Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular
(contagiousdisease). Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri Coryne
bacterium diphtheriae, yaitu kuman yang menginfeksi saluran pernafasan,
terutama bagian tonsil, nasofaring (bagian antara hidung dan faring/
tenggorokan) dan laring. Penularan difteri dapat melalui kontak hubungan
dekat, melalui udara yang tercemar oleh carier atau penderita yang akan
sembuh, juga melalui batuk dan bersin penderita.
Difteri adalah suatu penyakit bakteria akut terutama menyerang
tonsil, faring, laring, hidung, adakalanya menyerang selaput lendir atau
kulit serta kadang-kadang konjungtiva atau vagina. Penyebab penyakit ini
adalah Co =rynebacteriumdiphteria. Penyakit ini muncul terutama pada
bulan-bulan dimana temperatur lebih dingin di negara subtropis dan pada
umumnya menyerang anak-anak usia 1-10 tahun.
Penderita difteri umumnya anak-anak, usia di bawah 15 tahun.
Dilaporkan 10 % kasus difteri dapat berakibat fatal, yaitu sampai
menimbulkan kematian. Selama permulaan pertama dari abad ke-20,
difteri merupakan penyebab umum dari kematian bayi dan anak – anak
muda. Penyakit ini juga dijumpai pada daerah padat penduduk dengan
tingkat sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga kebersihan sangatlah
penting, karena berperan dalam menunjang kesehatan kita.
Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) seperti
TBC, Diphteri, Pertusis, Campak, Tetanus, Polio, dan Hepatitis B
merupakan salah satu penyebab kematian anak di negara-negara
berkembang termasuk Indonesia. Diperkirakan1,7 juta kematian pada anak
atau 5% pada balita di Indonesia adalah akibat PD3I. Difteri merupakan
salah satu penyakit menular yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I).
Sebelum era vaksinasi, racun yang dihasilkan oleh kuman ini sering
meyebabkan penyakit yang serius, bahkan dapat menimbulkan kematian.
Tapi sejak vaksin difteri ditemukan dan imunisasi terhadap difteri
digalakkan, jumlah kasus penyakit dan kematian akibat kuman difteri
menurun dengan drastis.
Difteri termasuk penyakit menular yang jumlah kasusnya relatif
rendah. Lingkungan buruk merupakan sumber dan penularan penyakit.
Sejak diperkenalkan vaksin DPT (Dyphtheria, Pertusis dan Tetanus),
penyakit difteri mulai jarang dijumpai. Vaksin imunisasi difteri diberikan
pada anak-anak untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh agar tidak
terserang penyakit tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksin
difteri akan lebih rentan terhadap penyakit yang menyerang saluran
pernafasan ini.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Bidang Pencegahan Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Kota Makassar, jumlah
penderita Difteri pada tahun 2010 sebanyak 3 orang penderita yang
tersebar di tiga kecamatan dan tiga kelurahan dan tidak ditemukan adanya
kematian akibat Difteri. Di tahun 2011 mengalami penurunan kasus
dimana terdapat 2 kasus difteri yang tersebar di dua kecamatan dan tidak
ditemukan adanya kematian dan mengalami peningkatan kasus di tahun
2012 sebanyak 7 kasus diantaranya terdapat 1 kematian.
B. Rumusan Masalah

1. Bakteri apa yang menyebabkan penyakit dipteri?

2. Bagaimana tingkat keparahan dan gejala klinis penyakit dipteri?

3. Berapa lama masa inkubasi penyakit dipteri?

4. Bagaimana cara pencegahan dan pengobatan penyakit dipteri?

C. Tujuan

Adapun tujuan yang ingin dicapai adalah :

1. Mengetahui penyebab penyakit Dipteri

2. Mengetahui tingkat keparahan dan gejala klinis penyakit dipteri


3. Mengetahui masa inkubasi penyakit difteri

4. Mengetahui cara pencegahan dan pengobatan penyakit difteri.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Difteria adalah suatu penyakit bakteri akut terutama menyerang
tonsil, faring, laring, hidung, adakalanya menyerang selaput lendir atau
kulit serta kadang-kadang konjungtiva atau vagina. Timbulnya lesi yang
khas disebabkan oleh cytotoxin spesifik yang dilepas oleh bakteri. Lesi
nampak sebagai suatu membran asimetrik keabu-abuan yang dikelilingi
dengan daerah inflamasi. Tenggorokan terasa sakit, sekalipun pada
difteriafaucial atau pada difteri faring otonsiler diikuti dengan kelenjar
limfa yang membesar dan melunak. Pada kasus-kasus yang berat dan
sedang ditandai dengan pembengkakan dan oedemadileher dengan
pembentukan membran pada trachea secara ektensif dan dapat terjadi
obstruksi jalan napas.
Difteri hidung biasanya ringan dan kronis dengan satu rongga
hidung tersumbat dan terjadi ekskorisasi (ledes). Infeksi subklinis (atau
kolonisasi ) merupakan kasus terbanyak. Toksin dapat menyebabkan
kegagalan jantung kongestif yang progresif, timbul satu minggu setelah
gejala klinis difteri. Bentuk lesi pada difteri kulit bermacam-macam dan
tidak dapat dibedakan dari lesi penyakit kulit yang lain, bisa seperti atau
merupakan bagian dari impetigo (Kadun, 2006)

