Anda di halaman 1dari 16

2.1.

PENGERTIAN
Perlu ditekankan bahwa industri berbeda dari kawasan industri. Kawasan industri
dibentuk dalam rangka upaya percepatan pertumbuhan industri untuk memenuhi
kebutuhan barang industri dalam negeri serta untuk ekspor. Apa itu kawasan
industri? Berikut ini akan kita bahas mengenai beberapa pengertian kawasan
industri.
1. Menurut National Industrial Zoning Committee’s (USA) 1967, yang dimaksud
dengan kawasan industri atau Industrial Estate atau sering disebut dengan
Industrial Park adalah suatu kawasan industri diatas tanah yang cukup luas,
yang secara administratif dikontrol oleh seseorang atau sebuah lembaga yang
cocok untuk kegiatan industri, karena lokasinya, topografinya, zoning yang
tepat, ketersediaan semua infrastrukturnya (utilitas), dan kemudahan
aksesibilitas transportasi.
2. Menurut Industrial Development Handbook dari ULI (The Urban Land
Institute), Washington DC (1975), kawasan industri adalah suatu daerah atau
kawasan yang biasanya didominasi oleh aktivitas industri. Kawasan industri
biasanya mempunyai fasilitas kombinasi yang terdiri atas peralatan-peralatan
pabrik (industrial plants), penelitian dan laboratorium untuk pengembangan,
bangunan perkantoran, bank, serta prasarana lainnya seperti fasilitas sosial
dan umum yang mencakup perkantoran, perumahan, sekolah, tempat ibadah,
ruang terbuka dan lainnya.
3. Menurut Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 40/M-IND/PER/6/2016,
kawasan industri adalah kawasan tempat pemusatan kegiatan industri yang
dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang yang dikembangkan dan
dikelola oleh perusahaan kawasan industri.
4. Menurut Marsudi Djojodipuro, kawasan industri (industrial estate) merupakan
sebidang tanah seluas beberapa ratus hektar yang telah dibagi dalam kavling
dengan luas yang berbeda sesuai dengan keinginan yang diharapkan

Hal. II - 1
pengusaha. Daerah tersebut minimal dilengkapi dengan jalan antar kavling,
saluran pembuangan limbah dan gardu listrik yang cukup besar untuk
menampung kebutuhan pengusaha yang diharapkan akan berlokasi di tempat
tersebut.

Berdasarkan pada beberapa pengertian tentang kawasan industri tersebut diatas,


dapat disimpulkan bahwa suatu kawasan disebut sebagai kawasan industri apabila
memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Adanya areal/bentangan lahan yang cukup luas dan telah dimatangkan.
2. Dilengkapi dengan sarana dan prasarana.
3. Ada suatu badan (manajemen) pengelola.
4. Memiliki izin usaha kawasan industri.
5. Biasanya diisi oleh industri manufaktur (pengolahan beragam jenis).

2.2. TUJUAN PEMBANGUNAN KAWASAN INDUSTRI


Pembangunan kawasan industri sebagairnana tercantum dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 42 Tahun 2015 tentang Kawasan Industri, bertujuan untuk:
1. Mempercepat penyebaran dan pemerataan pembangunan industri.
2. Meningkatkan upaya pembangunan industri yang berwawasan lingkungan.
3. Meningkatkan daya saing investasi dan daya saing industri.
4. Memberikan kepastian lokasi sesuai tata ruang.

2.3. PRINSIP-PRINSIP PEMBANGUNAN KAWASAN INDUSTRI


Dalam pembangunan kawasan industri perlu memperhatikan prinsip-prinsip
sebagai berikut:
1. Kesesuaian tata ruang
Pemilihan, penetapan dan penggunaan lahan untuk kawasan industri harus
sesuai dan mengacu kepada ketentuan yang ditetapkan dalam Rencana Tata
Ruang Wilayah Kabupaten/Kota, Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi,
maupun Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Kesesuaian tata ruang
merupakan salah satu syarat bagi perizinan kawasan industri.
2. Ketersediaan infrastruktur lndustri
Pembangunan suatu kawasan industri mempersyaratkan dukungan
ketersediaan infrastruktur industri yang memadai. Dalam upaya
mengembangkan suatu kawasan industri perlu mempertimbangkan faktor-

