BAB 4.
RENCANA POLA RUANG KABUPATEN KONAWE
Sidebar Heading :
RENCANA POLA KAWASAN LINDUNG DAN RENCANA POLA KAWASAN BUDIDAYA
Dengan adanya usulan perubahan kawasan hutan dalam revisi RTRW Provinsi
Sulawesi Tenggara telah dipresentasikan oleh Gubernur di Kementerian Kehutanan
pada tanggal 3 Desember 2009 Dengan berdasarkan hal tersebut maka rencana
luasan hutan lindung di Kabupaten Konawe mengalami pertambahan dalam jumlah
luasannya.
Tabel 4.1. Luas Kawasan Hutan Lindung di Kabupaten Konawe Tahun 2010
2. Usulan 235.840
3. Rekomendasi 236.190
Sumber : Hasil Penelitian Terpadu dalam Rangka Pengkajian Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan
Dalam Revisi RTRW Provinsi Sulawesi Tenggara, Tahun 2010
Mengingat ancaman bencana alam di Kabupaten Konawe tidak saja dari potensi
longsor namun juga rawan banjir, untuk menghindari bencana yang lebih besar
serta visi penataan ruang yang berbasis pertanian, seluruh kawasan yang berada
pada kelerengan di atas 40 % seyogyanya harus dipulihkan melalui penanaman
tanaman yang bernilai ekonomi tinggi dan sistem perakaran yang kuat. Rencana
pengelolaan kawasan di atas 40 % ini adalah dengan melakukan reboisasi pada
kawasan yang sudah kritis dengan pendekatan partisipasi masyarakat lokal yang
didukung oleh pemerintah dan lembaga peduli lingkungan lainnya.
perlu mendapat perlindungan untuk memberikan ruang yang cukup bagi peresapan
air hujan pada daerah tertentu untuk keperluan penyediaan kebutuhan air tanah
dan penanggulangan banjir, baik untuk kawasan bawahannya maupun kawasan
yang bersangkutan. Kawasan resapan air di Kabupaten Konawe adalah pada Taman
Nasional Rawa Aopa Watumohai dan Kawasan hutan di Taman Hutan RayaNipa-
nipa.
Luas perairan Kabupaten Konawe sebesar 8.472,32 Km2 dengan panjang garis
pantai 295 Km meliputi Kecamatan Wawonii Barat, Wawonii Utara, Wawonii Timur
Laut, Wawonii Timur, Wawonii Tenggara, Wawonii Selatan, Kapoila, Soropia,
Lalonggasu Meeto dan beberapa pulau seperti Pulau Wawonii, Pulau Bokori, Pulau
Dange-Dangea, Pulau Saponda Darat dan Pulau Saponda Laut. Saat ini
pemanfaatan lahan di sepanjang kawasan lindung sempadan pantai Kabupaten
Konawe ini didominasi oleh kebun campuran dan permukiman. Secara fungsi
bagian dari kawasan sempadan pantai di Kabupaten Konawe dulunya adalah
Kawasan Hutan Mangrove yang lokasinya berada di wilayah pesisir laut dan
merupakan habitat alami hutan bakau (mangrove) yang berfungsi memberi
perlindungan kepada perikehidupan pantai dan lautan. Luas hutan mangrove tahun
2010 sebesar 557 m terdapat di sepanjang pesisir Kabupaten Konawe seperti
kecamatan di Pulau Wawonii yang saat ini rusak akibat eksploitasi sumber daya
laut seperti pasir, karang, dan budi daya ikan di pesisir. Hal ini tentunya akan
berdampak pada abrasi pantai, intrusi air laut lebih jauh kedaratan,
mengakibatkan menurunkan potensi perikanan yang pada akhirnya berdampak
pada menurunnya sumber mata pencaharian penduduk.
