Anda di halaman 1dari 20

diskriminasi pendidikan

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manusia pada hakikatnya diciptakan oleh Tuhan sebagai makhluk terhormat dan mulia. Oleh karena itu,
perlindungan dan penghormatan terhadap manusia merupakan tuntutan yang wajib dilaksanakan oleh
seluruh umat manusia terhadap sesamanya tanpa terkecuali. Sejak dilahirkan manusia telah memiliki
hak asasi. Hak asasi tersebut merupakan hak dasar dari Tuhan yang wajib dihormati, dijunjung tinggi,
dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia.

Indonesia merupakan negara yang paling banyak memiliki ragam budaya dibandingkan dengan negara
lainnya . Tidak hanya itu, di Indonesia juga terdapat perbedaan atas ras, suku, agama, dan adat-istiadat
yang merupakan ciri khas daerah masing-masing. Namun demikian, perbedaan itulah yang
mengantarkan Indonesia pada persatuan dan kesatuan.

Dengan adanya UUD 1945 sebagai dasar negara, segala hal mengenai perbedaan itu terangkum
didalamnya dan menjadi tolok ukur bagi kesejahteraan warga negara sehingga diharapkan tidak ada
batas antara kelompok satu dengan yang lainnya dan tidak ada yang merasa di anak-tirikan oleh
pemerintah atau merasa menjadi kaum minoritas. Hal ini tercantum dalam UUD 1945 pasal 28 C ayat 1
yang berbunyi, “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya,
berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan
budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”.

Dasar negara ini menekankan tiap orang berhak untuk mendapatkan segala hal yang menjadi tumpuan,
penunjang ataupun alat dalam meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraannya tanpa harus
merugikan orang lain dan lingkungannya. Hal yang menjadi penentu tingkat kualitas kehidupan dan
kesejahteraan salah satunya adalah tingkat pendidikan. Melalui pendidikan seseorang dapat
mendapatkan ilmu pengetahuan dan segala hal yang dapat membantunya meningkatkan kualitas
hidupnya. Memperoleh pendidikan yang layak merupakan hak tiap warga negara dan negara
berkewajiban memberikan secara merata dan seimbang kepada tiap warganya tanpa terkecuali.

Namun pada kenyataannya, pemerintah belum memberikan pendidikan yang layak dan berkualitas
kepada setiap warganya. Di daerah perkotaan, pendidikan yang berkualitas semakin sulit dijangkau oleh
masyarakat menengah ke bawah. Sedangkan di daerah pelosok, permasalahan yang terjadi sering kali
kurangnya tenaga pendidikan dan fasilitas pendidikan. Hal ini merupakan contoh bentuk dari
pelanggaran Hak Asasi Manusia terhadap kaum minoritas atau terjadinya diskriminasi terhadap
masyarakat menengah kebawah dalam bidang pendidikan.
Dengan melihat adanya kasus diskriminasi yang banyak terjadi di Indonesia akhir-akhir ini,
maka saya akan membahas lebih lanjut masalah diskriminasi pendidikan terhadap kaum
minoritas di Indonesia dalam makalah ini.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana bentuk diskriminasi pendidikan yang dialami kaum minoritas?

1.3 Tujuan

Untuk mengetahui bentuk diskriminasi pendidikan yang dialami kaum minoritas atau masyarakat
menengah ke bawah

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Pengertian HAM

Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak dasar atau hak pokok manusia yang dibawa sejak lahir sebagai
anugerah Tuhan Yang Maha Esa, bukan pemberian manusia atau penguasa. Hak ini sifatnya sangat
mendasar bagi hidup dan kehidupan manusia yang bersifat kodrati yakni ia tidak bias terlepas dari dan
dalam kehidupan manusia.

Dalam undang-undang tentang hak asasi manusia pasal 1 dinyatakan : “Hak asasi manusia adalah
seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang
Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh
negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
mertabat manusia”.

Menurut Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 atau yang dikenal dengan sebagai piagam hak asasi
manusia Indonesia, hak asasi manusia adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia kodrati,
universal, dan abadi sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, meliputi hak untuk hidup, hak
berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak keadilan, hak kemerdekaan, hak berkomunikasi, hak
keamanan, dan hak kesejahteraan, yang oleh karena itu tidak boleh diabaikan atau dirampas oleh
siapapun. Selanjutnya, manusia hak dan tanggung jawab yang timbul sebagai akibat perkembangan dan
kehidupannya dalam masyarakat.

2.2 Pengertian HAM menurut beberapa tokoh:

· Menurut John Locke (two treaties on civil government) dalam Budiyanto (2006 : 73)

Hak asasi manusia adalah hak yang di bawa sejak lahir yang secara kodrati melekat pada setiap manusia
dan tidak dapat di ganggu gugat (bersifat mutlak).

· Menurut Koentjoro poerhapranoto (1976) dalam Budiyanto ( 2006 :73 )

Hak asasi manusia adalah hak yang bersifat asasi artinya hak – hak yang dimiliki manusia menurut
kodratnya yang tidak dapat dipisahkan dari hakikatnya sehingga sifatnya suci.

· Menurut Jan Materson dari komisi HAM PBB

Hak asasi manusia adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpa hak-hak tersebut
manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia.

2.3 Macam-macam HAM

Manusia selalu memiliki hak-hak dasar (basic rights) antara lain :

1. Hak hidup

2. Hak untuk hidup tanpa ada perasaan takut dilikai atau dibunuh oleh orang lain

3. Hak kebebasan

4. Hak untuk bebas, hak untuk memiliki agama/kepercayaan, hak untuk memperoleh informasi, hak
menyatakan pendapat, hak berserikat dan sebagainya

5. Hak kepemilikan

6. Hak untuk memiliki sesuatu, seperti pakaian, rumah, mobil, perusahaan, dan sebagainya

Sedangkan menurut deklarasi HAM PBB secara singkat dijelaskan seperangkat hak-hak dasar manusia
yang sangat sarat dengan hak-hak yuridis, seperti hak untuk hidup, tidak menjadi budak, tidak disiksa
dan ditahan, dipersamakan dimuka hokum (equality before the law), mendapatkan praduga tidak
bersalah dan sebagainya. Hak-hak lain juga dimuat dalam deklarasi tersebut seperti hak-hak
nasionalitas, pemilikan, pemikiran, agama, pendidikan, pekerjaan, dan kehidupan berbudaya.
2.4 Pengertian Diskriminasi

Secara formal, pengertian diskriminasi diatur di dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia pasal 1 ayat (3). Undang-undang tersebut menyatakan, ‘Diskriminasi adalah setiap
pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada
pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status
ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau
penghapusan pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam
kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan
aspek kehidupan lainnya’.

