Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sistem piramidal merupakan jalur desending yang terdiri dari serabut yang

berasal dari korteks motorik pada otak yang kemudian disalurkan ke batang otak

dan turun ke spinal cord.

Mekanisme kerja sistem piramidal diawali pada korteks motorik, impuls

gerakan yang diinginkan diteruskan menuju bagian posterior kapsula interna,

kapsula interna meneruskan impuls kepada medula oblongata, setelah mencapai

medulla oblongata impuls diteruskan menuju medula spinalis substansi kelabu,

yaitu bagian integral dari neuron motorik, respon kembali diteruskan menuju

ujung-ujung akson yaitu efektor hingga akhirnya menjadi suatu gerakan yang

sadar. Traktus piramidal dibagi menjadi dua yaitu traktus pyramidal

(kortikospinal) lateral dan traktus pyramidal (kortikospinal) ventral/anterior.

Fungsi sistem piramidal adalah memulai timbulnya suatu gerakan volunteer atau

suatu gerak sadar yang bersifat halus dan juga berfungsi untuk kontraksi otot

distal, khususnya pada tangan dan jari.

Sedangkan sistem ekstrapiramidal merupakan jaringan syaraf yang

terdapat pada otak bagian sistem motorik yang mempengaruhi koordinasi dari

gerakan. Sistem ekstrapiramidal merupakan jalur antara corteks serebal, basal

ganglia, batang otak, spinal cord yang keluar dari traktus piramidal. Letak dari

ekstrapimidal adalah terutama di formatio retikularis dari pons dan medulla, dan

di target saraf di medulla spinalis yang mengatur refleks, gerakan-gerakan yang


kompleks, dan kontrol postur tubuh. Traktus ekstrapiramidal dibagi menjadi

traktus retikulospinal, traktus vestibulospinal lateral, traktus vestibulospinal

medial, traktus rubrospinal. Fungsi sistem ekstrapiramidal antara lain adalah

mempertahankan tonus otot, gerakan kasar dan perencanaan suatu gerakan.

Sistem piramidal berperan dalam gerakan volunter, yaitu gerakan sadar yang

harus dilakukan, sedangkan sistem ekstrapiramidal menentukan landasan untuk

dapat terlaksananya suatu gerakan volunter yang terampil dan mahir. Kerjasama

yang terpadu antara sistem piramidal dan sistem ekstrapiramidal diperlukan dalam

fungsi motorik yang sempurna pada otot rangka, keduanya mempunyai andil

besar dalam gerakan yang terjadi pada tubuh, meskipun demikian keduanya

memiliki fungsi yang berbeda dalam menghasilkan gerakan.

Sindrom ekstrapiramidal (EPS) mengacu pada suatu gejala atau reaksi yang

ditimbulkan oleh penggunaan jangka pendek atau panjang dari medikasi

antipsikotik golongan tipikal. Obat antipsikotik tipikal yang paling sering

memberikan efek samping gejala ekstrapiramidal yakni Haloperidol,

Trifluoperazine, Pherpenazine, Fluphenazine, dan dapat pula oleh

Chlorpromazine. Gejala bermanifestasikan sebagai gerakan otot skelet, spasme

atau rigiditas, tetapi gejala-gejala tersebut di luar kendali traktus kortikospinal

(piramidal).

Terapi antipsikotik dapat memberikan efek samping pengobatan, utamanya

penggunaan dalam jangka waktu yang panjang. Antipsikotik golongan tipikal

yang memiliki potensial tinggi dan pemberian dalam dosis tinggi paling sering

memberikan efek samping yang biasa disebut dengan sindrom ekstrapiramidal

pada pasien karena memiliki afinitas yang kuat pada reseptor muskarinik.

2
Pendekatan farmakologi pada manifestasi psikosis ini terpusat pada

neurotransmitter yang mengontrol respon neuron-neuron terhadap rangsangan.

1.2. Tujuan

1.2.1. Tujuan Umum

Untuk memenuhi salah satu syarat dalam mengikuti program studi

kepaniteraan Ilmu Penyakit Syaraf di Rumah Sakit Umum Daerah

Jombang.