Diperlukan adanya pengaturan ruang yang terukur bagi kawasan sempadan pantai
ini sehingga tidak terjadi pengrusakan zona lindung bagi ekosistem perairan laut
khususnya di perairan Soropia dan Wawonii akibat dari usaha dan kegiatan
manusia yang terjadi di darat. Dalam arah perencanaannya sempadan pantai yang
masih alami dan tidak terjadi degradasi dilakukan upaya-upaya pemanfaatan
dengan kebijakan-kebijakan yang tentunya dapat mengkonservasi daerah
tersebut. Upaya-upaya ataupun kebijakan tersebut dapat dilakukan dengan cara
mempertahankan kawasan sekitar mangrove dan menjaga kelestarian lingkungan
di area tersebut. Sedangkan daerah/ kawasan yang telah mengalami degradasi
pantai dapat dilakukan upaya-upaya sebagai berikut:
a. daratan sepanjang tepian laut dengan jarak minimal 100 meter dari titik
pasang air laut tertinggi ke arah darat; atau
b. daratan sepanjang tepian laut yang bentuk dan kondisi fisik pantainya curam
atau terjal dengan jarak proporsional terhadap bentuk dan kondisi fisik pantai
Di dalam Undang-Undang Penataan Ruang Nomor 26 tahun 2007 pasal 29 ayat (2)
dijelaskan bahwa proporsi 30 (tiga puluh) persen merupakan ukuran minimal untuk
menjamin keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan sistem hidrologi dan
sistem mikrolimat, maupun sistem ekologis lain, yang selanjutnya akan
meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, serta
sekaligus dapat meningkatkan nilai estitika kota. Untuk lebih meningkatkan fungsi
dan proporsi ruang terbuka hijau di Kota Unaaha, pemerintah dan swasta didorong
untuk membangun/menata kawasan hijau pertamanan kota, kawassan hijau hutan
kota, kawasan hijau rekreasi kota, kawasan hijau kegiatan olahraga, kawasan
hijau pemakaman, kawasan hijau pertanian, kawasan jalur hijau, serta mendorong
masyarakat menanam tumbuhan di pekarangan miliknya.
sekitar 0.51 % dari luas total Kabupaten Konawe. Ruang terbuka hijau yang ada
berupa kawasan hijau pertamanan kota, kawassan hijau hutan kota, kawasan hijau
rekreasi kota, kawasan hijau kegiatan olahraga, kawasan hijau pemakaman,
kawasan hijau pertanian, kawasan jalur hijau, dan kawasan hijau pekarangan.
Pertumbuhan penduduk di Kota Unaaha yang dari tahun ke tahun semakin
bertambah menjadikan semakin tinggi pula kebutuhan akan ruang baik ruang
untuk tempat tinggal maupun untuk beraktifitas lainya. Kebutuhan ruang untuk
tempat tinggal tidak hanya ditengah-tengah kota (pusat kota), namun sekarang
kebutuhan tempat tinggal tersebut telah merambah daerah-daerah yang jauh dari
perkotaan. Kawasan Ruang terbuka hijau di Kota Unaaha bertujuan untuk
menciptakan kota yang berwawasan lingkungan, melestarikan dan melindungi
sumber daya alam, menetralisir terjadinya polusi udara, memberikan sirkulasi
udara, menetralisir kondisi psikologis, memberikan kesempatan kepada penduduk
dalam rangka penyaluran bakat dan hobi serta peningkatan kesehatan jasmani.
Kawasan taman nasional yaitu Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai ditetapkan
seluas 105.194 Ha yang terdapat di Kecamatan Lambuya Kabupaten Konawe,
Kabupaten Konawe Selatan, Kolaka dan Bombana, Kawasan taman hutan raya,
yaitu Taman Hutan Raya (Tahura) Nipa-Nipa ditetapkan seluas 7.877 Ha yang
terdapat di Kecamatan Soropia Kabupaten Konawe dan Kota Kendari dan Kawasan
cagar budaya dan ilmu pengetahuan terdiri atas Rumah Besar Adat Suku Tolaki di
Kecamatan Unaaha dan situs Makam Raja Lakidende Unaaha di Kecamatan
Unaaha.
Tahura Nipa-nipa secara geografis terletak di antara 05°13' -05°24' LS dan 122°29'
-122°56' BT. Secara administratif pemerintahan terletak di Kecamatan Kendari
dan Mandonga (Kodya Kendari), dan Kecamatan Soropia (Kabupaten Konawe).
