Anda di halaman 1dari 31

JOURNAL READING

Biomekanik Kornea dan Tekanan Intraokular yang


Dikoreksi Secara Biomekanik Pada Glaukoma
Sudut Terbuka Primer, Hipertensi Okular, dan
Kontrol

Disusun oleh:
Adyzka Marshalivia
1102013011

Pembimbing :
Mayor (CKM) dr. Leidina Rachmadian Sp. M

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA


RS TK.II MOH. RIDWAN MEURAKSA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
PERIODE 13 MEI– 22 JUNI 2019
ABSTRAK

Tujuan: Untuk membandingkan estimasi tekanan intraokular (IOP) yang dikoreksi


secara biomekanik (bIOP) yang disediakan oleh Corvis-ST dengan tonometri applanasi
Goldmann (GAT-IOP) pada pasien dengan glaukoma sudut terbuka primer tegangan
tinggi dan tegangan normal (POAG; HTG dan NTG), hipertensi okular (OHT) dan
kontrol. Selain itu, kami membandingkan parameter respons kornea dinamis (DCR) dari
Corvis-ST di POAG, OHT dan kontrol, mengevaluasi korelasi antara parameter bidang
visual global rata-rata deviasi dan pola SD (MD dan PSD) dan DCR pada kelompok
POAG.
Metode: 156 mata dari 156 pasien dilibatkan dalam studi observasional prospektif, satu-
pusat, yaitu 41 HTG dan 33 NTG, 45 kasus OHT dan 37 kontrol. Ketebalan kornea
sentral (CCT), GAT-IOP dan bIOP diukur, GAT-IOP juga disesuaikan untuk CCT
(GATAdj). DCR yang disediakan oleh Corvis-ST dievaluasi, MD dan PSD direkam oleh
24-2 bidang visual ambang penuh. Untuk mengevaluasi perbedaan DCR antara OHT,
HTG dan NTG, model linear umum digunakan dengan jenis kelamin, obat-obatan dan
kelompok sebagai faktor tetap dan bIOP dan usia sebagai kovariat.
Hasil: Ada perbedaan yang signifikan antara GAT-IOP, GATAdj dan bIOP di NTG dan
HTG, OHT dan kontrol. Kornea NTG secara signifikan lebih lunak dan lebih dapat
dideformasi dibandingkan dengan kontrol, OHT dan HTG seperti yang ditunjukkan oleh
nilai yang lebih rendah dari parameter kekakuan A1 dan konkavitas tertinggi dan nilai
yang lebih tinggi dari radius cekung terbalik (semua p<0,05). Ada korelasi yang
signifikan (p <0,05) antara MD, PSD dan banyak DCR dengan pasien POAG dengan
kornea yang lebih lunak atau lebih sesuai, lebih cenderung menunjukkan cacat visual.
Kesimpulan: Biomekanik kornea mungkin merupakan faktor perancu yang signifikan
untuk pengukuran TIO yang harus dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan klinis.
Kelainan biomekanik kornea di NTG dan korelasi yang signifikan dengan parameter
bidang visual mungkin menyarankan faktor risiko baru untuk pengembangan atau
perkembangan NTG.

1
LATAR BELAKANG

Glaukoma adalah penyakit yang ditandai dengan neuropati optik progresif dan
kehilangan lapang pandang dengan atau tanpa tekanan intraokular meningkat (IOP).
Glaukoma tegangan-normal (NTG) adalah bentuk glaukoma sudut terbuka primer
(POAG), di mana TIO tetap dalam tingkat normal; sementara high-tension glaucoma
(HTG) dikaitkan dengan peningkatan TIO. Sifat biomekanis dari kepala saraf optik
(ONH) dan jaringan ikat scleral peripapillary telah dipostulatkan untuk menentukan
bagaimana struktur ini menanggapi TIO, yang mungkin menjelaskan mengapa beberapa
pasien rentan terhadap kerusakan glaukoma bahkan di bawah tingkat TIO yang normal.
Namun, karena kornea dan sklera adalah selubung kolagen kontinu, terdiri dari
konstituen matriks ekstraseluler yang serupa, sebuah hipotesis dapat berupa bahwa sifat-
sifat biomekanik kornea entah bagaimana terkait dengan sifat-sifat lamina cribrosa (LC)
atau sclera peripapillary, yang mungkin menentukan respons ONH terhadap TIO dan
jumlah kerusakan saraf aksonal. Penilaian biomekanik kornea dapat, oleh karena itu,
menawarkan pengukuran tidak langsung dari elastisitas LC, dan karenanya indikasi
kemungkinan kerentanan terhadap kerusakan glaukoma. Namun, harus dicatat bahwa
sifat kornea tidak konstan dari pusat ke perifer dan melalui sklera ke bagian belakang
mata. Tautan ini sebelumnya telah dihipotesiskan dalam bentuk glaukoma (NTG) tertentu
yang menunjukkan bahwa biomekanik kornea abnormal dikaitkan dengan hilangnya
lapang pandang progresif. Sudah diketahui bahwa pengurangan TIO bersifat
neuroprotektif, dalam arti penundaan atau bahkan mencegah. kerusakan struktural dan
fungsional akson saraf optik di glaukoma, termasuk NTG. Untuk alasan ini, pengukuran
TIO yang akurat adalah komponen penting dari manajemen glaukoma termasuk definisi
kasus dan dalam perencanaan perawatan. Namun, keakuratan pengukuran TIO
dipengaruhi oleh sifat biologis kornea, yang paling penting adalah ketebalan kornea dan
kekakuan material.Ada banyak upaya menggunakan perangkat yang berbeda untuk
memperkenalkan estimasi TIO yang akan mempertimbangkan biomekanik kornea.
Tantangan untuk menghasilkan pengukuran TIO dengan efek biomekanik
berkurang juga telah ditangani oleh tonometer non-kontak Corvis-ST (Oculus, Wetzlar,
Jerman) dalam bentuk TIO yang dikoreksi secara biologis (bIOP). Algoritma bIOP

2
dikembangkan menggunakan simulasi numerik, elemen hingga dari prosedur Corvis-ST
yang diterapkan pada model mata manusia dengan topografi yang berbeda, profil
ketebalan, sifat material dan nilai IOP, dan terbukti secara signifikan lebih sedikit
dipengaruhi oleh parameter kornea. Saat ini, Koreksi bIOP telah berhasil dalam
memberikan perkiraan yang dekat tentang TIO sejati dalam tes ex vivo yang dilakukan
pada bola mata donor manusia, dan dalam mengurangi hubungan dengan ketebalan
kornea.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membandingkan perkiraan bIOP dengan
Goldmann applanation tonometry IOP (GAT-IOP) pada pasien dengan POAG (HTG dan
NTG), hipertensi okular (OHT) dan pada kontrol yang sehat. Lebih lanjut, kami bertujuan
untuk menilai dan membandingkan parameter respons kornea dinamis (DCR), yang
disediakan oleh Corvis-ST, dalam POAG, OHT dan kelompok kontrol, dan mengevaluasi
korelasi antara parameter bidang visual dan biomekanik kornea pada kelompok POAG.

