Disusun Oleh :
OKY OKTAVIANA
1808032
2018
KONSEP DASAR
Pemahaman mengenai patofisiologi gagal nafas merupakan hal yang sangat penting di
dalam hal penatalaksanaannya nanti. Secara umum terdapat 4 dasar mekanisme gangguan
pertukaran gas pada sistem respirasi, yaitu :
1. Hipoventilasi
2. Right to left shunting of blood
3. Gangguan difusi
4. Ventilation/perfusion mismatch, V/Q mismatch.
Dari keempat mekanisme di atas, kelainan extrapulmoner menyebabkan
hipoventilasi sedangkan kelainan intrapulmoner dapat meliputi seluruh mekanisme tersebut.
(Bagian Ilmu Kesehatan Anak. 2010)
Istilah hipoksemia menunjukkan PO2 yang rendah di dalam darah arteri (PaO2)
dan dapat digunakan untuk menunjukkan PO2 pada kapiler, vena dan kapiler paru. Istilah
tersebut juga dipakai untuk menekankan rendahnya kadar O2 darah atau berkurangnya
saturasi oksigen di dalam hemoglobin.
Hipoksemia berat akan menyebabkan hipoksia. Hipoksia berarti penurunan
penyampaian (delivery) O2 ke jaringan atau efek dari penurunan penyampaian O2 ke
jaringan. Hipoksia dapat pula terjadi akibat penurunan penyampaian O2 karena faktor
rendahnya curah jantung, anemia, syok septik atau keracunan karbon monoksida, dimana
PaO2 dapat meningkat atau normal.
a. Patofisologi Gagal Nafas Hipoksemia.
Penurunan PO2Alveolar
Tekanan total di ruang alveolar ialah jumlah dari PO2, PCO2, PH2O, dan PN2. Bila
PH2O dan PN2 tidak berubah bermakna, setiap peningkatan pada PACO2 akan
menyebabkan penurunan PaO2. Hipoventilasi alveolar menyebabkan penurunan
PAO2, yang menimbulkan penurunan PaO2 bila darah arteri dalam keseimbangan
dengan gas di ruang alveolus. Persamaan gas alveolar, bila disederhanakan
menunjukkan hubungan antara PO2 dan PCO2 alveolar:
PAO2 = FiO2 x PB - PACO2
R
FiO2 adalah fraksi oksigen dari udara inspirasi. PB ialah tekanan barometric, dan
R ialah rasio pertukaran udara pernapasan, menunjukkan rasio steady-state CO2
memasuki dan O2 meninggalkan ruang alveolar. Dalam praktek, PCO2 arteri
digunakan sebagai nilai perkiraan PCO2 alveolar (PaCO2). PAO2 berkurang bila
PACO2 meningkat. Jadi, hipoventilasi alveolar menyebabkan hipoksemia
(berkurangnya PaO2).
Persamaan gas alveolar juga mengindikasikan bahwa hipoksemia akan terjadi jika
tekanan barometric total berkurang, seperti pada ketinggian, atau bila FiO2 rendah
(seperti saat seseorang menghisap campuran gas dimana sebagian oksigen
digantikan gas lain). Hal ini juga akibat penurunan PO2. Pada hipoksemia, yang
terjadi hanya karena penurunan PaO2. Perbedaan PO2 alveolar - arteri adalah
normal pada hipoksemia karena hipoventilasi.
gg perfusi jaringan
↓O2 dan CO2→ dyspenia,sianosis → ↓curah jantung→
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1) Analisa Gas Darah Arteri : Pemeriksaan gas darah arteri penting untuk menentukan
adanya asidosis respiratorik dan alkalosis respiratorik, serta untuk mengetahui apakah
klien mengalami asidosis metabolik, alkalosis metabolik, atau keduanya pada klien yang
sudah lama mengalami gagal napas. Selain itu, pemeriksaan ini juga sangat penting untuk
mengetahui oksigenasi serta evaluasi kemajuan terapi atau pengobatan yang diberikan
terhadap klien.
2) Radiologi : Berdasarkan pada foto thoraks PA/AP dan lateral serta fluoroskopi akan
banyak data yang diperoleh seperti terjadinya hiperinflasi, pneumothoraks, efusi pleura,
hidropneumothoraks, sembab paru, dan tumor paru.
3) Pengukuran Fugnsi Paru : Penggunaan spirometer dapat membuat kita mengetahui ada
tidaknya gangguan obstruksi dan restriksi paru. Nilai normal atau FEV1 > 83% prediksi.
Ada obstruksi bila FEV1 < 70% dan FEV1/FVC lebih rendah dari nilai normal. Jika
FEV1 normal, tetapi FEV1/FVC sama atau lebih besar dari nilai normal, keadaan ini
menunjukkan ada restriksi.