B. Penyebab
Penyebab penyakit difteri adalah Coryne bacterium diphtheria .
Berbentuk batang gram positif, tidak berspora, bercampak atau kapsul.
Infeksi oleh kuman sifatnya tidak invasive, tetapi kuman dapat
mengeluarkan toxin, yaitu exotoxin. Toxin difteri ini, karena
mempunayi efek patoligikmeyebabkan orang jadi sakit. Ada tiga
typevariants dari Coryne bacterium diphtheria ini yaitu : typemitis,
typeintermedius dan typegravis.
Coryne bacterium diphtheriae merupakan makhluk anaerobik
fakultatif dan gram positif, ditandai dengan tidak berkapsul, tidak
berspora, dan tak bergerak. Coryne bacterium diphtheriae terdiri dari 3
biovar, yaitu gravis, mitis, dan intermedius. Di alam, bakteri ini terdapat
dalam saluran pernapasan, dalam luka-luka, pada kulit orang yang
terinfeksi, atau orang normal yang membawa bakteri. Bakteri yang berada
dalam tubuh akan mengeluarkan toksin yang aktivitasnya menimbulkan
penyakit difteri. Bakteri ini biasanya menyerang saluran pernafasan,
terutama terutama laring, amandel dan tenggorokan. Penyakit ini
sering kali diderita oleh bayi dan anak-anak. Perawatan bagi penyakit
ini adalah dengan pemberian antitoksin difteri untuk menetralkan racun
difteri, serta eritromisin atau penisilin untuk membunuh bakteri difteri.
Sedangkan untuk pencegahan bisa dilakukan dengan vaksinasi
dengan vaksin DPT.
Coryne bacterium diphtheria dapat diklasifikasikan dengan cara
bacteriophagelysis menjadi 19 tipe. Tipe 1-3 termasuk tipe mitis, tipe 4-6
termasuk tipe intermedius, tipe 7 termasuk tipe gravis yang tidak ganas,
sedangkan tipe-tipe lainnya termasuk tipe gravis yang virulen. Coryne
bacterium diphtheria ini dalam bentuk satu atau dua varian yang tidak
ganas dapat ditemukan pada tenggorokan manusia, pada selaput mukosa
(Depkes,2007).
1. Morfologi Coryne bacterium diphtheria
 Gram (+) batang, panjang/pendek, besar/kecil, polymorph, tidak
berspora, tidak berkapsul, tidak bergerak, bergranula yang terletak di
salah satu atau kedua ujung badan bacteri.
 Pada pewarnaan menurut Neisser, tubuh bacteri berwarna kuning atau
coklat muda sedangkan granulanya berwarna biru violet ( meta
chromatis ).
 Preparat yang dibuat langsung dari specimen yang baru diambil dari
pasien, letanya bakteri seperti huruf – huruf L, V, W, atau
tangan yang jarinya terbuka atau sering di kenal sebagian Susunan
sejajar / paralel / palisade / sudut tajam huruf V, L, Y / tulisan cina
Corynebacteria berdiameter 0,5-1 μm dan panjangnya beberapa
mikrometer, tidak berspora, tidak bergerak, termasuk Gram positif, dan
tidak tahan asam. C. diphtheriae bersifat anaerob fakultatif, namun
pertumbuhan maksimal diperoleh pada suasana aerob. Pembiakan kuman
dapat dilakukan dengan perbenihan Pai, perbenihan serum Loeffler atau
perbenihan agar darah. Pada perbenihan-perbenihan ini, strainmitis
bersifat hemolitik, sedangkan gravis dan intermedius tidak. Dibanding
dengan kuman lain yang tidak berspora, C. diphtheriae lebih tahan
terhadap pengaruh cahaya, pengeringan dan pembekuan. Namun, kuman
ini mudah dimatikan oleh desinfektan. Ciri khas bakteri ini adalah
pembengkakan tidak teratur pada salah satu ujungnya, yang menghasilkan
bentuk seperti ”gada”. Di dalam batang tersebut (sering di dekat ujung)
secara tidak beraturan tersebar granula-granula yang dapat diwarnai
dengan jelas dengan zat warna anilin (granula metakromatik) yang
menyebabkan batang tersebut berbentuk seperti tasbih. Tiap korinebakteria
pada sediaan yang diwarnai cenderung terletak paralel atau membentuk
sudut lancip satu sama lain. Percabangan jarang ditemukan dalam biakan.
Ada tiga tipe C. diphtheriae yang berbeda yang dibedakan oleh
tingkat keparahan penyakit mereka yang disebabkan pada manusia yaitu
a. Gravis : agak kasar, rata,berwarna abu-abu sampai hitam,
ukurannya juga paling besar. bentuk pemukul dan bentuk
halter, granula metakromatik sedikit, pada area sel terwarnai
dalam perbedaan corak biru. karakteristik koloni pada
Mcleod’schocolate. Pada kaldu membentuk selaput pada
permukaan.
b. Mitis : koloni licin, cembung dan hitam. Bentuk batang
pleomorfik dengan sejumlahgranulametakromatik, batasan sel
tersusun huruf V dan W, mirip seperti karakter tulisan kuno.
Penyakit : ringan, karakteristik koloni padaMcleod’schocolate.
Pada kaldu : tumbuh merata.
c. Intermedius : koloni berukuran kecil dan dan licin
dengan pusat berwarna hitam. batang pendek,
terwarnai dengan selang-seling pita biru terang &
gelap, tidak adanya granula metakromatik. Penyakit :
pertengahan pada kaldu akan membentuk endapan.
Ketiga tipe diatas sedikit berbeda dalam morfologi koloni dan
sifat-sifat biokimia sepertikemampuan metabolisme nutrisi tertentu.
Perbedaan virulensi dari tiga tipe dapat dikaitkandengan kemampuan
relatif mereka untuk memproduksi toksin difteri (baik kualitas dan
kuantitas), dan tingkat pertumbuhan masing-masing. Straingravis memiliki
waktu generasi (in vitro) dari 60 menit; strainintermedius memiliki waktu
generasi dari sekitar 100 menit,danmitis memiliki waktu generasi dari
sekitar 180 menit.. Dalam tenggorokan (in vivo),tingkat pertumbuhan yang
lebih cepat memungkinkan organisme untuk menguras pasokan besi lokal
lebih cepat dalam menyerang jaringan.

C. Klasifikasi

Gambar Bakteri Corynebacteriumdiphtheria

Klasifikasi

Kerajaan : Bacteria

Filum : Actinobacteria

Ordo : Actinomycetales

Famili : Corynebacteriaceae

Genus : Corynebacterium

Spesies : C. diphtheria
D. Cara Penularan
Sumber penularan penyakit difteri ini adalah manusia, baik
sebagai penderita maupun sebagai carier. Cara penularannya yaitu
melalui kontak dengan penderita pada masa inkubasi atau kontak
dengan carier . Caranya melalui pernafasan atau dropletinfection.
Masa inkubasi penyakit difteri ini 2–5 hari, masa penularan
penderita 2-4 minggu sejak masa inkubasi, sedangkan masa
penularan carier bisa sampai 6 bulan.
Penyakit difteri yang diserang terutama saluran pernafasan bagian
atas. Ciri khas dari penyakit ini ialah pembekakan di daerah
tenggorokan, yang berupa reaksi radang lokal , dimana pembuluh-
pembuluh darah melebar mengeluarkan sel darah putih sedang sel-sel
epitel disitu rusak, lalu terbentuk lah disitu membaran putih keabu-
abuan (psedomembran). Membran ini sukar diangkat dan mudah
berdarah. Di bawah membran ini bersarang kuman difteri dan
kuman-kuman ini mengeluarkan exotoxin yang memberikan gejala-
gejala dan miyocarditis. Penderita yang paling berat didapatkan pada
difteri fauncial dan faringeal (Depkes,2007).
Menurut tingkat keparahannya, penyakit ini dibagi menjadi 3
tingkat yaitu:
a. Infeksi ringan bila pseudo membran hanya terdapat pada mukosa hidung
dengan gejala hanya nyeri menelan.
b. Infeksi sedang bila pseudo membran telah menyerang sampai faring
(dinding belakang rongga mulut) sampai menimbulkan pembengkakan
pada laring.
c. Infeksi berat bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai dengan gejala
komplikasi seperti miokarditis (radang otot jantung) paralisis (kelemahan
anggota gerak) dan nefritis (radang ginjal).
Disamping itu, penyakit ini juga dibedakan menurut lokasi gejala
yang dirasakan pasien:
a. Difteri hidung (nasal diphtheria) bila penderita menderita pilek dengan
ingus yang bercampur darah. Prevalesi Difteri ini 2 % dari total kasus
difteri. Bila tidak diobati akan berlangsung mingguan dan merupakan
sumber utama penularan.
b. Difteri faring (pharingeal diphtheriae)dan tonsil dengan gejala radang
akut tenggorokan, demam sampai dengan 38,5 derajat celsius, nadi yang
cepat,tampak lemah, nafas berbau, timbul pembengkakan kelenjar leher.
Pada difteri jenis ini juga akan tampak membran berwarna putih keabu
abuan kotor didaerah rongga mulut sampai dengan dinding belakang mulut
(faring).
c. Difteri laring (l a r y n g o t r a c h e a l d i p h t h e r i a e ) dengan gejala tidak
bisa bersuara, sesak, nafas berbunyi, demam sangat tinggi sampai 40
derajat celsius, sangat lemah, kulit tampak kebiruan, pembengkakan
kelenjar leher. Difteri jenis ini merupakan difteri paling berat karena bisa
mengancam nyawa penderita akibat gagal nafas.
d. Difteri kutaneus (Cutaneousdiphtheriae) dan vaginal dengan gejala berupa
luka mirip sariawan pada kulit dan vagina dengan pembentukan
membranediatasnya. Namun tidak seperti sariawan yang sangat nyeri,
pada difteri, luka yang terjadi cenderung tidak terasa apa apa.