Menurut Theodorson & Theodorson, (1979: 115-116): Diskriminasi adalah perlakuan yang tidak
seimbang terhadap perorangan, atau kelompok, berdasarkan sesuatu, biasanya bersifat kategorikal,
atau atribut-atribut khas, seperti berdasarkan ras, kesukubangsaan, agama, atau keanggotaan kelas-
kelas sosial. Istilah tersebut biasanya untuk melukiskan suatu tindakan dari pihak mayoritas yang
dominan dalam hubungannya dengan minoritas yang lemah, sehingga dapat dikatakan bahwa perilaku
mereka itu bersifat tidak bermoral dan tidak demokrasi. Dalam arti tersebut, diskriminasi adalah bersifat
aktif atau aspek yang dapat terlihat (overt) dari prasangka yang bersifat negatif [negative prejudice]
terhadap seorang individu atau suatu kelompok.

Dalam rangka ini dapat juga kita kemukakan definisi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang
berbunyi demikian: “Diskrimasi mencakup perilaku apa saja, yang berdasarkan perbedaan yang dibuat
berdasarkan alamiah atau pengkategorian masyarakat, yang tidak ada hubungannya dengan
kemampuan individu atau jasanya”.

Diskriminasi merujuk kepada pelayanan yang tidak adil terhadap individu tertentu, di mana layanan ini
dibuat berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh individu tersebut. Diskriminasi merupakan suatu
kejadian yang biasa dijumpai dalam masyarakat manusia, ini disebabkan karena kecenderungan
manusian untuk membeda-bedakan yang lain.

Ketika seseorang diperlakukan secara tidak adil karena karakteristik suku, antargolongan, kelamin, ras,
agama dan kepercayaan, aliran politik, kondisi fisik atau karateristik lain yang diduga merupakan dasar
dari tindakan diskriminasi
Bentuk Diskriminasi ada 2, yaitu:

1. Diskriminasi langsung, terjadi saat hukum, peraturan atau kebijakan jelas-jelas menyebutkan
karakteristik tertentu, seperti jenis kelamin, ras, dan sebagainya, dan menghambat adanya peluang yang
sama.

2. Diskriminasi tidak langsung, terjadi saat peraturan yang bersifat netral menjadi diskriminatif saat
diterapkan di lapangan.
2.5 Pengertian Kelompok Minoritas

Menurut Theodorson & Theodorson ( 1979: 258-259), Kelompok minoritas [minority groups] adalah
kelompok-kelompok yang diakui berdasarkan perbedaan ras, agama, atau sukubangsa, yang mengalami
kerugian sebagai akibat prasangka [prejudice] atau diskriminasi, istilah ini pada umumnya dipergunakan
bukanlah sebuah istilah teknis, dan malahan, ia sering dipergunakan untuk menunjukan pada kategori
perorangan, dari pada kelompok-kelompok. Dan seringkali juga kepada kelompok mayoritas daripada
kelompok minoritas. Sebagai contoh, meskipun kaum wanita bukan tergolong suatu kelompok (lebih
tepat kategori masyarakat), atau pun suatu minoritas, yang oleh beberapa penulis sering digolongkan
sebagai kelompok minoritas, karena biasanya dalam masyarakat, yang berorientasi pada pria/male
chauvinism, sejak jaman Nabi Adam telah didiskriminasikan sebaliknya, sekelompok orang, yang
termasuk telah memperoleh hak-hak istimewa [privileged] atau tidak didiskriminasikan, tetapi tergolong
minoritas secara kuantitatif, tidak dapat digolongkan ke dalam kelompok minoritas. Oleh karenannya
istilah minoritas tidak termasuk semua kelompok, yang berjumlah kecil, namun dominan dalam politik.
Akibatnya istilah kelompok minoritas hanya ditujukankepada mereka, yang oleh sebagian besar
penduduk masyarakat dapat di jadikan obyek prasangka atau diskriminasi.

2.6 Dasar Hukum Mengenai Pendidikan

Pendidikan merupakan amanat Pasal 31 ayat 1 Perubahaan Keempat Undang-undang Dasar 1945, yang
menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Penerapan pasal ini ditindak
lanjuti dalam Undang-undang No.20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 5 Undang-
undang ini menyatakan bahwa: “Setiap warga negara, laki-laki, dan perempuan berhak mendapatkan
pendidikan bermutu”. Pendidikan bermutu disinilah tentunya termasuk sekolah percontohan yang saat
ini tengah dikembangkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Penerapan Pasal ini bersifat
anti diskriminatif. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 4, Bab III, Undang-undang No.20 Tahun 2003,
Tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang menyatakan bahwa: “Pendidikan diselenggarakan secara
demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia”.
Makna dari pasal ini semua warga mendapatkan kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan
tanpa ada persyaratan-persyaratan khusus seperti harus memiliki kesempurnaan fisik.

Pasal ini diperkuat kembali oleh Pasal 11 ayat 1 Undang-undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, yang menyatakan bahwa : (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib
memberikan layanan dan kemudahaan serta menjamin terselenggarannya pendidikan yang bermutu
tanpa diskriminasi, dan (2) Pemerintah dan Pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dan guna
terselenggarakannya pendidikan bagi setiap warga yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun.

BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Kasus Diskriminasi Pendidikan

Pada masa demokrasi sekarang ini, banyak sekali pelanggaran-pelanggaran mengenai HAM yang
semakin kompleks, baik pelanggaran HAM berat maupun pelanggaran HAM ringan. Misalnya pada kasus
diskriminasi pendidikan yang dialami anak di Sumut. Berdasarkan data dari Pusat Pendidikan dan
Informasi Hak Anak (KKSP), sepanjang tahun 2011 terdapat 15 kasus diskriminasi terhadap anak di
bidang pendidikan. Kasus-kasus diskriminasi dalam bidang pendidikan tersebut terutama berkenaan
dengan penerimaan siswa baru maupun akses untuk bersekolah. Di Kota Padang Sidempuan misalnya,
ada anak yang ditolak mendaftar di sekolah menengah kejuruan karena cacat kaki. Pihak sekolah
menyatakan penolakan tersebut berdasarkan pada SK Walikota. Kondisi ini merupakan pelanggaran
pada hak anak dalam pendidikan. Semestinya UUD 1945 dan Konvensi Hak Anak Persatuan Bangsa-
Bangsa (PBB), dan juga UU Sistem Pendidikan Nasional menjamin tidak ada diskriminasi dalam
pendidikan.