3
METODE

Desain dan Etika

Peserta
Pasien yang didiagnosis menggunakan kriteria yang dijelaskan di bawah ini
dengan (POAG: HTG dan NTG), subjek OHT dan sehat direkrut selama 8 bulan di Unit
Mata St Paul, Rumah Sakit Universitas Royal Liverpool, Inggris. Semua pasien
memberikan persetujuan untuk menggunakan data anonim mereka dalam penelitian
sebelum dimulainya penelitian.

Kriteria Inklusi dan Eksklusi


POAG didefinisikan sebagai gonioskopi sudut terbuka, cakram optik glaukoma
dan bidang visual abnormal (VF) yang konsisten dengan glaukoma dikonfirmasi oleh
setidaknya dua pemeriksaan VF yang dapat diandalkan. Definisi defek bidang visual
glaukoma didefinisikan oleh dua tes hemifield glaukoma yang dinilai "di luar batas
normal" dan sekelompok tiga titik yang bersebelahan pada level 5% pada plot deviasi
pola, menggunakan strategi uji threshold dengan pola tes 24-2 penganalisa bidang Zeiss-
Humphrey. Pasien dibagi menjadi HTG dan NTG berdasarkan GAT-IOP yang tidak
diobati lebih besar atau lebih rendah dari 21 mm Hg. Pasien OHT didefinisikan sebagai
VF normal dengan GAT-IOP yang tidak diobati masing-masing lebih besar dari 21 mm
Hg. Kontrol yang sehat memiliki GAT-IOP yang tidak diobati lebih rendah dari 21 mm
Hg, cakram sehat dan tidak ada patologi mata.
Kriteria eksklusi
► Hipermetropia atau miopia> 5 dioptri (D), dan / atau astigmatisme> 3 D, ketajaman
visual yang paling baik dikoreksi <20/40.
► Kondisi okuler yang bisa meniru hilangnya lapang pandang glaukoma terutama
penyakit bawaan atau didapat saraf optik, atau kondisi sistemik yang dapat memengaruhi
aliran darah okular — khususnya diabetes mellitus dan penyakit serebrovaskular.

4
► Bedah mata atau intraokular sebelumnya atau trauma sebelumnya atau jaringan parut
kornea.

Intervensi dan Prosedur


Pemeriksaan oftalmologis
Semua peserta menjalani pemeriksaan mata lengkap awal. Kelompok OHT dan
POAG juga menjalani perimetri otomatis menggunakan Humphrey Field Analyzer II
(Carl Zeiss Meditec, Jena, Jerman), dengan ambang penuh 24-2 program standar SITA.
Parameter bidang visual global, termasuk penyimpangan rata-rata (MD) dan pola SD
(PSD), dicatat. IOP (rata-rata 3 pengukuran) dan ketebalan kornea sentral (CCT) (rata-
rata 25 pengukuran, satu sentuhan) direkam menggunakan (GAT-IOP, Haag-Streit,
Swiss) dan pachymetry ultrasound (DGH 55B Pachmate 2, DGH Technologies, Exton ,
Pennsylvania, USA), masing-masing, serta pengukuran biomekanik kornea dan TIO
menggunakan Corvis-ST. GAT-IOP disesuaikan untuk pachymetry (GATAdj)
menggunakan algoritma koreksi pabrikan yang dilengkapi dengan Pachmate 2, yang
didasarkan pada referensi ketebalan kornea 545 μm dari karya Kohlhaas et al.
Pengukuran corvis
Semua pengukuran dengan Corvis-ST (perangkat lunak V.6.08r22) ditangkap
dengan rilis otomatis yang selaras dengan puncak kornea dan semuanya dengan skor
kualitas ‘OK’. DCR yang digunakan dalam penelitian ini dirangkum dalam tabel
tambahan online 1 dan telah dijelaskan sebelumnya. Kami menyertakan radius cekung
terbalik, parameter kekakuan (SP-A1) (dirujuk pada applanation pertama) dan SP-HC
(dirujuk pada konkavitas tertinggi) dan rasio amplitudo deformasi (rasio DA) seperti
yang ditunjukkan pada penelitian sebelumnya yang berkorelasi baik dengan kornea
biomekanik dan relatif independen dari TIO. Bersama-sama dengan DCR, estimasi bIOP
dicatat.

Analisis Statistik
Hanya satu mata per pasien (ketika kedua mata dapat dimasukkan) dipilih secara
acak dan dimasukkan dalam analisis. Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan
perangkat lunak SPSS (V.24, IBM). Perhitungan ukuran sampel dilakukan dengan

5
menggunakan perangkat lunak G Power V.3.1.9.3, dengan asumsi ukuran efek yang
relevan secara klinis sebesar 0,4 untuk perbedaan SP-A1, juga disarankan oleh penelitian
yang tidak dipublikasikan sebelumnya. Dengan empat kelompok, lima kovariat, alfa 0,05
dan kekuatan 0,85 dengan asumsi model linier umum (GLM) ukuran sampel yang
dihitung adalah minimal 131 subjek. Statistik deskriptif dihitung untuk parameter DCR,
serta GAT-IOP, GATAdj dan bIOP. Perbedaan antara kelompok (OHT, HTG, NTG dan
normal) dievaluasi dengan analisis varians dan Bonferroni post hoc test atau regresi
logistik bila sesuai. Selain itu, untuk mengevaluasi perbedaan biomekanik kornea antara
OHT, HTG dan NTG, GLM digunakan dengan jenis kelamin, obat-obatan dan kelompok
sebagai faktor tetap dan bIOP dan usia sebagai kovariat. Obat-obatan didefinisikan
sebagai empat variabel kategori yang masing-masing memiliki dua level (ada / tidak ada).
Selain itu, untuk mengecualikan CCT sebagai faktor perancu, subkelompok pasien OHT,
NTG dan HTG dicocokkan dengan CCT (perbedaan maksimum 8 μm) dan dengan obat-
obatan (semuanya hanya dengan analog prostaglandin). Selanjutnya GLM dengan SP-A1
sebagai variabel dependen dilakukan dengan kelompok sebagai faktor tetap dan bIOP dan
usia sebagai kovariat. Hubungan antara parameter DCR dan indeks bidang visual seperti
MD dan pola SD (PSD) dinyatakan dengan koefisien korelasi Spearman. P <0,05
dianggap signifikan secara statistik.

