Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Seksio sesarea adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan
membuka dinding perut dan dinding uterus. Saat ini pembedahan seksio sesarea
jauh lebih aman dibandingkan masa sebelumnya karena tersedianya antibiotika,
transfusi darah, teknik operasi yang lebih baik, serta teknik anestesi yang lebih
sempurna. Hal inilah yang menyebabkan saat ini timbul kecenderungan untuk
melakukan seksio sesarea tanpa adanya indikasi yang cukup kuat.
Proses persalinan dengan menggunakan metode seksio sesarea perlu
diperhatikandengan serius, karena proses persalinan ini memiliki risiko yang dapat
membahayakan keadaan ibu dan janin yang sedang dikandungnya. Salah satu risiko
yang dapat terjadi adalah terjadinya perubahan hemodinamik dalam tubuh ibu yang
mengandung sebagai efek samping penggunaan anestesi dalam operasi seksio
sesarea. Hal inilah yang menyebabkan perlunya pemantauan tekanan darah dan nadi
selama proses operasi seksio sesarea.
Pada kehamilan normal, organ jantung ibu akan mendapat beban untuk
memenuhi kebutuhan selama kehamilan dan juga beban dari berbagai penyakit
jantung yang mungkin diderita selama kehamilan. Kehamilan dapat menyebabkan
terjadinya kenaikan tekanan darah, volume darah, tekanan pembuluh darah perifer,
serta tekanan pada sisi kanan jantung.
Pada kehamilan, darah yang dipompa oleh jantung akan meningkat sekitar
30%, sementara denyut nadi akan meningkat 10 kali / menit. Volume darah
meningkat 40% pada kehamilan normal. Kenaikan tekanan pembuluh darah perifer
terjadi karena adanya peningkatan volume air total pada tubuh ibu dan hal ini sering
menimbulkan edema perifer serta vena verikosa bahkan pada kehamilan normal.
Teknik anestesi secara garis besar dibagi menjadi dua macam, yaitu anestesi
umum dan anestesi regional. Anestesi umum bekerja untuk menekan aksis
hipotalamus pituitari adrenal, sementara anestesi regional berfungsi untuk menekan
transmisi impuls nyeri dan menekan saraf otonom eferen ke adrenal. Teknik
anestesia yang lazim digunakan dalam seksio sesarea adalah anestesi regional, tapi
1
tidak selalu dapat dilakukan berhubung dengan sikap mental pasien. Beberapa
teknik anestesi regional yang biasa digunakan pada pasien obstetri yaitu blok
paraservikal, blok epidural, blok subarakhnoid, dan blok kaudal. Anestesia spinal
aman untuk janin, namun selalu ada kemungkinan bahwa tekanan darah pasien
menurun dan akan menimbulkan efek samping yang berbahaya bagi ibu dan janin.

I.2 RUMUSAN MASALAH


1. Bagaimanakah perubahan fisiologis pada wanita hamil?
2. Bagaimanakah perubahan patologis pada wanita hamil?
3 Bagaimanakah penatalaksanaan anestesi pada pasien sectio cesaria?

1.3 TUJUAN
1. Mengetahui perubahan fisiologis pada wanita hamil
2. Mengetahui perubahan patologis pada wanita hamil
3. Penatalaksanaan anestesi pada pasien sectio cesaria

1.4 MANFAAT
Adapun manfaat dari pembuatan laporan referat ini antara lain :
1. Menambah wawasan mengenai anestesi pada pasien sectio cesaria
2. Sebagai proses pembelajaran bagi dokter muda yang sedang
mengikuti kepaniteraan klinik bagian ilmu Anastesi.

2
BAB II
STATUS PASIEN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

2.1 PERUBAHAN FISIOLOGIS IBU HAMIL


Pada masa kehamilan ada beberapa perubahan pada hampir semua sistem
organ pada maternal. Perubahan ini diawali dengan adanya sekresi hormon dari
korpus luteum dan plasenta. Efek mekanis pada pembesaran uterus dan kompresi
dari struktur sekitar uterus memegang peranan penting pada trimester kedua dan
ketiga. Perubahan fisiologis seperti ini memiliki implikasi yang relevan bagi dokter
anestesi untuk memberikan perawatan bagi pasien hamil. Perubahan yang relevan
meliputi perubahan fungsi hematologi, kardiovaskular, ventilasi, metabolik, dan
gastrointestinal (Santos,et.al., 2006).

2.1.1 Perubahan Kardiovaskular


 Peningkatan isi sekuncup / stroke volume sekitar 30% sampai 50%,
 peningkatan frekuensi denyut jantung sampai 20%,
 peningkatan cardiac output sampai 50%.
 Volume plasma meningkat sampai 45% sementara jumlah eritrosit
meningkat hanya sampai 25%, menyebabkan terjadinya dilutional
anemia of pregnancy.
 Meskipun terjadi peningkatan isi dan aktifitas sirkulasi, penekanan /
kompresi vena cava inferior dan aorta oleh massa uterus gravid dapat
menyebabkan terjadinya supine hypertension syndrome. Jika tidak
segera dideteksi dan dikoreksi, dapat terjadi penurunan vaskularisasi
uterus sampai asfiksia janin.
 Pada persalinan, kontraksi uterus/his menyebabkan terjadinya
autotransfusi dari plasenta sebesar 300-500 cc selama kontraksi.
 Beban jantung meningkat, curah jantung meningkat, sampai 80%.
 Perdarahan yang terjadi pada partus pervaginam normal bervariasi, dapat
sampai 400-600 cc. Pada sectio cesarea, dapat terjadi perdarahan sampai
1000 cc. Meskipun demikian jarang diperlukan transfusi. Hal itu karena

3
selama kehamilan normal terjadi juga peningkatan faktor pembekuan
VII, VIII, X, XII dan fibrinogen sehingga darah berada dalam
hypercoagulable state.