1.2.2. Tujuan Khusus

Untuk mengetahui dan memahami lebih mendalam mengenai gangguan

sindrom ekstrapiramidal.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI

Sindrom ekstrapiramidal adalah suatu gejala atau reaksi yang ditimbulkan

oleh penggunaan jangka pendek atau jangka panjang dari medikasi antipsikotik

golongan tipikal karena terjadinya inhibisi transmisi dopaminergik di ganglia

basalis. Adanya gangguan transmisi di korpus striatum yang mengandung banyak

reseptor D1 dan D2 dopamin menyebabkan depresi fungsi motorik sehingga

bermanifestasi sebagai sindrom ekstrapiramidal. Gejala bermanifestasikan sebagai

gerakan otot skelet, spasme atau rigitas, tetapi gejala-gejala itu diluar kendali

traktus kortikospinal (piramidal).

Gejala ekstrapiramidal sering dibagi dalam beberapa kategori yaitu reaksi

distonia, tardive dyskinesia, akatisia, dan Sindrom Parkinson. Namun ada

beberapa sumber menyebutkan bahwa Sindrom Neuroleptik Maligna juga

termasuk kedalam gangguan ekstrapiramidal.

2.2. EPIDEMIOLOGI

Sindrom ekstrapiramidal yang terdiri dari reaksi distonia akut, akhatisia,

dan sindrom parkinson umumnya terjadi akibat penggunaan obat-obat

antipsikotik. Lebih banyak diakibatkan oleh antipsikotik tipikal terutama yang

mempunyai potensi tinggi. Reaksi distonia akut terjadi pada kira-kira 10% pasien,

biasanya pada pria muda, terutama yang mendapat pengobatan dengan neuroleptik

haloperidol dan flufenarizin. Tardive dyskinesia terjadi pada sekitar 20-30%

pasien yang telah menggunakan antipsikotik tipikal dalam kurun waktu 6 bulan

atau lebih. Tetapi sebagian besar kasus sangat ringan. Hanya 5% pasien yang

4
memperlihatkan gejala nyata. Akatisia merupakan gejala EPS yang paling sring

terjadi. Kemungkinan besar terjadi pada pasien dengan medikasi neuroleptik.

Umumnya pada pasien muda. Sindrom parkinson lebih sering pada dewasa muda,

dengan perbandingan perempuan:laki-laki = 2:1. Sindrom Neuroleptic Maligna

sangat jarang dijumpai.

2.3. ETIOLOGI

Sindrom ekstrapiramidal terjadi akibat pemberian obat antipsikotik baik

dalam jangka waktu singkat atau lama yang menyebabkan adanya gangguan

keseimbangan antara transmisi asetilkolin dan dopamine pusat. Obat antispikotik

dengan efek samping gejala ekstrapiramidalnya sebagai berikut :

Antipsikosis Dosis (mg/hr) Gejala Ekstrapiramidal


Chlorpromazine 150-1600 ++
Thioridazine 100-900 +
Perphenazine 8-48 +++
Trifluoperazine +++
Fluphenazine 5-60 +++
Haloperidol 2-100 ++++
Pimozide 2-6 ++
Clozapine 25-100 -
Zotepine 75-100 +
Sulpride 200-1600 +
Risperidon 2-9 +
Quetapine 50-400 +
Olanzapine 10-20 +
Aripiprazole 10-20 +
Beberapa hal lain yang mempengaruhi kerja ekstrapiramidal:

a. Ketidakseimbangan degeneratif

b. Ketidakseimbangan metabolik

c. Ketidakseimbangan sistem endokrin dan eksokrin

d. Inflamasi

e. Racun

f. Tumor atau SOL

5
g. Anoxia

2.4. PATOFISIOLOGI

Susunan ekstrapiramidal terdiri atas korpus striatum, globus palidus, inti-

inti talamik, nukleus subtalamikus, subtansia nigra, formatio retikularis batang

otak, serebelum berikut dengan korteks motorik tambahan, yaitu area 4, area 6 dan

area 8. Komponen-komponen tersebut dihubungkan satu dengan yang lain oleh

akson masing-masing komponen itu. Dengan demikian terdapat lintasan yang

melingkar yang dikenal sebagai sirkuit. Oleh karena korpus striatum merupakan

penerima tunggal dari serabut-serabut segenap neokorteks, maka lintasan sirkuit

tersebut dinamakan sirkuit striatal yang terdiri dari sirkuit striatal utama

(principal) dan 3 sirkuit striatal penunjang (aksesori).

