Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN

PADA PASIEN DENGAN GAGAL NAFAS


DI RSUD TUGUREJO KOTA SEMARANG

Disusun Oleh :

OKY OKTAVIANA

1808032

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

STIKES WIDYA HUSADA SEMARANG

2018
KONSEP DASAR

A. PENGERTIAN GAGAL NAFAS


Gagal nafas adalah ketidakmampuan sistem pernafasan untuk mempertahankan suatu
keadaan pertukaran antara atmosfer dan sel-sel tubuh yang sesuai dengan kebutuhan tubuh
normal Pada gagal nafas, terjadi kegegalan sistem pulmoner untuk memenuhi kebutuhan
eliminasi CO2 dan oksigenasi darah. (Purwato dkk, 2009)
Gagal napas terjadi bila: 1). PO2 arterial (PaO2) < 60 mmHg, atau 2). PCO2 arterial
(PaCO2) > 45 mmHg , kecuali apabila peningkatan PCO2 disebabkan oleh kompensasi dari
alkalosis metabolik. Secara umum gagal nafas dibedakan menjadi gagal nafas tipe
hiperkapnia dan gagal nafas tipe hipoksemia. (John E. Hall. 2008)
Pasien dengan gagal nafas hiperkapnia mempunyai kadar PCO2 arterial (PaCO2) yang
abnormal tinggi. (PaCO2 > 45 mmHg). Sedangkan pada gagal nafas hipoksemia didapatkan
PO2 arterial (PaO2) yang rendah (PaO2 < 60 mmHg) dengan PaCO2 yang normal atau rendah.
(John E. Hall. 2008)

B. ETIOLOGI GAGAL NAFAS


Menurut Purwato (2009) penyebab gagal napas dapat digolongkan sesuai kelainan
primernya dan komponen sistem pernapasan. Gagal nafas dapat diakibatkan kelainan pada
paru, jantung, dinding dada, otot pernapasan, atau mekanisme pengendalian sentral ventilasi
di medula oblongata.
Pasien dengan gagal nafas tipe hipoksemia sering disebabkan oleh kelainan yang
mempengaruhi parenkim paru meliputi jalan nafas, ruang alveolar, intersisiel, dan sirkulasi
pulmoner. Perubahan hubungan anatomis dan fisiologis antara udara di alveolus dan darah
di kapiler paru dapat menyebabkan gagal nafas tipe hipoksemia. Contoh penyakitnya antara
lain : Penumonia bakterial, pneumonia viral, aspirasi isi lambung, ARDS, emboli paru,
asma, dan penyakit paru intersisial.
Sedangkan pada gagal nafas tipe hiperkapnia sering disebabkan oleh kelainan
yang mempengaruhi komponen non-paru dari sistem pernafasan yaitu dinding dada, otot
pernafasan, atau batang otak. Penyebabnya antara lain kelemahan otot pernafasan, penyakit
SSP yang menganggu sistem ventilasi, atau kondisi yang mempengaruhi bentuk atau ukuran
dinding dada seperti kifoskloiosis.
C. PATOFISOLOGI GAGAL NAFAS
Gagal nafas dapat disebabkan oleh kelainan intrapulmoner maupun ekstrapulmoner.
Kelainan intrapulmoner meliputi kelainan pada saluran nafas bawah, sirkulasi pulmoner,
jaringan interstitial dan daerah kapiler alveolar. Sedangkan ekstrapulmoner berupa kelainan
pada pusat nafas, neuromuskular, pleura maupun saluran nafas atas. (John E. Hall. 2008)

Pemahaman mengenai patofisiologi gagal nafas merupakan hal yang sangat penting di
dalam hal penatalaksanaannya nanti. Secara umum terdapat 4 dasar mekanisme gangguan
pertukaran gas pada sistem respirasi, yaitu :
1. Hipoventilasi
2. Right to left shunting of blood
3. Gangguan difusi
4. Ventilation/perfusion mismatch, V/Q mismatch.
Dari keempat mekanisme di atas, kelainan extrapulmoner menyebabkan
hipoventilasi sedangkan kelainan intrapulmoner dapat meliputi seluruh mekanisme tersebut.
(Bagian Ilmu Kesehatan Anak. 2010)

1. Gagal Nafas tipe hipoksemia

Istilah hipoksemia menunjukkan PO2 yang rendah di dalam darah arteri (PaO2)
dan dapat digunakan untuk menunjukkan PO2 pada kapiler, vena dan kapiler paru. Istilah
tersebut juga dipakai untuk menekankan rendahnya kadar O2 darah atau berkurangnya
saturasi oksigen di dalam hemoglobin.
Hipoksemia berat akan menyebabkan hipoksia. Hipoksia berarti penurunan
penyampaian (delivery) O2 ke jaringan atau efek dari penurunan penyampaian O2 ke
jaringan. Hipoksia dapat pula terjadi akibat penurunan penyampaian O2 karena faktor
rendahnya curah jantung, anemia, syok septik atau keracunan karbon monoksida, dimana
PaO2 dapat meningkat atau normal.
a. Patofisologi Gagal Nafas Hipoksemia.

Mekanisme fisiologi hipoksemia dibagi dalam dua golongan utama, yaitu


berkurangnya PO2 alveolar dan meningkatnya pengaruh campuran darah vena
(venous admixture). Jika darah vena yang bersaturasi rendah kembali ke paru, dan
tidak mendapatkan oksigen selama perjalanan di pembuluh darah paru, maka darah
yang keluar di arteri akan memiliki kandungan oksigen dan tekanan parsial oksigen
yang sama dengan darah vena sistemik. PO2 darah vena sistemik (PVO2)
menentukan batas bawah PaO2. Bila semua darah vena yang bersaturasi rendah
melalui sirkulasi paru dan mencapai keseimbangan dengan gas di rongga alveolar,
maka PO2 = PAO2. Maka PO2 alveolar (PAO2) menentukan batas atas PO2 arteri.
Semua nilai PO2 berada diantara PVO2 dan PAO2.