2.1.2. Perubahan Sistem Respirasi


 Perubahan pada fungsi pulmonal, ventilasi dan pertukaran gas.
Functional residual capacity menurun sampai 15-20 %, cadangan
oksigen juga berkurang.
 Pada saat persalinan, kebutuhan oksigen (oxygen demand) meningkat
sampai 100%.
 Menjelang atau dalam persalinan dapat terjadi gangguan / sumbatan jalan
napas pada 30% kasus, menyebabkan penurunan PaO2 yang cepat pada
waktu dilakukan induksi anestesi.
 Ventilasi per menit meningkat sampai 50%, memungkinkan
dilakukannya induksi anestesi yang cepat pada wanita hamil.

2.1.3. Perubahan Sistem Renal


 Aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus meningkat sampai 150%
pada trimester pertama, namun menurun sampai 60% di atas
nonpregnant state pada saat kehamilan aterm. Hal ini kemungkinan
disebabkan oleh aktifitas hormon progesteron.
 Kadar kreatinin, urea dan asam urat dalam darah mungkin menurun
namun hal ini dianggap normal.
 Pasien dengan preeklampsia mungkin berada dalam proses menuju
kegagalan fungsi ginjal meskipun pemeriksaan laboratorium mungkin
menunjukkan nilai “normal”.

2.1.4. Perubahan pada Sistem Gastrointestinal


 Uterus gravid menyebabkan peningkatan tekanan intragastrik dan
perubahan sudut gastroesophageal junction, sehingga meningkatkan
kemungkinan terjadinya regurgitasi dan aspirasi pulmonal isi lambung.

4
 Sementara itu terjadi juga peningkatan sekresi asam lambung, penurunan
tonus sfingter esophagus bawah serta perlambatan pengosongan
lambung.
 Enzim-enzim hati pada kehamilan normal sedikit meningkat.
 Kadar kolinesterase plasma menurun sampai sekitar 28%, mungkin
akibat hemodilusi dan penurunan sintesis.

2.1.5. Perubahan Metabolik


 Laju metabolisme basal pada wanita hamil meningkat sekitar 15 %
selama mendekati masa akhir dari kehamilan, sebagai akibat dari
peningkatan sekresi dari berbagai macam hormon selama masa
kehamilan , termasuk tiroksin, adrenokortikal dan hormon seks.
 Sebagai hasil dari peningkatan laju metabolisme basal tersebut, maka
wanita hamil sering mengalami sensasi rasa panas yang berlebihan.
 Selain itu,karena adanya beban tambahan, maka pengeluaran energi
untuk aktivitas otot lebih besar daripada normal (Guyton, 2006).

2.1.6. Perubahan hematologi


 Volume darah maternal mulai meningkat pada awal masa kehamilan
sebagai akibat dari perubahan osmoregulasi dan sistem renin-
angiotensin, menyebabkan terjadinya retensi sodium dan peningkatan
dari total body water menjadi 8,5 L.
 Volume darah meningkat sampai 45 % dimana volume sel darah merah
hanya meningkat sampai 30%. Perbedaan peningkatan ini dapat
menyebabkan terjadinya ”anemia fisiologis” dalam kehamilan dengan
hemoglobin rata rata 11.6 g/dl dan hematokrit 35.5%.
 Konsentrasi fibrinogen dan faktor VII,VIII, IX,X,XII meningkat, hanya
faktor XI yang mungkin mengalami penurunan.
 Karena kebutuhan fetus, anemia defisiensi folat dan zat besi mungkin
saja terjadi jika suplementasi dari zat gizi ini tidak terpenuhi.
 Imunitas sel ditandai mengalami penurunan dan meningkatkan
kemungkinan terjadinya infeksi viral (Morgan, 2006).
5
2.1.7. Sistem Syaraf Pusat dan Perifer
 Akibat peningkatan endorphin dan progesteron pada wanita hamil,
konsentrasi obat inhalasi yang lebih rendah cukup untuk mencapai
anestesia; kebutuhan halotan menurun sampai 25%, isofluran 40%,
metoksifluran 32%.
 Pada anestesi epidural atau intratekal (spinal), konsentrasi anestetik lokal
yang diperlukan untuk mencapai anestesi juga lebih rendah.
 wanita hamil membutuhkan lebih sedikit anestesi lokal Minimum local
analgesic concentration (MLAC) daripada wanita yang tidak hamil untuk
mencapai level dermatom sensorik yang diberikan, Hal ini karena
pelebaran vena-vena epidural pada kehamilan menyebabkan ruang
subarakhnoid dan ruang epidural menjadi lebih sempit.3
 Faktor yang menentukan yaitu peningkatan sensitifitas serabut saraf
akibat meningkatnya kemampuan difusi zat-zat anestetik lokal pada
lokasi membran reseptor (enhanced diffusion). (Morgan, 2006).

