Juni 2019
REFERAT
KELAINAN REFRAKSI
OLEH:
Agustina A.G. Castillio
1008012036
PEMBIMBING:
dr. Eunike Cahyaningsih, Sp.M
- Astigmatisma Ireguler
Terjadi apabila orientasi meridian utama atau jumlah astigmatisma
berubah dari titik ke titik saat melewati pupil. Meskipun meridian
g-kadang pada
pemeriksaan retinoskopi atau keratometri, secara keseluruhan,
meridian utama pada kornea ini tidak tegak lurus satu sama lain.
Sebenarnya setiap mata normal memiliki setidaknya sedikit
astigmatisma ireguler, dan peralatan seperti topografer kornea dan
wavefront aberrometer dapat digunakan untuk mendeteksi keadaan
ini secara klinis.
2.3.3.3.4 Patofisiologi
- Astigmatisma Reguler17
Pada astigmatisma reguler, setiap meridian membiaskan cahaya
secara teratur dan equally, akan tetapi pembiasan meridian yang satu
berbeda dengan meridian yang lain. Satu meridian membiaskan
cahaya berlebihan dan yang lainnya kurang. Dua jenis meridian ini
disebut dengan meridian utama, keduanya saling tegak lurus. Pada
kebanyakan kasus, satu meridian utama terletak secara vertikal dan
satunya lagi terletak horizontal, namun bisa terjadi oblik, namun
sudutnya masih saling tegak lurus/ 90̊ satu sama lain.
Meridian vetikal, dalam banyak kasus, membiaskan cahaya lebih
kuat daripada yang horizontal, hal ini kemungkinan besar
disebabkan oleh tekanan palpebra ke kornea. Tipe astigmatisma ini
disebut with-the-rule dan lebih sering pada anak-anak.Sementara
itu, apabila meridian horizontal membiaskan cahaya lebih kuat, ini
disebut dengan astigmatisma against-the-rule dan lebih sering pada
orang dewasa. Perbedaan refraksi antara kedua meridian utama ini
menggambarkan besarnya astigmatisma dan direpresentasikan
dalam dioptri (D).
Ketika perbedaannya tidak lebih dari ½ sampai ¾ dioptri, maka
disebut dengan astigmatisma fisiologis dan biasanya tidak perlu
dikoreksi, karena masih bisa dikompensasi dan tidak menimbulkan
keluhan subjektif pada seseorang. Namun jika lebih dari ¾ D, ia
dapat mengganggu penglihatan dan menimbulkan gejala subjektif.
Akan tetapi, astigmatisma tipe reguler ini jarang yang melebihi 6-
7D. Berdasarkan teori fisika, berbeda dengan lensa sferis,
permukaan lensa silindris tidak memiliki kelengkungan dan
kekuatan refraksi yang sama di semua meridian. Kelengkungan
lensa silindris berbeda-beda dari yang kecil hingga yang besar,
denga
Oleh sebab itu, kekuatan refraksinya berbeda-beda dari satu
meridian ke meridian lainnya, dan permukaan lensa silindris tidak
memiliki satu titik fokus, namun ada dua garis fokus yang terbentuk.
Bentuk umum dari permukaan astigmatisma adalah sferosilinder,
atau torus, yang mirip dengan bentuk bola football Amerika, dengan
kata lain dapat dikatakan sebagai gabungan lensa sferis dan lensa
silindris. Bentuk geometris yang rumit dari seberkas cahaya yang
berasal dari satu sumber titik dan dibiaskan oleh lensa sferosilinder
ini disebut dengan istilah conoid of Sturm.
Conoid of Sturm memiliki dua garis fokus yang sejajar satu sama
lain pada meridian-meridian utama pada lensa sferosilinder. Semua
berkas cahaya akan melewati setiap garis-garis fokus ini.
Perpotongan melintang conoid of Sturm pada titik-titik yang
berbeda sejauh panjangnya, sebagian besar berbentuk elips,
termasuk bagian luar dari dua garis fokus ini.Pada setiap
dioptriknya, dua garis fokus ini memiliki potongan sirkuler.
Potongan sirkuler dari berkas sinar ini disebut circle of least
confusion, dan merepresentasikan fokus terbaik dari lensa
sferosilinder, yakni posisi dimana semua sinar akan terfokus jika
lensa memiliki kekuatan sferis yang sama dengan kekuatan sferis
rata-rata pada semua meridian lensa sferosilinder.