 Penurunan PO2Alveolar
Tekanan total di ruang alveolar ialah jumlah dari PO2, PCO2, PH2O, dan PN2. Bila
PH2O dan PN2 tidak berubah bermakna, setiap peningkatan pada PACO2 akan
menyebabkan penurunan PaO2. Hipoventilasi alveolar menyebabkan penurunan
PAO2, yang menimbulkan penurunan PaO2 bila darah arteri dalam keseimbangan
dengan gas di ruang alveolus. Persamaan gas alveolar, bila disederhanakan
menunjukkan hubungan antara PO2 dan PCO2 alveolar:
PAO2 = FiO2 x PB - PACO2
R

FiO2 adalah fraksi oksigen dari udara inspirasi. PB ialah tekanan barometric, dan
R ialah rasio pertukaran udara pernapasan, menunjukkan rasio steady-state CO2
memasuki dan O2 meninggalkan ruang alveolar. Dalam praktek, PCO2 arteri
digunakan sebagai nilai perkiraan PCO2 alveolar (PaCO2). PAO2 berkurang bila
PACO2 meningkat. Jadi, hipoventilasi alveolar menyebabkan hipoksemia
(berkurangnya PaO2).
Persamaan gas alveolar juga mengindikasikan bahwa hipoksemia akan terjadi jika
tekanan barometric total berkurang, seperti pada ketinggian, atau bila FiO2 rendah
(seperti saat seseorang menghisap campuran gas dimana sebagian oksigen
digantikan gas lain). Hal ini juga akibat penurunan PO2. Pada hipoksemia, yang
terjadi hanya karena penurunan PaO2. Perbedaan PO2 alveolar - arteri adalah
normal pada hipoksemia karena hipoventilasi.

 Pencampuran Vena (Venous Admixture)


Meningkatnya jumlah darah vena yang mengalami deoksigenasi, yang mencapai
arteri tanpa teroksigenasi lengkap oleh paparan gas alveolar. Perbedaan PO2
alveolar arterial meningkat dalam keadaan hipoksemia karena peningkatan
pencampuran darah vena. Dalam pernapasan udara ruangan, perbedaan PO2
alveolar arterial normalnya sekitar 10 dan 20 mmHg, meningkat dengan usia dan
saat subyek berada pada posisi tegak.
Hipoksemia terjadi karena salah satu penyebab meningkatnya pencampuran vena,
yang dikenal sebagai pirau kanan ke kiri (right-to-left-shunt). Sebagian darah
vena sistemik tidak melalui alveolus, bercampur dengan darah yang berasal dari
paru, akibatnya adalah percampuran arterial dari darah vena sistemik dan darah
kapiler paru dengan PO2 diantara PAO2 dan PVO2. Pirau kanan ke kiri dapat
terjadi karena: 1). Kolaps lengkap atau atelektasis salah satu paru atau lobus
sedangkan aliran darah dipertahankan. 2). Penyakit jantung congenital dengan
defek septum. 3). ARDS, dimana dapat terjadi edema paru yang berat, atelektasis
lokal, atau kolaps alveolar sehingga terjadi pirau kanan ke kiri yang berat.
Petanda terjadinya pirau kanan ke kiri ialah: 1). Hipoksemia berat dalam
pernapasan udara ruangan. 2). Hanya sedikit peningkatan PaO2 jika diberikan
tambahan oksigen. 3). Dibutuhkan FiO2 > 0,6 untuk mencapai PaO2 yang
diinginkan. 4). PaO2 < 550 mmHg saat mendapat O2 100%. Jika PaO2 < 550
mmHg saat bernapas dengan O2 100% maka dikatakan terjadi pirau kanan ke kiri.

 Ketidakseimbangan Ventilasi-Perfusi (ventilation-perfusion mismatching = V/Q


mismatching)
Merupakan penyebab hipoksemia tersering, terjadi ketidaksesuaian
ventilasi-perfusi. Ketidaksesuaian ini bukan disebabkan karena darah vena tidak
melintasi daerah paru yang mendapat ventilasi seperti yang terjadi pada pirau
kanan ke kiri. Sebaliknya beberapa area di paru mendapat ventilasi yang kurang
dibandingkan banyaknya aliran darah yang menuju ke area-area tersebut. Disisi
lain, beberapa area paru yang lain mendapat ventilasi berlebih dibandingkan
aliran darah regional yang relative sedikit.
Darah yang melalui kapiler paru di area yang hipoventilasi relatif, akan
kurang mendapat oksigen dibandingkan keadaan normal. Hal tersebut
menimbulkan hipoksemia darah arteri. Efek ketidaksesuaian V/Q terhadap
pertukaran gas antara kapiler-alveolus seringkali kompleks. Contoh dari penyakit
paru yang merubah distribusi ventilasi atau aliran darah sehingga terjadi
ketidaksesuaian V/Q adalah: Asma dan penyakit paru obstruktif kronik lain,
dimana variasi pada resistensi jalan napas cenderung mendistribusikan ventilasi
secara tidak rata. Penyakit vascular paru seperti tromboemboli paru, dimana
distribusi perfusi berubah. Petunjuk akan adanya ketidaksesuaian V/Q adalah
PaO2 dapat dinaikkan ke nilai yang dapat ditoleransi secara mudah dengan
pemberian oksigen tambahan.

 Keterbatasan Difusi (diffusion limitation)


Keterbatasan difusi O2 merupakan penyebab hipoksemia yang jarang. Dasar
mekanisme ini sering tidak dimengerti. Dalam keadaan normal, terdapat waktu
yang lebih dari cukup bagi darah vena yang melintasi kedua paru untuk
mendapatkan keseimbangan gas dengan alveolus. Walaupun jarang, dapat terjadi
darah kapiler paru mengalir terlalu cepat sehingga tidak cukup waktu bagi PO 2
kapiler paru untuk mengalami kesetimbangan dengan PO2 alveolus. Keterbatasan
difusi akan menyebabkan hipoksemia bila PAO2 sangat rendah sehingga difusi
oksigen melalui membrane alveolar-kapiler melambat atau jika waktu transit
darah kapiler paru sangat pendek. Beberapa keadaan dimana keterbatasan difusi
untuk transfer oksigen dianggap sebagai penyebab utama hipoksemia ialah:
penyakit vaskuler paru; pulmonary alveolar proteinosis, keadaan dimana ruang
alveolar diisi cairan mengandung protein dan lipid.
b. Manifestasi Klinis Gagal Nafas Hipoksemia
Manifestasi gagal napas hipoksemik merupakan kombinasi dari gambaran
hipoksemia arterial dan hipoksemia jaringan. Hipoksemia arterial meningkatkan
ventilasi melalui stimulus kemoreseptor glomus karotikus, diikuti dispnea, takipnea,
hiperpnea, dan biasanya hiperventilasi.
Derajat respon ventilasi tergantung kemampuan mendeteksi hipoksemia dan
kemampuan sistem pernapasan untuk merespon. Pada pasien yang fungsi glomus
karotikusnya terganggu maka tidak ada respon ventilasi terhadap hipoksemia.
Mungkin didapatkan sianosis, terutama di ekstremitas distal, tetapi juga didapatkan
pada daerah sentral di sekitar membrane mukosa dan bibir. Derajat sianosis tergantung
pada konsentrasi hemoglobin dan keadaan perfusi pasien.

