan dan kelayakan.

Pasal 17
(1) Pengangkatan Dewan Komisaris PT dilakukan oleh Gubernur selaku
pemegang saham BUMD melalui Keputusan Gubernur.
(2) Pengangkatan Dewan Komisaris wajib mendapat persetujuan DPRD.

Pasal 18
(1) Gubernur selaku pemegang saham mengusulkan calon anggota Dewan
Komisaris kepada DPRD untuk melakukan uji kepatutan dan kelayakan.
POINTER
PENAMBAHAN MODAL DASAR BANK JATIM

Dasar Hukum guna menjawab pertanyaan DPRD seputar penambahan Modal disetor
pada PT. Bank Jatim.
I. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Pasal 41

(1) Penambahan modal Perseroan dilakukan berdasarkan persetujuan RUPS.


(2) RUPS dapat menyerahkan kewenangan kepada Dewan Komisaris guna
menyetujui pelaksanaan keputusan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.
(3) Penyerahan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sewaktu-waktu
dapat ditarik kembali oleh RUPS.

Pasal 42

(1) Keputusan RUPS untuk penambahan modal dasar adalah sah apabila
dilakukan dengan memperhatikan persyaratan kourum dan jumlah suara setuju
untuk perubahan anggaran dasar sesuai dengan ketentuan dalam Undang-
Undang ini dan/atau anggaran dasar.
(2) Keputusan RUPS untuk penambahan modal ditempatkan dan disetor dalam
batas modal dasar adalah sah apabila dilakukan dengan kourum kehadiran
lebih dari ½ (satu perdua) bagian dari seluruh jumlah saham dengan hak suara
dan disetujui oleh lebih dari ½ (satu perdua) bagian dari jumlah seluruh suara
yang dikeluarkan, kecuali ditentukan lebih besar dalam anggaran dasar.

II. Peraturan pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan


Daerah
Pasal 43
Kepala Daerah menyampaikan rancangan peraturan daerah tentang APBD kepada
DPRD disertai penjelasan dan dokumrn pendukungnya pada minggu pertama bulan
Oktober tahun sebelumnya untuk dibahas dalam rangka memperoleh persetujuan
bersama.

III. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas
Peraturan Menteri dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah
1. Ketentuan Pasal 104 ayat (2) dan ayat (3) dihapus, sehingga Pasal 104
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 104
(1) Kepala daerah menyampaikan rancangan peraturan daerah tentang
APBD beserta lampirannya kepada DPRD paling lambat pada
minggu pertama bulan Oktober tahun anggaran sebelumnya dari
tahun yang direncanakan untuk mendapatkan persetujuan
bersama.
(2) Dihapus.
(3) Dihapus.
(4) penyampaian
-2-

(4) Penyampaian rancangan peraturan daerah sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) disertai dengan nota keuangan.
(5) Dalam hal kepala daerah dan/atau pimpinan DPRD berhalangan
tetap, maka pejabat yang ditunjuk danditetapkan oleh pejabat yang
berwenang selakupenjabat/pelaksana tugas kepala daerah dan/atau
selaku pimpinan sementara DPRD yang menandatangani
persetujuan bersama.

2. Ketentuan Pasal 105 ayat (2) diubah, ayat (3) dihapus dan menambah
5 (lima) ayat baru yakni ayat (3a), ayat (3b), ayat (3c), ayat (3d) dan
ayat (3e), sehingga Pasal 105 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 105
(1) Penetapan agenda pembahasan rancangan peraturandaerah
tentang APBD untuk mendapatkan persetujuan bersama
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (1) disesuaikan
dengan tata tertib DPRD masing-masing daerah.
(2) Pembahasan rancangan peraturan daerah ditekankan pada
kesesuaian rancangan APBD dengan KUA dan PPAS.
(3) Dihapus.
(3a) Dalam pembahasan rancangan peraturan daerah tentang APBD,
DPRD dapat meminta RKA-SKPD berkenaan dengan
program/kegiatan tertentu.
(3b) Hasil pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dituangkan dalam dokumen persetujuan bersama antarakepala
daerah dan DPRD.
(3c) Persetujuan bersama antara kepala daerah dan DPRD terhadap
rancangan peraturan daerah tentang APBD ditandatangani oleh
kepala daerah dan pimpinan DPRD paling lama 1 (satu) bulan
sebelum tahun anggaran berakhir.
(3d) Dalam hal kepala daerah dan/atau pimpinan DPRD berhalangan
tetap, maka pejabat yang ditunjuk oleh pejabat yang berwenang
selaku penjabat/pelaksana tugas kepala daerah dan/atau selaku
pimpinan sementara DPRD yang penandatangani persetujuan
bersama.
(3e) Atas dasar persetujuan bersama sebagaimana dimaksud pada
ayat (3b), kepala daerah menyiapkan rancangan peraturan kepala
daerah tentang penjabaran APBD.

