Anda di halaman 1dari 9

Jakarta, 29 November 2023

Perihal: Kesimpulan Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022


tentang Ibu Kota Negara (UU IKN)

Kepada Yang Mulia


Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jalan Medan Merdeka Barat Nomor 6

Yang bertandatangan dibawah ini:

Nama : Ir. Fransisko Saverio Satria Abhinaya


Pekerjaan : Supir Angkot
Warga Negara : Indonesia
Alamat : Jalan Raya Kemanggisan, No. 11B, Jakarta Barat
Nomor telepon/HP : 0812 8999 8765
Nomor faksimili : 127893
E-mail : fransiskussaverius1324@yahoo.com

Untuk selanjutnya disebut sebagai ………………………………… PEMOHON 1;

Nama : Mohammad Fabien Garibaldi L.L.M


Pekerjaan : Tukang Parkir
Warga Negara : Indonesia
Alamat : Jalan Warung Jati, No. 7, Jakarta Selatan
Nomor telepon/HP : 081219333164
Nomor faksimili : 139913
E-mail : fabiengaribaldi02@gmail.com

Untuk selanjutnya disebut sebagai ………………………………… PEMOHON 2;

Nama : Muhammad Arsenio Ammarfiko S.E


Pekerjaan : Satpam Komplek
Warga Negara : Indonesia
Alamat : Jl. Tebet Barat Dalam No. 7A, Jakarta Selatan
Nomor telepon/HP : 0812 9339 5138
Nomor faksimili : 127892
E-mail : ammarfikoarsenio@gmail.com

Untuk selanjutnya disebut sebagai ………………………………… PEMOHON 3;


Untuk selanjutnya secara keseluruhan Pemohon tersebut disebut sebagai PARA
PEMOHON;

Dengan ini mengajukan Permohonan Pengujian Undang-Undang pada:


● Pasal 1 Angka 10 UU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara bertentangan
dengan Pasal 18 dan 18B UUD 1945;
● Pasal 18 UUD 1945 menyatakan, negara Indonesia dibagi menjadi beberapa provinsi,
dan provinsi ini dibagi menjadi kabupaten atau kota yang memiliki pemerintah daerah
yang dipimpin oleh Gubernur, Bupati dan Wali kota.
● Pasal 1 Angka 10 UU Nomor 3 Tahun 2022, otorita tidak diatur dalam konstitusi
apabila kita konsisten dengan yang dijelaskan dalam pasal 18 dan 18B Undang -
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Adapun kesimpulan permohonan ini akan dibagi serta diuraikan dalam beberapa kerangka
bagian, yakni:
● Ringkasan Kesimpulan
● Kewenangan Mahkamah Konstitusi’
● Kedudukan Hukum dan Kerugian Konstitusional Para Pemohon
● Analisis Hukum
● Keterangan
● Petitum
Berdasarkan kerangka Kesimpulan tersebut dan agar Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi
memperoleh gambaran yang jelas berkenaan dengan Permohonan yang diajukan oleh Para
Pemohon, maka terlebih dahulu Pemohon akan menguraikan kerangka Kesimpulan sebagai
berikut:

RINGKASAN KESIMPULAN
Pasal 18 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 mengatur
bahwa negara Indonesia dibagi menjadi beberapa provinsi, dan provinsi ini dibagi menjadi
kabupaten atau kota yang memiliki pemerintah daerah yang dipimpin oleh Gubernur, Bupati
dan Wali kota. Walaupun demikian, DKI Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Indonesia saat ini
tidak memiliki DPRD dan tidak bersifat otonom. Sedangkan konsep pada Ibu Kota
Negara yang baru tidak memiliki Gubernur seperti yang diatur dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, namun dipimpin oleh Kepala Otorita yang
tercantum dalam Pasal 1 Angka 10 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota
Negara. Otorita tidak diatur dalam konstitusi apabila kita konsisten dengan yang
dijelaskan dalam pasal 18 dan 18B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, yang mengatur soal otonomi khusus, tidak menyebut keberadaan badan otorita.
Berdasarkan hal tersebut, memiliki kemungkinan yang cukup besar untuk menimbulkan
masalah, terutama dalam sistem demokrasi Indonesia sebab tidak adanya kesesuaian.
Masyarakat yang tinggal di daerah tersebut tidak dapat berpartisipasi aktif dalam mengontrol
jalannya pemerintahan, terlebih Kepala Otorita yang ditunjuk oleh Presiden memiliki masa
jabatan lima tahun. Otorita IKN ini menjadi hal yang tidak lazim apabila Otorita IKN ini
disejajarkan sebagai lembaga setingkat kementerian karena tidak terdapat dalam UUD 1945,
hal ini berpotensi menimbulkan kerancuan hubungan Otorita IKN dengan kementerian dan
pemerintahan daerah lain, Konsep Otorita lebih merupakan suatu organisasi pemerintah pusat
yang bertugas untuk kepentingan pemerintah pusat di suatu daerah dengan konsep pembagian
kekuasaan bersifat delegasi.

KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI


1. Undang Undang yang berlaku:
a. Pasal 24C Ayat 1 Undang Undang Dasar 1945,
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan
memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”
b. Pasal 29 Ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, dan
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk: ............ a. menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; ............”
c. Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan.
“Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut : ............
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b.
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; ............”
2. Berdasarkan Pasal 24C Ayat 1 Undang Undang Dasar 1945, Pasal 29 Ayat 1 huruf a
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan Pasal 29
Ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman Mahkamah Konstitusi berwenang untuk mengadili pada tingkat pertama
dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai
politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
3. Berdasarkan Pasal 24C Ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 10 ayat 1 huruf a
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 juncto Undang- Undang Nomor 8 Tahun
2011 tentang Mahkamah Konstitusi mengatakan bahwa Mahkamah Konstitusi
memiliki wewenang untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar 1945.
4. Berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan, bahwa Undang-Undang Dasar 1945 memiliki
kedudukan hierarkis yang lebih tinggi dibanding undang-undang. Ketentuan ini
mengakibatkan bahwa undang-undang tidak dapat bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar 1945, dan apabila ada yang bertentangan dapat dimohonkan
untuk diuji oleh Mahkamah Konstitusi melalui pengujian undang-undang.
5. Berdasarkan poin-poin yang telah dijabarkan sebelumnya, Mahkamah Konstitusi
memiliki wewenang untuk menguji dan memberikan putusan terkait Permohonan
Pengujian Undang-Undang, dalam permohonan ini bertujuan untuk Permohonan
Pengujian materiil Pasal 1 Angka 10 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang
Ibu Kota Negara

KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) DAN KERUGIAN


KONSTITUSIONAL PARA PEMOHON
1. Bahwa dalam Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut
(UU MK) menyatakan bahwa pemohon dalam pengujian undang-undang adalah pihak
yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh
berlakunya Undang- Undang. Pemohon dalam Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah
Konstitusi adalah sebagai berikut :
a. Perorangan Warga Negara Indonesia;
b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam undang- undang;
c. Badan hukum publik atau privat; atau
d. Lembaga Negara.
2. Bahwa dalam ketentuan dalam Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi
menyatakan bahwa hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam
Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945.
3. Penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU MK menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “hak
konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam UUD 1945.
4. Bahwa sesuai ketentuan di atas, terdapat dua komponen penting yang harus terpenuhi
dalam pengajuan perkara Pengujian Undang-Undang (PUU) bagi para pemohon untuk
memiliki kedudukan hukum (legal standing), yaitu:
a. Para pemohon memiliki kualifikasi sebagaimana diuraikan dalam Pasal 51
ayat (1) UU MK
b. Terdapat kerugian konstitusional dalam hak dan/atau kewenangan
konstitusional para pemohon dengan berlakunya suatu pasal atau
undang-undang.
5. Berdasarkan ketentuan di atas maka para pemohon yang merupakan perorangan
warga negara indonesia yang hak konstitusionalnya dirugikan dengan dipindahkannya
ibukota negara Indonesia yang awalnya DKI Jakarta menjadi Kalimantan Timur
6. Para Pemohon memiliki kerugian hak konstitusional atas berlakunya Pasal 51 ayat (1)
UU No. 2 Tahun 2011 atau akibat diberlakukannya Pasal a quo tersebut, sehingga
Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak sebagai
Pemohon dalam permohonan ini
7. Bahwa Mahkamah Konstitusi sejak diundangkannya Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan
selanjutnya terkait kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana
yang dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK mengisyaratkan, hak atau
kewenangan konstitusionalnya dianggap dirugikan oleh UU atau PERPU apabila:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh
UUD 1945; hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon
dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan
pengujian
b. kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual
atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat
dipastikan akan terjadi;
c. adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan
berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
8. Dengan bertentangan dengan UUD
a. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi
terjadi;
9. Bahwa atas penjelasan yang telah disampaikan oleh para Pemohon di atas, secara
khusus pemohon telah menggambarkan potensi kerugian hak konstitusional mereka,
yang menurut pertimbangan yang wajar dan logis dapat dipastikan atau dimungkinkan
dapat terjadi dalam situasi konkret di masyarakat. Oleh karena itu, jika pasal
permohonan tersebut dianggap a quo bertentangan dengan UUD 1945, maka dapat
dipastikan bahwa kerugian konstitusional yang mungkin dialami oleh para Pemohon
tidak akan terjadi di masa depan;
10. Bahwa karena itu, para Pemohon dalam permohonan ini memiliki legal standing
sebagai pihak yang berhak mengajukan pengujian undang-undang dalam kasus
tertentu karena mereka telah mematuhi ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah
Konstitusi serta Penjelasannya, dan memenuhi syarat kerugian hak konstitusional
sebagaimana diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021
tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang.

ANALISIS HUKUM
Berikut fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan, pertama para pemohon
menilai bahwa Pasal 1 Angka 10 dalam UU No. 3 Tahun 2022 Tentang Ibu Kota Negara ,
bertentangan dengan Pasal 18 dan 18B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945. Ketentuan yang diatur di dalam pasal diatas menunjukan bahwa proses pembentukan
Undang-Undang No. 3 Tahun 2022 Tentang Ibu Kota Negara bertentangan dengan UUD NRI
1945.
Lalu selanjutnya yang kedua, para pemohon menilai bahwa Pasal 1 Angka 10 dalam
UU No. 3 Tahun 2022 Tentang Ibu Kota Negara, bertentangan dengan Pasal 18 dan 18B
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Ketentuan yang diatur didalam
pasal diatas melanggar hak konstitusional dari Pemohon dikarenakan telah merampas sistem
demokrasi Indonesia sebab tidak adanya kesesuaian. Masyarakat yang tinggal di daerah
tersebut tidak dapat berpartisipasi aktif dalam mengontrol jalannya pemerintahan. Dimana
warga Nusantara hanya akan mengikuti pemilu tingkat nasional.Terakhir para pemohon
menilai bahwa Bahwa Pasal 1 Angka 10 dalam UU No.3 Tahun 2022 Tentang Ibu Kota
Negara, bertentangan dengan Pasal 18 dan 18B Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945. sebagaimana pasal 18 menyatakan bahwa “negara Indonesia dibagi menjadi
beberapa provinsi, dan provinsi ini dibagi menjadi kabupaten atau kota yang memiliki
pemerintah daerah yang dipimpin oleh Gubernur, Bupati dan Wali kota.”