Sedangkan secara administratif kehutanan termasuk wilayah RPH Kendari, BKPH
Kendari, KPH Kendari. Kelompok Gunung Nipa-Nipa juga memiliki arti penting bagi
pengaturan tata air dan pencegahan bahaya erosi dan banjir, serta pendangkalan
pantai di sekitarnya (terutama Teluk Kendari). Tipe ekosistem hutannya termasuk
hutan dataran rendah dan hutan pegunungan rendah. Potensi flora dan fauna
cukup tinggi dengari komposisi flora yang beragam. Zona pinggiran fIoranya terdiri
dari semak, perdu, dan pohon-pohonan dengan garis tengah batang dibawah
10 cm. Sedangkan zona tengah sebagian masih berupa hutan primer.
Jenis tumbuhan yang dijumpai di dalam kawasan antara lain kayu besi
(Metrosideros petiolata), eha (Castanopsis buruana), bolo-bolo (Adenandra
celebica), bolo-bolo putih (Thea lanceolata), kayu puta (Baringtonia racemosa),
Parinari sp., pandan tikar (Pandanus aurantiacus), Parinari sp, berbagai jenis
palem (Nengelfa sp., Pinanga caesia, dan Ucuala sp.), serta rotan (Daemonorops
sp.), rotan batang (Calamus zolfingeri), rotan lambing (Calamus ornatus var.
celebicus). Satwaliar yang berhabitat di dalam kawasan, antara lain: anoa, rusa,
kuskus, musang Sulawesi, rangkong, kesturi Sulawesi, elang laut (Haliastus
leucogaster), dan beberapa jenis kupu-kupu.
Ekosistem di Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW) dan Taman Hutan
Raya (Tahura) Nipa-nipa mengalami degradasi. Penurunan populasi dan
meningkatnya aksesbilitas masyarakat di areal yang seharusnya terlarang itu,
semakin mengancam eksistensinya.
Faktor penyebab terjadinya gerakan pada lereng juga tergantung pada kondisi
batuan dan tanah penyusun lereng, struktur geologi, curah hujan, vegetasi
penutup dan penggunaan lahan pada lereng tersebut, namun secara garis besar
dapat dibedakan sebagai faktor alami dan manusia. Kondisi alam yang menjadi
faktor utama terjadinya longsor yaitu :
Secara alamiah, pada umumnya banjir disebabkan oleh curah hujan yang tinggi
dan di atas normal, sehingga sistim pengaliran air yang terdiri dari sungai dan
anak sungai alamiah serta sistem saluran drainase dan kanal penampung banjir
buatan tidak mampu menampung akumulasi air hujan sehingga
meluap. Kemampuan/ daya tampung sistem pengaliran air
berkurang akibat sedimentasi, maupun penyempitan sungai
akibat fenomena alam dan manusia.
tinggi. Tingkat kemiringan sungai yang relatif curam ini dapat dikatakan sebagai
faktor “bakat” atau bawaan. Sedangkan curah hujan adalah salah satu faktor
pemicu.
Untuk mengurangi korban jiwa dan dampak kerusakan dari gejala alam ini
diperlukan sebuah kajian tata ruang sebagai bagian tambahan dari rencana tata
ruang wilayah yang sudah ada. Instrumen rencana ini berupa mitigasi bencana
yang diwujudkan ke dalam pemetaan rawan bencana, rencana penetapan
bangunan penyelamat (escape building), rencana jalur evakuasi (escape road),
dan rencana lokasi penyelamatan darurat (shelter). Dengan demikian diharapkan
dampak dari bencana tersebut paling tidak dapat diminimalisir sedini mungkin,
baik pada saat kejadian maupun pada saat pasca kejadian.
Sebagian besar kawasan rawan bencana tsunami terletak pada bagian Pantai Barat
sebelah Selatan. Hampir semua desa yang berada di kawasan pesisir potensial
terkena bencana tsunami, terutama desa tepi pantai mulai dari Kecamatan
Lalonggasumeeto, Kapoiala, Soropia, Wawonii Selatan, Wawonii Barat, Wawonii
Tengah, Wawonii Tenggara, Wawonii Timur, Wawonii Utara, dan Wawonii
Timur laut.