Manifestasi lain dari hipoksemia adalah akibat pasokan oksigen ke jaringan


yang tidak mencukupi atau hipoksia. Hipoksia menyebabkan pergeseran metabolisme
ke arah anaerobik disertai pembentukan asam laktat. Peningkatan kadar asam laktat di
darah selanjutnya akan merangsang ventilasi. Hipoksia dini yang ringan dapat
menyebabkan gangguan mental, terutama untuk pekerjaan kompleks dan berpikir
abstrak. Hipoksia yang lebih berat dapat menyebabkan perubahan status mental yang
lebih lanjut, seperti somnolen, koma, kejang dan kerusakan otak hipoksik permanen.
Aktivitas sistem saraf simpatis meningkat. Sehingga menyebabkan terjadinya
takikardi, diaphoresis dan vasokonstriksi sistemik, diikuti hipertensi. Hipoksia yang
lebih berat lagi, dapat menyebabkan bradikardia, vasodilatasi, dan hipotensi, serta
menimbulkan iskemia miokard, infark, aritmia dan gagal jantung.
Manifestasi gagal napas hipoksemik akan lebih buruk jika ada gangguan
hantaran oksigen ke jaringan (tissue oxygen delivery). Pasien dengan curah jantung
yang berkurang, anemia, atau kelainan sirkulasi akan mengalami hipoksia jaringan
global dan regional pada hipoksemia yang lebih dini. Misalnya pada pasien syok
hipovolemik yang menunjukkan tanda-tanda asidosis laktat pada hipoksemia arterial
ringan.

2. Gagal Nafas Tipe Hiperkapnia


a. Patofisiologi Gagal Nafas Hiperkapnia
Gagal nafas tipe hiperkapnia adalah kegagalan tubuh untuk mengeluarkan
CO2, pada umumnya disebabkan oleh kegagalan ventilasi yang ditandai dengan
retensi CO2 (peningkatan PaCO2 atau hiperkapnea) disertai dengan penurunan pH
yang abnormal. Kegagalan ventilasi biasanya disebabkan oleh hipoventilasi karena
kelainan ekstrapulmoner. Hiperkapnik yang terjadi karena kelainan extrapulmoner
dapat disebabkan karena penekanan dorongan pernapasan sentral atau gangguan
pada respon ventilasi.

Gagal nafas hiperkapnia terutama disebabkan oleh hipoventilasi elveolar.


Kegagalan ventilasi dapat terjadi bila PaCO2 meninggi dan pH kurang dari 7,35.
Kegagalan ventilasi terjadi bila “minut ventilation” berkurang secara tidak wajar
atau bila tidak dapat meningkat dalam usaha memberikan kompensasi bagi
peningkatan produksi CO2 atau pembentukan rongga tidak berfungsi pada
pertukaran gas (dead space)

b. Manifestasi Klinis Gagal Nafas Hiperkapnia


Hiperkapnia akut terutama berpengaruh pada sistem saraf pusat.
Peningkatan PaCO2 merupakan penekanan sistem saraf pusat, mekanismenya
terutama melalui turunnya PH cairan cerebrospinal yang terjadi karena peningkatan
akut PaCO2. Karena CO2 berdifusi secara bebas dan cepat ke dalam cairan
serebrospinal, PH turun secara cepat dan hebat karena hiperkapnia akut. (Purwato
dkk, 2009)
Peningkatan PaCO2 pada penyakit kronik berlangsung lama sehingga
bikarbonat serum dan cairan serebrospinal meningkat sebagai kompensasi terhadap
asidosis respiratorik kronik. Kadar PH yang rendah lebih berkorelasi dengan
perubahan status mental . Gejala hiperkapnia dapat tumpang tindih dengan gejala
hipoksemia. Hiperkapnia menstimulasi ventilasi pada orang normal, pasien dengan
hiperkapnia mungkin memiliki ventilasi semenit yang meningkat atau menurun,
tergantung pada penyakit dasar yang menyebabkan gagal napas. Jadi, dispnea,
takipnea, hiperpnea, bradipnea, dan hipopnea dapat berhubungan dengan gagal
napas hiperkapnea. (Purwato dkk, 2009)
D. PATHWAY
- Trauma
- depresi system saraf pusat
- penyakit akut paru
- kelainan neurologis
- efusi pleura,hemotokrat dan pneumotorka

Gg saraf pernafasan dan otot pernafasan

↑ permeabilitas membrane alveolan kafiler

Gg evitalium slveolar gg endothalium


↓ kapiler
Odema paru→ kelebiham ↓
volume cairan
↓ cairan masuk ke intertisial
↓comlain paru ↓
↓ ↑ tahanan jalan nafas
↓ cairan surfaktan ↓
↓ kehilangan fungsi silia sal pernafasan
Gg pengembangan paru ↓
Kolap alveoli bersihan jalan nafas
↓ ekspansi paru tidak efektif
Ventilasi dan perfusi ↓
Tidak seimbang pola nafas tidak efektif

Terjadi hipoksemia/hiperkapnia
gg pertukaran gas

gg perfusi jaringan
↓O2 dan CO2→ dyspenia,sianosis → ↓curah jantung→

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1) Analisa Gas Darah Arteri : Pemeriksaan gas darah arteri penting untuk menentukan
adanya asidosis respiratorik dan alkalosis respiratorik, serta untuk mengetahui apakah
klien mengalami asidosis metabolik, alkalosis metabolik, atau keduanya pada klien yang
sudah lama mengalami gagal napas. Selain itu, pemeriksaan ini juga sangat penting untuk
mengetahui oksigenasi serta evaluasi kemajuan terapi atau pengobatan yang diberikan
terhadap klien.

