PATOGENESIS SYOK ANAFILAKTIK AKIBAT OBAT ANESTESI

Reaksi anafilaksis selama pemberian obat anestesi adalah fenomena yang jarang terjadi,
tetapi mungkin memiliki konsekuensi yang mengancam jiwa ketika ditemui dan jika tidak
dikelola dengan benar. Dalam konteks reaksi alergi dan anafilaksis, anestesi merupakan situasi
berbahaya yang unik karena sejumlah alasan.
Pertama, ahli anestesi hanya diperingatkan ketika krisis yang terjadi cukup parah untuk
menyebabkan gangguan kardiovaskular dan pernapasan yang cepat, yang hanya memiliki sedikit
waktu untuk menanganinya. Tanda-tanda dan gejala awal yang ringan masih tidak dikenali,
bahkan saat pasien tidak sadar dan ditutupi dengan kain bedah akan mencegah pengamatan
terhadap manifestasi wal yang terjadi pada kulit.
Kedua, keparahan reaksi mungkin dapat dianggap remeh oleh ahli anestesi. Gangguan
kardiovaskular pada awalnya dapat ditutupi oleh anestesi umum dosis ringan (atau blok regional
yang luas). Sebaliknya, hipotensi dan kesulitan ventilasi mungkin memiliki penyebab lain yang
lebih umum yang harus dikeluarkan terlebih dahulu.
Ketiga, banyak obat diberikan dalam waktu singkat. Beberapa dikenal sebagai pelepas
histamin, sementara obat yang lain dikenal karena berpotensi menyebabkan reaksi anafilaktik.
Untuk mengidentifikasi zat yang berperan sebagai alergen selama krisis hanyalah dugaan belaka.
Keempat, agen alergi tidak terbatas pada obat atau cairan intravena, tetapi termasuk zat lain
yang digunakan di ruang operasi seperti disinfektan kulit, sarung tangan lateks dan kateter.
Aplikasi kulit atau mukosa menyebabkan onset reaksi yang tertunda, seringkali timbul 15-30
menit.

Gambar 1.

Obat Spesifik
- Neuro-Muscular Blocking Agents (NMBA)
Kelompok obat pelumpuh otot menyebabkan sekitar 60% dari reaksi hipersensitivitas
langsung. Pajanan pertama pada NMBA tetap dapat menyebabkan sensitisasi reaksi tipe I pada
pajanan berikutnya, dan sebagian besar reaksi terhadap NMBA terjadi tanpa pajanan
sebelumnya. Sebagian besar kasus anafilaksis dijelaskan dengan penggunaan suksinilkolin.
Rocuronium memiliki sedikit struktur sel mobile, tetapi dapat mengikat IgE dengan cara yang
sama. Benzylisoquinolinium seperti mivacurium dan atracurium menyebabkan degranulasi sel
mast secara langsung, ketika disuntikkan dengan cepat, menyebabkan reaksi khas whare dan
flare yang dapat meluas secara sistemik, sehingga lebih baik menghindari obat-obatan ini pada
pasien dengan riwayat atopik.

- Anestesi Lokal
Anafilaksis akibat anestesi lokal (LA) sangat jarang. Ester seperti tetrakain dan benzokain
dimetabolisme menjadi asam para-amino-benzoat (PABA) yang dapat memicu reaksi tipe I IgE.
Toksisitas sistemik harus selalu dipertimbangkan ketika pasien datang dengan gangguan kardio-
pernapasan setelah injeksi anestesi lokal.
- Opioid
Anafilaksis sejati telah dilaporkan dengan setiap obat opioid, tetapi kejadiannya sangat
rendah. Struktur amina tersier dari morfin, kodein, dan meperidin (Pethidine®), ialah
predisposisi terjadinya degranulasi sel mast dengan pelepasan histamin, dan meperidin menjadi
faktor yang paling umum.
- Agen Induksi
Propofol bertanggung jawab atas 1,2% hingga 2% dari semua reaksi anafilaksis
perioperatif. Formulasi saat ini dalam emulsi minyak kedelai, albumin telur dan gliserol
(Intalipid®) dapat disarankan untuk digunakan secara hati-hati pada pasien dengan alergi telur
atau kedelai, tetapi tidak ada bukti terjadinya peningkatan risiko anafilaksis pada populasi ini.
Kelompok isopropil hadir dalam produk perawatan kulit dan dapat menginduksi sensitisasi IgE
dengan reaksi silang berikutnya dengan gugus isopropil dari molekul propofol.
Insiden alergi thiopentone adalah 1: 30000, tetapi karena jarang digunakan akhir-akhir ini,
laporan reaksi terhadapnya juga sangat jarang. Alergi ketamin sangat jarang, dan etomidate
dianggap "obat yang paling aman secara imunologis" dalam anestesi. Anafilaksis karena
benzodiazepin (BZ) sangat jarang, akan tetapi diazepam lebih mungkin menyebabkan anafilaksis
daripada midazolam, karena dilarutkan dalam basis propilen glikol.