IV. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 22 Tahun 2011 tentang Pedoman
Penyusunan APBD Tahun 2012.
“Pemerintah Daerah harus memenuhi jadwal proses penyusunan APBD,
mulai dari penyusunan dan penyampaian rancangan KUA dan rancangan
PPAS oleh Pemerintah Daerah kepada DPRD untuk dibahas dan
disepakati bersama paling lambat akhir bulan Juli 2011. Selanjutnya
KUA dan PPAS yang telah disepakati bersama tersebut akan menjadi
dasar bagi Pemerintah Daerah untuk menyusun, menyampaikan dan
membahas RAPBD Tahun Anggaran 2012 antara Pemerintah Daerah
dengan DPRD sampai dengan tercapainya persetujuan bersama
antara Kepala Daerah dan DPRD terhadap Raperda tentang APBD”.

V. Surat
-3-

V. Surat Menteri Dalam Negeri tanggal 19 Mei 2006 Nomor 188.341/1047/SJ


perihal Perda Provinsi Jawa Timur, pada intinya menyampaikan bahwa ketentuan
dalam Pasal 17 ayat (1) Perda Provinsi Jawa Timur Nomor 1 Tahun 2006 tentang
Perseroan Terbatas (PT) Petrogras Jatim Utama yang menyatakan ”Dalam hal
Perseroan melakukan perubahan struktur modal, struktur Perusahaan dan Struktur
Direksi, Gubernur wajib minta persetujuan DPRD” dihapus
Hal tersebut dimaksudkan agar Gubernur selaku pemegang saham mempunyai
Dasar Hukum untuk menata Perusahaan Daerah yang ada di Provinsi Jawa Timur.

VI. Surat Menteri Dalam Negeri tanggal 19 September 2011 Nomor 188.341/3559/SJ
perihal tanggapan atas Surat Gubernur Jawa Timur, pada intinya menyatakan
bahwa dalam rangka menuju BPD Regional Champion (BRC) yang memerlukan
penguatan modal untuk peningkatan dan ekspansi usaha dengan penambahan
modal dari masyarakat melalui Initial Public Offering (IPO) atau penawaran saham
perdana kepada masyarakat PT. BPD Jawa Timur tidak perlu lagi persetujuan
DPRD mengingat kebijakan dimaksud merupakan kewenangan PT. Bank Jatim
yang ditentukan melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) sesuai ketentuan
Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas.

VII. Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 1999 tentang Perubahan Bentuk Badan Hukum
Bank Pembangunan Daerah Jawa Timur dari Perusahaan Daerah Menjadi
Perseroan Terbatas Bank Pembangunan Daerah Jawa Timur.
Pasal 17
(4) Dalam mengadakan perubahan modal dasar, Pemerintah Daerah Tingkat I
selaku pemegang saham PT. Bank Jatim terlebih dahulu harus mendapat
persetujuan DPRD.
(5) Perubahan modal dasar dimaksud pada ayat (4) selanjutnya ditetapkan oleh
RUPS sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

VIII. Peraturan Gubernur Nomor 60 Tahun 2011 tentang Tambahan Modal Disetor
Keenam Dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur Kepada PT. Bank Pembangunan
Daerah Jawa Timur Tahun Anggaran 2011.
Pasal 3
(1) Tambahan Modal Disetor Pemerintah Provinsi Jawa Timur kepada PT. Bank
Pembangunan Daerah Jawa Timur, dengan telah mempertimbangkan
perkembangan kinerja yang positif dan kebutuhan untuk penyediaan modal
kerja Unit Usaha Syariah.
(2) Tambahan Modal Disetor Pemerintah Provinsi Jawa Timur sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dianggarkan dalam APBD Provinsi Jawa Timur
Tahun Anggaran 2011 melalui pengeluaran pembiayaan.
IX. Peraturan DPRD Provinsi Jawa Timur Nomor 1 Tahun 2009 tentang Tata Tertib
DPRD Provinsi Jawa Timur.
Pasal 108
(1) Dalam rangka menyiapkan Rancangan APBD, Pemerintah Daerah bersama-
sama DPRD menyusun arah dan Kebijakan Umum.