Ironisnya, dalam kasus Sumut diskriminasi dalam bidang pendidikan tidak saja terjadi terhadap anak-
anak cacat, tapi juga terhadap orang miskin yang tidak bisa mengakses pendidikan karena mahalnya
biaya. Terlebih untuk mengakses sekolah-sekolah yang mengubah statusnya menjadi Rintisan Sekolah
Berstatus Internasional (RSBI).

Tidak hanya itu, kasus diskriminasi dalam hal pendidikan juga banyak sekali ditemukan di Indonesia.
Sebut saja Immi, gadis kecil yang mendaftar ke SD Don Bosco 2, Pulomas, Jakarta Timur pada bulan
Februari lalu. Sebelumnya diberitakan, Immi ditolak masuk sekolah karena ayahnya yang seorang
penulis terinfeksi HIV/AIDS. Immi tidak terinfeksi HIV seperti ayahnya, namun ia tetap menerima
diskriminasi karena menjadi anak seorang HIV. Immi yang baru saja diterima di SD Don Bosco Kelapa
Gading, tiba-tiba saja ditolak dan penerimaannya dibatalkan hanya melalui pesan singkat (SMS). Pihak
sekolah beralasan membatalkan keputusan menerima Immi karena beberapa calon orangtua siswa
menolak keberadaan Immi.

Kemudian kasus diskriminasi yang terjadi di Indonesia bagian Timur, dilakukan oleh pemerintah sendiri.
Misalnya, dalam ujian nasional setiap tahunnya di Indonesia bagian Timur mendominasi tingkat
kelulusan yang rendah dibanding Indonesia bagian Barat. Hal ini dikarenakan sangat minimnya sarana
dan prasarana yang dibutuhkan dalam kegiatan proses belajar mengajar untuk para siswa di tempat
tersebut.

Saat ini, banyak dari kita yang tinggal di kota,sangat di perhatikan sekali dalam bidang pendidikan oleh
pemerintah pusat dan daerah. Tapi coba kita bayangkan sejenak, bagaimana dengan kondisi proses
belajar mengajar di Indonesia bagian Timur yang sangat dianaktirikan oleh pemerintah kita. Sebenarnya,
potensi anak bangsa Indonesia sangat besar asal mereka di asah secara baik sehingga kemampuan yang
ada pada mereka bisa terus dikembangkan dan terarah.
3.2 Analisa Kasus

Manusia diciptakan oleh Tuhan lebih sempurna dari makhluk-makhluk lainnya. Namun demikian,
bukanlah menjadi masalah jika ada beberapa diantara mereka yang dilahirkan dengan kondisi cacat atau
lahir secara premature. Di Indonesia, baik orang yang dilahirkan secara normal maupun cacat memiliki
persamaan hak di mata hukum. Hak-hak tersebut tercantum dalam Undang-Undang No.39 Tahun 1999,
salah satunya adalah hak untuk memperoleh keadilan.
Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan
permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta
diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang
menjamin pemeriksaan secara obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan adil
dan benar. Dalam UU HAM itu juga disebutkan mengenai hak anak, yaitu setiap anak berhak atas
perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat dan negara serta memperoleh pendidikan,
pengajaran dalam rangka pengembangan diri dan tidak dirampas kebebasannya secara melawan
hukum.

Pada setiap tahun ajaran baru, dapat kita saksikan pemandangan menarik; penerimaan siswa baru dari
tingkat TK-SLTA, juga mereka yang berebut kursi di bangku perguruan tinggi. Bagi kalangan menengah
ke atas, tidak terlalu menjadi masalah bagaimana mereka bisa melanjutkan pendidikan. Dengan NEM
yang mereka miliki serta dana yang tersedia, mereka dengan mudah dapat meraih kursi di sekolah yang
diidamkan.

Jauh sebelum ujian, mereka mempersiapkan diri dengan les privat, bimbingan tes dan berbagai kursus
untuk meraih NEM tinggi. Sementara anak-anak yang berasal dari keluarga miskin, mereka pasti
mengalami kesulitan. Berbekal NEM yang rendah dan dana serba terbatas, praktis mereka tidak
mempunyai pilihan. Bahkan, sekalipun NEM memadai untuk melanjutkan ke sekolah bermutu, mereka
tidak akan pernah bisa masuk dengan persyaratan yang rumit serta biaya yang mahal.

Kita semua pasti merasakan betapa akses ke dunia pendidikan tidak diperoleh semua kalangan. Orang
kecil terutama, selalu termarginalisasi oleh perkasanya pasar dalam memperoleh kesempatan
pendidikan. Mereka tidak saja sukar untuk menaikkan taraf hidup dengan memperoleh pendidikan yang
layak, mereka juga dengan mudah diperlakukan tidak adil oleh mereka yang menguasai pangsa pasar.
Sekolah-sekolah zaman sekarang lebih mirip industri yang kapitalistis ketimbang sebagai pengemban
misi sosial kemanusiaan dalam mencerdaskan bangsa, untuk sekolah. Fungsi sekolah yang di masa lalu
mengemban misi agung sebagai pencerdas kehidupan bangsa, di masa kini tidak ubahnya lahan bisnis
yang subur.

Diskriminasi pendidikan yang terjadi di negeri ini tidak hanya disebabkan oleh penyimpangan dalam
pelaksanaan kebijakan, tetapi juga disebabkan karena kebijakan pemerintah yang tidak memihak
kepada rakyat kecil. Lebih lanjut, praktik diskriminasi pendidikan dapat dilihat dari beberapa aspek
berikut ini.
Pertama, diskriminasi pembangunan pendidikan antara pedesaan dan perkotaan. Rendahnya fasilitas
pendidikan di pedesaan sudah menjadi fakta yang tak terbantahkan lagi. Anak-anak yang sekolah di
pedesaan harus ikhlas dengan gedung dan fasilitas yang jauh dari harapan dan tak memenuhi standar
nasional pendidikan.

Jangankan untuk menikmati fasilitas pendidikan modern seperti komputer dan internet, untuk belajar
saja terkadang mereka harus kepanasan terkena terik matahari bahkan harus libur tatkala hujan
mengguyur. Hal ini berbanding terbalik dengan fasilitas belajar di perkotaan yang serba lengkap dan
serba mewah.

Kedua, hadirnya program Sekolah Standar Nasional (SSN) dan Sekolah Berstandar Internasioanal (SBI)
dengan fasilitas lengkap, namun dengan biaya yang cukup tinggi sehingga tidak mampu dijangkau oleh
semua masyarakat. Pendidikan berstandar nasional dan internasional seharusnya diisi oleh mereka yang
memiliki prestasi cemerlang.
Namun karena biaya yang tak terjangkau, banyak anak berprestasi dari keluarga kurang mampu tak
dapat menikmati sekolah bergengsi tersebut. Maka tak heran jika sekolah bergengsi yang diprogramkan
pemerintah belum mampu menghasilkan out put yang cerdas dan handal sesuai dengan namanya
sekolah berstandar internasional.