Tabel 4.2. Luas Kawasan Hutan Produksi di Kabupaten Konawe Tahun 2010
Sumber : Hasil Penelitian Terpadu dalam Rangka Pengkajian Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan
Dalam Revisi RTRW Provinsi Sulawesi Tenggara, Tahun 2010
Kawasan hutan produksi ini sebagian pernah dimanfaatkan sebagai kawasan HPH
khususnya di Kecamatan Routa dan sebagian lagi telah dikonversi oleh rakyat
sebagai lahan budidaya tanaman pertanian dan perkebunan (terutama kakao dan
sawit khususnya di Kecamatan Latoma, Abuki, Meluhu, Puriala, dan Kecamatan
Pulau di Wawonii diperkirakan seluas 12.000 Ha). Banyak dari kawasan hutan
produksi ini merupakan lahan kosong dan atau semak belukar yang belum
dihutankan kembali yang perlu mendapat perhatian pemerintah. Kawasan ini
termasuk dalam wilayah yang tergolong rawan longsor atau menjadi wilayah
tangkapan air dari DAS krusial sehingga perlu direhabilitasi.
1. Tanaman Pangan
Batas ambang kedalaman efektif tanah ini adalah 30 cm, sedangkan tekstur yang
baik bagi jenis pertanian lahan basah adalah tanah yang berliat, berdebu halus,
sampai berlempung halus. Tanah yang berkuarsa sangat tidak sesuai untuk
pengembangan pertanian kecuali kandungannya kuarsanya sedang. Potensi banjir
dan genangan musiman sangat tidak baik bagi tanaman lahan basah. Produktivitas
dan kualitas panen dapat menurun bila resiko banjir dan genangan cukup besar
yaitu berlangsung selama 2 sampai 7 bulan tanpa adanya genangan permanen.
Kemiringan lahan yang baik untuk pemanfaatan pertanian lahan basah adalah
datar sampai dengan daerah landai (0%-15%), sedangkan untuk lahan dengan
kemiringan diatas 15% tidak dapat dimanfaatkan untuk pertanian lahan basah.
Kawasan pertanian lahan basah seluas 35.689 Ha dengan komoditi padi sawah
terdapat di Kecamatan Wawonii Timur, Wawonii Utara, Wawonii Barat, Puriala,
Anggaberi, Latoma dan Asinua. Serta padi ladang terdapat di Kecamatan Wawonii
Selatan, Wawonii Tengah, Wawonii Timur, Wawonii Utara, Bondoala, Kapoiala,
Lambuya, Uepai, Puriala, Onembute, Pondidaha, Wonggeduku, Amonggedo,
Wawotobi, Meluhu, Konawe, Unaaha, Anggaberi, Abuki, Tongauna dan Asinua.
2. Pertanian Hortikultura
Mengingat karakteristik wilayah dan penduduk serta kesesuaian lahan yang ada,
maka ke kawasan ini diarahkan sebagai kawasan pengembangan pertanian
hortikultura.
Konawe. Terlihat bahwa selama tahun 2010 luas tanaman dari beberapa jenis
tanaman perkebunan rakyat yang terbesar adalah Kakao seluas 15.785 ha dengan
produksi 65.357.5 ton terdapat diseluruh kecamatan kecuali Kecamatan Uepai.
Kakao telah ditetapkan sebagai komoditas penghela ekonomi dan pengentas
kemiskinan di Kabupaten Konawe melalui program yang disebut sebagai "Gernas
Kakao". Karena itu, rencana pengembangan kawasan perkebunan kakao perlu
dijelaskan secara lebih detail. Setelah diintegrasikan dengan kepentingan
pengembangan komoditas lain, maupun untuk kepentingan pengelolaan
sumberdaya alam dan lingkungan, Sentra kakao di Kabupaten Konawe diarahkan
untuk dikembangkan pada Kecamatan Besulutu, Abuki dan Lambuya.
g. perkebunan kopi, cengkeh, kapuk, kapas, kemiri, lada, pala, vanili, pinang,
enau dan tembakau tersebar di setiap kecamatan.
Ternak besar dan kecil yang ada di Kabupaten Konawe meliputi sapi, kerbau,
kuda, kambing dan babi. Pada tahun 2010 ternak sapi masih menduduki peringkat
pertama kemudian diikuti oleh ternak kambing, yang nilainya masing – masing
41.692 ekor dan 14.004 ekor. Hal ini didukung dengan padang rumput yang masih
luas. Populasi unggas selama tahun 2010 sebanyak 607.372 ekor ayam buras,
11.000 ekor ayam ras, 30.000 ekor ayam petelur dan 83.011 ekor itik manila.
Ayam buras dan itik dapat dijumpai di seluruh kecamatan di Kabupaten Konawe.