- Astigmatisma Irreguler17
Astigmatisma ireguler muncul ketika pembiasan cahaya tidak
teratur dan unequal pada meridian-meridian yang sama pada mata.
Biasanya merupakan konsekuensi dari perubahan patologis terutama
pada kornea (makula sentral kornea, ulkus, pannus, keratokonus,
dan lain-lain) atau lensa (katarak, opasifikasi kapsul posterior,
subluksasi lensa, dan lain-lain). Ketajaman visus pada mata dengan
astigmatisma ireguler mengalami penurunan dan kadang-kadang
muncul diplopia monokuler atau poliopia.
Semua mata memiliki setidaknya sejumlah kecil astigmatisma
ireguler, tapi terminologi astigmatisma ireguler dalam hal ini
digunakan secara klinis hanya untuk iregularitas yang lebih kuat.
Astigmatisma ireguler merupakan astigmatisma yang tidak memiliki
2 meridian yang saling tegak lurus. Astigmatisma ireguler dapat
terjadi akibat kelengkungan kornea pada meridian yang sama
berbeda sehingga bayangan menjadi ireguler.
Astigmatisma ireguler terjadi akibat infeksi kornea, trauma dan
distrofi atau akibat kelainan pembiasan pada meridian lensa yang
berbeda.
2.3.3.3.5 Manifestasi Klinis
Pada umunya, seseorang yang menderita astigmatismus tinggi
menyebabkan gejalagejala sebagai berikut :18
- Memiringkan kepala atau disebut dengan “titling his head”, pada
umunya keluhan ini sering terjadi pada penderita astigmatismus
oblique yang tinggi.
- Memutarkan kepala agar dapat melihat benda dengan jelas.
- Menyipitkan mata seperti halnya penderita myopia, hal ini dilakukan
untuk mendapatkan efek pinhole atau stenopaic slite. Penderita
astigmatismus juga menyipitkan mata pada saat bekerja dekat seperti
membaca.
- Pada saat membaca, penderita astigmatismus ini memegang bacaan
mendekati mata, seperti pada penderita myopia. Hal ini dilakukan
untuk memperbesar bayangan, meskipun bayangan di retina tampak
buram, sedang pada penderita astigmatismus rendah, biasa ditandai
dengan gejala – gejala sebagai berikut :
o Sakit kepala pada bagian frontal.
o Ada pengaburan sementara / sesaat pada penglihatan
dekat, biasanya penderita akan mengurangi pengaburan
itu dengan menutup atau mengucek- ucek mata.
2.3.3.3.6 Diagnosis
Astigmat dapat didiagnosis dengan pemeriksaan berikut :18
- Pemeriksaan pin hole
Uji lubang kecil ini dilakukan untuk mengetahui apakah
berkurangnya tajam penglihatan diakibatkan oleh kelainan refraksi
atau kelainan pada media penglihatan, atau kelainan retina lainnya.
Bila ketajaman penglihatan bertambah setelah dilakukan pin hole
berarti pada pasien tersebut terdapat kelainan refraksi yang belum
dikoreksi baik. Bila ketajaman penglihatan berkurang berarti pada
pasien terdapat kekeruhan media penglihatan atau pun retina yang
menggangu penglihatan
- Uji refraksi
o Subjektif: Optotipe dari Snellen & Trial lens
Bila setelah pemeriksaan tersebut diatas tetap tidak tercapai
tajam penglihatanmaksimal mungkin pasien mempunyai
kelainan refraksi astigmat.Pada keadaan ini lakukan uji
pengaburan (fogging technique).
o Objektif
o Autorefraktometer
Yaitu menentukan myopia atau besarnya kelainan refraksi
dengan menggunakankomputer. Penderita duduk di depan
autorefractor, cahaya dihasilkan oleh alat dan respon mata
terhadap cahaya diukur. Alat ini mengukur berapa besar
kelainan refraksi yang harus dikoreksi dan pengukurannya
hanya memerlukan waktu beberapa detik.
o Keratometri
Adalah pemeriksaan mata yang bertujuan untuk mengukur
radius kelengkungan kornea. Keratometer dipakai klinis secara
luas dan sangat berharga namun mempunyai keterbatasan.