Hal. II - 2
faktor sebagai berikut:
a. Tersedianya akses jalan yang dapat memenuhi kelancaran arus
transportasi kegiatan industri;
b. Tersedianya sumber energi (gas, listrik, dan lain-lain) yang mampu
memenuhi kebutuhan kegiatan industri, baik dalam hal ketersediaan,
kualitas, kuantitas, dan kepastian pasokan;
c. Tersedianya sumber air sebagai air baku industri dan air minum, baik
yang bersumber dari air permukaan atau air tanah; dan
d. Tersedianya sistem dan jaringan telekomunikasi untuk kebutuhan telepon
dan komunikasi data.
3. Ramah lingkungan
Dalam pembangunan kawasan industri, pengelola kawasan industri wajib
melaksanakan pengendalian dan pengelolaan lingkungan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4. Efisiensi
Aspek efisiensi merupakan landasan pokok dalarn pembangunan dan
pengembangan kawasan industri. Aspek efisiensi dimaksud meliputi efisiensi
dalam aspek lokasi dan infrastruktur serta aspek pelayanan. Bagi tenan akan
mendapatkan lokasi kegiatan industri yang sudah tertata dengan baik yang
dilengkapi dengan infrastruktur yang mampu meningkatkan daya saing tenan
tersebut. Sedangkan bagi pemerintah dan pemerintah daerah akan menjadi
lebih efisien dalam pembangunan infrastruktur yang mendukung dalam
pembangunan dan pengembangan kawasan industri.
5. Keamanan dan kenyamanan berusaha
Situasi dan kondisi keamanan yang stabil merupakan salah satu jaminan bagi
keberlangsungan suatu kawasan industri sehingga diperlukan adanya jaminan
keamanan dan kenyamanan berusaha dari gangguan keamanan seperti
gangguan ketertiban masyarakat, tindakan anarkis, dan gangguan lainnya
terhadap kegiatan industri di dalam kawasan industri.

Dalam menciptakan keamanan dan kenyamanan berusaha, pengelola


kawasan industri dapat bekerjasama dengan pemerintah daerah setempat
dari/atau pihak keamanan. Apabila dipandang perlu, pemerintah dapat
menetapkan suatu kawasan industri sebagai Objek Vital Nasional Industri

Hal. II - 3
(OVNl) untuk mendapatkan perlakuan khusus.
6. Percepatan penyebaran dan pemerataan pembangunan industri
Pembangunan kawasan industri dilakukan sebagai bagian dari upaya
percepatan penyebaran dan pemerataan pembangunan industri ke seluruh
wilayah.

2.4. FAKTOR-FAKTOR LINGKUNGAN YANG PERLU DIPERHATIKAN


DALAM PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN KAWASAN
INDUSTRI
2.4.1. Prinsip-Prinsip Dasar Lingkungan
1. Dalam pengembangan suatu kawasan industri (Industrial estate/industrial
park) perlu diperhatikan aspek-aspek lingkungan, dimana biasanya
tercermin dalam studi Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDALnya).
2. Hal utama yang perlu diperhatikan dalam pengembangan kawasan industri,
bahwa ada 3 (tiga) pihak yang berperan dan bertanggung-jawab dalam
pengelolaan lingkungan, yaitu:
a. Pihak pabrikan, sebagai pengguna lahan di kawasan Industri;
b. Pihak pengelola, sebagai pihak yang mengembangkan dan mengelola
kawasan industri; dan
c. Pihak pemerintah, sebagai pihak yang dapat memanfaatkan
keberadaan kawasan industri dalam arti membantu tercapainya
pengaturan tata ruang.
3. Disamping itu dalam pengembangan suatu kawasan industri senantiasa
harus diperhatikan masalah pendekatan daya dukung lingkungan (carrying
capacity approach).