E. Gambaran Klinis
Masa inkubasi difteri adalah 2-5 hari (jangkauan, 1-10 hari). Untuk
tujuan klinis, akan lebih mudah untuk mengklasifikasikan difteri menjadi
beberapa manifestasi, tergantung pada tempat penyakit.
1. Anterior nasal difteri : Biasanya ditandai dengan keluarnya cairan hidung
mukopurulen (berisi baik lendir dan nanah) yang mungkin darah menjadi
kebiruan. Penyakit ini cukup ringan karena penyerapan sistemik toksin di
lokasi ini, dan dapat diakhiri dengan cepat oleh antitoksin dan terapi
antibiotik.
2. Pharyngeal dan difteri tonsillar : Tempat yang paling umum adalah infeksi
faring dan tonsil. Awal gejala termasuk malaise, sakit tenggorokan,
anoreksia, dan demam yang tidak terlalu tinggi. Pasien bisa sembuh jika
toksin diserap. Komplikasi jika pucat, denyut nadi cepat, pingsan, koma,
dan mungkin mati dalam jangka waktu 6 sampai 10 hari. Pasien dengan
penyakit yang parah dapat ditandai terjadinya edema pada daerah
submandibular dan leher anterior bersama dengan limfadenopati.
3. Difteri laring : Difteri laring dapat berupa perpanjangan bentuk faring.
Gejala termasuk demam, suara serak, dan batuk menggonggong. membran
dapat menyebabkan obstruksi jalan napas, koma, dan kematian.
4. Difteri kulit : Difteri kulit cukup umum di daerah tropis. Infeksi kulit dapat
terlihat oleh ruam atau ulkus dengan batas tepi dan membran yang jelas.
Situs lain keterlibatan termasuk selaput lendir dari konjungtiva dan daerah
vulvo-vagina, serta kanal auditori eksternal.
Kebanyakan komplikasi difteri, termasuk kematian, yang
disebabkan oleh pengaruh toksin terkait dengan perluasan penyakit lokal.
Komplikasi yang paling sering adalah miokarditis difteri dan neuritis.
Miokarditis berupa irama jantung yang tidak normal dan dapat
menyebabkan gagal jantung. Jika miokarditis terjadi pada bagian awal,
sering berakibat fatal. Neuritis paling sering mempengaruhi saraf motorik.
Kelumpuhan dari jaringan lunak, otot mata, tungkai, dan kelumpuhan
diafragma dapat terjadi pada minggu ketiga atau setelah minggu kelima
penyakit.
Komplikasi lain termasuk otitis media dan insufisiensi pernafasan
karena obstruksi jalan napas, terutama pada bayi. Tingkat fatalitas kasus
keseluruhan untuk difteri adalah 5% -10%, dengan tingkat kematian lebih
tinggi (hingga 20%). Namun, tingkat fatalitas kasus untuk difteri telah
berubah sangat sedikit selama 50 tahun terakhir.

F. Patofisiologi
1. Tahap Inkubasi
Kuman difteri masuk ke hidung atau mulut dimana baksil akan
menempel di mukosa saluran nafas bagian atas, kadang-kadang kulit, mata
atau mukosa genital dan biasanya bakteri berkembangbiak pada atau di
sekitar permukaan selaput lendir mulut atau tenggorokan dan
menyebabkan peradangan. Bila bakteri sampai ke hidung, hidung akan
meler. Peradangan bisa menyebar dari tenggorokan ke pita suara (laring)
dan menyebabkan pembengkakan sehingga saluran udara menyempit dan
terjadi gangguan pernafasan.
Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah dari batuk penderita
atau benda maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri.
Ketika telah masuk dalam tubuh, bakteri melepaskan toksin atau racun.
Toksin ini akan menyebar melalui darah dan bisa menyebabkan kerusakan
jaringan di seluruh tubuh, terutama jantung dan saraf.
Masa inkubasi penyakit difteri dapat berlangsung antara 2-5 hari.
Sedangkan masa penularan beragam, dengan penderita bisa menularkan
antara dua minggu atau kurang bahkan kadangkala dapat lebih dari empat
minggu sejak masa inkubasi. Sedangkan stadium karier kronis dapat
menularkan penyakit sampai 6 bulan.
2. Tahap Penyakit Dini
Toksin biasanya menyerang saraf tertentu, misalnya saraf di
tenggorokan. Penderita mengalami kesulitan menelan pada minggu
pertama kontaminasi toksin.Antara minggu ketiga sampai minggu keenam,
bisa terjadi peradangan pada saraf lengan dan tungkai, sehingga terjadi
kelemahan pada lengan dan tungkai.Kerusakan pada otot jantung
(miokarditis) bisa terjadi kapan saja selama minggupertama sampai
minggu keenam, bersifat ringan, tampak sebagai kelainan ringanpada
EKG. Namun, kerusakan bisa sangat berat, bahkan menyebabkan gagal
jantung dan kematian mendadak. Pemulihan jantung dan saraf berlangsung
secara perlahan selama berminggu-minggu. Pada penderita dengan tingkat
kebersihan buruk, tak jarang difteri juga menyerang kulit.
3. Tahap Penyakit lanjut
Pada serangan difteri berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu
lapisan selaputyang terdiri dari sel darah putih yang mati, bakteri dan
bahan lainnya, di dekat amandel dan bagian tenggorokan yang lain.
Membran ini tidak mudah robek dan berwarna abu-abu. Jika membran
dilepaskan secara paksa, maka lapisan lendir dibawahnya akan berdarah.
Membran inilah penyebab penyempitan saluran udara atau secara tiba-tiba
bisa terlepas dan menyumbat saluran udara, sehingga anak mengalami
kesulitan bernafas.
Coryne bacterium diphtheriae adalah organisme yang minimal
melakukan invasive, secara umum jarang memasuki aliran darah, tetapi
berkembang lokal pada membrana mukosa atau pada jaringan yang rusak
dan menghasilkan exotoxin yang paten, yang tersebar keseluruh tubuh
melalui aliran darah dan sistem limpatik. Dengan sejumlah kecil toxin,
yaitu 0,06 ug, biasanya telah bisa menimbulkan kematian pada guineapig.
Pada saat bakteri berkembang biak, toxin merusak jaringan lokal,
yang menyebabkan timbulnya kematian dan kerusakan jaringan, lekosit
masuk kedaerah tersebut bersamaan dengan penumpukan fibrin dan
elemen darah yang lain, disertai dengan jaringan yang rusak membentuk
membrane. Akibat dari kerusakan jaringan, oedem dan pembengkakan
pada daerah sekitar membran sering terjadi, dan ini bertanggung jawab
terhadap terjadinya penyumbatan jalan nafas pada tracheo-bronchial atau
laryngeal difteri.
Warna dari membran difteri dapat bervariasi, mulai dari putih,
kuning, atau abu-abu, dan ini sering meragukan dengan
"simpletonsillarexudate". Karena membran terdiri dari jaringan yang mati,
atau sel yang rusak, dasar dari membran rapuh, dan mudah berdarah bila
membran yang lengket diangkat.
Kematian umumnya disebabkan oleh kekuatan dari exotoxin.
Exotoxin ditransportasikan melalui aliran darah ke jaringan lain, dimana
dia menggunakan efeknya pada metabolisme seluler. Toxin terlihat terikat
pada membran sel melalui porsi toxin yang disebut "B" fragment, dan
membantu dalam transportasi porsi toxinlainnya,"A"
fragmentkedalamcytoplasma. Dalam beberapa jam saja setelah terexpose
dengan toxin difteri, sintesa protein berhenti dan sel segera mati.
Organ penting yang terlibat adalah otot jantung dan jaringan saraf.
Pada miokardium, toxin menyebabkan pembengkakan dan kerusakan
mitochondria, dengan fattydegeneration, oedem dan interstitialfibrosis.
Setelah terjadi kerusakan jaringan miokardium, peradangan setempat akan
terjadi, diikuti dengan perivascular dibalut dengan lekosit.
Kerusakan oleh toxin pada myelinsheath dari saraf perifer terjadi
pada keduanya, yaitu sensory dan saraf motorik. Begitupun saraf motorik
lebih sering terlibat dan lebih berat.

