PENGERTIAN
Perlu ditekankan bahwa industri berbeda dari kawasan industri. Kawasan industri
dibentuk dalam rangka upaya percepatan pertumbuhan industri untuk memenuhi
kebutuhan barang industri dalam negeri serta untuk ekspor. Apa itu kawasan
industri? Berikut ini akan kita bahas mengenai beberapa pengertian kawasan
industri.
1. Menurut National Industrial Zoning Committee’s (USA) 1967, yang dimaksud
dengan kawasan industri atau Industrial Estate atau sering disebut dengan
Industrial Park adalah suatu kawasan industri diatas tanah yang cukup luas,
yang secara administratif dikontrol oleh seseorang atau sebuah lembaga yang
cocok untuk kegiatan industri, karena lokasinya, topografinya, zoning yang
tepat, ketersediaan semua infrastrukturnya (utilitas), dan kemudahan
aksesibilitas transportasi.
2. Menurut Industrial Development Handbook dari ULI (The Urban Land
Institute), Washington DC (1975), kawasan industri adalah suatu daerah atau
kawasan yang biasanya didominasi oleh aktivitas industri. Kawasan industri
biasanya mempunyai fasilitas kombinasi yang terdiri atas peralatan-peralatan
pabrik (industrial plants), penelitian dan laboratorium untuk pengembangan,
bangunan perkantoran, bank, serta prasarana lainnya seperti fasilitas sosial
dan umum yang mencakup perkantoran, perumahan, sekolah, tempat ibadah,
ruang terbuka dan lainnya.
3. Menurut Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 40/M-IND/PER/6/2016,
kawasan industri adalah kawasan tempat pemusatan kegiatan industri yang
dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang yang dikembangkan dan
dikelola oleh perusahaan kawasan industri.
4. Menurut Marsudi Djojodipuro, kawasan industri (industrial estate) merupakan
sebidang tanah seluas beberapa ratus hektar yang telah dibagi dalam kavling
dengan luas yang berbeda sesuai dengan keinginan yang diharapkan
Hal. II - 1
pengusaha. Daerah tersebut minimal dilengkapi dengan jalan antar kavling,
saluran pembuangan limbah dan gardu listrik yang cukup besar untuk
menampung kebutuhan pengusaha yang diharapkan akan berlokasi di tempat
tersebut.
Hal. II - 2
faktor sebagai berikut:
a. Tersedianya akses jalan yang dapat memenuhi kelancaran arus
transportasi kegiatan industri;
b. Tersedianya sumber energi (gas, listrik, dan lain-lain) yang mampu
memenuhi kebutuhan kegiatan industri, baik dalam hal ketersediaan,
kualitas, kuantitas, dan kepastian pasokan;
c. Tersedianya sumber air sebagai air baku industri dan air minum, baik
yang bersumber dari air permukaan atau air tanah; dan
d. Tersedianya sistem dan jaringan telekomunikasi untuk kebutuhan telepon
dan komunikasi data.
3. Ramah lingkungan
Dalam pembangunan kawasan industri, pengelola kawasan industri wajib
melaksanakan pengendalian dan pengelolaan lingkungan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4. Efisiensi
Aspek efisiensi merupakan landasan pokok dalarn pembangunan dan
pengembangan kawasan industri. Aspek efisiensi dimaksud meliputi efisiensi
dalam aspek lokasi dan infrastruktur serta aspek pelayanan. Bagi tenan akan
mendapatkan lokasi kegiatan industri yang sudah tertata dengan baik yang
dilengkapi dengan infrastruktur yang mampu meningkatkan daya saing tenan
tersebut. Sedangkan bagi pemerintah dan pemerintah daerah akan menjadi
lebih efisien dalam pembangunan infrastruktur yang mendukung dalam
pembangunan dan pengembangan kawasan industri.
5. Keamanan dan kenyamanan berusaha
Situasi dan kondisi keamanan yang stabil merupakan salah satu jaminan bagi
keberlangsungan suatu kawasan industri sehingga diperlukan adanya jaminan
keamanan dan kenyamanan berusaha dari gangguan keamanan seperti
gangguan ketertiban masyarakat, tindakan anarkis, dan gangguan lainnya
terhadap kegiatan industri di dalam kawasan industri.