Ketiga, diskriminasi antara pendidikan agama dan umum. Pendidikan agama baik madrasah maupun
pesantren merupakan bagian integral dari pendidikan nasional yang memiliki tujuan yang sama untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa. Tetapi sayangnya madrasah dan pondok pesantren terkesan
dianaktirikan. Bahkan di beberapa daerah di kabupaten tidak memiliki madrasah tempat anak negeri ini
mendalami ajaran agamanya sebagai wadah untuk membina akhlak dan budi pekerti mulia.

Keempat, pendidikan di Indonesia masih tercemar oleh virus KKN dan masih bersifat pragmatis,
sehingga pendidikan yang layak hanya dapat dinikmati oleh masyarakat yang memiliki segudang materi
dan sederet keluarga yang sedang berkuasa. Berdasarkan angka partisipasi murni nasional masih banyak
anak negeri ini yang belum dapat menikmati pendidikan. Angka partisipasi murni untuk tingkat SD sudah
cukup tinggi dengan angka 94,06 persen untuk laki-laki dan 93,91 persen untuk perempuan.

Namun untuk tingkat SLTP hanya 66,36 persen untuk laki-laki dan 67,62 persen, bahkan yang lebih
memprihatinkan adalah untuk tingkat SLTA hanya 44,98 persen untuk laki-laki dan 44,51 persen untuk
perempuan. Ini berarti lebih dari 50 persen anak negeri ini belum dapat mengenyam pendidikan tingkat
atas/SLTA apalagi untuk mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Semakin tinggi tingkat pendidikan,
semakin banyak anak yang tak dapat menikmatinya.
Kelima, praktik diskriminasi pendidikan juga terjadi dalam proses pembelajaran. Pembelajaran selalu
berorientasi pada aspek kognitif saja, sementara aspek afektif dan psikomotorik selalu
diabaikan. Pelaksanaan evaluasi pembelajaran hanya untuk menguji kecerdasan kognitif belaka,
sehingga siswa hanya berusaha mengasah kemampuan kognitifnya saja dan mengabaikan kecerdasan
lainnya. Maka tak heran kalau di negeri ini banyak generasi yang pintar secara kognitif tapi tak bermoral.
Banyak anak negeri yang pandai bicara tapi tak mampu berbuat. Diskriminasi pendidikan yang terjadi di
semua aspek dan tingkatan akan memberikan dampak negatif terhadap kemajuan pendidikan nasional
dan akan memperburuk citra pendidikan di mata dunia.

Pendidikan yang tidak merata juga menyebabkan tidak meratanya akses untuk menikmati kue
pembangunan, informasi dan tegasnya reformasi menuju demokratisasi tidak segera terwujud. Indikasi
ke arah itu amat jelas. Lambannya reformasi juga disebabkan oleh minimnya orang terdidik yang
mampu menjadi penggerak.

Masalah diskriminasi pendidikan merupakan cerita lama yang kurang diperhatikan oleh kita sebagai
sesama orang Indonesia. Karena permasalahan ini merupakan kunci utama dari kualitas dan kuantitas
bangsa Indonesia kedepan, untuk bersaing didunia Internasional. Banyak hal yang dilakukan pemerintah
di bidang pendidikan, terutama masalah diskriminasi pendidikan. Pemerintah mengeluarkan ketetapan-
ketetapan untuk melindungi warga negaranya terhadap tindak diskriminasi agar tidak terjadi
marginalisasi antara kelompok mayoritas dan kelompok yang dianggap minoritas.

Namun pada kenyataannya, segala ketetapan yang dibentuk oleh pemerintah tidak dijalankan
sebagaimana mestinya. Masih ada masalah diskriminasi yang terjadi di bagian Indonesia, baik di daerah
terpencil maupun di kota-kota besar seperti di Jakarta. Hal ini dikarenakan kurangnya pengawasan dan
perhatian khusus dari pihak yang berwenang, sehingga oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab
menjadi bebas melakukan pelanggaran-pelanggaran yang menentang HAM, baik secara sembunyi-
sembunyi maupun secara terang-terangan.

Sungguh sangat disayangkan, adanya iklan ‘Ayo Sekolah’ di televisi yang mendorong anak-anak
bersekolah, tetapi begitu tiba di sekolah ditolak mentah-mentah karena tidak ada biaya atau berbagai
alasan yang tidak bisa dibenarkan dalam segi hukum. Padahal, Undang-Undang Dasar Negara kita
menggariskan semua warga negara berhak memperoleh pendidikan yang layak tanpa terkecuali.

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Diskriminasi adalah perlakuan yang tidak seimbang terhadap perorangan, atau kelompok,
berdasarkan sesuatu, biasanya bersifat kategorikal, atau atribut-atribut khas, seperti berdasarkan ras,
kesukubangsaan, agama, atau keanggotaan kelas-kelas sosial.

Kelompok minoritas [minority groups] adalah kelompok-kelompok yang diakui berdasarkan


perbedaan ras, agama, atau sukubangsa, yang mengalami kerugian sebagai akibat prasangka [prejudice]
atau diskriminasi.
Banyak kasus diskriminasi pendidikan yang terjadi di negeri kita ini, kasus ini terjadi pada anak cacat
yang ditolak untuk bersekolah. Tidak hanya itu, kasus diskriminasi pendidikan juga dialami oleh orang
miskin yang tidak bisa mengakses pendidikan karena mahalnya biaya.

Kasus lain misalnya, seorang bocah di Jakarta menerima diskriminasi karena menjadi anak seorang
HIV. Dia ditolak oleh sekolah karena telah jujur bahwa ayahnya positif terkena HIV/AIDS.

Kasus ini sungguh sangat disayangkan, karena ketetapan yang dibuat oleh pemerintah sepertinya
dibuat untuk diselewengkan atau dilanggar. Ini berarti pemerintah gagal melakukan tugasnya untuk
melindungi serta menyejahterakan warga negaranya.

4.2 Saran

Mewujudkan pendidikan untuk semua tanpa diskriminasi bukanlah merupakan hal yang mudah,
namun bukan pula mustahil untuk diwujudkan jika diikuti dengan niat baik dan political will pemerintah
untuk memajukan bangsa ini. Sebab kemajuan hanya akan menghampiri bangsa yang punya perhatian
tinggi terhadap pendidikan.

Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi problematika diskriminasi pendidikan.