4) Elektrokardiogram (EKG) : Adanya hipertensi pulmonal dapat dilihat pada EKG yang
ditandai dengan perubahan gelombang P meninggi di sadapan II, III dan aVF, serta
jantung yang mengalami hipertrofi ventrikel kanan. Iskemia dan aritmia jantung sering
dijumpai pada gangguan ventilasi dan oksigenasi.
5) Pemeriksaan Sputum : Yang perlu diperhatikan ialah warna, bau, dan kekentalan. Jika
perlu lakukan kultur dan uji kepekaan terhadap kuman penyebab. Jika dijumpai ada garis-
garis darah pada sputum (blood streaked), kemungkinan disebabkan oleh bronkhitis,
bronkhiektasis, pneumonia, TB paru, dan keganasan. Sputum yang berwarna merah
jambu dan berbuih (pink frothy), kemungkinan disebabkan edema paru. Untuk sputum
yang mengandung banyak sekali darah (grossy bloody), lebih sering merupakan tanda
dari TB paru atau adanya keganasan paru.
(Said. 2011)
Gagal napas akut merupakan salah satu kegawat daruratan. Untuk itu,
penanganannya tidak bisa dilakukan pada area perawatan umum (general care area) di
rumah sakit. Perawatan dilakukan di Intensive Care Unit (ICU), dimana segala
perlengkapan yang diperlukan untuk menangani gagal napas tersedia. Tujuan
penatalaksanaan pasien dengan gagal nafas akut adalah: membuat oksigenasi arteri adekuat,
sehingga meningkatkan perfusi jaringan, serta menghilangkan underlying disease, yaitu
penyakit yang mendasari gagal nafas tersebut.
Prioritas dalam penanganan gagal nafas berbeda-beda tergantung dari etiologinya,
tetapi tujuan primer penanganan adalah sama pada semua pasien, yaitu menangani sebab
gagal nafas dan bersamaan dengan itu memastikan ada ventilasi yang memadai dan jalan
nafas yang bebas. (Hall, 2008)
a. Perbaiki jalan napas (Air Way)
Terutama pada obstruksi jalan napas bagian atas, dengan hipereksistensi kepala
mencegah lidah jatuh ke posterior menutupi jalan napas, apabila masih belum
menolong maka mulut dibuka dan mandibula didorong ke depan (triple airway
maneuver) atau dengan menggunakan manuver head tilt-chin lift), biasanya
berhasil untuk mengatasi obstruksi jalan nafas bagian atas. Sambil menunggu dan
mempersiapkan pengobatan spesifik, maka diidentifikasi apakah ada obstruksi oleh
benda asing, edema laring atau spasme bronkus, dan lain-lain. Mungkin juga
diperlukan alat pembantu seperti pipa orofaring, pipa nasofaring atau pipa trakea.
b. Terapi oksigen
Pada keadaan O2 turun secara akut, perlu tindakan secepatnya untuk menaikkan
PaO2 sampai normal. Pada terapi oksigen, besarnya oksigen yang diberikan
tergantung dari mekanisme hipoksemia, tipe alat pemberi oksigen tergantung pada
jumlah oksigen yang diperlukan, potensi efek samping oksigen, dan ventilasi
semenit pasien.
Cara pemberian oksigen dibagi menjadi dua yaitu sistem arus rendah dan sistem
arus tinggi.
Pemberian terapi oksigen harus memenuhi kriteria 4 tepat 1 waspada yaitu tepat
indikasi, tepat dosis, tepat cara pemberian, tepat waktu pemberian, dan wasapada
terhadap efek samping. (Ulaynah, Ana. 2010)
c. Ventilasi Bantu
Pada keadaan darurat dan tidak ada fasilitas lengkap, bantuan napas dapat
dilakukan mulut ke mulut (mouth to mouth) atau mulut ke hidung (mouth to nose).
Apabila kesadaran pasien masih cukup baik, dapat dilakukan bantuan ventilasi
menggunakan ventilator, seperti ventilator bird, dengan ventilasi IPPB
(Intermittent Positive Pressure Breathing), yaitu pasien bernapas spontan melalui
mouth piece atau sungkup muka yang dihubungkan dengan ventilator. Setiap kali
pasien melakukan inspirasi maka tekanan negative yang ditimbulkan akan
menggerakkan ventilator dan memberikan bantuan napas sebanyak sesuai yang
diatur.
d. Ventilasi Kendali
Pasien diintubasi, dipasang pipa trakea dan dihubungkan dengan ventilator.