Gambar 1. Jaras Aferen dan Eferen

Sirkuit striatal prinsipal tersusun dari tiga mata rantai, yaitu (a) hubungan

segenap neokorteks dengan korpus striatum serta globus palidus, (b) hubungan

korpus striatum/globus palidus dengan thalamus dan (c) hubungan thalamus

dengan korteks area 4 dan 6. Data yang tiba diseluruh neokorteks seolah-olah

6
diserahkan kepada korpus striatum / globus plaidus / thalamus untuk diproses dan

hasil pengolahan itu merupakan bahan feedback bagi korteks motorik dan korteks

motorik tambahan.

Oleh karena komponen-komponen susunan ekstrapiramidal lainnya

menyusun sirkuit yang pada hakekatnya mengumpani sirkuit striata utama, maka

sirkuit-sirkuit itu disebut sirkuit striatal asesorik. Sirkuit striatal asesorik ke-1

merupakan sirkuit yang menghubungkan stratum-globus palidus-talamus-striatum.

Sirkuit-striatal asesorik ke-2 adalah lintasan yang melingkari globus palidus-

korpus subtalamikum-globus palidus. Dan akhirnya sirkuit asesorik ke-3, yang

dibentuk oleh hubungan yang melingkari striatum-subtansia nigra-striatum.

Umumnya semua neuroleptik menyebabkan beberapa derajat disfungsi

ekstrapiramidal. Beberapa neuroleptik menginhibisi transmisi dopaminergik di

ganglia basalis. Penggunaan beberapa neuroleptik tersebut menyebabkan

gangguan transmisi di korpus striatum yang mengandung banyak reseptor D1 dan

D2 dopamin sehingga menyebabkan depresi fungsi motorik yang bermanifestasi

sebagai sindrom ekstrapiramidal. Beberapa neuroleptik tipikal (seperti

haloperidol, fluphenazine) merupakan inhibitor dopamin ganglia basalis yang

lebih poten, dan sebagai akibatnya menyebabkan efek samping gejala

ekstrapiramidal yang lebih menonjol.

2.5. MANIFESTASI KLINIS

Akibat gangguan sistem ekstrapiramidal pada pergerakan dapat dianggap

terdiri dari defisit fungsional primer (gejala negatif) yang ditimbulkan oleh tidak

berfungsinya sistem dan efek sekunder (gejala positif) yang timbul akibat

hilangnya pengaruh sistem itu terhadap bagian lain. Pada gangguan dalam fungsi

7
traktus ekstrapiramidal gejala positif dan negatif itu menimbulkan dua jenis

sindrom, yaitu :

- Sindrom hiperkinetik – hipotonik : asetilkolin ↓ , dopamin ↑

 Tonus otot menurun


 Gerak involunter / ireguler
Pada : chorea, atetosis, distonia, ballismus

- Sindrom hipokinetik – hipertonik : asetilkolin ↑ , dopamin ↓

 Tonus otot meningkat


 Gerak spontan / asosiatif ↓
 Gerak involunter spontan

Pada : Parkinson
2.5.1. Gejala negatif
Gejala negatif terjadi akibat kekurangn jumlah dopamin karena

produksinya yang berkurang. Gejala negatif, terdiri dari :

2.5.1.1. Bradikinesia

Gerakan volunter yang bertambah lambat atau menghilang sama

sekali. Gejala ini merupakan gejala utama yang didapatkan pada penyakit

parkinson sehingga menimbulkan berkurangnya ekspresi wajah,

berkurangnya kedipan mata dan mengurangi perubahan postur pada saat

duduk.

2.5.1.2. Gangguan postural


Merupakan hilangnya refleks postural normal. Paling sering

ditemukan pada penyakit parkinson. Terjadi fleksi pada tungkai dan badan

karena penderita tidak dapat mempertahankan keseimbangan secara cepat.

Penderita akan terjatuh bila berputar dan didorong.


2.5.2. Gejala Positif

8
Gejala positif timbul oleh karena terjadi perubahan pelepasan ataupun

disinhibisi dari dopamin, tetapi tidak ditemukan kerusakan struktur, yang terdiri

dari:

- Gerakan involunter

 Tremor
 Athetosis
 Chorea
 Distonia
 Hemiballismus

- Rigiditas

Kekakuan yang dirasakan oleh pemeriksa ketika menggerakkan

ekstremitas secara pasif. Tahanan ini timbul di sepanjang gerakan pasif

tersebut, dan mengenai gerakan fleksi maupun ekstensi sering disebut

sebagai plastic atau lead pipe rigidity. Bila disertai dengan tremor maka

disebut dengan tanda Cogwheel.