Hal. II - 3
(OVNl) untuk mendapatkan perlakuan khusus.
6. Percepatan penyebaran dan pemerataan pembangunan industri
Pembangunan kawasan industri dilakukan sebagai bagian dari upaya
percepatan penyebaran dan pemerataan pembangunan industri ke seluruh
wilayah.
Hal. II - 4
disekitar kawasan industri mutlak menjadi fokus perhatian pihak
pemerintah daerah.
2. Bangkitan traffic dari orang dan barang (kemacetan, kerusakan jalan)
Pengembangan kawasan industri biasanya membangkitkan arus traffic baik
orang maupun barang sehingga dalam perencanaan dimensi jaringan jalan
sudah harus memperhitungkan bangkitan traffic yang mungkin timbul.
Dalam memperhitungkan bangkitan traffic orang dari suatu kawasan
industri hendaknya diperhatikan aspek-aspek komuter harian, serta pekerja
yang menggunakan kendaraan umum ataupun kendaraan pribadi.
3. Peningkatan kebutuhan permukiman dan fasilitas lingkungan
Mengingat pengembangan suatu kawasan industri akan menarik sejumlah
pekerja, maka untuk pekerja pendatang perlu diperhitungkan kebutuhan
permukiman serta fasilitas lingkungan seperti fasilitas kesehatan,
pendidikan, perbelanjaan, hiburan dan sebagainya terutama bagi pekerja
pendatang itu sendiri maupun keluarganya.
4. Antisipasi perubahan iklim mikro (RTH & BCR)
Pembangunan suatu kawasan industri yang merubah lahan sawah, tegalan
atau lebih dikenal dengan non built up area menjadi lahan terbangun,
tentunya akan merubah iklim mikro (temperatur dan kelembaban disekitar).
Untuk itu dalam area kawasan industri perlu dipersiapkan ruang terbuka
hijau (RTH) yang besarnya 10% dari total area sebagai open space dan
setiap kapling harus memenuhi building coverage ratio (BCR) sebesar 60%
: 40%.
5. Adanya run off (banjir, & sistem drainase)
Kegiatan pematangan lahan kawasan industri secara langsung akan
mempengaruhi pola tata aliran air, sehingga untuk mengantisipasi
terjadinya luapan air perlu direncanakan sistem drainase yang baik.
6. Interaksi dengan kegiatan sekitar sinergis dan antagonis (lapangan golf,
jalan toll)
Sama halnya dengan aspek penataan ruang, dalam perencanaan lokasi
kawasan industri hendaknya dihidari dari kegiatan-kegiatan yag kontradiktif
dengan aktivitas industri, seperti lapangan golf yang menghendaki udara
bersih harus berjauhan dengan pabrik-pabrik yang menghasilkan polutan
ke udara bebas.
Hal. II - 5
7. Dampak sosial ekonomi dan budaya, baik positif maupun negatif
Berbagai dampak sosial ekonomi dan budaya dari suatu kawasan industri
harus diantisipasi sejak dini agar tidak terjadi konflik.
Hal. II - 6
5. Diperlukan sistem penyediaan air bersih, untuk mengantisipasi gangguan
terhadap air tanah penduduk, maka seharusnya pihak pengelola tidak
mengijinkan masing-masing pabrik membuat sumur sendiri melainkan
harus dikelola secara terpusat, baik bersumber dari air tanah, air
permukaan ataupun PDAM.
6. Diperlukan fasilitas penunjang lain (penyediaan fasilitas penunjang ini
tergantung skala luasan kawasan industri), seperti pemadam kebakaran,
kantin, rumah ibadah, fasilitas olahraga, poliklinik, guest house, kantor pos,
kantor polisi, kantor cabang bank, terminal, dan lainnya.
Hal. II - 7
11. Melakukan K3, untuk menjaga sistem keselamatan kerja dan kesehatan
karyawan.
12. Menyiapkan PMK (tabung), sebagai tindakan dini bila terjadi bahaya
kebakaran.