 Pertama, pemerintah harus melibatkan peran serta masyarakat dalam pembangunan


pendidikan melalui program link and match.

 Kedua, memberikan beasiswa kepada siswa berprestasi yang berasal dari keluarga kurang
mampu. Sehingga setiap siswa memiliki kesempatan yang sama untuk sekolah bahkan bisa
melanjutkan ke perguruan tinggi.

 Ketiga, pemerintah harus menata ulang kebijakan proses Penerimaan Siswa Baru (PSB) bagi
sekolah dasar dan menengah maupun Seleksi Masuk Nasional Pergruan Tinggi Negeri
(SMNPTN), serta menindak tegas lembaga pendidikan yang melakukan praktik KKN dalam
penerimaan siswa/mahasiswa baru. Salah satu penyebab kegagalan dan keengganan siswa
untuk melanjutkan pendidikan lebih tinggi adalah karena berbelitnya prosedur penerimaan
siswa/mahasiswa baru ditambah lagi dengan praktik KKN yang selalu menghiasinya, sehingga
peluang anak kurang mampu dan tak punya keluarga pejabat semakin kecil.

 Keempat, untuk mengatasi diskriminasi pendidikan dalam proses pembelajaran, pemerintah


harus merumuskan sistem evaluasi pembelajaran yang integral dan universal. Sehingga proses
pembelajaran berorientasi pada semua aspek baik kognitif, afektif maupun psikomotor. Dengan
demikian pendidikan akan akan menghasilkan lulusan yang cerdas secara kognitif, berakhlak
mulia dan mampu berkarya. Kita menunggu kebijakan pemerintah dan partisipasi masyarakat
demi terwujudnya pendidikan untuk semua.
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi hingga saat ini telah mengantarkan umat
manusia ke era kompetisi global di berbagai bidang kehidupan. Situasi demikian menuntut kita agar
segera berbenah diri dan sekaligus menyusun langkah nyata guna menyongsong masa depan. Langkah
utama yang harus dipikirkan dan direalisasikan adalah bagaimana kita menyiapkan sumber daya
manusia yang berkarakter kuat, kokoh, tahan uji serta memiliki kemampuan yang handal di bidangnya.

Upaya tersebut harus ditempuh dengan merealisasikan pendidikan yang berorientasi pada bagaimana
peserta didik mampu berkreasi memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Oleh
karena itu, paradigma pendidikan yang mengedepankan peningkatan daya nalar, kreativitas serta
berpikir kritis harus diaplikasikan dalam setiap langkah pengembangan ke depan.

Salah satu arah kebijakan program pembangunan pendidikan nasional dalam bidang pendidikan adalah
mengembangkan kualitas sumber daya manusia sedini mungkin secara terarah, terpadu dan
menyeluruh melalui berbagai usaha proaktif dan reaktif oleh seluruh komponen bangsa agar generasi
muda dapat berkembang secara optimal.

Lalu di buat lah program RSBI , RSBI adalah suatu program pemerintah yang dibuat untuk meningkat kan
dari pada mutu pendidikan di Indonesia yang mana embekali anak didik dengan dasar – dasar IPTEK,
pengusaan informasi, rencana hidup jangka panjang, pengusaan bahasa internasional, penguasaan
teknolgi informasi secara benar, dan memiliki kemampuan berkomunisi yang efektif.Serta Memenuhi
akan kompetensi siswa dalam persaingan secara global.

Dalam penyelenggaraan nya terdapat banyak kendala dan menimbulkan diskriminasi terhadap sekolah
reguler baik dalam bentuk fasilitas ataupun dana yang di berikan oleh pemerintah di mana dana lebih
banyak untuk sekolah RSBI

1.2 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan :


a.Menjelaskan tentang RSBI
b.Menjelaskan perlakuan antara RSBI dan Sekolah Reguler
c.Alasan RSBI di hapuskan
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pendidikan Di Indonesia

Pendidikan di Indonesia adalah seluruh pendidikan yang diselenggarakan di Indonesia, baik itu secara
terstruktur maupun tidak terstruktur. Secara terstruktur, pendidikan di Indonesia menjadi tanggung
jawab Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia(Kemdikbud), dahulu bernama
Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia (Depdiknas). Di Indonesia, semua penduduk wajib
mengikuti program wajib belajar pendidikan dasar selama sembilan tahun, enam tahun di sekolah
dasar/madrasah ibtidaiyah dan tiga tahun di sekolah menengah pertama/madrasah tsanawiyah. Saat ini,
pendidikan di Indonesia diatur melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional.Pendidikan di Indonesia terbagi ke dalam tiga jalur utama, yaitu formal, nonformal,
dan informal. Pendidikan juga dibagi ke dalam empat jenjang, yaitu anak usia dini, dasar, menengah, dan
tinggi.

2.2 Pengertian Sekolah SBI dan RSBI

1.Pengertian Sekolah Bertaraf Internasional

Seperti dijelaskan dalam kebijakan Depdiknas Tahun 2007 Tentang “Pedoman Penjaminan Mutu
Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah”, bahwa
Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional merupakan Sekolah/Madrasah yang sudah memenuhi seluruh
Standar Nasional Pendidikan (SNP) dan diperkaya dengan mengacu pada standar pendidikan salah satu
negara anggota Organization for economic Co-operation anf Development dan / atau negara maju
lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan, sehingga memilliki daya saing
di forum internansional. Hal ini sejalan dengan pengertian SBI yang tertuang dalam Permendiknas No.
78 Tahun 2009 Tentang Penyelenggaraan SBI pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, yaitu
bahwa “Sekolah Bertaraf Internasional adalah sekolah yang sudah memenuhi seluruh SNP yang
diperkaya dengan keunggulan mutu tertentu yang berasal dari negara anggota OECD atau negara maju
lainnya”.

Dengan demikian diharapkan SBI harus mampu memberikan jaminan bahwa dalam penyelenggaraan
maupun hasil-hasil pendidikannya lebih tinggi standarnya daripada SNP. Penjaminan ini dapat
ditunjukkan kepada masyarakat nasional maupun internasional melalui berbagai strategi yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Sesuai dengan konsep di atas, maka dalam upaya mempermudah sekolah dalam memahami dan
menjabarkan secara operasional dalam penyelenggaraan pendidikan yang mampu menjamin mutunya
bertaraf internasional, maka dapat dirumuskan bahwa SBI pada dasarnya merupakan pelaksanaan dan
pemenuhan delapan (8) unsur SNP yang disebut sebagaiindikator kinerja kunci minimal (disingkat IKKM)
dan diperkaya/dikembangkan/diperluas/diperdalam dengan komponen, aspek, atau indikator
kompetensi yang isinya merupakan penambahan atau pengayaan dari delapan SNP tersebut sebagai
indikator kinerja kunci tambahan (disingkat IKKT) dan berstandar internasional dari salah satu anggota
OECD atau negara maju lainnya.