Pada penyakit parkinson terdapat gejala positif dan gejala

negatif seperti tremor dan bradikinesia. Sedangkan pada Chorea

huntington lebih didominasi oleh gejala positif, yaitu : Chorea.

2.5.3. Gejala ekstrapiramidal


Gejala ekstrapiramidal sering di bagi ke dalam beberapa kategori yaitu :

2.5.3.1. Reaksi Distonia Akut

Merupakan spasme atau kontraksi involunter satu atau lebih otot

skelet yang timbul beberapa menit dan dapat pula berlangsung lama,

biasanya menyebabkan gerakan atau postur yang abnormal. Kelompok

9
otot yang paling sering terlibat adalah otot wajah, otot rahang (trismus,

gaping, grimacing), leher (torticolis dan retrocolis), lidah (protrusion,

memuntir), seluruh otot tubuh (opistotonus) atau otot ekstraokuler (krisis

okulogirik).

Distonia juga dapat terjadi pada glosofaringeal yang menyebabkan

disartria, disfagia, kesulitan bernafas hingga sianosis bahkan kematian.

Distonia juga dapat ter jadi pada otot diafragmatik yang membantu

pernapasan sehingga sulit bernafas hingga sianosis bahkan

kematian..Reaksi distonia akut sering terjadi dalam satu atau dua hari

setelah pengobatan dimulai, tetapi dapat terjadi kapan saja.

Reaksi distonia akut sering sekali terjadi dalam satu atau dua hari

setelah pengobatan dimulai, tetapi dapat terjadi kapan saja. Keadaan ini

terjadi pada kira-kira 10% pasien, lebih lazim pada pria muda, dan lebih

sering dengan neuroleptik dosis tinggi yang berpotensi lebih tinggi, seperti

haloperidol dan flufenazine. Reaksi distonia akut dapat merupakan

penyebab utama dari ketidakpatuhan dengan neuroleptik karena

pandangan pasien mengenai medikasi secara permanent dapat memudar

oleh suatu reaksi distonik yang menyusahkan.

Kriteria diagnostik dan riset untuk distonia akut akibat neuroleptik

menurut DSM-IV adalah sebagai berikut:

Posisi abnormal atau spasme otot kepala, leher, anggota gerak, atau

batang tubuh yang berkembang dalam beberapa hari setelah memulai atau

menaikkan dosis medikasi neuroleptik (atau setelah menurunkan medikasi

yang digunakan untuk mengobati gejala ekstrapiramidal).

10
2.5.3.2. Tardive Dyskinesia (kronik)

Disebabkan oleh defisiensi kolinergik yang relatif akibat supersensitif

reseptor dopamin di puntamen kaudatus. Merupakan manifestasi gerakan otot

abnormal, involunter, menghentak, balistik, atau seperti tik mempengaruhi gaya

berjalan, berbicara, bernafas, dan makan pasien dan kadang mengganggu. Gejala

hilang dengan tidur, dapat hilang timbul dengan berjalannya waktu dan umumnya

memburuk dengan penarikan neuroleptik.

Prevalensi bervariasi tetapi tardive diskinesia diperkirakan terjadi 20-40%

pasien yang berobat lama. Tetapi sebagian kasus sangat ringan dan hanya sekitar

5% pasien memperlihatkan gerakan berat nyata. Namun, kasus-kasus berat sangat

melemahkan sekali, yaitu mempengaruhi berjalan, berbicara, bernapas, dan

makan.

Faktor predisposisi dapat meliputi umur lanjut, jenis kelamin wanita, dan

pengobatan berdosis tinggi atau jangka panjang. Pasien dengan gangguan afektif

atau organik juga lebih berkemungkinan untuk mengalami diskinesia tardive.

Diagnosis banding jika dipertimbangkan diskinesia tardive meliputi penyakit

Hutington, Khorea Sindenham, diskinesia spontan, tik dan diskinesia yang

ditimbulkan obat seperti Levodova, stimulant, dan lain-lain.