(2) Dalam
-4-

(2) Dalam menyusun arah dan kebijakan umum APBD sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), harus diawali dengan penjaringan aspirasi masyarakat, berpedoman
pada Rencana Strategi Daerah dan/atau dokumen perencanaan daerah lainnya
yang ditetapkan daerah serta pokok-pokok kebijakan nasional di bidang
keuangan daerah.
(3) Berdasarkan atas kebijakan umum APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Gubernur menyusun strategi dan prioritas APBD yang tertuang dalam Rancangan
Perda.
(4) Rancangan Perda tentang APBD dan Lampiran selengkapnya dengan Nota
Keuangan disampaikan oleh Gubernur kepada DPRD untuk dimintakan
persetujuan.
(5) Pimpinan DPRD menyerahkan Nota Keuangan dan Rancangan Perda tentang
Rancangan APBD beserta lampirannya sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
kepada Badan Anggaran untuk memperoleh pendapatnya.
(6) Pendapat Badan Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (5), diserahkan
kepada Fraksi-Fraksi dan Komisi-Komisi sebagai bahan pembahasan.
Pasal 109

Pembahasan terhadap Rancangan Perda sebagaimana dimaksud Pasal 108


dilakukan dalam rapat paripurna dengan tahapan sebagai berikut :
(1) Pembicaraan tahap pertama, penyampaian nota keuangan Gubernur.
(2) Pembicaraan tahap kedua, Pendapat Badan Anggaran.
(3) Pembicaraan tahap ketiga, Pemandangan Umum Fraksi-Fraksi.
(4) Pembicaraan tahap keempat, Jawaban Eksekutif oleh Gubernur.
(5) Pembicaraan tahap kelima, Laporan Komisi-Komisi.
(6) Pembicaraan tahap keenam, Laporan Badan Anggaran.
(7) Pembicaraan tahap ketujuh, pendapat akhir Fraksi-Fraksi.

Pasal 110

Ketentuan sebagaimana dimaksud pasal 109, berlaku juga bagi Pembahasan


Rancangan Perda mengenai Perubahan APBD serta Perhitungan APBD.
POINTERS
PERMASALAHAN PERDA NOMOR 8 TAHUN 2016
TENTANG PENYELENGGARAAN KETENAGAKERJAAN
DIHUBUNGKAN DENGAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG LEBIH TINGGI

1. Pasal 48 ayat (3) Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan
Ketenagakerjaan, mengatur :
“Ketentuan struktur dan skala upah paling sedikit 5 % (lima) persen dari upah
minimum yang dituangkan dalam peraturan perusahaan atau perjanjian bersama.”
Sedangkan ketentuan dalam :
a. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 92 ayat
(2) mengatur:
“Pengusaha melakukan peninjauan upah secara berkala dengan memperhatikan
kemampuan perusahaan dan produktivitas”
a. Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, Pasal 23 ayat
(1) mengatur:
(1) Pengusaha melakukan peninjauan Upah secara berkala untuk penyesuaian
harga kebutuhan hidup dan/atau peningkatan produktivitas kerja dengan
mempertimbangkan kemampuan Perusahaan.
Dengan demikian maka terjadi pertentangan antara Pasal 48 ayat (3) Peraturan
Daerah Nomor 8 Tahun 2016 dengan ketentuan dalam Pasal 92 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 dan Pasal 23 Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun
2015.
Ketentuan dalam Pasal 48 ayat (3) Peraturan Daerah yang mengatur bahwa struktur
upah paling sedikit 5 % (lima persen) dari upah minimum regional dapat
diasumsikan bahwa struktur upah akan senantiasa mengalami kenaikan, ketentuan
tesebut dapat/berpotensi menghilangkan adanya kemungkinan untuk
dilakukannya peninjauan upah secara berkala dengan mempertimbangkan
kemampuan keuangan perusahaan, sebagaimana diatur dalam Pasal Pasal 92
ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dan Pasal 23 Peraturan Pemerintah
Nomor 78 Tahun 2015 dimaksud.