13. Kewajiban untuk memiliki dokumen lingkungan (UKL-UPL/SPPL), untuk lebih
mengetahui tentang berbagai potensi limbah/cemaran dan masing-masing
pabrik.
Pada umumnya untuk aspek-aspek lingkungan skala kawasan dan skala pabrik
diatas disamping peraturan-peraturan teknis lain dituangkan oleh pihak pengelola
kawasan industri dalam bentuk peraturan kawasan industri (estate regulation)
yang dijadikan acuan dalam penyusunan perjanjian jual beli kapling industri.
Hal. II - 8
idealnya suatu kawasan industri berjarak minimal 10 (sepuluh) kilometer dari
pusat kota.
2. Jarak terhadap permukiman
Jarak terhadap permukiman yang ideal minimal 2 (dua) kilometer dari lokasi
kegiatan industri. Pertimbangan jarak terhadap permukiman bagi pemilihan
lokasi kegiatan industri, pada prinsipnya memiliki 2 (dua) tujuan pokok, yaitu:
a. Berdampak positif dalam rangka pemenuhan kebutuhan tenaga kerja
dan aspek pemasaran produk. Dalam hal ini juga perlu dipertimbangkan
adanya kebutuhan tambahan akan perumahan sebagai akibat dari
pembangunan kawasan industri. Dalam kaitannya dengan jarak
terhadap permukiman disini harus mempertimbangkan masalah
pertumbuhan perumahan, dimana sering terjadi areal tanah disekitar
lokasi industri menjadi kumuh dan tidak ada lagi jarak antara perumahan
dengan kegiatan industri; dan
b. Berdampak negatif karena kegiatan industri menghasilkan polutan dan
limbah yang dapat membahayakan bagi kesehatan masyarakat.
3. Jaringan jalan yang melayani
Jaringan jalan bagi kegiatan industri memiliki fungsi yang sangat penting
terutama dalam rangka kemudahan mobilitas pergerakan dan tingkat
pencapaian (aksesibilitas) baik dalam penyediaan bahan baku, pergerakan
manusia dan pemasaran hasil-hasil produksi. Jaringan jalan yang baik untuk
kegiatan industri, harus memperhitungkan kapasitas dan jumlah kendaraan
yang akan melalui jalan tersebut sehingga dapat diantisipasi sejak awal
kemungkinan terjadinya kerusakan jalan dan kemacetan. Hal ini penting
untuk dipertimbangkan karena dari kenyataan yang ada dari keberadaan
kawasan industri pada suatu daerah ternyata tidak mudah untuk
mengantisipasi dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan industri terhadap
masalah transportasi. Apabila hal ini kurang mendapat perhatian akan
berakibat negatif terhadap upaya promosi kawasan industri. Untuk
pengembangan kawasan industri dengan karakteristik lalulintas truk
kontainer dan akses utama dari dan ke pelabuhan/bandara, maka jaringan
jalan arteri primer harus tersedia untuk melayani lalulintas kegiatan industri.
Hal. II - 9
4. Jaringan fasilitas dan prasarana
a. Jaringan listrik
Ketersediaan jaringan listrik menjadi syarat yang penting untuk kegiatan
industri. Karena bisa dipastikan proses produksi kegiatan industri sangat
membutuhkan energi yang bersumber dari listrik, untuk keperluan
mengoperasikan alat-alat produksi. Dalam hal ini standar pelayanan
listrik untuk kegiatan industri tidak sama dengan kegiatan domestik
dimana ada prasyarat mutlak untuk kestabilan pasokan daya maupun
tegangan. Kegiatan industri umumnya membutuhkan energi listrik yang
sangat besar, sehingga perlu dipikirkan sumber pasokan listriknya,
apakah yang bersumber dari perusahaan listrik negara saja, atau
dibutuhkan partisipasi sektor swasta untuk ikut membantu penyediaan
energi listrik untuk memenuhi kebutuhan listrik industri.
