Anda di halaman 1dari 1

Dalam dinamika hubungan pemimpin dan rakyat tidak lepas dari istilah hubungan negara

dan warga negara, atau pemerintah dengan masyarakat. Hubungan pemimpin dan rakyat
adalah hubungan yang terjadi antara rakyat dengan pemerintah yang melakukan berbagai
peran satu terhadap yang lain, baik timbal balik maupun searah, seimbang maupun tidak.

Dalam menjalin hubungan tersebut rakyat Indonesia diwakili oleh sebuah lembaga
legislatif negara yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pada masa penjajahan Belanda,
terdapat lembaga semacam parlemen (lembaga legislatif) bentukan Penjajah Belanda yang
dinamakan Volksraad. Awalnya lembaga ini hanya memiliki kewenangan sebagai penasehat.
Baru pada tahun 1927, Volksraad memiliki kewenangan ko-legislatif bersama Gubernur-
Jendral yang ditunjuk oleh Belanda.

Pada awal kemerdekaan dibentuklah Komite Nasional Pusat (KNIP), Komite Nasional
ini diakui sebagai cikal bakal badan Legislatif di Indonesia.

Pada masa Republik Indonesia Serikat Badan legislatif terbagi menjadi dua majelis,
yaitu Senat yang beranggotakan 32 orang, dan Dewan Perwakilan Rakyat yang
beranggotakan 146 orang (di mana 49 orang adalah perwakilan Republik Indonesia-
Yogyakarta).

Masa Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (1950–1956). Pada masa ini jumlah
anggota DPRS adalah 236 orang, yaitu 148 anggota dari DPR-RIS, 29 anggota dari Senat
RIS, 46 anggota dari Badan Pekerja Komite Nasional Pusat, dan 13 anggota dari DPA RI
Yogyakarta.

Badan legislatif ini terus berkembang hingga reformasi sampai sekarang. Namun
dalam menjalankan tugasnya, kerap kali DPR mendapatkan pandangan buruk dari masyrakat.
Hal ini mendandakan adanya ketidakharmonisan masyrakat dan pemerintah(pemimpin).
Buruknya kinerja DPR pada era reformasi membuat rakyat sangat tidak puas terhadap para
anggota legislatif. Ketidakpuasan rakyat tersebut dapat dilihat dari banyaknya aksi
demonstrasi yang menentang kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak dikritisi oleh DPR.

Anda mungkin juga menyukai