Anda di halaman 1dari 17

KETERANGAN TERTULIS

PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


ATAS
PERMOHONAN PENGUJIAN MATERI PASAL 4 ayat (1), 13 ayat (1), 39 ayat (3)
UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2022 TENTANG IBU KOTA NEGARA

TERHADAP

UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA


REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

DALAM PERKARA

NOMOR: 55/PUU-XX/2022

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

JAKARTA, ……. …… 2022


Kepada Yth.

Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Di

Jakarta

Dengan hormat,

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Yasonna H. Laoly,S.H., Msc, Phd, Menteri Kehakiman dan Hak


Asasi Manusia Republik Indonesia dalam hal ini bertindak dan untuk dan
atas nama Presiden Republik Indonesia berdasarkan Surat Kuasa Khusus
tertanggal …. ….. 2022 dan karena itu sah mewakili Pemerintah Republik
Indonesia, dan selanjutnya dalam keterangan ini disebut
sebagai---------------------------------------Pemerintah.

Selanjutnya adalah Advokat/Konsultan Hukum pada Kantor Hukum

Rakyat Bersatu, yang beralamat di Jalan Jendral Sudirman, Nomor 195, Kota

Bengkulu, Provinsi Bengkulu berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal

…………….., baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri bertindak

untuk dan atas nama:

1. Nama : Dr. Fareza Rizki Maulana, S.H.,

M.H. Kewarganegaraan : Indonesia

Pekerjaan : Dosen
Alamat : Jl. Ahmad Yani, No. 35, Kota Bengkulu
Selanjutnya disebut sebagai…...............................................................Pemohon
Dalam hal ini mengajukan Pengujian Materiil Pasal 4 ayat (1), 9, 13

ayat (1) UU Nomor 3 Tahun 2022 Tentang Ibu Kota Negara (selanjutnya

disebut UU IKN) Terhadap Pasal 17, 18 ayat (3) Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (Selanjutnya disebut UUD NRI

1945).
Dalam perkara yang terdaftar dalam buku register perkara Mahkamah
Konstitusi Nomor: 55/PUU-XX/2022. Semua keterangan lisan yang disampaikan
Pemerintah pada sidang Mahkamah Konstitusi tanggal ….. ….. 2022 merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dan keterangan tertulis sebagai berikut:

A. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI

1. Bahwa ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945 menyatakan:

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan

terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang

terhadap Undang-Undang Dasar...”

2. Bahwa ketentuan Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun

2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan:

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan

terakhir yang putusannya bersifat final untuk:

a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945”

3. Bahwa selanjutnya, Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor

24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana diubah

terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang

Perubahan Ketiga Atas Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003

tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK)

menyatakan:

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan

terakhir yang putusannya bersifat final untuk:

a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, ”

4. Bahwa oleh karena permohonan Pemohon adalah Pengujian Materil

Pasal Pasal 4 ayat (1), 13 ayat (1), 39 ayat (3) UU Nomor 3 Tahun 2022

Tentang Ibu Kota Negara (UU IKN) yang selengkapnya berbunyi

sebagai berikut:
 Pasal 4 ayat (1):
“Dengan Undang-Undang ini dibentuk:
a. Ibu Kota Nusantara sebagai Ibu Kota Negara; dan

b. Otorita Ibu Kota Nusantara sebagai lembaga setingkat kementerian

yang menyelenggarakan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota

Nusantara”.

 Pasal 9:
“(l) Otorita Ibu Kota Nusantara dipimpin oleh Kepala Otorita Ibu

Kota Nusantara dan dibantu oleh seorang Wakil Kepala Otorita Ibu

Kota Nusantara yang ditunjuk, diangkat, dan diberhentikan

langsung oleh Presiden setelah berkonsultasi dengan DPR.

(2) Pelantikan Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara dan Wakil Kepala

Otorita Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilaksanakan oleh Presiden”.

 Pasal 39 ayat (3):


“Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Timur, Pemerintah

Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara, dan Pemerintah Daerah

Kabupaten Penajam Paser Utara tetap melaksanakan urusan

pemerintahan daerah di wilayah sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan, kecuali kewenangan dan perizinan terkait

kegiatan persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara,

sampai dengan penetapan pemindahan Ibu Kota Negara sebagaimana

dimaksud pada ayat (1)”.