6
HASIL

CCT rata-rata di NTG secara signifikan lebih rendah dari pada kelompok normal
(p <0,001) dan OHT (p = 0,004), tetapi serupa dengan HTG (p = 1,0). Tabel 2
menunjukkan jumlah dan persentase pasien di bawah setiap jenis obat glaukoma topikal.
Tidak ada perbedaan yang signifikan antara kelompok (OHT, NTG dan HTG)
dalam hal pengobatan, namun, nilai p inhibitor karbonat anhidrase dan beta-blocker
mendekati signifikansi (tabel 2).
Tekanan intraokular
Analisis komparatif menunjukkan perbedaan yang signifikan antara nilai GAT-
IOP, GATAdj dan bIOP di antara kelompok dan di dalam kelompok (p <0,001, gambar
1).
Di dalam kelompok
Hasil utama dari analisis ini adalah perbedaan yang signifikan antara nilai-nilai
GAT-IOP, GATAdj dan bIOP di semua kelompok (p <0,001). Dalam kontrol dan OHT,
nilai rata-rata GAT-IOP secara signifikan lebih tinggi dari GATAdj dan bIOP, sama-
sama GATAdj secara signifikan lebih tinggi daripada bIOP (p <0,01). Sebaliknya,
GATAdj secara signifikan lebih tinggi dari GAT-IOP dalam kelompok HTG dan NTG,
dan GAT-IOP secara signifikan lebih tinggi daripada bIOP (p <0,01).

Gambar 1. Plot kotak dan kumis untuk bIOP, tonometry applanation Gold, IOP (GAT), dan Goldmann
yang disesuaikan (GATAdj) dalam hipertensi okular (OHT), glaukoma sudut terbuka primer (HTG),
glaukoma tegangan tinggi (NTG) dan mata yang sehat. kontrol. bIOP, tekanan intraokular yang dikoreksi
secara biomekanik; TIO, tekanan intraokular.

7
Antar kelompok
GAT-IOP antar kelompok
Tes post hoc Bonferroni menunjukkan bahwa rata-rata GAT-IOP pada kelompok
OHT secara signifikan lebih tinggi daripada semua kelompok lain (p <0,001). Demikian
pula, pasien HTG POAG menunjukkan nilai GAT-IOP lebih tinggi dibandingkan dengan
NTG (p = 0,003) dan lebih rendah dari OHT (p <0,001) tetapi sangat mirip dengan
normal (p = 1,00). Nilai GAT-IOP OHT rata-rata 5,6 mm Hg lebih tinggi dari kontrol.
GATAdj-IOP antara grup
Analisis komparatif tekanan GATAdj antara kelompok menunjukkan bahwa nilai
rata-rata OHT dan HTG dengan GATAdj secara signifikan lebih tinggi dibandingkan
dengan kontrol (p <0,001 dan p = 0,009, tabel 1).

bIOP antar kelompok


Hasil untuk bIOP tidak menunjukkan perbedaan antara nilai-nilai dalam POAG
(HTG dan NTG) dan kelompok kontrol tetapi perbedaan yang signifikan dengan OHT.
Perbedaan rata-rata antara OHT dan normal adalah 3,6 mm Hg (p <0,001).

8
Biomekanik kornea
Analisis parameter DCR Corvis, dilakukan dengan GLM yang memperhitungkan
usia, jenis kelamin, bIOP dan obat-obatan, menunjukkan perbedaan yang signifikan
antara setidaknya satu kelompok dan yang lainnya di semua parameter yang dievaluasi
(tabel 3).
Hasil utama dari subanalisis ini adalah bukti bahwa kornea NTG lebih sesuai dan
terdeformasi di bawah embusan udara dibandingkan dengan pasien kontrol, OHT dan
HTG seperti yang ditunjukkan oleh nilai SP-A1 dan HC yang lebih rendah secara
signifikan dan nilai signifikan lebih tinggi dari radius cekung terbalik dan Rasio DA
(gambar 2A – D). Subkelompok pasien OHT (11), NTG (11) dan HTG (13) dicocokkan
dengan CCT dan dengan obat-obatan (semuanya hanya dengan analog prostaglandin).
Analisis komparatif dengan GLM mengkonfirmasi hasil sebelumnya, menunjukkan
bahwa kornea NTG lebih lunak dan lebih mudah berubah bentuk di bawah hembusan
udara (nilai lebih rendah dari SP-A1) dibandingkan dengan pasien OHT dan HTG (p =
keseluruhan 0,017, NTG vs OHT p = 0,023, NTG vs HTG p = 0,007) bahkan ketika
cocok dengan CCT.

9
Biomekanik bidang visual dan kornea
Indeks bidang visual dari POAG (HTG dan NTG) dan pasien OHT dirangkum
dalam tabel 2. Analisis korelasi antara biomekanik kornea, MD dan PSD hanya
mencakup pasien POAG (HTG dan NTG). Hasil utama dari subanalisis ini adalah bukti
bahwa pasien POAG dengan kornea yang lebih lembut dan lebih terdeformasi secara
signifikan lebih cenderung menunjukkan cacat lapang pandang daripada yang kaku. Ini
ditunjukkan oleh korelasi negatif yang signifikan antara rasio MD dan DA (cc = .20.261
p = 0,018), radius cekung terbalik (cc = =0.242, p = 0,028) dan korelasi positif yang
signifikan dengan SP-A1 (cc = 0,279, p = 0,011) dan SP-HC (cc = 0,240, p = 0,030).
Demikian pula, analisis korelasi biomekanik kornea dan PSD menunjukkan
korelasi positif yang signifikan dengan rasio DA (cc = 0,299, p = 0,006), radius cekung
terbalik (cc = 0,305, p = 0,005) dan korelasi negatif yang signifikan dengan SP-A1 ( cc =
−0.346, p = 0.001) dan SP-HC (cc = −0.329, p = 0.003).

10
DISKUSI

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi dan membandingkan algoritma bIOP


dengan GAT-IOP pada pasien dengan glaukoma sudut terbuka primer (POAG: NTG dan
HTG), ocular hypertension (OHT) dan kontrol. Selanjutnya, kami bertujuan untuk
menilai dan membandingkan biomekanik kornea pada kelompok yang dijelaskan dan jika
faktor-faktor biomekanik tersebut berkorelasi dengan cacat bidang visual.

Hasil IOP
Analisis komparatif menunjukkan perbedaan yang signifikan antara nilai-nilai
GAT-IOP, GATAdj dan bIOP dalam POAG (HTG dan NTG), OHT dan kontrol. Di
semua grup, bIOP secara signifikan lebih rendah dari GAT dan GATAdj. Dalam
penelitian sebelumnya, subjek normal berarti nilai GAT dan bIOP sangat mirip dan
penelitian terbaru menunjukkan bahwa bIOP setara dengan pengukuran IOP manometrik
pada mata ex vivo. Perbedaan antara GAT dan bIOP dalam penelitian kami harus, oleh
karena itu, berhubungan dengan 'faktor yang disesuaikan' yang bIOP koreksi, yaitu, usia,
CCT dan biomekanik kornea, atau dengan akurasi dan pengulangan yang lebih tinggi dari
pengukuran bIOP Corvis-ST dibandingkan dengan GAT. Faktanya dalam penelitian yang
menggambarkan nilai normalitas bIOP usia rata-rata adalah 38 ± 16 tahun, rata-rata CCT
adalah 543 ± 33 μm dan rata-rata rasio DA berkisar antara 1,452 hingga 1,727. Nilai-nilai
ini berbeda dibandingkan dengan populasi normal yang dievaluasi dalam penelitian ini
yang memiliki usia lebih tinggi dan kornea sedikit lebih tebal yang akan menyebabkan
perkiraan GAT yang berlebihan.
Studi sebelumnya menunjukkan bahwa GAT-IOP dipengaruhi oleh margin yang
bervariasi antara 0,7 dan 7,1 mm Hg per setiap 100 μm perubahan CCT. Signifikansi
margin kesalahan ini harus dievaluasi secara kritis mengingat bahwa risiko
perkembangan pada pasien dengan diagnosis glaukoma dilaporkan meningkat antara 10%
dan 12% untuk setiap peningkatan TIO 1 mm Hg, dan karenanya konsekuensi dari
kesalahan ini dapat menghasilkan signifikan jumlah false-positif dan false-negatif dalam
profil risiko glaukoma. Selain itu, laporan sebelumnya menunjukkan bahwa perbedaan
biomekanik kornea pada individu mungkin memiliki dampak yang lebih besar pada