G. Epidemiologi
1. Person (Orang)
Difteri dapat menyerang seluruh lapisan usia tapi paling sering
menyerang anak-anak yang belum diimunisasi. Penderita difteri umumnya
anak-anak, usia di bawah 15 tahun. Selama permulaan pertama dari abad
ke-20, difteri merupakan penyebab umum dari kematian bayi dan anak-
anak muda.
Data menunjukkan bahwa setiap tahunnya di dunia ini terdapat 1,5
juta kematian bayi berusia 1 minggu dan 1,4 juta bayi lahir akibat tidak
mendapatkan imunisasi. Tanpa imunisasi, kira-kira 3 dari 100 kelahiran
anak akan meninggal karena penyakit campak, 2 dari 100 kelahiran anak
akan meninggal karena batuk rejan. 1 dari 100 kelahiran anak akan
meninggal karena penyakit tetanus. Dan dari setiap 200.000 anak, 1 akan
menderita penyakit polio.
2. Place (Tempat)
Penyakit ini juga dijumpai pada daerah padat penduduk dengan
tingkat sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga kebersihan sangatlah
penting, karena berperan dalam menunjang kesehatan kita. Lingkungan
buruk merupakan sumber dan penularan penyakit. Sejak diperkenalkan
vaksin DPT (Dyphtheria, Pertusis dan Tetanus), penyakit difteri mulai
jarang dijumpai. Vaksin imunisasi difteri diberikan pada anak-anak untuk
meningkatkan sistem kekebalan tubuh agar tidak terserang penyakit
tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksin difteri akan lebih
rentan terhadap penyakit yang menyerang saluran pernafasan ini.
3. Time (Waktu)
Penyakit difteri dapat menyerang siapa saja dan kapan saja tanpa
mengenal waktu. Apabila kuman telah masuk ke dalam tubuh dan tubuh
kita tidak mempunyai system kekebalan tubuh maka pada saat itu kuman
akan berkembang biak dan berpotensi untuk terjangkit penyakit difteri.

H. Diagnosis
Pada penyakit difteri ini diagnosis dini sangat penting.
Keterlambatan pemberian antitoksin sangat mempengaruhi prognosa.
Diagnosa harus ditegakakkan berdasarkan gejala klinik. Test yang
digunakan untuk mendeteksi penyakit difteri boleh meliputi:
a. Gram Noda kultur kerongkongan atau selaput untuk mengidentifikasi
Corynebacteriumdiphtheriae.
b. Untuk melihat ada tidaknya myocarditis (peradangan dinding
otot jantung) dapat di lakukan dengan Electrocardiogram (ECG).
Pengambilan smear dari membran dan bahan dibawah membran,
tetapi hasilnya kurang dapat dipercaya. Pemeriksaan darah dan urine,
tetapi tidak spesifik. Pemeriksaan Shick Test bisa dilakukan untuk
menentukan status imunitas penderita.

I. Gejala Penyakit
Gejala klinis penyakit difteri ini adalah :
1. P a n a s l e b i h d a r i 3 8 ° C
2. Ada psedomembrane bisa di pharynx, larynx atau
tonsil
3. Sakit waktu menelan
4. Leher membengkak seperti leher sapi (bullneck),
disebabkan karena pembengkakan kelenjar leher.

Tergantung pada berbagai faktor, maka manifestasi penyakit ini


bisa bervariasi dari tanpa gejala sampai suatu keadaan/penyakit yang
hipertoksik serta fatal. Sebagai faktor primer adalah imunitas penderita
terhadap toksin diphtheria, virulensi serta toksinogenesitas (kemampuan
membentuk toksin) Corynebacteriumdiphtheriae, dan lokasi penyakit
secara anatomis. Faktor-faktor lain termasuk umur, penyakit sistemik
penyerta dan penyakit-penyakit pada daerah nasofaring yang sudah ada
sebelumnya. Masa tunas 2-6 hari. Penderita pada umumnya datang untuk
berobat setelah beberapa hari menderita keluhan sistemik. Demam jarang
melebihi 38,9o C dan keluhan serta gejala lain tergantung pada lokasi
penyakit diphtheria.
a. Diphtheria Hidung
Pada permulaan mirip commoncold, yaitu pilek
ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung
berangsur menjadi serosanguinous dan kemudian
mukopurulen mengadakan lecet pada nares dan bibir atas.
Pada pemeriksaan tampak membran putih pada daerah septum
nasi.
b. Diphtheria Tonsil-Faring
Gejala anoroksia, malaise, demam ringan, nyeri menelan.
dalam 1-2 hari timbul membran yang melekat, berwarna putih-
kelabu dapat menutup tonsil dan dinding faring, meluas ke
uvula dan palatum molle atau ke distal ke laring dan trachea.
c. Diphtheria Laring
Pada diphtheria laring primer gejala toksik kurang nyata,
tetapi lebih berupa gejala obstruksi saluran nafas atas.
d. Diphtheria Kulit, Konjungtiva, Telinga

Diphtheria kulit berupa tukak di kulit, tepi jelas dan terdapat membran
pada dasarnya. Kelainan cenderung menahun. Diphtheria pada mata
dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran
pada konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitiseksterna dengan
sekretpurulen dan berbau

Tidak semua gejala-gejala klinik ini tampak jelas, maka setiap anak
panas yang sakit waktu menelan harus diperiksa pharynx dan tonsilnya
apakah ada psedomembrane. Jika pada tonsil tampak membran putih
kebau-abuan disekitarnya, walaupun tidak khas rupanya, sebaiknya
diambil sediaan (spesimen) berupa apusan tenggorokan (throatswab)
untuk pemeriksaan laboratorium.
Gejala diawali dengan nyeri tenggorokan ringan dan nyeri
menelan. Pada anak tak jarang diikuti demam, mual, muntah, menggigil
dan sakit kepala. Pembengkakankelenjar getah bening di leher sering
terjadi (Ditjen P2PL Depkes,2003).