2.5.3.3. Akatisia

Manifestasi berupa keadaan subjektif kegelisahan (restlessness) yang

panjang,, gugup atau suatu keinginan untuk tetap bergerak umumnya kaki yang

tidak bisa tenang, atau rasa gatal pada otot. Penderita dengan akatisia berat tidak

11
mampu untuk duduk tenang, perasaannya menjadi cemas atau iritabel, agitasi, dan

pemacuan yang nyata. Akatisia dapat menyebabkan eksaserbasi gejala psikotik

yang memburuk akibat perasaan tidak nyaman yang ekstrim.

Sejauh ini, akatisia merupakan yang paling sering terjadi. Kemungkinan

terjadi pada sebagian besar pasien yang diobati dengan medikasi neuroleptik,

terutama pada populasi pasien lebih muda. Terdiri dari perasaan dalam yang

gelisah, gugup atau suatu keinginan untuk tetap bergerak. Juga telah dilaporkan

sebagai rasa gatal pada otot. Pasien dapat mengeluh karena anxietas atau

kesukaran tidur yang dapat disalah tafsirkan sebagai gejala psikotik yang

memburuk. Sebaliknya, akatisia dapat menyebabkan eksaserbasi gejala psikotik

akibat perasaan tidak nyaman yang ekstrim.

Agitasi, pemacuan yang nyata, atau manifestasi fisik lain dari akatisisa

hanya dapat ditemukan pada kasus yang berat. Juga, akinesis yang ditemukan

pada parkinsonisme yang ditimbulkan neuroleptik dapat menutupi setiap gejala

objektif akatisia. Akatisia sering timbul segera setelah memulai medikasi

neuroleptikdan pasien sudah pada tempatnya mengkaitkan perasaan tidak nyaman.

Yang dirasakan ini dengan medikasi sehingga menimbulkan masalah

ketidakpatuhan pasien.

2.5.3.4. Sindrom Parkinson

Faktor risiko antipsikotik menginduksi parkinson adalah peningkatan usia,

dosis obat, riwayat parkinson sebelumnya, dan kerusakan ganglia basalis. Terdiri

dari akinesia, tremor, dan bradikinesia. Akinesia meliputi wajah topeng, jedaan

dari gerakan spontan, penurunan ayunan lengan saat berjalan, penurunan kedipan,

dan penurunan mengunyah yang dapat menimbulkan pengeluaran air liur.

12
Pada suatu bentuk yang lebih ringan, akinesia hanya terbukti sebagai suatu

status perilaku dengan jeda bicara, penurunan spontanitas, apati dan kesukaran

untuk memulai aktifitas normal, kesemuanya dapat dikelirukan dengan gejala

skizofrenia negatif. Tremor dapat ditemukan pada saat istirahat dan dapat pula

mengenai rahang. Gaya berjalan dengan langkah kecil dan menyeret kaki

diakibatkan karena kekakuan otot.

2.5.3.5. Lain-lain

Berikut merupakan EPS lain yang agak lazim yang dapat dimulai berjam-jam

setelah dosis pertama neuroleptik atau dimulai secara berangsur-angsur setelah

pengobatan bertahun-tahun. Manifestasinya meliputi berikut :

2.5.3.5.1. Akinesia : yang meliputi wajah topeng, kejedaan dari gerakan

spontan, penurunan ayunan lengan pada saat berjalan, penurunan

kedipan, dan penurunan mengunyahyang dapat menimbulkan

pengeluaran air liur. Pada bentuk yang yang lebih ringan, akinesia

hanya terbukti sebagai suatu status perilaku dengan jeda bicara,

penurunan spontanitas, apati dan kesukaran untuk memulai aktifitas

normal, kesemuanya dapat dikelirukan dengan gejala negative

skizofrenia.

2.5.3.5.2. Tremor : khususnya saat istirahat, secara klasik dari tipe penggulung

pil. Tremor dapat mengenai rahang yang kadang-kadang disebut

13
sebagai “sindrom kelinci”. Keadaan ini dapat dikelirukan dengan

diskenisia tardiv, tapi dapat dibedakan melalui karakter lebih ritmik,

kecerendungan untuk mengenai rahang daripada lidah dan responya

terhadap medikasi antikolinergik.

2.5.3.5.3. Gaya berjalan membungkuk : menyeret kaki dan hilangnya ayunan

lengan.

