Anda di halaman 1dari 17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis
dan luasnya ( Bruner & Suddart, 2013).
Fraktur vertebra adalah trauma kompresi hebat dapat menyebabkan fraktur-
dislokasi dengan rupturnya satu diskus, jika terjadi fraktur kominuta, rupturnya
dua diskus (Setiati, siti, dkk. 2014).
Fraktur vertebra adalah gangguan kontinuitas jaringan tulang yang terjadi
jika tulang dikenai stres yang lebih besar dari yang diabsorsinya yang terjadi
pada ruas-ruas tulang pinggul karena adanya trauma/benturan yang dapat
menyebabkan tulang patah dapat berupa trauma langsung atau tidak langsung
(Mansjoer, 2014).

B. Anatomi Fisiologi
Tulang belakang adalah susunan terintegrasi dari jaringan tulang, ligamen,
otot, saraf dan pembuluh darah yang terbentang mulai dari dasar tengkorak
(basis cranii), leher, dada, pinggang bawah hingga panggul dan tulang ekor.
Fungsinya adalah sebagai penopang tubuh bagian atas serta pelindung bagi
struktur saraf dan pembuluh-pembuluh darah yang melewatinya.
Tulang-tulang tersebut berjajar dari dasar tengkorak sampai ke tulang ekor
dengan lubang di tengah-tengah setiap ruas tulang (canalis vertebralis),
sehingga susunannya menyerupai seperti terowongan panjang. Saraf dan
pembuluh darah tersebut berjalan melewati canalis vertebralis dan terlindung
oleh tulang belakang dari segala ancaman yang dapat merusaknya.
Antara setiap ruas tulang belakang terdapat sebuah jaringan lunak bernama
diskus intervertebra, yang berfungsi sebagai peredam kejut (shock absorption)
dan menjaga fleksibilitas gerakan tulang belakang, yang cara kerjanya mirip
dengan shock breaker kendaraan kita. Di setiap ruas tulang juga terdapat 2 buah
lubang di tepi kanan dan kiri belakang tulang bernama foramen intervertebra,
yaitu sebuah lubang tempat berjalannya akar saraf dari canalis vertebra menuju
ke seluruh tubuh. Saraf-saraf tersebut keluar melalui lubang itu dan
mempersarafi seluruh tubuh baik dalam koordinasi gerakan maupun sensasi
sesuai daerah persarafannya.
Gambar. 2. 1 Gambar. 2. 2

Tulang belakang terdiri dari 4 segmen, yaitu segmen servikal (terdiri dari 7
ruas tulang), segmen torakal (terdiri dari 12 ruas tulang), segmen lumbal
(terdiri dari 5 ruas tulang) serta segmen sakrococygeus (terdiri dari 9 ruas
tulang). Diskus intervertebra terletak mulai dari ruas tulang servikal ke-2 (C2)
hingga ruas tulang sakrum pertama (S1).
Di luar susunan tulang belakang, terdapat ligamen yang menjaga posisi
tulang belakang agar tetap kompak dan tempat melekatnya otot-otot punggung
untuk pergerakan tubuh kita. Ligamen dan otot tulang belakang berfungsi
sebagai koordinator pergerakan tubuh

Gambar. 2. 3
Posisi tulang belakang yang normal akan terlihat lurus jika di lihat dari
depan atau belakang. Jika dilihat dari samping, segmen servikal akan sedikit
melengkung ke depan (lordosis) sehingga kepala cenderung berposisi agak
menengadah. Segmen torakal akan sedikit melengkung ke belakang (kyphosis)
dan segmen lumbal akan melengkung kembali ke depan (lordosis).
Kelainan dari susunan anatomis maupun perbedaan posisi tulang belakang
yang normal tersebut, dapat berakibat berbagai keluhan dan gangguan yang
bervariasi. Keluhan dan gangguan tersebut akan berakibat terganggunya
produktivitas dan kualitas hidup seseorang. Tidak jarang keluhan tersebut
berakibat nyeri yang hebat, impotensi, hilangnya rasa (sensasi) hingga
kelumpuhan (Aston. J.N, 2005 & Wibowo, daniel S. 2013)