Ventilasi pasien sepenuhnya dikendalikan oleh ventilator. Biasanya diperlukan
obat-obatan seperti sedative, narkotika, atau pelumpuh otot agar pasien tidak
berontak dan parnapasan pasien dapat mengikuti irama ventilator.
e. Terapi farmakologi
- Bronkodilator.
Mempengaruhi langsung pada kontraksi otot polos bronkus. Merupakan terapi
utama untuk pnyakit paru obstruktif atau pada penyakit dengan peningkatan
resistensi jalan napas seperti edema paru, ARDS, atau pneumonia.
- Agonis B adrenergik / simpatomimetik
Memilik efek agonis terhadap reseptor beta drenergik pada otot polos bronkus
sehingga menimbulkan efek bronkodilatasi. golongan ini memiliki efek
samping antara lain tremor, takikardia, palpitasi, aritmia, dan hipokalemia.
Lebih efektif digunakan dalam bentuk inhalasi sehinga dosis yang lebih besar
dan efek kerjanya lebih lama.
- Antikolinergik
Respon bronkodilator terhadap obat antikolinergik tergantung pada derajat
tonus parasimpatis intrisik. Obat-obatan ini kurang berperan pada asma,
dimana obstruksi jalan nafas berkaitan dengan inflamasi, dibandingkan dengan
bronkitis kronik dimana tonus parasimpatis lebih berperan.
Pada gagal nafas, antikolinergik harus diberikan bersamaan dengan agonis beta
adrenergik. Contoh dari antikolinergik adalah Ipatropium Bromida, tersedia
dalam bentuk MDI (metered dose-inhaler) atau solusio untuk nebulisasi. Efek
samping jarang terjadi seperti takikardia, palpitasi, dan retensi urine.
- Teofilin
Mekanisme kerja melalui inhibisi kerja fosfodieterase pada AMP siklik,
translokasi kalsium, antagonis adenosin, dan stimulasi reseptor beta-
adrenergik, dan aktifitas anti-inflamasi. Efek samping meliputi takikardia,
mual, dan muntah. Komplikasi terparah antara lain aritmia jantung,
hipokalemia, perubahan status mental, dan kejang.
- Kortikosteroid
(Gwinnutt, C. 2011)
f. Pengobatan Spesifik
Pengobatan spesifik ditujukan pada underlying disease, sehingga pengobatan
untuk masing-masing penyakit akan berlainan.
Tindakan terapi untuk memulihkan kondisi pasien gagal napas:
- Penghisapan paru untuk mengeluarkan sekret agar tidak menghambat
saluran napas.
- Postural drainage, juga untuk mengeluarkan sekret.
- Latihan napas, jika kondisi pasien sudah membaik
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
I. PENGKAJIAN
Pengkajian Primer
1. Airway
a. Peningkatan sekresi pernapasan
b. Bunyi nafas krekels, ronki dan mengi
2. Breathing
a. Distress pernapasan : pernapasan cuping hidung, takipneu/bradipneu, retraksi.
b. Menggunakan otot aksesori pernapasan
c. Kesulitan bernafas : lapar udara, diaforesis, sianosis
3. Circulation
a. Penurunan curah jantung : gelisah, letargi, takikardia
b. Sakit kepala
c. Gangguan tingkat kesadaran : ansietas, gelisah, kacau mental, mengantuk
d. Papiledema
e. Penurunan haluaran urine
4. Disability
Perhatikan bagaimana tingkat kesadaran klien, dengan penilain GCS, dengan
memperhatikan refleks pupil, diameter pupil.
5. Eksposure
Penampilan umum klien seperti apa, apakah adanya udem, pucat, tampak lemah,
adanya perlukaan atau adanya kelainan yang didapat secara objektif.
Pengkajian Sekunder
a. Aktivitas / Istirahat
Gejala : kekurangan energy, insomnia
b. Sirkulasi
Gejala : riwayat adanya bedah jantung paru, fenomena embolik (darah, udara,
lemak)
Tanda :
TD : dapat normal atau meningkat pada awal (berlangjut menjadi hipoksia) ;
hipotensi terjadi pada tahap lanjut (syok) atau dapat factor pencetus seperti pada
eklampsia.
Frekuensi jantung : takikardi biasanya ada
Bunyi jantung : normal pada tahap dini ; S2 (komponen paru) dapat terjadi
c. Integritas Ego
Gejala : ketakutan, ancaman perasaan takut
Tanda : gelisah, agitasi, gemetar, mudah terangsang, perubahan mental
d. Makanan / cairan
Gejala : kehilangan selera makan, mual
Tanda : edema atau perubahan berat badan, hilang atau berkurangnya bunyi usus
e. Neurosensori
Gejala/tanda : adanya trauma kepala, mental lamban, disfungsi motor.
f. Pernafasan
Gejala : adanya aspirasi atau tenggelam, inhalasi asap atau gas, infeksi difus paru.