Aktivitas peternakan tersebar hampir disemua kecamatan yang ada di Kabupaten
Konawe dan paling banyak terdapat di Kecamatan Wonggeduku, Amonggedo,
Tongauna dan Abuki.
c. ternak unggas terdapat di setiap kecamatan terdiri atas ternak ayam dan itik.
1. Perikanan Tangkap
2. Budidaya Perikanan
c. budidaya perikanan laut dengan komoditi ikan dan rumput laut terdapat di
Kecamatan Lalonggasomeeto, Soropia, Wawonii Selatan, Wawonii Barat,
Wawonii Tengah, Wawonii Timur, Wawonii Utara dan Wawonii Timur Laut.
Memperhatikan luas lahan dan ketersediaan air dengan puluhan sungai yang ada,
diperlukan adanya terobosan baru agar budidaya perikanan payau, air tawar dan
budidaya perikanan laut lebih ditingkatkan. Namun untuk pengembangan
budidaya perikanan darat di danau dan sungai sebaiknya dihindari penggunaan
jaring apung/karamba. Pengalaman pada beberapa danau/waduk menunjukkan
bahwa pencemaran danau/sungai dari pakan ikan membawa dampak buruk
bahkan terhadap hasil produksi ikan itu sendiri. Dengan demikian sangat
disarankan agar budidaya perikanan dikembangkan dalam bentuk kolam.
Berkenaan dengan pengembangan terkini dari budidaya perikanan kolam,
pendekatan minapolitan perlu dilakukan terutama di kawasan pertanian lahan
basah (minapadi). Mengingat keterbatasan lahan untuk pengembangan usaha
tani yang berbasis lahan (ekstensif), maka pengembangan kolam ikan bernilai
ekonomi tinggi perlu ditumbuhkan pada kawasan-kawasan yang selama ini sudah
menjadi Sentra Budidaya Ikan.
4. Kawasan Minapolitan
Kawasan pulau-pulau kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, terdiri
atas:
Mengingat semakin terbatasnya luas lahan untuk kegiatan usaha pertanian serta
perlunya peningkatan SDM masyarakat, maka kegiatan industri yang berbasis
agro perlu didorong pertumbuhannya. Oleh karena itu industri pengolahan hasil
agro, perikanan dan kelautan perlu mendapat prioritas utama dalam
pengembangan ekonomi kerakyatan. Agrobisnis sebaiknya dikembangkan
di Kota Unaaha dan Agribisnis di kembangkan di Kecamatan Soropia dan
Wawonii Barat.
Kecamatan Sampara Desa Andaroa, Desa Pohara, Desa Abeli Sawah, Desa
Andadowi, Desa Bao-bao, Desa Lakomea dan Desa Rawua; Kecamatan
Onembute Desa Onembute; Kecamatan Lambuya Desa Awuliti,
Kelurahan Lambuya, Desa Tanggobu dan Desa Silea; Kecamatan Uepai
Desa Anggopiu, Desa Tawarotebota, Desa Matahoalu, Desa Tamensandi
dan Desa Ameroro; Kecamatan Wonggeduku Desa Baruga; Kecamatan
Kapoiala Desa Kapoiala dan Desa Sambarasi; Kecamatan Bondoala Desa
Tondowatu, Desa Paku Jaya; Kecamatan Konawe Desa Tudaone, Desa
Mokowu dan Kelurahan Konawe; Kecamatan Wawotobi Desa Anggotoa,
Kelurahan Kulahi, Kelurahan Lalosabila, Desa Kasupute dan Kelurahan
Wawotobi; Kecamatan Abuki Desa Punggaluku dan Desa Asolu; Desa
Puusiambu; Desa kota Maju ; Kecamatan Routa Desa Parudongka, Desa
Lalomerui dan Kelurahan Routa; Kecamatan Amonggedo Desa
Amonggedo, Desa Amindete, Desa Amonggedo Baru; Kecamatan Besulutu
Desa Amosilu, Desa Ulupohara; Kecamatan Tongauna Desa Momea, Desa
Lalonggowuna, Desa Mekar Sari dan Desa Asao; Kecamatan Wawonii
Timur Desa Lebo dan Kecamatan Lalunggasumeeto Desa Bumi Indah; dan
a. Budaya Tolaki
Suku Tolaki adalah salah satu suku terbesar yang ada di Propinsi Sulawesi
Tenggara khususnya di Kabupaten Konawe. Seperti Suku Betawi di Kota
Jakarta. Seni budaya Tolaki pun sama dengan daerah lain. Kalau Aceh
terkenal dengan Tari Seudati, Jakarta tersohor dengan Tari Topeng Betawi,
maka Kendari pun memiliki beberapa tarian tradisional yang khas, seperti Tari
Mondotambe dan Tari Lulo. Tari Mondotambe atau tari penjemputan
merupakan tarian khas Suku Tolaki yang kerap ditampilkan saat ada event
berskala besar atau untuk menjemput tamu besar. Misalnya saat pembukaan
Festival Teluk Kendari (Festek) yang dihadiri beberapa tamu penting.