Bahwa oleh karena permohonan Pemohon adalah pengujian materiil

undang- undang in casu UU Nomor 3 Tahun 2022 Tentang Ibu Kota Negara

terhadap UUD NRI 1945, maka Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili

permohonan ini.
B. KETENTUAN PASAL UU NO 3 TAHUN 2022 YANG DIMOHONKAN
UJI MATERIL TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945.

Pemohon dalam a quo merupakan uji materil ketentuan pasal 4 ayat (1), 9
13 ayat (1) yang berbunyi:

 Pasal 4 ayat (1):

“Dengan Undang-Undang ini dibentuk:

a. Ibu Kota Nusantara sebagai Ibu Kota Negara; dan

b. Otorita Ibu Kota Nusantara sebagai lembaga setingkat kementerian

yang menyelenggarakan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota

Nusantara”;

 Pasal 13 ayat (1):

“Dikecualikan dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang

mengatur daerah pemilihan dalam rangka pemilihan umum, Ibu Kota

Nusantara hanya melaksanakan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil

Presiden, pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, dan pemilihan

umum untuk memilih anggota DPD”;

 Pasal 39 ayat (3):

“Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Timur, Pemerintah Daerah

Kabupaten Kutai Kartanegara, dan Pemerintah Daerah Kabupaten

Penajam Paser Utara tetap melaksanakan urusan pemerintahan daerah

di wilayah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,

kecuali kewenangan dan perizinan terkait kegiatan persiapan,

pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara, sampai dengan

penetapan pemindahan Ibu Kota Negara sebagaimana dimaksud pada

ayat (1)”
C. TENTANG KEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING ) PEMOHON.

Dalam surat permohonan disebutkan pemohon yakni:

1. Nama : Dr. Fareza Rizki Maulana, S.H., M.H.

Kewarganegaraan : Indonesia

Pekerjaan : Dosen
Alamat : Jl. Ahmad Yani, No. 35, Kota Bengkulu
Selanjutnya disebut sebagai….....................................................................Pemohon

1. Bahwa Pasal 51 ayat (1) UU MK menyatakan, “Pemohon adalah pihak


yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan
oleh berlakunya Undang-Undang, yaitu:
a. perorangan WNI;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
c. badan hukum publik dan privat; atau;
d. lembaga negara”.

Selanjutnya, penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU MK menyatakan:

” Yang dimaksud dengan ‘hak konstitusional’ adalah hak-hak yang diatur


dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.

2. Bahwa merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi sejak Putusan


Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor
11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 dan putusan-putusan
selanjutnya, Mahkamah Konstitusi berpendirian bahwa kerugian hak
dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat
(1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu:

a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang


diberikan oleh UUD NRI 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon
dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan
pengujian;
c. kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan
aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang
wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dimaksud dan berlakunya
Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
3. Bahwa para Pemohon merupakan perorangan warga negara Indonesia
sebagaimanana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK, yang
memiliki hak konstitusional dirugikan dengan berlakunya UU Nomor 3
Tahun 2022 Tentang Ibu Kota Negara sebagaimana dijamin dalam Pasal 4
Ayat (1), Pasal 10, Pasal 28D Ayat (1), dan Pasal 30 Ayat (3) UUD NRI
Tahun 1945;

4. Bahwa menurut para Pemohon jika permohonan dikabulkan oleh


Mahkamah maka hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon
tidak lagi dirugikan.
Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, menurut para Pemohon, para
Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a
quo.

D. HAK DAN/ATAU KEWENANGAN KONSTITUSIONAL YANG


DIANGGAP PEMOHON DIRUGIKAN OLEH BERLAKUNYA PASAL
Pasal 4 ayat (1), 13 ayat (1), Pasal 39 ayat (3) UU Nomor 3 Tahun 2022.