J. Patogenesis
Di alam, Corynebacteriumdiphtheriaterdapat dalam saluran
pernapasan, dalam luka- luka, pada kulit orang yang terinfeksi, atau orang
normal yang membawa bakteri. Bakteri disebarkan melalui droplet atau
kontak dengan individu yang peka. Bakteri kemudian tumbuh pada selaput
mukosa atau kulit yang lecet, dan bakteri mulai menghasilkan toksin.
Pembentukan toksin ini secara in vitro terutama bergantung pada kadar
besi. Pembentukan toksin optimal pada kadar besi 0,14 μg/ml perbenihan
tetapi benar-benar tertekan pada 0,5 μg/ml. Faktor lain yang
mempengaruhi timbulnya toksin in vitro adalah tekanan osmotik, kadar
asam amino, pH, dan tersedianya sumber-sumber karbon dan nitrogen
yang cocok.
Toksin difteri adalah polipeptoda tidak tahan panas (BM 62.000)
yang dapat mematikan pada dosis 0,1 μg/kg. Bila ikatan disulfidea
dipecah, olekul dapat terbagi menjadi 2 fragmen, yaitu fragmen A dan
fragmen B. Fragmen B tidak mempunyai aktivitas tersendiri, tetapi
diperlukan untuk pemindahan fragmen A ke dalam sel. Fragmen A
menghambat pemanjangan rantai polipeptida (jika ada NAD) dengan
menghentikan aktivitas faktor pemanjangan EF-2. Faktor ini diperlukan
untuk translokasi polipeptidil-RNA transfer dari akseptor ke tempat donor
pada ribosom eukariotik. Fragmen toksin A menghentikan aktivitas EF-2
dengan mengkatalisis reaksi yang menhasilkannikotinamid bebas
ditambah suatu kompleks adenosin di fosfat-ribosa-EF-2 yang tidak aktif.
Diduga bahwa efek nekrotik dan neurotoksik toksin difteria disebabkan
oleh penghentian sintesis protein yang mendadak.
Patogenisitas Coryne bacterium diphtheriae mencakup dua
fenomena yang berbeda, yaitu :

1. Invasi jaringan lokal dari tenggorokan, yang membutuhkan


kolonisasi dan proliferasi bakteri berikutnya. Sedikit yang
diketahui tentang mekanisme kepatuhan terhadap difteri C.
diphtheriaetapi bakteri menghasilkan beberapa jenis pili. Toksin
difteri juga mungkin terlibat dalam kolonisasi tenggorokan.

2. Toxigenesis: produksi toksin bakteri. Toksin difteri menyebabkan


kematian sel eukariotik dan jaringan oleh inhibisi sintesis protein
dalam sel. Meskipun toksin bertanggung jawab atas gejala-gejala
penyakit mematikan, virulensi dari C. diphtheriae tidak dapat
dikaitkan dengan toxigenesis saja, sejak fase invasif mendahului
toxigenesis, sudah mulai tampak perbedaan. Namun, belum
dipastikan bahwa toksin difteri memainkan peran penting dalam
proses penjajahan karena efek jangka pendek di lokasi kolonisasi.

Di alam, Corynebacteriumdiphtheriaeterdapat dalam saluran


pernapasan, dalam luka-luka, pada kulit orang yang terinfeksi, atau orang
normal yang membawa bakteri. Bakteri disebarkan melalui droplet atau
kontak dengan individu yang peka. Bakteri kemudian tumbuh pada selaput
mukosa atau kulit yang lecet, dan bakteri mulai menghasilkan toksin.
Pembentukan toksin ini secara in vitro terutama bergantung pada kadar
besi. Pembentukan toksin optimal pada kadar besi 0,14 μg/ml perbenihan
tetapi benar-benar tertekan pada 0,5 μg/ml. Faktor lain yang
mempengaruhi timbulnya toksin in vitro adalah tekanan osmotik, kadar
asam amino, pH, dan tersedianya sumber-sumber karbon dan nitrogen
yang cocok. Toksin difteri adalah polipeptoda tidak tahan panas (BM
62.000) yang dapat mematikan pada dosis 0,1 μg/kg. Bila ikatan disulfida
dipecah, molekul dapat terbagi menjadi 2 fragmen, yaitu fragmen A dan
fragmen B. Fragmen B tidak mempunyai aktivitas tersendiri, tetapi
diperlukan untuk pemindahan fragmen A ke dalam sel. Fragmen A
menghambat pemanjangan rantai polipeptida (jika ada NAD) dengan
menghentikan aktivitas faktor pemanjangan EF-2. Faktor ini diperlukan
untuk translokasi polipeptidil-RNA transfer dari akseptor ke tempat donor
pada ribosom eukariotik. Fragmen toksin A menghentikan aktivitas EF-2
dengan mengkatalisis reaksi yang menhasilkannikotinamid bebas
ditambah suatu kompleks adenosin difosfat-ribosa-EF-2 yang tidak aktif.
Diduga bahwa efek nekrotik dan neurotoksik toksin difteria disebabkan
oleh penghentian sintesis protein yang mendadakBiasanya bakteri
berkembang biak pada atau di sekitar permukaan selaput lendir mulut atau
tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Bila bakteri sampai ke
hidung, hidung akan meler. Peradangan bisa menyebar dari tenggorokan
ke pita suara (laring) dan menyebabkan pembengkakan sehingga saluran
udara menyempit dan terjadi gangguan pernafasan.
Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah dari batuk penderita
atau benda maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri.
Ketika telah masuk dalam tubuh, bakteri melepaskan toksin atau racun.
Toksin ini akan menyebar melalui darah dan bisa menyebabkan kerusakan
jaringan di seluruh tubuh,terutama jantung dan saraf.
Toksin biasanya menyerang saraf tertentu, misalnya saraf di
tenggorokan. Penderita mengalami kesulitan menelan pada minggu
pertama kontaminasi toksin. Antara minggu ketiga sampai minggu
keenam, bisa terjadi peradangan pada saraf lengan dan tungkai, sehingga
terjadi kelemahan pada lengan dan tungkai. Kerusakan pada otot jantung
(miokarditis) bisa terjadi kapan saja selama minggu pertama sampai
minggu keenam, bersifat ringan, tampak sebagai kelainan ringan pada
EKG. Namun, kerusakan bisa sangat berat, bahkan menyebabkan
gagal jantung dan kematian mendadak. Pemulihan jantung dan saraf
berlangsung secara perlahan selama berminggu-minggu. Pada penderita
dengan tingkat kebersihan buruk, tak jarang difteri juga menyerang kulit.
Toksin difteriadiabsorbsi ke dalam selaput mukosa dan
menyebabkan destruksi epitel dan respons peradangan superfisial. Epitel
yang mengalami nekrosis tertanam dalam eksudat fibrin dan sel-sel darah
merah dan putih, sehingga terbentuk ”pseudomembran” yang berwarna
kelabu –yang sering melapisi tonsil, faring, atau laring. Setiap usaha untuk
membuang pseudomembran akan merusak kapiler dan mengakibatkan
pendarahan. Kelenjar getah bening regional pada leher membesar, dan
dapat terjadi edema yang nyata di seluruh leher.
Corynebacteriumdiphtheria dalam selaput terus menghasilkan
toksin secara aktif. Toksin ini diabsorbsi dan menakibatkan kerusakan di
tempat yang jauh, khususnya degenerasi parenkim, infiltrasi lemak, dan
nekrosis otot jantung, hati, ginjal, dan adrenal, kadang-kadang diikuti oleh
pendarahan hebat. Toksin juga mengakibatkan kerusakan syaraf yang
sering mengakibatkan paralisis palatum molle, otot-otot mata, atau
ekstremitas.
Pada serangan difteri berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu
lapisan selaput yang terdiri dari sel darah putih yang mati, bakteri dan
bahan lainnya, di dekat amandel dan bagian tenggorokan yang lain.
Membran ini tidak mudah robek dan berwarna abu-abu. Jika membran
dilepaskan secara paksa, maka lapisan lendir di bawahnya akan berdarah.
Membran inilah penyebab penyempitan saluran udara atau secara tiba-tiba
bisa terlepas dan menyumbat saluran udara, sehingga anak mengalami
kesulitan bernafas.
Berdasarkan gejala dan ditemukannya membran inilah diagnosis
ditegakkan. Tak jarang dilakukan pemeriksaan terhadap lendir di
tenggorokan dan dibuat biakan dilaboratorium. Sedangkan untuk melihat
kelainan jantung yang terjadi akibat penyakit ini dilakukan pemeriksaan
dengan EKG (Ditjen P2PL Depkes, 2003).