2.4.2. Aspek Lingkungan Skala Regional


Perlu diperhatikan dampak regional dari pengembangan suatu kawasan
industri, yaitu:
1. Perubahan tata ruang disekitar
Perubahan tata ruang di kawasan sekitar yang terstimulus sebagai akibat
adanya kawasan industri (slum), terutama agar pengembangan kawasan
industri di suatu daerah tidak saling mengganggu kehidupan disekitarnya.
Untuk itu biasanya perencanaan dan monitoring pemanfaatan lahan

Hal. II - 4
disekitar kawasan industri mutlak menjadi fokus perhatian pihak
pemerintah daerah.
2. Bangkitan traffic dari orang dan barang (kemacetan, kerusakan jalan)
Pengembangan kawasan industri biasanya membangkitkan arus traffic baik
orang maupun barang sehingga dalam perencanaan dimensi jaringan jalan
sudah harus memperhitungkan bangkitan traffic yang mungkin timbul.
Dalam memperhitungkan bangkitan traffic orang dari suatu kawasan
industri hendaknya diperhatikan aspek-aspek komuter harian, serta pekerja
yang menggunakan kendaraan umum ataupun kendaraan pribadi.
3. Peningkatan kebutuhan permukiman dan fasilitas lingkungan
Mengingat pengembangan suatu kawasan industri akan menarik sejumlah
pekerja, maka untuk pekerja pendatang perlu diperhitungkan kebutuhan
permukiman serta fasilitas lingkungan seperti fasilitas kesehatan,
pendidikan, perbelanjaan, hiburan dan sebagainya terutama bagi pekerja
pendatang itu sendiri maupun keluarganya.
4. Antisipasi perubahan iklim mikro (RTH & BCR)
Pembangunan suatu kawasan industri yang merubah lahan sawah, tegalan
atau lebih dikenal dengan non built up area menjadi lahan terbangun,
tentunya akan merubah iklim mikro (temperatur dan kelembaban disekitar).
Untuk itu dalam area kawasan industri perlu dipersiapkan ruang terbuka
hijau (RTH) yang besarnya 10% dari total area sebagai open space dan
setiap kapling harus memenuhi building coverage ratio (BCR) sebesar 60%
: 40%.
5. Adanya run off (banjir, & sistem drainase)
Kegiatan pematangan lahan kawasan industri secara langsung akan
mempengaruhi pola tata aliran air, sehingga untuk mengantisipasi
terjadinya luapan air perlu direncanakan sistem drainase yang baik.
6. Interaksi dengan kegiatan sekitar sinergis dan antagonis (lapangan golf,
jalan toll)
Sama halnya dengan aspek penataan ruang, dalam perencanaan lokasi
kawasan industri hendaknya dihidari dari kegiatan-kegiatan yag kontradiktif
dengan aktivitas industri, seperti lapangan golf yang menghendaki udara
bersih harus berjauhan dengan pabrik-pabrik yang menghasilkan polutan
ke udara bebas.

Hal. II - 5
7. Dampak sosial ekonomi dan budaya, baik positif maupun negatif
Berbagai dampak sosial ekonomi dan budaya dari suatu kawasan industri
harus diantisipasi sejak dini agar tidak terjadi konflik.

2.4.3. Aspek Lingkungan Skala Kawasan Industri


Aspek lingkungan yang perlu dipersiapkan/diperhatikan pihak pengelola, yaitu:
1. Perlu penerapan sistem zoning, dalam pengembangan suatu kawasan
industri perlu diterapkan sistem zoning, pengelompokkan industri sesuai
dengan karakteristik internalnya, terutama untuk tujuan:
a. Land development cost minimal;
b. Maintenance cost minimal; dan
c. Menghindari konflik antar user (good neighbourhood).

Adapun karakteristik internal dari industri antara lain:


a. Bersifat bulky;
b. Bersifat heavy;
c. Bersifat butuh udara bersih;
d. Bersifat potensi limbah cair;
e. Bersifat potensi limbah gas dan cair;
f. Bersifat potensi getar; dan
g. Bersifat arbitory (dapat berlokasi di sembarang tempat).
2. Diperlukan IPAL terpusat, dalam pembangunan suatu kawasan industri
dibutuhkan sistem instalasi pengolahan air limbah terpusat (IPLT), yang
hanya mampu mengolah parameter tertentu (BOD, COD, pH & TSS
warna).
3. Diperlukan ruang terbuka hijau (RTH  10% dari luas), sama halnya
dengan tinjauan skala regional, dalam skala kawasan industri, pihak
pengelola perlu senantiasa menyediakan ruang terbuka hijau (RTH) yang
luasnya 10% dari total areal, dapat berupa open space, green belt/buffer
zone ataupun pherimeter.
4. Diperlukan sistem pengangkutan sampah, baik sampah non B3 maupun
B3, terutama untuk menghindari rembesan ke air tanah atau leaching ke air
permukaan.