Permohonan dalam pemohon a quo, mengemukakan bahwa hak


dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana pada pasal 17 ayat (3),
18 ayat (1), 18 ayat (3), 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia telah dirugikan dan dilanggar oleh berlakunya Pasal 4 ayat (1), 13
ayat (1), 39 ayat (3) Undang-Undang No. 3 Tahun 2022 Tentang Ibukota
Negara, yaitu sebagai berikut :

1. Bahwa Pemohon dalam permohonan a quo halaman 8 angka 1

berpendapat bahwa pokok permohonan adalah materi muatan pada Pasal 4

ayat (1), 13 ayat (1), 39 ayat (3) UU Nomor 3 Tahun 2022 Tentang Ibu Kota

Negara yang berkaitan dengan kedudukan Otorita Ibu Kota Nusantara

setingkat Menteri dan dikecualikan pemilihan umum terhadap Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, Kota dan Kabupaten di Ibu Kota

Nusantara. Adapun Pasal a quo selengkapnya berbunyi:

 Pasal 4 ayat (1):

“Dengan Undang-Undang ini dibentuk:

c. Ibu Kota Nusantara sebagai Ibu Kota Negara; dan

d. Otorita Ibu Kota Nusantara sebagai lembaga setingkat kementerian

yang menyelenggarakan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota

Nusantara”;
 Pasal 13 ayat (1):

“Dikecualikan dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang

mengatur daerah pemilihan dalam rangka pemilihan umum, Ibu Kota

Nusantara hanya melaksanakan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil

Presiden, pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, dan pemilihan

umum untuk memilih anggota DPD”;

 Pasal 39 ayat (3):

“Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Timur, Pemerintah Daerah

Kabupaten Kutai Kartanegara, dan Pemerintah Daerah Kabupaten

Penajam Paser Utara tetap melaksanakan urusan pemerintahan daerah

di wilayah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,

kecuali kewenangan dan perizinan terkait kegiatan persiapan,

pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara, sampai dengan

penetapan pemindahan Ibu Kota Negara sebagaimana dimaksud pada

ayat (1)”

2. Bahwa Pemohon dalam permohonan a quo halaman 9 angka 2,Bahwa


Pemohon mendalilkan Pasal a quo bertentangan dengan Pasal 17, 18 ayat
(1),18 ayat (2), 18 ayat (3),18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945, yang masing-
masing menyatakan sebagai berikut:

 Pasal 17 ayat (3)

“(3) Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan”.

 Pasal 18 ayat (1)


“Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi

dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap

provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah,

yang diatur dengan undang-undang”.


 Pasal 18 ayat (3)
“Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang Anggota - anggotanya dipilih

melalui pemilihan umum”;

 Pasal 18 ayat (4)


“Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala

pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara

demokratis”.

3. Bahwa Pemohon dalam permohonan a quo halaman 10 angka 3,Bahwa

menurut Bahwa menurut Jimly Asshidiqqie, salah satu prinsip pokok negara

hukum adalah adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak (independent

dan importial judiciary), yaitu dalam menjalankan tugas yudisialnya, hakim

tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun juga, baik karena kepentingan jabatan

(politik) maupun kepentingan uang (ekonomi). Untuk menjamin keadilan

dan kebenaran, tidak diperkenankan adanya intervensi dan lingkungan

eksekutif maupun legislatif ataupun dari kalangan masyarakat dan media

massa. Dalam menjalankan tugasnya, hakim tidak boleh memihak kepada

siapapun juga kecuali hanya kepada kebenaran dan keadilan.

4. Bahwa Pemohon dalam permohonan a quo halaman 10 angka 4,

Bahwa menurut Pemohon ketentuan Pasal a quo yang mengatur tentang

kedudukan Otorita Ibu Kota Nusantara setingkat Menteri dan dikecualikan

pemilihan umum terhadap Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

Provinsi, Kota dan Kabupaten di Ibu Kota Nusantara bertentangan dengan

Pasal 17 ayat (3), 18 ayat (1), 18 ayat (3), 18 ayat (4) UUD NRI 1945 dengan

alasan-alasan sebagai berikut:

 Bahwa dalam Pasal 4 ayat (1) khususnya pada Pasal 4 ayat (1) huruf b,

yaitu “Otorita Ibu Kota Nusantara sebagai lembaga setingkat kementerian yang

menyelenggarakan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara”,

bertentangan dengan UUD NRI 1945 pada Pasal 17 ayat (3), yaitu “Menteri
hanya membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan”. Dengan

membandingkan kedua pasal tersebut, adanya Pasal 4 ayat (1) UU IKN

mengakibatkan bias terhadap fungsi dan kewenangan dari Otorita Ibu Kota

Negara dalam mengemban jabatannya karena fungsi dan wewenang dari

pemerintahan daerah Provinsi (Otorita Ibu Kota Nusantara) berbeda dengan

fungsi dan wewenang dari Kementerian.