2) Radiologi : Berdasarkan pada foto thoraks PA/AP dan lateral serta fluoroskopi akan
banyak data yang diperoleh seperti terjadinya hiperinflasi, pneumothoraks, efusi pleura,
hidropneumothoraks, sembab paru, dan tumor paru.
3) Pengukuran Fugnsi Paru : Penggunaan spirometer dapat membuat kita mengetahui ada
tidaknya gangguan obstruksi dan restriksi paru. Nilai normal atau FEV1 > 83% prediksi.
Ada obstruksi bila FEV1 < 70% dan FEV1/FVC lebih rendah dari nilai normal. Jika
FEV1 normal, tetapi FEV1/FVC sama atau lebih besar dari nilai normal, keadaan ini
menunjukkan ada restriksi.
4) Elektrokardiogram (EKG) : Adanya hipertensi pulmonal dapat dilihat pada EKG yang
ditandai dengan perubahan gelombang P meninggi di sadapan II, III dan aVF, serta
jantung yang mengalami hipertrofi ventrikel kanan. Iskemia dan aritmia jantung sering
dijumpai pada gangguan ventilasi dan oksigenasi.
5) Pemeriksaan Sputum : Yang perlu diperhatikan ialah warna, bau, dan kekentalan. Jika
perlu lakukan kultur dan uji kepekaan terhadap kuman penyebab. Jika dijumpai ada garis-
garis darah pada sputum (blood streaked), kemungkinan disebabkan oleh bronkhitis,
bronkhiektasis, pneumonia, TB paru, dan keganasan. Sputum yang berwarna merah
jambu dan berbuih (pink frothy), kemungkinan disebabkan edema paru. Untuk sputum
yang mengandung banyak sekali darah (grossy bloody), lebih sering merupakan tanda
dari TB paru atau adanya keganasan paru.
(Said. 2011)

F. PENATALAKSANAAN GAGAL NAFAS

Gagal napas akut merupakan salah satu kegawat daruratan. Untuk itu,
penanganannya tidak bisa dilakukan pada area perawatan umum (general care area) di
rumah sakit. Perawatan dilakukan di Intensive Care Unit (ICU), dimana segala
perlengkapan yang diperlukan untuk menangani gagal napas tersedia. Tujuan
penatalaksanaan pasien dengan gagal nafas akut adalah: membuat oksigenasi arteri adekuat,
sehingga meningkatkan perfusi jaringan, serta menghilangkan underlying disease, yaitu
penyakit yang mendasari gagal nafas tersebut.
Prioritas dalam penanganan gagal nafas berbeda-beda tergantung dari etiologinya,
tetapi tujuan primer penanganan adalah sama pada semua pasien, yaitu menangani sebab
gagal nafas dan bersamaan dengan itu memastikan ada ventilasi yang memadai dan jalan
nafas yang bebas. (Hall, 2008)
a. Perbaiki jalan napas (Air Way)
Terutama pada obstruksi jalan napas bagian atas, dengan hipereksistensi kepala
mencegah lidah jatuh ke posterior menutupi jalan napas, apabila masih belum
menolong maka mulut dibuka dan mandibula didorong ke depan (triple airway
maneuver) atau dengan menggunakan manuver head tilt-chin lift), biasanya
berhasil untuk mengatasi obstruksi jalan nafas bagian atas. Sambil menunggu dan
mempersiapkan pengobatan spesifik, maka diidentifikasi apakah ada obstruksi oleh
benda asing, edema laring atau spasme bronkus, dan lain-lain. Mungkin juga
diperlukan alat pembantu seperti pipa orofaring, pipa nasofaring atau pipa trakea.

b. Terapi oksigen
Pada keadaan O2 turun secara akut, perlu tindakan secepatnya untuk menaikkan
PaO2 sampai normal. Pada terapi oksigen, besarnya oksigen yang diberikan
tergantung dari mekanisme hipoksemia, tipe alat pemberi oksigen tergantung pada
jumlah oksigen yang diperlukan, potensi efek samping oksigen, dan ventilasi
semenit pasien.
Cara pemberian oksigen dibagi menjadi dua yaitu sistem arus rendah dan sistem
arus tinggi.

Alat Kateter Nasal 1-6 L/menit


Oksigen Konsentrasi : 24-44%
Arus Kanula Nasal 1-6 L/menit
Rendah Konsentrasi : 24-44%
Simple Mask 6-8 L/menit
Konsentrasi : 40-60%
Mask + Rebreathing 6-8 L/menit
Konsetrasi : 60-80%
Alat AMBU BAG 10 L/menit
Oksigen Konsentrasi : 100%
Arus Tinggi Bag Mask + Jackson 10 L/menit
Rees Konsentrasi : 100%