2.1.8. Sirkulasi Utero-Plasental


 Sirkulasi uteroplasental normal sangat dibutuhkan dalam perkembangan
dan perawatan untuk fetus yang sehat.
 Aliran darah uterin meningkat secara progresif selama kehamilan dan
mencapai nilai rata rata antara 500ml sampai 700ml di masa aterm.
 aliran arteri uterin sangat bergantung pada tekanan darah maternal dan
curah jantung. Hasilnya, faktor yang mempengaruhi perubahan aliran
darah melalui uterus dapat memberikan efek berbahaya pada suplai darah
fetus.
 Aliran darah uterin menurun selama periode hipotensi maternal, dimana
hal tersebut terjadi dikarenakan hipovolemia, perdarahan, dan kompresi
aortocaval, dan blokade simpatis.
 Hal serupa, kontraksi uterus (kondisi yang meningkatkan frekuensi atau
durasi kontraksi uterus) dan perubahan tonus vaskular uterus yang dapat
terlihat dalam status hipertensi mengakibatkan gangguan pada aliran
darah (Birnbach,et.al., 2009).
6
2.2 PERUBAHAN PATOLOGIS IBU HAMIL
2.2.1 Proteinuruia
Jumlah protein normal dalam urin adalah <150 mg/hari. Sebagian besar dari
protein merupakan hasil dari glikoprotein kental yang disekresikan secara fisiologis
oleh sel tubulus, yang dinamakan “protein Tamm-Horsfall”. Protein dalam jumlah
yang banyak diindentifikasikan adanya penyakit ginjal yang signifikan (Davey,
2005).
Menurut Bawazier (2006) proteinuria didefinisikan sebagai terdapatnya
protein dalam urin manusia yang melebihi nilai normal yaitu lebih dari 150 mg/hari
atau pada anak-anak lebih dari 140 mg/m2. Biasanya proteinuria baru dikatakan
patologis bila kadarnya melebihi 200 mg/hari pada beberapa kali pemeriksaan
dalam waktu yang berbeda. Ada yang mengatakan proteinuria persisten jika protein
urin telah menetap selama 3 bulan atau lebih dan jumlahnya biasanya hanya sedikit
dari atas nilai normal.
Menurut Bawazier (2006) Proteinuria dapat meningkat melalui salah satu
cara dari ke-4 jalan dibawah ini :
1. Perubahan permeabilitas glomerulus yang mengikuti peningkatan filtrasi dari
protein plasma normal terutama albumin.
2. Kegagalan tubulus mengabsorbsi sejumlah kecil protein yang normal difiltrasi
3. Filtrasi glomerulus dari sirkulasi abnormal, Low Molecular Weight Protein
(LMWP) dalam jumlah melebihi kapasitas reabsorbsi tubulus.
4. Sekresi yang meningkat dari makuloprotein uroepitel dan sekresi IgA
(Imunoglobulin A) dalam respon untuk inflamasi.
Derajat proteinuria dan komposisi protein pada urin tergantung mekanisme
jejas pada ginjal yang berakibat hilangnya protein. Sejumlah besar protein secara
normal melewati kapiler glomerulus tetapi tidak memasuki urin. Muatan dan
selektivitas dinding glomerulus mencegah transportasi albumin, globulin dan
protein dengan berat molekul besar lainnya untuk menembus dinding glomerulus.
Jika sawar ini rusak, terdapat kebocoran protein plasma dalam urin (protein
glomerulus). Protein yang lebih kecil (<20kDal) secara bebas disaring tetapi
diabsorbsi kembali oleh tubulus proksimal. Pada individu normal ekskresi kurang
dari 150 mg/hari dari protein total dan albumin hanya sekitar 30 mg/hari ; sisa

7
protein pada urin akan diekskresi oleh tubulus (Tamm Horsfall, Imunoglobulin A
dan Urokinase) atau sejumlah kecil β-2 mikroglobulin, apoprotein, enzim dan
hormon peptida.
Dalam keadaan normal glomerulus endotel membentuk barier yang
menghalangi sel maupun partikel lain menembus dindingnya. Membran basalis
glomerulus menangkap protein besar (>100 kDal) sementara foot processes dari
epitel/podosit akan memungkinkan lewatnya air dan zat terlarut kecil untuk
transpor melalui saluran yang sempit. Saluran ini ditutupi oleh anion glikoprotein
yang kaya akan glutamat, aspartat, dan asam silat yang bermuatan negatif pada pH
fisiologis. Muatan negatif akan menghalagi transpor molekul anion seperti albumin.