Timbul tiba – tiba atau bertahap, kesulitan nafas, lapar udara.
Tanda:
Pernafasan : cepat, mendengkur, dangkal.
Bunyi nafas : pada awal normal, ronki, dan dapat terjadi bunyi nafas bronchial.
b. Pemeriksaan Dignostik
1. Hb : dibawah 12 gr %
2. Analisa gas darah :
a. pH dibawah 7,35 atau di atas 7,45
b. paO2 Hipoksemia ringan : PaO2 < 80 mmHg
Hipoksemia sedang : PaO2 < 60 mmHg
Hipoksemia berat : PaO2 < 40 mmHg
c. pCO2 di bawah 35 atau di atas 45 mmHg
d. BE di bawah -2 atau di atas +2
3. Saturasi O2 kurang dari 90 %
4. Ro” : terdapat gambaran akumulasi udara/cairan , dapat terlihat perpindahan
letak mediastinum
5. EKG mungkin memperhatikan bukti- bukti regangan jantung di sisi kanan
distritmia.
6. Radiografi dada
7. Pemeriksaan sputum
8. Pemeriksaan fungsi paru
9. Angiografi
10. Pemindaian ventilasi perfusi
11. CT
12. Skrinning toksikologi
13. Hitung darah lengkap
14. Elektrolit serum
15. Sitology
16. Urinalisis
17. Bronkogram
18. Bronkoskopii
19. Ekokardiografi
20. Torasentesis
A. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Tidak efektifnya jalan nafas
Rencana keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
NOC: NIC:
Respiratory status : Ventilation Airway Suction
Respiratory status : Airway patency 1. Pastikan kebutuhan oral / tracheal suctioning
Aspiration Control 2. Auskultasi suara nafas sebelum dan sesudah suctioning
3. Informasikan pada klien dan keluarga tentang
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama suctioning
…….. klien menunjukkan keefektifan jalan nafas 4. Minta klien nafas dalam sebelum suction dilakukan.
dengan 5. Berikan O2 dengan menggunakan nasal untuk
Kriteria Hasil : memfasilitasi suksion nasotrakeal
Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara 6. Gunakan alat yang steril sitiap melakukan tindakan
nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan 7. Anjurkan pasien untuk istirahat dan napas dalam setelah
dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, kateter dikeluarkan dari nasotrakeal
bernafas dengan mudah, tidak ada pursed lips) 8. Monitor status oksigen pasien
Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien 9. Ajarkan keluarga bagaimana cara melakukan suksion
tidak merasa tercekik, irama nafas, frekuensi 10. Hentikan suksion dan berikan oksigen apabila pasien
pernafasan dalam rentang normal, tidak ada menunjukkan bradikardi, peningkatan saturasi O2, dll.
suara nafas abnormal)
Mampu mengidentifikasikan dan mencegah Airway Managemen
faktor yang penyebab. 1. Buka jalan nafas, guanakan teknik chin lift atau jaw
thrust bila perlu
2. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
3. Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan
nafas buatan
4. Pasang mayo bila perlu
5. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
6. Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
7. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
8. Lakukan suction pada mayo
9. Berikan bronkodilator bila perlu
10. Berikan pelembab udara Kassa basah NaCl Lembab
11. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan
keseimbangan.
12. Monitor respirasi dan status O2
2. Pola nafas tidak efektif b.d. penurunan ekspansi paru
Tujuan Keperawatan Rencana Tindakan
( NOC ) (NIC )
( NOC ) (NIC )
( NOC ) (NIC )
Amin, Zulfikli, dan Johanes Purwato. 2009. Gagal Nafas Akut. Dalam : Aru W. Sudoyo (ed.) .
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jakarta : Interna Publishing. pp. 219-226.
Bagian Ilmu Kesehatan Anak. 2010. Gagal Nafas pada Anak. Dalam Pedoman Diagnosis dan
Terapi edisi 3. Bagian Ilmu Kedehatan Anak FK Unpad RSHS.
Guyton,A.C. , dan John E. Hall. 2008. Ventilasi Paru.. Dalam : Arthur C. Guyton dan John E.
Hall (ed.) Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta : EGC. Pp
Latief, A. Said. 2011. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intesif,
Jakarta: FK UI.
Nanda. (2018). Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi 2018-2020 Edisi 10 editor T
Heather Herdman, Shigemi Kamitsuru. Jakarta: EGC.
Ulaynah, Ana. 2010. Terapi Oksigen. Dalam : Aru W. Sudoyo (ed.) . Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi V. Jakarta : Interna Publishing. pp. 161-165