 Bahwa dalam Pasal 4 ayat (1) UU IKN, Otorita Ibu Kota Nusantara

menjadi lembaga setingkat kementerian di daerah Khusus Ibu Kota

Nusantara. Padahal dalam Pasal 1 ayat (2) UU IKN menjelaskan bahwa Ibu

Kota Nusantara adalah satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus

setingkat provinsi, yang artinya apabila melihat pada Pasal 18 ayat (4) UUD

NRI 1945, yaitu “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala

pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”,

sehingga Otorita Ibu Kota Nusantara itu seharusnya berkedudukan setingkat

Gubernur bukan setingkat Menteri. Karena kepala pemerintahan Provinsi

diemban oleh seorang Gubernur dan bukan setingkat Menteri. Dualisme

kedudukan Ibu Kota Nusantara sebagai satuan pemerintah daerah yang

setingkat Menteri dan juga setingkat Provinsi ini akhirnya menimbulkan

ambiguitas status terhadap Ibu Kota Nusantara itu sendiri.

 Bahwa dalam Otorita Ibu Kota Nusantara ini wilayahnya berada pada

2 (dua) wilayah Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Timur, yaitu

Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara, dan Pemerintah Daerah

Kabupaten Penajam Paser Utara. Pada Pasal 39 ayat (3) UU IKN dijelaskan

bahwa “Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Timur, Pemerintah Daerah

Kabupaten Kutai Kartanegara, dan Pemerintah Daerah Kabupaten Penajam Paser

Utara tetap melaksanakan urusan pemerintahan daerah di wilayah sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali kewenangan dan perizinan

terkait kegiatan persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara, sampai
dengan penetapan pemindahan Ibu Kota Negara sebagaimana dimaksud pada ayat

(1)” bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) UUD NRI 1945 bahwa “Negara

Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi

itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu

mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang”. Setiap

daerah-daerah yang ada di Indonesia terbagi atas provinsi, kota, dan

kabupaten yang memiliki pemerintahan daerah masing-masing. Ibu Kota

Nusantara dalam Pasal 1 ayat (2) UU IKN adalah setingkat provinsi namun

daerah cakupan Ibu Kota Nusantara hanya dijelaskan secara posisi geografis

yang menempati daerah pemerintahan Provinsi Kalimantan Timur yang

melibatkan daerah Kabupaten Kutai Kartanegara, dan Kabupaten Penajam

Paser Utara. Jadi, dalam UU IKN tidak dijelaskan bahwa Ibu Kota Nusantara

merupakan provinsi baru di Indonesia, hanya dijelaskan lokasi

keberadaannya saja. Maka dari itu, Ibu Kota Nusantara ini bukanlah

merupakan provinsi pemekaran yang memiliki wilayah pemerintahan

tersendiri, akan tetapi hanya menguasai dan menempati wilayah-wilayah

seperti yang disebutkan dalam Pasal 6 UU IKN, sehingga menjadikan

terganggunya fungsi dan kewenangan dari pemerintahan daerah yang

bersangkutan khususnya pemerintahan daerah Provinsi Kalimantan Timur.

Jika Ibu Kota Nusantara hanya dinyatakan sebagai satuan pemerintah daerah

khusus setingkat provinsi, akan tetapi bukan merupakan provinsi baru di

Indonesia dan terletak dalam daerah pemerintahan Provinsi Kalimantan

Timur, hal ini akan menjadikan terjadinya keberadaan Provinsi di dalam

Provinsi, yang mana Provinsi tersebut memiliki 2 (dua) kepala pemerintahan

daerah tingkat Provinsi. Sedangkan dalam Pasal 18 ayat (1) UUD NRI 1945

dijelaskan bahwa daerah Provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, bukan

Provinsi dalam Provinsi. Hal ini akhirnya tentu akan menyebabkan

kerancuan terhadap kedudukan Gubernur Kalimantan Timur.