2.2.2 Preeklampsia
Pre-eklamsia adalah sindrom spesifik kehamilan berupa berkurangnya
perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel. Penyakit dengan tanda-tanda
hipertensi, edema dan proteinuria yang timbul pada kehamilan. Penyakit ini
umumnya terjadi dalam triwulan ke-3 kehamilan atau pada trimester terakhir. Ibu
hamil tersebut tidak menunjukan tanda-tanda kelainan vaskular atau hipertensi
sebelumnya (Cunningham, 1995). Sedangkan eklamsia didefinisikan sebagai
penambahan kejang umum pada sindrom pre-eklamsia ringan atau berat. Pre-
eklamsia/eklamsia merupakan kumpulan gejala yang timbul pada ibu hamil,
bersalin dan dalam masa nifas yang terdiri dari trias yaitu hipertensi, proteinuria
dan edema yang kadang-kadang disertai konvulsi sampai koma.
Penyebab pre-eklamsia/eklamsia sampai sekarang masih belum diketahui.
Telah banyak teori yang menerangkan namun belum dapat memberi jawaban yang
memuaskan. Banyak teori-teori dikemukakan para ahli yang mencoba
menerangkan penyebabnya, oleh karena itu disebut “penyakit teori”. Namun belum
ada yang memberikan jawaban yang memuaskan. Teori yang sekarang ini dipakai
sebagai penyebab Pre-eklampsia adalah teori “iskemia plasenta”. Namun teori ini
belum dapat menerangkan semua hal yang berkaitan dengan penyakit ini. Rupanya
tidak hanya satu faktor yang menyebabkan pre-eklampsia/eklampsia.

8
Dari hal-hal tersebut di atas, jelaslah bahwa bukan hanya satu faktor, melainkan
banyak faktor yang menyebabkan preeklamsia dan eklamsia.Sejumlah hipotesis
tentang etiologi preeklamsia yaitu :

1. Hipotesis iskemia plasenta


Pada pembentukan plasenta yang normal, sitotrofoblas melewati jembatan
placenta dan maternal serta akan menginvasi desidua maternal dan arteri spiralis
maternal yang terdekat. Sitotrofoblas akan berpenetrasi pada dinding arteri spiralis
dan menggantikan bagian endothelium maternal, yang akan menstimulasi
remodeling dari dinding arteri sehingga otot polos arteri akan hilang dan arteri
berdilatasi. Pada desidua, akan terjadi konfrontasi dari Natural Killer cells dan
beberapa makrofag. Sel-sel imun ini akan memfasilitasi invasi yang lebih dalam
dari sitotrofoblas pada segmen miometrium dan menyebabkan remodeling arteri
spiralis yang luas. Pada preeklamsia, invasi sitotrofoblas tidak sempurna sehingga
terjadi gangguan dalam remodeling arterial. Kegagalan remodeling arteri spiralis
maternal akan mengakibatkan perfusi yang tidak adekuat dan akhirnya
menimbulkan iskemia plasenta.
Akibat dari iskemia plasenta, maka akan merangsang pelepasan sitokin-
sitokin yang akan menyebabkan disfungsi endotel. Penanda terjadinya disfungsi
endotel pada perempuan dengan preeklamsia yaitu pada rasio
prokoagulan/antikoagulan, peningkatan fibronektin dan aktivasi platelet, serta
perubahan-perubahan pada vasomediator, seperti: penurunan nitric oxide dan
prostaglandin, peningkatan endothelin,tromboksan, dan sensitivitas Angiotensin II.

2. Hipotesis Maladaptasi Imun


Pada kehamilan pertama ”blocking antibodies” terhadap antigen plasenta
tidak sempurna sehingga timbul respon imun yang tidak menguntungkan terhadap
inkompabilitas plasenta seperti peningkatan desidua yang melepaskan sitokin,
enzim proteolitik dan jenis-jenis radikal bebas yang kemudian menyebabkan
disfungsi endotel. Pada kehamilan berikutnya pembentukan ”blocking antibodies”
ini semakin sempurna.Fierlie P.M. (1992) mendapatkan beberapa data yang
mendukung adanya sistem imun pada penderita preeklamsia-eklamsia:

9
a. Beberapa studi juga mendapatkan adanya aktivasi sistem komplemen pada
preeklamsia/eklamsia diikuti dengan proteinuria.
b. Beberapa wanita dengan preeklamsia/eklamsia mempunyai kompleks imun
dalam serum. Stirat (1986) menyimpulkan, meskipun ada beberapa pendapat
menyebutkan bahwa sistem imun humoral dan aktivasi komplemen terjadi pada
preeklamsia/eklamsia, tetapi tidak ada bukti bahwa sistem imunologi bisa
menyebabkan preeklamsia/eklamsia.

3. Hipotesis Genetik
Preeklamsia diturunkan secara resesif tunggal atau gen dominan yang tidak
komplit.Beberapa bukti yang menunjukkan peran faktor genetik pada kejadian
preeklamsia/eklamsia antara lain :
a. Preeklamsia hanya terjadi pada manusia.
b. Terdapatnya kecenderungan meningkatnya frekuensi preeklamsia/eklamsia pada
anak-anak dari ibu yang menderitapreeklamsia/eklamsia.
c. Kecenderungan meningkatnya frekuensi preeklamsia/eklamsia pada anak dan
cucu ibu hamil dengan riwayat preeklamsia/eklamsia dan bukan pada ipar mereka.
d. Peran Renin Angiotensin-Aldosteron System (RAAS)

4. Peran Prostasiklin dan Tromboksan


Pada Preeklamsia didapatkan kerusakan endotel vaskuler, sehingga terjadi
produksi prostasiklin (PGI 2) yang pada kehamilan normal meningkat, aktivasi
penggumpalan, dan fibrinolisis, yang kemudian akan diganti dengan trombin dan
plasmin. Trombin akan mengkonsumsi antitrombin III sehingga terjadi deposit
fibrin. Aktivasi trombosit menyebabkan pelepasan tromboksan (TxA2) dan
serotonin, sehingga terjadi vasospasme dan kerusakan endotel.