11
kesalahan pengukuran TIO daripada ketebalan atau kelengkungan kornea. Hasil ini
menggaris bawahi pentingnya menggunakan estimasi TIO yang tidak terpengaruh oleh
sifat material, usia dan ketebalan. Lebih lanjut, harus dicatat bahwa dalam kontrol dan
OHT, GAT terbukti lebih tinggi dari GATAdj, sedangkan pada kedua kelompok
glaukoma, itu sebaliknya. Ini akan menunjukkan bahwa perbedaan relatif berubah dengan
penyakit, sehingga penyesuaian untuk CCT tampaknya tidak lagi berfungsi. Ini konsisten
dengan prediksi pekerjaan Liu dan Roberts, di mana kornea yang kaku memiliki
hubungan yang lebih kuat antara kesalahan pengukuran CCT dan IOP, sedangkan pada
kornea yang lebih lunak, hubungan ini berkurang.
Pada pasien OHT, GAT-IOP rata-rata lebih tinggi dari 21 mm Hg sementara bIOP
lebih rendah. Hasil ini menunjukkan bahwa dengan penggunaan bIOP, pasien OHT (yang
adalah pasien yang, bahkan dengan IOP tinggi belum berkembang menjadi glaukoma)
menghadirkan TIO yang berada dalam batas normal (<21 mm Hg) sedangkan dengan
GAT IOP lebih tinggi dari kisaran normal. Formula sebelumnya diusulkan untuk
meningkatkan manajemen OHT seperti dalam studi pengobatan OHT, namun, definisi
OHT berubah tergantung pada formula penyesuaian mana yang digunakan. Corvis bIOP
memiliki banyak keunggulan jika dibandingkan dengan GAT dan GATAdj, khususnya
non-kontak, tidak memerlukan anestesi, dikembangkan dengan pemodelan numerik dan
mampu mengoreksi usia dan biomekanik kornea serta CCT.
Perkiraan TIO yang lebih baik (seperti bIOP) dapat membantu memisahkan
pasien OHT dengan risiko tinggi untuk berkembang menjadi glaukoma dari orang-orang
yang hanya ditaksir berlebihan dengan tonometer standar, sehingga meningkatkan
diagnosis glaukoma dan mengurangi biaya kesehatan masyarakat. Penelitian lebih lanjut
diperlukan untuk mengevaluasi apakah bIOP dapat memberikan cara yang lebih baik
untuk mendefinisikan OHT atau menindaklanjuti pasien dengan glaukoma.

12
(A) Plot kotak dan kumis untuk parameter kekakuan A1, (B) parameter kekakuan cekung tertinggi, (C)
radius cekung terbalik, (D) rasio amplitudo deformasi dalam hipertensi okular (OHT), glaukoma
sudut terbuka primer glaukoma tegangan tinggi ( HTG), glaukoma tegangan normal (NTG) dan
kontrol mata yang sehat.

Hasil biomekanik kornea


Hasil utama dari subanalisis ini (yang memperhitungkan usia, bIOP dan
pengobatan) adalah bukti bahwa kornea NTG lebih lunak dan lebih mudah berubah
bentuk di bawah hembusan udara dibandingkan dengan kontrol, OHT dan HTG. Ini
ditunjukkan oleh nilai SP-A1 dan HC yang secara signifikan lebih rendah dan nilai
signifikan lebih tinggi dari radius cekung terbalik dan rasio DA. Kornea yang lebih lunak,
secara umum, akan lebih cacat oleh embusan udara, yang akan diidentifikasi oleh Corvis
dengan radius konkavitas dan rasio DA terbalik yang lebih tinggi. Demikian pula, itu
akan menunjukkan nilai yang lebih rendah dari (SP-A1 dan SP-HC) yang merupakan dua
parameter yang berkorelasi dengan kekakuan keseluruhan.
CCT sengaja tidak ditambahkan ke dalam model karena tidak memenuhi semua
kriteria pengganggu dan karenanya akan menyebabkan bias. Akhirnya, analisis terakhir
kami yang mengevaluasi pasien OHT, NTG dan HTG yang cocok dengan CCT dan
pengobatan juga mengkonfirmasi hasil analisis utama dan mengecualikan kemungkinan
bahwa hasilnya akan didorong oleh perbedaan CCT.
Berdasarkan bukti bahwa NTGs memiliki kornea yang lebih lunak dan lebih cacat,
evaluasi biomekanik kornea dapat membantu dalam stratifikasi manajemen / risiko pasien
glaukoma.

13
Saat ini, hasil yang ditampilkan mengacu pada kekakuan keseluruhan (kekakuan
geometris dan kekakuan material bersama-sama); dan menunjukkan bahwa NTG
berperilaku lebih lunak dibandingkan dengan kelompok lain. Namun demikian, kami
tidak dapat membuktikan bahwa kekakuan material pasien NTG lebih lunak atau kaku
dibandingkan dengan kelompok lain, studi lebih lanjut akan diperlukan, mungkin dengan
penggunaan indeks baru yang tidak dipengaruhi oleh geometri kornea, untuk
mengevaluasi aspek ini. Penelitian kami menunjukkan kornea yang lebih lunak (lebih
mudah terdeformasi) pada pasien NTG dibandingkan dengan kontrol, OHT dan HTG
dengan DCR baru dari Corvis-ST yang relatif independen dari IOP. Meskipun penelitian
sebelumnya yang berfokus terutama pada HTG menunjukkan kornea yang kurang dapat
dideformasi, DCR lama yang diketahui dipengaruhi oleh IOP digunakan. Ada sejumlah
besar studi dengan Ocular Response Analyzer (ORA) di NTG dan POAG; Namun,
temuan-temuan itu tidak secara langsung sebanding dengan yang ada di Corvis karena
dua alasan. Pertama, ORA memiliki embusan udara yang besarnya bervariasi, dan
respons biomekanik bergantung pada beban. Kedua, histeresis kornea adalah istilah
viskoelastik dan tidak secara langsung berkorelasi dengan kekakuan. Literatur
sebelumnya menemukan bahwa NTG memiliki CH lebih rendah dibandingkan dengan
POAG dan OHT, tetapi ini tidak dapat diartikan sebagai kornea yang lebih kaku atau
lebih lunak. Histeresis rendah ditemukan pada keratoconus dengan kornea lunak, serta
dengan TIO lebih tinggi, yang merupakan kornea yang lebih kaku.