Untuk dapat memenuhi karakteristik dari konsep SBI tersebut, maka sekolah dapat melakukan antara
lain dengan dua cara, yaitu:

(1) Adaptasi, yaitu pengayaan /pemdalaman/penguatan/perluasan/penyesuaian unsur-unsur tertentu


yang sudah ada dalam SNP dengan mengacu (setara/sama) dengan standar pendidikan salah satu
negara OECD dan/atau negara maju lainnya yang memiliki keunggulan tertentu dalam bidang
pendidikan, diyakini telah memilki reputasi mutu yang diakui secara internasional, serta lulusannya
memiliki kemampuan daya saing internasional; dan

(2) Adopsi, yaitu penambahan dari unsur-unsur tertentu yang belum ada diantara delapan unsur SNP
dengan tetap mengacu pada standar pendidikan salah satu negara anggota OECDdan/atau negara maju
lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan, diyakini telah memiliki reputasi
mutu yang diakui secara internasional, serta lulusannya memiliki kemampuan daya saing internasional.

2. Pengertian RSBI

Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa satuan pendidikan yang dikembangkan menjadi satuan
pendidikan bertaraf internasional disebut juga dengan rintisan SBI. Dikatakan sebagai rintisan adalah
sekolah-sekolah tersebut dipersiapkan secara bertahap melalui pembinaan oleh pemerintah dan
stakeholders, dalam jangka waktu tertentu yaitu empat tahun diharapkan sekolah tersebut mampu dan
memenuhi kriteria untuk menjadi SBI.

Selama masa rintisan, penyelenggaraan RSBI tersebut pada setiap tahunnya dilakukan supervisi,
monitoring, dan evaluasi untuk membina dan sekaligus mengetahui sejauh mana tercapainya IKKT.
Sehingga pada saatnya nanti sekolah tersebut dikatakan sebagai SBI atau tidak lagi menjadi rintisan. Bagi
sekolah yang ternyata belum atau tidak memenuhi kriteria sebagai SBI, maka akan diupayakan tetap
sebagai rintisan secara mandiri di bawah kewenangan pemerintah daerah provinsi.
3. Tujuan Diselenggarakan RSBI

Tujuan Penyelenggaraan RSBI adalah :

a) Untuk membina sekolah yang secara bertahap ditingkatkan dan dikembangkan komponen, aspek, dan
indikator SNP dan sekaligus keinternasionalannya;

b) Untuk menghasilkan suatu sekolah yang memenuhi IKKM (SNP) dan memenuhi IKKT sekaligus,
sehingga dapat menjadi SBI;

c) Sekolah merintis dapat menghasilkan lulusan yang memilki kompetensi lulusan dan diperkaya dengan
standar kompetensi pada salah satu sekolah terakreditasi di negara anggota OECD atau negara maju
lainnya;

d) Sekolah merintis dapat menghasilkan lulusan yang memilki daya saing komparatif tinggi yang
dibuktikan dengan kemampuan menampilkan unggulan lokal di tingkat internasional;

e) Sekolah merintis dapat menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan bersaing dalam berbagai
lomba internasional yang dibuktikan dengan perolehan medali emas, perak, perunggu dan bentuk
penghargaan internasional lainnya;

f) Sekolah merintis dapat menghasilkan lulusan yang memilki kemampuan bersaing kerja di luar negeri
terutama bagi lulusan sekolah menengah kejuruan;

g) Sekolah merintis dapat menghasilkan lulusan yang memilki kemampuan berperan aktif secara
internasional dalam menjaga kelangsungan hidup dan perkembangan dunia dari perspektif ekonomi,
sosio-kultural, dan lingkungan hidup;

h) Sekolah merintis dapat menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan menggunakan dan
mengnembangkan teknologi komunikasi dan informasi secara profesional.

4. Karakteristik RSBI

Pada umumnya sekolah disebut sebagai sekolah internasional antara lain memilki ciri-ciri:

a. Sebagai anggota atau termasuk dalam komunitas sekolah dari negara-negara/lembaga pendidikan
internsional yang ada di negara-negara OECD dan/atau negara maju lainnya,

b. Terdapat guru-guru dari negara tersebut,

c. Dapat menerima peserta didik dari negara asing, dan

Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) adalah sekolah nasional yang menyelenggarakan pendidikan
berdasarkan atau telah memenuhi standar nasional pendidikan (SNP) sebagai indikator kinerja kunci
minimal (IKKM), dan mutu internasional sebagai indikator kinerja kunci tambahan (IKKT), sehingga
lulusannya memiliki mutu/kualitas bertaraf nasional dan internasional sekaligus. Kualitas bertaraf
nasional diukur dengan SNP dan kualitas bertaraf internasional diukur dengan kriteria-kriteria
internasional, yang dikaji secara seksama melalui:

1) Perbandingan SNP dengan standar/ kriteria mutu internasional,

2) Pertukaran informasi, studi banding, dan

3) Mengacu pada standar pendidikan salah satu negara anggota Organization for Economic Co-operation
and Development dan / atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang
pendidikan. Jadi, kualitas internasional merupakan kelebihan dari kualitas nasional (SNP), baik berupa
penguatan, pendalaman, pengayaan, perluasan maupun penambahan terhadap SNP.

2.3 Pengertian Sekolah Reguler

Pengertian Program Reguler dalam kamus Bahasa Indonesia adalah teratur, tetap atau biasa (Daryanto,
1997). Berdasarkanpengertian tersebut penulis dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
kelas reguler adalah kelas yang secara umum diselenggarakan oleh sekolah-sekolah dengan sistem tetap
atau biasa yang memberikan kepada siswa suatu metode pangajaran yang biasa dilaksanakan selama ini
yang membutuhkan waktu tempuh pendidikan selama enam tahun di SD dan tiga tahun di SMP/SMU.

Pembelajaran kelompok reguler adalah sistem pembelajaran yang menekankan pada kemampuan
peserta didik melalui pertemuan secara langsung (tatap muka secara kontinyu) antara peserta didik
dengan tutor baik secara perorangan maupun secara kelompok yang dilaksanakan secara intensif dalam
rangka pencapaian standar kompetensi dan standar program paket C untuk mata pelajaran yang
diujikan pada ujian nasional pendidikan kesetaraan.