Tari Lulo merupakan tari pergaulan khas yang populer di Kota Kendari. Tarian
ini biasanya dilakukan oleh kawula muda sebagai ajang perkenalan. Kini Tari
Lulo juga kerap disuguhkan saat ada tamu kehormatan sebagai tanda
persahabatan antara warga Kota Kendari dengan pendatang, misalnya para
wisatawan. Gerakan Tari Lulo tidak rumit dibanding dengan tradisional tarian
tradisonal lain. Para penarinya saling berpegang tangan satu sama lain
membentuk lingkaran yang saling menyambung. Dalam sebuah acara besar
yang dihadiri pengujung dari luar Kota Kendari, para penari Lulo selalu
mengajak tamu dengan ramah untuk ikut menari.
b. Upacara Adat Mosehe; Mosehe adalah salah satu bentuk upacara ritual yang
bertujuan untuk menolak datangnya malapetaka karena telah melakukan
pelanggaran baik sengaja maupun tidak sengaja.
2. Pariwisata Tirta (alam)
3. Pariwisata Buatan
Air Terjun Larowiu (Meluhu), Air Terjun Anawai (Sampara), Air Terjun
Kumapodahu (Anggaberi) dan Air Terjun Rukuo (Lambuya) basisnya tetap potensi
alam dan bersifat alamiah. Pariwsata safari alam terbuka dan taman buru
merupakan salah satu atraksi wisata yang berbasis alam yang dapat
dikembangkan di Kabupaten Konawe. Kalaupun akan dikembangkan wisata
buatan lain, mungkin lebih berorientasi pada pasar dalam daerah sendiri, seperti
Waterboom dan kolam Air Panas.
1. Permukiman Perkotaan
2. Permukiman Perdesaan
(1) Uepai, penempatan tahun 1975 dengan luas lahan 1.105 Ha berasal
dari daerah DKI, Jawa Tengah, DIY, Bali dan Alokasi Permukiman
Penduduk Daerah Setempat (APPDT) atau Transmigran Penduduk
Setempat (TPS).
(2) Tongauna/Sendang MS, penempatan tahun 1975 dengan luas lahan 887
Ha berasal dari daerah Jawa Timur, Bali.
(3) Onembute, penempatan tahun 1979 dengan luas lahan 605 Ha berasal
dari daerah DKI, Jawa Barat dan Alokasi Permukiman Penduduk Daerah
Setempat (APPDT) atau Transmigran Penduduk Setempat (TPS).
(4) Sonai, penempatan tahun 1979 dengan luas lahan 805 Ha berasal dari
daerah DKI, Jawa Barat dan Alokasi Permukiman Penduduk Daerah
Setempat (APPDT) atau Transmigran Penduduk Setempat (TPS).
(5) Amonggedo SP.B penempatan tahun 1981 dengan luas lahan 1.115 Ha
berasal dari daerah DKI, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur
dan Alokasi Permukiman Penduduk Daerah Setempat (APPDT) atau
Transmigran Penduduk Setempat (TPS).
(6) Amonggedo SP.C penempatan tahun 1981 dengan luas lahan 500 Ha
berasal dari daerah Jawa Barat, Bali, NTB dan Alokasi Permukiman
Penduduk Daerah Setempat (APPDT) atau Transmigran Penduduk
Setempat (TPS).
(7) Amonggedo SP.D penempatan tahun 1981 dengan luas lahan 847 Ha
berasal dari daerah Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali dan NTB.