Hal. II - 6
5. Diperlukan sistem penyediaan air bersih, untuk mengantisipasi gangguan
terhadap air tanah penduduk, maka seharusnya pihak pengelola tidak
mengijinkan masing-masing pabrik membuat sumur sendiri melainkan
harus dikelola secara terpusat, baik bersumber dari air tanah, air
permukaan ataupun PDAM.
6. Diperlukan fasilitas penunjang lain (penyediaan fasilitas penunjang ini
tergantung skala luasan kawasan industri), seperti pemadam kebakaran,
kantin, rumah ibadah, fasilitas olahraga, poliklinik, guest house, kantor pos,
kantor polisi, kantor cabang bank, terminal, dan lainnya.

2.4.4. Aspek Lingkungan Skala Pabrik


Perlu kejelasan hal-hal yang menjadi tanggung-jawab masing-masing pabrik
(user) dalam kawasan industri:
1. Material handing, untuk menghindari ceceran, polusi udara ataupun
pemandangan yang kurang baik.
2. Mematuhi building coverage ratio (BCR), dalam rangka mempertahankan
daya resap air dan perubahan iklim mikro.
3. Mematuhi garis sempadan bangunan (GSB), untuk menghindari bahaya
kebakaran.
4. Mengolah limbah padat (gas, debu, bising, getar) dengan melengkapi
peralatan seperti dust collector, electrostatic, precipitator, ruang kedap
suara, bantalan mesin getar dan sebagainya.
5. Membuat inplant/pretreatment, terutama bagi parameter lain yang tidak
dapat diolah oleh sistem IPAL, kawasan atau konsentrasinya lebih tinggi dari
standar influent kawasan yang ditetapkan.
6. Penyiapan TPS, untuk menghindari ceceran dan mempermudah sistem
pengangkutan.
7. Mengolah limbah B3 sesuai dengan peraturan.
8. Larangan tidak mengambil air tanah agar tidak mengganggu air tanah
pendududk sekitar dan keseimbangan neraca air dengan daya tampung
IPAL kawasan industri yang bersangkutan.
9. Loading and unloading dalam kapling untuk menghindari kemacetan jalan
pelayanan kawasan.
10. Penyediaan tempat parkir.

Hal. II - 7
11. Melakukan K3, untuk menjaga sistem keselamatan kerja dan kesehatan
karyawan.
12. Menyiapkan PMK (tabung), sebagai tindakan dini bila terjadi bahaya
kebakaran.
13. Kewajiban untuk memiliki dokumen lingkungan (UKL-UPL/SPPL), untuk lebih
mengetahui tentang berbagai potensi limbah/cemaran dan masing-masing
pabrik.

Pada umumnya untuk aspek-aspek lingkungan skala kawasan dan skala pabrik
diatas disamping peraturan-peraturan teknis lain dituangkan oleh pihak pengelola
kawasan industri dalam bentuk peraturan kawasan industri (estate regulation)
yang dijadikan acuan dalam penyusunan perjanjian jual beli kapling industri.

2.5. KRITERIA LOKASI KAWASAN INDUSTRI


Menurut Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 35/M-IND/PER/3/2010 tentang
Pedoman Teknis Kawasan Industri, berkembangnya suatu kawasan industri tidak
terlepas dari pemilihan lokasi kawasan industri yang akan dikembangkan, karena
sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor/variabel di wilayah lokasi kawasan.
Selain itu dengan dikembangkannya suatu kawasan industri juga akan
memberikan dampak terhadap beberapa fungsi disekitar lokasi kawasan. Oleh
sebab itu, beberapa kriteria menjadi pertimbangan di dalam pemilihan lokasi
kawasan industri, antara lain:
1. Jarak ke pusat kota
Pertimbangan jarak ke pusat kota bagi lokasi kawasan industri adalah dalam
rangka kemudahan memperoleh fasilitas pelayanan, baik sarana dan
prasarana maupun segi pemasaran. Mengingat pembangunan suatu
kawasan industri tidak harus membangun seluruh sistem prasarana dari
mulai tahap awal melainkan memanfaatkan sistem yang telah ada seperti
listrik, air bersih yang biasanya telah tersedia di lingkungan perkotaan,
dimana kedua sistem ini, baik mengenai kestabilan tegangan (listrik),
ataupun tekanan (air bersih) dipengaruhi oleh faktor jarak, disamping fasilitas
banking, kantor-kantor pemerintahan yang memberikan jasa pelayanan bagi
kegiatan industri yang pada umumnya berlokasi di pusat perkotaan, maka