Menurut Widyastono (2004) kelas reguler diselenggarakan berdasarkan kurikulum nasional yang
berlaku. Di dalam kelas reguler semua peserta didik atau siswa diberikan perlakuan yang sama tanpa
melihat perbedaan kemampuan mereka

2.4 Pengertian Diskriminasi

Diskriminasi merujuk kepada pelayanan yang tidak adil terhadap individu tertentu, di mana layanan ini
dibuat berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh individu tersebut. Diskriminasi merupakan suatu
kejadian yang biasa dijumpai dalam masyarakat manusia, ini disebabkan karena kecenderungan
manusian untuk membeda-bedakan yang lain.Wikisumber memiliki naskah sumber yang berkaitan
dengan artikel ini:

Penghapusan Diskriminasi Ras Dan Etnis

Ketika seseorang diperlakukan secara tidak adil karena karakteristik suku, antargolongan, kelamin, ras,
agama dan kepercayaan, aliran politik, kondisi fisik atau karateristik lain yang diduga merupakan dasar
dari tindakan diskriminasi
Diskriminasi langsung, terjadi saat hukum, peraturan atau kebijakan jelas-jelas menyebutkan
karakteristik tertentu, seperti jenis kelamin, ras, dan sebagainya, dan menghambat adanya peluang yang
sama.Diskriminasi tidak langsung, terjadi saat peraturan yang bersifat netral menjadi diskriminatif saat
diterapkan di lapangan.

2.5 Diskriminasi Sekolah RSBI terhadap Sekolah Reguler

Selasa, 8 Januari lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) kembali membuat gebrakan mendasar. Setelah melalui
polemik panjang, MK akhirnya membatalkan Pasal 50 ayat 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional. Keputusan ini menghapus keberadaan rintisan sekolah bertaraf
internasional (RSBI/SBI).

Dalam putusannya, MK menganggap keberadaan RSBI/SBI telah menciptakan diskriminasi dalam dunia
pendidikan. Selain itu, adanya pembedaan RSBI/SBI dan non-RSBI/SBI dapat menimbulkan kesan adanya
kasta-kasta dalam pendidikan.

Di bawah mimpi mengejar “standar internasional”, khususnya standar negara-negara maju yang
tergabung dalam Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), pemerintah
menggelontorkan proyek RSBI. Untuk tujuan itu, dibuatlah standar siswa RSBI: kecerdasan harus
melebihi inteligensi kolektif Indonesia (TIKI), berbakat, memiliki nilai rata-rata 7,5,dan kemampuan
bahasa Inggris.

Selain itu, sarana dan prasarana RSBI serba lengkap dan mewah. Sistem pembelajarannya ditopang
dengan sistim TIK (teknologi informasi dan komunikasi) dan perpustakaan digital. Tak hanya itu, sekolah
RSBI juga menggandeng guru-guru asing.

Di sinilah persoalan muncul. Atas nama “standarisasi”, pemerintah memberikan perlakuan berbeda
terhadap anak bangsa. RSBI menikmati anggaran sangat besar dari pemerintah. Anggaran itu lebih
besar dibanding anggaran untuk sekolan non-RSBI/SBI. Tak hanya itu, gaji guru di sekolah RSBI,
khususnya untuk klas internasional, sangat besar. Gaji guru “native speaker”, yang biasanya diisi oleh
orang asing, bisa mencapai Rp 30-an juta per bulan. Bandingkan dengan gaji guru berstatus PNS yang
hanya berkisar RP 3 jutaan per bulan.

Lalu, berdasarkan restu dari Permendiknas 78/2009, sekolah RSBI/SBI bisa melakukan pungutan
terhadap siswa/orang tua siswa. Akibatnya, sekolah RSBI ini pun menjadi ajang bisnis. Di sini, praktek
diskriminasi kembali terjadi. Mereka yang bisa masuk dan mengakses pendidikan di RSBI hanyalah
orang-orang yang sanggup membayar mahal. Sedangkan siswa dari keluarga miskin, sekalipun cerdas,
harus gigit jari.

Konsep RSBI sangat berlawanan dengan konstitusi kita (UUD 1945). Prinsip UUD 1945 adalah
mencerdaskan kehidupan bangsa. Artinya, seluruh rakyat Indonesia berhak untuk mengakses
pendidikan yang sama, fasilitas yang sama, dan kualitas yang sama. Dengan demikian, dalam
memajukan kualitas pendidikan nasional, pemerintah seharusnya tidak bertindak diskriminatif. Apalagi,
UNESCO sendiri menganut prinsip pendidikan untuk semua alias pendidikan universal.
Ironisnya, ketika pemerintah gembar-gembor soal mutu dan kualitas, mereka lupa tentang ketersediaan
dan akses rakyat terhadap pendidikan. Sampai sekarang ini, masih ada 9 juta rakyat Indonesia yang buta
huruf. Sudah begitu, setiap menitnya ada 4 anak Indonesia yang putus sekolah.

Angka partisipasi pendidikan Indonesia juga masih rendah. Angka partisipasi kasar (APK) tingkat SMP
baru 70%. Sedangkan APK untuk tingkat SMU baru berkisar 60%. Lalu, angka partisipasi di pendidikan
tinggi baru berkisar 18,7%. Artinya, masih banyak rakyat Indonesia yang belum diberi kesempatan untuk
mengakses pendidikan.

Di banyak negara, termasuk Jepang, yang dikejar pertama adalah soal ketersediaan dan akses rakyat
terhadap pendidikan. Sehingga, yang dibangun bukanlah sekolah unggulan, melainkan membangun
sekolah sebanyak-banyaknya hingga ke pedalaman. Kuba, negara yang standar pendidikannya
disejajarkan dengan negara maju, juga lebih mendahulukan akses pendidikan bagi seluruh rakyat. Kuba
memobilisasi seluruh sumber dayanya, termasuk anggaran negara, untuk menyelenggarakan pendidikan
gratis di seluruh jenjang pendidikan.

Di indonesia, masalahnya terletak di komitmen pemerintah. Anggaran pendidikan kita tidak pernah
melebihi 4% dari PDB. Bandingkan dengan negara tetangga, seperti Malaysia (5,2%%) dan Thailand
(5,0%). Sedangkan Kuba, negeri yang pernah dilanda kelaparan, tetap konsisten dengan anggaran
pendidikan di atas 6% dari PDB-nya.

Ironisnya, dalam konsep RSBI, kualitas diukur dengan kemampuan berbahasa inggris, dengan fasilitas
ruangan LCD dan Infocus dan standar internasional (ISO 9001). Pada kenyataannya, seperti diungkap
dosen Universitas Brawijaya Malang, Tri Wahono, hanya empat sekolah berstatus RSBI yang masuk 10
besar terbaik dalam Ujian Nasional.