Pemberian terapi oksigen harus memenuhi kriteria 4 tepat 1 waspada yaitu tepat
indikasi, tepat dosis, tepat cara pemberian, tepat waktu pemberian, dan wasapada
terhadap efek samping. (Ulaynah, Ana. 2010)
c. Ventilasi Bantu
Pada keadaan darurat dan tidak ada fasilitas lengkap, bantuan napas dapat
dilakukan mulut ke mulut (mouth to mouth) atau mulut ke hidung (mouth to nose).
Apabila kesadaran pasien masih cukup baik, dapat dilakukan bantuan ventilasi
menggunakan ventilator, seperti ventilator bird, dengan ventilasi IPPB
(Intermittent Positive Pressure Breathing), yaitu pasien bernapas spontan melalui
mouth piece atau sungkup muka yang dihubungkan dengan ventilator. Setiap kali
pasien melakukan inspirasi maka tekanan negative yang ditimbulkan akan
menggerakkan ventilator dan memberikan bantuan napas sebanyak sesuai yang
diatur.
d. Ventilasi Kendali
Pasien diintubasi, dipasang pipa trakea dan dihubungkan dengan ventilator.
Ventilasi pasien sepenuhnya dikendalikan oleh ventilator. Biasanya diperlukan
obat-obatan seperti sedative, narkotika, atau pelumpuh otot agar pasien tidak
berontak dan parnapasan pasien dapat mengikuti irama ventilator.
e. Terapi farmakologi
- Bronkodilator.
Mempengaruhi langsung pada kontraksi otot polos bronkus. Merupakan terapi
utama untuk pnyakit paru obstruktif atau pada penyakit dengan peningkatan
resistensi jalan napas seperti edema paru, ARDS, atau pneumonia.
- Agonis B adrenergik / simpatomimetik
Memilik efek agonis terhadap reseptor beta drenergik pada otot polos bronkus
sehingga menimbulkan efek bronkodilatasi. golongan ini memiliki efek
samping antara lain tremor, takikardia, palpitasi, aritmia, dan hipokalemia.
Lebih efektif digunakan dalam bentuk inhalasi sehinga dosis yang lebih besar
dan efek kerjanya lebih lama.
- Antikolinergik
Respon bronkodilator terhadap obat antikolinergik tergantung pada derajat
tonus parasimpatis intrisik. Obat-obatan ini kurang berperan pada asma,
dimana obstruksi jalan nafas berkaitan dengan inflamasi, dibandingkan dengan
bronkitis kronik dimana tonus parasimpatis lebih berperan.
Pada gagal nafas, antikolinergik harus diberikan bersamaan dengan agonis beta
adrenergik. Contoh dari antikolinergik adalah Ipatropium Bromida, tersedia
dalam bentuk MDI (metered dose-inhaler) atau solusio untuk nebulisasi. Efek
samping jarang terjadi seperti takikardia, palpitasi, dan retensi urine.
- Teofilin
Mekanisme kerja melalui inhibisi kerja fosfodieterase pada AMP siklik,
translokasi kalsium, antagonis adenosin, dan stimulasi reseptor beta-
adrenergik, dan aktifitas anti-inflamasi. Efek samping meliputi takikardia,
mual, dan muntah. Komplikasi terparah antara lain aritmia jantung,
hipokalemia, perubahan status mental, dan kejang.
- Kortikosteroid
(Gwinnutt, C. 2011)
f. Pengobatan Spesifik
Pengobatan spesifik ditujukan pada underlying disease, sehingga pengobatan
untuk masing-masing penyakit akan berlainan.
Tindakan terapi untuk memulihkan kondisi pasien gagal napas:
- Penghisapan paru untuk mengeluarkan sekret agar tidak menghambat
saluran napas.
- Postural drainage, juga untuk mengeluarkan sekret.
- Latihan napas, jika kondisi pasien sudah membaik
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

I. PENGKAJIAN

Pengkajian Primer

1. Airway
a. Peningkatan sekresi pernapasan
b. Bunyi nafas krekels, ronki dan mengi
2. Breathing
a. Distress pernapasan : pernapasan cuping hidung, takipneu/bradipneu, retraksi.
b. Menggunakan otot aksesori pernapasan
c. Kesulitan bernafas : lapar udara, diaforesis, sianosis
3. Circulation
a. Penurunan curah jantung : gelisah, letargi, takikardia
b. Sakit kepala
c. Gangguan tingkat kesadaran : ansietas, gelisah, kacau mental, mengantuk
d. Papiledema
e. Penurunan haluaran urine
4. Disability
Perhatikan bagaimana tingkat kesadaran klien, dengan penilain GCS, dengan
memperhatikan refleks pupil, diameter pupil.
5. Eksposure
Penampilan umum klien seperti apa, apakah adanya udem, pucat, tampak lemah,
adanya perlukaan atau adanya kelainan yang didapat secara objektif.

Pengkajian Sekunder

a. Aktivitas / Istirahat
Gejala : kekurangan energy, insomnia
b. Sirkulasi
Gejala : riwayat adanya bedah jantung paru, fenomena embolik (darah, udara,
lemak)
Tanda :
 TD : dapat normal atau meningkat pada awal (berlangjut menjadi hipoksia) ;
hipotensi terjadi pada tahap lanjut (syok) atau dapat factor pencetus seperti pada
eklampsia.
 Frekuensi jantung : takikardi biasanya ada
 Bunyi jantung : normal pada tahap dini ; S2 (komponen paru) dapat terjadi
c. Integritas Ego
Gejala : ketakutan, ancaman perasaan takut
Tanda : gelisah, agitasi, gemetar, mudah terangsang, perubahan mental
d. Makanan / cairan
Gejala : kehilangan selera makan, mual
Tanda : edema atau perubahan berat badan, hilang atau berkurangnya bunyi usus
e. Neurosensori
Gejala/tanda : adanya trauma kepala, mental lamban, disfungsi motor.
f. Pernafasan
Gejala : adanya aspirasi atau tenggelam, inhalasi asap atau gas, infeksi difus paru.
Timbul tiba – tiba atau bertahap, kesulitan nafas, lapar udara.
Tanda:
 Pernafasan : cepat, mendengkur, dangkal.
 Bunyi nafas : pada awal normal, ronki, dan dapat terjadi bunyi nafas bronchial.

b. Pemeriksaan Dignostik

1. Hb : dibawah 12 gr %
2. Analisa gas darah :
a. pH dibawah 7,35 atau di atas 7,45
b. paO2 Hipoksemia ringan : PaO2 < 80 mmHg
Hipoksemia sedang : PaO2 < 60 mmHg
Hipoksemia berat : PaO2 < 40 mmHg
c. pCO2 di bawah 35 atau di atas 45 mmHg
d. BE di bawah -2 atau di atas +2
3. Saturasi O2 kurang dari 90 %
4. Ro” : terdapat gambaran akumulasi udara/cairan , dapat terlihat perpindahan
letak mediastinum
5. EKG mungkin memperhatikan bukti- bukti regangan jantung di sisi kanan
distritmia.
6. Radiografi dada
7. Pemeriksaan sputum
8. Pemeriksaan fungsi paru
9. Angiografi
10. Pemindaian ventilasi perfusi
11. CT
12. Skrinning toksikologi
13. Hitung darah lengkap
14. Elektrolit serum
15. Sitology
16. Urinalisis
17. Bronkogram
18. Bronkoskopii
19. Ekokardiografi
20. Torasentesis