2.5.3.5.4. Kekuan otot : terutama dari tipe cogwheeling. Gangguan gerakan

yang kronis progresif yang ditandai oleh adanya tremor, bradikinesia,

rigiditas, dan ketidakstabilan postural.

2.5.3.5.5. Chorea Huntington = Chorea Mayor

Merupakan gangguan herediter yang bersifat autosomal

dominan, onset pada usia pertengahan dan berjalan progresif hingga

menyebabkan kematian dalam waktu 10 – 12 tahun. Dapat terjadi pada

usia muda (tipe juvenile) dimana gejalanya kurang tampak dan

didominasi oleh gejala negatif (rigiditas, demensia, perubahan

kepribadian, gangguan afektif, psikosis, hipotonus, reflex primitif)

2.6. DIAGNOSIS

Diagnosa awal dilakukan dengan anamnesa pasien. Pemeriksaan yang

dapat dilakukan di antaranya adalah pemeriksaan fisik pada umumnya yaitu

tanda–tanda vital dan kondisi fisik seluruhnya. Dapat ditambah pemeriksaan

neurologis.

14
Pemeriksaan laboratorium tergantung pada tampilan klinis. Pasien dengan

distonia simplek tidak membutuhkan tes. Pemeriksaan kualitatif untuk mendeteksi

adanya antipsikotik tidak tersedia secara luas. Selain itu, kandungan obat dalam

serum untuk tranquilizer mayor tidak berkorelasi dengan baik dengan keparahan

klinis dari overdosis dan tidak bermanfaat pada pengobatan akut.

Pemeriksaan rutin elektrolit, pemeriksaan potassium, asam urat, keratin

kinase-MM , nitrogen dan urea darah, kreatinin darah, glukosa darah, mioglobin

dan bikarbonat bermanfaat dalam menilai status hidrasi, fungsi ginjal, status asam

basa, kerusakan otot dan hipoglikemi sebagai penyebab kelainan sensorium.

Kontraksi otot yang terus menerus sering menyebabkan perusakan otot

yang terlihat dari peningkatan potassium, asam urat, dan keratin kinase-MM.

Perusakan otot juga menghasilkan myoglobin yang diserap oleh ginjal, sehingga

menyebabkan disfungsi tubulus ginjal. Dehidrasi memperburuk penyerapan ini.

Pada myoglobinuria, urin menjadi berwarna cokelat gelap.

2.7. DIAGNOSIS BANDING

 Sindroma putus obat

 Parkinson Disease

 Distonia primer

 Tetanus

 Gangguan gerak ekstrapiramidal primer

 Penyakit Huntington

 Chorea Syndenham

 Anxietas

 Gejala psikotik yang memburuk

15
Pada pasien dengan tardive diskinesia dapat pula didiagnosis banding dengan

penyakit Hutington dan Khorea Sindenham.

2.8. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan umum untuk sindrom ekstrapiramidal yakni :

2.8.1 Non-farmakologis :

Menurunkan dosis antipsikotik hingga mencapai dosis minimal yang

efektif

2.8.2 Farmakologis

 Pada pasien > 60 tahun diberikan L-dopa .Pemberian L-dopa 3-4x 1 hari

dengan total dosis maksimal 600 mg/ hari diberikan 30 menit sebelum

makan, contoh madopar, sinemet.

 Pada pasien muda diberikan DA (dopamine antagonist)

Pemberian dopamine agonist :

o Contoh ergot da:

Bromocriptin dimulai dengan dosis 1,25 mg ditingkatkan sampai

total maksimal 40mg/ hari terbagi dalam 3-5 dosis.

Pergolide mesylate dimulai dari 0,05 mg 0,05 mg tiap 4-7 hari

sampai 2-4 mg / hari untuk 3x beri

Piribedil 50 mg terbagi 5x/ hari

Cabergoline , dostinex 0,5 mg setiap 2 hari

 Contoh Non-ergot da

16
Pramipexole, sifrol 1 mg dimulai dari 0,125 mg. Dosis

umumnya 3-4,5 mg / hari

Ropinirole, requip 2 mg, dimulai dari 0,25 mg. Dosis

umumnya 3-9 mg/ hari

 Pemberian antihistamin seperti difenhidramine, sulfas atropine

 Pemberian antikolinergik seperti :

trihexyphenidil ((THP), 4-6mg per hari selama 4-6 minggu. Setelah itu

dosis diturunkan secara perlahan-lahan, yaitu 2 mg setiap minggu, untuk

melihat apakah pasien telah mengembangkan suatu toleransi terhadap efek

samping sindrom ekstrapiramidal ini.

n-Methyl-D-Aspartate Receptor Inhibitor: amantadine dimulai dari 100

mg. Dosis umumnya 300-400 mg/ hari terbagi dalam 3-4 dosis

Enzyme inhibitor: Monoamine Oxidase Type B inhibitor MAO –B

contoh selegiline, selegos 5 mg, rasagiline sebagai neuroprotektor.