5. Teori Hiperdinamik
Pada awal kehamilan, terjadi peningkatan cardiac output yang dikompensasi
dengan vasodilatasi pembuluh darah termasuk sistem arteriol di ginjal.Akibatnya
terjadi peningkatan aliran di kapiler dan menyebabkan jejas sel endotel kapiler.
Adapun faktor-faktor predisposisi terjadinya preeklamsia antara lain :

10
1. Primigravida atau nullipara, terutama pada umur reproduksi ekstrem, yaitu
remaja dan umur 35 tahun ke atas
2. Multigravida dengan kondisi klinis :
a. kehamilan ganda dan hidrops fetalis
b. penyakit vaskuler termasuk hipertensi esensial kronik dan diabetes
mellitus
c. penyakit-penyakit ginjal
3. Hiperplasentosis : molahidatidosa, kehamilan ganda, hidrops fetalis, bayi
besar, diabetes mellitus
4. Riwayat keluarga pernah preeklamsia dan eklamsia
5. Obesitas dan hidramnion
6. Gizi yang kurang dan anemi
7. Kasus-kasus dengan kadar asam urat yang tinggi, defisiensi kalsium,
defisiensi asam lemak tidak jenuh, kurang antioksidan.
Pre-eklamsia digolongkan ke dalam pre-eklamsia ringan dan pre-eklamsia berat
(Mochtar, 1998). Dengan gejala dan tanda sebagai berikut :
Pre-eklamsia ringan:
1. Tekanan darah sistolik 140 atau kenaikan 30 mmHg dengan interval
pemeriksaan 6 jam
2. Tekanan darah diastolik 90 atau kenaikan 15 mmHg dengan interval
pemeriksaan 6 jam
3. Kenaikan berat badan 1 kg atau lebih dalam seminggu
4. Proteinuria 0,3 gr atau lebih dengan tingkat kualitatif plus sampai 2 pada urin
kateter atau urin aliran pertengahan.
Preeklampsia berat:
1. Tekanan darah 160/110 mmHg atau tekanan darah diastolik >110 mmHg.
2. Oliguria, urin kurang dari 400 cc/24 jam
3. Proteinuria lebih dari 3 gr/liter
4. Keluhan subjektif:
a. Nyeri epigastrium
b. Gangguan penglihatan
c. Nyeri kepala

11
d. Edema paru dan sianosis
e. Gangguan kesadaran
Perubahan patologi yang terjadi pada penderita preeklampsi/eklampsi:

A. Sistem Saraf Pusat


Pada preeklamsia, aliran darah dan pemakaian oksigen tetap dalam batas-batas
normal.Pada eklamsia, resistensi pembuluh darah meninggi.Ini terjadi pula pada
pembuluh darah otak.Edema yang terjadi pada otak dapat menimbulkan kelainan
serebral dan gangguan visus, bahkan pada keadaan lanjut dapat terjadi
perdarahan.
B. Mata
Dapat dijumpai adanya edema retina dan spasme pembuluh darah.Bila terdapat
hal-hal tersebut, maka harus dicurigai terjadinya preeklamsia berat. Gejala lain
yang dapat menunjukkan tanda preeklamsia berat yang mengarah pada eklamsia
adalah skotoma, diplopia, dan ambliopia. Hal ini disebabkan oleh adanya
perubahan peredaran darah dalam pusat penglihatan di korteks serebri atau di
dalam retina.
C. Paru-paru
Kematian ibu pada preeklamsia dan eklamsia biasanya disebabkan oleh edema
para yang menimbulkan dekompensasi kordis.Bisa pula karena terjadinya
aspirasi pneumonia atau abses paru.
D. Sistem Kardiovaskuler
Volume plasma berkurang pada pasien dengan preeklamsia.Karena
penyebabnya tidak diketahui, maka manajemen pengobatannya masih
kontroversial.Hipertensi diperkirakan karena akibat dari pelepasan substansi
pressor dari uterus yang hipoperfusi atau sebagai kompensasi sekresi
katekolamin.Proponen pengobatan dari teori ini adalah menganjurkan untuk
menghindari diuretik dan menggunakan volume ekspander.
Teori lain mengatakan penurunan volume disebakan oleh efek sekunder dari
vasokonstriksi. Proponen pengobatan teori ini ialah dengan menggunakan
vasodilator dan berhati-hati menggunakan volume ekspander karena dapat
memicu terjadinya hipertensi atau edema paru.

12
E. Ginjal
Perubahan pada ginjal disebabkan oleh aliran darah ke dalam ginjal menurun
sehingga menyebabkan filtrasi glomerulus berkurang.Kelainan ginjal yang
penting ialah dalam hubungan dengan proteinuria dan mungkin sekali juga
dengan retensi garam dan air.Penurunan filtrasi glomerulus akibat spasmus
arteriolus ginjal menyebabkan filtrasi natrium melalui glomerulus menurun,
yang menyebabkan retensi garam dan dengan demikian juga retensi air.