II. DIAGNOSA KEPERAWATAN


1. Tidak efektifnya jalan nafas berhubungan dengan hilangnya fungsi jalan nafas,
peningkatan sekret pulmonal, peningkatan resistensi jalan nafas
2. Pola nafas tidak efektif b.d. penurunan ekspansi paru
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan abnormalitas ventilasi-perfusi sekunder
terhadap hipoventilasi
4. Kelebihan volume cairan b.d. edema pulmo
5. Gangguan perfusi jaringan b.d. penurunan curah jantung

III. INTERVENSI DAN RASIONAL

A. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Tidak efektifnya jalan nafas

Rencana keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
NOC: NIC:
 Respiratory status : Ventilation Airway Suction
 Respiratory status : Airway patency 1. Pastikan kebutuhan oral / tracheal suctioning
 Aspiration Control 2. Auskultasi suara nafas sebelum dan sesudah suctioning
3. Informasikan pada klien dan keluarga tentang
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama suctioning
…….. klien menunjukkan keefektifan jalan nafas 4. Minta klien nafas dalam sebelum suction dilakukan.
dengan 5. Berikan O2 dengan menggunakan nasal untuk
Kriteria Hasil : memfasilitasi suksion nasotrakeal
 Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara 6. Gunakan alat yang steril sitiap melakukan tindakan
nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan 7. Anjurkan pasien untuk istirahat dan napas dalam setelah
dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, kateter dikeluarkan dari nasotrakeal
bernafas dengan mudah, tidak ada pursed lips) 8. Monitor status oksigen pasien
 Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien 9. Ajarkan keluarga bagaimana cara melakukan suksion
tidak merasa tercekik, irama nafas, frekuensi 10. Hentikan suksion dan berikan oksigen apabila pasien
pernafasan dalam rentang normal, tidak ada menunjukkan bradikardi, peningkatan saturasi O2, dll.
suara nafas abnormal)
 Mampu mengidentifikasikan dan mencegah Airway Managemen
faktor yang penyebab. 1. Buka jalan nafas, guanakan teknik chin lift atau jaw
thrust bila perlu
2. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
3. Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan
nafas buatan
4. Pasang mayo bila perlu
5. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
6. Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
7. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
8. Lakukan suction pada mayo
9. Berikan bronkodilator bila perlu
10. Berikan pelembab udara Kassa basah NaCl Lembab
11. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan
keseimbangan.
12. Monitor respirasi dan status O2
2. Pola nafas tidak efektif b.d. penurunan ekspansi paru
Tujuan Keperawatan Rencana Tindakan

( NOC ) (NIC )

Manajemen Jalan Nafas


1. Atur posisi tidur untuk memaksimalkan
Setelah dilakukan asuhan keperawatan ventilasi.
:selama ..... x 24 jam 2. Jaga kepatenan jalan nafas: suction, batuk
- Sesak nafas berkurang sampai dengan efektif
hilang 3. Kaji TTV, dan adanya sianosis
- Ekspirasi dada simetris 4. Pertahankan pemberian O2 sesuai
- Tidak ada penggunaan otot bantu kebutuhan
pernafasan, tidak ada nafas pendek 5. Kaji adanya penurunan ventilasi dan bunyi
- Bunyi nafas tambahan tidak ada nafas tambahan, kebutuhan insersi jalan
(wheezing, ronchi,) nafas: ET, TT
- Tidak ada nyeri dan cemas 6. Tentukan lokasi dan luasnya krepitasi di
- TTV dalam batas normal; tulang dada
- Suhu: 36,3-37,4 C 7. Kaji peningkatan kegelisahan, ansietas dan
- Nadi Laki2dewasa:60-70x/ menit, tersengal-sengal
Premp.dewasa:70-85x /mnt 8. Monitor pola pernafasan (Bradipnea,
- TD : takipnea, hiperventilasi): kecepatan, irama,
Umur 30-40 th: 125/85 mmHg kedalaman, dan usaha respirasi
Umur 40-60 th: 140/90 mmHg 9. Monitor tipe pernafasan : Kusmaul,
Umur > 60 th: 150/90 mmHg Cheyne Stokes, Biot
- Eupnoe (pernafasan normal) 10. Ajarkan teknik relaksasi kpd klien dan
- Respirasi: Dewasa: 10-18 x/ mnt keluarga.
11. Kolaborasi Tim medis : untuk program
terapi, pemberian oksigen, obat
bronkhodilator, obat nyeri cairan,
nebulizer, tindakan/ pemeriksaan medis,
pemasangan alat bantu nafas,, dan
fisioterapi

3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan abnormalitas ventilasi-perfusi sekunder


terhadap hipoventilasi
Tujuan Keperawatan Rencana Tindakan
( NOC ) (NIC )

Setelah dilakukan asuhan Manajemen jalan nafas


keperawatan selama 3x 24 jam, - Kaji bunyi paru, frekuensi, kedalaman, usaha nafas,
status respirasi pertukaran gas dan produksi sputum.
adekuat dengan kriteria hasil : - Identifikasi kebutuhan insersi jalan nafas, dan siapkan
- Menunjukkan pertukaran gas klien untuk tindakan ventilasi mekanik sesuai indikasi
efektif - Monitor vital sign tiap ...jam, adanya sianosis, dan
- pH : 7.35 – 7.45 efektifitas pemberian oksigen yang dilembabkan.
- Jelaskan penggunaan alat bantu yang dipakai klien :
- PaCO2 : 35 – 45 % oksigen, mesin penghisap, dan alat bantu nafas
- Ajarkan tehnik nafas dalam, batuk efektif
- PaO2 : 85 – 100 % - Lakukan tindakan untuk mengurangi konsumsi
oksigen : kendalikan demam, nyeri, ansietas, dan
- BE : + 2 s/d – 2 meq/L tingkatkan periode istirahat yang adekuat
- Kolaborasi dgn Tim medis : pemberian O2, obat
- SaO2 : 96-97 %
bronkhodilator, terapi nebulizer / inhaler, insersi jalan
- Tidak ada dyspnea dan sianosis,
nafas
mampu bernafas dengan mudah
- Menunjukkan ventilasi adekuat,
ekspansi dinding dada simetris,
suara nafas bersih, tidak ada :
Manajemen Elektrolit & Asam-basa
penggunaan otot-otot nafas
8.Pertahankan kepatenan IV line, dan balance cairan
tambahan, retraksi dinding dada,
9.Monitor tanda-tanda gagal nafas : hasil AGD
nafas cuping hidung, dyspnea,
abnormal, kelelahan
taktil fremitus
10. Berikan terapi oksigen sesuai indikasi
- TTV dalam batas normal
11. Monitor status neurologi dan atau neuromuskular :
- Menunjukkan orientasi kognitif
tingkat kesadaran dan adanya kebingungan,
baik, dan status mental adekuat
parestesia, kejang
- Menunjukkan keseimbangan
12. Kolaborasi dengan Tim medis untuk pemeriksaan
elektrolit dan asam basa
AGD, pencegahan dan penanganan asidosis dan
Na : 135 – 145 meq/L
alkalosis: Respiratorik & Metabolik
Cl : 100-106 meq /L Hemodynamic regulation
13. Monitor status hemodinamik: saturasi oksigen, nadi
K : 3,5 – 5.5 meq/L perifer, capillary refill, suhu dan warna ekstremitas,
edema, distensi JVP
Mg :1,5 – 2,5 meq / L 14. Kolaborasi dgn Tim Medis untuk obat vasodilator
dan atau vasokonstriktor
Ca : 8,5- 10,5 meq /L