- Uji pengaburan
Setelah pasien dikoreksi untuk myopia yang ada, maka tajam
penglihatannya dikaburkan dengan lensa positif, sehingga tajam
penglihatan berkurang 2 baris pada kartu Snellen, misalnya dengan
menambah lensa spheris positif 3. Pasien diminta melihat kisikisi
juring astigmat, dan ditanyakan garis mana yang paling jelas
terlihat.Bila garis juring pada 90° yang jelas, maka tegak lurus
padanya ditentukan sumbu lensa silinder, atau lensa silinder
ditempatkan dengansumbu 180°. Perlahan-lahan kekuatan lensa
silinder negatif ini dinaikkan sampai garis juring kisi - kisi astigmat
vertikal sama tegasnya atau kaburnya dengan juring horizontal atau
semua juring sama jelasnya bila dilihat dengan lensa silinder
ditentukan yang ditambahkan. Kemudian pasien diminta melihat
kartu Snellen dan perlahan- lahan ditaruh lensa negatif sampai
pasien melihat jelas.
- Keratoskop
Keratoskop atau Placido disk digunakan untuk pemeriksaan
astigmatisme. Pemeriksa memerhatikan imej “ring” pada kornea
pasien. Pada astigmatisme regular, “ring” tersebut berbentuk oval.
Pada astigmatisme irregular, imej tersebut tidak terbentuk sempurna.
- Retinoskopi
Melihat refleks merah pada mata ketika retinoskop digerakan secara
vertikal dan horizontal.
2.3.3.3.7 Penatalaksanaan
Pasien dengan astigmat dapat diterapi dengan : 17
- Kacamata Silinder
Pada astigmatism againts the rule, koreksi dengan silender negatif
dilakukan dengan sumbu tegak lurus (90o +/- 20o) atau dengan
selinder positif dengan sumbu horizontal (180o +/- 20o). Sedangkan
pada astigmatism with the rule diperlukan koreksi silinder negatif
dengan sumbu horizontal (180o +/- 20o) atau bila dikoreksi dengan
silinder positif sumbu vertikal (90o +/- 20o).
- Pada koreksi astigmatisma dengan hasil keratometri digunakan
hukum Jawal :
o Berikan kacamata koreksi astigmatisma pada astigmatism with
the rule dengan selinder minus 180 derajat, dengan
astigmatisma hasil keratometri yang ditemukan ditambahkan
dengan ¼ nilainya dan dikurangi dengan 0,5 D.
o Berikan kacamata koreksi astigmatisma pada astigmatism
againts the rule dengan selinder minus 90 derajat, dengan
astigmatisma hasil keratometri yang ditemukan ditambahkan
dengan ¼ nilainya dan ditambah dengan 0,5 D.
- Lensa Kontak
Pada penderita astigmatisma diberikan lensa rigid, yang dapat
menetralisasi astigmatisma yang terjadi di permukaan kornea.
- Pembedahan
Untuk mengoreksi astigmatisma yang berat, dapat digunakan pisau
khusus atau dengan laser untuk mengoreksi kornea yang irreguler
atau anormal. Ada bebrapa prosedur pembedahan yang dapat
dilakukan, diantaranya :
a. Photorefractive Keratectomy (PRK), laser dipergunakan unutk
membentuk kurvatur kornea, dilakukan dengan membuang
jaringan dari lapisan dangkal dan bagian dalam kornea
b. Laser in Situ Keratomileusis (lasik),laser digunakan untuk
merubah kurvatur kornea dengan membuat flap (potongan laser)
pada kedua sisi kornea. LASIK dilakukan dengan memotong
bagian dari permukaan kornea luar melipatnya kembali untuk
mengekspos jaringan dalam. Maka laser digunakan untuk
membuang sejumlah jaringan yang dibutuhkan dan flap jaringan
luar ditempatkan kembali pada posisinya posisi untuk proses
penyembuhan.
c. Radial keratotomy: insisi kecil dibuat secara dalam dikornea.
BAB 3
PENUTUP
Kelianan refraksi merupakan suatu gangguan yang menurunkan kualitas hidup
manusia dan telah menjadi perhatian dunia. Kelainan refraksi dapat terjadi di segala
usia dan dapat didagnosa dengan mudah. Kelainan refraksi juga harus segera
diterapi agar tidak bertambah parah dan mempengaruhi aspek lain dari penderita.