Hal. II - 8
idealnya suatu kawasan industri berjarak minimal 10 (sepuluh) kilometer dari
pusat kota.
2. Jarak terhadap permukiman
Jarak terhadap permukiman yang ideal minimal 2 (dua) kilometer dari lokasi
kegiatan industri. Pertimbangan jarak terhadap permukiman bagi pemilihan
lokasi kegiatan industri, pada prinsipnya memiliki 2 (dua) tujuan pokok, yaitu:
a. Berdampak positif dalam rangka pemenuhan kebutuhan tenaga kerja
dan aspek pemasaran produk. Dalam hal ini juga perlu dipertimbangkan
adanya kebutuhan tambahan akan perumahan sebagai akibat dari
pembangunan kawasan industri. Dalam kaitannya dengan jarak
terhadap permukiman disini harus mempertimbangkan masalah
pertumbuhan perumahan, dimana sering terjadi areal tanah disekitar
lokasi industri menjadi kumuh dan tidak ada lagi jarak antara perumahan
dengan kegiatan industri; dan
b. Berdampak negatif karena kegiatan industri menghasilkan polutan dan
limbah yang dapat membahayakan bagi kesehatan masyarakat.
3. Jaringan jalan yang melayani
Jaringan jalan bagi kegiatan industri memiliki fungsi yang sangat penting
terutama dalam rangka kemudahan mobilitas pergerakan dan tingkat
pencapaian (aksesibilitas) baik dalam penyediaan bahan baku, pergerakan
manusia dan pemasaran hasil-hasil produksi. Jaringan jalan yang baik untuk
kegiatan industri, harus memperhitungkan kapasitas dan jumlah kendaraan
yang akan melalui jalan tersebut sehingga dapat diantisipasi sejak awal
kemungkinan terjadinya kerusakan jalan dan kemacetan. Hal ini penting
untuk dipertimbangkan karena dari kenyataan yang ada dari keberadaan
kawasan industri pada suatu daerah ternyata tidak mudah untuk
mengantisipasi dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan industri terhadap
masalah transportasi. Apabila hal ini kurang mendapat perhatian akan
berakibat negatif terhadap upaya promosi kawasan industri. Untuk
pengembangan kawasan industri dengan karakteristik lalulintas truk
kontainer dan akses utama dari dan ke pelabuhan/bandara, maka jaringan
jalan arteri primer harus tersedia untuk melayani lalulintas kegiatan industri.