Pada tahun 2009 lalu, sejumlah kepala sekolah Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI)
mengunjungi Jepang. Murni Ramli, penerjemah sekaligus seorang peneliti pendidikan yang saat itu
mendampingi mereka, membuat catatan menarik tentang kunjungan itu ( baca di sini).

Menurut Murni, konsep pendidikan Jepang tak mengenal istilah internasional dan nasional. Bagi pakar
pendidikan Jepang, pendidikan bukanlah barang elit yang harus diberikan hanya kepada sebagian anak
yang pandai saja. Tetapi pendidikan adalah sebuah hak yang harus diterima oleh semua anak dengan
kualitas yang sama. Karena itu, yang dilakukan Jepang bukan membuat sekolah unggulan, tetapi
membangun sekolah-sekolah di seantero negeri dengan fasilitas yang sama yang bisa mendidik anak-
anak tanpa ada perbedaan.

Yang paling menarik dari laporan Murni Ramli: sekolah-sekolah di Jepang, yang menghasilkan lulusan
hebat bagi bangsa Jepang, justru ruang kelasnya masih berpapan-tuliskan papan tulis kayu, dengan alat
tulis kapur, dan tidak dilengkapi dengan OHP. Siswa-siswanya juga tidak bebas mengakses internet dan
tidak bebas membawa laptop masing-masing.
Sayang, pemerintah dan sebagian pemerhati pendidikan kita mengabaikan fakta tersebut. Mereka
berlomba-lomba mengejar predikat internasional, dengan kebanggaan bisa berbahasa asing, tetapi lupa
akan makna kedalaman ilmu dan realitas sosial bangsanya.

2.6 Penghapusan RSBI

Status Rintisan Sekolah Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dihapus oleh keputusan Mahkamah
Konstitusi (MK). MK mengabulkan materi gugatan terhadap Pasal 50 Ayat 3 UU No 20/2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional. Dengan adanya keputusan ini, maka keberadaan RSBI ataupun sekolah
berkurikulum internasional tidak mempunyai dasar hukum.

Dalam pembacaan amar putusan, Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD mengatakan, Pasal 50 Ayat
(3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bertentangan dengan
UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

Alasan Rintisan Sekolah Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dihapus oleh MK adalah status-status
tersebut memunculkan diskriminasi dalam pendidikan dan membuat sekat antara lembaga pendidikan.
Penggolongan kasta dalam sekolah seperti SBI, RSBI dan Sekolah Reguler itu merupakan bentuk
diskriminatif dan bertentangan dengan konstitusi.

Rintisan Sekolah Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dihapus dan dikembalikan menjadi sekolah biasa.
Pungutan biaya karena sistem RSBI, juga harus dibatalkan. Pasalnya, pungutan tersebut merupakan
bentuk ketidakadilan terhadap hak untuk memperoleh pendidikan yang setara. Hanya siswa dari
keluarga mampu yang mendapatkan kesempatan sekolah di RSBI atau SBI, sedangkan siswa dari
keluarga sederhana atau tidak mampu hanya memiliki kesempatan diterima di sekolah umum.

Rintisan Sekolah Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dihapus

Namun perlu diketahui, penghapusan Rintisan Sekolah Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) ataupun
sekolah berkurikulum internasional hanya berlaku untuk sekolah negeri. Penghapusan tidak berlaku
untuk sekolah swasta yang menerapkan status sekolah berstandar internasional atau berbasis kurikulum
internasional karena sekolah swasta tidak dibiayai oleh negara.

Semua sekolah negeri, harus menerapkan kurikulum yang sama dan tidak boleh ada diskriminasi
pendidikan. Rintisan Sekolah Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) merupakan status yang ditetapkan
oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk sekitar 1.305 sekolah negeri unggulan di seluruh
nusantara, namun tetap memperoleh subsidi anggaran dari pemerintah. Oleh karena itu, MK menilai
sekolah negeri yang dibiayai negara dengan menerapkan diskriminasi pendidikan tidak dibenarkan
menurut konstitusi.

Yang perlu ditindak lanjuti pasca putusan MK yang membatalkan status Rintisan Sekolah Sekolah
Bertaraf Internasional (RSBI) adalah harus diikuti perubahan serta pembenahan penyelenggaraan
pendidikan di sekolah oleh guru, tenaga kependidikan, dan birokrat di bidang pendidikan ke arah yang
lebih baik.
Perubahan bukan hanya sekedar hanya mengganti nama atau istilah serta pembenahan jangan hanya
bersifat semu, apalagi kamuflase. Perubahan menyangkut aspek spirit pengabdian pada dunia
pendidikan secara berkeadilan, terutama pada kesetaraan terhadap semua warga negara untuk
memperoleh kesempatan pendidikan yang baik dan bermutu.

Hal yang wajar sebuah keputusan akan menghasilkan pro dan kontra di masyarakat. Demikian juga
terhadap keputusan MK tentang penghapusan Rintisan Sekolah Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI).

BAB III

PENUTUP

3.1 KESUMPULAN

Sekolah RSBI atau SBI dapat di katagorikan usaha pemerintah dalam memajukan pendidikan di
Indonesia ke jenjang dan kualitas yang lebih baik,tetapi dalam penerapan nya terdapat banyak dampak
yang tidak begitu baik dan bersinggungan dengan sekolah reguler ,dan adanya diskriminasi dalam sarana
perasarana nya yang di mana pemerintah memberikan perhatian lebih terhadap RSBI dari pada sekolah
reguler ,maka dari itu sekolah RSBI di hapuskan karna hasil dari sekolah RSBI di rasa kan tidak begitu
berpengaruh .

3.2 SARAN

Seharusnya pemerintah harus melakukan keputusan sekolah RSBI lebihmtang dan merata serta
memberikan kesetaran dan perutan yang lebih jelas agar tidak terjadi penyalah gunaan dalam praktek
nya di lapangan

3.3 DAFATAR PUSTAKA

http://www.sekolahathirah.sch.id/index.php?option=com_content&view=article&id=584:sd-tujuan-
rsbi&catid=78:business-tech&Itemid=735

http://noor-eka.blogspot.co.id/2013/06/makalah-munculnya-rsbi-dan.html

http://krisna1.blog.uns.ac.id/2011/01/01/konsep-sbi-dan-rsbi/

https://febriprahastuti.wordpress.com/2013/11/13/model-pembelajaran-di-sekolah-dasar-reguler/

https://id.wikipedia.org/wiki/Diskriminasi
http://www.berdikarionline.com/diskriminasi-dalam-dunia-pendidikan/

http://lenterakecil.com/rintisan-sekolah-bertaraf-internasional-rsbi-dihapus/

Anda mungkin juga menyukai