14
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Glaukoma adalah suatu neuropati optik (kerusakan saraf mata) disebabkan
oleh TIO tinggi (relatif) ditandai oleh kelainan lapang pandang dan berkurangnya
serabut saraf optic.2 Tekanan intraokular ditentukan oleh kecepatan pembentukan
humor akueus dan tahanan terhadap aliran keluarnya dari mata. Tekanan
intraokular dianggap normal bila kurang dari 20 mmHg pada pemeriksaan dengan
tonometer aplanasi yang dinyatakan dengan tekanan air raksa.2
Glaukoma sudut terbuka adalah glaucoma yang penyebabnya tidak
ditemukan dan ditandai dengan sudut bilik mata depan yang terbuka. Glaukoma
sudut terbuka ini diagnosisnya dibuat bila ditemukan glaucoma pada kedua mata
pada pemeriksaan pertama, tanpa ditemukan kelainan yang dapat merupakan
penyebab.2,3

Gambar 2.1 Glaukoma

2.2 KLASIFIKASI
Klasifikasi glaukoma:1,2
A. Glaukoma primer
 Sudut terbuka
 Sudut tertutup

15
B. Glaukoma sekunder
 Sudut terbuka
 Sudut tertutup
C. Glaukoma kongenital

2.3 ETIOLOGI
Penyebab glaukoma sudut terbuka tidak pasti, dimana tidak didapatkan
kelainan yang merupakan penyebab glaukoma.2,3 Glaukoma ini didapatkan pada
orang yang telah memiliki bakat bawaan glaukoma, seperti:3
a. Bakat dapat berupa gangguan fasilitas pengeluaran cairan mata atau susunan
anatomis bilik mata yang menyempit.
b. Mungkin disebabkan kelainan pertumbuhan pada sudut bilik mata depan (
goniodisgenesis), berupa trabekulodisgenesis, iridodisgenesis dan
korneodisgenesis dan yang paling sering berupa trabekulodisgenesis dan
goniodisgenesis.
Glaukoma sudut terbuka sering terjadi setelah usia 40 tahun, tetapi kadang
terjadi pada anak-anak. Penyakit ini cenderung diturunkan dan paling sering
ditemukan pada penderita diabetes atau miopia. Glaukoma sudut terbuka lebih
sering terjadi dan biasanya penyakit ini lebih berat jika diderita oleh orang kulit
hitam.2,3,4

2.4 EPIDEMIOLOGI
Di Indonesia, glaukoma diderita oleh 3% dari total populasi penduduk.
Umumnya penderita glaukoma telah berusia lanjut. Pada usia 50 tahun, tingkat
resiko menderita glaukoma meningkat sekitar 10 %. Hampir separuh penderita
glaukoma tidak menyadari bahwa mereka menderita penyakit tersebut.5 Glaukoma
sudut terbuka adalah bentuk glaukoma yang tersering dijumpai, sekitar 0,4-0,7%
orang berusia lebih dari 40 tahun dan 2-3% orang berusia lebih dari 70 tahun
diperkirakan mengidap glaukoma sudut terbuka.1

16
Gambar 2.2 Epidemiologi glaukoma

2.5 PATOGENESIS
Sudut bilik mata dibentuk dari jaringan korneosklera dengan pangkal iris.
Pada keadaan fisiologis bagian ini terjadi pengaliran keluar cairan bilik mata.
Berdekatan dengan sudut ini didapatkan jaringan trabekulum, kanal Schlemm, biji
sklera, garis Schwalbe dan jonjot iris. Pada sudut filtrasi terdapat garis Schwalbe
yang merupakan akhir perifer endotel dan membran desemet, kanal schlemn yang
menampung cairan mata kesalurannya.

Gambar 2.3 Hambatan pada aliran aquos humor

17
Sudut filtrasi berbatas dengan akar iris berhubungan dengan sklera kornea
dan disini ditemukan sklera spur yang membuat cincin melingkar 360 derajat dan
merupakan batas belakang sudut filtrasi serta tempat insersi otot siliar longitudinal.
Anyaman trabekula mengisi kelengkungan sudut filtrasi yang mempunyai dua
komponen yaitu badan siliar dan uvea.
Tekanan intraokular ditentukan oleh kecepatan terbentuknya cairan
(akueus humor) bola mata oleh badan siliar dan hambatan yang terjadi pada
jaringan trabekular meshwork. Akueus humor yang dihasilkan badan siliar masuk
ke bilik mata belakang, kemudian melalui pupil menuju ke bilik mata depan dan
terus ke sudut bilik mata depan, tepatnya ke jaringan trabekulum, mencapai kanal
Schlemm dan melalui saluran ini keluar dari bola mata. Pada glaukoma kronik
sudut terbuka, hambatannya terletak pada jaringan trabekulum maka akan terjadi
penimbunan cairan bilik mata di dalam bola mata sehingga tekanan bola mata
meninggi. Pada glaukoma akut hambatan terjadi karena iris perifer menutup sudut
bilik depan, hingga jaringan trabekulum tidak dapat dicapai oleh akueus.

Bagan 2.1 Patofisiologi Glaukoma

18
Gambar 2.4 Kerusakan papil saraf akibat glaukoma

2.6 GEJALA KLINIS


Glaukoma disebut sebagai “ pencuri penglihatan “ karena berkembang
tanpa ditandai dengan gejala yang nyata. Oleh karena itu, separuh dari penderita
glaukoma tidak menyadari bahwa mereka menderita penyakit tersebut. Biasanya
nanti diketahui disaat penyakitnya sudah lanjut dan telah kehilangan
penglihatan.2,5,7 Glaukoma primer yang kronis dan berjalan lambat sering tidak
diketahui bila mulainya, karena keluhan pasien amat sedikit atau samar. Misalnya
mata sebelah terasa berat, kepala pening sebelah, kadang-kadang penglihatan kabur
dengan anamnesa tidak khas. Pasien tidak mengeluh adanya halo dan memerlukan
kacamata koreksi untuk presbiopia lebih kuat dibanding usianya. Kadang-kadang
tajam penglihatan tetap normal sampai keadaan glaukomanya sudah berat.3 Pada
akhirnya akan terjadi penyempitan lapang pandang yang menyebabkan penderita
sulit melihat benda-benda yang terletak di sisi lain ketika penderita melihat lurus ke
depan ( disebut penglihatan terowongan).