Hal. II - 9
4. Jaringan fasilitas dan prasarana
a. Jaringan listrik
Ketersediaan jaringan listrik menjadi syarat yang penting untuk kegiatan
industri. Karena bisa dipastikan proses produksi kegiatan industri sangat
membutuhkan energi yang bersumber dari listrik, untuk keperluan
mengoperasikan alat-alat produksi. Dalam hal ini standar pelayanan
listrik untuk kegiatan industri tidak sama dengan kegiatan domestik
dimana ada prasyarat mutlak untuk kestabilan pasokan daya maupun
tegangan. Kegiatan industri umumnya membutuhkan energi listrik yang
sangat besar, sehingga perlu dipikirkan sumber pasokan listriknya,
apakah yang bersumber dari perusahaan listrik negara saja, atau
dibutuhkan partisipasi sektor swasta untuk ikut membantu penyediaan
energi listrik untuk memenuhi kebutuhan listrik industri.
b. Jaringan telekomunikasi
Kegiatan industri tidak akan lepas dari aspek bisnis, dalam rangka
pemasaran maupun pengembangan usaha. Untuk itulah jaringan
telekomunikasi seperti telepon dan internet menjadi kebutuhan dasar
bagi pelaku kegiatan industri untuk menjalankan kegiatannya. Sehingga
ketersediaan jaringan telekomunikasi tersebut menjadi syarat dalam
penentuan lokasi industri.
c. Pelabuhan laut
Kebutuhan prasarana pelabuhan menjadi kebutuhan yang mutlak,
terutama bagi kegiatan pengiriman bahan baku/bahan penolong dan
pemasaran produksi, yang berorientasi ke luar daerah dan keluar negeri
(ekspor/impor). Kegiatan industri sangat membutuhkan pelabuhan
sebagai pintu keluar-masuk berbagai kebutuhan pendukung. Sebagai
ilustrasi untuk memproduksi satu produk membutuhkan banyak bahan
pendukung yang tidak mungkin dipenuhi seluruhnya dari dalam
daerah/wilayah itu sendiri, misalnya kebutuhan peralatan mesin dan
komponen produksi lainnya yang harus di impor, demikian pula produk
yang dihasilkan diharapkan dapat dipasarkan di luar wilayah/ekspor
agar diperoleh nilai tambah/devisa. Untuk itu keberadaan
pelabuhan/outlet menjadi syarat mutlak untuk pengembangan kawasan
industri.

Hal. II - 10
5. Topografi
Pemilihan lokasi peruntukan kegiatan industri hendaknya pada areal lahan
yang memiliki topografi yang relatif datar. Kondisi topografi yang relatif datar
akan mengurangi pekerjaan pematangan lahan (cut and fill) sehingga dapat
mengefisienkan pemanfaatan lahan secara maksimal, memudahkan
pekerjaan konstruksi dan menghemat biaya pembangunan. Topografi/
kemiringan tanah maksimal 15%.
6. Jarak terhadap sungai atau sumber air bersih
Pengembangan kawasan industri sebaiknya dapat mempertimbangkan jarak
terhadap sungai. Karena sungai memiliki peranan penting untuk kegiatan
industri, yaitu sebagai sumber air baku dan tempat pembuangan akhir
limbah industri. Sehingga jarak terhadap sungai harus mempertimbangkan
biaya konstruksi dan pembangunan saluran-saluran air. Disamping itu jarak
yang ideal seharusnya juga memperhitungkan kelestarian lingkungan daerah
aliran sungai (DAS), sehingga kegiatan industri dapat secara seimbang
menggunakan sungai untuk kebutuhan kegiatan industrinya tetapi juga
dengan tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan daerah
aliran sungai (DAS) tersebut. Jarak terhadap sungai atau sumber air bersih
maksimum 5 (lima) kilometer dan terlayani sungai tipe C dan D atau Kelas III
dan IV.
7. Kondisi lahan
Peruntukan lahan industri perlu mempertimbangkan daya dukung lahan dan
kesuburan lahan.
a. Daya dukung lahan
Daya dukung lahan erat kaitannya dengan jenis konstruksi pabrik dan
jenis produksi yang dihasilkan. Jenis konstruksi pabrik sangat
dipengaruhi oleh daya dukung jenis dan komposisi tanah, serta tingkat
kelabilan tanah, yang sangat mempengaruhi biaya dan teknologi
konstruksi yang digunakan. Mengingat bangunan industri membutuhkan
pondasi dan konstruksi yang kokoh, maka agar diperoleh efisiensi dalam
pembangunannya sebaiknya nilai daya dukung tanah (sigma) berkisar
antara: 0,7 - 1,0 kg/cm2.