b. Jaringan telekomunikasi
Kegiatan industri tidak akan lepas dari aspek bisnis, dalam rangka
pemasaran maupun pengembangan usaha. Untuk itulah jaringan
telekomunikasi seperti telepon dan internet menjadi kebutuhan dasar
bagi pelaku kegiatan industri untuk menjalankan kegiatannya. Sehingga
ketersediaan jaringan telekomunikasi tersebut menjadi syarat dalam
penentuan lokasi industri.
c. Pelabuhan laut
Kebutuhan prasarana pelabuhan menjadi kebutuhan yang mutlak,
terutama bagi kegiatan pengiriman bahan baku/bahan penolong dan
pemasaran produksi, yang berorientasi ke luar daerah dan keluar negeri
(ekspor/impor). Kegiatan industri sangat membutuhkan pelabuhan
sebagai pintu keluar-masuk berbagai kebutuhan pendukung. Sebagai
ilustrasi untuk memproduksi satu produk membutuhkan banyak bahan
pendukung yang tidak mungkin dipenuhi seluruhnya dari dalam
daerah/wilayah itu sendiri, misalnya kebutuhan peralatan mesin dan
komponen produksi lainnya yang harus di impor, demikian pula produk
yang dihasilkan diharapkan dapat dipasarkan di luar wilayah/ekspor
agar diperoleh nilai tambah/devisa. Untuk itu keberadaan
pelabuhan/outlet menjadi syarat mutlak untuk pengembangan kawasan
industri.
Hal. II - 10
5. Topografi
Pemilihan lokasi peruntukan kegiatan industri hendaknya pada areal lahan
yang memiliki topografi yang relatif datar. Kondisi topografi yang relatif datar
akan mengurangi pekerjaan pematangan lahan (cut and fill) sehingga dapat
mengefisienkan pemanfaatan lahan secara maksimal, memudahkan
pekerjaan konstruksi dan menghemat biaya pembangunan. Topografi/
kemiringan tanah maksimal 15%.
6. Jarak terhadap sungai atau sumber air bersih
Pengembangan kawasan industri sebaiknya dapat mempertimbangkan jarak
terhadap sungai. Karena sungai memiliki peranan penting untuk kegiatan
industri, yaitu sebagai sumber air baku dan tempat pembuangan akhir
limbah industri. Sehingga jarak terhadap sungai harus mempertimbangkan
biaya konstruksi dan pembangunan saluran-saluran air. Disamping itu jarak
yang ideal seharusnya juga memperhitungkan kelestarian lingkungan daerah
aliran sungai (DAS), sehingga kegiatan industri dapat secara seimbang
menggunakan sungai untuk kebutuhan kegiatan industrinya tetapi juga
dengan tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan daerah
aliran sungai (DAS) tersebut. Jarak terhadap sungai atau sumber air bersih
maksimum 5 (lima) kilometer dan terlayani sungai tipe C dan D atau Kelas III
dan IV.
7. Kondisi lahan
Peruntukan lahan industri perlu mempertimbangkan daya dukung lahan dan
kesuburan lahan.
a. Daya dukung lahan
Daya dukung lahan erat kaitannya dengan jenis konstruksi pabrik dan
jenis produksi yang dihasilkan. Jenis konstruksi pabrik sangat
dipengaruhi oleh daya dukung jenis dan komposisi tanah, serta tingkat
kelabilan tanah, yang sangat mempengaruhi biaya dan teknologi
konstruksi yang digunakan. Mengingat bangunan industri membutuhkan
pondasi dan konstruksi yang kokoh, maka agar diperoleh efisiensi dalam
pembangunannya sebaiknya nilai daya dukung tanah (sigma) berkisar
antara: 0,7 - 1,0 kg/cm2.
Hal. II - 11
b. Kesuburan lahan
Tingkat kesuburan lahan merupakan faktor penting dalam menentukan
lokasi peruntukan kawasan industri. Apabila tingkat kesuburan lahan
tinggi dan baik bagi kegiatan pertanian, maka kondisi lahan seperti ini
harus tetap dipertahankan untuk kegiatan pertanian dan tidak
dicalonkan dalam pemilihan lokasi kawasan industri. Hal ini bertujuan
untuk mencegah terjadinya konversi lahan yang dapat mengakibatkan
menurunnya tingkat produktivitas pertanian, sebagai penyedia
kebutuhan pangan bagi masyarakat dan dalam jangka panjang sangat
dibutuhkan untuk menjaga ketahanan pangan (food security) di daerah-
daerah. Untuk itu dalam pengembangan industri, pemerintah daerah
harus bersikap tegas untuk tidak memberikan ijin lokasi industri pada
lahan pertanian, terutama areal pertanian lahan basah (irigasi teknis).