K. Komplikasi
Komplikasi bisa dipengaruhi oleh virulensi kuman, luas membran,
jumlah toksin, waktu antara timbulnya penyakit dengan pemberian
antitoksin.
Komplikasi difteri terdiri dari :
1. Infeksi sekunder, biasanya oleh kuman streptokokus
dan stafilokokus

2. Infeksi Lokal : obstruksi jalan nafas akibat membran


atau oedemajalannafas

3. Infeksi Sistemik karena efekeksotoksin.

Komplikasi yang terjadi antara lain kerusakan jantung, yang bisa


berlanjut menjadi gagal jantung. Kerusakan sistem saraf berupa
kelumpuhan saraf penyebab gerakan tak terkoordinasi. Kerusakan saraf
bahkan bisa berakibat kelumpuhan, dan kerusakan ginjal.

L. Pencegahan dan Pengobatan


1. Pencegahan
a. Isolasi Penderita
Penderita difteria harus di isolasi dan baru dapat dipulangkan
setelah pemeriksaan sediaan langsung menunjukkan tidak terdapat
lagi Corynebacteriumdiphtheriae.
b. Imunisasi
Pencegahan dilakukan dengan memberikan imunisasi DPT
(difteria, pertusis, dan tetanus) pada bayi, dan vaksin DT (difteria,
tetanus) pada anak-anak usia sekolah dasar.
c. Pencarian dan kemudian mengobati karier difteria

Dilakukan dengan uji Schick, yaitu bila hasil uji negatif


(mungkin penderita karier pernah mendapat imunisasi), maka harus
diiakukanhapusan tenggorok. Jika ternyata
ditemukan Corynebacteriumdiphtheriae, penderita harus diobati dan
bila perlu dilakukan tonsilektomi.

2. Pengobatan

Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi


toksin yang belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan
agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi C. diptheriae
untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan
penyulit difteria.

a. Pengobatan Umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan
biakan hapusan tenggorok negatif 2 kali berturut-turut. Pada
umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu.
Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu,
pemberian cairan serta diet yang adekuat. Khusus pada
difteria laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga
kelembaban udara dengan menggunakan humidifier.
b. Pengobatan Khusus Antitoksin : Anti Diptheriar Serum (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat
diagnosis difteria. Dengan pemberian antitoksin pada hari
pertama, angka kematian pada penderita kurang dari 1%.
Namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6 menyebabkan
angka kematian ini bisa meningkat sampai 30%. Sebelum
pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata
terlebih dahulu.
3. Antibiotik

Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin,


melainkan untuk membunuh bakteri dan menghentikan produksi
toksin. Pengobatan untuk difteria digunakan eritromisin , Penisilin,
kristal aqueouspensilin G, atau Penisilin prokain.

4. Kortikosteroid

Dianjurkan pemberian kortikosteroid pada kasus difteria yang


disertai gejala.

c. Pengobatan Penyulit

Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar


hemodinamika tetap baik. Penyulit yang disebabkan oleh toksin
umumnya reversibel. Bila tampak kegelisahan, iritabilitas serta
gangguan pernafasan yang progresif merupakan indikasi tindakan
trakeostomi.

d. Pengobatan Kontak

Pada anak yang kontak dengan pasien sebaiknya diisolasi


sampai tindakan berikut terlaksana, yaitu biakan hidung dan
tenggorok serta gejala klinis diikuti setiap hari sampai masa tunas
terlampaui, pemeriksaan serologi dan observasi harian. Anak yang
telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster toksoid difteria.

e. Pengobatan Karier

Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan,


mempunyai uji Schick negatif tetapi mengandung basil difteria dalam
nasofaringnya. Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisilin 100
mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari
selama satu minggu. Mungkin diperlukan tindakan
tonsilektomi/adenoidektomi.