Filtrasi glomerulus dapat turun sampai 50 % dari normal sehingga pada keadaan
lanjut dapat terjadi oliguria dan anuria.Kadar kreatinin dan ureum pada
preeklamsia tidak meningkat, kecuali bila terjadi oliguria atau
anuria.Karakteristik lesi ginjal pada pasien preeklamsia yaitu
”glomeruloendotheliosis”, yang ditandai dengan pembengkakan dan
pembesaran sel-sel endothelial kapiler glomerulus,yang menyebabkan
penyempitan lumen kapiler.
F. Hati
Gangguan pada hati sangat bervariasi, mulai dari gejala subklinis dengan
manifestasi hanya berupa deposit fibrin di sepanjang sinusoid hepatik sampai
terjadinya ruptur hepar.Gejala yang paling ekstrim yaitu sindrom HELLP
(Hemolysis, Elevated liver enzymes, and low platelet) dan infark hati. Kriteria
diagnosis sindrom HELLP terdiri dari: Hemolisis, kelainan apus darah tepi, total
bilirubin > 1,2 mg/dl, LDH > 600 U/L, peningkatan fungsi hati, serum AST >
70 U/L, jumlah trombosit < 100000/mm3.

Patogenesis sindrom HELLP belum jelas.Sampai sekarang tidak ditemukan


faktor pencetusnya; kelihatannya merupakan akhir dari kelainan yang
menyebabkan kerusakan endotel mikrovaskuler dan aktivasi trombosit
intravaskuler, akibatnya terjadi agregasi trombosit dari selanjutnya kerusakan
endotel. Peningkatan kadar enzim hati diperkirakan sekunder oleh obstruksi
aliran darah hati oleh deposit fibrin pada sinusoid. Trombosit dikaitkan dengan
peningkatan pemakaian dan atau destruksi trombosit.
G. Plasenta dan Uterus

13
Menurunnya aliran darah ke plasenta menyebabkan gangguan fungsi plasenta
sehingga terjadi gangguan pertumbuhan janin dan karena kekurangan
oksigen.Pada preeklamsia dan eklamsia sering terjadi peningkatan tonus rahim
dan kepekaannya terhadap rangsang, sehingga terjadi partus prematurus.
H. Keseimbangan air dan elektrolit
Hemokonsentrasi yang menyertai preeklamsia dan eklamsia tidak diketahui
sebabnya.Terjadi di sini pergeseran cairan dari ruang intravaskuler ke ruang
interstitial.Kejadian ini, yang diikuti oleh kenaikan hematokrit, peningkatan
protein serum, dan sering bertambahnya edema, menyebabkan volume darah
berkurang, viskositas darah meningkat, waktu peredaran darah tepi lebih
lama.Karena itu, aliran darah ke jaringan di berbagai bagian tubuh berkurang,
dengan akibat hipoksia.

2.3 ANESTESI SPINAL


Anestesi spinal merupakan teknik anestesi regional yang baik untuk tindakan
tindakan bedah, obstetrik, operasi-operasi bagian bawah abdomen dan ekstremitas
bawah. Teknik ini dilakukan dengan memasukkan larutan anestesi lokal kedalam
ruang subarakhnoid  paralisis temporer syaraf.

Lokasi : L2 – S1
Keuntungan :
 Mengurangi pemakaian narkotik sistemik sehingga kejadian depresi janin
dapat dicegah/dikurangi.
 Ibu tetap dalam keadaan sadar dan dapat berpartisipasi aktif dalam persalinan.

14
 Risiko aspirasi pulmonal minimal (dibandingkan pada tindakan anestesi
umum)
 Jika dalam perjalanannya diperlukan sectio cesarea, jalur obat anestesia
regional sudah siap.
Kerugian :
1. Hipotensi akibat vasodilatasi (blok simpatis)
2. Waktu mula kerja (time of onset) lebih lama
3. Kemungkinan terjadi sakit kepala pasca punksi.
4. Untuk persalinan per vaginam, stimulus nyeri dan kontraksi dapat menurun,
sehingga kemajuan persalinan dapat menjadi lebih lambat.

Indikasi
a. bedah abdomen bagian bawah, misal: op hernia, apendiksitis
b. bedah urologi
c. bedah anggota gerak bagian bawah
d. bedah obstetri ginekologi
e. bedahanorectal& perianal, misal: ophemoroid
Kontraindikasi
 Absolut
1. Kelainan pembekuan darah (koagulopati)
2. Infeksi daerah insersi
3. Hipovolemia berat
4. Penyakit neurologis aktif
5. Pasien menolak
 Relative
2. R. pembedahan utama tulang belakang
3. Nyeri punggung
4. aspirin sebelum operasi
5. Heparin preoperasi
6. Pasien tidak kooperatif atau emosi tidak stabil
Komplikasi
 Akut

15
1. Hipotensi  dikarenakan dilatasi pembuluh darahmax
2. bradikardi  dikarenakan blok terlalu tinggi, berikan SA
3. Hipoventilasi berikan O2
4. Mual muntah  dikarenakan hipotensi terlalu tajam, berikan epedril
5. Total spinal obat anestesi naik ke atas, berikan GA
 Pasca tindakan
1. Nyeri tempat suntikan
2. Nyeri punggung
3. Nyeri kepala
4. Retensi urin dikarenakan sakral terblok pasang kateter
Obat anastesia yang banyak dipakai adalah :
 Lidonest
 Bupivacain (Marcain)
 Lidokain