 Bahwa dalam UU IKN Pasal 13 ayat (1), dikecualikan dari ketentuan

peraturan perundang-undangan yang mengatur daerah pemilihan dalam


rangka pemilihan umum, Ibu Kota Nusantara hanya melaksanakan Pemilihan

Umum Presiden dan Wakil Presiden, pemilihan umum untuk memilih

anggota DPR, dan pemilihan umum untuk memilih anggota DPD, sehingga

Ibu Kota Nusantara tidak memiliki lembaga legislatif yaitu Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Hal ini tentunya bertentangan dengan

Pasal 18 ayat (3) UUD NRI 1945 bahwa pemerintahan daerah provinsi, daerah

kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

yang anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. Seperti yang diketahui

bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) memiliki tiga fungsi,

yaitu :

a. Legislasi, berkaitan dengan pembentukan peraturan daerah;

b. Anggaran, kewenangan dalam hal anggaran daerah (APBD);

c. Pengawasan, kewenangan mengontrol pelaksanaan Perda dan peraturan

lainnya serta kebijakan Pemerintah daerah.

Walaupun dijelaskan dalam Pasal 24 ayat (1) huruf a UU IKN, bahwa Pendanaan

untuk penyelenggaraan Pemerintah Daerah bersumber dari Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara, dalam hal ini pendanaan dan pengawasan

dijalankan oleh lembaga legislatif nasional, akan tetapi, tidak bisa dipungkiri

bahwa data dan pengetahuan yang dimiliki oleh DPR RI pasti sangat berbeda

dengan data dan cakupan yang berada di tingkat lokal, dalam hal ini di

tingkat Provinsi. Ditambah hilangnya tempat sebagai penyaluran aspirasi

oleh masyarakat karena tiadanya DPRD, sehingga kemungkinan akan

menyebabkan otoritarianisme di tingkat lokal karena hanya dikendalikan

oleh eksekutif. Hilangnya lembaga sebagai representatif rakyat di tingkat

daerah Provinsi tentunya bertentangan dengan konsep demokrasi yang

sudah ditata dalam konstitusi kita.

5. Bahwa Pemohon dalam permohonan a quo halaman 14 angka 5,

Bahwa berdasarkan alasan-alasan Pemohon diatas, dapat dipastikan bahwa

hak konstitusional Pemohon yang tercantum dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK

telah dirugikan.
6. Bahwa Pemohon dalam permohonan a quo halaman 14 angka 6,
Bahwa dengan dikabulkannya permohonan ini

7. Bahwa Pemohon dalam permohonan a quo halaman 14 angka 7,

Bahwa berdasarkan hal tersebut di atas, terbukti bahwasanya Pasal 4 ayat (1),

13 ayat (1), Pasal 39 ayat (3) UU IKN bertentangan dengan Pasal 17 ayat (3),

Pasal 18 ayat (1), Pasal 18 ayat (3), Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945.

8. Bahwa Pemohon dalam permohonan a quo halaman 14 angka 8,

Bahwa dalam Pasal 5 UU MK, jika mengutip buku atau dalil penguat dari

buku, maka itu menjadi alat bukti.

9. Bahwa Pemohon dalam permohonan a quo halaman 14 angka 9,

Bahwa meminta Mahkamah Konstitusi membatalkan Undang-Undang a quo,

jika Undang-Undang itu dibatalkan akan berhubungan dengan pasal-pasal

lain, maka dengan itu penyelesaiannya bagaimana jangan sampai ada

kekosongan hukum, bahwasanya Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi akan

mengisi kekosongan hukum tersebut.

10. Bahwa Pemohon dalam permohonan a quo halaman 14 angka 10,


Bahwa berdasarkan seluruh uraian alasan-alasan hukum di atas, menurut
Pemohon Pasal 4 ayat (1), 13 ayat (1), Pasal 39 ayat (3) UU IKN bertentangan
dengan UUD NRI 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

E. KETERANGAN PEMERINTAH.
Terhadap dalil-dalil pemohon sebagaimana diuraikan dalam Permohonan
a quo dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Bahwa objek permohonan pengujian ini adalah materi muatan UU No.3


Tahun 2022 Tentang IKN berupa :
 Pasal 4 ayat (1):

“Dengan Undang-Undang ini dibentuk:

a. Ibu Kota Nusantara sebagai Ibu Kota Negara; dan

b. Otorita Ibu Kota Nusantara sebagai lembaga setingkat kementerian

yang menyelenggarakan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota

Nusantara”;
 Pasal 13 ayat (1):