COMT –I (Cathechol o Methyl Transferase Inhibitors) :

entacapone, comtan 200mg dosis maksimal 1600 mg,

tolcapone untuk menurunkan degradasi dopamine otak dan

meningkatkan efek L-dopa.

2.8.3 Pedoman umum :

2.8.3.1 Gejala ekstrapiramidal dapat sangat menekan sehingga banyak

ahli menganjurkan terapi profilaktik. Gejala ini penting terutama

pada pasien dengan riwayat EPS atau para pasien yang mendapat

neuroleptik poten dosis tinggi.

17
2.8.3.2 Medikasi anti-EPS mempunyai efek sampingnya sendiri yang

dapat menyebabkan komplians yang buruk. Antikolinergik umumnya

menyebabkan mulut kering, penglihatan kabur, gangguan ingatan,

konstipasi dan retensi urine. Amantadin dapat mengeksaserbasi

gejala psikotik.

2.8.3.3 Umumnya disarankan bahwa suatu usaha dilakukan setiap enam

bulan untuk menarik medikasi anti-EPS pasien dengan pengawasan

seksama terhadap kembalinya gejala.

2.8.3.4 Reaksi Distonia Akut (ADR)

Medikasi antikolinergik merupakan terapi ADR bentuk primer

dan praterapi dengan salah satu obat-obat ini biasanya mencegah

terjadinya penyakit. Paduan obat yang umum meliputi benztropin

(Congentin) 0,5-2 mg dua kali sehari (BID) sampai tiga kali sehari

(TID) atau triheksiphenidil (Artane) 2-5 mg TID. Benztropin

mungkin lebih efektif daripada triheksiphenidil pada pengobatan

ADR dan pada beberapa penyalah guna obat triheksiphenidil karena

“rasa melayang” yang mereka dapat daripadanya.

Seorang pasien yang ditemukan dengan ADR berat, akut harus

diobati dengan cepat dan secara agresif. Bila dilakukan jalur

intravena (IV) dapat diberikan benztropin 1 mg dengan dorongan IV.

Umumnya lebih praktis untuk memberikan difenhidramin (Benadryl)

50 mg intramuskuler (IM) atau bila obat ini tidak tersedia gunakan

18
benztropin 2 mg IM. Remisi ADR dramatis terjadi dalam waktu 5

menit.

2.8.3.5 Akatisia

Pengobatan akatisia mungkin sangat sulit dan sering kali

memerlukan banyak eksperimen. Agen yang paling umum dipakai

adalah antikolinergik dan amantadin (Symmetrel); obat ini dapat juga

dipakai bersama. Penelitian terakhir bahwa propanolol (Inderal)

sangat efektif dan benzodiazepine, khususnya klonazepam

(klonopin) dan lorazepam (Ativan) mungkin sangat membantu.

2.8.3.6 Sindrom Parkinson

Aliran utama pengobatan sindrom Parkinson terinduksi

neuroleptik terdiri atas agen antikolinergik. Amantadin juga sering

digunakan . Levodopa yang dipakai pada pengobatan penyakit

Parkinson idiopatik umumnya tidak efektif akibat efek sampingnya

yang berat.

2.8.3.7 Tardive Diskinesia

Pencegahan melalui pemakaian medikasi neuroleptik yang

bijaksana merupakan pengobatan sindrom ini yang lebih disukai.

Ketika ditemukan pergerakan involunter dapat berkurang dengan

peningkatan dosis medikasi antipsikotik tetapi ini hanya

mengeksaserbasi masalah yang mendasarinya. Setelah permulaan

19
memburuk, pergerakan paling involunter akan menghilang atau

sangat berkurang, tetapi keadaan ini memerlukan waktu sampai dua

tahun.