Teknik :
 Pasang line infus dengan diameter besar, berikan 500-1000 cc cairan kristaloid
(Ringer Laktat).
 15-30 menit sebelum anestesi, berikan antasida
 Observasi tanda vital
 Epidural : posisi pasien lateral dekubitus atau duduk membungkuk, dilakukan
punksi antara vertebra L2-L5 (umumnya L3-L4) dengan jarum/trokard. Ruang
epidural dicapai dengan perasaan “hilangnya tahanan” pada saat jarum
menembus ligamentum flavum.
 Spinal / subaraknoid : posisi lateral dekubitus atau duduk, dilakukan punksi
antara L3-L4 (di daerah cauda equina medulla spinalis), dengan jarum /
trokard. Setelah menembus ligamentum flavum (hilang tahanan), tusukan
diteruskan sampai menembus selaput duramater, mencapai ruangan
subaraknoid. Identifikasi adalah dengan keluarnya cairan cerebrospinal, jika
stylet ditarik perlahan-lahan.
Posisi lateral dekubitus

16
Posisi duduk
Keuntungan : lebihnyata, processus spinosum lebih mudah diraba, garis
tengah lebih teridentifikasi (gemuk), posisi yang nyaman pada pasien
PPOK.

 Kemudian obat anestetik diinjeksikan ke dalam ruang epidural / subaraknoid.


 Keberhasilan anestesi diuji dengan tes sensorik pada daerah operasi,
menggunakan jarum halus atau kapas.
 Jika dipakai kateter untuk anestesi, dilakukan fiksasi. Daerah punksi ditutup
dengan kasa dan plester.
 Kemudian posisi pasien diatur pada posisi operasi / tindakan selanjutnya.

Komplikasi yang mungkin terjadi


Jika terjadi injeksi subarachnoid yang tidak diketahui pada rencana anestesi
epidural dapat terjadi total spinal anesthesia, karena dosis yang dipakai lebih tinggi.
Gejala berupa nausea, hipotensi dan kehilangan kesadaran, dapat sampai disertai
henti napas dan henti jantung. Pasien harus diatur dalam posisi telentang / supine,
dengan uterus digeser ke kiri, dilakukan ventilasi O2 100% dengan mask disertai
penekanan tulang cricoid, kemudian dilakukan intubasi. Hipotensi ditangani
dengan memberikan cairan intravena dan ephedrine.

17
Injeksi intravaskular ditandai dengan gangguan penglihatan, tinitus, dan
kehilangan kesadaran. Kadang terjadi juga serangan kejang. Harus dilakukan
intubasi pada pasien, menggunakan 1.0 – 1.5 mg/kgBB suksinilkolin, dan
dilakukan hiperventilasi untuk mengatasi asidosis metabolik.
Komplikasi neurologik yang sering adalah rasa sakit kepala setelah punksi dura.
Terapi dengan istirahat baring total, hidrasi (>3 L/hari), analgesik, dan pengikat /
korset perut (abdominal binder).

2.4 ANESTESI INTRAVENA


Indikasi :
1. Gawat janin
2. Ada kontraindikasi atau keberatan terhadap anestesia regional
3. Diperlukan keadaan relaksasi uterus

Keuntungan :
1. Induksi cepat
2. Pengendalian jalan napas dan pernapasan optimal
3. Risiko hipotensi dan instabilitas kardiovaskular lebih rendah

Kerugian :
1. Risiko aspirasi pada ibu lebih besar
2. Dapat terjadi depresi janin akibat pengaruh obat
3. Hiperventilasi pada ibu dapat menyebabkan terjadinya hipoksemia dan
asidosis pada janin
4. Kesulitan melakukan intubasi tetap merupakan penyebab utama mortalitas
dan morbiditas maternal

Macam-macam anestesi intravena


a) Pentotal
Penggunaan pentotal dalam bidang obstetri dan ginekologi banyak ditujukan
untuk induksi anestesia umum dan sebagai anestesia singkat.

18
Dosis pentotal
Dosis pentotal yang dianjurkan adalah 5 mg/kg BB dalam larutan 2,5% dengan
pH 10.8, tetapi sebaiknya hanya diberikan 50-75 mg.

Keuntungan pentotal
 Cepat menimbulkan rasa mengantuk (sedasi) dan tidur (hipnotik).
 Termasuk obat anestesia ringan dan kerjanya cepat.
 Tidak terdapat delirium
 Cepat pulih tanpa iritasi pada mukosa saluran napas.
Komplikasi pentotal
 Lokal (akibat ekstravasasi), dapat menyebabkan nekrosis
 Rasa panas (bila pentotal langsung masuk ke pembuluh darah arteri)
 Depresi pusat pernapasan
 Reaksi vertigo, disorientasi, dan anfilaksis

Kontraindikasi pentotal
Pentotal merupakan kontraindikasi pada pasien-pasien yang disertai keadaan
berikut:
 Gangguan pernafasan
 Gangguan fungsi hati dan ginjal
 Anemia
 Alergi terhadap pentotal
Apabila dilakukan anestesi intravena menggunakan pentotal, sebaiknya pasien
dirawat inap karena efek pentotal masih dijumpai dalam waktu 24 jam, dan hal
ini membahayakan bila pasien sedang dalam perjalanan.

b) Ketamin
Ketamin termasuk golongan non barbiturat dengan aktivitas “rapid setting
general anaesthesia”, dan diperkenalkan oleh Domine dan Carses pada tahun
1965.