2.7 PEMERIKSAAN
a. Pemeriksaan tekanan bola mata 3,6,8
Pemeriksaan tekanan bola mata dilakukan dengan alat yang dinamakan
tonometer. Pemeriksaan tekanan yang dilakukan dengan tanometer pada bola

19
mata dinamakan tonometri. Tindakan ini dapat dilakukan oleh dokter umum dan
dokter spesialis lainnya. Pengukuran tekanan bola mata sebaiknya dilakukan
pada setiap orang berusia di atas 20 tahun pada saat pemeriksaan fisik medik
secara umum. Dikenal beberapa alat tonometer seperti alat tonometer Schiotz
dan tonometer aplanasi Goldman.
 Tonometri Schiotz
Tonometer Schiotz merupakan alat yang praktis sederhana.
Pengukuran tekanan bola mata dinilai secara tidak langsung yaitu dengan
teknik melihat daya tekan alat pada kornea karena itu dinamakan juga
tonometri indentasi Schiotz. Dengan tonometer Schiotz dilakukan indentasi
penekanan terhadap kornea.
Pemeriksaan ini dilakukan pada pasien ditidurkan dengan posisi
horizontal dan mata ditetesi dengan obat anestesi topikal atau pantokain
0,5%. Penderita diminta melihat lurus ke suatu titik di langit-langit, atau
penderita diminta melihat lurus ke salah satu jarinya, yang diacungkan, di
depan hidungnya. Pemeriksa berdiri di sebelah kanan penderita. Dengan ibu
jari tangan kiri kelopak mata digeser ke atas tanpa menekan bola mata; jari
kelingking tangan kanan yang memegang tonometer, menyuai kelopak
inferior. Dengan demikian celah mata terbuka lebar. Perlahan-lahan
tonometer diletakkan di atas kornea.
Tonometer Schiotz kemudian diletakkan di atas permukaan kornea,
sedang mata yang lainnya berfiksasi pada satu titik di langit-langit kamar
penderita. Jarum tonometer akan menunjuk pada suatu angka di atas skala.
Tiap angka pada skala disediakan pada tiap tonometer. Apabila dengan
beban 5,5 gram (beban standar) terbaca angka 3 atau kurang, perlu diambil
beban 7,5 atau 10 gram. Untuk tiap beban, table menyediakan kolom
tersendiri.
 Tonometer aplanasi
Cara mengukur tekanan intraokular yang lebih canggih dan lebih
dapat dipercaya dan cermat bias dikerjakan dengan Goldman atau dengan
tonometer tentengan Draeger. Pasien duduk di depan lampu celah.

20
Pemeriksaan hanya memerlukan waktu beberapa detik setelah diberi
anestesi. Yang diukur adalah gaya yang diperlukan untuk mamapakan
daerah kornea yang sempit.
Setelah mata ditetesi dengan anestesi dan flouresein, prisma
tonometer aplanasi di taruh pada kornea. Mikrometer disetel untuk
menaikkan tekanan pada mata sehingga gambar sepasang setengah
lingkaran yang simetris berpendar karena flouresein tersebut. Ini
menunjukkan bahwa di semua bagian kornea yang bersinggungan dengan
alat ini sudah papak ( teraplanasi). Dengan melihat melalui mikroskop
lampu celah dan dengan memutar tombol, ujung dalam kedua setengah
lingkaran yang berpendar tersebut diatur agar bertemu yang menunjukkan
besarnya tekanan intraokular. Dengan ini selesailah pemeriksaan tonometer
aplanasi dan hasil pemeriksaan dapat dibaca langsung dari skala mikrometer
dalam mmHg.
 Tonometri Digital
Pemeriksaan ini adalah untuk menentukan tekanan bola mata dengan
cepat yaitu dengan memakai ujung jari pemeriksa tanpa memakai alat
khusus (tonometer). Dengan menekan bola mata dengan jari pemeriksa
diperkirakan besarnya tekanan di dalam bola mata. Pemeriksaan dilakukan
dengan cara sebagai berikut :
 Penderita disuruh melihat ke bawah
 Kedua telunjuk pemeriksa diletakkan pada kulit kelopak tarsus atas
penderita
 Jari-jari lain bersandar pada dahi penderita
 Satu telunjuk mengimbangi tekanan sedang telunjuk lain menekan
bola mata.

Penilaian dilakukan dengan pengalaman sebelumnya yang dapat


menyatakan tekanan mata N+1, N+2, N+3 atau N-1, N-2, N-3 yang
menyatakan tekanan lebih tinggi atau lebih rendah daripada normal. Cara ini
sangat baik pada kelainan mata bila tonometer tidak dapat dipakai atau

21
dinilai seperti pada sikatrik kornea, kornea irregular dan infeksi kornea.
Cara pemeriksaan ini memerlukan pengalaman pemeriksaan karena terdapat
faktor subyektif.
b. Gonioskopi 3,6,8
Pemeriksaan gonioskopi adalah tindakan untuk melihat sudut bilik mata
dengan goniolens. Gonioskopi adalah suatu cara untuk melihat langsung
keadaan patologik sudut bilik mata, juga untuk melihat hal-hal yang terdapat
pada sudut bilik mata seperti benda asing. Dengan gonioskopi dapat ditentukan
klasifikasi glaukoma penderita apakah glaukoma terbuka atau glaukoma sudut
tertutup dan malahan dapat menerangkan penyebab suatu glaukoma sekunder.
c. Oftalmoskopi 3,6
Oftalmoskopi, pemeriksaan ke dalam mata dengan memakai alat yang
dinamakan oftalmoskop. Dengan oftalmoskop dapat dilihat saraf optik di dalam
mata dan akan dapat ditentukan apakah tekanan bola mata telah mengganggu
saraf optik. Saraf optik dapat dilihat secara langsung. Warna serta bentuk dari
mangkok saraf optik pun dapat menggambarkan ada atau tidak ada kerusakan
akibat glaukoma yang sedang diderita.
Kelainan pada pemeriksaan oftalmoskopi dapat dilihat : 8
 Kelainan papil saraf optik
- saraf optik pucat atau atrofi
- saraf optik tergaung
 Kelainan serabut retina, serat yang pucat atau atrofi akan berwarna hijau
 Tanda lainnya seperti perdarahan peripapilar.

d. Pemeriksaan lapang pandang 6


Penting, baik untuk menegakkan diagnosa maupun untuk meneliti
perjalanan penyakitnya, juga bagi menetukan sikap pengobatan selanjutnya.
Harus selalu diteliti keadaan lapang pandangan perifer dan juga sentral. Pada
glaukoma yang masih dini, lapang pandangan perifer belum menunjukkan
kelainan, tetapi lapang pandangan sentral sudah menunjukkan adanya
bermacam-macam skotoma. Jika glaukomanya sudah lanjut, lapang pandangan