C. Jenis fraktur
1. Fraktur komplet adalah patah pada seluruh garis tengah tulang dan
biasanya mengalami pergeseran ( bergaris dari posisi normal).
2. Fraktur tidak komplet adalah patah hanya terjadi pada sebagian dari
garis tengah tulang.
3. Fraktur tertutup ( fraktur simple) tidak menyebabkan robeknya kulit.
4. Fraktur terbuka ( fraktur komplikata/ kompleks) merupakan fraktur
dengan luka pada kulit atau membrana mukosa sampai ke patah
tulang.

D. Patofisiologi
Trauma yang terjadi pada tulang vertebra lumbal bisa terjadi karena trauma
langsung (benturan langsung) dan trauma tidak langsung (jatuh dan bertumpu
pada orang lain), serta bisa juga terjadi karena proses patologis misalnya
osteoporosis, infeksi atau kanker. Akibat dari fraktur lumbal adalah bisa
terjadinya kerusakan pembuluh darah dan kortek pada jaringan lunak serta
dapat mengakibatkan penekanan pada fragmen tulang lumbal. Penekanan
tersebut akan menyebabkan kerusakan pada saraf jaringan lunak di medula
spinalis sehingga menimbulkan nyeri.
Kerusakan pembuluh darah dan kortek pada jaringan lunak akan
menyebabkan adanya peningkatan tekanan yang berlebih dalam 1 ruangan
sehingga menimbulkan sindrom kopartemen yang akan menimbulkan nekrosis
jaringan, luka baik terbuka maupun tertutup sehingga dapat menimbulkan
resiko infeksi.
Terjadinya fraktur pada vertebra lumbal I akan menyebabkan terjepitnya
semua area ekstermitas bawah yang menyebar sampai pada bagian belakang
sehingga penderita biasanya akan mengalami hemiparase atau paraplegia.
Vertebra lumbal 2 berhubungan dengan daerah ekstermitas bawah, kecuali
sepertiga atas aspek interior paha. Sehingga kerusakan pada vertebra lumbal 2
akan menekan daerah kandung kemih yang menyebabkan inkontinensia urine.
Fraktur pada lumbal 3 akan menyebabkan terjepitnya ekstermitas bagian
bawah dan sadel, sehingga penderita akan mengalami gangguan bowel.
Kerusakan pada daerah lumbal 4 akan mengganggu organ seks dan genetalia,
sehingga akan menyebabakan adanya penurunan libido. Sedangkan kerusakan
pada lumbal 5 akan menyebabkan sendi- sendi tidak dapat di gerakan karena
vertebra lumbal ke 5 berhubungan dengan pergelangan kaki, ekstermitas
bawah dan area sadel (Ross and Wilson, 2011).

E. Etiologi
Menurut Sjamsuhidajat 2008, adalah
1. Trauma langsung
Berarti benturan pada tulang dan mengakibatkan fraktur di tempat
itu. Misal benturan pada lengan bawah yang menyebabkan patah tulang
radius dan ulna
2. Trauma tidak langsung
Bila mana titik tumpu benturan dengan terjadinya fraktur berjauhan.