2. Pasal 59 ayat (4) Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan
Ketenagakerjaan, mengatur :
“Dalam hal di Kabupaten/Kota tidak memiliki asosiasi sektor pengusaha dan/atau
asosiasi sektor pekerja, maka penetapan upah minimum sektoral ditetapkan oleh
Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota”.
a. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 89 ayat
(1) dan ayat (3) mengatur:
(1) Upah minimum dapat terdiri dari:
a. upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota;
b. upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau
kabupaten/kota.
(3) Upah

-2-

(3) Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh
Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan
Provinsi dan/atau Bupati/Walikota.
b. Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, Pasal 49 ayat
(1) mengatur:
“Gubernur dapat menetapkan upah minimum sektoral provinsi dan/atau
kabupaten/kota berdasarkan hasil kesepakatan asosiasi pengusaha dengan
serikat pekerja/serikat buruh pada sektor yang bersangkutan.”
c. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 7 Tahun 20134 tentang
Upah Minimum, Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) mengatur:
(1) Selain Upah Minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a,
Gubernur dapat menetapkan UMSP dan/atau UMSK atas kesepakatan
organisasi perusahaan dengan serikat pekerja/serikat buruh di sektor yang
bersangkutan.”
(2) UMSP dan/atau UMSK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku sejak
ditetapkan oleh Gubernur.
Berdasarkan hal tersebut, maka apa yang diatur dalam Pasal 59 ayat (4)
Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2016 bertentangan dengan ketentuan
peraturan perundangan diatasnya yang memberikan kewenangan atributif
kepada Gubernur untuk menetapkan UMSK berdasarkan kesepakatan organisasi
perusahaan dengan serikat pekerja/serikat buruh di sektor yang bersangkutan ,
dan tidak ada ketentuan yang mendelegasikan kewenangan tersebut
kepada pihak lain.
POINTER PELAKSANAAN PROGRAM PTSL/PRONA
TAHUN ANGGARAN 2017
DI KABUPATEN/KOTA SE JAWA TIMUR SEBAGAI BAHAN PENYUSUNAN PERDA
(PEMERINTAH) PROVINSI JAWA TIMUR

1. Bahwa pada Tahun Anggaran 2017 Kantor Pertanahan di Kabupaten/Kota se


Jawa Timur telah memperoleh alokasi kegiatan legalisasi aset dari Kementerian
Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
berupa persertifikatan tanah secara masal di wilayah Kabupaten/Kota se Jawa
Timur dengan target, bidang/sertifikat tanah dan pelaksanaannya melalui
PTSL/PRONA;
2. Bahwa penetapan lokasi Desa/Kelurahan dari jumlah masing-masing bidang
tanah yang menjadi kewenangan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota
se Jawa Timur didasarkan atas usulan atau permohonan yang diajukan oleh
Desa/atau Kelurahan yang berada di wilayah Kabupaten;
3. Bahwa pelaksanaan pengelolaan program PTSL/PRONA di Kabupaten/Kota
se Jawa Timur sumber pembiayaannya berasal dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) yang tertuang di dalam DIPA Kementerian Agraria dan
Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional dan hanya terbatas untuk kegiatan
yang berkaitan dengan:
a. Penyuluhan;
b. Pengumpulan Desa (alat bukti/alas hak);
c. Pengukuran Bidang Tanah;
d. Pemeriksaan Tanah;
e. Penerbitan SK Hak/Pengesahan Data Fisik Data Yuridis;
f. Penerbitan Sertifikat;
g. Penyerahan Sertifikat; dan
h. Pelaporan.
4. Bahwa terhadap pembiayaan lainnya di luar pelaksanaan kegiatan
sebagaimana dimaksud pada angka 3 diatas dan menjadi beban/kewajiban
masyarakat peserta program PTSL/PRONA, antara lain:
a. Biaya Operasional Pemberkasan, yang terdiri dari:
a) Biaya pengadaan pokok/tugu tanda batas tanah;
b) Biaya meterai;
c) Biaya foto copy kelengkapan berkas (KTP, KK, C Desa dan lain-lain);
d) Biaya pembelian makanan dan minuman untuk petugas
administrasi/panitia pemberkasan di Desa;
e) Biaya honorarium /upah untuk petugas administrasi/panitia pemberkasan
dan pendampingan pada saat pelaksanaan pengukuran bidang-bidang
tanah yang menjadi objek program PTSL/PRONA di Desa.
b. Biaya yang timbul akibat adanya peralihan tanah karena jual beli/hibah/
pembagian waris, yang terdiri dari:
a) Uang pemasukan kepada Negara, antara lain Bea Perolehan hak atas
Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB) serta pajak penghasilan (PPh) bagi
yang terkena pajak;
b) Biaya pembuatan Akta PPAT, apabila peralihan tanahnya terjadi setelah
berlakunya Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah.