22
perifer juga memberikan kelainan berupa penyempitan yang dimulai dari bagian
nasal atas. Yang kemudian akan bersatu dengan kelainan yang ada ditengah
yang dapat menimbulkan tunnel vision, seolah-olah melihat melalui teropong
untuk kemudian menjadi buta.
e. Tes provokasi 6
 Tes minum air
Penderita disuruh berpuasa, tanpa pengobatan selama 24 jam. Kemudian
disuruh minum 1 L air dalam 5 menit. Lalu tekanan intraokular diukur
setiap 15 menit selama 1,5 jam. Kenaikan tensi 8 mmHg atau lebih,
dianggap mengidap glaukoma.
 Pressure Congestive test
Pasang tensimeter pada ketinggian 50-60 mmHg, selama 1 menit.
Kemudian ukur tensi intraokularnya. Kenaikan 9 mmHg, atau lebih
mencurigakan, sedang bila lebih dari 11 mmHg pasti patologis.
 Kombinasi tes air minum dengan pressure congestive test
Setengah jam setelah tes minum air dilakukan pressure congestive test.
Kenaikan 11 mmHg mencurigakan, sedangkan kenaikan 39 mmHg atau
lebih pasti patologis.
 Tes steroid
Diteteskan larutan deksametason 3-4 dd g 1, selama 2 minggu. Kenaikan
tensi intraokular 8 mmHg menunjukkan glaukoma.

2.8 DIAGNOSIS
 Pada anamnesa tidak khas, seperti mata sebelah terasa berat, kepala pening
sebelah, kadang-kadang penglihatan kabur. Pasien tidak mengeluh adanya halo
dan memerlukan kaca mata koreksi untuk presbiopia lebih kuat dibanding
usianya.3
 Kita harus waspada terhadap glaukoma sudut terbuka pada orang-oarang :
berumur 40 tahun atau lebih, penderita diabetes mellitus, pengobatan
kortikosteroid lokal atau sistemik yang lama dan dalam keluarga ada penderita
glaukoma, miopia tinggi.2,3,4,6,8

23
 Pemeriksaan Tonometri bila antara kedua mata, selalu terdapat perbedaan tensi
intraokular 4 mmHg atau lebih, maka itu menunjukkan glaukoma sudut
terbuka.6
 Pemeriksaan lapang pandangan 6
Pada glaukoma yang masih dini, lapang pandangan perifer belum
menunjukkan kelainan, tetapi lapang pandangan sentral sudah menunjukkan
adanya bermacam-macam skotoma. Jika glaukomanya sudah lanjut, lapang
pandangan perifer juga memberikan kelainan berupa penyempitan yang
dimulai dari bagian nasal atas.
 Pemeriksaan oftalmoskopi 6
Pada glaukoma sudut terbuka, didalam saraf optik didapatkan kelainan
degenerasi yang primer, yaitu disebabkan oleh insufisiensi vaskuler.
 Pemeriksaan gonioskopi 6
Pada glaukoma sudut terbuka sudutnya normal. Pada stadium yang lanjut, bila
telah timbul goniosinechiae ( perlengketan pinggir iris pada kornea atau
trabekula ) maka sudut dapat tertutup.
 Tes provokasi 6
 tes minum air kenaikan tensi 8-9 mmHg, mencurigakan, 10 mmHg pasti
patologis
 tes steroid kenaikan 8 mmHg menunjukkan glaukoma
 pressure congestive test kenaikan 9 mmHg atau lebih, mencurigakan .
sedangkan 11 mmHg pasti patologis.

2.9 PENATALAKSANAAN
a. Medikamentosa 6
Harusnya disadari betul, bahwa glaukoma primer merupakan masalah
terapi pengobatan (medical problem). Pemberian pengobatan medikamentosa
harus dilakukan terus-menerus, karena itu sifat obat-obatnya harus mudah
diperoleh dan mempunyai efek sampingnya sekecil-kecilnya. Harus dijelaskan
kepada penderita dan keluarga, bahwa perlu pemeriksaan dan pengobatan
seumur hidup. Obat-obat ini hanya menurunkan tekanan intraokularnya, tetapi

24
tidak menyembuhkan penyakitnya. Minum sebaiknya sedikit-sedikit. Tak ada
bukti bahwa tembakau dan alkohol dapat mempengaruhi glaukoma.
Obat-obat yang dipakai :
 Parasimpatomimetik : miotikum, memperbesar outflow
a. Pilokarpin 2-4%, 3-6 dd 1 tetes sehari
b. Eserin ¼-1/2 %, 3-6 dd 1 tetes sehari
Kalau dapat pemberiannya disesuaikan dengan variasi diurnal,
yaitu diteteskan pada waktu tekanan intraokular menaik. Eserin sebagai
salep mata dapat diberikan malam hari. Efek samping dari obat-obat ini;
meskipun dengan dosis yang dianjurkan hanya sedikit yang diabsorbsi
kedalam sirkulasi sistemik, dapat terjadi mual dan nyeri abdomen. Dengan
dosis yang lebih tinggi dapat menyebabkan : keringat yang berlebihan,
salivasi, tremor, bradikardi, hipotensi.
 Simpatomimetik : mengurangi produksi humor akueus.
Epinefrin 0,5%-2%, 2 dd 1 tetes sehari.
Efek samping : pingsan, menggigil, berkeringat, sakit kepala, hipertensi.

 Beta-blocker (penghambat beta), menghambat produksi humor akueus.


Timolol maleat 0,25-0,5% 1-2 dd tetes, sehari.
Efek samping : hipotensi, bradikardi, sinkop, halusinasi, kambuhnya asma,
payah jantung kongestif. Nadi harus diawasi terus. Pada wanita hamil,
harus dipertimbangkan dulu masak-masak sebelum memberikannya.
Pemberian pada anak belum dapat dipelajari. Obat ini tidak atau hanya
sedikit, menimbulkan perubahan pupil, gangguan visus, gangguan
produksi air mata, hiperemi. Dapat diberikan bersama dengan miotikum.
Ternyata dosis yang lebih tinggi dari 0,5% dua kali sehari satu tetes, tidak
menyebabkan penurunan tekanan intraokular yang lebih lanjut.
 Carbon anhydrase inhibitor (penghambat karbonanhidrase),
menghambat produksi humor akueus.
Asetazolamide 250 mg, 4 dd 1 tablet ( diamox, glaupax).
Pada pemberian obat ini timbul poliuria

25
Efek samping : anoreksi, muntah, mengantuk, trombositopeni,
granulositopeni, kelainan ginjal.
Obat-obat ini biasanya diberikan satu persatu atau kalau perlu
dapat dikombinasi. Kalau tidak berhasil, dapat dinaikkan frekwensi
penetesannya atau prosentase obatnya, ditambah dengan obat tetes yang
lain atau tablet. Monitoring semacam inilah yang mengharuskan penderita
glaukoma sudut terbuka selalu dikelola oleh dokter dan perlu pemeriksaan
yang teratur.
b. Operasi 8
Pada umumnya operasi ditangguhkan selama mungkin dan baru dilakukan bila
:
 tekanan intraokular tak dapat dipertahankan dibawah 22 mmHg
 lapang pandangan terus mengecil
 orang sakit tak dapat dipercaya tentang pemakaian obatnya
 tidak mampu membeli obat
 tak tersedia obat-obat yang diperlukan
Prinsip operasi : fistulasi, membuat jalan baru untuk mengeluarkan humor
akueus, oleh karena jalan yang normal tak dapat dipakai lagi.