F. Tanda dan gejala


Menurut Mansjoer, Arif (2014) tanda dan gejala fraktur sebagai berikut:
1. Deformitas (perubahan struktur dan bentuk)
disebabkan oleh ketergantungan fungsional otot pada kestabilan otot.
2. Bengkak atau penumpukan cairan/darah karena kerusakan pembuluh
darah, berasal dari proses vasodilatasi, eksudasi plasma dan adanya
peningkatan leukosit pada jaringan di sekitar tulang.
3. Spasme otot karena tingkat kecacatan, kekuatan otot yang sering di
sebabkan karena tulang menekan otot.
4. Nyeri karena kerusakan jaringan dan perubahan struktur yang
meningkat karena penekanan sisi-sisi fraktur dan pergerakan bagian
fraktur.
5. Kurangnya sensasi yang dapat terjadi karena adanya gangguan saraf,
dimana saraf ini dapat terjepit atau terputus oleh fragmen tulang.
6. Hilangnya atau berkurangnya fungsi normal karena ketidakstabilan
tulang, nyeri atau spasme otot.
7. Pergerakan abnormal.
8. Krepitasi, sering terjadi karena pergerakan bagian fraktur sehingga
menyebabkan kerusakan jaringan sekitarnya.

G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pad fraktur lumbal di awali dengan mengatasi nyeri dan
stabilisasi untuk mencegah kerusakan yang lebih parah lagi. Beberapa
penatalaksanaan yang dapat dilakukan antara lain sebagai berikut :
1. Braces dan orthotics
Fraktur yang sifatnya stabil membutuhkan stabilsasi.
2. Pemsangan alat dan proses penyatuan ( fusi)
Teknik ini adalah teknik pembedahan yang dipakai untuk fraktur
tidak stabil.
3. Pengelolaan penderita dengan paralisis meliputi hal-hal berikut
a. Pengelolaan kandung kemih dengan pemberian cairan yang
cukup, kateterisasi, dan evakuasi kandung kemih dalam 2
minggu.
b. Pengelolaan saluran pencernaan dengan pemberian laksansia,
setiap 2 hari.
c. Nutrisi dengan diet tinggi protein secara intravena.
d. Cegah dekubitus.
e. Fisioterapi untuk mencegah kontraktur.
4. Penanganan Cedera dengan Gangguan Neorologis
Patah tulang belakang dengan gangguan neorologis komplit, tindakan
pembedahan terutama ditujukan untuk memudahkan perawatan dengan
tujuan supaya dapat segera di imobilisasikan. Pembedahan di kerjakan
jika keadaan umum penderita sudah baik lebih kurang 24 - 48 jam.
Tindakan pembedahan setelah 6 - 8 jam akan memperjelek defisit
neorologis karena dalam 24 jam pertama pengaruh hemodinamik pada
spinal masih sangat tidak stabil. Prognosa pasca bedah tergantung
komplit atau tidaknya transeksi medula spinalis.
Pemeriksaan lokalis
a. Look : adanya perubahan warna kulit, abrasi, memar pada
punggung. Pada pasien yang telah lama di rawat sering
didapatkan adanya dekubitus pada bokong. Adanya hambatan
untuk beraktivitas karena kelemahan, kehilangan sensori, dan
mudah lelah menyababkan masalah pada pola aktivitas dan
istirahat.
b. Feel : prosessus spinosus di palpasi untuk mengkaji adanya
suatu celah yang dapat diraba akibat robeknya ligamentum
posterior yang menandakan cedera yang tidak stabil. Sering di
dapatkan adanya nyeri tekan pada area lesi.
c. Move : gerakan tulang punggung atau spina tidak boleh di kaji.
Disfungsi motorik paling umum adalah kelemahan dan
kelumpuhan pada seluruh ekstermitas bawah.
Kekuatan otot pada penilaian dengan menggunakan drajat kekuatan
otot di dapatkan nilai 0 atau palisis total.
Pemeriksaan sistem pencernaan dan perkemihan
a. Bila terjadi lesi pada kauda ekuina ( kandung kemih di kontrol
oleh pusat S2-S4) atau dibawah pusat spinal kandung kemih
akan menyebabkan interupsi hubungan antara kandung kemih
dan pusat spinal. Pengosongan kandung kemih secara periodik
tergantung dari refleks lokal dinding kandung kemih. Pada
keadaan ini, pengosongan dilakukan oleh aksi otot-otot detrusor
dan harus di awali dengan kompresi secara manual pada dinding
perut atau dengan meregangkan perut. Pengosongan kandung
kemih yang bersifat otomatis seperti ini disebut kandung kemih
otonom. Trauma pada kauda ekuina, pasien mengalami
hilangnya refleks kandung kemih yang bersifat sementara dan
pasien mengkin mengalami inkontinensia urinaria, ketidak
mampuan mengkomunikasikan kebutuhan, dan
ketidakmampuan mengguankan urinal kerana kerusakan
kontrol motorik dan postural.
b. Proses penyembuhan
1) Fase inflamasi
Berakhir kurang lebih satu hingga dua minggu yang
pada awalnya terjadi reaksi inflamasi. Peningkatan
aliran darah menimbulkan hematom fraktur yang segera
dikuti invasi dari sel-sel peradangan yaitu netrofil,
makrofag dan sel fagosit. Sel- sel tersebut termasuk
osteoklas berfungsi untuk membersihkan jaringan
nekrotik untuk menyiapkan fase reparatif. Secara
radiologis, garis fraktur akan lebih terlihat karena
meterial nekrotik di singkirkan.
2) Fase reparatif
Umumnya berlangsung beberapa bulan. Fase ini
ditandai dengan differesiasi dari sel mesenkim
pluripotensial. Hematom fraktur lalu diisi oleh
kondroblas dan fibroblas yang akan menjadi tempat
matrik kalus. Mula- mula terbentuk kaus lunak, yang
terdiri dari jaringan fibrosa dan kartilago dengan
sejumlah kecil jaringan tulang. Osteoblas kemudian
yang mengakibatkan mineralisasi kalus lunak
menambah menjadi kalus keras dan meningkatkan
stabilitas fraktur. Secara radiologis garis fraktur mulai
tak tampak.
3) Fase remodialing
Membutuhkan waktu bulanan hingga tahunan untuk
merampungkan penyembuhan tuang meliputi aktifitas
osteoblas yang menghasilkan perubahan jaringan
immatur menjadi matur, terbentuknya tulang lamelar
sehingga menambah stabiltas daerah fraktur.