8. Ketersediaan lahan
Kegiatan industri umumnya membutuhkan lahan yang luas, terutama
industri-industri berskala sedang dan besar. Untuk itu skala industri yang
akan dikembangkan harus pula memperhitungkan luas lahan yang tersedia,
sehingga tidak terjadi upaya memaksakan diri untuk konversi lahan secara
besar-besaran, guna pembangunan kawasan industri. Sesuai Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 2009, luas lahan kawasan industri minimal 50
(lima puluh) hektar. Ketersediaan lahan harus memasukkan pertimbangan
kebutuhan lahan di luar kegiatan sektor industri sebagai “multiplier
effects”nya, seperti kebutuhan lahan perumahan dan kegiatan permukiman
dan perkotaan lainnya. Sebagai ilustrasi bila per hektar kebutuhan lahan
kawasan industri menyerap 100 (seratus) tenaga kerja, berarti dibutuhkan
lahan perumahan dan kegiatan pendukungnya seluas 1,0 - 1,5 Ha untuk
tempat tinggal para pekerja dan berbagai fasilitas penunjang. Artinya bila
hendak dikembangkan 100 (seratus) hektar kawasan industri disuatu
daerah, maka disekitar lokasi harus tersedia lahan untuk fasilitas seluas 100
- 150 Ha, sehingga total area dibutuhkan 200 - 250 Ha.
9. Harga lahan
Salah satu faktor utama yang menentukan pilihan investor dalam memilih
lokasi peruntukan industri adalah harga beli/sewa lahan yang kompetitif,
artinya bila lahan tersebut dimatangkan dalam arti sebagai kapling siap
Hal. II - 12
bangun yang telah dilengkapi prasarana penunjang dapat dijangkau oleh
para pengguna (user). Dengan demikian dalam pemilihan lokasi kawasan
industri sebaiknya harga lahan (tanah mentah) tidak terlalu mahal.
Disamping itu sebagai syarat utamanya agar tidak terjadi transaksi lahan
yang tidak adil, artinya harga yang tidak merugikan masyarakat pemilik
lahan, atau pemerintah mengeluarkan peraturan yang dapat memberikan
peluang bagi masyarakat untuk terlibat menanamkan modal dalam investasi
kawasan industri melalui lahan yang dimilikinya. Sehingga dengan demikian
membuka peluang bagi masyarakat pemilik lahan untuk merasakan
langsung nilai tambah dari keberadaan kawasan industri di daerahnya.
10. Orientasi lokasi
Mengingat kawasan industri sebagai tempat industri manufaktur
(pengolahan) yang biasanya merupakan industri yang bersifat “footlose”
maka orientasi lokasi sangat dipengaruhi oleh aksesibilitas dan potensi
tenaga kerja.
11. Pola tata guna lahan
Mengingat kegiatan industri disamping menghasilkan produksi juga
menghasilkan hasil sampingan berupa limbah padat, cair dan gas, maka
untuk mencegah timbulnya dampak negatif sebaiknya dialokasikan pada
lokasi yang bukan pertanian dan bukan permukiman, terutama bagi industri
skala menengah dan besar.
12. Multiplier effects
Pembangunan kawasan industri jelas akan memberikan pengaruh eksternal
yang besar bagi lingkungan sekitarnya. Dengan istilah lain dapat disebut
sebagai multiplier effects.
13. Kriteria dan persyaratan kawasan industri
Berdasarkan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 40/M-IND/PER/6/2016
tentang Pedoman Teknis Pembangunan Kawasan Industri, terdapat
beberapa kriteria dalam memilih lokasi kawasan industri.
Hal. II - 13
Tabel: 2.1.