-2-

5. Bahwa berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan-kegiatan di Desa, sumber


pembiayaan yang dapat dialokasikan melalui APB-Desa, meliputi:
a. Pembelian makanan dan minuman untuk rapat/sosialisasi;
b. Honorarium untuk petugas administrasi/panitia pemberkasan;
c. Honorarium untuk petugas yang melakukan identifikasi tanda batas di
lapang;
d. Pengadaan Alat Tulis Kantor (ATK);
e. Transport untuk petugas administrasi/panitia pemberkasan dari Kabupaten/
Kota se Jawa Timur.
6. Bahwa Pemerintah Desa mempunyai kewajiban untuk:
a. Memfasilitasi pembentukan panitia pelaksanaan program PTSL/PRONA di
tingkat Desa, dengan susunan pengurus yang diutamakan berasal dari
unsur masyarakat/program PTSL/PRONA dan bukan berasal dari unsur
penyelenggara pemerintah di Desa (Kepala Desa/Perangkat Desa/BPD dan
lain sebagainya);
b. Menyiapkan daftar nominatif/data pemohon sebagai calon peserta program
PTSL/PRONA;
c. Membantu pembuatan surat-surat kelengkapan administrasi yang
diperlukan oleh pemohon/peserta untuk mendukung pelaksanaan kegiatan
program PTSL/PRONA diantaranya surat keterangan/surat pernyataan dan
lain-lain;
d. Membantu melaksanakan pemberkasan permohonan yang diajukan oleh
peserta program PTSL/PRONA; dan
e. Membantu penandatanganan blangko-blangko yang diperlukan dalam
rangka melengkapi pemberkasan permohonan yang diajukan oleh peserta
program PTSL/PRONA.
7. Bahwa tugas panitia pelaksana program PTSL/PRONA di tingkat Desa
meliputi :
a. Membantu secara aktif didalam kegiatan operasional yang berkaitan
dengan pemberkasan permohonan yang diajukan oleh peserta program
PTSL/PRONA;
b. Membantu pemasangan patok/tanda batas bidang-bidang tanah yang
menjadi objek program PTSL/PRONA;
c. Membantu penyelesaian permasalahan/kasus sengketa bidang-bidang
tanahyang menjadi objek program PTSL/PRONA.
8. Bahwa dalam rangka mendukung kelancaran pelaksanaan kegiatan program
PTSL/PRONA, Panitia di tingkat Desa mengkoordinasikan dengan
masyarakat /peserta program PTSL/PRONA berkaitan dengan penyusunan
Rencana Anggaran Biaya (RAB) untuk menetapkan standarisasi biaya yang
menjadi beban/kewajiban masyarakat/peserta program PTSL/PRONA.
9. Bahwa Rencana Anggaran dan Biaya (RAB) didasarkan atas inisiatif dari
masyarakat/peserta program PTSL/PRONA dan dilaksanakan melalui
musyawarah, dengan tetap mempertimbangkan kondisi letak geografis,
kemampuan masyarakat dan dalam batas kewajiban serta dapat dipertanggung
jawabkan, sesuai dengan pembukuan Desa.

-3-

10. Bahwa terhadap Rencana Anggaran dan Biaya (RAB) yang didasarkan atas
inisiatif dari masyarakat/peserta program PTSL/PRONA dan dilaksanakan
melalui musyawarah sebagaimana dimaksud pada angka 9 diatas wajib
dituangkan dalam Berita Acara Kesepatan yang ditandatangani oleh semua
masyarakt/peserta program PTSL/PRONA, serta ditetapkan dengan Peraturan
Desa yang mekanismenya telah diatur di dalam Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 111 Tahun 2014 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan di
Desa.
11. Bahwa seluruh biaya yang menjadi beban/kewajiban masyarakat/peserta
program PTSL/PRONA tidak diperkenankan melebihi ketentuan yang telah
ditetapkan dalam Peraturan Desa.
12. Bahwa sepanjang belum tercapai standarisasi biaya melalui musyawarah yang
telah disetujui/disepakati oleh semua masyarakat/peserta program
PTSL/PRONA dan ditetapkan dengan Peraturan Desa, maka tidak
diperkenankan untuk melakukan perhimpunan anggaran dalam rangka
pelaksanaan kegiatan PTSL/PRONA.
13. Bahwa Pemerintah Daerah dalam perubahan APBD Tahun Anggaran 2017
akan memberikan bantuan keuangan khusus untuk pelaksanaan kegiatan
program PTSL/PRONA; dan apabila bantuan khusus telah dianggarkan maka
biaya di tingkat Desa dibebaskan/ditiadakan.

Anda mungkin juga menyukai