(8) Amonggedo SP.A penempatan tahun 1981 dengan luas lahan 805 Ha
berasal dari daerah DKI, Jawa Barat, DIY dan Alokasi Permukiman
Penduduk Daerah Setempat (APPDT) atau Transmigran Penduduk
Setempat (TPS).
(9) Meluhu SP.E penempatan tahun 1982 dengan luas lahan 557 Ha berasal
dari daerah Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, NTB dan Alokasi
Permukiman Penduduk Daerah Setempat (APPDT) atau Transmigran
Penduduk Setempat (TPS).
(10) Meluhu SP.F penempatan tahun 1982 dengan luas lahan 1.205 Ha
berasal dari daerah DKI, Jawa Barat, DIY dan NTB.
(17) Abuki.SP.A penempatan tahun 1982 dengan luas lahan 521 Ha berasal
dari daerah Jawa Barat dan Alokasi Permukiman Penduduk Daerah
Setempat (APPDT) atau Transmigran Penduduk Setempat (TPS).
(18) Abuki.SP.B penempatan tahun 1982 dengan luas lahan 470 Ha berasal
dari daerah Bali dan Alokasi Permukiman Penduduk Daerah Setempat
(APPDT) atau Transmigran Penduduk Setempat (TPS)
(19) Abuki.SP.C penempatan tahun 1983 dengan luas lahan 463 Ha berasal
dari daerah Jawa Tengah, Bali, NTB dan Alokasi Permukiman Penduduk
Daerah Setempat (APPDT) atau Transmigran Penduduk Setempat (TPS).
(20) Abuki.SP.D penempatan tahun 1983 dengan luas lahan 565 Ha berasal
dari daerah Jawa Tengah, Bali, NTB dan Alokasi Permukiman Penduduk
Daerah Setempat (APPDT) atau Transmigran Penduduk Setempat (TPS).
(26) Tanggobu penempatan tahun 1984 dengan luas lahan 705 Ha berasal
dari daerah Tongauna.SP.A penempatan tahun 1983 dengan luas lahan
1.005 Ha berasal dari daerah Jawa barat, Jawa Tengah, DIY, Jawa
Timur, Bali, dan Alokasi Permukiman Penduduk Daerah Setempat
(APPDT) atau Transmigran Penduduk Setempat (TPS).
(28) Lampeapi penempatan tahun 1983 dengan luas lahan 605 Ha berasal
dari daerah Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, NTT dan Alokasi
Permukiman Penduduk Daerah Setempat (APPDT) atau Transmigran
Penduduk Setempat (TPS).
(29) Uepai penempatan tahun 1995 dengan luas lahan 175 Ha berasal dari
daerah Jawa Timur dan Alokasi Permukiman Penduduk Daerah
Setempat (APPDT) atau Transmigran Penduduk Setempat (TPS).
(30) Uepai penempatan tahun 1996 dengan luas lahan 55 Ha berasal dari
daerah Jawa Timur, dan Alokasi Permukiman Penduduk Daerah
Setempat (APPDT) atau Transmigran Penduduk Setempat (TPS).
(31) Batumea penempatan tahun 1999 dengan luas lahan 405 Ha berasal
dari daerah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Alokasi
(32) Lasada penempatan tahun 1999 dengan luas lahan 155 Ha berasal dari
daerah Alokasi Permukiman Penduduk Daerah Setempat (APPDT) atau
Transmigran Penduduk Setempat (TPS).
(33) Epeea penempatan tahun 1999 dengan luas lahan 305 Ha berasal dari
daerah Alokasi Permukiman Penduduk Daerah Setempat (APPDT) atau
Transmigran Penduduk Setempat (TPS).
(34) Padangguni penempatan tahun 2002 dengan luas lahan 205 Ha berasal
dari daerah Alokasi Permukiman Penduduk Daerah Setempat (APPDT)
atau Transmigran Penduduk Setempat (TPS) dan Exsodus.
(37) Asinua Jaya penempatan tahun 2008/2009 dengan luas lahan 450 Ha
berasal dari daerah Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB dan Alokasi
Permukiman Penduduk Daerah Setempat (APPDT) atau Transmigran
Penduduk Setempat (TPS).
(38) Awua Jaya penempatan tahun 2011 dengan luas lahan 800 Ha berasal
dari daerah Jawa Tengah, NTB dan Alokasi Permukiman Penduduk
Daerah Setempat (APPDT) atau Transmigran Penduduk Setempat (TPS).