Kriteria Pertimbangan Pemilihan Lokasi Kawasan Industri
No. Kriteria Pemilihan Lokasi Faktor Pertimbangan
1. Jarak ke pusat kota Min 10 km.
2. Jarak ke permukiman Min 2 km.
3. Jaringan transportasi darat Jalan arteri primer atau jaringan kereta api.
4. Jaringan energi dan kelistrikan Tersedia.
5. Jaringan telekomunikasi Tersedia.
6. prasarana angkutan Tersedia pelabuhan laut untuk kelancaran
transportasi logistik barang ekspor/impor.
7. Sumber air baku Tersedia Sumber daya air permukaan (sungai,
danau, waduk/embung atau laut) dengan debit
yang mencukupi.
8. Kondisi lahan - Topografi: max. 15%.
- Kesuburan tanah relatif tidak subur (non - irigasi
teknis).
- Pola tata guna lahan: non pertanian, non
permukiman, dan non kopnservasi.
- Ketersedian lahan minimal 50 ha.
- Harga lahan relative(bukan merupakan lahan
dengan harga yang tinggi didaerah tersebut).
Sumber: Permen Perindustrian No. 40 Tahun 2016
Tabel: 2.2.
Persyaratan Kawasan Industri Berdasarkan Peraturan Pemerintah
No. Tahapan Rincian
1. Persiapan - Pemilihan lokasi.
- Penyusunan dokumen.
- Pengurusan perizinan.
2. Pengembangan - Pembebasan lahan.
- Penyusunan dokumen DED.
3. Pengelolaan - Kelembagaan kawasan industri.
- Sistem manajemen.
- Pelaksanaan tata tertib kawasan industri.
- Pemasaran.
- Pengembangan usaha.
- Pengelolaan lingkungan.
- Kepedulian social dan pemberdayaan masyarakat.
- Penyusunan dan pelaporan data kawasan industri.
Sumber: Permen Perindustrian No. 40 Tahun 2016
Hal. II - 14
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 132).
4. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68).
5. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 69).
6. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 133).
7. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 112).
8. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 140).
9. Undang-Undang Nomor 01 Tahun 2011 tentang Perumahan dan
Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 7).
10. Undang-Undang Nomor 02 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 22).
11. Undang-undang Nomor 03 Tahun 2014 tentang Perindustrian (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 4).
12. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244).
13. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2015 Tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015
Nomor 58).
14. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 45).
15. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 86).
16. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor
48).
17. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 48).
Hal. II - 15
18. Peraturan Pemerintah Nomor 142 Tahun 2015 tentang Kawasan Industri
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 365).
19. Peraturan Pemerintah nomor 13 tahun 2017 tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2o17 Nomor
77).
20. Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang
Kawasan Perkotaan Mamminasata.
21. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 02 Tahun 1999 tentang Izin Lokasi.
22. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 05 Tahun 1992 tentang Rencana
Tapak Tanah dan Tata Tertib Pengusahaan Kawasan Industri Serta
Prosedur Pemberian Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan Izin Undang-
Undang Gangguan (UUG/HO) Bagi Perusahaan Yang Berlokasi di Dalam
Kawasan Industri.
23. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 01 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan.
24. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomo5
05/PRT/M/2016 tentang Pedoman Teknis Izin Mendirikan Bangunan
Gedung.
25. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 05/M-IND/PER/2/2014 Tentang Tata
Cara Pemberian izin Usaha Kawasan Industri dan Izin Perluasan Kawasan
Industri.
26. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 40/M-IND/PER/6/2016 Tentang
Pedoman Teknis Pembangunan Kawasan Industri.
27. Peraturan Daerah Kabupaten Maros Nomor 04 Tahun 2012 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Maros Tahun 2012 - 2032
(Lembaran Daerah Kabupaten Maros Tahun 2012 Nomor 04).
28. Peraturan Daerah Kabupaten Maros Nomor 08 Tahun 2013 tentang
Bangunan Gedung (Lembaran Daerah Kabupaten Maros Tahun 2013 Nomor
08).
29. Peraturan Bupati Maros Nomor 25 Tahun 2018 tentang Ketentuan dan Tata
Cara Pengesahan Site Plan dan Master Plan.
Hal. II - 16