KETERANGAN
Keterangan Ahli

Keterangan Ahli oleh Dr. Fransis Al Samad mengenai Pengujian Pengujian Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2022 Bahwa Pasal 18 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945 mengatur bahwa negara Indonesia dibagi menjadi beberapa provinsi,
dan provinsi ini dibagi menjadi kabupaten atau kota yang memiliki pemerintah daerah yang
dipimpin oleh Gubernur, Bupati dan Wali kota. Walaupun demikian, DKI Jakarta sebagai Ibu
Kota Negara Indonesia saat ini tidak memiliki DPRD dan tidak bersifat otonom.
Sedangkan konsep pada Ibu Kota Negara yang baru tidak memiliki Gubernur seperti
yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
namun dipimpin oleh Kepala Otorita yang tercantum dalam Pasal 1 Angka 10
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara. Otorita tidak diatur dalam
konstitusi apabila kita konsisten dengan yang dijelaskan dalam pasal 18 dan 18B
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang mengatur soal otonomi
khusus, tidak menyebut keberadaan badan otorita.

Bahwa berdasarkan hal tersebut, memiliki kemungkinan yang cukup besar untuk
menimbulkan masalah, terutama dalam sistem demokrasi Indonesia sebab tidak adanya
kesesuaian. Masyarakat yang tinggal di daerah tersebut tidak dapat berpartisipasi aktif dalam
mengontrol jalannya pemerintahan, terlebih Kepala Otorita yang ditunjuk oleh Presiden
memiliki masa jabatan lima tahun. Otorita IKN ini menjadi hal yang tidak lazim apabila
Otorita IKN ini disejajarkan sebagai lembaga setingkat kementerian karena tidak terdapat
dalam UUD 1945, hal ini berpotensi menimbulkan kerancuan hubungan Otorita IKN dengan
kementerian dan pemerintahan daerah lain, Konsep Otorita lebih merupakan suatu organisasi
pemerintah pusat yang bertugas untuk kepentingan pemerintah pusat di suatu daerah dengan
konsep pembagian kekuasaan bersifat delegasi.

Keterangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)


Keterangan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang selanjutnya disebut DPR, disampaikan oleh
Dr. H. Ahmad Doli Kurnia S.Si., M.T. Ketua Komisi II DPR RI
● Secara de facto, hal yang menjadi permasalahan secara keseluruhan dalam pasal-pasal
yang telah disebutkan tersebut adalah hilangnya hak konstitusional warga Nusantara
untuk memilih pemimpin daerahnya sendiri.
● Hal di atas mengakibatkan pasal-pasal tersebut dapat disalahgunakan oleh beberapa
pihak untuk sewenang-wenangnya menempatkan orang di dalam posisi pemimpin
daerah secara nepotisme.
● Kerugian konstitusional yang dialami oleh pemohon dapat menjadi pertimbangan
untuk dikabulkannya permohonan dari pemohon agar dapat mengembalikan hak
pemohon sepenuhnya agar hak setiap orang dapat dijamin untuk hak untuk memilih
pemimpin sendiri dapat terjaga.

Petitum
Berdasarkan uraian diatas, uraian di atas, para Pemohon memohon kepada Majelis Hakim
Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan memutus Undang-Undang Nomor 3 tahun 2022
tentang Ibu Kota Negara tentang Ibu Kota Negara:
1. Menerima, menyetujui dan mengabulkan permohonan para Pemohon untuk
seluruhnya;
2. Pembentukan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara tidak
memenuhi syarat-syarat konstitusional berdasarkan Undang-Undang Dasar Tahun
1945;
3. Menyatakan Proses Penyusunan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2022 bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan
hukum yang mengikat;
4. Memerintahkan agar pengumuman pemuatan putusan ini dalam Berita Negara
Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Atau, apabila Yang Terhormat Majelis
Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain mohon putusan yang seadil adilnya (ex
aequo et bono).
Demikinalah kesimpulan dalam pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu
Kota Nusantara terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
kami sampaikan. Kami berharap Mahkamah Konstitusi dapat mempertimbangkan dalil atau
alasan yang telah disampaikan di atas dan memutus dengan seadil-adilnya. Terima kasih

Hormat kami,
Pemohon/Kuasa Hukum Pemohon,

…………………………..
Ir. Fransisko Saverio Abhinaya

……………………………… …………………………………
Mohammad Fabien Garibaldi L.L.M Muhammad Arsenio Ammarfiko S.

Anda mungkin juga menyukai