BUN : 10-20 mg/dl

4. Kelebihan volume cairan b.d. edema pulmo


Tujuan Keperawatan Rencana Tindakan

( NOC ) (NIC )

Setelah dilakukan asuhan Manajemen Cairan


keperawatan selama 3x 24 jam, 1. Monitor TTV & hemodinamik tiap 1 jam
keseimbangan cairan adekuat 2. Monitor intake & output yang akurat dalam 24
dengan kriteria hasil : jam
- Tidak ada odema , peningkatan 3. Observasi adanya odem, efusi pleura, asites,
BB ,efusi pleura , dan asites. peningkatan BB, sesak nafas, dispnoe, orthopnoe
- Intake dan out put seimbang 4. Pantau hasil lab yang yang relevan terhadap
- Sesak nafas, dispnea, orthopnea retensi cairan : perubahan elektrolit, peningkatan
teratasi / berkurang BJ urine, peningkatan BUN, penurunan Hct
- Terbebas dari distensi vena 5. Ajarkan pada klien dan keluarga tentang
jugularis. pembatasan intake cairan
- Out put jantung dan vital sign 6. Kolaborasi untuk konseling nutrisi.
dalam batas normal. 7. Kolaborasi pemberian O2, cairan, terapi diuretik,
- Terbebas dari kelelahan EKG, pemeriksaan Lab. yang spesifik, dan
kecemasan ,kebingungan. tindakan HD/Peritonial dialisis sesuai indikasi.
- Hasil pemeriksaan Lab. kearah Monitoring Cairan
perbaikan 8. Kaji edema ekstremitas , gangguan sirkulasi, dan
integritas kulit
9. Monitor kenaikan BB, lingkar perut
10. Monitor indikasi kelebihan / retensi cairan:
ronchi, peningkatan CVP, oedem, distensi JVP,
dan asites.
11. Monitor TD orthostatik, dan perubahan irama
jantung.
12. Kolaborasi untuk pemasangan DC
13. Ajarkan klien dan keluarga untuk memperhatikan
penyebab, cara mengatasi edema , pembatasan
diit , dosis dan efek samping pemberian obat.

5. Gangguan perfusi jaringan b.d. penurunan curah jantung


Tujuan Keperawatan Rencana Tindakan

( NOC ) (NIC )

Setelah dilakukan asuhan


keperawatan selama 3x 24 jam,
pompa jantung efektif dengan kriteria Perawatan jantung akut
hasil : 1. Monitor nyeri dada (lokasi, intensitas, durasi dan
faktor presipitasi).
- TD sistolik, diastolik, MAP, tekanan
vena sentral (CVP )dalam rentang 2. Berikan O2 sesuai indikasi dan monitor efektifitas
yang diharapkan pemberian terapi oksigen
- Nadi perifer kuat dan simetris 3. Atur posisi tidur semi fowler/fowler
- Tidak ada edema perifer dan asites 4. Monitor frekuensi nadi , irama jantung peningkatan
- Gas darah, elektrolit dan faktor kegelisahan, ansietas, dan pernafasan terengah-
pembekuan dalam rentang normal engah
yang diharapkan 5. Monitor parameter hemodinamik dan EKG :
- Tidak ada bunyi jantung yang terutama perubahan segmen ST
abnormal 6. Auskultasi bunyi jantung dan paru
- Tidak ada nyeri dada 7. Monitor hasil pemeriksaan koagulasi : protrombine
- Tidak ada bunyi nafas tambahan, time, partial tromboplastine time dan hitung
vena ljugolaris, edema pulmoner . trombosit dan nilai elektrolit
- Tidak ada keletihan ekstrem 8. Anjurkan dan jelaskan alasan untuk makan dalam
- Tidak ada hipotensi ortostatik porsi sedikit tetapi sering
9. Jelaskan pembatasan asupan kafein, natrium,
kolesterol dan kebiasaan merokok
10. Hindari kegiatan Valsava Manuever : mengejan,
Batuk, bersin, tidak menahan b.a.k, b.a.b.dan
mencegah peningkatan suhu tubuh.

11. Ciptakan lingkungan yang kondusif untuk istirahat


dan pemulihan : batasi pengunjung, kendalikan
stimulus dari lingkungan : suara bising , gaduh .
12. Berikan jaminan bahwa panggilan bel, lampu dan
pintu yang terbuka akan segera direspon.
13. Hindari pengukuran suhu tubuh rektal
14. Kolaborasi pemberikan terapi : analgesik,
antikoagulan, nitrogliserin, vasodilator, diuretik,
inotropik positif dan program diet.
DAFTAR PUSTAKA

Amin, Zulfikli, dan Johanes Purwato. 2009. Gagal Nafas Akut. Dalam : Aru W. Sudoyo (ed.) .
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jakarta : Interna Publishing. pp. 219-226.

Bagian Ilmu Kesehatan Anak. 2010. Gagal Nafas pada Anak. Dalam Pedoman Diagnosis dan
Terapi edisi 3. Bagian Ilmu Kedehatan Anak FK Unpad RSHS.