H. Pemeriksaan Diagnostik
1. Rontgen
Pemeriksaan posisi AP, lateral dan obliq dilakukan untuk menilai :
a. Diameter anteriorposterior kanal spinal
b. Kontur, bentuk, dan kesejajaran vertebra
c. Pergerakan fragmen tulang dalam kanal spinal
d. Keadaan simetris dari pedikel dan prosesus spinosus
e. Ketinggan ruangan diskus intervertebralis.
2. CT Scan dan MRI
CT Scan dan MRI bermanfaat untuk menunjukan tingkat
penyembuhan kanalis spinalis. Pada fraktur dislokasi cedera paling
terjadi pada sambungan torako lumbal dan biasanya di sertai dengan
kerusakan pada bagian terbawah korda. Klien harus di periksa dengan
hati- hati agar tidak membahayakan korda atau akar syaraf lebih jauh.
3. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah lengkap meliputi kadar haemoglobin ( biasanya
rendah bila terjadi perdarahan karena trauma) hitung sel darah putih, Ht
mungkin menigkat ( Hemokonsentrasi) atau menurun ( perdarahan
bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada mutipel). Peningkatan
jumlah sel darah putih adalah respon stress normal setelah trauma.
Kreatinin : trauma otot meningkat beban kreatinin untuk klirens ginjal.
Profil koagulasi: perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah
transfuse multiple atau cedera hati.
4. Pemeriksaan kimia darah.
Kadar kalsium serum berubah pada oteomalasea, tumor tulang
metastase dan pada immobilisasi lama dan creatinin kinase serta SGOT
yang meningkat pada kerusakan otot.
5. Angiogram : dilakukan bila kerusakan vesikoler dicurigai
Elektromyogram (EM) untuk mengukur kontraksi otot sebagai respon
terhadap stimulus listrik.

I. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Anamnese
1) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama,
bahasa yang dipakai, status perkawinan, pendidikan,
pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register,
tanggal MRS, diagnosa medis.
2) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur
adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik
tergantung dan lamanya serangan. Untuk memperoleh
pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien
digunakan:
a) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang
menjadi yang menjadi faktor presipitasi nyeri.
b) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang
dirasakan atau digambarkan klien. Apakah
seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
c) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa
reda, apakah rasa sakit menjalar atau menyebar,
dan dimana rasa sakit terjadi.
d) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri
yang dirasakan klien, bisa berdasarkan skala
nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa
sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
e) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan,
apakah bertambah buruk pada malam hari atau
siang hari.
3) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk
menentukan sebab dari fraktur, yang nantinya
membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap
klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit
tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan
yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain
itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya
kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain
4) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan
penyebab fraktur dan memberi petunjuk berapa lama
tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit
tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang
menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk
menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka
di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut
maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses
penyembuhan tulang
5) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan
penyakit tulang merupakan salah satu faktor predisposisi
terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang
sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker
tulang yang cenderung diturunkan secara genetik
6) Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit
yang dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan
masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun
dalam masyarakat.

b. Pola-Pola Fungsi Kesehatan


1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan
terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus menjalani
penatalaksanaan kesehatan untuk membantu
penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga
meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat
steroid yang dapat mengganggu metabolisme kalsium,
pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu
keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga
atau tidak.
2) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi
melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat
besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses
penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi
klien bisa membantu menentukan penyebab masalah
muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari
nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein
dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan
faktor predisposisi masalah muskuloskeletal terutama
pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat
degenerasi dan mobilitas klien.
3) Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur tidak ada gangguan pada pola
eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji
frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola
eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji
frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada
kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak.
4) Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan
gerak, sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan
kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian
dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan,
kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan
obat tidur.
5) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka
semua bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan
kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain.
Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien
terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk
pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding
pekerjaan yang lain.
6) Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan
dalam masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat
inap.
7) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul
ketidakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa
cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas
secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang
salah (gangguan body image).
8) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama
pada bagian distal fraktur, sedang pada indera yang lain
tidak timbul gangguan. begitu juga pada kognitifnya
tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa
nyeri akibat fraktur
9) Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa
melakukan hubungan seksual karena harus menjalani
rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang
dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status
perkawinannya termasuk jumlah anak, lama
perkawinannya.
10) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan
dirinya, yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan
fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh
klien bisa tidak efektif.
11) Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan
kebutuhan beribadah dengan baik terutama frekuensi
dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri
dan keterbatasan gerak klien

c. Pemeriksaan Fisik
1) Gambaran Umum
Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah
tanda-tanda, seperti:
a) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma,
gelisah, komposmentis tergantung pada keadaan
klien.
b) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik,
ringan, sedang, berat dan pada kasus fraktur
biasanya akut.
c) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada
gangguan baik fungsi maupun bentuk.
2) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
a) Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma
meningkat, bengkak, oedema, nyeri tekan.
b) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik,
simetris, tidak ada penonjolan, tidak ada nyeri
kepala.
c) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada
penonjolan, reflek menelan ada.
d) Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak
ada perubahan fungsi maupun bentuk. Tak ada
lesi, simetris, tak oedema.
e) Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak
anemis (karena tidak terjadi perdarahan)
f) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan
normal. Tidak ada lesi atau nyeri tekan.
g) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan
cuping hidung.
h) Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi
perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
i) Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan
dada simetris.
j) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe,
tak ada kesulitan BAB.
2. Diagnosa keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan penjepitan saraf pada diskus
intervertebralis, tekanan di daerah distribusi ujung saraf.
b. Resiko infeksi berhubungan dengan tidak kuatnya pertahanan
primer kerusakan kulit trauma jaringan.
c. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan paraplegia
sekunder dari kompresi spinal
d. Inkontinensia urine berhubungan dengan gangguan neurologis
di atas lokasi pusat mikturisi sakral.
e. Konstipasi berhubungan dengan kerusakan saraf motorik bawah