Benzodiazepine dapat mengurangi pergerakan involunter pada

banyak pasien, kemungkinan melalui mekanisme asam gamma-

aminobutirat-ergik. Baclofen (lioresal) dan propanolol dapat juga

membantu pada beberapa kasus. Reserpin (serpasil) dapat juga

digambarkan sebagai efektif tetapi depresi dan hipotensi merupakan

efek samping yang umum. Lesitin lemak kaya kolin sangat

bermanfaat menurut beberapa peneliti, tetapi kegunaannya masih

diperdebatkan.

Pengurangan dosis umumnya merupakan perjalanan kerja

terbaik bagi pasien yang tampaknya mengalami diskinesia tardive

tetapi masih memerlukan pengobatan. Penghentian pengobatan dapat

memacu timbulnya dekompensasi yang berat, sementara pengobatan

pada dosis efektif terendah dapat mempertahankan pasien sementara

meminimumkan risiko, tetapi kita harus pasti terhadap dokumen

yang diperlukan untuk penghentian pengobatan.

2.9. KOMPLIKASI

Gangguan gerak yang dialami penderita akan sangat mengganggu

sehingga menurunkan kualitas penderita dalam beraktivitas dan gangguan gerak

saat berjalan dapat menyebabkan penderita terjatuh dan mengalami fraktur. Pada

distonia laring dapat menyebabkan asfiksia dan kematian.

20
Medikasi anti-EPS mempunyai efek sampingnya sendiri yang dapat

menyebabkan komplikasi yang buruk. Anti kolinergik umumnya menyebabkan

mulut kering, penglihatan kabur, gangguan ingatan, konstipasi dan retensi urine.

Amantadine dapat mengeksaserbasi gejala psikotik.

2.10. PROGNOSIS

Prognosis pasien dengan sindrom ekstrapiramidal yang akut akan lebih

baik bila gejala langsung dikenali dan ditanggulangi. Sedangkan prognosis pada

pasien dengan sindrom ekstrapiramidal yang kronik lebih buruk, Pasien dengan

tardive distonia hingga distonia laring dapat menyebabkan kematian bila tidak

diatasi dengan cepat. Sekali terkena, kondisi ini biasanya menetap pada pasien

yang mendapat pengobatan neuroleptik selama lebih dari 10 tahun.

BAB III

KESIMPULAN

Sindrom ekstrapiramidal merupakan kumpulan gejala yang dapat

diakibatkan oleh penggunaan antipsikotik. Antipsikotik yang menghambat

transmisi dopamine di jalur striatonigral juga memberikan inhibisi transmisi

dopaminergik di ganglia basalis. Adanya gangguan transmisi di korpus striatum

menyebabkan depresi fungsi motorik. Umumnya terjadi pada pemakaian jangka

panjang antipsikotik tipikal dan penggunaan dosis tinggi.

Manifestasi sindrom ini dapat berupa reaksi distonia, sindrom

parkinsonisme, dan tardive dyskinesia. Gejala ekstrapiramidal dapat sangat

menekan sehingga dianjurkan memberikan terapi profilaktik. Sindrom

21
ekstrapiramidal ditangani dengan mulai menurunkan dosis antipsikotik, kemudian

pasien diterapi dengan antihistamin dan antikolinergik seperti trihexyphenidil

(THP) dan difenhidrami. Bila reaksi distonia akut berat harus mendapatkan

penanganan cepat umumnya diberikan Beztropin secara IV atau difenhidramin

secara IM. Untuk akatisia diberikan antikolinergik dan amantadin, dan pemberian

proanolol dan benzodiazepine seperti klonazepam dan lorazepam.

Pengenalan gejala dengan cepat dan penatalaksanaan yang baik dapat

memperbaiki prognosis. Namun penangan yang terlambat dapat memberikan

komplikasi mulai dari gejala yang irreversibel hingga kematian.

DAFTAR PUSTAKA

Kaplan H.I.MD, Saddock B.M.JD, Grebb J.A.MD. Synopsis Psikiatri Jilid 1.

Bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti. 1997

Kaplan H.I.MD, Saddock B.M.JD, Grebb J.A.MD. Sinopsis Psikiatri Jilid 2.

Bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti. 1997

Maslim. R, SpKJ. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikiatri edisi Ketiga.

Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya. 2007

22

Anda mungkin juga menyukai