“Dikecualikan dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang

mengatur daerah pemilihan dalam rangka pemilihan umum, Ibu Kota

Nusantara hanya melaksanakan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil

Presiden, pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, dan pemilihan

umum untuk memilih anggota DPD”;

 Pasal 39 ayat (3):

“Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Timur, Pemerintah Daerah

Kabupaten Kutai Kartanegara, dan Pemerintah Daerah Kabupaten

Penajam Paser Utara tetap melaksanakan urusan pemerintahan daerah

di wilayah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,

kecuali kewenangan dan perizinan terkait kegiatan persiapan,

pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara, sampai dengan

penetapan pemindahan Ibu Kota Negara sebagaimana dimaksud pada

ayat (1)”

2. Bahwa dalil pembuatan Undang-Undang No 3 Tahun 2022 Tentang


IKN ini untuk menjamin pembentukan sebuah pemerintahan yang
modern atau bisa dikatakan sebaga ‘Smart Governance’ yang mana pada
Ibukota yang baru nanti pelaksanaan pemerintahanya dilaksnakan
dengan format sebagai suatu pemerintahan yang khusus, pemerintahan
IKN dapat
dilaksanakan oleh sebuah otorita yang merupakan bagian dari
pemerintah pusat (setara Kementerian/Lembaga). yang mana disebutkan
pada Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang No.3 tahun 2022 Tentang IKN.

Konsekuesinya adalah tidak adanya lembaga perwakilan di IKN.


Filosofi bekerja pemerintahan IKN adalah filosofi bekerjanya city manager,
di mana tugas dan fungsinya hanya mengelola kota dengan baik, tanpa
campur tangan politik. Walaupun demikian, pada dasarnya
pemilihan umum tetap ada di wilayah, tetapi terbatas hanya pada
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, pemilihan umum
untuk memilih anggota DPR, dan pemilihan umum untuk memilih
anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia .
3. Bahwa substansi Pasal 13 ayat (1) yang diajukan oleh Pemohon dalam
permohonan a quo, yaitu ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengatur daerah pemilihan dalam rangka pemilihan umum, Ibu Kota
Nusantara hanya melaksanakan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden, pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, dan pemilihan
umum untuk memilih anggota DPD dikarenakan bahwa wilayah IKN
adalah wilayah yang sepenuhnya dalam kendali Pemerintah Pusat.
Dengan
demikian, aspirasi dari masyarakat terhadap Pemerintahan Khusus
di IKN nantinya dapat disalurkan langsung melalui Dewan
Perwakilan Rakyat (Pusat). Pemusatan itu berkaitan dengan modernisasi
birokrasi pemerintahan ke depannya. Sebuah institusi birokrasi yang
mematuhi peraturan dan kebiasaan yang ketat dalam melakukan
sesuatu dianggap bukan pemerintah yang modern.

4. Bahwa demi keterjaminan sistem kepemerintahan pada ibu kota


nusantara maka system pemerintahan yang diberlakukan adalah sistem
pemerintahan yang khusus, sama seperti daerah-daerah khusus lainya
seperti Daerah Istimewa Yogyakarta maupun Daerah Khusus Ibukota
Jakarta memerlukan sistem yang khusus, maka dari itu pada Ibukota yang
baru nanti akan diberlakukan hal serupa guna mempermudah jalanya
pemeritahan disana.

5. Bahwa demi kelancaran sistem pemerintahan dan otonomi khusus


pada ibukota yang baru nanti, Wilayah Provinsi Kalimantan Timur tetap
menjalankan otonomi daerah masing-masing seperti biasanya kecuali
wilayah IKN yang mana terletak pada Kecamatan Sepaku, Kabupaten
Penajam Paser Utara (PPU) yang mana nanti akan menjadi sebuah titik
“0” pusat pemerintahan yang baru yang mana nanti sistem
pemerintahanya berbeda dari Provinsi Kalimantan Timur karena wilayah
tersebut akan dianggap sebagai wilayah istimewah khusus untuk
menjalankan kepemerintahan negara. Titik “0” bisa dikatakan dan/atau
pun dianggap sebagai “kota” atau “wilayah” yang mempunyai
keistimewahan dalam bidang otonomi dan kepemerintahan, yang mana
kalimat pada poin ini menanggapi pasal yang digugat yaitu Pasal 39 ayat
(3) Undang-Undang No.3 Tahun 2022 Tentang IKN

6. Dengan adanya Kepala Otorita sebagai koordinator tertinggi dalam


sistem pemerintahan Ibu Kota Nusantara memiliki wewenang
dalam membagi wilayah IKN menjadi wilayah-wilayah yang
bentuk, jumlah dan strukturnya disesuaikan dengan kebutuhan,yang
ketentuan pembagian wilayahnya tersebut diatur dengan Peraturan
Presiden.