3. Intervensi
No Diagnosa Tujuan & Kriteria Intervensi
Hasil
1 Nyeri akut Setelah dilakukan Pain Management:
berhubungan tindakan keperawatan a. Kaji nyeri
dengan selama 2 x 24 jam secara
penjepitan diharapkan nyeri komprehensif.
saraf pada berkurang dengan b. Observasi reaksi
diskus kriteria hasil: non verbal dari
intervertebralis,  Mampu ketidaknyamanan
tekanan di mengontrol nyeri c. Gunakan teknik
daerah  Melaporkan komunikasi
distribusi ujung bahwa nyeri terapeutik untuk
saraf. berkurang mengetahui
 Mampu mngenali pengalaman nyeri
nyeri d. Ajarkan tentnag
 Mengatakan rasa teknik relaksasi nafas
nyaman setelah dalam
nyeri berkurang e. Monitor vital sign
f. Kolaborasi medis dalam
pemberian analgetik
2 Hambatan Setelah dilakukan a. Monitor tanda –
mobilitas fisik tindakan keperawatan tanda vital
berhubungan aktivitas pasien b. Kaji
dengan bertambah dengan kemampuan
paraplegia kriteria hasil : mobilisasi
sekunder dari  Aktivitas pasien
kompresi pasien c. Bantu pasien untuk
spinal meningkat mobilisasi/merubah
 Mengerti tujuan posisi
dari peningkatan d. Ajarkan pasien
mobilisasi bagaimana
merubah posisi
e. Kolaborasi untuk
pemasangan
pembedahan.
3 Resiko infeksi Setelah dilakukan a. Monitor leukosit
berhubungan tindakan keperawatan b. Monitor tanda– tanda
dengan tidak di harapkan tidak ada vital
adekuatnya tanda- tanda infeksi c. Bersihkan lingkungan
pertahanan dengan kriteria hasil: pasien
sekunder.  Pasien bebas dari d. Anjurkan untuk masukan
tanda dan gejala nutrisi yang cukup
infeksi e. Kolaborasi medis dalam
 Menunjukkan pembarian antibiotik
kemampuan untuk
mencegah
timbulnya infeksi

4 Inkontinensia Setelah dilakukan a. Identifikasi pola berkemih


urine tindakan keperawatan b. Pertahankan asupan
berhubungan di harapkan kendali cairan sekitar 2000 ml
dengan eliminasi urine dari perhari
gangguan kandung kemih c. Ajarkan tanda dan gejala
neurologis di dengan kriteria hasil: infeksi
atas lokasi  Berkemih di d. Kolaborasi terapi
pusat mikturisi tempat yang tepat antibiotik sesuai program
sakral.  Berkemih >150 ml dokter
setiap kali
berkemih

5 Konstipasi Setelah dilakukan a. Kaji adanya flaktus


berhubungan tindakan keperawatan b. Kaji ada tidaknya bising
dengan di harapkan konstipasi usus dan distensi abdomen
kerusakan saraf menurun dengan pada keempat kuadran
motorik bawah. kriteria hasil: abdomen
 Pola eliminasi c. Berikan perawatan dalam
normal dalam sikap yang tidak
rentang waktu memahami
yang diharapkan d. Instruksikan pasien
(1 x 1) mengenai bantuan
 Feses lunak dan eliminasi defekasi yang
berbentuk dapat meningkatkan
 Mengeluarkan defekasi yang optimal di
feses tanpa rumah
bantuan e. Konsultasikan dengan ahli
gizi untuk pemenuhan
nutrisi dengan
meningkatkan serat.

Anda mungkin juga menyukai