Tatalaksana kelainan refraksi sendiri umumnya dengan melakukan koreksi refraksi
yang dapat dilakukan dengan koreksi optik maupun koreksi pembedahan dengan
keuntungan dan kekurangannya masing-masing. Di Indonesia telah dilakukan
beberapa survei kesehatan terkait refraksi pada penduduk Indonesia seperti
Riskesdas 2007 maupun 2013 namun ternyata belum dianggap valid dikarenakan
beberapa kekurangan. Oleh karena itu, pemahaman dan pengetahuan tehadap
kelainan refraksi sangatlah penting untuk dapat mendiagnosa lebih awal dan
memberikan penanganan yang lebih cepat dan tepat untuk mencegah terjadinya
komplikasi dan juga dapat membantu untuk dokumentasi medis sehingga Indonesia
nantinya dapat memiliki data prevalensi terkait kelainan refraksi yang valid dan
dapat digunakan untuk penelitian dan pembangunan kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Infodatin : Situasi Gangguan
Penglihatan dan Kebutaan. Pusat Data dan Informasi Kementerian
Kesehatan RI [Internet]. 2014; Available from:
http://www.depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/infodatin/i
nfodatin-penglihatan.pdf
2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Mata Sehat di Segala Usia
Untuk Peningkatan Kualitas Hidup Masyrakata Indonesia [Internet].
depkes.go.id. 2012. Available from:
http://www.depkes.go.id/article/print/16031000001/hari-ginjal-sedunia-
2016-cegah-nefropati-sejak-dini.html
3. World Health Organization. Universal Eye Health : A Global Action Plan
2014-2019 [Internet]. Geneva: World Health Organization; 2013. Available
from: http://www.who.int/blindness/AP2014_19_English.pdf
4. Bron AJ, Tripathi RC, J TB. Wolff’s Anatomy of The Eye and Orbit. 8th
ed. London: Chapman & Hall Medical; 2008.
5. Ilyas S, Yulianti SR. Ilmu Penyakit Mata. 5th ed. Jakarta: Badan Penerbit
FKUI; 2015.
6. Sherwood L. Human Physiology: The Periferal Nervous System: Afferent
Division; Spesial Sense. 7th ed. Philadelphia; 2010.
7. Ganong WF. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 22nd ed. 2008.
8. Mescher AL. Teks & Atlas Histologi Dasar Junqueira. EGC; 2012.
9. Lowth M. Refraction and Refractive Errors [Internet]. Royal National
Institute of Blind. 2016. p. 1–16. Available from:
https://patient.info/doctor/refraction-and-refractive-errors
10. Riset Kesehatan Dasar 2013 [Internet]. 2014. Available from:
www.riskesdas.litbang.depkes.go.id/download/Riskesdas2013.pdf
11. National Eye Institute. Fact Sheet : Refractive Errors [Internet]. 2016.
Available from: https://nei.nih.gov/sites/default/files/health-
pdfs/HVM09_Fact_Sheet_Final_tagged.pdf
12. Silbernagl S, Lang F. Teks dan Atlas Bergambar Patofisiologi Silbernagl.
Jakarta: EGC; 2006. 206 p.
13. Widodo A, T P. Miopia Patologi. J Oftalmol Indones [Internet].
2007;5(1):19–26. Available from:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/44769/4/Chapter II.pdf
14. National Eye Institute. Facts About Hyperopia [Internet]. National Eye
Institute. 2016. Available from:
https://nei.nih.gov/health/errors/hyperopia
15. Vitresia H. Penatalaksanaan Hipermetrop [Internet]. Sub Bagian Refraksi
Ilmu Penyakit lVlata FK Unand / RS Dr. M.Djamil. Padang: Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas; 2007. Available from:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/44769/4/Chapter II.pdf
16. Hooper VD. Care of the Patient with Hyperopia. Am Optom Assoc
[Internet]. 2013;740–50. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/B978-1-
4377-1894-2/00062-6
17. National Eye Institute. Facts About Astigmatism [Internet]. National Eye
Institute. 2010. Available from:
https://nei.nih.gov/health/errors/astigmatism
18. Permatasari F, Setyandriana Y. Keluhan Mata Silau pada Penderita
Astigmatisma Dibandingkan dengan Miopia. Mutiara Med.
2013;13(2):127–31.