Guyton,A.C. , dan John E. Hall. 2008. Ventilasi Paru.. Dalam : Arthur C. Guyton dan John E.
Hall (ed.) Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta : EGC. Pp

Gwinnutt, C. 2011. Catatan Kuliah : Anestesi Klinis Edisi 3. Jakarta : EGC.

Latief, A. Said. 2011. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intesif,
Jakarta: FK UI.

Nanda. (2018). Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi 2018-2020 Edisi 10 editor T
Heather Herdman, Shigemi Kamitsuru. Jakarta: EGC.

Ulaynah, Ana. 2010. Terapi Oksigen. Dalam : Aru W. Sudoyo (ed.) . Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi V. Jakarta : Interna Publishing. pp. 161-165

Anda mungkin juga menyukai

  • Contoh Material
    Contoh Material
    Dokumen2 halaman
    Contoh Material
    Eliya Vita Afiyanti
    Belum ada peringkat
  • Yel Yel
    Yel Yel
    Dokumen3 halaman
    Yel Yel
    Eliya Vita Afiyanti
    Belum ada peringkat
  • Telaah Jurnal Peminatan Jiwa
    Telaah Jurnal Peminatan Jiwa
    Dokumen40 halaman
    Telaah Jurnal Peminatan Jiwa
    Eliya Vita Afiyanti
    Belum ada peringkat
  • XXX
    XXX
    Dokumen10 halaman
    XXX
    Eliya Vita Afiyanti
    Belum ada peringkat
  • LP Fraktur
    LP Fraktur
    Dokumen28 halaman
    LP Fraktur
    Eliya Vita Afiyanti
    Belum ada peringkat
  • Pengambilan Sampel Darah Arteri untuk Analisa Gas Darah
    Pengambilan Sampel Darah Arteri untuk Analisa Gas Darah
    Dokumen5 halaman
    Pengambilan Sampel Darah Arteri untuk Analisa Gas Darah
    Eliya Vita Afiyanti
    Belum ada peringkat
  • 22 Nuzula Irfa
    22 Nuzula Irfa
    Dokumen9 halaman
    22 Nuzula Irfa
    Eliya Vita Afiyanti
    Belum ada peringkat
  • Analisa Gas Darah
    Analisa Gas Darah
    Dokumen3 halaman
    Analisa Gas Darah
    Eliya Vita Afiyanti
    Belum ada peringkat
  • LP CKR Igd
    LP CKR Igd
    Dokumen24 halaman
    LP CKR Igd
    Eliya Vita Afiyanti
    100% (1)
  • Sap Oa
    Sap Oa
    Dokumen8 halaman
    Sap Oa
    Eliya Vita Afiyanti
    Belum ada peringkat
  • HT Emergency
    HT Emergency
    Dokumen25 halaman
    HT Emergency
    Eliya Vita Afiyanti
    Belum ada peringkat
  • Diare
    Diare
    Dokumen17 halaman
    Diare
    Eliya Vita Afiyanti
    Belum ada peringkat
  • EKG Dasar Dan Cara Interpretasi
    EKG Dasar Dan Cara Interpretasi
    Dokumen52 halaman
    EKG Dasar Dan Cara Interpretasi
    Eliya Vita Afiyanti
    Belum ada peringkat
  • XXX
    XXX
    Dokumen10 halaman
    XXX
    Eliya Vita Afiyanti
    Belum ada peringkat
  • 226 - Pengaruh Senam Rematik Terhadap Pengurangan Rasa Nyeri Pada Penderita Osteoartritis Lutut
    226 - Pengaruh Senam Rematik Terhadap Pengurangan Rasa Nyeri Pada Penderita Osteoartritis Lutut
    Dokumen6 halaman
    226 - Pengaruh Senam Rematik Terhadap Pengurangan Rasa Nyeri Pada Penderita Osteoartritis Lutut
    asriatun
    Belum ada peringkat
  • ANALISA NGT
    ANALISA NGT
    Dokumen4 halaman
    ANALISA NGT
    Eliya Vita Afiyanti
    Belum ada peringkat
  • HT Emergency
    HT Emergency
    Dokumen25 halaman
    HT Emergency
    Eliya Vita Afiyanti
    Belum ada peringkat
  • LP Asfiksia
    LP Asfiksia
    Dokumen18 halaman
    LP Asfiksia
    Eliya Vita Afiyanti
    Belum ada peringkat
  • Ca Servik
    Ca Servik
    Dokumen20 halaman
    Ca Servik
    Eliya Vita Afiyanti
    Belum ada peringkat
  • LP Appendisitis
    LP Appendisitis
    Dokumen30 halaman
    LP Appendisitis
    Eliya Vita Afiyanti
    Belum ada peringkat
  • Tak RPK
    Tak RPK
    Dokumen13 halaman
    Tak RPK
    Eliya Vita Afiyanti
    Belum ada peringkat
  • Sop Dzikir
    Sop Dzikir
    Dokumen3 halaman
    Sop Dzikir
    Eliya Vita Afiyanti
    Belum ada peringkat
  • LP Antenatal
    LP Antenatal
    Dokumen17 halaman
    LP Antenatal
    Eliya Vita Afiyanti
    Belum ada peringkat
  • HT Emergency
    HT Emergency
    Dokumen25 halaman
    HT Emergency
    Eliya Vita Afiyanti
    Belum ada peringkat
  • API Halusinasi
    API Halusinasi
    Dokumen14 halaman
    API Halusinasi
    Eliya Vita Afiyanti
    Belum ada peringkat
  • Tak RPK
    Tak RPK
    Dokumen13 halaman
    Tak RPK
    Eliya Vita Afiyanti
    Belum ada peringkat
  • Leaflet
    Leaflet
    Dokumen3 halaman
    Leaflet
    Eliya Vita Afiyanti
    Belum ada peringkat
  • IMD Semarang
    IMD Semarang
    Dokumen9 halaman
    IMD Semarang
    Eliya Vita Afiyanti
    Belum ada peringkat
  • Pathway Sindrom Nefrotik
    Pathway Sindrom Nefrotik
    Dokumen2 halaman
    Pathway Sindrom Nefrotik
    Eliya Vita Afiyanti
    Belum ada peringkat