M. USAHA PD3I DIFTERI


Upaya pencegahan Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan
Imunisasi (PD3I) yang salah satunya adalah Difteri. Tujuan Umum dari
upaya PD3I difteri yaitu untuk menurunkan angka kesakitan, kecacatan
dan kematian akibat penyakit difteri yang dapat dicegah dengan Imunisasi
(PD3I).
Strategi-strategi yang dilakukan dalam upaya PD3I difteri
yaitu antara lain :
1. Memberikan akses (pelayanan) kepada masyarakat dan swasta
2. Membangun kemitraan dan jejaring kerja
3. Menjamin ketersediaaan dan kecukupan vaksin, peralatan
rantai vaksin dan alat suntik
4. Menerapkan sistem pemantauan wilayah setempat (PWS)
untuk menentukan prioritas kegiatan serta tindakan perbaikan
5. Pelayanan imunisasi dilaksanakan oleh tenaga
profesional/terlatih
6. Pelaksanaan sesuai dengan standard
7. Memanfaatkan perkembangan methoda dan tekhnologi yang
lebih efektif berkualitas dan efisien
8. Meningkatkan advokasi, fasilitasi dan pembinaan
Seiring dengan ditetapkannya KLB Difteri di berbagai daerah,
maka pemerintah melakukan serangkaian kegiatan penanggulangan. Salah
satu konsentrasi kegiatan difokuskan pada imunisasi tambahan dan
imunisasi dalam penanggulangan KLB. Terjadinya suatu KLB Difteri
dapat mengindikasikan bahwa Imunisasi yang telah diperoleh pada waktu
bayi belum cukup untuk melindungi terhadap penyakit PD3I (Penyakit
Yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi) sampai usia anak sekolah. Hal ini
disebabkan karena sejak anak mulai memasuki usia sekolah dasar terjadi
penurunan terhadap tingkat kekebalan yang diperoleh saat imunisasi ketika
bayi. Sehingga perlu diberikan imunisasi tambahan untuk menangani KLB
Difteri yaitu dengan program BLF (BacklogFighting) dan ORI
(OutbreakResponseImunization).
1. BLF (Back Log Fighting)
BLF (Penyulaman) adalah upaya aktif melengkapi imunisasi dasar
pada anak yang berumur 1 – 3 tahun. Sasaran prioritas adalah
desa/kelurahan yang selama 2 tahun berturut turut tidak mencapai
desa UCI (Universal ChildImmunization). BLF tergolong dalam
imunisasi tambahan diamana definisinya adalah kegiatan imunisasi
yang dilakukan atas dasar ditemukannya masalah dari hasil
pemantauan atau evaluasi. Kegiatan ini sifatnya tidak rutin,
membutuhkan biaya khusus dan kegiatannya dilaksanakan pada
suatu periode tertentu.
2. ORI (OutbreakResponseImunization)
ORI adalah Imunisasi yang dilakukan dalam penanganan KLB.
Dilaksanakan pada daerah yang terdapat kasus penyakit PD3I,
dalam hal ini adalah Difteri. Sasarannya adalah anak usia 12 bulan
s/d 15 tahun, melakukan ORI terbatas di wilayah sekitar KLB,
sesaat setalah KLB terjadi.
Mengingat Penyakit Difteri ini muncul terutama pada bulan-bulan
dimana temperatur lebih dingin di negara subtropis dan terutama
menyerang anak-anak berumur di bawah 15 tahun yang belum
diimunisasi. Maka tindakan preventif untuk mencegah penyakit melalui
pemberian kekebalan tubuh (Imunisasi) harus dilaksanakan secara terus
menerus, menyeluruh, dan dilaksanakan sesuai standar sehingga mampu
memberikan perlindungan kesehatan dan memutus mata rantai penularan.
Setiap orang dapat terinfeksi oleh difteri, tetapi kerentanan
terhadap infeksi tergantung dari pernah tidaknya ia terinfeksi oleh difteri
dan juga pada kekebalannya. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang kebal
akan mendapat kekebalan pasif, tetapi taka akan lebih dari 6 bulan dan
pada umur 1 tahun kekebalannya habis sama sekali. Seseorang yang
sembuh daripenyakit difteri tidak selalu mempunyai kekebalan abadi.
Paling baik adalah kekebalan yang didapat secara aktif dengan imunisasi.
Pencegahan infeksi bakteri ini dapat dilakukan dengan menjaga
kebersihan diri dan tidak melakukan kontak langsung dengan pasien
terinfeksi. Selain itu, imunisasi aktif juga perlu dilakukan. Imunisasi
pertama dilakukan pada bayi berusia 2-3 bulan dengan pemberian 2 dosis
APT (Alum PrecipitatedToxoid) dikombinasikan dengan toksoid tetanus
dan vaksin pertusis. Dosis kedua diberikan pada saat anak akan
bersekolah. Imunisasi pasif dilakukan dengan menggunakan antitoksin
berkekuatan 1000-3000 unit pada orang tidak kebal yang sering
berhubungan dengan kuman yang virulen, namun penggunaannya harus
dibatasai pada keadaan yang memang sangat gawat. Tingkat kekebalan
seseorang terhadap penyakit difteri juga dapat diketahui dengan
melakukan reaksi Schick.
Berdasarkan penelitian Basuki Kartono bahwa anak dengan status
imunisasi DPT dan DT yang tidak lengkap beresiko menderita difteri
46.403 kali lebih besar dari pada anak yang status imunisasi DPT dan DT
lengkap. Keberadaan sumber penularan beresiko penularan difteri 20.821
kali lebih besar daripada tidak ada sumber penularan. Anak dengan ibu
yang bepengetahuan rendah tentang imunisasi dan difteri beresiko difteri
pada anak-anak mereka sebanyak 9.826 kali dibandingkan dengan ibu
yang mempunyai pengetahuan tinggi tentang imunisasi dan difteri. Status
imunisasi DPT dan DT anak adalah faktor yang paling dominan dalam
mempengaruhi terjadinya difteri (Kartono, 2008).
Pencegahan paling efektif adalah dengan imunisasi bersamaan
dengan tetanus dan pertusis (DPT) sebanyak tiga kali sejak bayi berumur
dua bulan dengan selang penyuntikan satu-dua bulan. Pemberian imunisasi
ini akan memberikankekebalan aktif terhadap penyakit difteri, pertusis dan
tetanus dalam waktu bersamaan. Efek samping yang mungkin akan timbul
adalah demam, nyeri dan bengkak pada permukaan kulit, cara
mengatasinya cukup diberikan obat penurun panas. Berdasarkan program
dari Departemen Kesehatan RI imunisasi perlu diulang pada saat usia
sekolah dasar yaitu bersamaan dengan tetanus yaitu DTsebanyak 1 kali.
Sayangnya kekebalan hanya diiperoleh selama 10 tahun setelah imunisasi,
sehingga orang dewasa sebaiknya menjalani vaksinasi booster (DT) setiap
10 tahun sekali.
Bagi anak-anak dan orang dewasa yang mempunyai masalah
dengan system kekebalan mereka atau mereka yang terinfeksi HIV
diberikan imunisasi dengan vaksin difteria dengan jadwal yang sama.
Selain pemberian imunisasi perlu juga diberikan penyuluhan
kepada masyarakat terutama kepada orang tua tentang bahaya dari difteria
dan perlunya imunisasi aktif diberikan kepada bayi dan anak-anak. Dan
perlu juga untuk menjaga kebersihan badan, pakaian dan lingkungan.
Penyakit menular seperti difteri mudah menular dalam lingkungan yang
buruk dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh karena itulah, selain menjaga
kebersihan diri, kita juga harus menjaga kebersihan lingkungan sekitar.
Disamping itu juga perlu diperhatikan makanan yang kita konsumsi harus
bersih. Jika kita harus membeli makanan di luar, pilihlah warung yang
bersih. Jika telah terserang difteri, penderita sebaiknya dirawat dengan
baik untuk mempercepat kesembuhan dan agar tidak menjadi sumber
penularan bagi yang lain. Pengobatan difteri difokuskan
untuk menetralkan toksin (racun) difteri dan untuk membunuh kuman
Corynebacteriumdiphtheriae penyebab difteri. Setelah terserang difteri
satu kali, biasanya penderita tidak akan terserang lagi seumur hidup.
Perawatan bagi penyakit ini termasuk antitoksin difteri, yang
melemahkan toksin dan antibiotik. Eritromisin dan penisilin membantu
menghilangkan bakteri difteri dan menghentikan pengeluaran toksin.
Selama sakit, penderita harus tiduran di tempat tidur. Umumnya difteri
dapat dicegah melalui vaksinasi dengan vaksin DPT (vaksin Difteri,
Pertusis, dan Tetanus) sejak bayi berumur 3 bulan. Untuk pemberian
kekebalan dasar perlu diberi 3 kali berturut-turut dengan jarak 1 – 1,5
bulan, lalu 2 tahun kemudian diulang kembali. Umumnya diberi Penisilin
atau antibiotik lain seperti Tetrasiklin atau Eritromisin yang bermaksud
untuk mencegah infeksi sekunder (Streptococcus) dan pengobatan bagi
carrier penyakit ini. Pengobatan dengan eritromisin secara oral atau
melalui suntikan (40 mg / kg / hari, maksimum, 2 gram / hari) selama 14
hari, atau penisilin prokain G harian, intramuskular (300.000 U / hari
untuk orang dengan berat 10 kg atau kurang dan 600.000 U / sehari bagi
mereka yang berat lebih dari 10 kg) selama 14 hari.
Melihat bahayanya, penyakit ini maka bila ada anak yang sakit dan
ditemukan gejala diatas maka harus segera dibawa ke dokter atau rumah
sakit untuk segera mendapatkan penanganan. Pasien biasanya akan masuk
rumah sakit untuk di opnamedan diisolasi dari orang lain guna mencegah
penularan. Di rumah sakit akan dilakukan pengawasan yang ketat terhadap
fungsi fungsi vital penderitauntuk mencegah terjadinya komplikasi.
Mengenai obat, penderita umumnya akan diberikan antibiotika, steroid,
dan ADS (Anti Diphteria Serum).
Perawatan umum penyakit difteri yaitu dengan melakukan isolasi,
bedrest : 2-3 minggu, makanan yang harus dikonsumsi adalah makanan
lunak, mudah dicerna, protein dan kalori cukup, kebersihan jalan nafas,
pengisapan lendir.
Dengan pengobatan yang cepat dan tepat maka komplikasi yang
berat dapat dihindari, namun keadaan bisa makin buruk bila pasien dengan
usia yang lebih muda, perjalanan penyakit yang lama, gizi kurang dan
pemberian anti toksin yang terlambat.
Walaupun sangat berbahaya dan sulit diobati, penyakit ini
sebenarnya bias dicegah dengan cara menghindari kontak dengan pasien
difteri yang hasil lab-nya masih positif dan imunisasi.
Pengobatan khusus penyakit difteri bertujuan untuk menetralisir
toksin dan membunuh basil dengan antibiotika (Penicilinprocain,
Eritromisin, Ertromysin, Amoksisilin, Rifampicin, Klindamisin,
Tetrasiklin).
Pengobatan penderita difteria ini yaitu dengan pemberian Anti
Difteria Serum (ADS) 20.000 unit intra muskuler bila membrannya hanya
terbatas tonsil saja, tetapi jika membrannya sudah meluas diberikan ADS
80.000-100.000 unit. Sebelum pemberian serum dilakukan sensitif test.
Antibiotik pilihan adalah penicilin 50.000 unit/kgBB/hari diberikan
samapi 3 hari setelah panas turun. Antibiotik alternatif lainnya adalah
erythromicyn 30-40mg/KgBB/hari selama 14 hari.
Penanggulangan melalui pemberian imunisasi DPT (Dipteri
Pertusis Tetanus) dimanavakisin DPT adalah vaksin yang terdiri dari
toxoid difteri dan tetanus yang dimurnikan serta bakteri pertusis yang telah
diinaktifkan. Imunisasi DPT diberikan untuk pemberian kekebalan secara
simultan terhadap difteri, pertusis dan tetanus, diberikan pertama pada
bayi umur 2 bulan, dosis selanjutnya diberikan dengan interval paling
cepat 4 (empat) minggun (1 bulan ). DPT pada bayi diberikan tiga kali
yaitu DPT1, DPT2 dan DPT 3. Imunisasi lainnya yaitu DT (Dipteri
Pertusis ) merupakan imunisasi ulangan yang biasanya diberikan pada
anak Sekolah Dasar kelas 1 (Pedoman Teknis Imunisasi Tingkat
Puskesmas, 2005).
Seorang karier (hasil biakan positif, tetapi tidak menunjukkan
gejala) dapat menularkan difteri, karena itu diberikan antibiotik dan
dilakukan pembiakanulang pada apus tenggorokannya. Kekebalan hanya
diperoleh selama 10 tahun setelah mendapatkan imunisasi, karena itu
orang dewasa sebaiknya menjalani vaksinasi booster setiap 10 tahun.
Pengobatan difteri harus segera dilakukan untuk mencegah
penyebaran sekaligus komplikasi yang serius, terutama pada penderita
anak-anak. Diperkirakan hampir satu dari lima penderita difteri balita dan
berusia di atas 40 tahun yang meninggal dunia diakibatkan oleh
komplikasi.
Jika tidak diobati dengan cepat dan tepat, toksin dari bakteri difteri
dapat memicu beberapa komplikasi yang berpotensi mengancam jiwa.
Beberapa di antaranya meliputi:
a. Masalah pernapasan. Sel-sel yang mati akibat toksin yang
diproduksi bakteri difteri akan membentuk membran abu-abu
yang dapat menghambat pernapasan. Partikel-partikel membran
juga dapat luruh dan masuk ke paru-paru. Hal ini berpotensi
memicu inflamasi pada paru-paru sehingga fungsinya akan
menurun secara drastis dan menyebabkan gagal napas.
b. Kerusakan jantung. Selain paru-paru, toksin difteri berpotensi
masuk ke jantung dan menyebabkan inflamasi otot jantung atau
miokarditis. Komplikasi ini dapat menyebabkan masalah,
seperti detak jantung yang tidak teratur, gagal jantung dan
kematian mendadak.
c. Kerusakan saraf. Toksin dapat menyebabkan penderita
mengalami masalah sulit menelan, masalah saluran kemih,
paralisis atau kelumpuhan pada diafragma, serta
pembengkakan saraf tangan dan kaki. Masalah saluran kemih
dapat menjadi indikasi awal dari kelumpuhan saraf yang akan
memengaruhi diagfragma. Paralisis ini akan membuat pasien
tidak bisa bernapas sehingga membutuhkan alat bantu
pernapasan atau respirator. Paralisis diagfragma dapat terjadi
secara tiba-tiba pada awal muncul gejala atau berminggu-
minggu setelah infeksi sembuh. Karena itu, penderita difteri
anak-anak yang mengalami komplikasi apa pun umumnya
dianjurkan untuk tetap di rumah sakit hingga 1,5 bulan.