Hal. II - 11
b. Kesuburan lahan
Tingkat kesuburan lahan merupakan faktor penting dalam menentukan
lokasi peruntukan kawasan industri. Apabila tingkat kesuburan lahan
tinggi dan baik bagi kegiatan pertanian, maka kondisi lahan seperti ini
harus tetap dipertahankan untuk kegiatan pertanian dan tidak
dicalonkan dalam pemilihan lokasi kawasan industri. Hal ini bertujuan
untuk mencegah terjadinya konversi lahan yang dapat mengakibatkan
menurunnya tingkat produktivitas pertanian, sebagai penyedia
kebutuhan pangan bagi masyarakat dan dalam jangka panjang sangat
dibutuhkan untuk menjaga ketahanan pangan (food security) di daerah-
daerah. Untuk itu dalam pengembangan industri, pemerintah daerah
harus bersikap tegas untuk tidak memberikan ijin lokasi industri pada
lahan pertanian, terutama areal pertanian lahan basah (irigasi teknis).
8. Ketersediaan lahan
Kegiatan industri umumnya membutuhkan lahan yang luas, terutama
industri-industri berskala sedang dan besar. Untuk itu skala industri yang
akan dikembangkan harus pula memperhitungkan luas lahan yang tersedia,
sehingga tidak terjadi upaya memaksakan diri untuk konversi lahan secara
besar-besaran, guna pembangunan kawasan industri. Sesuai Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 2009, luas lahan kawasan industri minimal 50
(lima puluh) hektar. Ketersediaan lahan harus memasukkan pertimbangan
kebutuhan lahan di luar kegiatan sektor industri sebagai “multiplier
effects”nya, seperti kebutuhan lahan perumahan dan kegiatan permukiman
dan perkotaan lainnya. Sebagai ilustrasi bila per hektar kebutuhan lahan
kawasan industri menyerap 100 (seratus) tenaga kerja, berarti dibutuhkan
lahan perumahan dan kegiatan pendukungnya seluas 1,0 - 1,5 Ha untuk
tempat tinggal para pekerja dan berbagai fasilitas penunjang. Artinya bila
hendak dikembangkan 100 (seratus) hektar kawasan industri disuatu
daerah, maka disekitar lokasi harus tersedia lahan untuk fasilitas seluas 100
- 150 Ha, sehingga total area dibutuhkan 200 - 250 Ha.
9. Harga lahan
Salah satu faktor utama yang menentukan pilihan investor dalam memilih
lokasi peruntukan industri adalah harga beli/sewa lahan yang kompetitif,
artinya bila lahan tersebut dimatangkan dalam arti sebagai kapling siap

Hal. II - 12
bangun yang telah dilengkapi prasarana penunjang dapat dijangkau oleh
para pengguna (user). Dengan demikian dalam pemilihan lokasi kawasan
industri sebaiknya harga lahan (tanah mentah) tidak terlalu mahal.
Disamping itu sebagai syarat utamanya agar tidak terjadi transaksi lahan
yang tidak adil, artinya harga yang tidak merugikan masyarakat pemilik
lahan, atau pemerintah mengeluarkan peraturan yang dapat memberikan
peluang bagi masyarakat untuk terlibat menanamkan modal dalam investasi
kawasan industri melalui lahan yang dimilikinya. Sehingga dengan demikian
membuka peluang bagi masyarakat pemilik lahan untuk merasakan
langsung nilai tambah dari keberadaan kawasan industri di daerahnya.
10. Orientasi lokasi
Mengingat kawasan industri sebagai tempat industri manufaktur
(pengolahan) yang biasanya merupakan industri yang bersifat “footlose”
maka orientasi lokasi sangat dipengaruhi oleh aksesibilitas dan potensi
tenaga kerja.
11. Pola tata guna lahan
Mengingat kegiatan industri disamping menghasilkan produksi juga
menghasilkan hasil sampingan berupa limbah padat, cair dan gas, maka
untuk mencegah timbulnya dampak negatif sebaiknya dialokasikan pada
lokasi yang bukan pertanian dan bukan permukiman, terutama bagi industri
skala menengah dan besar.
12. Multiplier effects
Pembangunan kawasan industri jelas akan memberikan pengaruh eksternal
yang besar bagi lingkungan sekitarnya. Dengan istilah lain dapat disebut
sebagai multiplier effects.
13. Kriteria dan persyaratan kawasan industri
Berdasarkan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 40/M-IND/PER/6/2016
tentang Pedoman Teknis Pembangunan Kawasan Industri, terdapat
beberapa kriteria dalam memilih lokasi kawasan industri.