7. Bahwa demi terjaminya praktik demokratis di dalam Ibu Kota


Nusantara nanti ,dimungkinkan akan mengakibatkan pada perubahan
perhitungan kursi anggota DPRD pada daerah-daerah tersebut. Salah
satunya yaitu adanya ketentuan Pasal 191 ayat (1) jo. ayat (2) UU No. 1
tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengatur tentang jumlah anggota
DPRD Kabupaten/Kota paling sedikit 20 kursi. Dalam hal adanya IKN
mengakibatkan perubahan pada perhitungan dalam penentuan kursi
tersebut,maka penentuan jumlah kursi tersebut mengacu pada ketentuan
peraturan perundang-undangan yang ada. Perubahan tersebut disebutkan
juga pada Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang No.3 Tahun 2022 Tentang
IKN.

8. Bahwa substansi Pasal 4 ayat (1) hurf a yang diajukan oleh Pemohon
dalam permohonan a quo, yaitu penyebutan Ibu Kota Negara diganti
menjadi Ibu Kota Nusantara dikarenakan oleh dampak pengaturan dari
RUU IKN terhadap Peraturan perundangundangan lain, yaitu :

1. UU No. 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah


Daerah Otonom Propinsi Kalimantan Barat, Kalimantan
Selatan, dan Kalimantan Timur sebagaimana yang telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1958
tentang Penetapan Undang-Undang Darurat No. 10 Tahun
1957 Tentang Pembentukan Daerah Swatantra Tingkat I
Kalimantan Tengah Dan Perubahan Undang-Undang No.
25 Tahun 1956 Tentang Pembentukan Daerah-Daerah
Swatantra Tingkat I Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan Dan
Kalimantan Timur Sebagai Undang-Undang.
Dengan diundangkannya RUU IKN, Undang-Undang ini
harus disesuaikan karena sebagian wilayah Provinsi
Kalimantan Timur dijadikan wilayah IKN.

2. Undang-Undang No. 7 Tahun 2002 tentang Pembentukan


Kabupaten Penajam Paser Utara di Provinsi Kalimantan Timur.
Dengan diundangkannya RUU IKN, UndangUndang ini harus
disesuaikan karena sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara
dijadikan wilayah IKN.

3. Undang-Undang No. 47 Tahun 1999 tentang


Pembentukan Kabupaten Nunukan, Kabupaten Malinau,
Kabupaten Kutai Barat, Kabupaten Kutai Timur, dan Kota
Bontang sebagaimana yang telah diubah dengan UU
Nomor 7 tahun 2000.
F. KESIMPULAN

Berdasarkan kajian serta aturan yang tertera diatas, Pemerintah dalam


hal ini diwakili oleh Menteri Hukum dan Ham memohon kepada yang
terhormat Majelis Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang
memeriksad dan memutus pengujian materi pasal 4 ayat (1), 9, 13 ayat (1)
Undang-Undang No.3 Tahun 2022 Tentang IKN terhadap pasal 17 dan Pasal
18 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dapat memberikan putusan sebagai berikut:

1. Menyatakan permohonan pemohon Tidak Dapat Diterima;


2. Menerima pernyataan yang dinyatakan pemerintah dalam hal ini
diwakili oleh Menteri Hukum dan Ham;
3. Menyatakan pasal 4 ayat (1), 9, 13 ayat (1) Undang-Undang No.3
Tahun 2022 Tentang IKN tidak bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
4. Menyatakan bahwa pasal 4 ayat (1), 9, 13 ayat (1) Undang-Undang
No.3 Tahun 2022 Tentang IKN mempunyai kekuatan hukum;

Atas perhatian Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,


Kami mengucapkan terimakasih.

Jakarta,……. … 2022
Kuasa Presiden RI
Menteri Hukum dan HAM RI

Yosanna Laoly, S.H., M.sc, P.hd

Anda mungkin juga menyukai