d. Difteri hipertoksik. Komplikasi ini adalah bentuk difteria yang sangat


parah. Selain gejala yang sama dengan difteri biasa, difteri hipertoksik
akan memicu pendarahan yang parah dan gagal ginjal. Sebagian besar
komplikasi ini disebabkan oleh bakteri Coryne bacterium diphtheriae.

N. Determinan
Beberapa kemungkinan faktor yang menyebabkan kejadian
Difteriadiantaranya :
1. C a k u p a n i m u n i s a s i , a r t i n ya d i m a n a a d a b a yi ya n g k u r a n g
b a h k a n tidak mendapatkan imunisasi DPT secara lengkap. Berdasarkan
penelitian Basuki Kartono bahwa anak dengan statusimunisasi DPT dan
DT yang tidak lengkap beresiko menderita difteri 46.403 kali lebih besar
dari pada anak yang status imunisasi DPT dan DT lengkap.
2. K u a l i t a s v a k s i n , a r t i n ya pada saat proses pemberian
vaksinasi kurang menjaga Coldcain secara sempurna sehingga
mempengaruhi kualitas vaksin.
3. F a k t o r Lingkungan, a r t i n ya lingkungan ya n g buruk
d e n g a n s a n i t a s i yang rendah dapat menunjang terjadinya penyakit
Difteri. Letak rumah yang berdekatan sangat mudah sekali
menyebarkan penyakit difteria bila ada sumber penularan.
4. R e n d a h n y a tingkat pengetahuan ibu, dimana
p e n g e t a h u a n a k a n pentingnya imunisasi sangat rendah dan kurang
bisa mengenali secaradini gejala-gejala penyakit difteria.
5. A k s e s p e l a ya n a n k e s e h a t a n ya n g rendah, dimana hal
i n i d a p a t d i l i h a t dari rendahnya cakupan imunisasi di beberapa daerah
tertentu. Misalnya di Kabupaten Sidoarjo, berdasarkan data yang ada
adaempatdesa yang belum tercapai program imunisasinya, yakni
Sekardangan, Porong, Tanggulangin dan KedungsoloJabon.

Anda mungkin juga menyukai