Hal. II - 13
Tabel: 2.1.
Kriteria Pertimbangan Pemilihan Lokasi Kawasan Industri
No. Kriteria Pemilihan Lokasi Faktor Pertimbangan
1. Jarak ke pusat kota Min 10 km.
2. Jarak ke permukiman Min 2 km.
3. Jaringan transportasi darat Jalan arteri primer atau jaringan kereta api.
4. Jaringan energi dan kelistrikan Tersedia.
5. Jaringan telekomunikasi Tersedia.
6. prasarana angkutan Tersedia pelabuhan laut untuk kelancaran
transportasi logistik barang ekspor/impor.
7. Sumber air baku Tersedia Sumber daya air permukaan (sungai,
danau, waduk/embung atau laut) dengan debit
yang mencukupi.
8. Kondisi lahan - Topografi: max. 15%.
- Kesuburan tanah relatif tidak subur (non - irigasi
teknis).
- Pola tata guna lahan: non pertanian, non
permukiman, dan non kopnservasi.
- Ketersedian lahan minimal 50 ha.
- Harga lahan relative(bukan merupakan lahan
dengan harga yang tinggi didaerah tersebut).
Sumber: Permen Perindustrian No. 40 Tahun 2016

Tabel: 2.2.
Persyaratan Kawasan Industri Berdasarkan Peraturan Pemerintah
No. Tahapan Rincian
1. Persiapan - Pemilihan lokasi.
- Penyusunan dokumen.
- Pengurusan perizinan.
2. Pengembangan - Pembebasan lahan.
- Penyusunan dokumen DED.
3. Pengelolaan - Kelembagaan kawasan industri.
- Sistem manajemen.
- Pelaksanaan tata tertib kawasan industri.
- Pemasaran.
- Pengembangan usaha.
- Pengelolaan lingkungan.
- Kepedulian social dan pemberdayaan masyarakat.
- Penyusunan dan pelaporan data kawasan industri.
Sumber: Permen Perindustrian No. 40 Tahun 2016

2.6. LANDASAN HUKUM


Penyusunan masterplan kawasan industri di wilayah Kabupaten Maros, dilandasi
beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, meliputi:
1. Undang-Undang Nomor 05 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor
104).
2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 134).
3. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (Lembaran Negara

Hal. II - 14
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 132).
4. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68).
5. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 69).
6. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 133).
7. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 112).
8. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 140).
9. Undang-Undang Nomor 01 Tahun 2011 tentang Perumahan dan
Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 7).
10. Undang-Undang Nomor 02 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 22).
11. Undang-undang Nomor 03 Tahun 2014 tentang Perindustrian (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 4).
12. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244).
13. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2015 Tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015
Nomor 58).
14. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 45).
15. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 86).
16. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor
48).
17. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 48).

Hal. II - 15
18. Peraturan Pemerintah Nomor 142 Tahun 2015 tentang Kawasan Industri
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 365).
19. Peraturan Pemerintah nomor 13 tahun 2017 tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2o17 Nomor
77).
20. Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang
Kawasan Perkotaan Mamminasata.
21. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 02 Tahun 1999 tentang Izin Lokasi.
22. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 05 Tahun 1992 tentang Rencana
Tapak Tanah dan Tata Tertib Pengusahaan Kawasan Industri Serta
Prosedur Pemberian Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan Izin Undang-
Undang Gangguan (UUG/HO) Bagi Perusahaan Yang Berlokasi di Dalam
Kawasan Industri.
23. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 01 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan.
24. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomo5
05/PRT/M/2016 tentang Pedoman Teknis Izin Mendirikan Bangunan
Gedung.
25. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 05/M-IND/PER/2/2014 Tentang Tata
Cara Pemberian izin Usaha Kawasan Industri dan Izin Perluasan Kawasan
Industri.
26. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 40/M-IND/PER/6/2016 Tentang
Pedoman Teknis Pembangunan Kawasan Industri.
27. Peraturan Daerah Kabupaten Maros Nomor 04 Tahun 2012 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Maros Tahun 2012 - 2032
(Lembaran Daerah Kabupaten Maros Tahun 2012 Nomor 04).
28. Peraturan Daerah Kabupaten Maros Nomor 08 Tahun 2013 tentang
Bangunan Gedung (Lembaran Daerah Kabupaten Maros Tahun 2013 Nomor
08).
29. Peraturan Bupati Maros Nomor 25 Tahun 2018 tentang Ketentuan dan Tata
Cara Pengesahan Site Plan dan Master Plan.

Hal. II - 16

Anda mungkin juga menyukai