Anda di halaman 1dari 3

Hak asasi manusia menurut UU no 39 tahun 1999 adalah seperangkat hak yang melekat pada

hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa dan merupakan
anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum,
pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat
manusia.

Menurut pasal 1 angka 6 undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 tahun 1999 tentang
hak asasi manusia yang dimaksud dengan pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap
perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara, baik disengaja maupun
tidak disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan
mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-
undang dan tidak mendapatkan atau dikawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian
hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.

Sebenarnya, Hak Asasi Manusia apabila digunakan dengan bijak, pastilah akan baik adanya.
Namun banyak sekali orang yang menyalahgunakan hak-haknya di bidang hukum, bahkan
sampai menindas hak-hak orang lain. Semua ini bersumber dari keegoisan dan keserakahan
dari manusia.

Hal ini terbukti dengan adanya PeTrus ( Penembak Misterius ) pada zaman Soeharto.
Sebenarnya, benarkah cara Soeharto yang seperti itu untuk menanggulangi angka kriminalitas
dan meningkatkan keamanan masyarakat ? Meskipun tujuan dari Operasi Clurit ini mulia,
yaitu untuk menanggulangi angka kriminalitas, dengan melakukan pembunuhan dan
penangkapan itu tidaklah suatu cara yang benar dalam hal Hak Asasi Manusia.

Sebenarnya kekuatan besar bagi tegaknya HAM terletak pada integritas hukum, semakin baik
hukum suatu negara, maka akan semakin baik pula penegakan HAM. Begitu sebaliknya, bila
hukum masih limbung dan tidak tegas dalam mengurusi pelanggaran yang terjadi, akan
semakin subur pelanggaran terhadap HAM. Melihat integritas hukum Indonesia yang kian
terpuruk, rasanya masih sulit berharap tidak ada pelanggaran HAM. Tetapi masih ada sisa-
sisa cahaya benderang, jika masyarakat masih bertekad untuk menempatkan manusia secara
setara, memberikan kebebasan dalam menentukan jalan hidupnya.

Kenyataan mengenai masih seringnya pelanggaran HAM menyisakan banyak tanda tanya
karena pergantian rezim Orde Baru ke rezim reformasi telah membuka sekat-sekat
pembebasan dan kesetaraan setiap masyarakat di hadapan hukum dan negara. Namun, kenapa
dengan kebebasan dan kesetaran itu, pelanggran HAM masih sering terjadi. Ada beberapa
persoalan yang sebenarnya sangat berpengaruh sekali terhadap pelanggaran HAM di
Indonesia. Seperti yang saya sebutkan di atas, pertama terkait dengan integritas hukum.
Keterpurukan hukum yang ada di Indonesia telah memberikan ruang gerak pelanggaran
HAM yang lebih besar. Karena sebenarnya kunci dari tegaknya HAM terletak pada integritas
hukum.

Lawrence Meir Friedmann menyebutkan keterpurukan hukum di Indonesia dipengaruhi oleh


struktur (structure), substansi (substance), kultur hukum (legal culture). Ketiga komponen ini
yang juga mengahambat tegaknya HAM di Indonesia. Struktur yang dimaksud adalah bagian
institusi yang mengurusi penegakan hukum di Indonesia, seperti kepolisian, kejaksaan, dan
pengadilan. Sekarang para penegak hukum kita belum bisa bekerja secara maksimal sehingga
memungkinkan pelanggaran yang semakin banyak. Apalagi hukuman yang ada tidak
menjerakan.

Subtansi hukum, menyangkut hasil perundang-undangan yang terbentuk sebagai aturan


hukum, yang kadang kala mengabaikan keadilan dan kebenaran karena bentuk hukumnya
hanya mengacu kepada kitab undang-undang (law books), mestinya selain mengacu kepada
kitab undang-undang harus mencakup pula pada hukum yang hidup (living law) sehingga
putusan hakim benar-benar sesuai dengan bentuk pelanggaran yang dilakukannya.

Kultur hukum merupakan suasana realitas di masyarakat mengenai bagaimana hukum


dihindari, digunakan, atau disalahgunakan. Artinya yang dimasud dengan kultur hukum,
kebiasaan masyarakat yang kurang impelementatif terhadap aturan hukum sehingga masih
sering terjadi pelanggaran-pelanggaran.

Selain penegakan hukum, problem HAM di Indonesia juka dipengaruhi situasi politik, sosial,
dan ekonomi. Keberadaan lingkungan sangat berpengaruh sekali bagi perilaku seseorang.
Begitu pula dalam pelanggaran HAM. Situasi politik yang semrawut kian memberikan ruang
gerak kepada masyarakat melakukan tindakan kekerasan dan atau pemaksaan kepada orang
lain atau pada lawan politiknya sehingga bisa memicu konflik yang bisa mengakibatkan
pelanggaran HAM.

Situasi sosial masyarakat dapat pula mendorong terjadinya pelanggaran HAM, misalnya
beberapa bulan lalu bentrok antarsuku di Papua. Akibat situasi sosial yang tidak kondusif
mendorong seseorang melakukan perkelahian atau bahkan pembunuhan. Termasuk pula
misalnya, terorisme, pelanggaran semacam ini sebenarnya berawal dari kondisi sosial yang
tidak baik, kemudian dilarikan ke persoalan agama atau jihad.

Begitu pun kondisi ekonomi, sangat berpengaruh sekali bagi pelanggaran HAM. Maraknya
perampokan, pencurian, trafficking, yang kadang berujung pada pembunuhan, erat kaitannya
dengan impitan ekonomi masyarakat sehingga kriminalitas banyak terjadi.

Kunci penyesalan dari semua persoalan HAM di Indonesia ada dua. Pertama, terciptanya
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana amanat Pancasila dengan realisasi
kesejahteraan hidup masyarakat di semua bidang. Kedua, integritas hukum yang berkeadilan
dan tanpa pandang bulu. Saya optimistis jika kedua kunci ini terpenuhi, tidak mungkin akan
terjadi pelanggarah HAM di Indonesia. (Sumber: Lampung Post, 20 Desember 2011).

Anda mungkin juga menyukai