Pembedahan pada glaukoma :


1) Bedah filtrasi
Bedah filtrasi dilakukan tanpa perlu pasien dirawat dengan
memberi anestesi lokal kadang-kadang sedikit obat tidur. Dengan
memakai alat sangat halus diangkat sebagian kecil sklera sehingga
terbentuk suatu lubang. Melalui celah sclera yang dibentuk cairan mata
akan keluar sehingga tekanan bola mata berkurang, yang kemudian diserap
di bawah konjungtiva. Pasca bedah pasien harus memakai penutup mata
dan mata yang dibedah tidak boleh kena air. Untuk sementara pasien
pascabedah glaukoma dilarang bekerja berat.

26
2) Trabekulektomi
Pada glaukoma masalahnya adalah terdapatnya hambatan filtrasi
(pengeluaran) cairan mata keluar bola mata yang tertimbun dalam mata
sehingga tekanan bola mata naik. Bedah trabekulektomi merupakan teknik
bedah untuk mengalirkan cairan melalui saluran yang ada. Pada
trabekulektomi ini cairan mata tetap terbentuk normal akan tetapi
pengaliran keluarnya dipercepat atau salurannya diperluas. Bedah
trabekulektomi membuat katup sklera sehingga cairan mata keluar dan
masuk di bawah konjungtiva. Untuk mencegah jaringan parut yang
terbentuk diberikan 5 fluoruracil atau mitomisin. Dapat dibuat lubang
filtrasi yang besar sehingga tekanan bola mata sangat menurun.
Pembedahan ini memakan waktu tidak lebih dari 30 menit. Setelah
pembedahan perlu diamati 4-6 minggu pertama. Untuk melihat keadaan
tekanan mata setelah pembedahan.

3) Bedah filtrasi dengan implan


Pada saat ini dikenal juga operasi dengan menanam bahan
penolong pengaliran (implant urgary). Pada keadaan tertentu adalah tidak
mungkin untuk membuat filtrasi secara umum sehingga perlu dibuatkan
saluran buatan (artificial) yang ditanamkan ke dalam mata untuk drainase
cairan keluar. Beberapa ahli berusaha membuat alat yang dapat
mempercepat keluarnya cairan dari bilik mata depan.
Upaya di dalam membuat ini adalah :
 Dapat mengeluarkan cairan mata yang berlebihan.
 Keluarnya tidak hanya dalam jumlah dan persentase.
 Mengatur tekanan maksimum, minimum optimal, seperti hidrostat.
 Tahan terhadap kemungkinan penutupan
 Minimal terjadinya hipotensi
 Desain yang menghindarkan migrasi dan infeksi.
 Bersifat atraumatik

27
4) Siklodestruksi
Tindakan ini adalah mengurangkan produksi cairan mata oleh
badan siliar yang masuk ke dalam bola mata. Diketahui bahwa cairan mata
ini dikeluarkan terutama oleh pembuluh darah di badan siliar dalam bola
mata. Pada siklodestruksi dilakukan pengrusakan sebagian badan siliar
sehingga pembentukan cairan mata berkurang. Tindakan ini jarang
dilakukan karena biasanya tindakan bedah utama adalah bedah filtrasi.

2.10 PROGNOSIS 5
Meskipun tidak ada obat yang dapat menyembuhkan glaukoma, pada
kebanyakan kasus glaukoma dapat dikendalikan. Glaukoma dapat dirawat dengan
obat tetes mata, tablet, operasi laser atau operasi mata. Menurunkan tekanan pada
mata dapat mencegah kerusakan penglihatan lebih lanjut. Oleh karena itu semakin
dini deteksi glaukoma maka akan semakin besar tingkat kesuksesan pencegahan
kerusakan mata.

28
KESIMPULAN

Glaukoma adalah suatu penyakit dimana gambaran klinik yang lengkap ditandai
oleh peninggian tekanan intraokular, penggaungan dan degenerasi papil saraf optik serta
dapat menimbulkan skotoma ( kehilangn lapangan pandang). Glaukoma sudut terbuka
adalah glaukoma yang penyebabnya tidak ditemukan dan ditandai dengan sudut bilik
mata depan yang terbuka. Glaukoma sudut terbuka ini diagnosisnya dibuat bila
ditemukan glaukoma pada kedua mata pada pemeriksaan pertama, tanpa ditemukan
kelainan yang dapat merupakan penyebab.
Glaukoma disebut sebagai “ pencuri penglihatan “ karena berkembang tanpa
ditandai dengan gejala yang nyata. Oleh karena itu, separuh dari penderita glaukoma
tidak menyadari bahwa mereka menderita penyakit tersebut. Biasanya nanti diketahui
disaat penyakitnya sudah lanjut dan telah kehilangan penglihatan. Glaukoma sudut
terbuka perlu diwaspadai pada orang : usia 40 tahun atau lebih, penderita diabetes
mellitus, dalam keluarga ada penderita glaukoma, miopia tinggi.
Pemeriksaan glaukoma yaitu : pemeriksaan tekanan bola mata ( tonometri
Schiotz, tonometri aplanasi, tonometri digital ), gonioskopi, oftalmoskopi, pemeriksaan
lapang pandangan, tes provokasi. Penatalaksanaan glaukoma dilakukan dengan 2 cara
yaitu : medikamentosa dan operatif.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Vaughan, D.G. Asbury, T. Riodan-Eva, P. Glaukoma. dalam : Oftalmologi


Umum, ed. Suyono Joko, edisi 14, Jakarta, Widya Medika, 2000, hal : 220-232
2. Yulia, glaucoma, diunduh dari http://fkuii.org/tiki-index.php?=Glaukoma2,
dipublikasikan 3 Desember 2006.
3. Ilyas Sidartha, dkk. Glaukoma. dalam: Ilmu Penyakit Mata, edisi 3, Jakarta,Balai
Penerbit FKUI, 2002, hal 212-217.
4. Anonim, Glaukoma, diunduh dari http://www.medicastore.com/images/glaucoma.
jpg&imgreful , dipublikasikan tahun 2004.
5. Anonim, Glaukoma, diunduh dari Error! Hyperlink reference not valid. ,
dipublikasikan Tahun 2006.
6. Wijaya Nana. Glaukoma. dalam : Ilmu Penyakit Mata, ed. Wijaya Nana, cet.6,
Jakarta, Abadi Tegal, 1993, hal : 219-232.
7. Anonim, Macam-Macam Penyakit, diunduh dari
http://www.pfizerpeduli.com/pfizer , dipublikasikan Tahun 2007.
8. Ilyas, Sidarta, Glaukoma. edisi 3, Jakarta, Sagung Seto, 2007, hal 57-60, 121-139.

30

Anda mungkin juga menyukai