19
Sifat ketamin :
o Efek analgetiknya kuat
o Efek hipnotiknya ringan
o Efek disosiasinya berat, sehingga menimbulkan disorientasi dan halusinasi
o Mengakibatkan disorientasi (pasien gaduh, berteriak)
o Tekanan darah intrakranial meningkat
o Terhadap sistem kardiovaskuler, tekanan darah sistemikmeningkat
sekitar20-25%
o Menyebabkan depresi pernapasan yang ringan (vasodilatasi bronkus)

Premedikasi pada anestesia umum ketamin


Pada anestesia umum yang menggunakan ketamin, perlu dilakukan
premedikasi dengan obat-obat sebagai berikut:
 Sulfas atropin, untuk mengurangi timbulnya rasa mual / muntah
 Valium, untuk mengurangi disorientasi dan halusinasi

Dosis ketamin
Dosis ketamin yang dianjurkan adalah 1-2 mg/kg BB, dengan lama kerja
sekitar 10-15 menit. Dosis ketamin yang dipakai untuk tindakan D & K
(dilatasi dan kuretase) atau untuk reparasi luka episiotomi cukup 0,5 – 1 mg/Kg
BB.

Indikasi anestesi ketamin


 Pada opersasi obstetri dan ginekologi yang ringan dan singkat
 Induksi anastesia umum
 Bila ahli anastesia tidak ada, sedangkan dokter memerlukan tindakan
anastesia yang ringan dan singkat.

Kontra indikasi anastesia ketamin (ketalar)


 Hipertensi yang melebihi 150 / 100 mmHg
 Dekompensasi kordis

20
 Kelainan jiwa

Komplikasi anastesia ketamin


 Terjadi disorientasi
 Mual / muntah, diikuti aspirasi yang dapat membahayakan pasien dan
dapat menimbulkan pneumonia.
 Untuk menghindari terjadinya komplikasi karena tindakan anastesia
sebaiknya dilakukan dalam keadaan perut / lambung kosong.
 Setelah pasien dipindahkan ke ruangan inap, pasien diobservasi dan posisi
tidurnya dibuat miring (ke kiri / kanan), sedangkan letak kepalanya dibuat
sedikit lebih rendah.

c) Anastesia analgesia dengan valium


Valium tergolong obat penenang (tranquilizer), yang bila diberikan dalam
dosis rendah bersifat hipnotis. Obat ini jarang digunakan secara sendiri
(tunggal), dan selalu diberikan secara IV bersama dengan ketamin, dengan
tujuan mengurangi efek halusinasi ketamin.

Dosis Valium
10 g IV atau IM. Bila digunakan untuk induksi anastesi, dosis nyasebesar 0,2
– 0,6 mg/kg BB.

d) Diprivan
Komposisi diprivan adalah sebagai berikut :
 10 % minyak kacang kedelai
 1,2 % fosfatida telur
 2,25 % gliserol
 Keseluruhannya merupakan larutan 1% dalam air, dalam bentuk emulsi.
Diprivan sangat baik karena tidak memerlukan obat premedikasi. Disamping
itu kesadaran pasien pulih dengan cepat, tanpa terjadi perubahan apapun.
Diprivan juga tidak menimbulkan depresi pusat pernafasan ataupun gangguan
jantung. Oleh karena itu, ketika diprivan digunakan untuk pertama kalinya

21
pada tahun 1977, obat ini langsung menduduki tempat tertinggi untuk
kepentingan operasi-operasi yang ringan dan singkat.

22
BAB III
KESIMPULAN

Perubahan fisiologis kehamilan akan mempengaruhi tekhnik anestesi yang


akan digunakan. Risiko yang mungkin timbul pada saat penatalaksanaan anestesi
adalah seperti adanya gangguan pengosongan lambung, terkadang sulit dilakukan
intubasi, kebutuhan oksigen meningkat, dan pada sebagian ibu hamil posisi
terletang (supine) dapat menyebabkan hipotensi (“supine aortocaval syndrome”)
sehingga janin akan mengalami hipoksia/asfiksia.
Teknik anestesi local (infiltrasi) jarang dilakukan, terkadang setelah bayi lahir
dilanjutkan dengan pemberian pentothal dan N2O/O2 namun analgesi sering tidak
memadai serta pengaruh toksik obat lebih besar. Anestesi regional (spinal atau
epidural) dengan teknik yang sederhana, cepat, ibu tetap sadar, bahaya aspirasi
minimal, namun sering menimbulkan mual muntah sewaktu pembedahan, bahaya
hipotensi lebih besar, serta timbul sakit kepala pasca bedah. Anestesi umum dengan
teknik yang cepat, baik bagi ibu yang takut, serba terkendali dan bahaya hipotensi
tidak ada, namun kerugian yang ditimbulkan kemungkinan aspirasi lebih besar,
pengaturan jalan napas sering mengalami kesulitan, serta kemungkinan depresi
pada janin lebih besar.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Hurford WE. Clinical anesthesia procedures of the massachussetts general


hospital. 2002. USA:Lippincott Williams-Wilkins.
2. Barrash PG. Handbook of clinical anesthesiology. 2001. USA: Lippincott
Williams-Wilkins
3. Wargahadibrata AH. Anestesiologi. 2008. Bandung: SAGA
4. Miller RD 2000. Anesthesia 5th Edition. Philadhelphia: Churcill Livingstone

24

Anda mungkin juga menyukai